TINJAUAN PUSTAKA
Keawetan Alami Kayu Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi organisme yang bersangkutan (Duljapar, 1996). Menurut Anonim (1998), keawetan alami kayu ini ditentukan oleh ada dan tidaknya zat ekstraktif dan banyak sedikitnya bahan phenol dari zat ekstraktif tersebut yang ditimbun pada dinding sel, selain faktor ketebalan dan kerapatan sel yang menyusunnya. Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai lama. Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam – macam faktor perusak kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian kayu terasnya, sedangkan kayu gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur pemakaiannya. Kayu, yang awet dipakai dalam konstruksi atap, belum pasti dapat bertahan lama bila digunakan di laut, ataupun tempat lain yang berhubungan langsung dengan tanah. Demikian pula kayu yang dianggap awet di Eropa, belum tentu awet bila dipakai di Indonesia. Serangga perusak kayu juga berpengaruh besar. Kayu yang mampu menahan serangan rayap tanah belum tentu mampu menahan serangan bubuk. Oleh karena itu tiap-tiap jenis kayu mempunyai keawetan yang berbeda pula (Dumanaw, 1993). Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu dalam konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan
Universitas Sumatera Utara
kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila kontruksi terebut akan berumur beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi, meskipun suatu jenis kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas awetnya rendah (Tim Elsppat, 1997). Suranto (2002), memaparkan bahwa tiap-tiap kelas keawetan itu memberi gambaran tentang umur kayu dalam pemakaian. Secara utuh klasifikasi keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 1. dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Klasifikasi Keawetan Kayu Kelas Keawetan
Kualifikasi Keawetan
Umur Pemakaian Rata-rata (tahun)
1
Sangat awet
>8
2
Awet
5–8
3
agak awet
3–5
4
tidak awet
1.5 – 3
5
sangat tidak awet
< 1.5
Sumber: Suranto (2002).
Tabel 2. Pengaruh Kondisi Lingkungan Terhadap Umur Pakai Kayu pada Setiap Kelas Keawetan Kayu No
Kondisi
Umur Pakai
(tahun)pada
Kelas
Keawetan
Pemakaian
1
2
3
4
5
8
5
3
Pendek
Sangatpendek
2
Terbuka Dinaungi saja
20
15
10
Beberapa
Pendek
3
Dinaungi
Tidak
Tidak
Sangat
Beberapa
Pendek
dan dicat
terbatas
terbatas
panjang
Dinaungi dan dipelihara
Tidak
Tidak
Sangat
20
20
terbatas
terbatas
panjang
1
4
Sumber: Suranto (2002).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat juga selain faktor biologis, terdapat faktor lain yang mempengaruhi keawetan kayu. Terlihat jelas pada tempat kayu tersebut dipakai. Kayu yang awet jika dipakai di bawah atap belum tentu akan awet bila dipakai di luar dan berhubungan dengan tanah lembab. Kayu yang dipakai di daerah pegunungan tinggi keawetannya akan berkurang jika dipakai di dataran rendah. Demikian juga kayu yang diawetkan di Amerika Utara belum tentu akan tahan lama jika dipakai di daerah tropis. Keawetan kayu selain dipengaruhi faktor biologis, juga dipengaruhi faktor lain seperti, kandungan zat eksraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang, kecepatan tumbuh dan tempat kayu tersebut dipergunakan (Tim Elsppat, 1997). Hal yang sama ditambahkan oleh Haygreen dan Bowyer (1996), apabila kayu secara alami dapat tahan terhadap serangan cendawan dan serangga disebabkan karena sebagian zat ekstraktif bersifat racun atau paling tidak menolak jamur pembusuk dan serangga. Selain itu menurut Tim Elsppat (1997), faktor suhu, kelembaban udara dan faktor fisik lainnya akan ikut mempengaruhi kegiatan organisme perusak kayu tersebut.
Keterawetan Kayu Keterawetan merupakan suatu sifat yang dimiliki kayu terhadap mudah tidaknya ditembus bahan pengawet kayu. Keterawetan kayu juga dipengaruhi oleh fakor anatomi kayu berupa rapat tidaknya susunan sel, ada tidaknya timbunan bahan dalam isi sel, besar kecilnya lubang pori dan adanya getah atau saluran damar serta noktah. Kayu yang rapat dan padat keterawetannya tinggi yaitu kelas I contohnya pada kayu ulin dan kayu besi/kayu eboni, kelas II contohnya bangkirai,
Universitas Sumatera Utara
kamper singkil. Kayu-kayu ini memang sudah awet sehingga kurang perlu diawetkan (Anonim, 1994). Menurut Suranto (2002), keterawetan kayu adalah ukuran yang menggambarkan mudah tidaknya kayu diresapi dan dimasuki bahan pengawet. Kayu yang semakin mudah dimasuki bahan pengawet, dikatakan bahwa kayu itu mempunyai keterawetan tinggi. Sebaliknya kayu yang semakin sukar dimasuki bahan pengawet, disebut sebagai kayu yang mempunyai keterawetan rendah. Dengan demikian, keterawetan kayu menyangkut masalah ketahanan kayu terhadap arus masuknya bahan pengawet ke dalam kayu. Kayu yang mempunyai derajat keterawetan tinggi berarti kayu itu mudah diawetkan sehingga kayu itu dapat diawetkan dengan hasil memuaskan, meskipun dengan metode sederhana atau pengawetan tanpa tekan. Sebaliknya, kayu yang mempunyai keterawetan rendah, maka kayu tersebut sangat sukar untuk diawetkan dengan proses pengawetan sederhana. Oleh karena itu, kayu demikian harus diawetkan dengan metode pengawetan yang
menerapkan proses
penghampaan yang kemudian diikuti dengan proses penekanan (Suranto, 2002). Jenis-jenis kayu yang mempunyai keterawetan hampir sama dapat diawetkan secara bersama-sama dengan menggunakan metode dan skema pengawetan yang sama pula. Namun sayang, kita sulit mendapatkan kayu-kayu yang mempunyai keterawetan sama, apalagi bila kayu itu berasal dari jenis berbeda. Pada umumnya, keterawetan kayu berbeda-beda antara jenis kayu yang satu terhadap jenis kayu yang lain. Keterawetan kayu ditentukan oleh empat hal, yaitu jenis kayu, kondisi kayu yang diawetkan, metode pengawetan dan bahan pengawet yang digunakan dalam proses pengawetan (Suranto, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Aspek Pengawetan Kayu Menurut Hunt dan Garrat (1986), pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia ke dalam kayu dengan tujuan melindungi kayu atau memperpanjang umur pakai kayu. Suranto (2002) mengemukakan bahwa pengawetan kayu adalah suatu usaha yang bertujuan untuk melindungi dan menghindarkan kayu dari berbagai serangan unsur-unsur biologi dan lingkungan yang merusak kayu sehingga umur kayu dalam pemakaiannya menjadi lebih panjang. Menurut Hunt dan Garrat (1986), ada empat faktor utama yang mempengaruhi hasil pengawetan, yaitu: 1. Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan dan sebagainya. 2. Keadaan kayu pada waktu dilakukan pengawetan, antara lain kadar air, bentuk kayu, gubal/teras dan sebagainya. 3. Metode pengawetan yang digunakan. 4. Sifat bahan pengawet yang dipakai. Beberapa kayu dapat diresapi bahan pengawet dengan mudah, yang lain mungkin cukup mudah mengabsorbsi bahan pengawet, yang lain lagi sangat sukar untuk diawetkan. Dalam beberapa peristiwa sebab yang tepat dari perbedaanperbedaan dalam peresapan ini tidak jelas. Dalam peristiwa lain variasinya telah diketahui berasosiasi paling tida0k sebagian karena perbedaan anatomi yang nyata antara kayu-kayu yang bersangkutan. Juga sangat mungkin, bahwa sifat-sifat fisika dan kimia kayu memegang peranan yang penting dalam menentukan
Universitas Sumatera Utara
kepekaan
terhadap
pengawetan
dari
masing-masing
spesies
(Hunt dan Garrat, 1986). Umumnya dapat dikatakan bahwa kayu gubal dapat diimpregnasi jauh lebih mudah dari pada kayu teras. Kelebihan kayu gubal dibanding sengan kayu teras paling tidak sebagian, disebabkan karena perubahan anatomi, fisika atau kimia yang terjadi ketika kayu gubal berubah menjadi kayu teras. Perubahan ini disertai oleh matinya sel-sel hidup dari kayu gubal dan akumulasi yang berangsurangsur dari resin, getah, tanin dan lain-lain yang memberikan warna tertentu dalam kayu teras dari banyak spesies dan jika beracun zat-zat ini menaikkan keawetan alaminya (Hunt dan Garrat, 1986).
Bahan Pengawet Kayu Bahan pengawet kayu adalah suatu senyawa (bahan) kimia, baik berupa bahan tunggal maupun campuran dua atau lebih bahan, yang dapat menyebabkan kayu yang digunakan secara benar akan mempunyai ketahanan terhadap serangan cendawan, serangga dan perusak-perusak kayu lainnya (Suranto, 2002). Setiap bahan pengawet mengandung racun yang berguna untuk meracuni organisme perusak kayu. Daya racun dari setiap bahan pengawet sangat mempengaruhi hasil pengawetan. Suranto (2002), menyatakan bahwa kemanjuran (efektivitas) bahan pengawet bergantung pada toksisitas terhadap organisme perusak kayu atau organisme yang berlindung di dalam kayu. Semakin tinggi kemampuan meracuni organisme perusak kayu, semakin manjur dan semakin efektif pula bahan pengawet itu digunakan untuk mengawetkan kayu.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Duljapar (1996), syarat bahan pengawet yang baik diantaranya: 1. Memiliki daya penetrasi yang cukup tinggi 2. Memiliki daya racun ampuh 3. Bersifat permanen 4. Aman dipakai 5. Tidak bersifat korosif terhadap logam 6. Bersih dalam pemakaian 7. Tidak mengurangi sifat baik kayu 8. Tidak mudah terbakar 9. Mudah diperoleh dengan harga murah Nicholas
(1988)
mengemukakan
secara
umum
bahan
pengawet
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang sifat, kandungan bahan aktif dan harga yang beredar di pasaran sangat beragam yaitu: 1. Bahan pengawet berupa minyak 2. Bahan pengawet yang larut dalam minyak 3. Bahan pengawet larut air.
Bahan Pengawet Asam Borat Asam borat dan boraks dapat digunakan secara terpisah maupun bersamasama (dicampur) untuk mengawetkan kayu agar terhindar dari cendawan dan serangga perusak kayu. Harganya relatif murah sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi sebagai bahan pengawet kayu. Meskipun demikian, bahan pengawet asam borat ini mudah mengalami pelunturan. Oleh karena itu, bahan pengawet ini hanya dianjurkan untuk digunakan dalam pengawetan kayu untuk konstruksi
Universitas Sumatera Utara
rumah (misal rangka atap) dan tidak dianjurkan untuk kayu yang dalam penggunaannya berhubungan dengan tanah atau kondisi lembab (misalnya pagar). Sifat yang alkalis membuat boraks dan asam borat sangat korotif terhadap paku atau besi lain yang bersinggungan dengannya. Sebagai bahan pengawet, asam borat digunakan dalam konsentrasi 6%-10% (Suranto,2002). Menurut Duljapar (1996), bahan pengawet larut air mempunyai kelebihan antara lain: 1. Harganya murah 2. Mudah diperoleh 3. Tidak berbau 4. Tidak berwarna (bersih dalam pemakaian) 5. Tidak mudah terbakar Menurut Hunt dan Garrat (1986), bahan pengawet larut air ini juga mengandung kelemahan sebagai berikut: 1. Kayu yang diawetkan akan memuai ukuran dimensi pajang, lebar dan tebalnya. 2. Air sebagai bahan pelarut akan membasahi kayu sehingga untuk penggunaan tertentu kayu harus dikeringkan lagi, sementara itu proses pengeringan ini akan menyusutkan kembali ukuran kayu. 3. Bahan pengawet ini tidak memberi perlindungan kayu terhadap pelapukan dan keausan mekanis. 4. Bahan pengawet ini lebih mudah luntur, terurai dan semakin lama akan berkurang kadarnya pada kayu yang diawetkan apabila kayu ini digunakan dalam kondisi yang berhubungan dengan air atau tanah basah.
Universitas Sumatera Utara
Metode Pengawetan Kayu (Perendaman) Pengawetan dengan metode perendaman dilakukan dengan merendam kayu di dalam bahan pengawet larut air pada suhu kamar. Pemanasan bahan pengawet sedikit di atas suhu kamar akan membuat proses pengawetan lebih efektif. Apabila cara ini diterapkan pada kayu kering, baik air maupun bahan pengawetnya akan masuk ke dalam kayu. Tetapi dengan kayu-kayu segar hanya sedikit air yang masuk, dan sebagian besar absorbsinya berlangsung dengan difusi garam dari larutan pengawet ke dalam air yang sudah ada di dalam kayu. Penetrasi pada kayu kering lebih baik daripada kayu segar, apalagi bila setelah diangkat dari rendaman kayu itu disusun rapat. Selama kayu itu masih basah, bahan pengawet akan tersebar secara difusi untuk menjangkau setiap bagian kayu, walaupun kayu telah diangkat dari rendaman. Meskipun demikian penetrasi bahan pengawet ini hanya berkisar 3-6 mm (Suranto, 2002). Absorbsi bahan pengawet ke dalam kayu paling intensif terjadi sejak hari pertama dengan hari ketiga terhitung sejak awal perendaman. Tetapi akan terus berlangsung terus dengan lebih lambat selama waktu yang tak tertentu. Oleh karena itu makin lama bahan pengawet dapat tetap dalam kayu makin baik pengawetan yang diperoleh. Apabila perendaman ini berlangsung cukup lama, absorbsi dan peresapannya akan sama, atau bahkan melebihi yang diperoleh pada proses bertekanan. Tetapi ini memerlukan perendaman bulanan, atau bahkan dalam tahunan (Hunt dan Garrat, 1986). Di dalam bak pengawet, kayu tidak boleh terapung, tetapi harus tenggelam, bahan kayu gergajian harus disusun secara baik dan jarak antar (tumpukan) kayu yang berdampingan harus cukup lebar. Susunan demikian
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan untuk memberi jalan bagi udara yang keluar dari dalam kayu (Suranto, 2002).
Keberhasilan Pengawetan Kayu Meskipun keefektifan dan ekonomisnya suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur pakai kayu yang bersangkutan, kriteria yang langsung dari cukupnya suatu perlakuan adalah jumlah bahan pengawet yang diabsorbsi dalam kayu dan dalamnya penetrasi (Nicholas, 1988). Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang juga ikut menentukan keberhasilan pengawetan. Suranto (2002) mengemukakan derajat pengawetan kayu diukur dengan tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet. Retensi Menurut Suranto (2002), retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan. Semakin banyak jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu. Dengan demikian, retensi bahan pengawet dinyatakan dalam satuan gram/cm3 atau kg/m3. Sebagai catatan, kayu perlu diawetkan dengan retensi yang berbeda-beda, bergantung pada kondisi pemanfaatan kayu yang telah diawetkan. Bila kayu itu akan digunakan di dalam ruangan (interior), retensinya dapat kurang dari 8 kg/m3.
Universitas Sumatera Utara
bila kayu itu akan digunakan di luar ruangan (eksterior) dan tidak bersentuhan dengan tanah, retensi bahan pengawet minimal 8 kg/m3. Namun bila kayu digunakan dalam kondisi bersentuhan dengan tanah maka perlu diawetkan dengan retensi 12 kg/m3. Kayu yang digunakan dalam lingkungan yang basah dan lembab, pengawetannya perlu dilakukan dengan retensi 16 kg/m3 (Suranto, 2002). Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedang pada absorbsi yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu. Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut bahan pengawet (Suranto,2002). Dengan
demikian,
perhitungan
retensi
dapat
dilakukan
dengan
melanjutkan perhitungan yang dilakukan dalam menghitung absorbsi. Setelah ditemukan volume cairan yang terabsorbsi ke dalam kayu, maka volume tersebut dikalikan dengan konsentrasi bahan pengawet murni. Hasilnya merupakan jumlah bahan pengawet murni yang ada di dalam kayu (Suranto, 2002). Penetrasi Penetrasi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan kedalaman bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Semakin dalam suatu bahan pengawet dapat memasuki kayu, penetrasi pengawetannya dikatakan semakin dalam. Sebaliknya semakin dangkal bahan pengawet memasuki bagian dalam kayu, penetrasi bahan pengawet ini juga dikatakan semakin dangkal. Apabila penetrasi ini sangat dalam, derajat pengawetan kayu dikatakan sebagai sangat tinggi (Suranto, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Duljapar (1996), tingkat penetrasi bahan pengawet ke dalam kayu di kategorikan atas lima kelas sebagai berikut: 1. Penetrasi total (kelas A) Pada penetrasi ini, bahan pengawet dapat memasuki seluruh sel-sel kayu secara semprna. Penetrasi ini memang sulit dicapai. 2. Penetrasi mendekati sempurna (kelas B) Bahan pengawet dalam penetrasi ini dapat menembus kedalaman 30 mm pada permukaan kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 100 mm pada bagian ujung-ujungnya. 3. Penetrasi dalam (kelas C) Bahan pengawet dapat terpenetrasi sampai kedalaman 10 mm pada bagian tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 50 mm pada bagian ujungujungnya. 4. Penetrasi sedang (kelas D) Pada penetrasi sedang, sekurang-kurangnya mencapai kedalaman 1mm pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 10 mm pada bagian ujung-ujung kayu. 5. Penetrasi permukaan Sekurang-kurangnya bahan pengawet dapat menembus kedalaman 0,5 mm pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 2 mm pada bagian ujung-ujungnya.
Universitas Sumatera Utara
Rayap Sebagai Organisme Perusak Kayu Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera dan terutama terdapat di daerah-daerah tropika. Di Indonesia rayap tegolong kedalam kelompok serangga perusak kayu utama. Kerusakan akibat serangan rayap tidak kecil. Binatang kecil yang tergolong kedalam binatang sosial ini, mampu menghancurkan bangunan yang berukuran besar dan dan menyebabkan kerugian yang besar pula (Tambunan dan Nandika, 1989). Rayap adalah penghuni utama dari daerah-daerah berhutan, yang memperoleh sebagian besar dari makanannya darimpohon-pohon yang tumbang dan cabang-cabang, serta dari tunggak dan akar-akar yang mati. Tetapi dengan perkembangan penduduk dan penebangan daerah-daerah berkayu untuk pemukiman dan tujuan-tujuan penelitian, rayap ini banyak tertarik pada bangunan-bangunan dan barang-barang yang terbuat dari kayu. Karena kayu dan tanaman mengandung selulosa yang tinggi, kedua bahan tersebut selalu menjadi mangsa rayap yang utama (Tambunan dan Nandika, 1989). Dalam siklus hidupnya, rayap mengalami metamorfosis bertahap atau gradual (hemimetabola), dari telur kemudian nimfa sampai menjadi dewasa. Setelah menetas dari telur, nimfa akan menjadi dewasa melalui beberapa instar (bentuk diantara dua tahap perubahan). Perubahan yang gradual ini berakibat terhadap kesamaan bentuk badan secara umum, cara hidup dan jenis makanan antara nimfa dan dewasa. Namun, nimfa yang memiliki tunas, sayapnya akan tumbuh sempurna pada instar terakhir ketika rayap telah mencapai tingkat dewasa (Prasetiyo dan yusuf, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Tambunan dan Nandika (1989), menjelaskan dalam setiap koloni terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masing-masing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif (reprodukif primer dan reproduktif suplementer). Dalam penggolongan ini, bentuk (morfologi) dari setiap kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai berikut : •
Kasta pekerja Kasta pekerja mempunyai anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk
seperti nimfa dan berwarna pucat dengan kepala hypognat tanpa mata facet. Mandibelnya relatif kecil bila dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya adalah sebagai pencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang. •
Kasta prajurit Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya yang besar dan
dengan sklerotisasi yang nyata. Anggota-anggota dari pada kasta ini mempunyai mandible atau restrum yang besar dan kuat. Berdasarkan pada bentuk kasta prajuritnya, rayap dibedakan atas dua kelompok yaitu tipe mandibulate dan tipe nasuti. Pada tipe mandibulate prajurit-prajuritnya mempunyai mandibel yang kuat dan besar tanpa rostrum, sedangkan tipe nasuti prajurit-prajuritnya mempunyai rostrum yang panjang tapi mandibelnya kecil. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar. •
Kasta reproduktif
Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu).bila masa perkawinan telah tiba, imagoimago ini terbang keluar dari sarang dalam jumlah yang besar. Saat seperti ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago (jantan dan betina) bertemu dan segera meninggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai di dalam tanah atau kayu. Semasa hidupnya kasta reproduktif (ratu) bertugas menghasilkan telur,sedangkan makanannya dilayani oleh para pekerja. Borror et al (1996) menambahkan apabila terjadi bahwa raja dan ratu mati atau bagian dari koloni dipisahkan dari koloni induk, kasta reproduktif tambahan terbentuk di dalam sarang dan mengambil alih fungsi raja dan ratu. Menurut Tambunan dan Nandika (1989),berdasarkan habitatnya, rayap dibagi ke dalam beberapa golongan diantaranya: •
Rayap kayu basah (dampwood termite) adalah golongan rayap yang biasa menyerang kayu-kayu busuk atau pohon yang akan mati. Sarangnya terletak di dalam kayu tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh dari golongan ini adalah Glyprotermes spp. (famili Kalotermitidae)
•
Rayap kayu kering (drywood termite) adalah golongan rayap yang biasa menyerang kayu-kayu kering, misalnya pada kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga dan lain-lain. Sarangnya terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12 % atau lebih rendah. Contoh dari golongan ini misalnya Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae).
•
Rayap pohon (tree termite) adalah golongan rayap yang menyerang pohon-pohon hidup. Mereka bersarang di dalam pohon dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh dari golongan ini misalnya Neotermes spp. (famili Kalotermtidae).
Universitas Sumatera Utara
•
Rayap subteran (subteranean termite) adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah tetapi dapat juga menyerang bahan-bahan di atas tanah karena selalu mempunyai terowongan pipih terbuat dari tanah yang menghubungkan sarang dengan benda yang diserangnya. Untuk hidupnya mereka selalu membutuhkan kelembaban yang tinggi, serta bersifat Cryptobiotic (menjauhi sinar). Yang termasuk ke dalam rayap subteran adalah anggota-anggota dari famili Rhinotermitidae serta dari sebagian dari famili Termitidae (Hunt and Garrat, 1967 dalam Tambunan dan Nandika,1989). Dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa sifat yang penting untuk
diperhatikan yaitu: 1. Sifat Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan perukaran bahan makanan. 2. Sifat Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya (terang). 3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan. 4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya. Menurut Haris (1971) (dalam Nandika, 1989), ordo Isoptera dibagi atas enam famili yaitu famili Mastotermitidae, Hodotermitidae, Kalotermitidae, Termophsidae, Rhinotermitidae, dan Termitidae. Dan diantara enam famili yang
Universitas Sumatera Utara
banyak menimbulkan kerusakan adalah famili Rhinotermitidae, Kalotermitidae, dan Termitidae. Dalam melakukan perusakan pada kayu, Nicholas (1987) menjelaskan bahwa rayap merobek-robek partikel kayu kecil dengan mandibula-mandibulanya, dan potongan-potongan kecil ini kemudian dimakan dan digerus menjadi partikel yang lebih halus di dalam badan rayap. Partikel itu kemudian menuju ke usus belakang dimana enzim-enzim selulolitik protozoa, bakteri dan sebagainya, mengurangi bagian selulosa partikel itu menjadi nutrient. Bahan yang dikeluarkan mempunyai kandungan lignin tinggi.
Rayap Tanah Famili Termtidae yang memiliki beberapa jenis rayap yang sering merusak bangunan, diantaranya Microtermes spp., Macrotermes spp. dan Odontotermes spp. ketiga jenis rayap perusak tersebut merupakan jenis rayap tanah. Tingkat serangan rayap ini tidak seganas serangan rayap kayu basah atau subteran (Coptotermes curvignatus). Rayap dari famili Termitidae biasanya bersarang di dalam tanah, terutama yang dekat dengan bahan yang banyak mengandung selulosa seperti kayu, timbunan sampah organic, humus atau serasah (Prasetiyo dan Yusuf, 2005). Serangga-serangga yang termasuk dalam kelompok rayap bawah tanah pada dasarnya adalah penghuni tanah, masuk dalam kayu hanya dari tanah dan untuk hidupnya dibutuhkan persediaan lembab secara tetap. Rayap ini mudah menyerang kayu sehat dan kayu busuk yang ada di dalam atau di atas tanah lembab, dan juga dapat membentuk saluran-saluran yang terlindung pada fondasi-
Universitas Sumatera Utara
fondasi atau penghalang-penghalang lain yang tidak dapat ditembus dan juga dapat mendirikan menara tegak langsung dari tanah, dan dengan demikian mencapai kayu yang tidak bersentuhan dengan tanah. Saluran-saluran dan menara-menara yang terbuat dari remukan tanah yang halus dan kayu dicerna sebahagian, yang direkat bersama ekskresi serangga, memungkinkan rayap tersebut menciptakan kondisi kelembaban dalam kayu yang cocok; jika tidak, kayu akan demikian kering sehingga kebal dengan serangan rayap ini. Jika rayap ini bekerja dalam suatu bangunan yang jauh hubungannya dengan tanah atau sumber-sumber kelembaban lainnya, serangga ini juga dapat membentuk tabungtabung yang menggantung pada kayu itu, nampaknya untuk mencari hubungan yang lebih kuat dengan tanah. Sekali rayap itu dapat mencapai suatu bangunan, ia akan memperluas kerjanya sampai cukup tingggi, dan sering mencapai tingkat kedua atau ketiga dari bangunan-bangunan bertingkat (Tambunan dan Nandika, 1989). Pada koloni-koloni rayap bawah tanah, rayap pekerja merupakan individu yang jumlahnya jauh lebih banyak. Seperti serdadunya, rayap pekerja ini mandul, tanpa sayap, buta dengan tubuh berwarna lebih muda dan sedikit lebih pendek dari ¼ inci. Meskipun dengan ciri-ciri rahang yang kurang nampak, tetapi rahang bawah rayap pekerja ini telah disesuaikan secara khusus untuk menggigit putus potongan-potongan kayu, dan kasta inilah yang menimbulkan segala macam kerusakan yang disebabkan oleh rayap bawah tanah (Tambunan dan Nandika, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) Rukmana (1997) mengemukakan di Indonesia berabad-abad yang lampau masyarakat sudah mengenal dan menanam tanaman nangka. Nama tanaman nangka di berbagai daerah amat beragam, antara lain panah (Aceh), pinasa, sibodak, nangka atau naka (Batak), baduh atau enaduh (Dayak), lamara atau malasa (Lampung), naa (Nias), kuloh (Timor), dan nangka (Sunda dan Madura). Nangka adalah tanaman buah tahunan berasal dari famili Moraceae (suku beringin-inginan). Suku Moraceae yang tergolong marga Artocarpus dari seri Cauliflora mempunyai dua jenis (spesies), yaitu Artocarpus integer (cempedak) dan Artocarpus heterophylla (nangka) (Rukmana, 1997). Menurut Rukmana (1997), kedudukan tanaman ini diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivide
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledone
Ordo
: Morales
Famili
: Moraceae
Genus
: Artocarpus
Spesies
: Artocarpus heterophyllus Lamk
Bentuk dan susunan tubuh luar (morfologi) tanaman nangka mempunyai ciri-ciri struktur perakaran tunggang, berbentuk bulat panjang dan menembus tanah cukup dalam. Batang tanaman nangka berbentuk bulat panjang, berkayu keras dan tumbuhnya lurus dengan diameter antara 30-100 cm, tergantung pada
Universitas Sumatera Utara
umur tanaman. Kulit batang umumnya agak tebal dan berwarna keabu-abuan. Cabang berbentuk bulat panjang, tumbuh mendatar atau tegak, tetapi bentuk tajuk tanaman tidak teratur. Daun berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya rata, tumbuh secara berselang seling dan bertangkai pendek. Permukaan atas daun berwarna hijau meda (Rukmana, 1997). Tanaman nangka tumbuh dan berproduksi dengan baik di daerah yang beriklim panas (tropik). Tanaman nangka di Thailand umumnya dibudidayakan di daerah yang berketinggian 0-1.000 m di atas permukaan laut (mdpl). Faktor iklim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi nangka adalah temperatur, curah hujan dan kelembaban udara. Tanaman nangka membutuhkan temperatur minimum antara 160-210C dan maksimum 310-320C, curah hujan 1.500-2.400 mm/tahun dan kelembaban udara 50-80% (Rukmana, 1997). a. Nangka buah besar; tinggi mencapai 20-30 m; diameter batang mencapai 80 cm dan umur mulai berbuah sekitar 5-10 tahun. b. Nangka buah kecil; tinggi mencapai 6-9 m, diameter batang mencapai15-25 cm dan umur mulai berbuah 18-24 bulan. Tanaman nangka tumbuh dan berproduksi dengan baik di daerah yang beriklim panas (tropik).Tanaman nangka di Thailand umumnya dibudidayakan di daerah yang berketinggian antara 0-1.000 m di atas permukaan laut (mdpl). Faktor iklim
yang
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
dan
produksi
nangka
membutuhkan temperature minimum antara 160-210 dan maksimum 310-320C, curah hujan 1.500-2.400 mm/tahun dan kelembaban udara 50-80% (Rukmana, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Rukmana (1997), menyatakan bahwa kayu nangka merupakan produk sampingan dari tanaman nangka, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat gitar, perkakas rumah tangga, bahan bangunan dan kayu bakar. Sedangkan getahnya dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional, untuk mengobati sakit bisul. Saptono (1999) menambahkan kayu nangka lebih unggul dari kayu jati dalam pembuatan meubel, konstruksi bangunan pembubutan, tiang kapal, untuk tiang kuda, kandang sapi dan dayung.
Universitas Sumatera Utara