TINJAUAN PUSTAKA
Jenis Tanah
Entisol Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus sudah terjadi proses pembentukan tanah yang menghasilkan epipedon okhrik. Banyak tanah Entisol yang digunakan untuk usaha pertanian misalnya di daerah endapan sungai atau daerah rawa-rawa pantai. Padi sawah banyak ditanam di daerah-daerah Aluvial ini (Hardjowigeno, 1993). Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah. Potensi tanah yang berasal dari abu vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik (Tan, 1986). Entisol mempunyai kejenuhan basa yang bervariasi, pH dari asam, netral sampai alkalin, KTK juga bervariasi baik untuk horison A maupun C, mempunyai nisbah C/N < 20% di mana tanah yang mempunyai tekstur kasar berkadar bahan organik dan nitrogen lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang bertekstur lebih halus. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang lebih rendah dan kemungkinan oksidasi yang lebih baik dalam tanah yang bertekstur kasar juga penambahan alamiah dari sisa bahan organik kurang daripada tanah yang lebih halus. Meskipun tidak ada pencucian
Universitas Sumatera Utara
hara tanaman dan relatip subur, untuk mendapatkan hasil tanaman yang tinggi biasanya membutuhkan pupuk N, P dan K (Munir, 1996). Entisol dapat juga dibagi berdasarkan great groupnya, beberapa diantaranya adalah Hydraquent, Tropaquent dan Fluvaquents. Ketiga great group ini merupakann subordo Aquent yaitu Entisol yang mempunyai bahan sulfidik pada kedalaman ≤ 50 cm dari permukaan tanah mineral atau selalu jenuh air dan pada semua horizon dibawah 25 cm terdapat hue dominan netral atau biru dari 10 Y dan warna-warna yang berubah karena teroksidasi oleh udara. Jenuh air selama beberapa waktu setiap tahun atau didrainase secara buatan (Hardjowigeno, 1993). Hydraquent adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo Aquent yang pada seluruh horison di antara kedalaman 20 cm dan 50 cm di bawah permukaan tanah mineral, mempunyai nilai-n sebesar lebih dari 0,7 dan mengandung liat sebesar 8 persen atau lebih pada fraksi tanah halus (Soil survey staff, 1998). Tropaquent adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo Aquent. Tanah ini dibedakan karena memiliki regim suhu tanah iso (perbedaan suhu musim panas dan dingin kurang dari 50C. Tanah ini terbentuk karena selalu basah atau basah pada musim tertentu. Jika dilakukan perbaikan drainase akan berwarna kelabu kebiruan (gley) atau banyak ditemukan karatan
(Hardjowigeno, 1993).
Fluvaquents adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo Aquent yang mengandung karbon organik berumur Holosen sebesar 0,2 persen atau lebih pada kedalaman 125 cm di bawah permukaan tanah mineral, atau memiliki penurunan kandungan karbon organik secara tidak teratur dari kedalaman 25 cm sampai 125 cm atau mencapai kontak densik, litik, atau paralitik apabila lebih dangkal (Soil survey staff, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Inceptisol Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Penggunaan Inceptisol untuk pertanian atau nonpertanian adalah beraneka ragam. Daerah-daerah yang berlereng curam atau hutan, rekreasi atau wildlife, yang berdrainase buruk hanya untuk tanaman pertanian setelah drainase diperbaiki (Hardjowigeno, 1993). Inceptisol yang banyak dijumpai pada tanah sawah memerlukan masukan yang tinggi baik untuk masukan anorganik (pemupukan berimbang N, P, dan K) maupun masukan organik (pencampuran sisa panen kedalam tanah saat pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang atau pupuk hijau) terutama bila tanah sawah dipersiapkan untuk tanaman palawija setelah padi. Kisaran kadar C-Organik dan kapasitas tukar kation (KTK) dalam inceptisol dapat terbentuk hampir di semua tampat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika (Munir, 1996). Inceptisol dapat dibedakan berdasarkan great groupnya. Salah satu great group dari Inceptisol adalah Tropaquepts. Tropaquepts adalah great group dari ordo tanah Inceptisol dengan subordo Aquept yang memiliki regim suhu tanah isomesik atau lebih panas. Aquept merupakan tanah-tanah yang mempunyai rasio natrium dapat tukar (ESP) sebesar 15 persen atau lebih (atau rasio adsorpsi natrium, (SAR) sebesar 13 persen atau lebih pada setengah atau lebih volume tanah di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral, penurunan nilai ESP (atau SAR) mengikuti peningkatan kedalaman yang berada di bawah 50 cm, dan air tanah di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral selama sebagian waktu dalam setahun (Soil survey staff, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Tanah Sawah
Bila tanah digenangi, persediaan oksigen menurun sampai mencapai nol dalam waktu kurang dari sehari. Reaksi reduksi akan terjadi pada tanah yang tergenang. Kuatnya proses reduksi bergantung pada jumlah bahan organik yang mudah tereput (substrat jasad renik) dan suhu tanah. Makin tinggi kandungan bahan organik tanahnya makin besar kekuatan reduksinya. Tanpa memperhatikan pH asalnya, hampir semua jenis tanah mencapai pH 6,5 sampai 7,2 dalam 1 bulan setelah penggenangan (Sanchez, 1993). Profil tanah sawah mempunyai lapisan oksidasi dan lapisan reduksi. Pada lapisan oksidasi ion NH4+ tidak stabil karena ion ini mudah dioksidasi menjadi NO3+ . Oleh karena ion nitrat ini sangat mobil maka ia mudah tercuci ke lapisan reduksi. Di lapisan reduksi inilah nitrat mengalami denetrifikasi sehingga berubah menjadi gas N2. Ion NH4+ stabil pada lapisan reduksi dan dapat dimanfaatkan oleh akar tanaman padi (Hasibuan, 2004). Pelapukan bahan organik berjalan lambat dalam tanah tergenang ketimbang dalam tanah aerob. Pelapukan anaerob tidak memerlukan banyak energi sehingga kebutuhan akan nitrogen rendah. Akibatnya, pemineralan nitrogen tanah dapat terjadi pada nisbah C:N yang lebih tinggi pada tanah tergenang dibandingkan dengan anaerob (DeDatta and Magnaye, 1969). Hasil akhir pereputan bahan organik pada tanah tergenang juga berbeda. Keadaan tanah yang normal dan tersalir baik hasil akhirnya terutama adalah CO2, NO3-, SO42- dan bahan menhumus yang mantap. Maka didalam tanah tanah yang tergenang hasil akhirnya adalah CO2, NH4+, metana, amina, H2S dan sisa-sisa yang terhumus sebagian. Pada tanah tergenang hasil ini dan beberapa hasil-antara lainnya
Universitas Sumatera Utara
direduksi lebih lanjut menjadi berbagai alkohol dan asam organik yang akhirnya direduksi menjadi CH4 atau Co2 oleh jasad renik anaerob (Sanchez, 1993). Dengan penggenangan, kadar fosfor didalam larutan tanah meningkat sekali. Peningkatan ini disebabkan oleh 1) tereduksinya ferifosfat menjadi ferofosfat yang lebih mudah larut, 2) tersediannya senyawa fosfor larut-pereduksi sebagai akibat melarutnya lapisan yang sebelumnya teroksidasi, meningkatnya pemineralan fosfor organik pada tanah asam yang disebabkan karena dinaikannya pH 6 dan 7. (Sanchez, 1993). Bahan organik dapat merubah sifat kimia tanah, yaitu melalui proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroba yang memang selalu menempel pada bahan organik. Proses dekomposisi akan melepaskan zat-zat hara ke dalam larutan di dalam tanah dan juga menjadikan bahan organik menjadi bentuk yang lebih sederhana dan bersifat kolloid. Kondisi ini akan meningkatkan kemampuan absorbsi tanah yang berkaitan juga dengan kapasitas tukar kation (KTK) tanah karena meningkatnya luas permukaan partikel tanah. Hal ini menjadikan tanah mempunyai kemampuan menyimpan unsur-unsur hara yang semakin baik, mengurangi penguapan Nitrogen, maupun pencucian hara-hara kation lain. Pada saatnya berarti pula meningkatkan kapasitas tanah untuk melepas hara kation bagi kebutuhan tanaman, baik melalui proses pertukaran secara langsung maupun pasif oleh proses difusi (Kusumanto, 2009) Bahan organik juga mampu mengeliminir bahan-bahan racun, terutama yang dakibatkan oleh kation-kation mikro seperti Co (Cobalt), Cu (Cuprum/ tembaga), B (Boron), dan lain-lain; dengan membentuk ikatan khellat. Ikatan khellat ini bersifat preventif (dari efek meracuni) dan konservatif, karena sewaktu-waktu katio-kation logam yang terjerap dalam ikatan khelat juga masih bisa dimanfaatkan oleh tanaman.
Universitas Sumatera Utara
Bahkan ada yang mengatakan bahwa terjadinya ikatan khelat ini justru meningkatkan mobilitas banyak kation, karena ikatan ni memang bisa larut sehingga memudahkan tanaman untuk memanfaatkannya (Kusumanto, 2009) Teknik Budidaya Pertanian Organik Pertanian organik atau disebut juga pertanian biologis, pertanian ekologis diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanian dengan masukan bahan alami yang berazaskan prinsip daur ulang hara secara hayati dengan sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah demi meningkatkan kualitas kehidupan (IFOAM, 2002). Pada pertanian non-organik, dosis pemupukan dengan pupuk kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Lain dengan penggunaan pupuk organik, dosisnya justru cenderung semakin menurun. Kecenderungan menurunnya penggunaan pupuk kandang tersebut disebabkan oleh sifat dari pupuk organik itu sendiri yang menguntungkan bagi tanah. Semua sifat menguntungkan tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah. Oleh karena itu, dapatdimengerti bahwa kebutuhan pupuknya pun makin berkurang karena struktur tanahnya sudah semakin bagus (Andoko, 2002). IFOAM
(2002), merumuskan prinsip-prinsip pertanian organik atas empat
kelompok sebagai berikut : a.
Prinsip kesehatan, pertanian organik ditujukan untuk mempertahankan kesehatan tanah, tanaman, hewan dan manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
b.
Prinsip ekologi,
pertanian organik memperbaiki kondisi tanah sehingga
Universitas Sumatera Utara
menguntungkan pertumbuhan tanaman, optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan daur hara, melalui fiksasi nitrogen, penyerapan hara, penambahan dan daur pupuk dari luar usaha tani; membatasi kehilangan hasil panen akibat aliran panas, udara dan air dengan cara mengelola iklim mikro, pengelolaan air dan pencegahan erosi; membatasi terjadinya kehilangan hasil panen akibat serangan organisme pengganggu tanaman dengan melaksanakan usaha preventif melalui pengendalian yang aman, serta memanfaatkan sumber genetika (plasma nutfah) yang saling mendukung dan bersifat sinergisme dengan cara mengkombinasikan fungsi keragaman sistem pertanaman terpadu. c.
Prinsip keseimbangan, pertanian organik harus dibangun dalam kaitannya dengan dasar-dasar keseimbangan terhadap linkungan dan kesempatan hidup.
d.
Prinsip pemeliharaan, pertanian organik harus dikelola secara bertanggung jawab untuk mempertahankan kesehatan dan kelestarian lingkungan untuk masa kini serta bagi generasi yang akan datang. Pemberian bahan organik ke dalam tanah adalah membangun kesuburan tanah,
mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi tanah , dan yang paling besar adalah dalam kaitannya dengan sifat fisik tanah. Dalam pertanian konvensional penggunaan pupuk kimia (pupuk nitrogen) hanya untuk mendorong kesuburan tanaman, dan tidak menyumbang kepada perbaikan kesuburan tanah (Sukana, dkk, 2006). Bahan organik tanah tidak sama untuk setiap jenis tanah, tergantung kepada tipe vegetasi, populasi mikroba tanah, keadaan drainase tanah, curah hujan, suhu dan pengelolaan tanah. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi macam dan jumlah bahan organik dalam tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahan organik tanah
Universitas Sumatera Utara
itu merupakan produk dari faktor lingkungan yang seyogyanya dapat dikelola sebaik mungkin (Adiningsih,2005). Menurut Sarkar, et al.,(2003) aplikasi pupuk organik selama sembilan tahun, dapat meningkatkan bahan organik, kestabilan agregat, kapasitas retensi kelembaban dan kerapatan isi tanah, sedangkan aplikasi pupuk anorganik menurunkan kestabilan agregat makro dan kapasitas retensi kelembaban tetapi meningkatkan nilai kerapatan isi tanah. Keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan pupuk organik adalah mempengaruhi sifat kimia tanah. Kapasistas tukar kation (KTK) dan ketersediaan hara meningkat dengan penggunaan bahan organik. Pupuk organik (pupuk kandang) merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya. Pada umumnya nilai pupuk yang dikandung pupuk organik terutama unsur makro nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) rendah, tetapi pupuk organik juga mengandung unsur mikro esesial yang lain (Sutanto, 2002). Pada Tabel 2.1. disajikan berbagai macam sumber bahan organik, dalam kaitannya dengan bahan organik tanah yang terbentuk. Tabel 2.1. Sumbangan Bahan Organik Tahunan Dalam Tanah Dari Berbagai Macam Bahan Organik Bahan Bahan Organik C (%) Koefisien Bahan Kering Humifika Organik (kg/ha) si Tanah (kg/ha) A. Pengembalian Secara Alami 1. Akar Tanaman Padi 2. Akar Tanaman Gandum 3. Daun-daun Kedelai 4. Akar Tanaman. Pupuk Hijau 5. Bonggol Tanaman Padi B. Pupuk Organik 1. Pupuk Hijau (selain akar)
557 82 59 65 452
46 37 44 47 43
0,50 0,32 0,18 0,40 0,23
211 16 8 21 77
300 12 825
49 43 43
0,20 0,43 0,23
50 3 141
Universitas Sumatera Utara
2. Azolla 3. Jerami Padi 4. Kotoran Babi 5. Urine Babi 6. Kotoran Sapi 7. Urine Sapi Sumber : IRRI, 1984
563 96 596 23
44 37 40 37
0,52 0,10 0,58 0,10
220 6 238 1
Apabila pengelolaan bahan organik yang sepadan dilaksanakan, maka perubahan sifat fisika, kimia dan biologi yang terjadi ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan menjadi sumber energi dan makanan untuk bermacam-macam mikroorganisme di dalam tanah.
Mikroorganisme tanah yang
bermacam-macam menjadi aktif melalui rantai makanan, kemudian mengalami proses dekomposisi menghasilkan bermacam-macam senyawa organik dan anorganik. Senyawa organik dan anorganik tersebut diikat oleh partikel lempung yang bermuatan negatif. Senyawa-senyawa tersebut menguntungkan pertumbuhan tanaman sebagai hara dan senyawa pengatur pertumbuhan (Mizuno,1996). Penggunaan Bahan Organik
Agregasi Partikel Tanah
Porositas Tanah
Udara Dan Air Permeabilitas dan Kapasitas Peningkatan Air
Kandungan Bahan Organik Tanah Aktivitas Dan Pertumbuhan Mikroorganisme Tanah (Karbon Dalam Bahan Organik Merupakan Sumber Energi Dan Hara Untuk Pertumbuhan Dan Aktivitas Mikroba)
Asosiasi Mikroba Nisbah B/F Penyakit Dari Tanah
Kapasitas Pertumbuhan Ion Stabilitas Pasokan Hara
Kumulatif Kesuburan Tanah
Daya Sangga
Senyawa Perangsang Pertumbuhan
Aktivitas Perkembangan Akar
Pertumbuhan Dan Kualitas Tanaman
Gambar 2.1. Perubahan Sifat Tanah yang Disebabkan Pengelolaan Bahan Organik Sumber : Mizuno, (1996)
Universitas Sumatera Utara
Menurut Harjowigeno (1996) untuk
mengetahui kekurangan unsur hara
dalam tanah dilakukan beberapa cara, salah satunya dengan analisis tanah. Kriteria penilaian hasil analisis tanah disajikan pada tabel berikut ini : Tabel 2.2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Sangat Sifat Tanah Rendah Sedang Tinggi Rendah 2,01C -Organik (%) < 1,00 1,00-2,00 3,01-5,00 3,00 0,21Nitrogen (%) < 0,10 0,10-0,20 0,51-0,75 0,50 C/N <5 5 - 10 11 - 15 16 - 25 P2O5 HCl < 10 10 - 20 21 - 40 41 - 60 (mg/100g) P2O5 Bray-1 < 10 10 - 15 16 - 25 26 - 35 (ppm) P2O5 Olsen < 10 10 - 25 26 - 45 46 - 60 (ppm) K2O HCl 25% < 10 10 - 20 21 - 40 41 - 60 (mg/100g) KTK (me/100g) <5 5 - 16 17 - 24 25 - 40 Susunan Kation : K (me/100g) < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 Na (me/100g) < 0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 Mg (me/100g) < 0,4 0,4-1,0 1,1-2 ,0 2,1-8,0 Ca (me/100g) < 0,2 2 - 5 6 - 10 11 – 20 Kejenuhan Basa < 20 20 - 35 36 - 50 51 – 70 (%) Aluminium (%) < 10 10 - 20 21 - 30 31 – 60 pH H2O Sangat Agak Agak masam Netral Masam masam Alkalis < 4,5 4,5 - 5,5 5,6- 6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 Sumber : Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983 (Hardjowigeno, 1996).
Sangat tinggi > 5,00 > 0,75 > 25 > 60 > 35 > 60 > 60 > 40 >1,0 >1,0 > 8,0 > 20 > 70 > 60 alkalis > 8,5
Pertanian organik atau budidaya organik dapat diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang secara hayati.
Daur
ulang hara dapat melalui sarana limbah pertanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Daur ulang hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama. Pakar pertanian di
Universitas Sumatera Utara
barat menyebutnya sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk limbah
pertanaman
maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman (von Uexkull dan Beaton, 1991). Sistem pertanian atau budidaya organik merupakan salah satu alternatif solusi untuk membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan akibat budidaya kimia (Sutanto, 1992). Pertanian Konvensional Penerapan pertanian konvensional di Indonesia
dimulai sejak digulirkannya
sebuah program untuk meningkatkan produktivitas pertanian dimulai dengan Padi Sentra pada tahun 1959-1962. Kemudian dilanjutkan dengan Program Demonstrasi Massal (Demas) tahun 1963-1964 dengan Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM). Program ini dimulai dengan mengenalkan “Panca Usaha Tani” yang meliputi penggunaan bibit unggul, perbaikan cara bercocok tanam, pemupukan yang baik, perbaikan pengairan, dan pengendalian hama dan penyakit. Kemudian program ini diadopsi menjadi bimbingan Massal (Bimas) pada tahun 1964 dengan melengkapi panca usaha tani dengan memasukkan kredit untuk pertanian di dalamnya. Program Intensifikasi Massal (Inmas) menyusul dikenalkan sejak tahun 1969, merupakan program Bimas tetapi tidak ada kredit. Intensifikasi Khusus (Insus) sejak tahun 1980 dilakukan secara berkelompok dalam suatu kelompok hamparan. Pada tahun 1987 Insus dilanjutkan dengan Supra Insus yang merupakan penyempurnaan Insus dengan penggunaan zat perangsang tumbuh serta kerjasama antar kelompok hamparan (Isnaini, 2006). Dipicu oleh kemampuan pupuk kimia meningkatkan produktivitas tanaman dan dapat mengakhiri kerawanan pangan dalam waktu relatif pendek, maka penggunaan pupuk N, P dan K mengalami kenaikan yang sangat tajam. Seperti
Universitas Sumatera Utara
dikemukakan oleh Wolf (1986) dalam Suhartini (2006) bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan penggunaan bahan kimia. Selama 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan produksi, produktivitas, dan luas panen padi terus meningkat walaupun relatif kecil. Peningkatan produktivitas padi dicapai antara lain karena pemakaian pupuk kimia dengan dosis yang semakin besar. Misalnya, rekomendasi pemakaian pupuk urea pada tahun 1970 sebesar 100-150 kg/ha, meningkat menjadi 200-250 kg/ha,dan pada tahun 1990 menjadi 300-350 kg/ha (Mulyadi, 2000). Pencemaran atas tanah dan air tanah yang bersumber dari suatu kegiatan yang terencana misalnya kegiatan pertanian,yaitu penggunanaan pupuk, pestisida, air irigasi yang berlebih dan mengandung pupuk, akan merembes ke dalam tanah dan mencemari tanah. Sumber lain dari kegiatan peternakan dimana pencemar berupa kotoran binatang yang mengandung zat-zat organik, bakteri dan virus
(Notodarmojo, 2005).
Pada Tabel 2.2 di bawah ini terlihat bahwa laju pertumbuhan produktivitas paling tinggi terjadi pada periode tahun 1979-1983 yang kemudian menurun.
Tabel 2.3. Laju Pertumbuhan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Padi di Indonesia Tahun 1969-2003 Periode
Rata-rata per tahun
Areal (000 ha) 1969-73(Pelita I) 1974-78 (Pelita II) 1979-83 (Pelita III) 1984-88 (Pelita IV) 1989-93 (Pelita V) 1994-98 (Pelita VI) 1999-03 (Pelita VII)
8.155 8.533 9.068 9.943 10.686 11.299 11.655
Produksi (000 ton)
Produktivitas (ton/ha)
19.677 23.443 31.519 39.730 46.203 49.067 51.371
2,41 2,75 3,47 4,00 4,33 4,34 4,41
Laju pertumbuhan (%/thn)
Areal (000 ha) 0,66 0,80 0,78 0,78 1,46 1,32 0,98
Produksi (000 ton)
Produktivitas (ton/ha)
3,62 3,24 7,41 2,06 2,17 0,69 0,64
2,95 2,43 6,54 1,26 0,27 0,61 1,65
Sumber : Darwanto (1999) dalam Suhartini (2006); BPS, (2005)
Universitas Sumatera Utara
Dari data pada Tabel 2.2 di atas, menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimiawi makin lama semakin tidak efisien dalam arti peningkatan penggunaan pupuk tidak sebanding dengan kenaikan hasil panen (Rachmawati dan Setyaningsih 2007). Berikut data produksi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan petani di Kecamatan Pantai Labu dan Beringin : Tabel 2.4. Data Produksi Padi Sawah Pada Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin Luas Lahan (rante) Produksi (Ton/Ha) Nama Desa Great Group PO PK PO PK Karang anyar Tropaquepts 12 2 8.25 4 Binjai bakung Fluvaquents 10 6 8.3 6.5 Denai lama Tropaquents 25 2 7.5 6.5 Denai kuala Hydraquents 2 4 7 6.5 Sumber : Hasil Wawancara Petani Teknik pertanian yang dilakukan pada lokasi penelitian adalah teknik budidaya organik dan konvensional. Petani pada lokasi penelitian menerapkan sistem penanaman komoditi 2:1, dimana petani menanam dua kali padi sawah dan kemudian ditanami palawija seperti kacang kedelai. Pada pertanian organik dibutuhkan waktu dua tahun untuk menyuburkan kembali lahan pertanian yang semula menggunakan pupuk kimia buatan pabrik. Melalui pengkombinasian pengunaan pupuk kimia dengan pupuk organik secara bertahap lahan yang semula terbiasa menerima pupuk kimia lambat laun dapat menyesuaikan dengan keberadan pupuk organik. Bila dibandingkan dengan pertanian konvensional, lahan mengandung unsur kimia sintetis oleh pupuk kimia atau pabrikan serta pestisida sintetis, mengalami olah tanah yang intensif, pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida kimia, dengan tujuan mematikan, bahkan seringkali salah sasaran. “Petani akan terus tergantung dengan pupuk kimia, akibatnya biaya produksi terus meningkat untuk belanja pupuk (Anonimous, 2010).
Universitas Sumatera Utara