5
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Fenomena Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island:UHI) Menurut Voogt (2002) fenomena UHI merupakan gambaran peningkatan
suhu udara urban (perkotaan) pada urban cover layer (UCL) atau lapisan di bawah gedung dan tajuk vegetasi dibandingkan wilayah rural (pinggiran), khususnya di malam hari yang tenang dan cerah (Gambar 2). Dinamakan pulau panas karena bentuk fenomena UHI bila digambarkan secara spasial berbentuk isoterm seperti sebuah pulau dengan suhu tertinggi di pulau tersebut dibandingkan areal sekitarnya (Gambar 3).
Gambar 2. Fenomena UHI di malam dan siang hari, suhu udara (garis tebal), suhu permukaan (garis putus-putus) Sumber: Voogt (2002)
6
Gambar 3. Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi di tengah gambar seperti sebuah pulau panas Sumber: Voogt (2002)
Beberapa hasil kajian UHI mencatat bahwa perbedaan suhu udara perkotaan lebih tinggi 0.02-1oC dibandingkan daerah daerah sekitarnya (daerah pinggiran/rural) di kota-kota tropis (Hidayati, 1990; Karjoto, et al. , 1992; Santosa, 1998; Mulyana et al. (2003). Di negara subtropis fenomena UHI lebih dirasakan pada musim semi dan musim panas, terutama di malan hari. Suhu udara lebih tinggi sekitar 3-5oC hingga dapat mencapai 8-10oC sementara di siang hari hanya berbeda 1-2oC. Hasil ini merupakan kesimpulan dari berbagai riset di negara-negara bagian USA yang dilakukan Givoni (1998), bahkan di Houston, Texas (USA) oleh Streuker (2003) hanya mendapatkan peningkatan sebesar 0.8oC periode 1987-1999 pada siang hari berdasarkan data satelit; di Kota Gothenburg, Swedia oleh Svenson dan Eliasson (2002) sebesar 4-8oC di saat malam yang tenang dan cerah, sementara pada kondisi berangin dan berawan peningkatan suhu udara perkotaan hanya sebesar 2.5oC.
Sedangkan di Kota Phoenix (Arizona, USA) suhu udara malam
hari meningkat sebesar 5oC, di siang hari sebesar 3.1oC (Baker, et al. 2003).
2.2.
Keterkaitan RTH dengan UHI Berdasarkan lokasinya RTH di JABOTABEK lebih tepat diartikan sebagai
RTH perkotaan (urban green space), Zain (2002) menambahkan kata urban karena antara manusia dan RTH JABOTABEK terjalin interaksi yang erat,
7 sehingga RTH perkotaan diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan (Nurisjah et al., 2005). Nurisjah et al., (2005) mengungkapkan fungsi RTH baik RTH publik maupun RTH privat memiliki fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Secara tabular fungsi RTH perkotaan digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4. Fungsi RTH Perkotaan Sumber: Nurisjah et al., (2005) Hasil kajian Purnomohadi (1995) terhadap peran RTH dalam pengendalian kualitas udara di DKI Jakarta mendapakan hasil: RTH mampu menekan emisi CO, NOx dan Pb (melampaui baku mutu KepMenLH 02/1998) dari sektor transportasi (90%), industri (7%), sampah kota (3%) dan rumah tangga (< 1%) masing-masing sebesar 3%, 2% dan menekan emisi Pb sebesar 2% terhadap bobot emisi. Sehingga secara tidak langsung kehadiran RTH lewat reduksi emisi gas seperti NOx (termasuk gas rumah kaca, yang mempunyai kemampuan menyerap panas 300 kali dibandingkan CO2) akan mengurangi dampak pemanasan baik lokal, maupun regional seperti fenomena UHI. Kajian Santosa dan Bey (1992) menemukan keberadaan Kebun Raya Bogor tetap nyaman terjaga dari pengaruh pembangunan fisik dan padatnya lalu
8 lintas kota dilihat dari nilai THI-nya sama dengan nilai THI hutan alami, sementara THI di sekitarnya melebihi nilai nyaman. Sehingga Kebun Raya Bogor tetap nyaman sebagai tempat rekreasi. Kaitan RTH dengan kenyamanan adalah akibat pengaruh langsung RTH dalam meredam radiasi matahari melalui efek penaungan.
Secara bersamaan meredam penggunaan radiasi netto untuk
memanaskan udara akibat proses transpirasi, sehingga kehadiran RTH membawa rasa nyaman dari segi suhu udara yang lebih rendah, juga suplai oksigen bagi makhluk hidup di sekitar RTH. Tipe RTH yang banyak terdapat di Jawa Barat berupa kebun berbagai tanaman hortikultura di sekitar rumah dikenal dengan istilah home garden menyebabkan turunnya suhu udara 0.5-1oC serta meningkatkan RH 3-4% di bandingkan lahan terbuka
(Koesmaryono, et al. 2000).
Hal ini berarti
keberadaan RTH mampu meredam fenomena UHI serta mempertahankan THI pada batas nyaman. Hasil riset lapangan Zain (2002) kawasan JABOTABEK mengidentifikasi sedikitnya 9 tipe RTH: tanaman di gedung pemerintahan, tanaman di areal pusat bisnis, tanaman di areal industri, taman, RTH di pemukiman kota, RTH pemukiman pinggiran kota, pedesaan, areal sawah, serta hutan kota. Masingmasing tipe berbeda dalam efektivitasnya mengurangi suhu udara, berdasar kajian Irwan (1994) bentuk RTH yang menyebar dan terdiri dari berbagai tingkatan vegetasi (rumput, semak dan pohon) dapat mengurangi kebisingan sebesar 6%30%, debu sebesar 38%-68%, dan suhu udara di bawah tajuk sebesar 0.1-0.5oC dibandingkan RTH bergerombol, dan berbentuk jalur. Hal yang sama diungkap Misawa (1994) tentang efektivitas jalur hijau dengan lebar lebih dari 2 km, dengan kombinasi vegetasi rumput, semak dan pohon mampu meredam 75% debu perkotaan. Namun keberadaan RTH di banyak kota terancam oleh penyebab pengurangan RTH seperti, meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan pemukiman, perluasan kota serta industri (Sudha and Ravindranath, 2000), meledaknya populasi (Oke, 1982; Shosshany and Goldshleger, 2002) serta urbanisasi (Ghosh, 1998; Murakami, et al., 2005). Akibatnya terjadi fenomena UHI yang berdampak pada perluasan wilayah tidak nyaman.
Hal serupa
9 didapatkan oleh Khomarudin (2005) untuk kota Surabaya dan sekitarnya, dengan menggunakan data Landsat dan NOAA secara visual akibat perubahan lahan bervegetasi menjadi lahan perkotaan meningkatkan suhu udara yang berimplikasi pada meluasnya UHI.
Namun hubungan secara empiris lewat persamaan
matematika belum ditemukan. RTH lewat proses transpirasi secara efektif menggunakan energi netto sebagai panas laten (latent heat) sehingga meminimalkan penggunaan energi untuk memanaskan udara (sensible heat).
Akibatnya pada lahan bervegetasi
cenderung terasa lebih sejuk. Karena itu, Moll (1997) merekomendasikan kota harus memiliki RTH dengan luasan sekitar 40% dari luas totalnya atau setara dengan 20 pohon besar setiap 4 ribu m2. Penghitungan tersebut didasarkan pada perhitungan neraca energi yaitu konversi radiasi netto lebih banyak digunakan untuk panas laten, sehingga mengurangi porsi sensible heat, akan efektif bila luasan RTH 40% dari luasan lokasi kota. Melalui kombinasi penaungan dan pendinginan udara lewat transpirasi, RTH dapat digunakan untuk mencegah UHI akibat perkembangan area perkotaan (Grimmond et al., 1996, Ca et al., 1998, Spronken-Smith dan Oke, 1998). Selama kawasan RTH (vegetasi) pada masa pertumbuhan aktif, maka laju CO2 yang diserap dalam proses fotosintesis jauh lebih besar dibandingkan dengan laju pelepasan CO2 dalam proses respirasi, sehingga hasil akhir terjadi penurunan CO2 di atmosfer sehingga secara tidak langsung mencegah terjadinya dampak pemanasan global (McPherson, 2000). Selain RTH, badan air juga dapat mengontrol UHI, karena energi netto secara maksimal digunakan sebagai panas laten lewat proses evaporasi, sehingga energi untuk memanaskan udara dapat ditekan pada batas jumlah menimal, khususnya pada siang hari, hal ini dibuktikan oleh Shafir dan Alpert (1990) di Jerusalem, Israel dan di Kota Mexico oleh Oke, et al. (1999). Hasil penelitian terbaru mengenai luasan (ha) dan proporsi RTH (%) didasarkan pada analisis citra Landsat disajikan dalam bentuk Tabel 1 dan 2 sebagai berikut:
10 Tabel 1. Dinamika Luasan RTH Kawasan JABOTABEK KABUPATEN / KOTA
Luas Ruang Terbuka Hijau (ha)
1972 1983 Kab. Bogor 269.145 264.479 Bogor 10.401 9.885 Kab. Bekasi 66.843 62.530 Bekasi 16.414 15.836 Depok 16.780 18.090 Kab. Tangerang 62.427 77.551 Tangerang 9.997 8.219 DKI Jakarta 32.709 20.012 Sumber: Agrissantika, et al. (2007)
1992 260.178 8.060 83.280 14.618. 17.533 82.739 8.468 17.956
Luas Wilayah (ha)
2000 230.324 5.587 71.892 8.977 12.935 60.687 5.053 10.190
2004 234.945 4.912 77.904 7.240 9.780 66.601 3.820 7.166
279.382 11.342 126.738 22.683 19.991 112.612 18.538 63.533
Berdasarkan Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa hingga 2005 semua wilayah kabupaten secara luasan (ha) dan proporsi luasan RTH (%) masih mempunyai potensi besar dalam hal mengurangi peningkatan suhu udara dan meredam fenomena UHI. Potensi meredam UHI karena luasan RTH yang dimiliki wilayah kabupaten masih cukup luas, terutama di Kabupaten Bogor luasan RTHnya 234.945 ha atau 85% dari total luas wilayah diikuti Kabupaten Bekasi dan Tangerang masing-masing 77.904 ha (61%) dan 66.601 ha (59%).
Sedangkan
wilayah perkotaan berada pada proporsi di bawah 50%, dengan RTH terendah di kota DKI Jakarta sebesar 11%. Tabel 2. Dinamika Proporsi RTH Kawasan JABOTABEK KABUPATEN / KOTA
Kab. Bogor Bogor Kab. Bekasi Bekasi Depok Kab. Tangerang Tangerang DKI Jakarta
Proporsi Ruang Terbuka Hijau 1972 96% 92% 53% 72% 84% 55% 54% 51%
Sumber: Agrissantika, et al. (2007)
1983 95% 87% 49% 70% 90% 69% 44% 31%
1992 93% 71% 66% 64% 88% 73% 46% 28%
2000 82% 49% 57% 40% 65% 54% 27% 16%
2005 84% 43% 61% 32% 49% 59% 21% 11%
11 2.3.
Keterkaitan Kepadatan Populasi dengan UHI Peningkatan populasi secara langsung lewat emisi panas tubuh dan secara
tidak langsung melalui aktivitas penghasil gas rumah kaca, terbukti secara lokal menyebabkan peningkatan suhu udara (Tso, 1996; Jauregui et al. 1997; Tayanc dan Toros, 1997; Brandsma et al. 2003; Chung et al. 2004; Mihalakakou et al. 2004, Stalling, 2004; Zhou, 2004). Intensitas UHI cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan atau luasan perkotaan (Park, 1986; Yamashita et al., 1989; Chow, 1992; Hogan dan Ferrick, 1998; Magee et al. 1999; Philandras et al. 1999, Torok et al. 2001; Hinkel et al. 2003. Di Amerika Utara dan kota-kota di Eropa, Oke (1973) berhasil membuat model regresi dengan peubah prediktor tunggal ukuran populasi, sebesar 70% dapat menjelaskan peubah intensitas UHI. Dilanjutkan hasil penelitian Karl et al. (1988) di Amerika Serikat secara lokal suhu udara meningkat sebesar 1oC setiap peningkatan populasi 100 ribu jiwa akibat urbanisasi. Pada skala regional Kukla et al. (1986) mencatat peningkatan suhu udara perkotaan sebesar 0.12oC perdekade pada rentang periode 1941-1980.
Sebagai penelitian pionir, Viterito
(1991) menduga peningkatan suhu udara perkotaan secara global di Amerika Serikat sebesar 0.19oC akibat penambahan populasi 200 ribu jiwa atau lebih pada tahun 2035. Besaran UHI hasil penelitian yang dilakukan Pongracz et al. (2005) di 10 kota terpadat di Hungaria, Budapest didapatkan antara 1.2-2.1
o
C dengan
menggunakan hasil ektraks data satelit Terra, dengan sensor MODIS. Pongracz menyimpulkan fenomena UHI yang terjadi di 10 kota Hungaria, Budapest disebabkan oleh makin meningkatnya jumlah penduduk. Besaran (magnitude) UHI tertinggi 2.1 oC disumbangkan oleh kota terpadat, sedangkan terendah 1.2 oC tercatat di kota berpopulasi terendah. Hasil penelitian terbaru di JABOTABEK mengenai populasi dan potensi kepadatan penduduk dari tahun 1961 hingga 2004 disajikan pada Tabel 3.
12 Tabel 3. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan populasi perdekade wilayah JABOTABEK Lokasi Jakarta Penduduk (jiwa) Luas (km2) Kepadatan (pop/km2) Bogor Penduduk (jiwa) Luas (km2) Kepadatan (pop/km2) Tangerang Penduduk (jiwa) Luas (km2) Kepadatan (pop/km2) Bekasi Penduduk (jiwa) Luas (km2) Kepadatan (pop/km2)
1961
1971
1981
1991
2000
2004
2.906.533 592
4.576.009 587
6.555.954 657
8.729.700 661
8.385.639 661
8.725.830 661
4.910
7.796
9.971
10.750
12.681
13.195
1.468.248 3.020
1.864.652 3.020
2.823.201 3.021
4.248.038 3.379
5.379.279 3.463
5.594.078 3.463
486
617
935
1.257
1.553
1.615
850.390 1.325
1.066.695 1.325
1.515.677 1.325
2.93.653 1.399
4.107.282 1.414
4.682.948 1.414
642
805
1.144
2.097
2.905
3.312
692.817 1.600
830.721 1.599
1.205.108 1.284
2.244.292 1.484
3.328.127 1.484
3.864.525 1.484
433
520
939
1.512
2.243
2.604
Sumber: Rustiadi, et al. (2007)
Berdasarkan Tabel 3 dan dikaitkan dengan hasil penelitian Oke (1973); Karl et al. (1988); Kukla et al. (1986); Viterito (1991) serta Pongracz et al. (2005), maka potensi UHI meningkat lebih besar di Jakarta diikuti Tangerang, Bekasi dan terendah di Bogor, bila dikaitkan dengan kepadatan populasi setiap kota.
2.4.
Keterkaitan Ruang Terbangun (RTB) dengan UHI Modifikasi RTH menjadi RTB salah satu penyebab utama terjadinya
fenomena UHI (Lo, et al., 1997). Yamashita dan Sekine (1991) menemukan bahwa perubahan penggunaan lahan (land use change) dari RTH menjadi RTB menjadi penyebab terjadi pemanasan secara lokal hingga regional. Skinner dan Majorowichz (1999) meneliti selama abad 20 telah tejadi perubahan RTH, khususnya hutan menjadi RTB akibat penebangan berakibat pada peningkatan suhu udara pada periode yang sama. Sehingga modifikasi RTH
13 menjadi RTB diduga menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan di Cordillera barat daya Canada hingga Texas.
Sedangkan Narisma dan Pitman (2003)
mengobservasi dampak perubahan penutupan lahan menyebabkan peningkatan suhu udara maksimum pada skala lokal di kawasan Australia. Analisis dampak perubahan permukaan terhadap UHI secara lokal ditelaah oleh Kim (1992); Quattrochi dan Ridd (1994); Aseada et al. (1996); Schlatter dan Wilson (1997); Condella (1998); Unger et al.(2001); Belaid (2003) dan Weng (2003).
Secara umum kajian-kajian tersebut menduga bahwa perubahan
permukaan lahan berdampak pada peningkatan suhu secara lokal hingga 1.7-2.2oC untuk RTB di musim panas, hingga 5.6oC di pusat RTB pada musim dingin. Hasil studi di utara China oleh Zhao dan Zeng (2002), di New Orleans oleh Sailor dan Fan (2002) dan di perkotaan dekat pantai oleh Atkinson (2003) mencoba mengungkapkan bahwa material bangunan yang banyak dipakai pada RTB sangat efektif dalam menyerap radiasi surya dan meradiasi energi balik ke atmosfer dekat permukaan menyebabkan percepatan peningkatan suhu udara di atasnya. Hal ini terjadi akibat secara bersama-sama, baik albedo, konduktivitas panas dan kapasitas panas pada RTB mendukung pemanasan udara di atasnya pada skala kajian lokal, regional dan global. Hasil penelitian terbaru mengenai dinamika luasan lahan terbangun (RTB) di kawasan JABOTABEK disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas lahan terbangun RTB (%) perdekade wilayah JABOTABEK Tahun 1961 1971 1981 1991 2001 2004
Jakarta 19 27 35 50 69 73
Bogor 4 5 6 14 28 32
Tangerang 30 33 35 38 43 47
Bekasi 24 26 28 35 38 42
Sumber: Agrissantika et al. (2007)
Berdasarkan Tabel 4 kawasan potensial mengalami UHI terbesar terjadi di Jakarta, diikuti Tangerang, Bekasi dan terendah di Bogor bila dikaitkan dengan luasan RTB masing-masing kota.
14 2.5.
Keterkaitan Kepadatan Kendaraan dengan UHI Kepadatan kendaraan secara langsung mengemisikan panas lewat proses
pembakaran pada saat kendaraan melaju ataupun macet, bahkan pada saat macet dapat lebih besar mengemisikan panas dibandingkan pada saat melaju. Secara tidak langsung kepadatan kendaraan menyumbang fenomena UHI lewat emisi gas rumah kaca khususnya NOx. Kemampuan NOx dalam menangkap panas sebesar 300 kali lipat diabndingkan gas CO2, karenanya pada skala lokal dan regional sektor transportasi menjadi emiter terbesar bagi peningkatan UHI. Bila ditinjau dari skala ruang kajian, maka dampak langsung kepadatan kendaraan terhadap UHI terjadi pada skala lokal hingga regional, sedangkan dampak tidak langsung kepadatan
kendaraan
kontribusinya
terhadap
pemanasan
global
dunia
menyumbang 24% secara total dari sektor energi atau terbesar kedua setalah akitivitas industri. Bahkan di beberapa kota negera berkembang seperti Jakarta, Surabaya, Bangkok, Manila sektor transportasi memberikan kontribusi paling utama dari sektor energi terhadap pemanasan global. Pada kajian yang dilakukan oleh Purnomohadi (1995); Adiningsih (1997), didapatkan bahwa pengemisi gas rumah kaca terbesar disumbangkan oleh sektor transportasi perkotaan, khususnya di Jakarta.
Sehingga aktivitas transportasi
padat disertai kemacetan secara langsung mengakumulasikan sejumlah panas dan secara tidak langsung mengemisikan gas rumah kaca ke udara, berdampak terhadap terakumulasinya panas, sehingga fenomena UHI terjadi di Jakarta. Pendapat yang sama pada kota lebih kecil dari Jakarta yaitu kota Depok, didapatkan hasil bahwa fenomena UHI telah terjadi di kawasan Depok. Diduga faktor penyebab utama fenomena UHI tersebut adalah telah terjadi peningkatan emisi gas rumah kaca penyebab peningkatan panas perkotaan dengan kontribusi terbesar dari sektor transportasi darat (Yani dan Effendy, 2003). Hasil dokumentasi terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber termasuk data dari Dinas Lalu-Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) tahun 2005 jumlah unit kendaraan serta kepadatan (unit/km2) disajikan pada Tabel 5.
15
Tabel 5. Kepadatan kendaraan (unit/km2) per-dekade wilayah JABOTABEK Lokasi Jakarta Kendaraan (unit) Luas (km2) Kepadatan (unit/km2) Bogor Kendaraan (unit) Luas (km2) Kepadatan (unit/km2) Tangerang Kendaraan (unit) Luas (km2) Kepadatan (unit/km2) Bekasi Kendaraan (unit) Luas (km2) Kepadatan (unit/km2)
2001
2004
1961
1971
1981
1991
37.855 592
42.855 617
47.855 657
83.445 661
64
69
73
126
267
335
7.078 3.020
8.078 3.020
9.078 3.021
25.008 3.379
44.807 3.463
58.249 3.463
2
3
3
7
13
17
43.069 1.325
103.069 1.325
163.069 1.325
224.069 1.399
33
78
123
160
205
273
9.294 1.600
11.294 1.599
13.194 1.284
32.324 1.484
68.331 1.484
90.880 1.484
6
7
10
22
46
61
176.442 234.668 661 661
289.866 385.522 1.414 1.414
Sumber: Yani dan Effendy, (2003) dan DLLAJ Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, 2005
Berdasar Tabel 5, dapat dilihat bahwa wilayah Jakarta yang paling potensial dalam peningkatan UHI bila dikaitkan dengan tingkat kepadatan kendaraan.
Hasil penelitian 3 tahun terakhir, didapatkan data peningkatan
kendaraan rata-rata sebesar 11% pertahun dengan dominasi kendaraan roda dua (Ernawi, 2007).
2.6.
Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi Dampak UHI secara lokal di wilayah beriklim dingin dan beriklim panas,
dikemukan oleh Oke (1997), Givoni (1998) dan Voogt (2002). Secara rinci disajikan pada Tabel 6. Pada Tabel 6 terlihat bahwa dampak UHI terhadap kenyamanan, penggunaan energi, polusi udara, penggunaan air dan aktivitas biologis bernilai negatif di wilayah beriklim panas, sedangkan wilayah beriklim dingin UHI berdampak positif bagi kenyamanan, penggunaan energi dan aktivitas biologis
16 saat musim dingin dan gugur. Dampak positif dirasakan karena suhu udara di musim dingin dan gugur menjadi tidak sedingin jika tanpa UHI. Tabel 6. Dampak UHI berdasarkan tipe iklim wilayah Dampak Kenyamanan manusia Penggunaan energi Polusi udara Penggunaan air Aktivitas biologis
Wilayah iklim dingin Positif di musim dingin dan gugur; negatif si musim semi dan panas Positif di musim dingin dan gugur; negatif si musim semi dan panas Negatif Negatif Positif
Wilayah iklim panas Negatif sepanjang tahun Negatif sepanjang tahun Negatif Negatif Negatif
Kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia. Kondisi nyaman apabila sebagian energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif dan upaya pengaturan suhu tubuh berada pada level minimal. Secara kuantitatif dinyatakan sebagai Temperature Humidity Index disingkat THI. Dirumuskan oleh Nieuwolt (1975), pada wilayah tropis.
Mulyana (2003)
mengaplikasikan rumusan tersebut untuk kajian aspek kenyamanan terhadap perkembangan perkotaan Bandung. Penggunaan Rumus Nieuwolt di Colombo, Sri Lanka, secara empiris mengaitkan hubungan THI dan kenyamanan populasi. Pada THI antara 21-24 oC terdapat 100% populasi menyatakan nyaman, THI antara 25-27oC hanya 50% populasi merasa nyaman, serta pada THI > 27oC sebanyak 100% populasi merasa tidak nyaman (Emmanuel, 2005). Penggunaan rumus Nieuwolt diterapkan pada beberapa kajian antara perasaan kenyamanan secara subjektif pada berbagai wilayah dengan kisaran nilai THI hasil perhitungan. Hasil kajian tersebut disajikan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 7.
17 Tabel 7. Selang kenyamanan beberapa negara Negara Indonesia Malaysia India USA bagian utara
Pustaka
Selang kenyamanan THI (oC) 20-26 21-26 21-26 20-22
USA bagain selatan
21-25
Daratan Eropa England
20-26 14-19
Mom, 1947 Webb, 1952 Malhotra, 1955 American Society of heating AC Engineers, 1955 American Society of heating AC Engineers, 1955 McFarlane, 1958 Bedford, 1954
Berdasar Tabel 7 terlihat bahwa wilayah kajian tidak hanya wilayah tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan India, juga negara subtropis (USA bagian Utara, USA bagian selatan, daratan Eropa dan England).
Dari Tabel 7 terlihat untuk
wilayah tropis kisaran kenyamanan berada pada rentang nilai THI 20 hingga 26 o
C, nilai ini konsisten pada kedua negara tropis, kecuali Indonesia. Sedangkan
untuk wilayah subtropis didapatkan variasi yang signifikan. Untuk USA utara pada kisaran nyaman pada rentang THI begitu sempit 20-22oC. Berbeda dengan USA selatan antara 21-25oC. Sementara di daratan Eropa hampir sama dengan Indonesia batas nyaman pada THI 20-26oC, kecuali England batas nyaman pada nilai THI < 20 yakni 14-19oC.
Keragaman ini terjadi terkait dengan latar
belakang lokasi pemukiman responden populasi.
Misalnya Inggris wilayah
o
lintang tinggi dengan nilai THI selalu rendah (< 20 C), sehingga tatkala nilai THI > 20oC semua responden menyatakan sudah tidak nyaman. Menurut Tapper (2002) Radiasi netto permukaan bumi merupakan gambaran dari kesetimbangan antara gelombang radiasi pendek yang datang (Rsin) dikurangi yang pergi (Rsout) ditambah radiasi gelombang panjang yang datang (Rlin) dikurangi yang pergi (Rlout). Neraca energi penting dikaji karena dapat dijadikan sebagai penciri kondisi iklim lokal/regional suatu lokasi, yang memberikan informasi nilai masing-masing komponen radiasi yang terkonversi menjadi fluks pemanasan udara, fluks pemanasan tanah dan fluks pemanasan laten (untuk evaporasi) (Sellers et al, 1997; Katlthoff et al, 1999).
18 Ciri kota dibandingkan desa akan sangat berbeda dalam hal konversi radiasi netto untuk ketiga hal baik sebagai pemanas udara, pemanas permukaan maupun sebagai penguap air.
Khomarudin (2005) mengkaji Kota Surabaya
menemukan ciri neraca energi kota pada besarnya komponen radiasi netto dipakai untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab makin meluasnya fenomena UHI di perkotaan. Tiga konsep yang dikembangkan untuk mengkaji penggunaan neraca energi perkotaan: (1) Konsep Albedo (α) yaitu, rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi yang datang
pada permukaan.
Permukaan yang terang dan kering dicirikan oleh nilai albedo yang tinggi. (2) Konsep Rasio Bowen (β) (Ohmura, 1982; Perez et al, 1999) yaitu, rasio antara fluks untuk memanaskan udara dengan fluks penguapan.
Permukaan kering
dicirikan nilai β yang tinggi. (3) Konsep Fraksi Alfa (Fα) dikembangkan oleh Jarvis (1981) yaitu, rasio antara fluks penguapan dengan radiasi neto. Nilai Fα indikator besar-kecilnya jumlah energi Rn yang dipakai untuk penguapan. 2.7.
Penginderaan Jauh Pemanfaatan citra penginderaan jauh satelit paling banyak digunakan di
Indonesia adalah Landsat (51%), disusul citra SPOT (19%), Foto udara (13%), Radarsat (9%), JERS (8%), GMS (0.4%), dan jenis citra lain (0.6%), dengan pengguna dari pemerintah, lembaga perguruan tinggi/peneliti dan pihak swasta (Hanggono, et al. 2000). Penggunaan Landsat yang relatif tinggi karena beberapa keunggulannya (EROS, 1995), seperti cakupan datanya yang luas (185 x 185 km) dapat dipakai untuk kajian regional, memberikan informasi permukaan setiap 16 hari sehingga terjaga kekontinuan datanya, dengan resolusi (30 x 30 m), cukup baik bagi kajian karakteristik permukaan dengan data lebih rapat secara spasial, serta dengan multi spektral, objek yang sama diambil dengan multi kanal menghasilkan keluaran beberapa parameter permukaan untuk sekali pengambilan data. Sehingga hubungan dan penyusunan persamaan secara kuantitatif dapat dilakukan antara RTH dengan suhu udara. Prinsip dasar penginderaan jauh yaitu menangkap energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh suatu permukaan yang dipilah-pilah dalam sensor panjang gelombang. Suhu permukaan diperoleh
19 dari energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi pada satelit adalah sensor thermal Infrared. Permukaan bumi dengan suhu sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9.7 μm, merupakan kisaran radiasi infrared. Itulah sebabnya maka penginderaan jauh thermal banyak dilakukan pada spektrum antara 8–14 μm (Sutanto, 1999). Hasil riset dalam negeri telah banyak mengungkapkan keunggulan penggunaan data satelit penginderaan jauh dalam hal cakupan spasial yang luas, historis data terjaga serta pengamatan yang tidak terlalu banyak,
Risdiyanto
(2001) telah memonitor data cuaca di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan data satelit NOAA,
Khomarudin (2005) menduga evapotranspirasi skala regional
menggunakan data satelit penginderaan jauh dipadukan antara data NOAA dan Landsat TM untuk wilayah Surabaya. Kajian spesifik menggunakan penginderaan jauh dan teknik model GIS (Geographic Information System) untuk menganalisa UHI skala lokal dilakukan oleh Vukovich (1983), Balling dan Brazel (1998), Weng (2001), Streutker (2002) serta Xu dan Chen (2004).
Penggunaan penginderaan jauh pada wilayah
perkotaan untuk mengevaluasi besaran UHI dilakukan oleh Johnson et al. (1994), Nichol (1996), dan Weng (2003).
Klasifikasi tutupan lahan serta kaitannya
dengan UHI dikaji oleh Kim (1992), Lo dan Quattrochi (2003), Hawkins et al. (2004) dan Weng dan Yang (2004). Semua penelitian mengungkapkan potensi penggunaan penginderaan jauh untuk menganalisis fenomena UHI mendapatkan hasil yang baik dan akurat, meskipun tetap harus didukung oleh data observasi lapang di stasiun klimat sebagai data referensis.
Bahkan Yang (2000)
menggunakan penginderaan jauh dengan alasan membutuhkan data spasial yang rapat dan akurat bagi kajian simulasi keseimbangan neraca energi permukaan desa-kota
di Nebraska timur.
Sementara data dari stasiun yang ada dapat
digunakan sebagai bahan acuan untuk mengkalibrasi hasil pendugaan data dari ekstraksi Landsat. Voogt dan Oke (2003) mencatat penggunaan satelit saat ini dengan peningkatan pada resolusi spektral dan spasial, sehingga detil permukaan perkotaan penyebab UHI dapat dikaji, serta peningkatan pada resolusi kanal
20 termal digunakan untuk mengkaji iklim wilayah perkotaan. Bahkan BenDor dan Saaroni (1997) di Tel Aviv, Israel dengan menggunakan spasial kanal termal dengan resolusi sangat tinggi dapat mengkaji mikrostruktur permukaan kota, sehingga dapat dilakukan kajian iklim mikro perkotaan. Penginderaan jauh digunakan juga untuk mengkaji hubungan vegetasi dengan suhu permukaan oleh Gallo et al. (1993), Friedl dan Davis (1994), Gallo dan Owen (1999) serta Gallo et al. (2002). Kajian tentang hubungan vegetasi dengan suhu permukaan menggunakan NDVI dilakukan oleh Nichol (1994), Gallo dan Tarpley (1996), Owen et al. (1998), Quattrochi dan Ridd (1998). Kaitan NDVI dengan suhu permukaan didapatkan hasil yang nyata, sehingga dengan menggunakan data NDVI dapat digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan. Hasil ini tentunya sangat membantu bagi aplikasi di lapang yang membutuhkan waktu singkat dengan hanya mengekstraksi citra akan didapat data NDVI, dari data NDVI digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan. Kajian
model
pendugaan
berdasarkan
persamaan
menghitung komponen neraca energi, dilakukan oleh Dibella et al. (2000) dan Pielke Sr, et al. (2002).
empiris
untuk
Xinmei et al. (1993),
Hasil kajian neraca energi
cukup akurat bila luasan wilayah kajian mencakup kawasan yang luas (regional) dengan tutupan lahan homogen misalnya bila mengkaji skala perkebunan yang luas, areal padang pengembalaan dan kawasan hutan dengan tanaman sejenis, kawasan kota besar.
Sedangkan penggunaan lahan dengan tanaman campuran,
skala kajian yang lokal, dan areal pedesaan didapatkan hasil hitungan komponen neraca energi yang kurang akurat.
Hal ini terjadi karena pengideraan jauh
didasarkan pada satuan pengamatan terkecil berupa pixel, apabila dalam satu pixel dijumpai berbagai tipe tutupan, maka akan dianggap mewakili tutupan lahan tertentu yang secara rata-rata lebih menonjol jumlahnya dari tipe lainnya, misalkan pixel tersebut dianggap sebagai RTB padahal di dalamnya ada RTH, ada badan air, namun secara rata-rata lebih dominan RTB. Pada kurun waktu 11 tahun sejak 1990 hingga tahun 2000 Voogt dan Oke (2003) membuat intisari tentang kajian iklim perkotaan yang menggunakan penginderaan jauh, khususnya mengekstrak data Landsat, disajikan pada Tabel 8.
21 Tabel 8. Studi aplikasi citra Landsat yang dikaitkan dengan iklim kota Peneliti (tahun) Carnahan and Larson (1990) Kim (1992) Aniello, et al. (1995) Iino dan Hoyano (1996) Lougeay, et al. (1996) Nichol (1996) Gallo dan Owen (1998) Nichol (1998) Parlow (1999) Wald and Baleynaud (1999)
Aplikasi Perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural Model neraca energi urban Distribusi spasial suhu permukaan urban dan suhu permukaan vegetasi Model neraca energi perkotaan menggunakan pengideraan jauh dan GIS Pola suhu berkaitan dengan tipe lahan Bentuk spasial suhu permukaan kaitannya dengan morfologi urban Identifikasi multispektral ruang perkotaan untuk menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar Pendugaan suhu permukaan dinding dengan remote sensing menyusun suhu urban secara tiga dimensi Model neraca energi urban menggunakan metode spektral Evaluasi kualitas udara menggunakan metode remote sensing
Sumber: Voogt dan Oke (2003)
Berdasarkan Tabel 8 ada tiga tema utama dalam kajian penggunaan data Landsat.
Pertama, penggunaan penginderaan jauh termal untuk mengkaji
karakterstik UHI dikaitkan dengan karakteristik permukaan. Dimulai dari kajian Carnahan dan Larson tahun 1990 dengan menggunakan Landsat TM mengkaji perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural dengan memanfaatkan kanal 6 sebagai kanal untuk mendeteksi suhu permukaan. Lalu Aniello (1995) mengkaji distribusi spasial suhu permukaan urban dan wilayah bervegetasi. Dilanjutkan Nichol (1996) mengenai suhu permukaan dan kaitannya dengan morfologi urban dilanjutkan pada tahun 1998 dengan kajian tiga dimensi suhu urban. Lougeay (1996) menggunakan Landsat dalam kajian kaitan pola suhu dan tipe lahan. Kajian pada tema pertama hanya mungkin dilakukan karena fasilitas penginderaan jauh yang dilengkapi dengan multikanal, sehingga satu data dapat diekstrak menjadi banyak output, di mana setiap output dapat dikaji korelasi atau kaitan ouput yang satu dengan output yang lain. Tema kedua, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kajian neraca energi perkotaan. Dimulai oleh Kim (1992) menyusun model neraca enerji khusus untuk
22 wilayah urban, sehingga dari kajian ini muncul ide untuk mengekstrak nilai suhu udara dan nilai evapotranspirasi dari penggunaan neraca energi. Dilanjutkan oleh Iino dan Hoyano (1996) memodelkan neraca energi perkotaan menggunakan pengideraan jauh dan GIS, serta Parlow (1999) mengkaji pola neraca energi urban dengan pendekatan spektral.
Pada tema kedua aplikasi pengideraan jauh
dikombinasikan dengan GIS serta data observasi lapang sebagai data referensis masih dominan digunakan. Output yang diperoleh dari tema kedua adalah dapat dilakukan penghitungan evapotranspirasi dari suatu tipe kawasan lahan sehingga kajian potensi kekeringan dapat dilakukan. Tema ketiga, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kaitanya dengan kajian UHI baik di atmosfer maupun UHI permukaan. Dimulai oleh Gallo dan Owen (1998) mengidentifikasi ruang perkotaan dengan multispektral untuk menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar. Bahkan kajian lebih jauh yakni menilai kualitas udara menggunakan citra Landsat TM dilakukan oleh Wald dan Baleynaud (1999).
Dari tema ketiga diperoleh hasil
bahwa penggunaan data penginderaan jauh berpotensi besar sebagai pelengkap monitoring kualitas udara perkotaan di samping masih tetap diperlukan stasiun pemantau di setiap sudut perkotaan, sebagai data pengkalibrasi hasil ekstraksi data penginderaan jauh. Hasil kajian terbaru menggunakan penginderaan jauh khususnya citra Landsat pada wilayah Los Angelas, USA tahun 1988 dan 2003 oleh Hardegree (2006).
Hasil kajian disajikan secara spasial merupakan hasil olahan ekstraksi
Landsat pada dua periode data. Landsat 1988 sebagai data awal dan Landsat 2003 sebagai data akhir, sehingga perubahan karakteristik permukaan kota Los Angeles dan kaitannya dengan UHI dapat dipelajari secara mendalam. Seperti makin luasnya RTB dengan perubahan karakteristik permukaan yang makin kering, akan meningkatkan potensi penyerapan panas, penggunaan panas terasa dengan proporsi yang makin besar dibandingkan untuk penguapan (panas laten), semuanya menjadikan fenomena UHI makin terasa di perkotaan.
.