TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Ciri-Ciri Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Selanjutnya menurut Nybakken (1988), kata mangrove berasal dari perpaduan antara bahasa portugis, Mangue dan bahasa Inggris, Grove. Pengertian mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuhan pada tanah galian. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau, hutan pasang surut dan hutan payau. Istilah hutan bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu tumbuhan yang terdapat pada hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp, oleh karena itu hutan mangrove lebih dikenal dan telah ditetapkan sebagai mangrove forest. Hutan mangrove umumnya banyak terdapat di daerah pesisir, seperti pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang memiliki muara sungai besar serta estuaria dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur (Dahuri et al, 1996). Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-
Universitas Sumatera Utara
budaya yang sangat penting, misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumberdaya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2006).
Manfaat Hutan Mangrove Wilayah pesisir terdiri dari berbagai tipe ekosistem yang satu sama lainnya saling berkait dan saling memiliki ketergantungan. Salah satu bentuk ekosistem dan merupakan ekosistem terestrial yang utama di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Salah satu karakteristik hutan dan sumberdaya alam lainnya menurut Suparmoko (1989) adalah bahwa hutan mempunyai banyak manfaat (multilple use). Hal ini disebabkan karena selain sebagai produsen kayu, hutan juga mempunyai berbagai fungsi penting lainnya. Sehingga, dalam pengambilan keputusan mengenai macam penggunaan dan pengelolaan hutan perlu diperhatikan bahwa tidak semua lahan cocok untuk semua bentuk pemanfaatan. Berdasarkan bentuk dan wujudnya, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : manfaat tangibel dan manfaat intangibel. Manfaat tangibel antara lain : kayu, hasil hutan ikutan dan lain-lain. Sementara manfaat
Universitas Sumatera Utara
intangibel antara lain : pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan dan lain-lain. Secara teoritis menurut Davies, Claridge dan Nararita (1995) hutan mangrove memiliki fungsi-fungsi dan manfaat sebagai berikut : 1. Habitat satwa langka. Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa endemik seperti Bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik di Kalimantan, Beruk Mentawai (Macacapagensis) yang endemik di Kepulauan Mentawai dan Tuntong (Batagur baska) yang endemik di Sumatera. Lebih dari 100 jenis burung hidup di sini, dan daratan lumpur yang luas yang berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai migran, termasuk jenis burung langka blekok Asia (Limnodromus semipalmatus). 2.
Pelindung terhadap bencana alam.Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam.
3. Pengendapan lumpur. Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. 4. Penambat unsur hara. Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi pengendapan unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian. 5. Penambat racun. Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan melakukan proses penambatan racun secara aktif.
Universitas Sumatera Utara
6. Sumber Alam dalam Kawasan (In-Situ) dan Luar Kawasan (Ex-Situ). Hasil alam in-situ mencakup semua fauna, flora dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk yang dihasilkan oleh proses-proses alamiah di hutan mangrove dan berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur. 7. Transportasi. Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan. 8. Sumber plasma nutfah. Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi hidupan liar itu sendiri. 9. Rekreasi dan Pariwisata. Hutan mangrove memiliki potensi nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari hidupan yang ada di dalamnya. 10. Sarana pendidikan dan penelitian. Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan. 11. Memelihara proses-proses dan sistem alami. Hutan mangrove sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi atau geologi di dalamnya. 12. Penyerapan karbon. Proses fotosintesis mengubah karbon anorganik (dari CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke
Universitas Sumatera Utara
atmosfer sebagai CO2. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan sebagai sumber karbon. 13. Memelihara iklim mikro. Evapotranspirasi dari hutan mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga. 14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam. Keberadaan hutan mangrove dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi asam.
Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove Dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah berubah bentang lahannya, karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki boundary yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s.d. tahun 1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha atau sebesar 61 %. Contoh kasus lokal di kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Langkat dan Deli Serdang (termasuk Serdang Bedagai) yang diteliti dilaporkan oleh Purwoko dan Onziral (2002) yang menyatakan bahwa berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan lagi bagi vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami. Gambaran kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan sumberdaya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan
Universitas Sumatera Utara
pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus-kasus adanya keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan menurut laporan Ramli dan Purwoko (2005) terjadi di beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu, Sei Canggang, Pantai Pandan dan Sei Berombang. Di Kabupaten Serdang Bedagai, hutan mangrove umumnya memiliki tingkat keterbukaan wilayah yang tinggi dan relatif dekat dengan sentra-sentra kegiatan perekonomian masyarakat. Kondisi ini membuat hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai memiliki interaksi sosio-ekosistem yang tinggi. Menurut Purwoko & Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir. Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, Kusmana (2003) menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk
Universitas Sumatera Utara
budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir. Bengen (2001) menjelaskan bahwa kerusakan di atas dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Akan tetapi, dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Oleh karena itu, Bengen (2001) menyarankan agar isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Selain oleh faktor-faktor fisik lingkungan, kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut (2002), parameter sosial ekonomi yang sering digunakan untuk mengkaji kerusakan ekosistem mangrove adalah jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu, pendekatan
kelembagaan
masyarakat
juga
perlu
diperhatikan
dalam
Universitas Sumatera Utara
penanggulangan kerusakan ekositem mangrove. Dahuri (2001) menjelaskan ahwa keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian juga dengan Wantasen (2002), menyatakan bahwa adanya kelembagaan pengelolaan yang melibatkan semua elemen stakeholder biasa mencegah terjadinya kerusakan mangrove. Studi kasus pada pengelolaan Cagar Alam Mutiara Hijau di Teluk Bintuni juga menyimpulkan bahwa peranan Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan salah satu stakeholder penting dalam pengelolaan kawasan hutan (Sihite, 2005). Ekosistem mangrove memiliki berbagai potensi manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku berbagai jenis industri dan habitat berbagai jenis fauna (Zaitunah, 2005). Namun kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove yang cukup memprihatinkan. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh adanya kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan (minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan kelestariannya. Savitri dan Khazali (1999) menjelaskan, penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Secara khusus Pasaribu (2004) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove di Provinsi Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, penebangan liar (illegal logging), pembukaan tambak udang secara liar, persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum.
Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan kawasan mangrove yang efektif dan efisien di Pantai Timur Sumatera Utara dengan berbasis pada potensi kawasan yang ada. Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat (Siregar dan Purwoko, 2002).
Universitas Sumatera Utara