TINJAUAN PUSTAKA Perairan Sungai Perairan adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis (tergenang) seperti danau. Perairan ini dapat dibedakan atas perairan tawar, payau, maupun asin (laut). Perairan darat meliputi sungai, rawa, danau, payau atau muara sungai. Sungai merupakan salah satu perairan lotik (berarus cepat) yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti aktivitas alam dan aktivitas manusia di Daerah Aliran Sungai (DAS). Menurut Undang-undang Nomor 07 Tahun 2004 tentang sumberdaya air, bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sungai merupakan air permukaan yang bersifat mengalir. Air permukaan yang ada seperti sungai dan danau banyak dimanfaatkan untuk keperluan manusia seperti tempat penampungan air, alat transportasi, mengairi sawah dan keperluan peternakan, keperluan industri, perumahan, sebagai daerah tangkapan air, pengendali banjir, ketersediaan air, irigasi, tempat memelihara ikan dan juga sebagai tempat rekreasi. Dilihat dari fungsinya sebagai tempat penampungan air maka sungai mempunyai kapasitas tertentu dan dapat berubah karena kondisi alami maupun antropogenik (Hendrawan, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Pencemaran Sungai Berbagai macam aktivitas pemanfaatan sungai seperti kegiatan perikanan, pertanian, keperluan rumah tangga, industri dan transportasi
pada akhirnya akan
memberikan dampak terhadap sungai antara lain penurunan kualitas air, hal ini dikarenakan limbah yang dihasilkan dari berbagai macam kegiatan tersebut kebanyakan dibuang ke sungai atau tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Sungai mempunyai kemampuan untuk membersihkan diri (self purification) dari berbagai sumber masukan limbah, akan tetapi jika melebihi kemampuan daya dukung sungai (carrying capacity) akan menimbulkan masalah yang serius bagi perairan (Setiawan, 2009). Pencemaran adalah perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat fisika, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air adalah masuknya makhluk hidup, zat atau komponen lain yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan perubahan tatanan air dan menyebabkan penurunan kualitas air sehingga dapat merugikan bagi kehidupan organisme air. Bahan pencemar umumnya berupa limbah, seperti limbah industri, limbah pertanian dan limbah rumah tangga. Bahan pencemar adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, pencemaran dikelompokkan menjadi dua yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik (Effendi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Sumber-sumber pencemaran secara umum dapat dikategorikan menjadi point source dan nonpoint source. Sumber pencemaran yang termasuk dalam point source adalah berasal dari kegiatan industri, namun jenis dan jumlah bahan pencemar yang dibuang ditentukan oleh jenis kegiatan industri tersebut. Sedangkan sumber pencemar nonpoint source berasal dari berbagai sumber, seperti limbah yang mengalir dari pemukiman serta kegiatan pertanian dan dalam prakteknya lebih sulit untuk ditampung atau diolah terlebih dahulu
(Setiana, 1996).
Sumber pencemar air berdasarkan karakteristik limbah yang dihasilkan dapat dibedakan menjadi sumber limbah domestik dan sumber limbah
non domestik.
Sumber limbah domestik umumnya berasal dari daerah pemukiman penduduk dan sumber limbah non domestik berasal dari kegiatan seperti industri, pertanian, perikanan, pertambakan atau kegiatan yang bukan berasal dari daerah pemukiman (Yuliastuti, 2011).
Limbah Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Limbah yang dihasilkan berupa sampah, air kakus (black water) dan air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water). Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan limbah didefinisikan sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Menurut Effendi (2003), mengelompokkan bahan pencemar di perairan menjadi beberapa kelompok yaitu, (1) limbah yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut (2) limbah yang mengakibatkan munculnya penyakit (disease causing agents),
Universitas Sumatera Utara
(3) senyawa organik sintetis, (4) nutrien tumbuhan, mineral, (6) sedimen, (7) radioaktif, (8) panas dan
(5) senyawa anorganik dan
(9) minyak.
Bila ditinjau secara kimiawi, limbah terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah (Agusnar, 2008). Menurut Mudarisin (2004), berdasarkan sumbernya jenis limbah cair yang dapat mencemari perairan dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan yaitu: 1. Limbah cair domestik, yaitu limbah yang berasal dari pemukiman, tempat-tempat komersial (perdagangan, perkantoran dan institusi) dan tempat-tempat rekreasi. Air limbah domestik yang dihasilkan dari pemukiman umumnya berupa buangan limbah cair dari kamar mandi, mencuci dan kakus. Limbah tersebut mengandung zat padat yang terbagi atas 70 % zat organik (protein, karbohidrat dan lemak) dan sisanya berupa zat anorganik sebanyak 30 % berupa garam-garam, pasir dan logam. 2. Limbah cair industri, yaitu limbah cair yang dikeluarkan oleh industri sebagai akibat dari proses produksi. Limbah cair ini dapat berasal dari air bekas pencuci, bahan pelarut ataupun air pendingin dari industri-industri tersebut. Pada umumnya limbah cair industri lebih sulit dalam pengelolaanya, hal ini disebabkan karena zat-zat yang terkandung di dalamnya yang berupa bahan atau zat pelarut, mineral, logam berat, zat-zat organik, lemak, garam-garam, zat warna, nitrogen, amoniak dan lain-lain yang bersifat toksik.
Universitas Sumatera Utara
3. Limbah pertanian, yaitu limbah yang berasal dari kegiatan pertanian seperti penggunaan pestisida, herbisida dan pupuk kimia yang berlebihan. 4. Infiltrasi, yaitu limbah yang berasal dari perembesan air yang masuk ke dalam dan luapan dari sistem pembuangan air kotor.
Faktor Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Sungai Faktor fisika dan kimia air merupakan parameter untuk menentukan kualitas suatu perairan. Parameter fisika berupa suhu, kecerahan, kecepatan arus, kekeruhan, tekstur substrat dan parameter kimia berupa DO, BOD, pH, NO3, NH3, PO4, Kalium (K+) dan bahan organik (C) substrat. Secara alami keberadaan dan distribusi
biota di
perairan sungai dipengaruhi oleh aktivitas manusia, terutama yang menyebabkan perubahan faktor fisika dan kimia air, polusi dan pemasukan spesies baru ke dalam badan air sungai. Suatu ekosistem dikatakan baik jika faktor biotik dan abiotiknya saling mendukung.
Parameter Fisika Suhu Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan. Suhu juga berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu
untuk pertumbuhannya (Effendi, 2003). Menurut
Fardiaz (1992), perubahan suhu akan menimbulkan beberapa dampak diataranya adalah (1) jumlah oksigen terlarut dalam air menurun, (2) kecepatan reaksi kimia meningkat, (3) kehidupan ikan dan organisme air lainnya akan terganggu, (4) menyebabkan kepunahan biota akuatik yang sensitif terhadap suhu yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat yang diikuti dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Barus, 2004). Menurut Setiana (1996), suhu akan mempengaruhi tingkat ketersediaan oksigen dan nutrien dalam air. Perubahan suhu akan berpengaruh pula terhadap pola kehidupan dan aktivitas biologi dalam air, termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran toleransinya. Kecerahan Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual dengan menggunakan keping Secchi. Kecerahan perairan dipengaruhi oleh kandungan bahan-bahan halus yang terdapat dalam air baik berupa bahan organik seperti plankton, jasad renik, detritus maupun bahan anorganik seperti partikel pasir dan lumpur. Prinsip penentuan kecerahan air dengan keping Secchi adalah berdasarkan batas pandangan kedalam air untuk melihat warna putih yang berada didalam air. Semakin keruh suatu badan air akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya apabila semakin jernih suatu badan air maka batas pandangan akan semakin jauh (Effendi, 2003). Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun bahan organik dan anorganik berupa plankton dan mikroorganisme lain. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya proses respirasi dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kekeruhan dalam ekosistem perairan berkisar 50 – 1000 mg/l. Kecepatan Arus Kecepatan arus suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemapuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar. Kecepatan arus digunakan untuk memperkirakan waktu suatu bahan pencemar akan mencapai suatu lokasi tertentu (Effendi, 2003). Kecepatan arus air dari suatu badan air
ikut menentukan penyebaran
organisme dan sumber makanan yang terdapat di perairan. Substrat Substrat dasar perairan merupakan salah satu faktor ekologis utama yang
akan
mempengaruhi
struktur
komunitas
makrozoobenthos.
Menurut
Yunitawati dkk., (2012), substrat dasar merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Karakteristik substrat dapat mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos. Keadaan substrat di perairan penting untuk diketahui. Kehidupan organisme air juga bergantung pada bahan dan ukuran partikel dasar badan air. Organisme yang hidup pada substrat dasar suatu ekosistem air sangat tergantung pada tipe substrat dan kandungan bahan organik yang terdapat dalam substrat tersebut. Oleh karena itu analisis terhadap substrat baik berupa tipe maupun terhadap kandungan bahan organik penting untuk dilakukan (Suin, 2002 diacu oleh Silalahi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Parameter Kimia pH Sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 6,5 sampai 8. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi yang akan berakhir pada pH yang rendah (Effendi, 2003). Menurut Effendi (2003), pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tebel 1. Pengaruh pH terhadap Komunitas Biologi Perairan Nilai pH 6,0 - 6,5
− − −
5,5 - 6,0
− − −
5,0 - 5,5
− − −
4,5 - 5,0
− − −
Pengaruh Umum Keanekaragaman plankton dan benthos sedikit menurun. Kelimpahan total, biomass, dan produktivitas tidak mengalami perubahan. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan benthos semakin tampak. Kelimpahan total, biomass, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan benthos semakin besar. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomass zooplankton dan benthos. Algae hijau berfilamen semakin banyak. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan benthos semakin besar. Penurunan kelimpahan total dan biomass zooplankton dan benthos. Algae hijau berfilamen semakin banyak. Proses nitrifikasi terhambat.
Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral, dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 – 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan
Universitas Sumatera Utara
metabolisme dan respirasi. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004). DO (Disolved Oxygen) Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 0 oC sebesar 14,16 mg/l O , kelarutan ini akan menurun jika temperatur air 2
meningkat. Nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 sampai 8 mg/l (Barus, 2004). Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air, pergerakan masa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air. Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi berbagai organisme akuatik. BOD (Biochemical Oxygen Demand) Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20 oC (Barus, 2004). Menurut Yuliastuti (2011), semakin tinggi kandungan BOD dalam perairan mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah tercemar. Kandungan BOD dikatakan masih rendah dan dapat dikategorikan sebagai perairan yang baik apabila berkisar antara 0 – 10 mg/l. Nitrat (NO3) Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari industri dan pemupukan dari daerah pertanian. Secara alamiah, kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat
Universitas Sumatera Utara
dalam air dapat menjadi tinggi di daerah yang terdapat aktivitas pemupukan yang mengandung nitrogen (Alaerts, 1987 diacu oleh Silalahi, 2009). Menurut Effendi (2003), nitrat dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat kesuburan perairan. Kadar nitrat pada perairan oligotrofik berkisar 0 – 1 mg/l, perairan mesotrofik berkisar 1 – 5 mg/l, dan perairan eutrofik berkisar 5 – 50 mg/l. Amoniak (NH3) Adanya amoniak merupakan indikator masuknya buangan permukiman. Amoniak dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi zat organik secara mikrobiologis yang berasal dari buangan pemukiman penduduk (Sastrawijaya, 2000). Menurut Effendi (2003), keberadaan amoniak sangat tergantung pada kondisi pH dan suhu perairan. Pada pH < 7 sebagian besar amoniak akan mengalami ionisasi sedangkan pada pH > 7 amoniak tidak terionisasi sehingga bersifat toksik. Fosfat (PO4) Kandungan fosfat dalam perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari aktivitas rumah tangga dan industri tertentu serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Oleh karena itu, perairan yang mengandung kadar fosfat yang tinggi akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Perkins, 1974 diacu oleh Silalahi, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air,
bahwa kadar fosfat yang
diperkenankan sebagai bahan baku air minum adalah 0,2 mg/l. Kadar fosfat dalam perairan alami umumnya berkisar antara 0,005 – 0,02 mg/l. Kadar fosfat melebihi 0,1 mg/l tergolong perairan yang eutrof.
Universitas Sumatera Utara
Kalium (K+) Kalium termasuk unsur yang esensial bagi pertumbuhan tanaman dan hewan. Di perairan, kalium terdapat dalam bentuk ion atau berikatan dengan ion lain membentuk garam yang mudah larut. Kadar kalium pada perairan tawar alami biasanya kurang dari 10 mg/l. Rasio kadar kalium dan natrium yang terdapat di perairan alami adalah 1 : 2 hingga 1 : 3. Kadar kalium yang terlalu tinggi melebihi 2000 mg/l akan berbahaya bagi makhluk hidup (Effendi, 2003). Menurut Boyd (2001), ion kalium yang tidak diserap oleh tumbuhan akan tetap dalam larutan atau berperan dalam reaksi pertukaran ion dengan sedimen. Konsentrasi kalium di perairan alami biasanya berkisar antara 0,5 sampai 10 mg/l. Bahan Organik (C) Substrat Bahan organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat dan lemak. Komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin dan hormon juga ditemukan di perairan, tetapi hanya 10 % dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan. Kadar bahan organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobenthos, dimana kadar bahan organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobenthos tersebut. Tingginya kadar bahan organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi hewan benthos. Sebagai organisme dasar, benthos menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan benthos (Lusianingsih, 2011).
Parameter Biologi Salah satu komponen biotik perairan yang sering dikaji dampaknya dari adanya aktivitas antropogenik pada sungai adalah makroinvertebrata bentik seperti benthos.
Universitas Sumatera Utara
Fauna tersebut merupakan komponen penting dalam uji biologis (bioassessment) guna evaluasi keseluruhan kualitas dari sumber daya air, fungsi ekologis, ketersediaan pakan untuk perikanan, maupun pengaruh spesifik dari aktivitas antropogenik. Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap ekosistem sungai telah mendorong berkembangnya konsep indikator biologi guna mengetahui status kesehatan dari sebuah ekosistem perairan (Sudarso, 2009). Pola penyebaran beberapa jenis benthos umumnya dipengaruhi oleh kecepatan arus, kondisi fisika-kimia perairan dan kondisi substrat dasar perairan. Selain itu, keberadaan dan kepadatan benthos juga dipengaruhi oleh makanan maupun tingkat predasi pemangsanya. Sifat kimia perairan yang mempengaruhi keberadaan hewan benthos adalah kandungan gas terlarut, kandungan bahan organik, pH dan kandungan hara (Setyobudiandi dkk., 2009).
Makrozoobenthos sebagai Indikator Kualitas Air Benthos dapat dijadikan bioindikator dalam penentuan kualitas suatu perairan. Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya dan perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaan dan perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan (Triadmodjo, 2008). Benthos digunakan sebagai bioindikator karena memiliki beberapa kelebihan, (1) pergerakanya sangat terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel, (2) spesiesnya kaya, memiliki beragam respon terhadap tekanan lingkungan, (3) sifatnya menetap dan hidup di dasar perairan sehingga secara terus menerus terdedah oleh
Universitas Sumatera Utara
kondisi air disekitarnya, (4) siklus hidupnya panjang dan (5) perubahan faktor-faktor lingkungan akan mempengaruhi keanekaragaman komunitas benthos (Barus, 2004). Makrozoobenthos merupakan organisme air yang sebagian besar atau seluruh hidupnya berada di dasar perairan. Makrozoobenthos sering digunakan untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan fisik, kimia dan biologi suatu badan perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup makrozoobenthos karena makrozoobenthos merupakan organisme air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemar fisik maupun kimia. Suatu perairan yang sehat atau belum tercemar akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari hampir semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi (Odum, 1994 diacu oleh Lusianingsih, 2011). Menurut Odum (2005) diacu oleh Iswanti dkk., (2012), distribusi dan keanekaragaman makrozoobentos dapat menunjukkan kualitas perairan sungai. Dalam suatu perairan yang belum tercemar, jumlah individu relatif merata dari semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran
jumlah individu tidak
merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi. Makrozoobenthos salah satu penyusun komponen biotik yang dapat menentukan kelangsungan ekosistem sungai di masa yang akan datang.
Kriteria Baku Mutu Air Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
bahwa baku mutu
lingkungan hidup didefinisikan sebagai ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat
Universitas Sumatera Utara
energi atau komponen yang ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup, sedangkan baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas yaitu: a. Kelas Satu (I), air yang peruntukannya digunakan sebagai bahan baku air minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. b. Kelas Dua (II), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk sarana/ prasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan, peternakan, pertanian dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. c. Kelas Tiga (III), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan, peternakan, pertanian dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut. d. Kelas Empat (IV), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pertanian dan atau perutukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Secara umum, tingkatan mutu air Kelas Satu (I) lebih baik dari Kelas Dua (II) dan selanjutnya. Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun berdasarkan peruntukannya. Air yang peruntukannya sebagai bahan baku air minum dapat diolah menjadi air yang layak untuk dikonsumsi dengan pengolahan secara sederhana yaitu
Universitas Sumatera Utara
dengan cara difiltrasi, disinfeksi dan di masak hingga mendidih. Klasifikasi mutu air merupakan pendekatan untuk menetapkan kriteria mutu air dari tiap kelas, yang akan menjadi dasar untuk penetapan baku mutu air. Setiap kelas air mempersyaratkan mutu air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu (Silalahi, 2009). Banyak cara untuk melakukan penilaian status mutu air pada suatu sumber air, yaitu diantaranya yang disajikan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air menggunakan metode Storet.
Metode Storet (Storage and Retrieval) Penentuan status mutu air dengan sistem Storet dimaksudkan sebagai acuan dalam melakukan pemantauan kualitas air
dengan tujuan untuk mengetahui mutu
(kualitas) suatu sistem akuatik. Penentuan status mutu air didasarkan pada analisis parameter fisika, kimia dan biologi (Matahelumual, 2007). Menurut Priyono dkk., (2013), berdasarkan permasalahan yang terjadi di Sungai Surabaya perlu adanya penelitian pengaruh pencemaran limbah industri pabrik yang terdapat di sepanjang Sungai Surabaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Storet.
Kurva ABC (Abudance and Biomass Comparison) Metode kurva ABC merupakan salah satu metode yang prinsipnya melakukan perbandingan antara kelimpahan dan biomassa makrozoobenthos. Kurva ABC dapat
Universitas Sumatera Utara
dijadikan sebagai alternatif penduga atau pendeteksi gangguan di suatu perairan seperti komunitas benthos (Warwick, 1986). Penambahan bahan pencemar di perairan akan mempengaruhi kelimpahan dan biomassa. Perbedaan kelimpahan dan biomassa dari makrozoobenthos dapat menjelaskan kondisi perairan. Bila rasio biomassa lebih tinggi dari rasio kelimpahan maka perairan tersebut termasuk kelompok perairan yang tidak tercemar. Apabila rasio biomassa lebih rendah dari rasio kelimpahan maka perairan tersebut termasuk perairan yang tercemar berat. Penghitungan biomassa makrozoobenthos dilakukan dengan cara memanaskan sampel yang sudah diidentifikasi pada suhu ± 105 oC selama 2 x 24 jam hingga diperoleh berat konstan, kemudian sampel dimasukkan ke dalam deksikator yang telah berisi silika gel (zat hidroskopis). Setelah itu, sampel ditimbang menggunakan neraca analitik. Data biomassa dan kelimpahan dari makrozoobenthos akan digunakan dalam menganalisis kurva ABC (Anjani dkk., 2012).
Universitas Sumatera Utara