7
TINJAUAN PUSTAKA Merek Brand (merek) adalah nama, istilah, tanda simbol, rancangan atau kombinasi hal-hal tersebut untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakan dari produk pesaing. Lebih jauh merek merupakan nilai yang dapat dilihat (tangible) dan nilai yang tidak dapat dilihat (intangible) yang terwakili dalam sebuah merek dagang (trade mark) yang mampu menciptakan nilai dan pengaruh tersendiri di pasar bila dikelola secara tepat (Durianto et al. 2004). Merek adalah nama, tanda, simbol, desain, atau kombinasi hal-hal tersebut,
yang
ditujukan
untuk
mengidentifikasi
dan
mendiferensiasi
(membedakan) barang atau layanan suatu penjual dari barang dan layanan penjual lain (Kotler 2000 dalam Simamora 2003). Merek juga bisa berarti entitas pendidentifikasi yang memberikan jaminan atau janji nilai tertentu (Nicole 2001 dalam Simamora 2003). Merek adalah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan produk atau jasa dan mampu menimbulkan makna psikologis atau asosiasi (Susanto & Wijanarko 2004). Merek inilah yang membedakan antara produk dan merek. Produk
merupakan
sesuatu
yang
dihasilkan
di
pabrik,
namun
yang
sesungguhnya dibeli oleh konsumen adalah mereknya. Merek bukan merupakan sesuatu yang tercetak dalam produk atau kemasannya, tetapi termasuk apa yang ada dalam benak konsumen dan bagaimana konsumen mengasosiasikannya. (Susanto & Wijanarko 2004). Pendapat lain menyatakan bahwa merek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti logo, cap atau kemasan) untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang penjual atau kelompok tertentu, serta untuk membedakannya dari barang atau jasa yang dihasilkan pesaing (Aaker 1991 dalam Susanto & Wijanarko 2004). Pendapat-pendapat di atas mengandung pengertian bahwa merek adalah suatu identitas yang membedakan suatu produk dengan para pesaing, merek juga mengandung suatu nilai dan jaminan atau janji dari suatu produsen kepada konsumen. Merek
dalam
dunia
perdagangan
sangat
penting,
karena
merek
bermanfaat bagi pembeli, perantara, produsen maupun publik lain (Kotler 2000 dalam Simamora 2003). Bagi pembeli, merek bermanfaat untuk menunjukkan
8
mutu dan membantu memberi perhatian terhadap produk-produk baru yang mungkin bermanfaat bagi mereka. Bagi masyarakat, merek bermanfaat dalam tiga hal. Pertama, pemberian merek memungkinkan mutu produk lebih terjamin dan lebih konsisten. Kedua, meningkatkan efesiensi pembeli karena merek dapat memberikan informasi mengenai produk dan dimana konsumen bisa membelinya. Ketiga, meningkatkan inovasi-inovasi produk baru, karena produsen terdorong menciptakan keunikankeunikan baru guna meningkatkan daya saing. Lain pula manfaat merek bagi penjual (Kotler 2000 dalam Simamora 2003). Bagi penjual merek bermanfaat dalam empat hal. Pertama, memudahkan penjual mengolah pesanan dan menelusuri masalah-masalah yang timbul. Kedua, memberikan perlindungan hukum terhadap keistimewaan atau ciri khas produk. Ketiga, memungkinkan untuk mendapatkan sekelompok pembeli yang setia dan menguntungkan. Dan keempat, membantu penjual melakukan segmentasi pasar lain (Kotler 2000 dalam Simamora 2003). Menurut Paul Temporal dan KC Lee, alasan merek merupakan hal penting bagi konsumen adalah: a. Merek memberikan pilihan Manusia menyenangi pilihan dan merek memberi mereka kebebasan untuk memilih. Merek dapat memberikan pilihan, memungkinkan konsumen untuk membedakan berbagai macam tawaran perusahaan. Merek memberi pilihan, membuat proses pembuatan keputusan menjadi jauh lebih mudah. b. Merek memudahkan keputusan Merek membuat keputusan untuk membeli menjadi lebih mudah. Konsumen mungkin tidak tahu banyak mengenai suatu produk yang membuatnya tertarik, tetapi merek dapat membuatnya lebih mudah untuk memilih.
Dengan
makin
meningkatnya
kesamaan
produk,
merek
memudahkan konsumen untuk memutusakan produk yang akan dibeli. Merek yang terkenal lebih menarik banyak perhatian dibanding yang tidak, umumnya karena merek tersebut dikenal dan bisa dipercaya. c. Merek memberikan jaminan berkualitas Para konsumen akan memilih produk dan jasa yang berkualitas dimana pun dan kapan pun mereka mampu. Sekali mereka mencoba suatu merek, secara otomatis mereka akan menyamakan pengalaman ini dengan tingkat kualitas tertentu. Pengalaman yang menyenangkan akan menghasilkan
9
ingatan yang baik terhadap merek tersebut. Oleh karena itu, konsumen akan condong terhadap merek yang mereka tahu akan memberikan standar kualitas yang tinggi. Pengalaman terhadap merek yang berbeda membantu konsumen untuk membedakan standar kualitas terhadap produk-produk tersebut. d. Merek memberikan pencegahan resiko Sebagian besar konsumen menolak resiko. Mereka tidak akan membeli suatu produk, jika ragu terhadap hasilnya. Pengalaman terhadap suatu merek, jika positif, memberi keyakinan serta kenyamanan untuk membeli sekalipun mahal. Merek membangun kepercayaan, dan merek yang besar benar-benar dapat dipercaya. e. Merek memberikan alat untuk mengekspresikan diri Merek menghasilkan kesempatan pada konsumen untuk mengekspresikan diri dalam berbagai cara. Merek dapat membantu konsumen untuk mengekspresikan, diantara kebutuhan sosial-psikologi, yaitu status sosial, keberhasilan, aspirasi, cinta dan persahabatan, dan sifat. Merek memungkinkan konsumen mengekspresikan diri, hal-hal yang mereka pikirkan, hal-hal yang mereka beri nilai dan cintai, pola hidup mereka, dan mimpi-mimpi mereka. Merek ada dalam pikiran manusia, dan kadang kala dapat berbicara lebih dari kata-kata. Merek mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Durianto et al. (2004) menyatakan bahwa merek lebih dari sekedar jaminan kualitas karena di dalamnya tercakup enam pengertian, yaitu: 1. Atribut produk, seperti halnya kualitas, gengsi, nilai jual kembali, desain dan lain-lain. 2. Manfaat, meskipun suatu merek memiliki sejumlah atribut, konsumen sebenarnya membeli manfat dari produk tersebut. Dalam hal ini atribut merek diperlukan untuk diterjemahkan menjadi manfaat fungsional maupun manfaat emosional. 3. Nilai, merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. 4. Budaya, merek juga mencerminkan budaya tertentu. 5. Kepribadian, merek juga mencerminkan kepribadian tertentu. Sering kali produk tertentu menggunakan kepribadian orang yang terkenal untuk mendongkrak maupun menopang merek produknya.
10
6. Pemakai, merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut. Pendapat para ahli di atas bisa disimpulkan bahwa merek memiliki sejumlah manfaat, antara lain pemberian merek memungkinkan mutu produk lebih terjamin dan lebih konsisten, meningkatkan efesiensi pembeli karena merek dapat memberikan informasi mengenai produk dan dimana konsumen bisa membelinya, meningkatkan inovasi-inovasi produk baru, karena produsen terdorong menciptakan keunikan-keunikan baru guna meningkatkan daya saing. Ekuitas Merek Menurut Aaker (1997), ekuitas merek (brand equity) adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan. Simamora (2001) berpendapat, ekuitas merek adalah kekuatan merek atau kesaktian merek yang memberikan nilai kepada konsumen. Ekuitas merek sangat berkaitan dengan seberapa banyak pelanggan suatu merek merasa puas dan merasa rugi bila berganti merek, menghargai merek itu dan menganggapnya sebagai teman, dan merasa terikat kepada merek itu (Kotler 2002). Ekuitas merek dapat memberikan nilai dan manfaat, baik bagi konsumen maupun bagi perusahaan (Simamora 2001): 1. Nilai kepada konsumen Aset ekuitas merek membantu konsumen menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi dalam jumlah besar mengenai produk dan merek; ekuitas merek memberikan rasa percaya diri kepada konsumen dalam mengambil keputusan pembelian, baik karena pengalaman masa lalu dalam karakteristiknya; persepsi kualitas dan asosiasi merek bisa menguatkan kepuasan konsumen dengan pengalaman menggunakannya. 2. Nilai kepada perusahaan Ekuitas merek bisa menguatkan program, memikat para konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama; kesadaran merek, persepsi kualitas, asosiasi merek, dan aset-aset merek lainnya mampu menguatkan loyalitas merek, yaitu bisa memberikan alasan untuk membeli dan mempengaruhi kepuasan penggunaan; ekuitas merek biasanya akan memungkinkan margin yang lebih tinggi dengan memungkinkan harga
11
optimum (premium pricing) dan mengurangi ketergantungan pada promosi; ekuitas merek memberikan landasan untuk pertumbuhan melalui perluasan merek; ekuitas merek bisa memberikan dorongan dalam saluran distribusi; aset-aset ekuitas merek memberikan keuntungan kompetitif yang seringkali menghadirkan rintangan nyata terhadap para kompetitor. Persepsi Kualitas Asosiasi Merek
Kesadaran Merek
Ekuitas Merek Aset Merek
Loyalitas Merek
Memberikan nilai kepada konsumen dengan menguatkan: Interpretasi atau proses informasi Rasa percaya diri dalam pembelian Pencapaian kepuasaan dari konsumen
Memberikan nilai kepada perusahaan dengan menguatkan: Efisiensi dan efektivitas program pemasaran Loyalitas merek Harga atau laba Perluasan merek Peningkatan perdagangan Keuntungan kompetitif
Gambar 1 Konsep ekuitas merek. Ekuitas merek tidak terjadi dengan sendirinya tetapi ditopang oleh elemenelemen pembentuk ekuitas merek (Simamora 2001) antara lain: Brand Awareness (kesadaran merek); Brand Association (asosiasi merek); Perceived Quality (persepsi kualitas); Brand Loyalty (loyalitas merek); Other Proprietary Brand Assets (aset-aset merek lainnya) (Gambar 1). Kesadaran Merek Konsumen cenderung membeli merek yang sudah dikenal karena merasa aman dengan sesuatu yang sudah dikenal. Dengan kata lain, sebuah merek yang dikenal mempunyai kemungkinan bisa diandalkan, kemantapan dalam bisnis, dan kualitas yang dipertanggungjawabkan. Peter dan Olson (2000) menyatakan tingkat kesadaran merek (brand awareness) dapat diukur dengan meminta konsumen menyebutkan nama merek yang mana yang dianggap akrab oleh konsumen. Apakah pengingatan ulang
12
atau kesadaran merek sudah memadai tergantung pada di mana dan kapan suatu keputusan pembelian dilakukan. Strategi kesadaran merek yang tepat tergantung pada seberapa terkenal merek tersebut. Kadang kala tujuan promosi adalah untuk memelihara tingkat kesadaran merek yang sudah tinggi. Kesadaran merek menggambarkan keberadaan merek dalam benak konsumen sebagai penentu dalam beberapa kategori (Durianto et al. 2004). Merek yang kuat dicerminkan oleh kesadaran merek yang tinggi dan asosiasi merek yang kuat dan positif (Temporal 2000 dalam Simamora 2003). Aaker 1996 (dalam Simamora 2003) menambahkan bahwa selain kedua faktor tersebut merek yang kuat juga memiliki persepsi kualitas dan loyalitas konsumen (consumer loyality) yang tinggi. Menurut Aaker (1997), kesadaran merek adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Menurut Simamora (2001), peran kesadaran merek tergantung pada sejauh mana kadar kesadaran yang dicapai suatu merek. Definisi-definisi para ahli mengenai kesadaran merek dapat ditarik kesimpulan bahwa kesadaran merek merupakan tujuan umum komunikasi pemasaran, adanya kesadaran merek yang tinggi diharapkan kapanpun kebutuhan kategori muncul, merek tersebut akan dimunculkan kembali dari ingatan yang selanjutnya dijadikan pertimbangan berbagai alternatif dalam pengambilan
keputusan.
Kesadaran
merek
menunjukkan
pengetahuan
konsumen terhadap eksistensi suatu merek. Kesadaran merek memiliki beberapa tingkatan dari tingkatan yang paling rendah (tidak menyadari merek) sampai tingkatan yang paling tinggi yaitu Top of Mind, yang bisa digambarkan dalam sebuah piramida. Piramida kesadaran merek dari rendah sampai tingkat tertinggi adalah sebagai berikut: 1. Unaware of Brand (tidak menyadari merek) adalah tingkat paling rendah dalam piramida kesadaran merek di mana konsumen tidak menyadari adanya suatu merek walaupun sudah dilakukan pengingatan kembali lewat bantuan (aided recall). 2. Brand Recognition (pengenalan merek) adalah tingkat minimal kesadaran merek, di mana pengenalan suatu merek muncul lagi setelah dilakukan pengingatan kembali lewat bantuan (aided recall).
13
3. Brand Recall (pengingatan kembali merek) adalah pengingatan kembali merek tanpa bantuan (unaided recall). 4. Top of Mind (puncak pikiran) adalah merek yang disebutkan pertama kali oleh konsumen atau yang pertama kali muncul dalam benak konsumen, atau merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada dalam benak konsumen (Durianto et al. 2004). Top of mind (puncak pikiran) Brand Recall (pengingatan kembali merek) Brand Recognition (pengenalan merek) Unaware of Brand (tidak menyadari merek)
Gambar 2 Piramida kesadaran merek. Berdasarkan penjelasan tersebut, tingkatan-tingkatan dalam kesadaran merek menunjukan adanya perbedaan tingkat kesadaran yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Peran kesadaran merek terhadap ekuitas merek dapat dipahami dengan membahas bagaimana kesadaran merek menciptakan suatu nilai. Penciptaan nilai ini dapat dilakukan dengan banyak cara, antara lain (Simamora 2001): 1. Jangkar tempat tautan berbagai asosiasi Suatu produk atau layanan baru sudah pasti diarahkan untuk mendapatkan pengenalan. Jarang sekali suatu keputusan pembelian terjadi tanpa pengenalan. Pengetahuan mengenai berbagai bagian dan manfaat dari produk baru sangat sulit tanpa terlebih dahulu mendapatkan pengakuan. Pengakuan merek merupakan langkah dasar pertama dalam tugas komunikasi. Sebuah merek biasanya dikomunikasikan dengan atributatribut asosiasinya. Dengan tingkat pengenalan yang mapan, tugas selanjutnya tinggal mencantumkan suatu asosiasi baru, seperti atribut produk.
14
2. Keakraban atau rasa suka Pengakuan merek memberikan suatu kesan akrab, dan konsumen menyukai sesuatu yang akrab. Terdapat hubungan yang positif antara jumlah penampakan dan rasa suka, baik penampakan dalam bentuk abstraksi gambar, nama, musik, dan lain-lain. Pengulangan penampakan bisa mempengaruhi rasa suka bahkan jika tingkat pengenalan tidak terpengaruh. 3. Tanda mengenai substansi atau komitmen Kesadaran merek bisa menjadi suatu signal dari kehadiran, komitmen, dan substansi dari sebuah merek produk. Jika sebuah merek dikenali, pasti ada sebabnya, perusahaan
seperti: telah
perusahaan menggeluti
telah
bisnis
mengiklankan tersebut
dalam
secara
luas,
waktu
lama,
perusahaan mempunyai jangkauan distribusi yang luas, dan merek tersebut berhasil. Kesadaran akan merek dapat menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi suatu perusahaan. Jadi jika kesadaran atas merek tinggi, kehadiran merek itu selalu dapat kita rasakan, sebab sebuah merek dengan kesadaran merek tinggi biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a. Diiklankan secara luas, sehingga diketahui secara luas oleh masyarakat. b. Eksistensi yang sudah teruji oleh waktu, keberadaan merek yang telah berlangsung lama menunjukkan bahwa merek tersebut mampu memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. c. Jangkauan distribusi yang luas, sehingga memudahkan konsumen untuk mendapatkan produk tersebut. d. Merek tersebut dikelola dengan baik 4. Mempertimbangkan merek Langkah awal dalam proses pembelian biasanya adalah menyeleksi sekumpulan merek untuk dipertimbangkan. Oleh karena itu, pengingatan kembali merek (brand recall) menjadi penting. Pada umumnya, jika sebuah merek tidak mencapai pengingatan kembali maka merek tersebut tidak akan termasuk dalam proses pertimbangan pembelian. Tetapi konsumen biasanya juga akan mengingat merek-merek yang sangat mereka tidak sukai. Penyeleksian suatu kelompok merek yang telah dikenal sebagai suatu upaya mempertimbangkan merek mana yang akan diputuskan untuk
15
digunakan. Keputusan pemilihan ini biasanya dipengaruhi oleh ingatan konsumen terhadap merek yang paling diingat. Merek dengan top of mind tinggi mempunyai nilai pertimbangan yang tinggi. Jika suatu merek tidak tersimpan dalam ingatan, merek tersebut tidak akan dipertimbangkan dalam keputusan pembelian. Biasanya merek-merek yang disimpan dalam benak konsumen adalah merek-merek yang disukai dan dibenci (Durianto et al. 2004). Dalam meraih kesadaran merek, baik dalam tingkat pengenalan maupun pengingatan kembali, melibatkan dua tugas, yaitu, mendapatkan identitas merek dan mengaitkannya pada suatu kelas produk tertentu. Suatu pesan kesadaran merek hendaknya memberi suatu alasan untuk diperhatikan dan dikenang atau menjadi berbeda dan istimewa. Hal ini ditempuh dengan, melibatkan slogan atau jingle, menjadi sponsor kegiatan, dan perluasan merek.
Gambar 3 Nilai-nilai kesadaran merek. Asosiasi Merek Nilai yang mendasari merek seringkali didasarkan pada asosiasi-asosiasi spesifik yang berkaitan dengannya. Menurut David A.Aaker (1997), asosiasi merek adalah segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Asosiasi itu tidak hanya eksis namun juga mempunyai suatu tingkatan kekuatan. Kaitan pada merek akan lebih kuat jika dilandasi pada pengalaman untuk mengkomunikasikannya. Juga akan lebih kuat apabila kaitan itu didukung dengan suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain. Sebuah merek adalah seperangkat asosiasi, biasanya terangkai dalam bentuk yang bermakna. Asosiasi dan pencitraan, keduanya mewakili berbagai persepsi yang dapat mencerminkan realita obyektif. Suatu merek yang telah mapan akan mempunyai
16
posisi yang menonjol dalam suatu kompetisi karena didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Suatu brand positioning mencerminkan bagaimana orang memandang suatu merek. Positioning dan positioning strategy dapat juga digunakan
untuk merefleksikan
bagaimana sebuah
perusahaan
sedang
berusaha dipersepsikan. Nilai
mendasar
sebuah
merek
seringkali
merupakan
sekumpulan
asosiasinya dengan kata lain merupakan makna merek tersebut bagi khalayak. Asosiasi-asosiasi menjadi pijakan dalam keputusan-keputusan pembelian dan loyalitas merek. Menurut Simamora (2001), asosiasi merek yang menciptakan nilai bagi perusahaan dan para pelanggannya juga dapat digunakan untuk membantu
memproses
atau
menyusun
informasi;
membedakan
atau
memposisikan merek; membangkitkan alasan untuk membeli; menciptakan sikap atau perasaan positif; memberikan landasan bagi perluasan. Suatu produk memiliki asosiasi dalam benak konsumen. Bagi perusahaan, asosiasi merek merupakan bagian dalam memudahkan pemasaran produk. Aaker (1997) mengemukakan adanya 11 tipe asosiasi, yaitu: atribut produk; atribut tak berwujud; manfaat bagi pelanggan; harga relatif; penggunaan atau aplikasi; pengguna atau pelanggan; orang terkenal atau biasa; gaya hidup atau kepribadian; kelas produk; kompetitor; serta negara/wilayah geografis. Atributatribut tersebut nantinya akan membentuk citra merek (brand image) yang melekat pada suatu merek. Persepsi Kualitas Persepsi kualitas adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan ditinjau dari fungsinya secara relatif dengan produk-produk lain (Simamora 2001). Persepsi terhadap kualitas keseluruhan dari suatu produk atau jasa tersebut dapat menentukan nilai dari produk atau jasa tersebut dan berpengaruh langsung kepada keputusan pembelian dan loyalitas konsumen terhadap suatu merek. Persepsi kualitas tidak dapat ditetapkan secara objektif, karena akan melibatkan hal-hal apa saja yang dianggap penting bagi pelanggan. Sedangkan antara pelanggan yang satu dengan lainnya memiiki kepentingan yang relatif berbeda terhadap suatu produk atau jasa. Jika sebuah produk memiliki persepsi kualitas tinggi, banyak manfaat yang bisa diperoleh. Diungkapkan oleh Aaker (1991) bahwa umumnya perusahaan yang memiliki persepsi kualitas yang tinggi memiliki return of investment (ROI)
17
yang tinggi pula. Tanpa meneliti ROI pun, sebenarnya banyak manfaat yang diberikan persepsi kualitas (Durianto et al. 2001) yaitu: alasan membeli; diferensiasi dan pemosisian produk; harga optimum; minat saluran distribusi; serta perluasan merek. Langkah
pertama
dalam
meningkatkan
persepsi
kualitas
adalah
memampukan diri untuk memberikan kualitas tinggi. Meyakinkan para pelanggan bahwa kualitas suatu merek tinggi padahal sebenarnya tidak, sia-sia belaka jadinya. Jika pengalaman dalam penggunaan tidak sejalan dengan kualitas, maka persepsi sulit dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan kualitas tinggi (Durianto et al. 2001) yaitu: komitmen terhadap kualitas; budaya kualitas; masukan pelanggan; pengukuran atau sasaran atau standar; mengizinkan karyawan berinisiatif; serta harapan-harapan pelanggan. Terdapat beberapa dimensi yang mendasari penilaian persepsi kualitas terhadap produk antara lain: karakteristik produk; kinerja merek; feature (bagian tambahan atau elemen sekunder pada produk); kesesuaian dengan spesifikasi; keandalan; ketahanan; pelayanan; serta hasil akhir (fit and finish). Loyalitas Merek Loyalitas merek merupakan ukuran inti dari ekuitas merek. Menurut Aaker (1997), loyalitas merek merupakan satu ukuran keterkaitan seseorang pelanggan pada sebuah merek. Peter dan Olson (2003) memberikan definisi, loyalitas merek adalah komitmen hakiki dalam membeli ulang sebuah merek yang istimewa. Loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek (Durianto et al. 2001). Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk yang lain, terutama jika pada merek tersebut didapati ada perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lain. Loyalitas konsumen terhadap merek terdiri dari lima kategori yang memiliki tingkatan loyalitas mulai dari yang paling rendah sampai tertinggi yang membentuk piramida loyalitas merek. Lima tingkatan loyalitas merek, yaitu (Durianto et al. 2001): 1. Switcher atau price buyer merupakan tingkatan loyalitas yang paling dasar. Pembeli tidak loyal sama sekali terhadap suatu merek. Bagi pembeli tersebut, merek apapun dianggap memadai. Dalam hal ini merek memainkan peran yang kecil dalam keputusan pembelian. Apapun yang diobral atau menawarkan kenyamanan akan lebih disukai. Ciri yang paling
18
nampak dari jenis pelanggan ini adalah membeli suatu produk karena harga yang murah atau karena faktor insentif lain. 2. Habitual buyer adalah pembeli yang puas dengan produk, atau setidaknya tidak mengalami ketidakpuasan, dan membeli merek produk tertentu karena kebiasaan. Untuk pembeli seperti ini, tidak terdapat dimensi ketidakpuasan yang cukup untuk menstimulasi suatu peralihan merek terutama jika peralihan tersebut membutuhkan usaha, karena tidak ada alasan bagi mereka untuk memperhitungkan berbagai alternatif. 3. Satisfied buyer adalah orang-orang yang puas, namun mereka memikul biaya peralihan (switching cost), yaitu biaya dalam waktu, uang, atau resiko kinerja sehubungan dengan tindakan beralih merek. Mungkin mereka melakukan investasi dalam mempelajari suatu sistem yang berkaitan dengan suatu merek. Untuk menarik minat para pembeli yang termasuk dalam golongan ini, para kompetitor perlu mengawasi biaya peralihan dengan menawarkan bujukan untuk beralih atau dengan tawaran suatu manfaat yang cukup besar sebagai kompensasi. 4. Liking the brand adalah pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merekmerek tersebut. Preferensi mereka mungkin dilandasi pada suatu asosiasi, seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakan produk, atau persepsi kualitas yang tinggi. Mereka menganggap merek sebagai sahabat. 5. Committed buyer adalah pelanggan yang setia. Mereka mempunyai suatu kebanggaan dalam menemukan atau menjadi pengguna dari suatu merek. Merek tersebut sangat penting bagi mereka, baik dari segi fungsi maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Rasa percaya mereka mendorong mereka merekomendasikan merek tersebut kepada orang lain. Tiap tingkatan loyalitas merek mewakili tantangan pemasaran yang berbeda dan juga mewakili tipe aset yang berbeda dalam pengelolaan dan eksploitasinya. Tingkatan (hirarki) loyalitas merek yang disebutkan di atas, yaitu mulai dari switcher (tingkat yang paling rendah-dengan porsi yang paling besar), habitual buyer, satisfied buyer, liking of the brand, hingga committed buyer (tingkat paling tinggi-dengan porsi yang paling kecil) adalah sangat sesuai bagi merek yang belum memiliki ekuitas merek yang kuat (Gambar 4a). Sebaliknya bagi merek dengan ekuitas merek yang kuat, maka tingkatan atau hirarki
19
loyalitas merek dimulai dari switcher (tingkat yang paling rendah-dengan porsi yang paling kecil), habitual buyer, satisfied buyer, liking of the brand, hingga committed buyer (tingkat paling tinggi) dengan porsi yang paling besar (Gambar 4b).
b. Loyalitas merek lemah
a. Loyalitas merek kuat
Gambar 4 Piramida loyalitas merek. Loyalitas merek dan para pelanggan yang ada mewakili suatu strategic asset yang jika dikelola dan dieksploitasi dengan benar, mempunyai potensi untuk memberikan nilai seperti: mengurangi biaya pemasaran; meningkatkan perdagangan; memikat para pelanggan baru; serta memberi waktu untuk menanggapi ancaman-ancaman persaingan (Simamora 2001). Ekuitas merek yang kuat dapat dicapai dengan melakukan promosi besarbesaran, dengan konsekuensi perusahaan harus memikul biaya yang besar (Durianto et al. 2001). Adapun yang dimaksud dengan ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa, baik pada perusahaan maupun pada pelanggan. Sampo Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sampo merupakan sabun cair untuk mencuci rambut dan kulit kepala, terbuat dari campuran tumbuhan atau zat kimia.1 Pengertian lain dari sampo yaitu sediaan yang mengandung surfaktan dalam bentuk yang cocok, berguna untuk menghilangkan kotoran dan lemak yang melekat pada rambut dan kulit kepala, tidak membahayakan rambut, kulit kepala, dan kesehatan pemakai. 1.
(http://bahtera.org)
20
Semula sampo dibuat dari berbagai jenis bahan yang diperoleh dari sumber alam, seperti sari biji lerak, sari daging kelapa, dan sari abu merang (sekam padi). Sampo yang menggunakan bahan alam sudah banyak ditinggalkan, dan diganti dengan sampo yang dibuat dari detergen, yakni “zat sabun” sintetik, sehingga saat ini jika orang berbicara mengenai sampo yang dimaksud adalah sampo yang dibuat dari detergen. Fungsi utama dari sampo adalah membersihkan rambut dan kulit kepala, kotoran rambut termasuk ekskresi alami dari kulit, kulit kepala yang terkelupas, penumpukan kotoran dari lingkungan dan sisa dari produk perawatan rambut yang digunakan oleh konsumen. Setelah aksi pembersihan sempurna dapat memberikan kepuasan bagi pemakai. Sampo akan menghasilkan rambut yang lembut, berkilau, dan mudah diatur. Formulasi dari sampo dapat pula berupa campuran yang ditekankan untuk beberapa kemampuan khusus seperti meminimalkan rasa perih pada mata, mengontrol ketombe atau memberikan keharuman yang menarik untuk bau wangi yang dapat diterima. Fungsi sampo adalah untuk membersihkan lemak (seperti sebum) dan melapisi rambut dari kotoran tersebut yang terikat pada rambut dan kulit kepala. Evaluasi sampo berdasarkan kriteria keefektifan dari deterjen; kemampuannya berbusa dalam air sadah; kemampuan sampo untuk dapat terdistribusi pada rambut;
kemampuan
untuk
membersihkan
lemak;
keharuman
yang
menyenangkan; mudah untuk dibilas; kemampuan untuk memberikan busa dan kelembutan pada rambut; dan tidak mengiritasi.2 Agar sampo berfungsi sebagaimana disebutkan di atas, sampo harus memiliki sifat diantaranya sampo harus membentuk busa yang berlebih, yang terbentuk dengan cepat, lembut dan mudah dihilangkan dengan membilas dengan air; sampo harus mempunyai sifat detergensi yang baik tetapi tidak berlebihan, karena jika tidak kulit kepala menjadi kering; sampo harus dapat menghilangkan segala kotoran pada rambut, tetapi dapat mengganti lemak natural yang ikut tercuci dengan zat lipid yang ada di dalam komposisi sampo. Kotoran rambut yang dimaksud tentunya sangat kompleks yaitu sekret dari kulit, sel kulit yang rusak, kotoran yang disebabkan oleh lingkungan dan sisa sediaan kosmetika; tidak mengiritasi kulit kepala dan mata; sampo harus tetap stabil. Sampo yang dibuat transparan tidak boleh menjadi keruh dalam penyimpanan. Viskositas dan pH-nya juga harus tetap konstan, sampo harus
2.
(http://medicafarma.blogspot.com)
21
tidak
terpengaruh
oleh
wadahnya
ataupun
jasad
renik
dan
dapat
mempertahankan bau parfum yang ditambahkan ke dalamnya. Produk sampo yang dikenal konsumen merupakan jenis sampo cair atau biasa yang disebut dengan liquid shampoo. Sampo memiliki beberapa jenis sampo diantaranya sampo berbentuk lotion, sampo berbentuk krim pasta, sampo jenis jeli, sampo jenis aerosol serta sampo jenis bubuk. Sampo cair merupakan sampo yang mudah digunakan dan mudah ditemui bagi penggunanya. Berbagai varian produk sampo dimunculkan oleh produsen sampo. Penggunaan berbagai macam bahan sintesis atau bahan kimia dalam pembuatan sampo dimaksudkan untuk memberikan fungsi sampo sebagai pembersih pada bagian kulit kepala. Namun, penggunaan bahan sintesis secara berlebihan akan menyebabkan pengelupasan sel kulit mati berlebih sehingga dapat menimbulkan ketombe. Ketombe dengan nama ilmiah Pityriasis capitis (dandruff) merupakan pengelupasan kulit mati berlebih pada kulit kepala yang disebabkan oleh sejenis kapang (jamur) jenis Pytirosporum ovale yang banyak mengenai orang yang memiliki kulit berminyak. Pada perilaku normal, pengelupasan sel-sel kulit mati terjadi dalam jumlah yang sedikit. Ketombe dapat juga merupakan gejala infeksi kutu rambut bahkan kekurangan suatu zat mineral seperti zinc atau mineral seng. Bila ketombe yang terjadi merupakan akibat kekurangan mineral seng, hal ini dapat diatasi dengan menambah asupan mineral seng dari makanan seperti kacang-kacangan dan kerang-kerangan. Bila ketombe yang terjadi akibat jamur atau bakteri, dapat menggunakan sampo antiketombe yang dijual bebas. Sampo antiketombe merupakan sampo yang mengandung zat antiketombe untuk rambut berketombe atau untuk mencegah ketombe.3 Sampo antiketombe dapat dikelompokkan menurut kandungannya. Hal ini dapat dilihat dari penambahan formula antidandruff agent dalam jumlah kecil seperti sulfur, asam salisilat, resorsinol, selenium sulfida, dan zinc pyrithione. Antidandruff agent pada umumnya bersifat antimikroba.4 Sampo antiketombe dapat dikelompokkan menurut kandungannya. Sampo zinc pyrithione merupakan sampo yang mengandung zinc pyrithione yang merupakan agen antibakteri dan antijamur. Dapat mengurangi jamur di kulit kepala yang menyebabkan ketombe dan seborrheic dermatitis; sampo berbahan dasar ter merupakan sampo yang berasal dari ter batubara yang merupakan hasil dari proses pabrikasi batubara dapat membantu mengatasi ketombe, 3. 4.
(http://bahtera.org) (http://dprayetno.wordpress.com)
22
seborrheic dermatitis, dan psoriasis dengan cara memperlambat kematian sel kulit dan pengelupasan kulit kepala; sampo yang mengandung asam salisilat membantu menghilangkan lapisan ketombe, namun dapat menyebabkan kulit kepala menjadi kering; sampo selenium sulfida bekerja dengan memperlambat kematian sel kulit dan dapat mengurangi jamur malassezia; dan sampo ketoconazole merupakan agen antijamur berspektrum luas yang bisa jadi bekerja ketika sampo yang lain telah gagal.5 Remaja Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence). Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga kriteria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, 5.
(http://iwanmalik.wordpress.com)
23
dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Monks (1999) sendiri memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Berbeda dengan pendapat Hurlock (1999) yang membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal 13-16 tahun, sedangkan masa remaja akhir 1718 tahun. Penulis menetapkan dalam penelitian ini subjek yang dipakai adalah remaja awal yang masih berusia 15 sampai 18 tahun. Hal ini sesuai dengan perkembangan remaja dengan pikiran lebih abstrak dan dewasa sehingga mampu mengambil keputusan sendiri. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2007) dengan judul Analisis Perilaku Konsumen Wanita
dalam Pembelian
Shampo
Antiketombe
di
Kotamadya Bogor mengindikasikan bahwa televisi merupakan sumber informasi konsumen untuk mengetahui sampo antiketombe serta sebagai media yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli sampo antiketombe. Selain itu, penelitian ini membuktikan bahwa keputusan pembelian konsumen sampo antiketombe dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor keluarga, pengetahuan tentang produk dan gaya hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Fitriyana (2008) dengan judul Analisis Ekuitas Merek Laptop pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor mengindikasikan bahwa mahasiswa memiliki kesadaran yang tinggi terhadap merek laptop. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa loyalitas merek laptop yang diteliti membentuk piramida terbalik yang berarti memiliki ekuitas merek kuat. Selain itu, penelitian ini membuktikan bahwa pengetahuan penting dalam pengambilan keputusan sebelum pembelian.
24
Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2008) dengan judul Analisis Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Ekuitas Merek untuk Meningkatkan Minat Beli Ulang (Studi Kasus pada Kedai Kopi DÔME di Surabaya) mengindikasikan bahwa ekuitas merek dengan elemen kesadaran merek, citra merek, dan persepsi kualitas meningkatkan minat beli ulang bagi konsumen. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa promosi penjualan meningkatkan ekuitas merek. Selain itu, ekuitas merek dapat mempengaruhi pembelian di waktu sekarang atau di masa mendatang.