TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Kumbang Tanduk (Coleoptera: Scarabaeidae) Kumbang tanduk O. rhinoceros merupakan hama utama pertanaman kelapa sawit muda, terutama pertanaman ulang di areal sebelumnya terserang berat dan tanaman dapat mati. Apabila hama ini dapat bertahan dalam areal pertanaman maka hasil tanaman akan menurun, bahkan pada saat awal produksinya akan tertunda (Chenon, et al., 1997). Kumbang tanduk betina bertelur pada bahan-bahan organik seperti di tempat sampah, daun-daunan yang telah membusuk, pupuk kandang, batang kelapa, kompos, dan lain-lain. Siklus hidup kumbang ini antara 4-9 bulan, namun pada umumnya 4,7 bulan. Jumlah telurnya 30-70 butir atau lebih, dan menetas setelah lebih kurang 12 hari. Telut berwarna putih, mula-mula bentuknya jorong, kemudian berubah agak membulat. Telur yang baru diletakkan panjangnya 3 mm dan lebar 2 mm (Vandaveer, 2004 dan Hartono, 2008).
Gambar 1. Telur O. rhinoceros Sumber http://commons.wikimedia.org
Larva O. rhinoceros berkaki 3 pasang, Tahap larva terdiri dari tiga instar, masa larva instar satu 12-21 hari, instar dua 12-21 hari dan instar tiga 60-165 hari. Larva terakhir mempunyai ukuran 10-12 cm, larva dewasa berbentuk huruf C,
Universitas Sumatera Utara
kepala dan kakinya berwarna coklat (Mohan, 2006). Lundi yang baru menetas berwarna putih, panjangnya 8 mm, lundi dewasa berwarna putih kekuningkuningan kepalanya berwarna merah coklat. Lundi-lundi yang telah dewasa masuk lebih dalam kedalam tanah yang sedikit lembab (lebih kurang 30 cm) untuk berkepompong (Hartono, 2008).
Gambar 2: Larva O. rhinoceros Sumber : Foto langsung
Pupa berada di dalam tanah, berwarna coklat kekuningan berada dalam kokon yang dibuat dari bahan-bahan organik di sekitar tempat hidupnya. Pupa jantan berukuran sekitar 3-5 cm, yang betina agak pendek. Masa prapupa 8-13 hari. Masa kepompong berlangsung antara 18-23 hari. Kumbang yang baru muncul dari pupa akan tetap tinggal di tempatnya antara 5-20 hari, kemudian terbang keluar (Prawirosukarto dkk., 2003).
Gambar 3. Pupa O. rhinoceros. Sumber : Foto langsung
Universitas Sumatera Utara
Imago berwarna hitam, ukuran tubuh 35-45 mm, sedangkan menurut Mohan (2002), imago O. rhinoceros mempunyai panjang 30-57 mm dan lebar 1421 mm, imago jantan lebih kecil dari imago betina. O. rhinoceros
betina
mempunyai bulu tebal pada bagian ujung abdomenya, sedangkan yang jantan tidak berbulu. O. rhinoceros dapat terbang sampai sejauh 9 km. Imago aktif pada malam hari untuk mencari makanan dan mencari pasangan untuk berkembangbiak (Prawirosukarto dkk., 2003 dan Mohan, 2006).
Gambar 4. Imago O. rhinoceros. Sumber : Foto Langsung
Gejala Serangan Oryctes rhinoceros Kumbang badak O. rhinoceros menyebabkan kerusakan dengan cara melubangi tanaman, begitu juga menurut Loring (2007) tanda serangan terlihat pada bekas lubang gerekan pada pangkal batang, selanjutnya mengakibatkan pelepah
daun
muda
putus
dan
membusuk
kering.
Sedangkan
Prawirosukarto dkk. (2003) mengatakan, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kelapa sawit menyebabkan masalah. Hama ini sekarang juga dijumpai pada areal tanaman yang menghasilkan. O. rhinoceros ini pertumbuhan
tanaman
dan
dapat
mengakibatkan
dapat merusak tanaman
mati
(Chong dkk., 1991).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5 : Gejala Serangan Sumber : http://.wikimedia.org
Hama ini biasanya berkembangbiak pada tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan, yang banyak dijumpai pada kedua areal tersebut. Kumbang dewasa akan menggerek pucuk kelapa sawit. Gerekan tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan jika sampai merusak titik tumbuh akan dapat mematikan tanaman. Pada areal peremajaan kelapa sawit, serangan kumbang tanduk dapat mengakibatkan tertundanya masa produksi kelapa sawit sampai satu tahun dan tanaman yang mati dapat mencapai 25%. Akhir-akhir ini, serangan kumbang tanduk juga dilaporkan terjadi pada tanaman kelapa sawit tua sebagai akibat aplikasi mulsa tandan kosong sawit (TKS) yang tidak tepat (lebih dari satu lapis). Serangan hama tersebut menyebabkan tanaman kelapa sawit tua, menurun produksinya dan dapat mengalami kematian (Winarto, 2005). Pada tanaman muda kumbang tanduk ini mulai menggerek dari bagian sampin bonggol pada ketiak pelepah terbawah, langsung ke arah titik tumbuh kelapa sawit. Panjang lubang gerekan dapat mencapai 4,2 cm dalam sehari. Apabila gerekan sampai ke titik tumbuh, kemungkinan tanaman akan mati. Pucuk kelapa sawit yang terserang, apabila nantinya membuka pelepah daunnya akan kelihatan
seperti
kipas
atau
bentuk
lain
yang
tidak
normal
(Prawirosukarto dkk., 2003).
Universitas Sumatera Utara
Metode Pengendalian O. rhinoceros
Teknik pengendalian O. rhinoceros yang umum dilaksanakan adalah dengan pengelolaan tanaman penutup tanah (leguminose cover crop), sistem pembakaran, sistem pencacahan batang, pengutipan kumbang dan larva, secara kimiawi dan hayati. Semua metode pengendalian diaplikasikan secara tunggal maupun
terpadu
menunjukkan
kerterbatasan
dalam
skala
yang
besar (Chenon, et al., 1997). Paket yang dilaksanakan dalam pengendalian kumbang O. rhinoceros, biasanya terdiri dari mekanis, biologi dan kimiawi Metode mekanis terdiri dari pengutipan larva dan kumbang dari sisa tanaman, secara kimiawi meliputi penggunaan pestisida, dan secara biologi dengan menggunakan
Metarhizium
anisopliae,
Beauveria
bassiana
dan
Baculovirus oryctes (Chandrika, 2005). Pemerangkapan O. rhinoceros menggunakan fetotrap, berupa feromon sintetik ( Etil- 4 metil oktanoate ) yang digantungkan dalam ember plastik kapasitas 12 liter merupakan pengendalian secara mekanis kumbang tanduk yang dilakukan pada areal kelapa sawit yang mencakup areal luas dan ramah lingkungan ( Prawirosukarto dkk., 2003 dan Chenon, et al., 1997).
Insektisida Kimia Insektisida berasal dari kata Insect, yang berarti serangga dan –cide artinya membunuh. Secara harfiah insektisida membunuh atau mengendalikan serangga hama pengertian insektisida menjadi sangat luas, yaitu semua “ bahan “ atau campuran bahan yang digunakan untuk mencegah, merusak, menolak, atau
Universitas Sumatera Utara
mengurangi serangga hama. pengertian “ Bahan “ dapat berupa bahan kimiawi maupun bahan non kimiawi. menarik, mengusir, menghalau (repel) atau mengatur pertumbuhan serangga (Komar, 2008). Menurut Wudianto, (2001) Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga. saluran pernafasan, akan mengikat enzim kholinesterase. Fungsi dari enzim kholinesterase ini adalah mengatur bekerjanya saraf. Bila enzim yang berada dalam darah tersebut diikat, akan menimbulkan gejala-gejala yang secara nyata tampak pada sistem biologis yang dapat menyebabkan kesakitan (salah satunya kegagalan pernafasan akut) sampai kematian (Abidin, 2009) Efikasi pestisida dilakukan untuk melihat keampuhan suatu suatu produk, penentuan keampuhan suatu produk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ; -
Intrinsik yaitu faktor yang berasal dari dalam produk itu sendiri seperti senyawa, OPT sasaran, dosis, konsentrasi dan formulasi.
-
Aplikasi yaitu faktor diantaranya alat aplikasi, waktu aplikasi, cara pencampuran dan penyimpanan.
-
Ektrinsik yaitu faktor diantaranya sinar matahari, suhu, hujan dan angin.
Karbofuran
merupakan
insektisida
yang
mempunyai
nama
kimia 2,3- dihydro -2,2- dimethyl-7-benzofuranyl methylcarbamate. insektisida ini termasuk golongan karbamat. karbofuran adalah salah satu insektisida yang paling beracun dari golongan karbamat bersifat sistemik dan bersifat racun kontak
Universitas Sumatera Utara
dan perut. Insektisida ini efektif mengendalikan hama yang berada dalam tanah (Baehaki 1993) Karbosulfan merupakan insektisida sistemik. Insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Dalam tubuh serangga, karbosulfan akan diubah menjadi karbofuran. Nama kimia karbosulfan adalah 2,3-dihydro-2 ,2dimethyl
bensofuran-7-yl-(dibutylaminotio)metyl karbamat
benzofuran-7-yl-
(dibutylaminotio) metylkarbamat (Baehaki, 1993). Sipermetrin adalah senyawa sintetis terutama digunakan sebagai insektisida. Senyawa tersebut mengandung racun neurotoxin yang bekerja dengan cepat dalam tubuh serangga. Sipermetrin bekerja sebagai racun kontak dan perut. Nama kimia sipermetrin adalah (R, S)-alfa-Cyano-3-phenoxybenzyl (1R, 1S), trans-3 (2,2dimethyl cycloppropanecarboylate (Baehaki, 1993). Diazinon dapat merupakan insektisida yang berasal dari golongan organofosfat. Insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Diazinon
terdiri
phosphorothioate,
dari
(O,O-diethyl-O-(2-isopropyl-6-methyl-5-pyrimidilnyl)
yang
berwarna
gelap
ke
coklat
cair
(Baehaki, 1993 dan Djojosumarto, 2008). Diazinon termasuk ke dalam golongan organophosphat, yang merupakan suatu bahan kimia yang efektif digunakan untuk membasmi serangga. Organofosfat merupakan insektisida yang paling toksik. Diazinon digunakan secara luas untuk membasmi serangga dalam industri pertanian. Zat ini juga efektif dalam membasmi serangga di dalam tanah.
Universitas Sumatera Utara
Karateristik Metarhizium anisopliae ( Metch) Sorokin.
M. anisopliae merupakan salah satu cendawan entomopatogen yang termasuk dalam devisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Cendawan ini biasa disebut dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia. M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera. Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia (Prayogo dkk., 2005). M. anisopliae mempunyai konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96 µm. Cendawan ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman (Prayogo dkk., 2005). Larva dan pupa yang di infeksi M. anisopliae
dicirikan ketika ada
perubahan warna menjadi kecoklatan atau hitam pada kutikula serangga. Infeksi selanjutnya terjadi ketika serangga yang mati menjadi lebih keras dan akhirnya ditutupi oleh hifa dari jamur yang kemudian berubah menjadi hijau sesuai dengan spora yang menjadi dewasa (Moslim dkk., 2007). Faktor- Faktor yang Mempengaruhi M. anisopliae
Pada
umumya
suhu
optimum
cendawan
entomopatogen
untuk
perkembangan dan pertumbuhannya, daya menyebabkan penyakit dan bertahan
Universitas Sumatera Utara
hidup di alam adalah antara 0-30oC. Umumnya temperatur di atas 350 C menghambat pertumbuhan dan perkembangan dari jamur entomopatogen. Konidia M. anisopliae mempunyai titik kematian pada suhu panas 400 0 C selama 15 menit. Dibawah 400C sel- sel cendawan biasanya bertahan hidup namun jarang berkembang. Jamur entomopatogen, pada umumnya dapat mentoleransi kisaran yang luas dari konsenterasi ion hidrogen antara pH 5-10 dengan pH optimum sekitar 7 (McCoy dkk., 2005) . Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 22−270C. Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban di atas 90%, konidia akan berkecambah dengan baik bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100%. Patogenisitas cendawan M. anisopliae akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 86% (Prayogo dkk., 2005). Keefektipan cendawan entomoparogen dipengaruhi oleh waktu aplikasi. Setelah diaplikasi, cendawan entomoparogen membutuhkan kelembaban yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang. Kelembaban udara yang tinggi dibutuhkan pada saat pembentukan tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi ke integument serangga. Kelembapan di atas 90% selama 6- 12 jam setelah inokulasi dibutuhkan cendawan untuk melakukan penetrasi di dalam tubuh serangga. Cendawan entomopatogen sangat rentan terhadap sinar matahari khususnya sinar ultra violet. Oleh karena itu aplikasi cendawan pada musim kemarau perlu dihindari dan sebaiknya aplikasi dilakukan pada saat kelembaban tinggi (Prayogo dkk., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme Infeksi M. Anisopliae
Mekanisme infeksi M. anisopliae yang pertama adalah Inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga. Propagul cendawan M. anisopliae berupa konidia. Kemudian kedua terjadi proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga. Kemudian terjadi penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium). Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Kemudian Destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang selanjutnya beredar ke dalam hemolimf dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Pada umumnya serangga sudah mati sebelum proliferasi blastospora. Enam senyawa enzim dikeluarkan oleh M. anisopliae, yaitu lipase, khitinase, amilase, proteinase, pospatase, dan esterase. Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi (Prayogo dkk., 2005). Tandan kosong kelapa sawit
Tandan kosong kelapa sawit termasuk jenis limbah yang mengandung lignoselulosa dengan penyusun utama selulosa, hemiselulosa , dan lignin. Selulosa merupakan fraksi yang terbesar diantara ketiga komponen tersebut 45,95% basis kering atau 206 kg selulosa/ton tandan kosong. Komponen tersebut merupakan sumber karbon bagi mikroorganisme yang dimanfaatkannya sebagai bahan dasar
Universitas Sumatera Utara
pembuaatan asam organik, etanol, protein sel tunggal atau bahan kimia lainnya melalui biokonversi. Pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit yang pernah dilakukan adalah untuk produksi pulp dan kertas sebagai sumber energi bahan pengisi plastik, briket arang dan kompos. Pemanfaatan tandan kosong ini didasarkan pada kandungan bahan organik yang cukup tinggi yang terdiri dari 42,8% C, 2,90 % K2O, 0,80% N, 0,22% P2O, 0,30% MgO, 10 ppm B, 23 ppm CU, dan 51 ppm Zn (Susanto, dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara