TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Tanaman manggis dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Malpighiales
Famili
: Clusiaceae
Genus
: Garcinia
Spesies
: G. mangostana L. Manggis merupakan salah satu buah yang digemari oleh masyarakat
Indonesia. Tanaman manggis berasal dari hutan tropis yang teduh di kawasan Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Indonesia. Dari Asia Tenggara, tanaman ini menyebar ke daerah Amerika Tengah dan daerah tropis lainnya seperti Filipina, Papua New Guinea, Kamboja, Thailand, Srilanka, Madagaskar, Honduras, Brazil dan Australia Utara. Manggis merupakan salah satu buah unggulan Indonesia yang memiliki peluang ekspor cukup menjanjikan. Permintaan manggis meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan kebutuhan konsumen terhadap buah. (Prihatman, 2000) Manggis dikenal dengan julukan ratu buah tropis yaity queen of fruits of tropical fruit, (Fairchild, 1915). Tampilan buahnya yang eksotis serta rasa yang khas belakangan dikenal sebagai salah satu buah yang bermanfaat bagi kesehatan (Sakagami et al, 2005). Ekspor manggis dari Indonesia mengalami peningkatan
seiring dengan kebutuhan buah manggis dunia terutama Hongkong, Singapura, dan Inggris (Prihatman, 2000). Manggis mempunyai berbagai macam nama lokal khususnya di Indonesia seperti manggu (Jawa Barat), manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara), manggista (Sumatera Barat). Pohon manggis dapat tumbuh di dataran rendah sampai di ketinggian di bawah 1.000 m dpl. Pertumbuhan terbaik dicapai pada daerah dengan ketinggian di bawah 500-600 m dpl. Buah manggis dapat disajikan dalam bentuk segar, sebagai buah kaleng, dibuat sirop/sari buah. Secara tradisional buah manggis digunakan sebagai obat sariawan, wasir dan luka. Kulit buah dimanfaatkan sebagai pewarna termasuk untuk tekstil dan air rebusannya dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Batang pohon dipakai sebagai bahan bangunan, kayu bakar/ kerajinan. (Prihatman, 2000) Kulit manggis yang dahulu hanya dibuang saja ternyata dapat dikembangkan sebagai obat. Kulit buah manggis setelah diteliti ternyata mengandung
beberapa
senyawa
dengan
aktivitas
farmakologi
misalnya
antiinflamasi, antihistamin, pengobatan penyakit jantung, antibakteri, antijamur. Beberapa senyawa utama kandungan kulit buah manggis adalah golongan xanton. Senyawa xanton yang telah teridentifikasi, diantaranya alfa mangostin dan gamma-mangostin. Pemanfaatan kulit buah manggis sebenarnya sudah dilakukan sejak lama. Kulit buah manggis secara tradisional digunakan pada berbagai pengobatan di Negara India, Myanmar Sri Langka, dan Thailand. Secara luas, masyarakat Thailand memanfaatkan kulit buah manggis untuk pengobatan penyakit sariawan, disentri, cystitis, diare, gonorea, dan eksim. Kulit buah manggis dibuat menjadi salep untuk mengobati eksim, air rebusan kulit manggis
juga digunakan sebagai ramuan untuk mengobati luka, demam, diare, sariawan dan sembelit, selain itu juga bubuk atau serbuk dari kulit manggis yang dikeringkan juga bermanfaat untuk mengobati disentri (Mardiana, 2011). Ekstrak dan kandungan alami yang berasal dari G. mangostana yang dikenal sebagai xanthones, dilaporkan memiliki berbagai manfaat yang cukup besar di bidang farmakologi. Berbagai manfaat antara lain sebagai antioksidan, anti jamur, anti bakteri, sitotoksik, anti inflamasi, anti histimin, anti HIV dan fungsi lainnya. (Obolskiy, et al. 2009)
Pemuliaan Manggis
Manggis termasuk dalam famili Clusiaceae dan genus Garcinia. Genus ini terbagi dalam 400 spesies (Campbell 1996; Richard 1990). Pohon manggis mencapai tinggi 10-25 meter. Diameter batang 25-35 cm dan kulit batang biasanya berwarna coklat gelap atau hampir hitam, kasar dan cenderung mengelupas. Getah manggis berwarna kuning dan terdapat pada semua jaringan utama tanaman (Shabella, 2011) Daun manggis merupakan daun tunggal, lonjong, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang 20-25 cm, lebar 6-9 cm, tebal, tngkai silindris, hijau (Hutapea, 1994). Buah manggis berbentuk bulat atau agak pipih dengan diameter 3,5-8 cm. Berat buah bervariasi sekitar 75-150 gram, tergantung pada umur pohon dan daerah geografisnya. Tebal kulit buah berkisar antara 0,8-1 cm, berwarna keunguan dan biasanya mengandung cairan kuning yang rasanya pahit. Buah manggis mengandung 5-7 segmen. Segmen-segmen umumnya berukuran tidak
sama dan biasanya mengandung 1-2 biji. Biji-biji besar berbentuk pipih berwarna ungu gelap atau cokelat dengan panjang 2-2,5 cm, lebar 1,5-2,0 cm dan tebalnya antara 0,7-1,2 cm tertutup oleh serat lunak yang menyebar sampai ke dalam daging buah. Berat biji bervariasi antara 0,1-2,2 gram (Shabella, 2011) Bunga manggis bersifat dioecius (berumah dua), tetapi hanya bunga betina yang dapat dijumpai sebab bunga jantan mengalami rudimenter (Steenis 1975; Cox 1988). Sehingga reproduksinya bersifat parthenogenesis. Manggis memiliki jumlah kromosom 2n = 4x = 90, diduga tetraploid dan kemungkinan allotetraploid atau amplidiploid. Merupakan turunan dari Garcinia malacensis (2n = 2x = 42) dan Garcinia hambroniana (2n = 2x = 48), manggis merupakan turunan yang memiliki morfologi intermediet antara 2 spesies diploid ini. Biji manggis merupakan biji apomiksis yaitu biji yang terbentuk bukan merupakan hasil perkawinan/seksual sehingga secara genetik turunan yang dihasilkan akan sama dengan induk betina (Verheij dan Coronel,1992). Tandatanda apomiksis pada manggis antara lain adalah terjadinya pengecambahan biji tanpa adanya peran dari organ jantan, adanya proembryo adventitious pertumbuhan secara vegetatif dari nucellar atau jaringan integumen, dan menghasilkan beberapa kecambah dari satu biji (Richards 1990). Kihara (1951) mengatakan bunga jantan tanaman manggis mengalami rudimenter sehingga hal ini menjadi kendala untuk perbaikan varietas melalui persilangan. Pertumbuhan lambat dan system perakaran manggis kurang berkembang (Cox, 1970). Lambatnya pertumbuhan bibit manggis disebabkan akar lateral yang tidak memiliki bulu-bulu akar yang sangat dibutuhkan untuk absorbsi nutrisi dan air .
Perbanyakan manggis secara umum dilakukan melalui biji dan cara perbanyakan lainnya, seperti penyusuan, sambung pucuk atau kultur jaringan. Tanaman manggis bersifat apomiksis sehingga tanaman yang berasal dari biji secara genetis akan sama dengan induknya (Horn 1940 ; Ochse et al . 1961; Cox 1976). Metode pemuliaan manggis yang telah diterapkan diantaranya adalah dengan irradiasi sinar gamma dengan dosis tertentu, hibridisasi, transformasi gen, irradiasi nodular kallus, dan irradiasi benih.
Keragaman Genetik Keragaman genetik dalam populasi memiliki arti yang sangat penting untuk pengembangan sumber genetik yang dibutuhkan bagi kegiatan pemuliaan (Karsinah dkk. 2002). Keragaman genetik memainkan peranan penting dalam adaptabilitas suatu spesies. Spesies yang memiliki derajat keragaman genetik yang tinggi akan memiliki lebih banyak variasi alel yang dapat diseleksi (Elford dan Stansfield, 2007). Menurut Nijs dan Van Dijk (1993) manggis termasuk dalam agamospermae sehingga biji yang dihasilkan biji apomiksis. Oleh sebab itu perlu untuk membuat keragaman genetik pada tanaman manggis. Manggis termasuk tanaman yang membiak dengan biji secara apomiksis sehingga manggis yang berasal dari biji mempunyai kesamaan genotipe dengan induknya. Artinya tanaman manggis yang diperbanyak dengan biji dan vegetatif akan mempunyai susunan yang sama (Bradshaw, 1980). Verheij (1991) mengatakan bahwa pada manggis terdapat variasi ukuran daun, buah diduga disebabkan oleh lingkungan.
Manggis termasuk tanaman agamospermy yang reproduksinya secara aseksual melalui jaringan proembrio jaringan ovular. Implikasi dari system reproduksi yang aseksual tersebut seharusnya manggis menghasilkan buah yang seragam dan hanya ada satu varietas (Horn, 1940, Richard 1990). Namun kenyataannya dijumpai berbagai ragam bentuk, penampilan, ukuran daun dan buah (Gonzales dan Quirino 1951, Mansyah et al. 1992). Keragaman
genetik
pada
manggis
kemungkinan
disebabkan
perkembangan ploidi. Dari hasil penelitian pada tiga group tetua dan progeni dari manggis menunjukkan adanya keragaman genetik pada progeninya. Dimana keragaman antara keturunan dan tetuanya bekisar 0.59 – 1.0. Hal ini dapat menunjukkan bukti yang mendukung adanya keragaman genetik pada manggis yang tergolong tanaman apomiksis (Mansyah et al. 2007). Seperti dalam penelitian terdahulu (Mansyah et al. 2004) variasi genetik dapat terjadi antara tanaman induk manggis dan keturunannya. Banyak bentuk keragaman genetik yang mungkin timbul setelah terjadinya hibridisasi dari perkawinan seksual dengan sifat reproduktif yang divergen (Spillane et al. 2001) Hasil pengamatan Mansyah et al (1999) menunjukkan bahwa populasi manggis Sumatera Barat memiliki variabilitas fenotif yang luas untuk karakter panjang daun, jumlah buah per tandan, bobot buah, tebal kulit buah dan total padatan terlarut. Namun dari hasil isoenzim glucose phosphate isomerase diketahui bahwa manggis yang berasal dari lokasi yang berbeda diperoleh pola pita yang sama. Indonesia adalah salah satu negara penghasil manggis, dan pohon manggis tersebar di berbagai pulau – pulau di Indonesia. Mansyah (2010) melaporkan
keragaman morfologi pada pohon manggis yang tersebar di Indonesia. Daerah penyebaran manggis yang diobservasi meliputi Sumatera Barat (Padang, Payakumbuh, Sawahlunto/Sijunjung, Lubuk Alung, Kamang, Pesisir Selatan, Pasaman dan Solok), Riau (Tembilahan-Indragiri Hilir), Jambi (Muaro Tebo), Sumatera Selatan (Lahat, Ogan Komering Ilir, and Ogan Komering Ulu), Bengkulu (Pal VIII, Rejang Lebong), Bangka/Belitung (Badau, Buluh Tumbang, Kelapa Kampit, Bantan, dan Pelulusan ). Di Jawa , survey meliputi Jawa Barat (Leuwiliang-Bogor dan Wanayasa-Purwakarta), Jawa Tengah (Kaligesing – Purworejo) dan Jawa Timur (Watulimo-Trenggalek).Survey ini meliputi 192 pohon yang berusia lebih besar dari 25 tahun. Lokasi survei dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi penyebaran manggis di Sumatera dan Jawa (Mansyah, 2010) Dari hasil observasi tersebut terdapat keragaman morfologi yang dapat dikelompokkan dalam 11 karakter morfologi. Karakter tersebut meliputi : bentuk kanopi/ canopy shape, warna daun dewasa/ mature leaf colour, jumlah bunga dan buah per kluster/ number of flowers and fruits per cluster, panjang pedikal/ pedicel length, ukuran buah/fruit shape, bentuk buah/fruit-base shape, bentuk
stigma/ stigma lobe shape, ukuran dan ketebalan/ size, and thickness, jumlah segment buah/ the number of fruit segments, dan ketebalan kulit/ rind thickness. Beberapa peneliti juga melaporkan adanya keragaman morfologi pada manggis. Wester (1962) menggambarkan bahwa manggis Jolo memiliki bentuk yang lebih besar dan kulit yang lebih tebal dibandingkan dengan yang ada di Singapura dan Saigon. Rasanya lebih asam dari pada yang ada di Malaysia. Cox (1970) melaporkan bahwa terdapat rasa yang paling enak dan ukuran yang lebih besar dijumpai pada manggis Jawa dibandingkan yang biasa didapati pada manggis di Filipina. Beberapa pohon di Burma didapati memiliki bercak kuning. Di Nicaragua didapati pula ukuran manggis dan ukuran daun yang lebih kecil. Manggis telah memberikan nilai value yang tinggi bagi buah ekspor Indonesia. Untuk itu perlu adanya pengembangan ke arah peningkatan nilai ekonomis. Kendala – kendala saat ini yang ada antara lain pertumbuhan yang lambat, kualitas rendah dengan adanya bercak pada kulit buah, getah kuning pada kulit dan buah. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD) memberikan rekomendasi berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk pengembangan kualitas manggis yaitu : mempercepat pertumbuhan manggis dengan memanipulasi penggunaan CO2, penggunaan mikoriza, teknologi ramah lingkungan, pemupukan dan irigasi yang baik (Mansyah et al. 2013) Pemuliaan secara konvensional sulit dilakukan pada tanaman manggis dikarenakan polen mengalami rudimenter sehingga dapat dikatakan manggis tidak memiliki polen dan masa pertumbuhan yang lama (Morton, 1987). Fauza et al (2005)
menyatakan
bahwa
iradiasi
sinar
gamma
pada
biji
manggis
memperlihatkan adanya peningkatan variabilitas fenotip pada beberapa karakter
yang diamati seperti tinggi tanaman, jumlah daun per tanaman, diameter batang, dan lebar daun. Induksi iradiasi sinar gamma dapat meningkatkan keragaman genetik manggis. Keragaman genetik akibat iradiasi sinar gamma berdasarkam marka ISSR meningkat sebesar 5% dibandingkan tanpa iradiasi. Pada tanaman padi, radiasi dengan sinar gamma pada dosis tertentu diketahui dapat menginduksi mutasi klorofil dan meningkatkan varaisi genetic ketahanan terhadap penyakit blas (Mugiono, 1996). Studi genetika populasi melalui persilangan sulit dilakukan pada tanaman manggis karena merupakan tanaman berumur panjang dan bersifat apomiksis. Pola keragaman genetika dan pewarisan sifat pada tanaman sejenis manggis adalah dengan pengamatan langsung pada populasi yang ada dan bantuan marka molekuler. Penggunaan marka molekuler mempunyai beberapa keuntungan diantaranya tidak dipengaruhi oleh lingkungan serta memberikan informasi langsung dari genom individu (Leverbre et al. 2001) Upaya perbaikan sifat tanaman manggis dengan meningkatkan keragaman genetiknya perlu dilakukan. Seperti telah diketahui, modal dasar pemulian tanaman adalah adanya keragaman yang luas. Dengan adanya variabilitas yang luas , proses seleksi dapat dilakukan secara efektif karena akan memberikan peluang yang lebih besar untuk diperoleh karakter-karkter yang diinginkan (Sobir and Poerwanto, 2007)
Tabel 1. Karakter morfologi manggis yang tersebar di Jawa dan Sumatera (Mansyah, 2010) No
Characters
1
Canopy shape
2
Leaf Area
Observation Value
56 to 198 cm²
3
Fruit weight
47.5 to 187 g
4
Mature Leaf Colour
-
5
6
Flower and Fruit Clustering Habit
Fruits shape
7
Fruit Base Shape
8
Pedical length
Variation Category 1. Elliptical 2. Pyramidal 3. Semicircular 1. Large 2. Medium 3. Small 1. Large 2. Medium 3. Small 1. Green 2. Variegata (Combination of green and white colour)
Stigma lobe shape
10
Stigma lobe size
11
Stigma lobe thickness Fruit Segmen
29 65 6 ≥ 150 cm² 100 - 150 cm² < 100 cm² > 140 g 70 - 140 g < 70 g
1. One flower or fruit
Height Diameter Ratio 0.780.93
1. Round 2. Ellipsoid 3. Ovoid 4. Irregular
-
Round Flattened Pointed
0.5 to 3.1 cm
1. Short
20
12
0.84 - 0.88
75
< 0.84 > 0.88
19.8 4.7 0.5 75 20.3 4.7
0.5 - 1.5 cm > 1.5-2.5 cm > 2.5 cm
1. Round 2. Ellipsoid Stigma lobe diameter/fruit diameter ratio 0.25-0.45
1. Small 2. Medium 3. Large
1. Thick 2. Thin 12 4 to 11 1. 4 to 8 2. 5 to 11 13 Rind 3 to 13 mm 1. Thick thickness 2. Medium 3. Thin ¹ The percentage was calculated from 192 tree samples
3 80 17 99.5 0.5
68
per cluster 2. Combination of 1 and 2 flowers or fruits per cluster 3. Combination of 1,2,3,4 up to 12 flowers fruits per cluster
2. Medium 3. Long 9
Percentage¹ Value
5 80 15 96 4
≤ 0.30 0.31-0.39 ≥ 0.40
3 92 5
≥ 1 mm < 1 mm
93 7 96 4 23 74 5
> 9 mm 6 - 9 mm < 6 mm
Gambar 2 : Morfologi tanaman manggis (Mansyah, 2010)
Hasil Amplifikasi Fragment Length Polymorphism (AFLP) terhadap sembilan sampel genom manggis menunjukkan adanya keragaman yang tinggi. Dengan metode underweighted pair-group with arithme average (UPGMA) pada koefisen jarak genetik 60% menghasilkan satu kelompok genom, dan pada koefisien kesamaan genetik 70% menghasilkan tiga kelompok aksesi manggis. Informasi variabilitas genetik diharapkan dapat mendukung program pemuliaan manggis (Makful et al. 2010) Ramage et al. (2004) melaporkan adanya hubungan kekerabatan antara 37 aksesi spesies manggis dan antara 11 aksesi dari 8 spesies Garcinia lainnya dengan menggunakan marka molekular Randomly Amplified DNA Fingerprinting (RAF). Hasilnya memperlihatkan pada 26 aksesi yang ada tidak terdapat variasi yang dideteksi diatas 530 loci. 8 aksesi (22%) menunjukkan variasi namun pada tingkat yang sangat rendah (0.2-1%) dan 3 aksesi lainnya (8%) menunjukkan tingkat keragaman yang lebih ekstensif. Sinaga et al. (2007) melaporkan keragaman genetik 99 aksesi manggis di Indonesia dengan penanda RAPD diperoleh 88 pita DNA yang berbeda dengan kisaran 0.2 – 2.0 yang diamplifikasi dengan menggunakan delapan primer terpilih yaitu SBH 12, SBH 13, SBH 14, SBH 19, OPA 14, OPA 16, OPA 17, OPA 18. Penggunaan DNA marker dengan teknik AFLP dengan menggunakan 4 jenis isoenzim yaitu Esterase (EST), Peroxidase (PER), Acid Phosphatase (ACP), dan Malic dehydrogenase (MDH) pada 13 aksesi manggis dan tanaman yang masih memiliki hubungan kekerabatan, diperoleh 220 pita polimorfik dan diperoleh variabel koefisien dengan kisaran 0.38 – 0.89 (Sobir et al. 2009).
Keragaman genetik pada tanaman menggis tergolong terbatas dan untuk meningkatkan keragaman genetik dapat digunakan mutasi dengan sinar gamma dan selanjutnya karakter morfologi seperti karakter pertumbuhan bibit, struktur anatomi daun, system perakaran pada biji yang dilakukan pada dua varietas yaitu Wanayasa dan Puspahiang. Radiasi sinar gamma juga dilakukan pada 22 putative mutant yang diamplifikasi dengan 5 primer, dan diperoleh hasil bahwa keragaman genetik tertinggi terjadi pada kalus nodular dibandingkan dengan perlakuan radiasi pada biji (Sobir dan Poerwanto, 2007). Penelitian lain juga menunjukkan biji manggis yang dikulturkan dalam medium 1/2 MS yang ditambahkan 5 ppm BAP dan diberi perlakuan radiasi pada 11 level dosis sinar gamma juga memperlihatkan perubahan morfologi pada akar, daun dan parameter anatomi lainnya (Harahap, 2005). Keragaman genetik manggis dengan menggunakan ISSR (Inter-simple sequence repeat) pada 23 aksesi manggis di pulau Sumatera diperoleh koefisien keragaman pada kisaran 0.44 – 0.96, dengan menggunakan 11 primer, 2 diantara primer tersebut adalah monomorfik. Primer yang digunakan yaitu PKBT-2, PKBT-3, PKBT-4, PKBT-5, PKBT-7, PKBT-8, PKBT-10, PKBT-11, PKBT-12, PKBT-14 dan ISSRED-14 (Mansyah, et al. 2010). Sobir et al. (2011) berhasil melakukan analisis keragaman dengan teknik ISSR pada 28 aksesi manggis dan 11 kerabatnya dengan menggunakan 7 primer. Primer yang digunakan antara lain : PKBT-2, PKBT-4, PKBT-5, PKBT-6, PKBT3, PKBT-10. Dari hasil dendrogram diperoleh 7 kerabat dekat G. mangostana yaitu (G. sizygiifolia, G. hombroniana, G. celebica-2, G. livingstonei, G. bancana, G. picrorhiza, G. porrecta) yang berada dalam group yang terpisah. Sementara
yang berada dalam 1 group dengan G. mangostana adalah G. xanthochymus, G. malaccenensis, G. celebica-1 dan G. dulcis. Dengan koefisien keragaman pada level 22%. Untuk mengetahui keragaman manggis di pulau Jawa (Prabowo 2002 ; Mansyah 2002) dengan teknik DNA, mengekstrak DNA dari 21 aksesi yang terdiri dari 10 yang berasal dari Wanayasa, 5 dari Leuwiliang, 4 dari Kaligesing dan 2 dari Watulimo. Lima primer terpilih yang digunakan adalah SB13, SB19, OPH12, OPH13 dan OPH18. Dengan teknik RAPD ini berhasil diperoleh total 51 pola pita dan 42 pola pita (82.4%) yang polimorfik. Sahasrabudhe and Deodhar (2010) melaporkan hasil RAPD manggis yang berasal dari bagian barat Ghats, India. Enam primer yang digunakan yaitu OPD02, OPD-05, OPD-07, OPD-08, OPD-11 dan OPD-13 menghasilkan pola pita polimorfik sebanyak 28 pola pita. Persentase polimorfis berada pada range 13 – 37.5%. Yapwattanaphun et al. (2002) melaporkan hasil hasil ITS (internal transcriber spacer region of ribosomal DNA/ nrDNA dari 17 spesies Garcinia termasuk spesies G. mangostana diperoleh bahwa G. malaccensis adalah tetua dari manggis dan satu lagi yang kemungkinan menjadi tetua manggis adalah G. hombroniana. ITS sekuensing analisis juga memperlihatkan G. atroviridis, G.cowa, G. dulcis, G. malaccensis, G. mangostana, G. rostrata dan G. vilersiana memiliki dua nukleotida pada posisi nukleotida yang sama. Adanya getah kuning pada buah manggis saat ini menjadi faktor pengganggu bagi penerimaan konsumen terhadap kualitas buah manggis. Salah satu teknik yang digunakan untuk mendeteksi adalah penggunaan teknik short
wavelength near infrared (SW-NIR) transmittance spectroscopy. Sontisuk, et al. (2006) melakukan teknik ini pada 193 manggis yang berasal dari Kasetsart Agricultural and Agro-Industrial Product Improvement Institute, Bangkok, Thailand. Dengan teknik ini dapat dideteksi adanya getah kuning dan diharapkan dengan teknik ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi karakter lainnya seperti ukuran buah, ketebalan kulit, biji, kandungan getah dan warna kulit yang bertujuan untuk peningkatan kualitas ekonomi buah manggis. Untuk menentukan keragaman genetik tanaman dapat didasarkan pada sifat agronomi, morfologi, biokimia, dan marka molekuler. Namun penanda molekuler dapat menunjukkan perbedaan genetik pada tingkat yang lebih rinci tanpa gangguan faktor lingkungan serta melibatkan teknik yang memberikan hasil keragaman genetik yang cepat. Berbagai jenis penanda molekuler berbeda potensinya dalam mendeteksi perbedaaan antara individu, biaya, fasilitas yang dibutuhkan, konsistensi dan replikasi hasil (Mohammadi dan Prasanna, 2003 ; Sudre et al. 2007)
Marka RAPD Identifikasi dan karakterisasi manggis dan kerabat dekatnya penting dilakukan untuk memperoleh sumber keragaman genetik baru, untuk pemanfaatan konservasi dan pemuliaan genetiknya (Sinaga, et al. 2007). Metode yang sering digunakan untuk studi keragaman genetik berdasarkan sidik jari DNA yang berbasis polymerase chain reaction (PCR) seperti Random amplified polymorphic DNA (RAPD) (Williams et al. 1990)
Studi genetika pada tanaman yang apomiksis seperti manggis dibutuhkan dua pendekatan yaitu pada tanaman tetua dan pada keragaman progeninya dengan analisis molekular (Koltunov, 1993). Fase juvenile pada tanaman manggis yang cukup lama menyebabkan sulitnya untuk mengamati dan menganalisis keragaman yang terjadi pada keturunannya. Hal ini dapat diatasi dengan mengevaluasi karakter morfologi pada beberapa populasi manggis, menganalisis karakter biji dan ditanam pada lokasi yang sama, kegiatan ini dapat dilakukan dengan marka molekuler. Marka Random amplified polymorphic DNA (RAPD) merupakan metode yang menggunakan oglionukleotida tunggal pendek (primer), sepanjang 10-12 basa, untuk membentuk fragmen-fragmen DNA. Metode RAPD memanfaatkan PCR untuk mengamplifikasi sekuen DNA yang komplementer terhadap primer. Sekuen DNA yang komplementer dengan primer akan terhibridisasi secara acak (random), selanjutnya dilakukan perbanyakan (amplified) terhadap sekuen-sekuen DNA komplementer tersebut. Tahap selanjutnya yaitu melakukan elektroforesis pada agarose atau polyacrilamide gel untuk memisahkan fragmen DNA berdasarkan ukurannya. Kemudian dilakukan pewarnaan dengan ethidium bromide dan fragmen-fragmen DNA akan terlihat jika disinari dengan sinar UV. Metode RAPD dapat menghasilkan beragam pita pada individu dengan primer tunggal. Variasi band yang terlihat umumnya disebut random amplified polymorphic DNA (RAPD) bands. Polimorphisme akan terlihat dan selanjutnya bisa digunakan sebagai marka genetik. Pemanfaatan metode RAPD antara lain untuk deteksi polimorphisme sekuens DNA, pemetaan genetik berbagai populasi, keragaman genetik, dan identifikasi varietas serta analisis asal-usul organisme
(filogenetik). Metode RAPD mempunyai keunggulan dan juga kekurangan. Keunggulan metode RAPD yaitu waktu yang dibutuhkan singkat, mudah dilaksanakan, lebih murah, dan primer yang diperlukan sudah banyak dikomersilkan sehingga mudah diperoleh. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis banyak organisme, karena primer yang digunakan bersifat universal yang berarti primer dapat digunakan tanpa perlu mengetahui informasi sekuen DNA terlebih dahulu (Weising et al. 1994) Salah satu keuntungan pemakaian analisis keragaman genetik tanaman dengan menggunakan teknik molekuler yang memanfaatkan teknologi amplifikasi PCR adalah kuantitas DNA yang diperlukan hanya sedikit. Disamping itu, dalam pelaksanaan teknik RAPD tingkat kemurnian DNA yang dibutuhkan tidak perlu terlalu tinggi, atau dengan kata lain teknik amplifikasi PCR relatif toleran terhadap tingkat kemurnian DNA. Walaupun demikian, dalam suatu teknik isolasi DNA masih diperlukan suatu tahapan untuk meminimalkan senyawa-senyawa kontaminan yang dapat mengganggu reaksi PCR seperti polisakarida dan metabolit sekunder. Hal ini disebabkan keberadaan polisakarida dan metabolit sekunder dalam sel tanaman sering menyulitkan dalam isolasi asam nukleat. Adanya polisakarida dan senyawa metabolit sekunder dalam sel tanaman sering menyulitkan dalam proses isolasi asam nukleat. Struktur polisakarida yang mirip dengan asam nukleat akan menyebabkan polisakarida tersebut akan mengendap bersama dengan asam nukleat (Wilkins dan Smart, 1996). Dalam program pemuliaan tanaman, diperlukan identifikasi baik karakter morfologi maupun molekuler untuk menguji keragaman genotip klon-klon yang akan dipilih untuk tetua persilangan. Pemakaian teknik RAPD memiliki resolusi
yang sebanding dengan RFLP dalam hal analisis kekerabatan antar genotif dan mampu menghasilkan jumlah karakter yang tidak terbatas sehingga sangat membantu dalam analisis keragaman genetik tanaman yang tidak diketahui latar belakang genomnya. Analisis RAPD hanya memerlukan sejumlah kecil DNA sehingga sangat sesuai untuk species tanaman berkayu. RAPD memerlukan biaya lebih rendah dibandingkan biaya untuk uji kekerabatan berdasarkan analisis DNA yang lain. Pemakaian marka molekuler RAPD banyak digunakan untuk menyusun kekerabatan beberapa individu dalam spesies maupun kekerabatan antar spesies. Penggunaan kekerabatan ini dapat dijadikan rujukan dalam pemuliaan persilangan untuk mendapatkan keragaman yang tinggi dari hasil suatu persilangan. Teknik RAPD menggunakan primer acak maupun spesifik telah terbukti dapat digunakan sebagai penanda molekuler untuk berbagai karakter agronomis penting (Maftuchah, 2001). Dengan teknik RAPD didapatkan variasi genetik antar populasi manggis Jawa dan Sumatera. Besarnya variasi genetik tersebut sangat ditentukan oleh jenis primer yang digunakan (Mansyah, 2002). Sompong
(2004)
dengan
menggunakan
teknik
RAPD
untuk
mengidentifikasi kesamaan genetik pada mikropropagasi. Mereka melakukan perbanyakan somaklonal dengan menghasilkan nodular kalus yang berasal dari daun manggis. Delapan pola pita berhasil diamplifikasi dan menunjukkan tidak terdapat polimorfis pada somaklon. Hal ini memperlihatkan bahwa teknik RAPD dapat dipakai untuk melihat ada tidaknya polimorfisme walaupun pada masingmasing individu tersebut terdapat keragaman morfologi.