TINJAUAN PUSTAKA Menurut Fauzi (2006), sumber daya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Sumber daya itu sendiri memiliki dua aspek yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumber daya dimanfaatkan dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumber daya dan bagaimana teknologi digunakan. Dapat juga dikatakan bahwa sumber daya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Barang dan jasa yang dihasilkan tersebut seperti ikan, kayu, air bahkan pencemaran sekalipun dapat dihitung nilai ekonominya karena diasumsikan bahwa pasar itu eksis (market based), sehingga transaksi barang dan jasa tersebut dapat dilakukan. Sumber daya alam adalah semua yang terdapat di alam (kekayaan alam) yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Sumber daya alam terbagi dua yaitu sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati. Sumber daya alam hayati disebut juga sumber daya alam biotik yaitu semua yang terdapat di alam (kekayaan alam) berupa makhluk hidup. Sedangkan sumber daya alam non hayati atau sumber daya alam abiotik adalah semua kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia berupa benda mati (Ramathan, 1997). Air merupakan kebutuhan utama bagi setiap insan di permukaan bumi baik manusia, hewan, maupun tumbuh tumbuhan. Setiap kegiatan mereka tidak lepas dari kebutuhan akan air, bahkan segala sesuatu yang hidup berasal dari air. Tubuh manusia itu sendiri, lebih dari 70% tersusun dari air, sehingga ketergantungannya akan air sangat tinggi. Manusia membutuhkan air yang cukup untuk memenuhi
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan pertanian, industri, maupun kebutuhan domestik, termasuk air bersih. Hal ini berarti bahwa pertambahan jumlah penduduk yang terus menerus terjadi, membutuhkan usaha yang sadar dan sengaja agar sumber daya air dapat tersedia secara berkelanjutan (Cholil, 1998). Sumber daya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung juga dapat menghasilkan jasajasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan dan sebagainya. Manfaat tersebut sering kita sebut sebagai manfaat fungsi ekologis yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai dari sumber daya. Nilai tersebut tidak saja nilai pasar barang yang dihasilkan dari suatu sumber daya melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh sumber daya tersebut (Fauzi, 2006). Secara umum, willingness to pay (WTP) atau kemauan/keinginan untuk membayar didefinisikan sebagai jumlah yang dapat dibayarkan seorang konsumen untuk memperoleh suatu barang atau jasa. Zhao & Kling (2005) menyatakan bahwa WTP adalah harga maksimum dari suatu barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada waktu tertentu. Sedangkan Horowith & McConnell (2001) menekankan pengertian WTP pada berapa kesanggupan konsumen untuk membeli suatu barang. WTP itu sebenarnya adalah harga pada tingkat konsumen yang merefleksikan nilai barang atau jasa dan pengorbanan untuk memperolehnya (Simonson & Drolet, 2003). Disisi lain, WTP ditujukan untuk mengetahui daya beli konsumen berdasarkan persepsi konsumen. Dinauli (1999) diacu dalam Nababan dan Simanjuntak (2008)
Universitas Sumatera Utara
Untuk memahami konsep WTP konsumen terhadap suatu barang atau jasa harus dimulai dari konsep utilitas, yaitu manfaat atau kepuasan karena mengkonsumsi barang atau jasa pada waktu tertentu. Setiap individu ataupun rumah tangga selalu berusaha untuk memaksimumkan utilitasnya dengan pendapatan tertentu, dan ini akan menentukan jumlah permintaan barang atau jasa yang akan dikonsumsi. Permintaan diartikan sebagai jumlah barang atau jasa yang mau atau ingin dibeli atau dibayar (willingness to buy or willingness to pay) oleh konsumen pada harga tertentu dan waktu tertentu (Perloff, 2004). Utilitas yang akan didapat oleh seorang konsumen memiliki kaitan dengan harga yang dibayarkan yang dapat diukur dengan WTP. Sejumlah uang yang ingin dibayarkan oleh konsumen akan menunjukkan indikator utilitas yang diperoleh dari barang tersebut (PSE-KB UGM (2002) diacu dalam Nababan dan Simanjuntak (2008) Secara teoritik, Hokby & Sodergvist (2001) dan Anstine (2001) mengemukakan bahwa metode WTP dibuat untuk menunjukkan pilihan-pilihan antara kombinasi harga dan kuantitas yang berbeda, dimana utilitasnya dapat dimaksimumkan oleh seorang individu atau konsumen. Dengan menggunakan fungsi permitaan Marshallian, mereka mengemukakan hubungan antara utilitas dan WTP. Jasa Lingkungan Jasa lingkungan adalah produk sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berupa manfaat langsung (tangible) dan manfaat tidak langsung (intangible) yang meliputi antara lain jasa wisata alam/rekreasi, jasa perlindungan tata air/hidrologi,kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan,
Universitas Sumatera Utara
keunikan, keanekaragaman hayati, penyerapan dan penyimpanan karbon (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten, 2006). Jasa lingkungan yang ada saat ini suatu saat nanti akan mengalami penurunan kualitas. Salah satu instrumen ekonomi yang dapat mengatasi penurunan kualitas lingkungan dalam penelitian ini adalah pembayaran jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan adalah suatu transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa lingkungan yang perlu dilestarikan dengan cara memberikan nilai oleh penerima manfaat kepada penerima manfaat jasa lingkungan (Wunder, 2005). Fungsi Jasa Lingkungan Menurut Wunder (2005), suatu ekosistem menyediakan suatu jasa lingkungan yang memiliki empat fungsi penting yaitu : 1. Jasa penyediaan (provising services), jasa penyediaan yang dimaksud disini adalah penyediaan sumber daya alam berupa sumber bahan makanan, obatobatan alamiah, sumber daya genetik, kayu bakar, serat, air, mineral dan lain-lain. 2. Jasa pengaturan (regulating services), jasa pengaturan yang dimaksud disini adalah jasa lingkungan memiliki fungsi menjaga kualitas udara, pengeturan iklim, pengaturan air, pengontrol erosi, pengaturan untuk menjernihkan air, pengaturan pengelolaan sampah, pengaturan untuk mengontrol penyakit, pengaturan untuk mengurangi resiko yang menghambat perbaikan kualitas lingkungan dan lain-lain. 3. Jasa kultural (cultural services), jasa cultural yang dimaksud disini adalah jasa lingkungan sebagai identitas dan keragamana budaya, nilai-nilai religious
Universitas Sumatera Utara
dan spiritual, pengetahuan, inspirasi, nilai estetika, hubungan sosial, rekreasi, dan lain-lain. 4. Jasa pendukung (supporting services), jasa pendukung yang dimaksud disini adalah jasa lingkungan sebagai produksi utama yang memproduksi oksigen. Produk jasa lingkungan hutan atau kawasan konservasi umumnya dibagi dalam 4 (empat) kategori berupa (Wunder, 2005) : 1) Penyerap dan penyimpangan karbon (carbon sequestration and storage) 2) Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection) 3) Perlindungan daerah aliran sungai (watershed protection) 4) Keindahan bentang alam (landscape beauty) Terkait dengan pemanfaatan air, hutan memberikan jasa lingkungan manfaat berupa memperbaiki kualitas air dengan mengurangi sedimentasi dan erosi, mengatur aliran dan supply air melalui kemampuan penyerapan, mengisi air bawah tanah dan menyimpannya, mencegah dan mengurangi bencana akibat air seperti banjir, menahan air hujan pada sistem pengakaran selama musim hujan dan secara perlahan melepaskan air selama musim kemarau. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Menurut Nahib (2006) Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Sumberdaya alam (baik renewable dan non renewable) merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya tersebut akan berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi (Fauzi, 2004). Menurut Sudarna (2007), produk jasa yang dapat dihasilkan dari ekosistem hutan seperti air, keindahan dan kapasitas asimilasi lingkungan mempunyai
Universitas Sumatera Utara
manfaat yang besar sebagai penunjang kehidupan yang mampu mendukung dan menggerakkan sektor ekonomi lainnya. Di sisi lain produk jasa itu sendiri dapat dinilai hingga memperoleh nilai ekonomi. Nilai suatu sumberdaya alam terbagi menjadi nilai manfaat (use values) dan nilai tak termanfaatkan (non use values). Nilai manfaat sumberdaya alam (misal hutan) terdiri dari manfaat langsung (direct use value) seperti kayu, manfaat tidak langsung (indirect use value) seperti jasa lingkungan dan manfaat pilihan (option use value). Penentuan nilai ekonomi lingkungan merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat sumberdaya alam. Maka valuasi ekonomi dengan menggunakan nilai uang akan dapat menunjukkan nilai indikasi penerimaan dan kehilangan
manfaat
atau
kesejahteraan
akibat
kerusakan
lingkungan
(Tampubolon, 2008). Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan dalam menentukan nilai sumber daya karena konsep biaya dan manfaat sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya (Fauzi, 2006). Oleh karena itu lahirlah pemikiran konsep valuasi ekonomi, khususnya valuasi non-pasar (nonmarket valuation).
Universitas Sumatera Utara
Willingness to Pay atau kesediaan untuk membayar adalah kesediaan individu untuk membayar terhadap suatu kondisi lingkungan atau penilaian terhadap sumberdaya alam dan jasa alami dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan (Hanley dan Spash, 1993). Mekanisme pasar dapat dibedakan menjadi tiga kategori besar: kesepakatan yang diatur sendiri (self-organized private agreements), skema pembayaran publik (public payment schemes) dan skema pasar terbuka (open trading schemes). Dalam setiap kategori ditemukan beragam mekanisme pasar menurut tingkat keterlibatan publik di dalamnya. Transaksi-transaksi yang termasuk di dalam kesepakatan biasanya bersifat tertutup, antar pihak-pihak yang memperoleh manfaat dan yang menjadi penyedia jasa lingkungan. Karena jasa DAS seringkali dianggap "barang publik", maka skema pembayaran publik merupakan mekanisme finansial yang paling sering dimanfaatkan untuk melindungi jasa DAS. Skema pasar terbuka merupakan skema yang paling jarang diterapkan dibandingkan dengan kedua mekanisme lainnya dan cenderung lebih banyak diterapkan di negara-negara yang sudah maju. Pemerintah mendefinisikan dan menentukan batas-batas komoditas jasa yang dapat diperjual belikan. Lalu dibuat regulasi yang dapat menciptakan munculnya permintaan. Dalam hal ini, diperlukan kerangka regulasi yang kuat. Di sisi lain, setiap sistem perdagangan kredit yang berbasis pasar mempersyaratkan kerangka transparansi, penghitungan yang akurat, dan sistem verifikasi (Purwanto, 2003). Dengan adanya peningkatan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya air secara terpadu maka diharapkan PJL yang sebelumnya baru diterapkan pada taraf perusahaan maka akan dapat diterapkan pula pada taraf
Universitas Sumatera Utara
masyarakat pedesaan. Sebelum adanya realisasi dari pelaksanaan PJL pada taraf masyarakat sebaiknya terlebih dahulu dilakukan penetapan pihak penyedia jasa lingkungan beserta lokasi penyedia jasa lingkungan kemudian pembentukan kelembagaan serta aturan-aturan yang mengatur mekanisme PJL (Merryna,2009). Metode Penilaian Nilai Jasa Lingkungan Metode penilaian ekonomi terhadap barang lingkungan sampai saat ini telah berkembang sekitar 15 jenis metode menurut Yakin (1997). Diantaranya adalah the Dose-Response Method (DRM), Hedonic Price Method (HPM), Travel Cost Method (TCM), dan the Averting Behaviour Method (ABM). Namun, yang paling populer saat ini adalah Contingent Valuation Method (CVM) dan superior karena bisa mengukur dengan baik nilai penggunaan (use values) dan nilai dari non pengguna (non use values). Contingent Valuation Method (CVM) Menurut Fauzi (2006), metode CVM ini sangat tergantung pada hipotesis yang akan dibangun. Misalnya, seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebagainya. Metode CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu teknis eksperimental melalui simulasi dan teknik survei. Metode CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif sumber daya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaaan. Metode CVM pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar dari masyarakat terhadap perbaikan lingkungan dan keinginan menerima kompensasi dari kerusakan lingkungan. Contingent Valuation Method (CVM) adalah metode teknik survei untuk menanyakan kepada penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan
Universitas Sumatera Utara
terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan (Yakin, 1997). CVM menggunakan pendekatan secara langsung yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat berapa besarnya Willingness to Pay (WTP) untuk manfaat tambahan dan/atau berapa besarnya Willingness to Accept (WTA) sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan. Dalam penelitian ini, pendekatanyang digunakan adalah pendekatan WTP. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati dari barang-barang lingkungan jika pasar dari barang-barang tersebut benar-benar ada. Oleh karena itu, pasar hipotetik (kuisioner dan responden) harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik komoditas yang ditanyakan dalam kuisioner. Responden juga harus mengenal alat hipotetik yang digunakan untuk pembayaran. Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM) Penggunaan CVM dalam memperkirakan nilai ekonomi suatu lingkungan memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut : 1. Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting yaitu seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat dan dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan. 2. Dapat digunakan dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat. 3. Dibandingkan dengan teknik penilaian lingkungan lainnya, CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non-pengguna. Dengan CVM, seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang lingkungan bahkan jika tidak digunakan secara langsung.
Universitas Sumatera Utara
4. Meskipun teknik dalam CVM membutuhkan analisis yang kompeten, namun hasil dari penelitian menggunakan metode ini tidak sulit untuk dianalisis dan dijabarkan. Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM) Teknik CVM memiliki kelemahan yaitu munculnya berbagai bias dalam pengumpulan data. Bias dalam CVM menurut Hanley dan Spash (1993) terdiri dari : 1. Bias Strategi (Strategic Bias) Adanya responden yang memberikan suatu nilai WTP yang relatif kecil karena alasan bahwa ada responden lain yang akan membayar upaya peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi kemungkinan dapat terjadi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan mendorong responden untuk memberikan nilai WTP yang benar. Mitchell dan Carson (1989) diacu dalam Hanley dan Spash (1993) menyarankan empat langkah untuk meminimalkan bias strategi yaitu : a) Menghilangkan seluruh pencilan (outliner) b) Penekanan bahwa pembayaran oleh responden adalah dapat dijamin c) Menyembunyikan nilai tawaran responden lain d) Membuat perubahan lingkungan bergantung pada nilai tawaran Sedangkan Hoehn dan Randall (1987) diacu dalam Hanley dan Spash (1993) menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan format referendum terhadap nilai WTP yang terlalu tinggi.
Universitas Sumatera Utara
2. Bias Rancangan (Design Bias) Rancangan studi CVM mencakup cara informasi yang disajikan, instruksi yang diberikan, format pertanyaan, dan jumlah serta tipe informasi yang disajikan kepada responden. 3. Bias yang Berhubungan dengan Kondisi Kejiwaan Responden (Mental Account Bias) Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam periode waktu tertentu. 4. Kesalahan Pasar Hipotetik (Hypotetical Market Error) Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTP yang dihasilkan menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias pasar hipotetik bergantung pada : a) Bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei. b) Seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi. c) Bagaimana format WTP yang digunakan. Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari responden.
Universitas Sumatera Utara