TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hutan merupakan suatu asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar terdiri dari pohon-pohon atau vegetasi berkayu yang menempati areal luas. Kehutanan adalah suatu kegiatan yang bersangkut paut dengan pengelolaan ekosistem hutan dan pengawasannya, sehingga ekosistem tersebut mampu memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi. Hutan konservasi terdiri dari beberapa kawasan hutan, yakni kawasan hutan suaka alam kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan taman buru. Saat sekarang telah ditetapkan bahwa pembangunan kehutanan dan perkebunan dititikberatkan pada pemanfaatan sumber daya hutan dan kebun pada kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial secara berimbang. Salah satu jenis hutan berdasarkan kepemilikan (status hukum) yaitu hutan kemasyarakatan (social forest) adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan meningkatkan daya dukung lahan dan sumber daya alam tanpa mengurangi fungsi pokoknya, misalnya pelaksanaan agroforestri oleh kelompok tani hutan. Hal ini diharapkan tidak merusak lahan dan tanaman pokok hutan (Arief, 2001). Saat ini pengembangan sistem agroforestri tidak lagi hanya berfokus kepada masalah produksi dan produktivitas namun telah berkembang kepada halhal yang berkaitan dengan perhatian masyarakat secara global, seperti upayaupaya pengentasan kemiskinan seperti yang dicanangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs). Hal tersebut dapat terlihat dari berbagai program
Universitas Sumatera Utara
penelitian yang direncanakan oleh World Agroforestry Centre dalam Medium Term Plan mereka (World Agroforestry Centre, 2008). Pengelolaan sumber daya hutan untuk masa mendatang tidak cukup karena masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup, tapi perlu dirancang secara terstruktur dalam setiap rencana pembangunan hutan. Pengelolaan sumber daya hutan, walaupun sudah memerhatikan keanekaragaman hayati dan kepentingan masyarakat setempat, masih dikembangkan dengan titik berat untuk memenuhi fungsi ekonomi (Simon, 2007).
Pengertian Agroforestri Agroforestri
adalah
suatu
bentuk
hutan
kemasyarakatan
yang
memanfaatkan lahan secara optimal dalam suatu hamparan yang menggunakan produksi berdaur panjang dan berdaur pendek, baik secara bersamaan maupun berurutan. Para petani tidak memangdangnya sebagai hutan alam, tetapi sebagai bentuk “kebun”. Agroforestri terjadi akibat kebutuhan petani itu sendiri untuk memulihkan dan mengendalikan sumber daya hutan. Agroforestri secara ekonomi penting bagi penduduk pedesaan. Di Sumatera, agroforestri menghasilkan 80% dari pendapatan penduduk desa dan meningkatkan standard hidup mayoritas keluarga. Agroforestri dapat menjadi contoh strategi “pemulihan hutan” yang bisa mendukung perkembangan pedesaan dan membangun kembali jalur-jalur keanekaragaman hayati dalam bentang alam pertanian. Masalah-masalah teknis, ekonomi, sosial, kelembagaan dan hukumnya perlu ditangani untuk mendukung perkembangan agroforestri. Bentuk-bentuk agroforestri dapat dilaksanakan dalam
Universitas Sumatera Utara
beberapa model yakni tumpangsari, silvopasture, silvofishery dan farmforestry (Puskap Fisip USU, 1997). Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat sistem ini memiliki karakteristik yang unik, dalam hal jenis produk, waktu untuk memperoleh produk dan orientasi penggunaan produk. Jenis produk yang dihasilkan sistem agroforestri sangat beragam, yang bisa dibagi menjadi dua kelompok yaitu produk untuk komersial (misalnya bahan pangan, buah-buahan, hijauan makanan ternak, kayu bangunan, kayu bakar, daun, kulit, getah) dan pelayanan jasa lingkungan (Widianto, dkk. 2003). Macam Agroforestri Pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan, dimana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut: a. Agrisilvikultur yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu) dengan komponen pertanian. b. Agropastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan. c. Silvopastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan.
Universitas Sumatera Utara
d. Agrosilvopastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan. e. Silvofishery yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan. f. Apiculture yaitu budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan (Hairiah, Mustofa dan Sambas, 2003). Dalam era mendatang, bentuk pengelolaan sumber daya hutan harus terfokus pada strategi perhutanan sosial. Karena perhutanan sosial, maka tujuan pengelolaannya adalah untuk memaksimumkan pemanfaatan fungsi hutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat berlandaskan kelestarian ekosistem. Pemanfaatan fungsi hutan sebenarnya seolah-olah mengikuti hukum mutually exclusive. Sekali hutan dimanfaatkan untuk fungsi ekonominya, maka fungsi perlindungan dan aspek sosial budaya akan berkurang dan begitupun sebaliknya. Keberhasilan pengelolaan hutan sekarang ditentukan oleh keberhasilannya dalam memecahkan masalah sosial ekonomi masyarakat karena tingginya intensitas pengaruh sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Gagal dalam pemecahan masalah sosial ekonomi masyarakat, berarti upaya pengelolaan hutan gagal (Simon, 2007). Dalam implementasi, agroforestri telah membuktikan bahwa agroforestri merupakan sistem pemanfaatan lahan yang mampu mendukung orientasi ekonomi, tidak hanya pada tingkatan subsisten saja, melainkan pada tingkatan semi-komersial dan komersial.
Universitas Sumatera Utara
1.
Agroforestri skala subsisten (Subsistence agroforestry) Bentuk-bentuk agroforestri dalam klasifikasi ini diusahakan oleh pemilik lahan sebagai upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Utamanya tentu saja berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Agroforestri dengan skala subsisten ini secara umum merupakan agroforestri yang tradisional, dengan beberapa ciri-ciri lahan yang diusahakan terbatas, jenis yang diusahakan beragam (polyculture) dan biasanya hanya merupakan jenis-jenis lokal non-komersial saja (indigenous dan bahkan endemic) serta ditanam/dipelihara dari permudaan alam dalam jumlah terbatas, pengaturan penanaman tidak beraturan (acak) dan pemeliharaan/perawatan serta aspek pengelolaan lainnya tidak intensif.
2.
Agroforestri skala semi-komersial (Semi-commercial agroforestry) Pada wilayah-wilayah yang mulai terbuka aksesibilitasnya, terutama bila menyangkut kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki motivasi ekonomi dalam penggunaan lahan yang cukup tinggi, terjadi peningkatan kecenderungan untuk meningkatkan produktivitas serta kualitas hasil yang dapat dipasarkan untuk memperoleh uang tunai.
3.
Agroforestri skala komersial (Commercial agroforestry) Pada orientasi skala komersial, kegiatan ditekankan untuk memaksimalkan produk utama yang biasanya hanya dari satu jenis tanaman saja dalam kombinasi yang dijumpai (Sardjono, dkk. 2003).
Universitas Sumatera Utara
Ciri-Ciri Agroforestri Beberapa ciri khas yang dimiliki oleh sistem agroforestri adalah: 1. Adanya dua kelompok tumbuhan sebagai komponen dari sistem agroforestri, yaitu pepohonan atau tanaman tahunan dan tanaman semusim. 2. Ada interaksi antara pepohonan dan tanaman semusim, terhadap penangkapan cahaya, penyerapan air dan unsur hara. 3. Transfer silang antara pohon dengan tanaman. 4. Perbedaan perkembangan tanah. 5. Banyak macam keluaran (Widianto, Nurheni dan Didik, 2003). Tanaman dapat dibagi ke dalam lima strata yakni strata I (<1 m), strata II (1-2 m), strata III (2-5 m), strata IV (5-10 m) dan strata V (>10 m). Semakin ke hulu, jumlah spesies dan individu tanaman pada strata tinggi semakin berkurang. Semakin ke hulu, tanaman hias dan sayur semakin dominan. Tetapi, semakin tinggi strata tanaman, rasio tanaman hias makin turun, karena tanaman hias umumnya adalah tanaman penutup tanah dan perdu. Komponen-Komponen Agroforestri a. Tanaman semusim Tanaman semusim tidak pernah dominan di dalam kebun campuran. b. Tanaman tahunan Jenis tanaman keras ini hanya mencakup pohon-pohon yang memerlukan pemeliharaan dan pemanenan secara teratur. Kebun campuran biasanya memiliki jenis pepohonan yang umumnya dibudidayakan, seperti durian (Durio zibethinus) dan kopi Coffea canephora (C. robusta). AAK (1997) mengatakan bahwa durian memiliki prospek ekonomi yang cukup bagus di
Universitas Sumatera Utara
samping buah lainnnya. Pemasaran buah durian dari tahun ke tahun kian meningkat. Nilai ekonomi buah durian cukup tinggi karena harganya tidak pernah terpengaruh oleh harga buah-buahan lainnya. Buah durian memiliki rasa yang lezat dan kandungan protein nabati yang cukup tinggi. Di samping itu, kayunya pun dapat dipakai sebagai bahan bangunan dan kayu bakar. Sementara Rukmana (1996) mengatakan bahwa pengembangan tanaman durian secara intensif dan komersial selain merupakan upaya pelestarian plasma nutfah buah tropis, juga bermanfaat bagi kepentingan kualitas lingkungan dan tatanan kehidupan manusia. Pengembangan budidaya tanaman buah-buahan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani. c. Pohon lain dan perdu Banyak spesies lain yang penting dapat ditemukan di dalam kebun campuran. Ada spesies yang ditanam dan ada yang berkembang biak melalui persemaian alami tanpa campur tangan manusia, namun dibiarkan hidup, dirawat, dan dipanen dengan berbagai tujuan. d. Hewan Ichwandi (1996) berpendapat bahwa manfaat sumber daya hutan berdasarkan keberadaan produk dalam sistem pasar dapat dibedakan menjadi marketable yaitu produk hutan yang telah dijualbelikan (kayu dan HHBK) dan non-marketable yaitu hasil hutan yang belum diperjualbelikan atau public goods (fungsi hidrologis, biodiversity dan nilai estetika). Berdasarkan sifatnya dapat dikelompokkan menjadi tangible yaitu kayu (kayu bakar, log), non kayu (rotan, getah, tumbuhan obat, madu) dan intangible yaitu rekreasi alam dan hidrologis.
Universitas Sumatera Utara
Hasil Hutan Secara umum, hasil hutan digolongkan dalam 2 jenis, yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Ada 3 pemanfaatan strategis kayu yaitu bahan dasar pembuatan pulp, bahan bangunan dan bahan kerajinan. Beragam hasil hutan non kayu memberi kontribusi besar bagi kehidupan manusia. Beberapa HHBK diantaranya karet, gaharu, rotan, bambu, buah-buahan, tanaman obat-obatan dan plasma nutfah. Worrell (1965) membedakan komoditi yang dapat diciptakan dari sumber daya hutan dalam 6 kategori yakni hasil-hasil kayu, hasil-hasil vegetative non kayu, produk-produk satwa, air, rekreasi dan jasa proteksi terhadap banjir, angin dan erosi. Hasil hutan kayu Kayu merupakan salah satu produk utama sumber daya hutan yang penting diambil dari pohon-pohon beragam umur memerlukan jumlah persediaan yang cukup besar. Hasil hutan kayu oleh Wirakusumah (2003) digolongkan dalam kayu industri dan kayu bakar sebagai satu-satunya hasil hutan bukan kayu industri. Hasil hutan kayu berupa kayu gergajian, kayu bulat, kayu lapis, kayu pulp, fenir adalah kayu industri. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) HHBK adalah produk biologi asli selain kayu yang diambil dari hutan, lahan perkayuan dan pohon-pohon yang berada di luar hutan. Baharuddin dan Ira (2009) mengatakan hasil hutan bukan kayu meliputi getah resin, kulit, tanaman pangan, produk hewan dan obat-obatan. HHBK penting untuk ekonomi karena HHBK memiliki nilai ekonomi yang tinggi pada beberapa keadaan, pendapatan dari HHBK lebih banyak jika dibandingkan dengan pendapatan dari semua
Universitas Sumatera Utara
alternatif. Bagi masyarakat pedesaan, HHBK merupakan sumber daya yang sangat
penting
bahkan
merupakan
kebutuhan
pokok
mereka.
Mereka
memanfaatkan HHBK sebagai pangan (pati sagu, umbi-umbian, pati aren, nira aren), bumbu makanan (kayu manis, pala) dan obat-obatan. Wirakusumah (2003) mengelompokkan HHBK ke dalam 2 bagian yaitu HHBK tangible (rotan, getah, biji tengkawang) dan HHBK nontangible (potensi satwa, proteksi tanah, produksi air, wanawisata dan jasa lingkungan seperti carbon sink oksigen, microclimate). Pendapatan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan Secara umum pengertian pertumbuhan ekonomi didefenisikan sebagai suatu peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang atau jasa. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktifitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Sumber daya hutan sesungguhnya telah senantiasa juga mengalirkan manfaat ekonomik langsung kepada masyarakat. Dengan kegiatankegiatan kehutanan yang baik, sumber-sumber daya hutan mampu memberikan manfaat langsung dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Hasil hutan merupakan sumber daya ekonomi potensial yang beragam yang menghasilkan sederetan hasil hutan serbaguna baik hasil hutan kayu dan non kayu maupun hasilhasil hutan yang tidak kentara (Wirakusumah, 2003). Ciri ekonomi mata pencaharian masyarakat di pedesaan, terutama di Negara-negara berkembang adalah keberagaman. Masyarakat desa mengandalkan pemanfaatan langsung hasil pertanian dan hutan serta berbagai sumber pendapatan lainnya yang dihasilkan dari penjualan hasil hutan atau dari upah bekerja (Baharuddin dan Ira, 2009).
Universitas Sumatera Utara