4
TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan pengidentifikasian dan pemahaman faktor yang memberikan kontribusi pada persepsi suatu obyek atau proses yang dianggap indah atau yang memberikan pengalaman yang bersifat menyenangkan. Secara etimologi, kata tersebut berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan persepsi. Estetik berkaitan erat dengan penilaian secara visual terhadap penampilan suatu objek (Simonds, 1983; dan Nassar, 1988). Menurut Heath (1988), manusia pada umumnya menyukai keindahan, masyarakat yang menilai lingkungannya indah akan menjaga kesinambungan lingkungannya atas inisiatif setiap individu. Salah satu upaya yang dilakukan manusia adalah perlindungan kualitas lingkungan. Adanya sikap protektif tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat sangat membutuhkan kehadiran lingkungan yang indah di sekitarnya karena menimbulkan perasaan nyaman dan menyenangkan bagi manusia (Sekuler dan Blake, 1994). Menurut Nassar (1988), kualitas estetik suatu lanskap dapat memberikan suatu kepuasan tersendiri kepada individu dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku manusia. Perilaku individu yang tercipta dapat meningkatkan suatu kualitas perdesaan, tentunya dengan mengajak individuindividu lain untuk ikut serta dalam peningkatan kualitas estetik. Estetik sering dikaitkan dengan keindahan, sedangkan indah adalah sesuatu yang dirasakan mempunyai hubungan harmonis dari semua bagian yang ditinjau dari suatu objek, ruang, dan kegiatan (Simonds, 1983). Lanskap dengan kualitas visual yang baik dipengaruhi oleh komposisi antara elemen keras dan elemen lunak yang harmonis sebagai elemen utama pembentuk lanskapnya (Suryandari, 2000). Penilaian terhadap kualitas estetik lingkungan menjadi alat yang sesuai dalam pengamatan lanskap alami dan nonalami. Meskipun merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dimakan, kualitas estetik dapat memberikan kepuasan secara mental bagi manusia. Pemenuhan terhadap kepuasan estetik merupakan
5
puncak dari kebutuhan manusia karena pada dasarnya manusia tidak hanya membutuhkan kepuasan secara fisik, tetapi yang utama adalah kepuasan terhadap jiwa. Keindahan lingkungan sebagai salah satu alat pemenuhan kebutuhan estetik perlu dipelajari dan dibuat metode penelitiannya sehingga lingkungan dapat dikelola dengan baik agar kualitas estetiknya dapat terlindungi dan tetap terjaga (Daniel dan Boster, 1976; dan Foster, 1982). Menurut Daniel dan Boster (1976), estetika merupakan definisi parsial oleh karakter dan kebergantungan pada lingkungan yang merupakan bagian terbesar dari pertimbangan manusia. Ekologi Lanskap Lanskap merupakan konfigurasi partikel topografi, tanaman penutup, permukaan lahan, pola kolonisasi yang tidak terbatas, beberapa koherensi dari kealamian, proses kultural, dan aktivitas. Ekologinya sendiri merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh faktor lingkungan terhadap jasad hidup atau suatu ilmu yang menghubungkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya tempat mereka hidup, bagaimana kehidupannya dan mengapa mereka ada di sini. Ekologi lanskap memberikan suatu konsep, teori, dan metode baru dalam memahami interaksi yang dinamis dalam ekosistem berdasarkan pola ruang. Menurut Thompson dan Stainer (1997), karakter kualitas ekologi berupa variabel-variabel ekologi, meliputi keanekaragaman hayati, kerapatan vegetasi, tingkat penutupan, kesuburan tanah, kepekaan terhadap erosi, tingkat kelembaban, dan intensitas cahaya. Dalam setiap pembangunan yang ada sekarang terdapat banyak pengaruh terhadap sistem ruang dan sistem ekologinya. Pengaruh tersebut mengakibatkan perubahan yang dapat bersifat positif atau negatif, dampak positif dapat berupa lingkungan yang seimbang dan lestari. Dampak negatif berupa kerusakan lingkungan (Merriam, 1994; Turner, Gardner, dan O’neil, 2001). Dampak negatif tersebut dapat merugikan lingkungan sekitar terutama pada aspek ekologinya. Prinsip utama ekologi lanskap adalah integrasi ruang dan proses ekologi di dalamnya. Ekologi lanskap yang ada di setiap tempat dapat memberikan sebuah inspirasi untuk memahami hubungan ekosistem dan lingkungannya. Pemahaman tersebut dapat membantu pihak berwenang untuk melakukan pembangunan
6
perdesaan dengan benar tanpa adanya kesalahan yang dapat berdampak buruk. Pemahaman proses ekologi di dalam tapak juga dapat membantu pengambilan keputusan pembangunan yang tepat. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari kegiatan pembangunan berupa hasil yang positif (Thorne dan Huang, 1990; Merriam, 1994; dan Turner et al, 2001). Lanskap Perdesaan Perdesaan merupakan tapak yang masih memiliki kekayaan alam yang cukup banyak. Kekayaan tersebut banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk dijadikan lahan pertanian. Lanskap perdesaan berpotensi untuk dikelola dengan maksimum tanpa harus merusak kesuburannya. Lanskap ini merupakan gabungan antara lanskap yang dikelola dan lanskap alami yang ada. Lanskap tersebut tidak hanya menggambarkan bagian dari muka bumi yang tidak hanya dihuni untuk permukiman, tetapi juga mampu mempreservasi lingkungan yang alami. Sumber daya alami, makanan, dan habitat satwa liar mampu disediakan oleh lanskap ini yang memungkinkan manusia untuk hidup di lingkungan ekologi yang sangat beragam (Departemen Pekerjaan Umum, 2005). Lanskap perdesaan yang dimanfaatkan harus bersifat berkelanjutan dengan masyarakat perdesaan yang ada dapat mengintegrasi kelestarian lingkungan sosial dengan cara hidup yang berdampak rendah. Terbentuknya suatu desa tidak terlepas dari insting manusia, yang secara naluriah ingin hidup bersama keluarga, yang kemudian memilih suatu kediaman bersama. Lahan perdesaan yang ada saat ini pada umumnya digunakan oleh masyarakat untuk berbagai aktivitas, seperti kegiatan pertanian, pertambangan, peternakan, rekreasi, kegiatan sosial, perdagangan, atau industri yang secara keseluruhan memberikan nilai lebih terhadap lanskapnya. Penggunaan lahan yang berkelanjutan dapat memberikan suatu pemahaman umum tentang bagaimana orang berinteraksi dengan lingkungan mereka. Fasilitas alam seperti pegunungan, padang rumput, sungai, danau, dan hutan dapat mempengaruhi baik lokasi maupun organisasi masyarakat perdesaan. Awal permukiman sering bergantung pada sumber daya alam yang tersedia, seperti air untuk transportasi, irigasi, atau tenaga mesin. Tersedianya bahan seperti
7
kayu atau batu dapat mempengaruhi pembangunan rumah, gudang, pagar, jembatan, jalan, dan bangunan masyarakat. Pola tata ruang dalam skala besar bergantung pada hubungan antarkomponen utama fisik, bentukan lahan, dan fasilitas alami. Perkembangan teknologi, politik, ekonomi, serta lingkungan alam mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pola permukiman, antara lain agar dekat dengan pasar dan ketersediaan transportasi. Berbagai jenis vegetasi berhubungan langsung dengan terbentuknya suatu pola pembangunan lahan. Vegetasi tersebut meliputi pohon, semak, dan tanaman hias, yang kebanyakan digunakan untuk keperluan pertanian. Fasilitas yang ada di perdesaan banyak yang berubah dari waktu ke waktu. Vegetasi merupakan fasilitas alam yang dinamis. Vegetasi tumbuh dan berubah sesuai dengan waktu. Setiap spesies vegetasi memiliki pola pertumbuhan dan cara hidup yang berbedabeda dan unik. Berbagai jenis bangunan yang ada berguna untuk melayani kebutuhan manusia yang berkaitan dengan pekerjaan dan penggunaan lahan. Bangunan dirancang untuk melindungi aktivitas manusia termasuk tempat tinggal, sekolah, gereja, gudang, toko, dan ruang aktivitas lainnya. Perdesaan dan struktur bangunannya sering menunjukkan pola desain vernakular yang biasanya digunakan oleh mereka. Elemen yang ada di perdesaan membentuk suatu karakteristik perdesaan tersebut. Elemen tersebut dapat berupa hard material dan soft material. Elemen yang sudah ada memiliki nilai tersendiri bila masyarakat dapat bekerja sama dalam memelihara dan mengelolanya. Pada lanskap desa biasanya banyak sekali ditemukan lanskap pertanian, tetapi tidak menutup kemungkinan pada lanskap desa terdapat bangunan di dalamnya. Adanya bangunan-bangunan pada suatu lanskap dapat mempengaruhi pemandangan, membentuk ruang terbuka, memodifikasi iklim mikro, dan menambah nilai fungsional pada tapak (Booth, 1983). Karakter Lanskap Karakter lanskap diidentifikasikan sebagai kunci dalam menganalisis karakter visual suatu lanskap. Karakter lanskap ini meliputi penutupan lahan, tata
8
guna lahan, dan bentukan lahan. Karakteristik bentukan lahan diperoleh melalui interpretasi data survei tanah, sedangkan penutupan lahan dan tata guna lahan diperoleh melalui perkiraan foto udara, peta topografi, peta geologi, dan peta permukaan air. Bentuk, garis, warna, dan tekstur merupakan elemen dasar yang sering digunakan untuk menentukan respons visual pada karakteristik lanskap (Stone, 1978). Karakteristik lanskap yang memiliki kualitas estetik tinggi di antaranya adalah dominasi vegetasi, keteraturan, dan tidak adanya dominasi bangunan (Meliawati, 2003). Karakter lanskap merupakan suatu area yang memiliki keharmonisan atau kesatuan antarelemen lanskap di dalamnya (Simonds, 1983). Karakteristik bangunan seperti tekstur, detil, dan proporsi dapat menentukan kualitas lingkungan tempat bangunan tersebut berada (Booth, 1983). Meliawati (2003) menyatakan bahwa karakteristik lanskap dengan bangunan yang cukup padat dan kurang tertata dengan baik memiliki kualitas keindahan rendah. Gunawan dan Yoshida (1994) menyatakan bahwa bangunan pertokoan dianggap tidak indah dan tidak nyaman karena cenderung terlalu padat. Kualitas Estetik Lanskap Menurut Simonds (1983), lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia dengan karakter yang menyatu secara alami dan harmonis untuk memperkuat karakter lanskap tersebut. Dalam hal ini manusia memegang peranan penting dalam merasakan lanskap dan memberikan penilaian terhadap kualitas suatu lanskap. Kualitas estetik lanskap dapat dinilai dari respons pengamat setelah melihat penampilan dari suatu objek yang akan menimbulkan persepsi dari pengamat. Menurut Nassar (1988), estetika secara terapan berkaitan dengan psikologi lingkungan untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup manusia. Sesuatu yang secara visual dinilai indah sebagai reaksi adalah yang mempunyai keharmonisan di antara seluruh bagian-bagiannya (Simonds, 1983). Penilaian kualitas visual lanskap minimum dapat menentukan secara visual lanskap mana yang lebih baik atau unggul daripada yang lain. Menurut Kumurur (2003), estetika lingkungan adalah hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap lingkungan. Menurutnya estetika lingkungan terwujud
9
dalam bentuk (1) terjaganya arsitektural bangunan serta kesesuaian dengan lingkungan sekitar atau bentang alam serta ketinggian bangunan, (2) terbinanya landscaping dengan adanya pepohonan di setiap lingkungan perumahan dan kawasan kegiatan sesuai dengan ekosistem wilayah, (3) lingkungan permukiman yang bebas dari gangguan bau, (4) lingkungan permukiman yang bebas dari gangguan kebisingan, (5) lingkungan permukiman yang bebas dari gangguan getaran, dan (6) lingkungan permukiman yang bebas dari gangguan radiasi. Menurut Nassar (1988), kualitas estetik adalah sebuah pemahaman psikologis yang melibatkan penilaian subjektif. Kualitas estetik suatu lanskap tidak hanya bergantung pada karakteristik fisik lanskap, tetapi juga pada penilaian subjektif dari individu pengamat yang melihat lanskap tersebut. Kualitas estetik juga merupakan properti dari suatu lanskap dan dapat dinyatakan secara objektif. Kualitas estetik sangat berperan dalam membentuk suatu kerakter dan identitas suatu tempat (Heath, 1988). Tempat yang memiliki nilai estetik tinggi biasanya menjadi pusat perhatian masyarakat sekitar. Komponen dari suatu objek dalam menentukan estetik ditentukan oleh dua macam penilaian estetik, yaitu estetik formal dan estetik simbolik. Estetik formal menilai suatu objek berdasarkan bentuk, ukuran, warna, kompleksitas, dan keseimbangan suatu objek, sedangkan estetik simbolik menilai suatu objek berdasarkan pada makna konotatif dari objek tersebut setelah dialami oleh pengamat (Nassar, 1988). Nilai estetik suatu tempat atau lanskap merupakan dimensi penting dalam pengamatan ekologi, dan kekuatan nilai estetik telah menjadi aspek utama dalam tindakan konservasi. Perumusan kebijakan tentang estetik juga membawa pada pemahaman yang baik atas masalah lingkungan. Sebagai contoh pemandangan pegunungan yang masih alami dengan hutan gundul yang tidak hanya nilai estetiknya berbeda, tetapi kondisi ekologi keduanya juga berbeda. Nilai estetik dapat menjadi salah satu alat ukur lingkungan, karena indera manusia mampu menangkap dan membedakan kondisi lingkungan di sekitarnya melalui indera penglihatan, pendengaran, atau penciuman (Foster, 1982).
10
Persepsi dan Preferensi Manusia Menurut Daniel dan Boster (1976), kualitas estetik tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan kekayaan lanskapnya saja, tetapi sebagian besar ditentukan oleh persepsi dan preferensi masyarakat terhadap lanskap tersebut. Persepsi merupakan suatu proses biologis manusia yang melibatkan seluruh panca indra untuk melihat, mendengar, dan mencium dan merasakan suatu objek (Sekuler dan Blake, 1994). Menurut Simonds (1983), persepsi merupakan bagian dari sistem kognisi manusia. Persepsi merupakan proses yang terjadi akibat rangsangan terhadap panca indra, terutama indra penglihatan. Persepsi juga merupakan suatu gambaran, pengertian, serta interpretasi seseorang terhadap obyek, terutama bagaimana orang menghubungkan informasi yang diperolehnya dengan diri dan lingkungan tempat dia berada. Bentuk persepsi tersebut berbeda pada setiap orang karena pengaruh latar belakang intelektual. Kedalaman persepsi akan sebanding dengan kedalaman intelektual dan semakin banyak pengalaman emosional yang dialami seseorang (Eckbo, 1964). Lebih lanjut Porteous (1977) menambahkan bahwa persepsi akan menentukan tindakan seseorang terhadap lingkungan. Porteous (1977) mendefinisikan persepsi sebagai suatu respons berbentuk tindakan yang dihasilkan dari kombinasi faktor eksternal dan internal manusia. Persepsi yang berulang-ulang akan menbentuk preferensi, yaitu suatu bentuk keputusan mental untuk lebih menyenangi, tertarik, dan memilih sesuatu dibandingkan dengan yang lainnya. Menurut Gifford (1997), persepsi seseorang terhadap lingkungan dipengaruhi oleh faktor pribadi, faktor budaya, dan faktor fisik dari lingkungan itu sendiri. Faktor pribadi meliputi kemampuan perceptional dan karakteristik seseorang seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial, pendidikan, pengalaman terhadap setting dan kesukaan seseorang terhadap setting. Faktor fisik dan lingkungan terdiri atas fitur-fitur fisik berupa elemen-elemen yang membentuk lingkungan tersebut. Persepsi manusia terhadap lanskap sangat penting dalam upaya perbaikan kualitas lanskap, baik secara fungsional maupun estetik. Sebaliknya, lanskap dapat membentuk persepsi manusia, dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku manusia (Nassar, 1988).
11
Preferensi merupakan tindakan yang dilakukan manusia untuk memilih sesuatu dengan faktor-faktor yang ada. Menurut Siregar (2004), faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat terhadap suatu kualitas visual lanskap ditentukan oleh baik kualitas lanskap tersebut maupun keadaan psikologis masyarakat yang mengamati. Menurut Berleant (1988), apabila seseorang merasakan kepuasan terhadap suatu objek, ia akan menilai objek tersebut indah atau bagus. Menurut Nassar (1988), apabila terdapat perasaan tidak puas terhadap suatu objek, objek tersebut memiliki nilai tidak bagus, dan manusia akan cenderung untuk menghindari objek tersebut.