TINJAUAN BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK JEPANG MENURUT TEORI TAKEO DOI TAKEO DOI NO RIRON NI YORU TO NO NIHON NO KODOMOTACHI NO SHIDOU KATA NI OKERU “AMAE” BUNKA NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang
OLEH:
DESY JULITA AMBARITA
050708015
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
TINJAUAN BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK JEPANG MENURUT TEORI TAKEO DOI TAKEO DOI NO RIRON NI YORU TO NO NIHON NO KODOMOTACHI NO SHIDOU KATA NI OKERU “AMAE” BUNKA NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang
OLEH:
DESY JULITA AMBARITA 050708015
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum NIP. 19600919 198803 1 001
Prof.HamzonSitumorang,M.S. Ph.D NIP. 19580704 198412 1 001
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Disetujui Oleh :
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan
Departemen S-1 Sastra Jepang Ketua,
Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. NIP: 19580704 198412 1 001
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
PENGESAHAN Diterima Oleh Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra pada Fakultas Sastra Pada
: Pukul 09.00 Wib
Tanggal
: Desember 2009
Hari
:-
Fakultas Sastra Dekan,
Prof. Syaifuddin, M.A.,Ph.D. NIP : 19650909 199403 1 004
Panitia Ujian No
Nama
Tanda Tangan
1
Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D.
(
)
2
Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum
(
)
(
)
3
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan rahmat dan berkat serta keteguhan hati kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi ” merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan program Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Penulis yakin skripsi ini belum seperti yang diharapkan baik penyusunan kalimatnya maupun pemecahan masalahnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga tujuan penulisan skripsi ini dapat
lebih
bermanfaat. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D. selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga dalam memberikan masukan-masukan, bimbingan serta pengarahan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 4. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D. selaku Dosen Pembimbing II, yang juga telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis untuk lebih teliti dalam penyusunan skripsi ini. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
5. Para Dosen dan Staff Pegawai Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, khususnya para Dosen dan Staff Pegawai di Departemen Sastra Jepang. 6. Teristimewa buat Bapak dan Ibunda tercinta (R. H. Ambarita/ R. Sihombing), yang tidak berhenti memberikan kasih sayang yang tak terhingga kepadaku. Bagaimana aku bisa membalas segalanya yang telah kalian berikan kepada. Juga kepada adek-adekku yang ku kasihi dan ku sayangi (Onie, Hennie, Dimpos, dan Sela), opung –opungku serta semua keluarga yang telah memberikan bantuan moril dan materil selama penulis kuliah di Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara. 7. Sahabat terbaikku, Gindo Februli, yang tak henti-hentinya selalu memberikan aku semangat dan selalu mengingatkan aku untuk belajar dan tetap semangat dalam mengerjakan skripsi ini. Yang tak lelah mengingatkan. Dan juga keluarga kecilnya yang selalu memberikan motivasi dan doa. 8. Teman-teman ”tanoshii” (Devi, Hertie, Lisbeth, Hani dan Putri) serta rekanrekan satu angkatan 2005, teman seperjuangan : Eva, Ocha, Emma, Dewi, Rani, Juwita, Debby, Dianita, Jukie, Kalvin, Bull, Gunawan, Aisyah, Ellys, Ira, Vika, Nurul, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Teman-teman satu rumah di Agape House k’Murni (katua), k’ Vero, k’ Rani, k’ Menie, Erika, Tesa, Rifma, Demiez, Epie, Toni, Ijan. Serta
teman-teman
lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuannya. 10. Juga buat teman-teman SMA 4 angkatan ’05 , Okta, Katrin “Jipor”, Marlina, Siska yang tidak berhenti memberikan semangat kepada penulis.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Semoga kiranya Tuhan
senantiasa melimpahkan rahmat dan berkat-Nya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dan diharapkan skripsi ini berguna bagi penulis dan bagi para pembaca.
Medan,
November 2009
Penulis
( Desy Julita Ambarita)
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................i DAFTAR ISI ……………………………………………………………………iv BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah ………………………………………………1
1.2
Rumusan Masalah ………………………………………………………8
1.3
Ruang Lingkup Pembahasan ……………………………………………11
1.4
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ………………………………….12
1.5
Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………………16
1.6
Metode Penelitian ………………………………………………………17
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP BUDAYA AMAE DALAM MASYARAKAT JEPANG 2.1
Amae Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang ………………………...19 2.1.1 Pengertian Amae ..........................................................................19 2.1.2 Konsepsi Amae …………………………………………....….22 2.1.3
Dunia Amae …………………………………………………..26
2.2
Giri dan Ninjo Sebagai Dasar Tumbuhnya Amae …………………..29
2.3
Amae Dalam Kelompok Masyarakat Jepang ………………………...31
2.4
Pola Pengasuhan Anak Dalam Prinsip Amae………………………..36
BAB III BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK 3.1
Amae Dalam Pengasuhan Bayi ……………………………………..39
3.2
Amae Dalam Pengasuhan Anak-Anak ……………………………...47
3.3
Amae Pada Saat Remaja …………………………………………....51
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
3.4
Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang ……………………………………………………….……..55
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1
Kesimpulan ………………………………………………………...58
4.2
Saran ……………………………………………………………......60
DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Anak dipandang sebagai makhluk sosial dengan segala sesuatu yang mereka
lakukan bertujuan untuk mendapatkan tempat dalam kelompok-kelompok yang penting bagi mereka. Keinginan untuk ikut berperan serta untuk dapat diterima dalam kelompoknya adalah motivasi pokok yang berada di belakang perilakunya (Balson, 1996:14). Dalam lingkungan hidup keluarga, perilaku anak akan dapat dipahami jika orang tua mengerti bahwa ekspresi anak merupakan upaya anak untuk diakui, dihargai, merasa ikut memiliki, atau ikut berperan serta di dalam kelompoknya. Seluruh perilaku, ungkapan bahasa, pola bermain, emosi, dan keterampilan anak dipelajari dan dikembangkan dalam situasi sosial yang melingkupinya, seperti rumah, sekolah, dan masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses sosialisasi dan komunikasi. Sosialisasi adalah proses seorang individu belajar berinteraksi dengan sesamanya dalam masyarakat menurut sistem nilai, norma, dan adat istiadat yang mengatur masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, sosialisasi pada intinya adalah proses belajar kebudayaan dalam suatu sistem sosial tertentu. Sistem sosial berisi berbagai kedudukan dan peranan yang terkait di dalam suatu masyarakat dan kebudayaan. Dalam tingkat sistem sosial, sosialisasi sebenarnya merupakan proses belajar seorang individu dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya mengalami proses belajar mengenai nilai dan aturan bertindak, berinteraksi dengan berbagai individu yang ada di sekelilingnya. Jadi, sosialisasi adalah proses belajar dari masing-masing individu Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
untuk memainkan peranan-peranan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan statusnya (Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989 : 1). Dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa sosialisasi merupakan proses pengenalan, maka dapat dikatakan bahwa sosialisasi dapat dilihat sebagai proses pewarisan pengetahuan kebudayaan yang berisi nilai-nilai, norma-norma, dan aturanaturan untuk berinteraksi antara satu individu dengan individu lainnya, antara satu individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok. Maksudnya adalah bahwa jika suatu individu mengenal suatu pengetahuan kebudayaan, maka individu tersebut mau tidak mau harus mewarisi kebudayaan tersebut. Pengetahuan kebudayaan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya dan tidak tertutup kemungkinan adanya pergeseran, perubahan nilai, norma, dan aturan tersebut sehingga membentuk aturan atau norma yang baru. Proses pewarisan akan terus berjalan sepanjang hidup manusia. Dalam hal ini adalah sosialisasi kebudayaan dari orangtua kepada anaknya. Sedangkan proses komunikasi sangat perlu untuk mengetahui seperti apa penyampaian kebudayaan dari orangtua kepada anak. Dan bagaimana si anak dapat berkomunikasi dengan orangtua mereka. Demikian juga sebaliknya. Tak dapat dipungkiri bahwa tanpa proses komunikasi, proses sosialisasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Proses sosialisasi dan komunikasi tercermin dalam bagaimana orangtua mengasuh anak. Melalui pengasuhan, para orangtua mengajarkan anak-anak mereka bagaimana harus bersikap dalam masyarakat. Mengetahui kebudayaan mereka seperti
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
apa, norma-norma apa saja yang berlaku dalam masyarakat untuk kemudian mereka patuhi, dan lain sebagainya. Pengasuhan anak ( child rearing ) adalah salah satu bagian penting dalam proses sosialisasi. Pengasuhan anak dalam suatu masyarakat berarti suatu cara dalam mempersiapkan seseorang menjadi anggota masyarakat. Artinya mempersiapkan anak tersebut untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan dan berpedoman pada kebudayaan yang didukungnya. Dengan demikian, pengasuhan anak merupakan bagian dari sosialisasi yang pada dasarnya berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan dalam masyarakat tertentu ( Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989 : 2). Tak ada sesuatu yang lebih penting dalam hidup ini selain keluarga yang asli, karena disinilah dasar kepribadian anak dibentuk ( Balson, 1996 : 15 ). Jika situasi kehidupan keluarga dapat mengembangkan iklim yang membuka kesempatan kepada anak untuk memperoleh perasaan ikut memiliki, maka maladjustment ( sikap tidak mampu menyesuaikan diri ) dan patologi ( penyakit jiwa ), tidak akan terjadi pada diri mereka. Hal yang positif dicapai jika anak dapat merasakan bahwa mereka benarbenar berada dalam lingkungan keluarga. Sejak kanak-kanak, anak kecil berusaha mendapatkan cara berperilaku yang menuntut pengakuan ( penghargaan diri ), rasa dipentingkan, dan rasa ikut memiliki dalam keluarganya. Proses sosialisasi, dalam hal ini pengasuhan anak, yang berlangsung dalam suatu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial dan budaya memberi pengaruh yang besar terhadap karakteristik sosialisasi. Demikian pula golongan sosial memberi corak dalam pola pengasuhan anak di dalam masyarakat karena lingkungan sosial dan kebudayaan di Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
banyak tempat relatif berbeda-beda. Dengan demikian sosialisasi, khususnya pola pengasuhan anak, adalah proses dimana pada seorang anak diwariskan pengetahuan budaya. Agen sosialisasi yang paling mendasar dan pertama kali dikenal oleh seorang anak adalah kedua orangtuanya. Setelah itu kakek, nenek, saudara-saudara, dan kerabat-kerabat lainnya ( Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989 :3 ). Demikian juga halnya dengan orangtua Jepang. Lingkungan sosial dan budaya ikut mempengaruhi pola mengasuh anak mereka. Di dalam setiap kebudayaan, sanksisanksi moral yang tradisional diteruskan pada setiap generasi baru, tidak saja dalam kata-kata, tetapi juga dalam semua sikap yang tua terhadap anaknya. Dan orang luar hampir tidak dapat mengerti taruhan-taruhan hidup yang besar dari setiap bangsa tanpa mempelajari cara mendidik anak pada bangsa itu. Pendidikan anak-anak di Jepang membuat jelas banyak asumsi nasionalnya tentang kehidupan, yang selama ini kita lukiskan pada tingkat dewasa saja ( Benedict, 1989:26). Dalam kehidupan masyarakat Jepang terdapat budaya yang sampai sekarang tetap berkembang dan direalisasikan dalam segala hubungan sosial. Budaya tersebut adalah budaya amae (甘え). Istilah amae (甘え), sama sekali bukan merupakan suatu ungkapan satu-satunya yang dipakai dalam menjelaskan psikologi masyarakat Jepang. Kata sifat amae adalah amai
『甘い』 yang tidak saja dipakai dalam arti
“manis” yang dirasa oleh lidah, tetapi juga mengungkapkan sifat seseorang. Kalau seseorang mengatakan bahwa A bersikap amai 『甘い』 terhadap B, itu berarti bahwa A membiarkan B berlaku amaeru 『甘える』/ berlaku manja terhadap A, yaitu bersikap mengandalkan diri dan mengharapkan sesuatu dari tali perhubungan antara kedua orang tersebut. Sikap demikian menimbulkan rasa prihatin pada orang Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
lain karena pada hakikatnya yang bersangkutan mengharapkan suatu perkembangan yang menguntungkan tanpa memberikan pertimbangan yang matang.
Budaya amae
( 甘 え ) dapat terjadi dalam hubungan antara atasan dengan bawahan, pemimpin dengan pengikut, guru dengan murid, senior dengan junior, tuan tanah dengan penyewa, orangtua dengan anak (khususnya hubungan ibu dengan anak ), dan sebagainya. Terutama pada budaya amae ( 甘え) yang terjadi antara orangtua dengan anak ,khususnya pada hubungan ibu dengan anak , tercermin dalam pola pengasuhan. Lebra (1976 : 57) mengatakan bahwa : “ the dependency relationship takes a typical and total form when expressed in mother-child interaction” Maksudnya bahwa hubungan ketergantungan merupakan sebuah tipe dan keseluruhan bentuknya diungkapkan dalam interaksi ibu dan anak. Terlihat jelas di sini bahwa terdapat hubungan yang manis yang merupakan suatu hubungan keterikatan dan saling bergantung antara ibu dengan anak. Teori struktur amae dilontarkan Takeo Doi pada tahun 1971. Doi memakai istilah “ Amae no Kozo “ atau struktur dependensi sebagai ciri khas masyarakat Jepang. Dan dengan istilah amae (甘え) dalam bahasa Jepang dijadikan alasan kuat adanya struktur dependensi di Jepang (dalam http://forumpp.blogspot.com yang bersumber dari Nujapan mail list). Di dalam masyarakat Jepang, amae (甘え) merupakan sebuah budaya yang terus dikembangkan dan dihormati bahkan dituntut untuk dilaksanakan hingga sekarang ini. Amae (甘え) merupakan hubungan yang dapat menciptakan sebuah ketergantungan antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Amae ( 甘え ) Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
menurut Doi dalam Lebra (1976: 54) adalah suatu istilah yang berasal dari bentuk kata kerja amaeru
『 甘 え る 』 . Amaeru sendiri sering digunakan dalam
menjelaskan perasaan atau sifat anak terhadap orangtuanya yang saling bergantung antara yang satu dengan lainnya. Peranan lainnya yang melengkapi amaeru adalah amayakasu『甘やかす』, yaitu peran yang menerima amaeru. Dalam hal ini amaeru adalah si anak, sedangkan peran si ibu yang menjadi tempat bergantung anaknya adalah
amayakasu.
Doi
juga
menggambarkan
bahwa
amae
merupakan
ketergantungan “yang memberi hati” yang berakar kuat dalam hubungan mother-child yang mengikat. Ia menyatakan bahwa fisik mempunyai kekuatan batin dalam merasakan secara emosional dekat dengan pribadi yang lain. Dan para ibu di Jepang secara optimal menyatakan dirinya sebagai ibu melalui memberikan perhatian yang berlebih kepada anaknya. Menurut Vogel ( 1996 :186 ), amae merupakan pengalaman seorang anak untuk merasakan ketergantungan atau suatu keinginan untuk dicintai, selagi seorang ibu mengalami sendiri pemenuhan dan kepuasan melalui perlindungan dan memberi hati yang berlebih dari ketidakdewasaan anaknya. Hubungan ketergantungan antara ibu dan anak memiliki suatu bentuk ideal menurut kebiasaan orang Jepang. Banyak pengamat yang menyatakan bahwa kedekatan ibu dan anak yang menyatakan hubungan fisik sering disebut skinship, khususnya ditemukan pada perlindungan bayi. Namun, budaya Jepang ini terus dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan antar sesama umat manusia (masyarakat dan kelompok). Begitupun dalam hubungan antara ibu dan anak. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak tidak dapat dipisahkan dengan ibunya. Dalam hubungan pola pengasuhan akan dapat dilihat bagaimana si ibu berpengaruh bagi anaknya, begitupun sebaliknya. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Terdapat hubungan ketergantungan yang manis di antara keduanya. Dan hubungan ketergantungan yang manis itu dapat kita lihat dalam budaya amae yang tercermin dalam pola pengasuhan anak. Berdasarkan uraian di atas, amae ( 甘 え ) dapat dikatakan sebagai pola budaya yang berakar kuat dalam masyarakat Jepang terutama dalam hubungan ibu dan anak. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pola amae (甘え)dalam hubungan ibu dan anak inilah yang mendasari pola amae dalam pola-pola hubungan sosial lainnya. Dalam pola amae ini terjalin hubungan yang manis antara ibu dan anak. Hal tersebutlah yang mendorong rasa ingin tahu penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai budaya amae dalam pola pengasuhan anak di Jepang menurut teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi.
1.2
Perumusan Masalah Struktur sosial masyarakat Jepang dapat dilihat jelas dalam cara menjalin
hubungan sosial antar manusianya, yang juga merupakan gambaran keanekaragaman yang ada dalam masyarakat Jepang. Terdapat perbedaan antara orang Jepang dengan bangsa lain, terutama dalam hal mengasuh anak, dimana dalam masyarakat Jepang terdapat pola pengasuhan yang memakai pola budaya amae yang pada intinya memanjakan anak dan mengasuh anak dengan bebas. Istilah amae (甘え), sama sekali bukan merupakan suatu ungkapan satusatunya yang dipakai dalam menjelaskan psikologi masyarakat Jepang. Di samping itu ditemukan sejumlah besar kata lain yang juga mengandung arti yang sama dengan ekspresi jiwa yang disebut amaeru 『甘える』. Kata sifat amae adalah amai
『甘
い』 yang tidak saja dipakai dalam arti “manis” yang dirasa oleh lidah, tetapi juga Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
mengungkapkan sifat seseorang. Kalau seseorang mengatakan bahwa A bersikap amai 『甘い』 terhadap B, itu berarti bahwa A membiarkan B berlaku amaeru 『甘 える』/
berlaku manja terhadap A, yaitu bersikap mengandalkan diri dan
mengharapkan sesuatu dari tali perhubungan antara kedua orang tersebut. Amae dengan sendirinya mengingatkan akan perilaku seorang anak dalam hubungannya dengan sang ibu, atau menunjuk perilaku mendekatkan diri pada sang ibu. Dan dalam kenyataannya, pola pengasuhan anak oleh masyarakat Jepang memakai filosofi amae ini. Mengapa budaya amae ini direalisasikan dalam pola pengasuhan anak pada saat bayi, anak-anak, dan remaja? Atau lebih tepatnya, mengapa sang ibu membiarkan anaknya berlaku amae terhadapnya?. Menurut observasi yang dilakukan oleh Vogel bahwa para ibu Jepang akan menyalahkan dirinya sendiri jika tidak memberikan cukup cinta kepada anak-anak mereka. Dan pada dasarnya para ibu Jepang merasa bersalah jika tidak memberikan segalanya kepada anak-anak mereka (Vogel, 1966:186). Para ibu Jepang akan menikmati pengalaman dan kepuasan melalui pemenuhan kebutuhan yang berlebihan dan perlindungan yang berlebihan pula dari ketidakdewasaan si anak baik pada saat bayi, anak-anak, dan remaja. Dan pola budaya amae memberikan jawaban atas keresahan batin yang dialami oleh para ibu Jepang ini. Melalui pola amae ini, mereka dapat memberikan perhatian, cinta, dan perlindungan yang berlebih kepada anak mereka. Lebra dalam bukunya yang berjudul “Japanese Patterns of Behaviour” (1976:57) mengatakan bahwa si ibu memiliki kuasa atas si anak sehingga praktis secara total si anak bergantung kepada ibunya atas keamanan, perlindungan, dan pertahanan. Si ibu menjaga anak, bertanggung jawab atas makanan, toilet, pakaian, dan kesehatan si Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
anak. Dalam pola budaya amae tampak nyata bahwa si ibu mengambil keuntungan dari ketidakdewasaan si anak. Maksudnya adalah dengan membiarkan anak bergantung sepenuhnya kepadanya, si ibu membebaskan anaknya untuk tidak bersikap mandiri dan tidak dewasa karena segala yang diperlukan oleh si anak akan disediakan oleh si ibu sepenuhnya. Dan keadaan ini dinikmati oleh si ibu karena segalanya berpusat kepada sang ibu. Misalnya, pada saat si anak masih bayi, sang ibu tidak akan pernah membiarkan si anak sendirian. Sang ibu berupaya semaksimal mungkin membawanya kemana saja pergi dan selalu berusaha untuk selalu datang sesegera mungkin jika si bayi menangis. Dalam masa anak-anak, perlakuan amae kepada si anak yaitu dengan membiarkan si anak untuk menemani orangtuanya menemui tamu yang datang ke rumahnya agar nantinya si anak mempertunjukkan kebolehannya di depan tamunya. Sedangkan pada saat remaja, si anak tidak meninggalkan begitu saja kasih sayang yang mendalam kepada ibunya, yang mana hal ini berlawanan dengan remaja dimanapun yang berjuang untuk mendapatkan kebebasan di kedua orangtuanya. Hal tersebutlah yang membuat penulis tertarik meneliti perlakuan amae dalam pola pengasuhan anak Jepang. Perlakuan amae dalam pola pengasuhan ini membuat anak-anak Jepang diasuh dengan cara yang berbeda dengan anak-anak dari negara lainnya. Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas, maka penulis menetapkan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana budaya amae yang terjadi dalam pola pengasuhan anak dimulai dari fase bayi, anak-anak, dan remaja ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi?
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
2. Bagaimana budaya amae direalisasikan oleh orangtua ( khususnya ibu ) dalam mengasuh anaknya dimulai dari fase bayi, anak-anak, dan remaja ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi?
1.3
Ruang Lingkup pembahasan Dalam skripsi ini penulis membatasi pembahasan mengenai budaya amae
yang direalisasikan dalam pola pengasuhan anak dimulai dari tahap bayi, anak-anak, sampai remaja. Di sini akan dilihat bagaimana ketergantungan hubungan antara anak dan ibunya yang dilatarbelakangi budaya amae. Untuk supaya dalam pembahasan tentang budaya amae dalam pola pengasuhan anak di Jepang ini lebih jelas dan akurat, maka sebelum bab pembahasan penulis akan menjelaskan tentang budaya amae dalam kehidupan masyarakat Jepang. Selain itu akan dibahas juga mengenai pola pengasuhan anak dalam prinsip amae. Dan pada bab pembahasan, penulis akan membahas mengenai pola pengasuhan yang berlatar belakang budaya amae pada saat bayi, masa kanak-kanak dan pada masa remaja.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka Berbicara mengenai pola asuh tidak terlepas dai hubungan antara anak dengan orangtua. Juga menyangkut psikologi anak dalam menghadapi pola asuh yang diterapkan orangtua mereka. Bowlby dalam Gunarsa (1997 : 71) mengatakan bahwa terdapat keterikatan antara orangtua yang disebut dengan attachment. Menurut beliau, agar anak-anak Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
memperoleh perlindungan dari orangtua, anak-anak harus mengikatkan diri kepada orangtua mereka. Keterikatan anak kepada orangtuanya berkembang dari hal-hal yang tidak terarah, sedikit demi sedikit menjadi terarah dan tertentu. Bowlby juga mengatakan bahwa berada sendirian merupakan hal yang paling ditakuti dalam kehidupan seseorang. Dari sudut biologis, hal ini dapat diterangkan berdasarkan kenyataan bahwa untuk menghadapi krisis-krisis yang dialami, seseorang membutuhkan orang lain untuk membantu mengatasinya. Bayi atau anak-anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang perlu dipenuhi. Dengan terikatnya si anak kepada ibunya, si anak dapat memenuhi kebutuhan fisiologisnya dan anak sedikit demi sedikit belajar bahwa ibunya adalah sumber tempat dia memperoleh kepuasaan. Teori ini ditunjang oleh teori Psikoanalisa dan seorang pakar psikologi anak, Freud (1940) yang mengemukakan bahwa “ cinta berasal dari keterikatannya dan terpuaskannya kebutuhan untuk memperoleh makanannya”. Penerapan budaya amae juga direalisasikan dalam pola pengasuhan. Dalam budaya amae terdapat pola keterikatan antara anak dengan orangtua, khususnya terhadap ibu yang berlebih yang dapat disebut dengan ketergantungan. Si anak secara total sangat bergantung kepada ibunya baik itu dalam hal kemanan, perlindungan, pertahanan diri, makanan, dan hal penting lainnya. First, the mother has power over the child, the latter being totally dependent on her for security, protection,and survival. Second, the mother is an overall caretaker for the child, responsible for his feeding, toilet control,clothing, and health. The child is dependent on the mother attandance. Third, the wish for indulgence is fully gratified in the mother-child relationship. Finally, her wholenlife being devoted to the welfare of the child, the mother symbolizes the ultimate in emphaty and sacrifice, on which the helpless child depends (dalam Lebra, 1976 :57-58).
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Dari kutipan di atas, dapat terlihat jelas bahwa terdapat hubungan yang sangat manis antara anak dengan ibunya dalam pola pengasuhan yang mengandung budaya amae. Si anak dapat dikatakan tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran sang ibu di sampingnya. Si anak memperoleh segalanya dari sang ibu.
1.4.2 Kerangka teori Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (1976:11) berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dedukatif yang bergerak dari alam abstrak ke alam kongkrit. Suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta kongkrit yang tidak terbilang banyaknya dalam kehidupan masyarakat. Begitupun dalam tulisan yang menggunakan kerangka berpikir sehingga dalam penulisannya dapat terarah dan hal yang dibahas juga dapat dibatasi sehingga tidak meluas. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui secara sekilas mengenai budaya amae (甘え). Budaya amae merupakan kepribadian masyarakat Jepang. Dalam bahasa Jepang, kata amae (甘え)berasal dari kata sifat yaitu amai yang berarti manis. Sedangkan dalam kata kerja adalah amaeru atau amateiru yang berarti memaniskan. Kata amae secara leksikal mempunyai arti kebaikan, hasil perlindungan seorang ibu terhadap bayinya sekaligus ketergantungan yang manis antara si bayi terhadap ibunya ( Rowland dalam Sibiyan, 2005:8). Amae juga mempunyai arti “minyak kehidupan” dan merupakan salah satu tonggak dasar pada kepribadian manusia Jepang. Amae dalam psikologis Jepang mengacu pada tingkah laku “kekanak-kanakan” yang diperbuat oleh orang dewasa. Dengan kata lain, amae berarti menjadi ibu atau menjadi anak yang berupa bentuk hubungan yang Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
melepaskan kepentingan diri sendiri antara ibu yang penuh kasih sayang dengan anaknya. Sedangkan kerangka teori yang kedua adalah pola asuh orangtua. Sekilas akan dibahas mengenai pola pengasuhan. Di sini penulis telah mengutip pandangan dari beberapa ahli mengenai pola asuh. Menurut Purwadarminta dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1989 :2), pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih kecil. Menurut Wagnel dan Funk dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1989 :2), menyebutkan bahwa mengasuh meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1989 :2), yang intinya bahwa mengasuh itu membimbing menuju ke pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan, dan sebagainya terhadap mereka yang diasuh. Dari beberapa pengertian tentang batas asuh, yang patut dicatat adalah apa yang diuraikan oleh Whiting dan Child dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1989 :2). Menurut kedua pakar tersebut, dalam proses pengasuhan anak yang harus diperhatikan adalah : 1. orang-orang yang mengasuh 2. cara-cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Anak mulai diajar patuh terhadap perintah orangtua. Whiting dan Child (1966) dalam Tim Peneliti dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1989 :2) juga mengatakan bahwa cara-cara penerapan Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
larangan maupun keharusan terhadap anak beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya cara pengasuhan anak setidak-tidaknya mengandung sifat : a. Pengajaran (instructing) b. Pengganjaran (rewarding) c. Pembujukan (inciting)
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan pembahasan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana budaya amae yang terjadi dalam pola pengasuhan orangtua kepada anak dimulai dari fase bayi, anak-anak, sampai kepada remaja ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi. 2. Untuk mengetahui sejauh mana orangtua ( khususnya ibu) dalam merealisasikan budaya amae dalam mengasuh anak dimulai dari fase bayi, anak-anak, dan remaja ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi. 1.5.2 Manfaat Penelitian Dengan dibahasnya budaya amae dalam pola pengasuhan anak, maka diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi : 1. Penulis sendiri, yaitu dapat menambah wawasan tentang budaya amae dalam pola pengasuhan.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
2. Para pembaca, khususnya orangtua yang ingin menambah wawasan tentang cara pengasuhan anak yang berlatarbelakangkan budaya amae.
1.6 Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu pemikiran, maupun fenomena yang sedang berlangsung. Tujuan dari penelitan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir,1988:63). Dalam pengumpulan data-data dan bahan-bahan yang berhubungan dengan topik penelitian ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan merupakan suatu aktifitas yang sangat penting untuk menunjukkan jalan dalam memecahkan masalah penelitian. Beberapa aspek penting yang perlu dicari dan digali dalam studi kepustakaan antara lain : masalah yang ada, teori-teori, konsep-konsep, dan penarikan kesimpulan serta saran (Nasution, 2001 :14). Dengan kata lain, studi kepulah pengumpulan data dengan membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Data yang diperoleh dari buku-buku dan referensi tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran. Buku-buku berbahasa asing juga dipergunakan dalam penulisan skripsi ini. Jadi, penerjemahan buku-buku tersebut juga menggunakan teori terjemahan. Nida dan Taber dalam Setiasih (1987 :6) bahwa menerjemahkan adalah pemindahan pesan atau amanat yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan mencari
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
padanan terdekat yaitu dari segi makna dan gaya bahasa. Pada dasarnya penulis menerjemahkan buku dari bahasa Inggris dalam pengambilan data.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI BUDAYA AMAE DALAM MASYARAKAT JEPANG
2.1. Amae Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang 2.1.1
Pengertian Amae
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Istilah amae ( 甘え ) adalah suatu kosakata khas bahasa Jepang yang sebenarnya mengungkapkan suatu gejala psikologis yang ada dan pada dasarnya umum didapatkan dalam kalangan umat manusia secara keseluruhan (Doi, 1988:4). Kata sifat amai dipakai tidak saja dalam arti “ manis “ yang dirasakan oleh lidah tetapi juga mengungkapkan sifat seseorang. Kata amae secara leksikal mempunyai arti “ kebaikan “, hasil perlindungan seorang ibu terhadap bayinya sekaligus ketergantungan yang manis antara si bayi dengan ibunya ( Rowland dalam Sibiyan, 2005 :23). Amae juga mempunyai arti “minyak kehidupan” dan merupakan salah satu tonggak dasar pada kepribadian manusia. Karena orang Jepang tidak merasa nyaman apabila hubungan antar pribadinya bila tidak diliputi dengan amae. Maksudnya adalah bahwa dalam hubungan manusia seharusnya diliputi hubungan kepercayaan dan keyakinan, yang tidak saja berarti orang lain tidak merugikan mereka, akan tetapi mereka bisa memperoleh kasih sayang yang tulus dari orang lain. Selain itu, semua orang memiliki jiwa amae, yaitu keinginan untuk mengadukan semua kesulitannya kepada seseorang yang ia percayai. Seseorang membutuhkan orang lain yang akan membebaskannya dari beban kejiwaan. Amae dalam psikologis Jepang mengacu pada tingkah laku “kekanak-kanakan” yang diperbuat oleh orang dewasa. Dengan kata lain, amae berarti “menjadi ibu atau menjadi anak” yang berupa bentuk hubungan yang melepaskan kepentingan diri sendiri antara yang penuh kasih sayang dengan anaknya. Jika seseorang mengatakan bahwa A bersikap amai terhadap B, itu berarti bahwa A membiarkan B berlaku amaeru (manja) terhadap B, yaitu bersikap mengandalkan diri dan mengharapkan sesuatu dari tali perhubungan di antara kedua Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
orang tersebut. Juga dapat dikatakan bahwa pandangan seseorang terhadap suasana adalah amai , artinya adalah bahwa seseorang tersebut sangat optimis tanpa memiliki suatu pengertian yang cukup mengenai seluk beluk realita yang dihadapi. Sikap demikian dapat menimbulkan rasa prihatin pada orang lain karena pada hakekatnya orang yang bersangkutan mengharapkan suatu perkembangan yang menguntungkan tanpa memberikan pertimbangan yang matang. Ini merupakan suatu pola sikap memanjakan diri (http: //en.wikipedia.org/wiki/amae). Hubungan seperti ini sering kali tersembunyi di balik tingkah laku manis yang diperankan oleh orang-orang dewasa Jepang. Sekalipun bagi orang-orang barat, hal ini dinilai sebagai kekanak-kanakan. Hal seperti ini juga menggambarkan sikap ketidakpercayaan orang Jepang terhadap orang asing ( gaijin 外人 ), yakni orangorang yang mana mereka tidak akan pernah dapat menjalin hubungan amae. Hubungan amae ini selalu menyertai setiap orang yang bergabung di dalam salah satu kelompok penting, misalnya keluarga, klub, perusahaan, sekolah, dan lain-lain. Tanpa hubungan yang sudah mapan ini, orang Jepang tidak dapat mempercayai orang lain untuk memahami segala kelemahannya dan untuk melindungi diri dari masa lalu atau kehilangan muka. Pengendalian diri dan mengatasi segala rintangan adalah untuk melindungi dirinya sendiri karena tanpa hubungan amae, seseorang tidak dapat meramalkan bagaimana orang lain akan bertingkah laku kepadanya. Hubungan amae mencakup kepribadian anak-orang tua-dewasa dalam setiap orang, merupakan sejenis “permainan” yang dipakai orang Jepang dalam segala aspek kehidupan, antara anak buah dan atasan, terkadang juga antara orang –orang yang sama tingkatannya. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Dalam hubungan dengan orang lain yang tidak dikenal, baik orang Jepang ataupun orang asing, dalam urusan usaha atau pribadi, orang Jepang perlu melakukan jarak karena selalu ada rintangan antara orang tidak memiliki hubungan amae. Orang barat dapat melakukan amae kepada setiap orang walaupun baru saja berkenalan. Sebaliknya, orang Jepang tidak mengacuhkan orang-orang baru dan menjaga jarak terhadap mereka, karena orang Jepang mampu melakukan dan merasakan amae dengan orang lain berdasarkan hubungan akrab dalam jangka waktu yang lama ( Doi, 1986 :17-19). Takeo Doi berkeyakinan bahwa amae (甘え) merupakan tradisi yang menjadi ideologi Jepang. Bukan dalam arti kerangka “kajian mengenai paham-paham”, tetapi dalam arti rangkaian pandangan atau konsep utama yang merupakan landasan aktual atau potensial bagi suatu sistem masyarakat yang lengkap. Doi mengatakan bahwa amae merupakan “minyak kehidupan” di Jepang merupakan salah satu tonggak dasar pada kepribadian manusia Jepang.
2.1.2 Konsepsi Amae Istilah amae mengacu pada perasaan yang ada pada setiap bayi dalam pelukan ibunya. Perasaan tersebut sangat menginginkan sang ibu untuk selalu memeluknya, untuk selalu dicintai secara pasif, serta menolak untuk dipisahkan dari kehangatan sang ibu dan juga menginginkan terpenuhinya semua kebutuhannya. Walaupun perasaan tersebut dimiliki oleh setiap bayi di manapun, tetapi karena perasaan tersebut tetap ada dan berkembang pada orang Jepang dewasa, maka istilah amae ( 甘え ) pun hanya dapat berkembang di Jepang menjadi suatu konsep kunci pemahaman atas perilaku orang Jepang. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Di dalam masyarakat Jepang, amae merupakan suatu budaya yang terus dikembangkan dan sangat dihormati bahkan dituntut untuk dilaksanakan hingga sekarang ini. Amae menurut arti sebenarnya merupakan ketergantungan antara anak dengan orangtua
atau sebaliknya. Hubungan tersebut dapat menciptakan sebuah
ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya. Amae adalah suatu istilah yang berasal dari bentuk kata kerja amaeru ( 甘える ). Amaeru sendiri sering digunakan dalam menjelaskan perasaan atau sifat anak terhadap ibunya yang saling bergantung antara yang satu dengan yang lainnya. Peranan lainnya yang melengkapi amaeru adalah amayakasu ( 甘やかす ), yaitu peran yang menerima amaeru. Dalam hal ini amayakasu dapat juga dikatakan peran seorang ibu sebagai tempat bergantung anaknya. Amae juga merupakan ketergantungan “yang terlalu memberi hati” yang berakar kuat dalam hubungan mother-child yang mengikat. Hal tersebut menyatakan bahwa fisik mempunyai kekuatan batin dalam merasakan secara emosional dekat dengan manusia lainnya. Dan para ibu di Jepang secara optimal menyatakan dirinya sebagai ibu melalui memberikan perhatian yang berlebih kepada anaknya. Menurut Vogel (1966 :186), amae merupakan pengalaman seorang anak untuk merasakan ketergantungan atau suatu keinginan untuk dicintai, selagi seorang ibu mengalami sendiri pemenuhan dan kepuasan melalui perlindungan dan memberi hati yang berlebih dari ketidakdewasaan anaknya. Hubungan ketergantungan antara ibu dan anak memiliki suatu bentuk ideal menurut kebiasaan orang Jepang. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa kedekatan ibu dan anak yang menyatakan hubungan fisik sering disebut dengan skinship, khususnya ditemukan pada perlindungan bayi. Namun, budaya Jepang ini terus dikembangkan di dalam kehidupan antar sesama manusia ( masyarakat dan kelompok ). Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Konsep amae timbul dari hasil pemikiran Takeo Doi. Sebelum sampai pada konsepsi amae secara keseluruhan, berikut ini penulis akan memberikan penjelasan latar belakang mengapa istilah amae dijadikan oleh Takeo Doi sebagai konsep kunci pemahaman atas perilaku masyarakat Jepang. Sebagai seorang ahli psikologi, ketika memperdalam studi psikiatri di Amerika pada tahun 1950, Takeo Doi memperoleh berbagai pengalaman. Pengalaman-pengalaman tersebut pada awalnya menyebabkan Doi mengalami apa yang disebut dengan “kejutan budaya” atau “cultural shock”. Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Doi bahwa : “Pertama sekali saya ingin menjelaskan mengapa pada awalnya saya mulai tertarik pada paham amae. Ini berhubungan dengan pengalaman saya yang lazim disebut dengan “kejutan kebudayaan”. Kejutan kebudayaan ini terjadi karena adanya perbedaan yang kontras antara “cara berpikir” dan “cara rasa” Takeo Doi (orang Jepang) dengan “cara berpikir” dan “cara rasa” orang-orang Amerika yang berinteraksi dengannya. Selanjutnya, di dalam menjelaskan alasan timbulnya konsep amae, Takeo Doi melalui bukunya “Amae No Kozo” juga mengemukakan secara rinci kejadian-kejadian yang dialaminya. Dari kejadian-kejadian itulah, secara kronologis setahap demi setahap Doi mulai menyadarinya dan memahami kemudian menyimpulkan bahwa amae adalah suatu konsep kunci untuk memahami struktur kepribadian orang Jepang. Adapun kejadian-kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat Doi pertama sekali berada di Amerika, Doi berkunjung ke rumah seorang temannya yang berkewarganegaraan Amerika. Di sela pembicaraan, temannya bertanya apakah Doi merasa lapar. Karena merasa sungkan dan tidak ingin berterus terang pada orang yang Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
baru pertama bertemu, maka Doi pun menjawab bahwa dia tidak lapar. Pada akhirnya tuan rumah mengatakan “Oh! Saya mengerti!”. Doi merasa menyesal karena tidak berterus terang bahwa dia sesungguhnya lapar. Pada waktu itu saya berpikir bahwa di Jepang, seorang tuan rumah tidak akan menanyakan secara berterus terang apakah tamunya lapar, akan tetapi akan mencari cara untuk menyuguhkan sesuatu tanpa bertanya kepada tamunya ( Doi, 1988: 1-2). Menurut Takeo Doi, orang Jepang sangat mengharapkan kebaikan atau pertolongan seseorang tanpa harus berkata-kata. Misalnya “please help yourself” yang kerap kali digunakan oleh tuan rumah orang Amerika terhadap tamunya untuk bebas memilih dan bertindak tanpa basa-basi. Tetapi hal ini sulit dimengerti oleh Doi sebagai orang Jepang yang pada saat itu belum terbiasa dengan bahasa Inggris. Hal ini karena kata-kata tersebut bagi orang Jepang pengertiannya adalah “tidak ada orang yang akan membantu anda” ( Doi, 1988 :4). Kejadian tersebut menegaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bidang psikiatri dengan bahasa. Hal tersebut diungkapkan oleh Doi melalui kutipan berikut : “ jiwa khas suatu bangsa hanya dapat dipelajari melalui suatu pengetahuan yang mendalam mengenai bahasa itu sendiri. Bahasa mengandung semua yang menjiwai hati nurani suatu bangsa, oleh sebab itu merupakan landasan tes proyektif yang terbaik untuk memahami bahasa itu sendiri” (Doi, 1988: 6). Ada kejadian penting yang menambah keyakinan Doi terhadap betapa penting dan eratnya hubungan antara bahasa dengan psikiatri. Hal ini terjadi ketika Doi memeriksa pasien yaitu seorang anak dari pernikahan campuran yang menderita ‘histeria’. Ibu si anak adalah keturunan Inggris yang dilahirkan di Jepang dan mahir berbicara bahasa Jepang. Ketika pertanyaan-pertanyaan sampai pada riwayat Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
pertumbuhan si anak, dengan sendirinya percakapan pun mencakup masa kanakkanak dari si pasien. Pada saat itu, si ibu yang pada awalnya berbicara dalam bahasa Inggris, tiba-tiba berbicara dalam bahasa Jepang dan berkata “kono ko wa amari amaemasen deshita” (anak ini tidak begitu memanjakan dirinya, ia tidak terlalu amaeru). Kejadian ini dengan jelas sekali telah membuktikan bahwa sebagai suatu “istilah”, amae adalah unik bagi bahasa Jepang, tetapi sebagai perilaku merupakan suatu universal. Menurut Doi, hal ini dikarenakan ketika ditanya mengapa menggunakan ungkapan Jepang tersebut, jawaban yang muncul adalah “ tidak ada suatu istilah yang tepat dalam bahasa Inggris untuk mengungkapkan perilaku seperti itu”. Dengan demikian istilah amae muncul baik dari pengalaman-pengalaman Takeo Doi yang terjadi ketika berinteraksi , maupun dari hasil observasi klinik seharihari melalui cara berkomunikasi dengan para pasiennya.
2.1.3 Dunia Amae Setelah munculnya istilah amae yang menghasilkan konklusi sementara dari Takeo Doi yang mengatakan bahwa istilah amae adalah suatu kosakata khas dalam bahasa Jepang yang sebenarnya mengungkapkan suatu “gejala psikologis”, yang pada dasarnya secara umum didapatkan dalam kalangan umat manusia secara keseluruhan, dimana gejala psikologis yang dimaksud sangat erat dengan jiwa orang Jepang bahkan juga dengan tatanan masyarakatnya. Oleh sebab itu, lebih jauh Takeo Doi mengatakan bahwa dengan kata lain amae merupakan konsep kunci yang bukan
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
hanya untuk memahami struktur psikologis orang Jepang saja, melainkan dapat juga dikatakan juga untuk memahami struktur masyarakat Jepang. Berikut ini adalah beberapa istilah yang berhubungan dengan amae (甘え), yaitu : 1. Sumeru Menggambarkan sikap seseorang yang tidak memperoleh kesempatan untuk memanjakan diri secara berterus terang. 2. Higamu Atau sikap curiga yang mengandung anggapan bahwa dirinya tidak diperlakukan adil yang muncul dari suasana dimana hasrat untuk amaeru tidak memperoleh jawaban yang diinginkan. 3. Hinekureru Yaitu memperlihatkan sifat yang bertentangan dengan hasrat sendiri. Mencakup sikap berpura-pura seakan-akan tidak memiliki hasrat untuk beramaeru. Di dalam hati sebenarnya yang bersangkutan ingin mengetahui reaksi pihak lain. Walau tidak ada tanda-tanda untuk melakukan amae, sebenarnya faktor itu tetap ada. 4. Uramu Yaitu memperlihatkan sikap membenci yang mengandung permusuhan. Sikap ini muncul karena sikap amae tidak diacuhkan. Sikap demikian agak kompleks dan agak berbeda dengan perasaan permusuhan murni. Perasaan yang demikian itu sangat erat sekali dengan psikologi amae. 5. Tanomu
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Istilah ini maknanya adalah antara ‘meminta’ dan ‘mengandalkan diri’ yang mengandung suatu hasrat bahwa seseorang mengandalkan diri mengenai sesuatu kepada orang lain dengan harapan memperoleh perlakuan yang menguntungkan dirinya. Dengan kata lain, Tanomu dengan kata lain mengatakan “saya harap diizinkan beramaeru”. 6. Toriru Berarti ‘mengambil muka’ terhadap seseorang dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Ini adalah suatu cara untuk melakukan amaeru sedemikian rupa seakan-akan memberikan kesempatan kepada orang lain. 7. Kodawaru Berarti tidak membiarkan dirinya ‘meminta’, mengandalkan diri’, atau ‘mengambil muka’. Namun demikian, sebenarnya melebihi hasrat dari orang lain. Sebenarnya dia ingin sekali beramaeru tetapi khawatir akan ditolak maka dengan demikian dia telah menekan hasrat untuk berterus terang. 8.
Kigane Atau sikap membatasi diri, mengandung makna yang terus menerus menekan hasrat atau berbasa-basi terhadap orang lain yang timbul karena rasa khawatir bahwa sikap amae yang diperlihatkan mungkin tidak akan memperoleh jawaban sepenuhnya sebagaimana yang diharapkan.
9.
Wadakamari Yaitu istilah yang dipakai apabila suatu sikap tidak acuh yang mencolok menyelubungi suatu sikap benci terhadap seseorang.
10.
Teteru
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Atau merasa kikuk, merupakan sikap ketidakmampuan untuk menyatakan secara terus terang tentang hasratnya untuk berlaku amaeru. Tetapi kesulitan baginya bukanlah rasa khawatir ditolak, melainkan rasa
malu untuk
memperagakan sikap amaeru di depan orang lain.
2.2
Giri dan Ninjo Sebagai Dasar Tumbuhnya Amae Secara garis besar amae merupakan ketergantungan antara kedua belah pihak
yang saling memerlukan. Amae merupakan konsep moral bangsa Jepang yang telah lama tertanam dalam diri orang Jepang. Amae mengungkapkan gejala psikologi yang pada dasarnya secara umum didapatkan oleh umat manusia secara keseluruhan dan amae sangat erat kaitannya dengan jiwa orang Jepang, bahkan juga dengan tatanan masyarakatnya. Adapun pada gilirannya bahwa amae merupakan konsep kunci untuk memahami, tidak saja pada psikologis orang Jepang secara perorangan, tetapi juga sebagai tatanan masyarakatnya secara menyeluruh. Maka dengan kata lain, amae adalah sebagai pintu gerbang untuk menuju giri dan ninjo. Pengertian giri, menurut Ruth Benedict adalah mencakup semua kewajiban moral yang menjadi tanggungan seseorang kepada orang yang berstatus selain keluarga kandung sendiri. Hal ini sebagaimana terkandung dalam ilustrasi kalimat berikut : “ kalau seorang putra dewasa berbuat sesuatu untuk ibunya sendiri, itu karena ia mencintai ibunya. Oleh karena itu, hal demikian bukanlah giri. Atau dengan perkataan lain, seseorang tidak bekerja, berbuat baik, membantu orang lain, untuk giri kalau ia melakukannya dengan tulus hati”. Oleh karena itu giri merupakan suatu kewajiban moral yang dilakukan dengan “penuh keengganan”. Giri akan muncul jika
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
seseorang menerima on, yaitu utang yang harus dibayar kembali. Atau budi baik seseorang yang kita terima. Sedangkan pengertian ninjo adalah suatu perasaan yang tidak menuntut balas, atau benar-benar tulus dari dalam hati dan tidak melibatkan menjadi on. Karena jika on terlibat dalam berinteraksi, maka yang akan timbul bukanlah ninjo melainkan giri. Adapun penjelasan mengenai kaitan antara giri, ninjo, dan mentalitas amae adalah sebagai berikut. Pernyataan : “telah berutang budi (on) karena telah menginap semalam”, menunjukkan bahwa on muncul karena kebaikan hati (ninjo) orang lain dan sebagai akibat on menyebabkan timbulnya hubungan atau perasaan giri. Dapat dikatakan juga bahwa karena menerima on berarti seseorang telah menerima suatu beban psikologi sebagai akibat dari penerimaan kebaikan hati orang lain. Sedangkan giri muncul karena “hutang budi” (on) telah mengakibatkan “hubungan saling ketergantungan”. Hubungan saling ketergantungan inilah pada dasarnya merupakan sumber dari usaha psikologis untuk memelihara kemauan baik dari orang yang telah memberikan on, dan hal ini pada hakekatnya berarti sikap amae. Dari penjelasan diatas menjadi jelas pula bahwa baik giri maupun ninjo masing-masing memiliki akar yang amat mendalam dalam wadah amae. Ringkasnya, jika seseorang menegaskan ninjo berarti menekankan amae, yaitu untuk mendorong kepekaan terhadap amae, karena orang tersebut bertindak seperti hubungan ibu dan anaknya yang diliputi oleh ketulusan. Sementara itu, jika seseorang menekankan giri, maka orang tersebut akan menegaskan hubungan manusia yang timbul melalui amae, karena timbulnya usaha psikologis untuk tetap menjaga kemauan baik dari pihak yang telah memberi budi baik (sifat ketergantungan). Dengan demikian secara abstrak amae dapat digantikan dengan istilah “menggantungkan diri”. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Akhirnya
dapat
disimpulkan
bahwa
ninjo
menyambut
baik
sikap
menggantungkan atau mempercayakan diri, sedangkan giri mengikat orang-orang dalam suatu hubungan ketergantungan. Masyarakat Jepang di masa lampau, dimana giri dan ninjo merupakan konsep etika yang utama, tanpa berlebihan dapat digambarkan sebagai suatu dunia yang secara menyeluruh dijiwai oleh amae.
2.3
Amae Dalam Kelompok Masyarakat Jepang Penerapan amae tidak saja diberlakukan dalam keluarga, akan tetapi juga
direalisasikan dalam lembaga atau perusahaan Jepang. Dalam pengertian amae dalam keluarga dengan amae dalam perusahaan sebenarnya memiliki arti yang sama persis, hanya saja bila dalam keluarga terdapat ibu dan anak, sedangkan dalam perusahaan terdapat pimpinan dengan karyawan atau atasan dengan bawahan. Amae dalam perusahaan memiliki prinsip yang sama dengan amae dalam keluarga, yaitu kebaikan, hasil perlindungan pimpinan terhadap karyawannya sekaligus ketergantungan antara keduanya. Hubungan antar pribadi ini diliputi dengan” kepercayaan dan keyakinan”. Dan semua orang mempunyai sifat amae, yaitu kebutuhan untuk mengadukan semua kesulitannya kepada orang yang ia percayai, dengan kata lain seseorang membutuhkan orang lain yang akan membebaskannya dari beban kejiwaan. Bagi masyarakat Jepang, budaya "dependensi" atau ketergantungan dinilai positif. Melalui budaya ini seseorang akan menghargai pihak lain yang membantunya, hal mana akan mengantar yang dibantu untuk berbuat serupa pada pihak lain. Budaya ini juga akan mendidik seseorang untuk selalu menghargai pihak lain kendati ia telah Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
mencapai
puncak
kesuksesan
(Satsuki
Kawano
dalam
http://www.mail-
archive.com/
[email protected]/) .Pada umumnya hubungan antar manusia di Jepang berdasarkan hubungan vertikal atau atasan dan bawahan. Memang tidak ada yang luar biasa pada masyarakat yang berdasarkan hirarki atasan dan bawahan ini, sebab hampir semua masyarakat berdasarkan struktur ini. Perbedaan masyarakat vertikal Jepang dengan masyarakat lainnya terletak pada hubungan khusus, tunggal, antar perorangan, dan antar kelompok-kelompok. Menurut Nakane (1981: 26), struktur masyarakat Jepang yang berupa hubungan atasan – bawahan itu, berdasarkan derajat “ego terpusat”, yang merupakan dasar utama bagi aturan sosial negara tersebut. Derajat ini tidak hanya membentuk sikap dan tingkah laku, tetapi juga mempengaruhi sifat, kepribadiaan, pekerjaan, kemampuan, dan prestasi. Bila derajat dalam struktur atasan – bawahan merupakan satu sisi sosial di Jepang, maka sisi lainnya berupa dorongan dalam diri mereka untuk membentuk kelompok dan menyatu dalam kelompok itu berdasarkan keakraban dan aktivitas. Baik derajat maupun pengelompokan, sebagai mekanisme sosial dan ekonomi, berakar dari kebudayaan Jepang masa lalu dengan masyarakatnya yang terbagi atas berbagai kelompok, kelas, dan pekerjaan. Masing-masing kategori ini dan semua anggota yang berada di dalamnya, diatas derajatnya secara vertikal yang dimulai oleh buruh kecil (pelayan), dan meningkat ke pimpinan, kepala desa (kota), dan akhirnya sampai kepada kaisar. Dalam penggambarannya, Takeo Doi menjelaskan pola amae dalam system kerajaan di Jepang. Dikatakannya bahwa Kaisar dalam kedudukannya sebagai Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
pemimpin Negara sering dimanfaatkan sebagai tempat yang diharapkan oleh orangorang yang berada di sekelilingnya untuk menangani segala persoalan yang telah diserahkan kapadanya, besar atau kecil, termasuk masalah pemerintahan Negara. Di lain pihak, Kaisar sama sekali tergantung pada mereka yang berada di sekililingnya, walaupun secara status atau kedudukan, mereka yang berada di sekililing kaisar adalah pembantu-pembantu Kaisar. Jika dilihat dari sifat ketergantungannya, Kaisar tidak ubahnya seorang bayi dalam pangkuan ibunya. Namun, kedudukannya merupakan posisi tertinggi dalam negaranya, dan hal ini sebagai kenyataan dan bukti bahwa masyarakat Jepang memberikan tempat yang terhormat bagi sikap yang kekanak-kanakan yang menggantungkan diri (memanjakan diri) dan hal ini mencerminkan budaya amae ( 甘え). Selanjutnya takeo Doi mengatakan bahwa jiwa amae selalu bersemayam dalam hati sanubari tiap-tiap orang Jepang, yaitu melalui kebiasan-kebiasaan masyarakat yang memiliki kaitan dengan sistem kaisar. Contohnya, dalam berbicara dengan kaisar selalu digunakan bahasa hormat, dan sampai sekarang bahasa hormat itu masih digunakan apabila berbicara dengan seseorang yang dihormati sebagai ungkapan perasaan untuk menghormati lawan berbicara yang mempunyai kedudukan tinggi. Ada suatu persamaan kuat antara penghormatan terhadap seseorang yang dihormati dengan cara berbicara dengan anak-anak. Dengan kata lain, amae berarti “menjadi ibu” atau “menjadi anak” yang berupa bentuk hubungan yang melepaskan kepentingan diri sendiri antara ibu yang penuh kasih sayang dan bayinya. Misalnya ketika seorang wanita berkata, “botchan wa o-rikoo-san desu ne?” (sungguh pintar ya anak ini?). Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Kata rikoo berarti pintar, diberi dua kata tambahan untuk menghormati, yaitu awalan o- dan akhiran -san. Contoh yang lain adalah “O-joo-chan no o-oofuku wa kirei desu ne ?” (baju nona bagus ya?). dalam contoh kalimat ini, kata nona itu mengandung penghormatan karena dibubuhi awalan o- dan akhiran –chan, sedangkan kata yoofuku (baju) juga berawalan o- (Doi, 1988 : 62). Pemakaian awalan dan akhiran sebagai suatu penghormatan yang berlebihan, dianggap untuk menyenangkan hati atasan dengan cara-cara yang sama terhadap , dapat dijadikan sebagai bukti tentang adanya suatu sikap kekanak-kanakan orang Jepang. Dalam masyarakat barat, orang-orang dewasa biasanya menekan kebutuhan akan amae dan akhirnya mematikan perasaan itu. Disinilah sebenarnya terletak perbedaan antara sikap dan tingkah laku barat dengan Jepang karena manusia Jepang menekankan amae di sepanjang hidup mereka. Menurut Doi, mentalitas amae Jepang berasal dari pengalaman bangsa Jepang pada awal sejarah mereka. Hal ini terus berlanjut sampai pada permulaan masa modern. Dalam sifat amaenya, pada masyarakat Jepang tumbuh suatu sifat ketergantungan antara sesama kelompok Jepang. Hal ini tumbuh dalam kehidupan sehari-hari yang tergambar dari adanya rasa kepercayaan dan perasaan bergantung kepada orang lain. Contohnya adalah dalam melakukan perjalanan wisata, tampak sifat amae menonjol dalam kelompok orang-orang yang akan melakukan perjalanan wisata tersebut. Mereka merasa lebih aman berada dalam rombongan orang-orang yang kesemuanya berasal dari Jepang. Perjalanan yang dilakukan, diatur, dan diterangkan sepanjang jalan oleh pemandu wisata sebagai orang yang dipercayai oleh rombongan tersebut sebagi tempat untuk menggantungkan diri mereka.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Amae adalah sikap ketergantungan atau sifat mengandalkan diri dengan mempercayai orang lain yang berasal dari kelompoknya. Hal ini berakibat bahwa orang Jepang sangat memperhatikan pandangan lingkungannya, kekhawatiran akan jauh terkucil, serta ditinggalkan atau dijauhi dari lingkungan masyarakatnya yang membuat mereka menjadi lebih peka, dan akan merasa malu atau haji ( 恥じ ) karena pandangan dan penilaian orang-orang sekitarnya sangat mempengaruhi pola kelakuan dan tindakan mereka. Oleh karena itu, masyarakat Jepang sangat pandai dalam memelihara hubungan dengan orang lain dalam bermasyarakat dengan menekan perasaan individu dan menitikberatkan kepada orang lain atau kelompok.
2.4
Pola Pengasuhan Anak Dalam Prinsip Amae Hubungan
ketergantungan
mengadopsi
tipe
dan
bentuk
total
ketika
diekspresikan dalam interaksi ibu dan anak. Berikut ini akan dijabarkan bagaimana pola pengasuhan anak dalam prinsip amae . Terdapat 4 jenis ketergantungan yang terjalin dari bentuk kultural dalam hubungan idealis ibu dan anak ini. Pertama
: Sang ibu memiliki kuasa penuh atas si anak, yang berarti si anak bergantung secara total pada ibunya atas keamanan, perlindungan, dan pertahanan anaknya.
Kedua
:
Sang ibu adalah pelindung segalanya bagi si anak. Sang ibu bertanggungjawab atas makanan, pengawasan toilet, pakaian,
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
dan kesehatan si anak. Si anak bergantung penuh pada kehadiran sang ibu. Ketiga
:
Kehendak akan kesangatsabaran sepenuhnya condong dalam hubungan ibu-anak ini. Sang ibu bertindak sebagai amayakasu, sementara si anak sebagai amaeru, tanpa adanya halangan yang berarti.
Keempat :
Seluruh hidup sang ibu diabdikan untuk kepentingan si anak. Sang ibu melambangkan “kemewahan” dalam empati dan pengorbanan, yang mana menjadi tempat bergantung si anak tang tak berdaya.
Terdapat perubahan gambaran dari para ibu Jepang setelah masa perang berakhir. Pada masa sebelum perang, para ibu Jepang berifat pasif dan tunduk, sementara pada masa setelah perang, para ibu seperti yang diberitakan oleh mass media, digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mendominasi. Meskipun begitu, secara konsisten para ibu juga digambarkan sebagai sosok yang dapat diandalkan dan selalu membantu si anak. Si anak tidak meninggalkan kasih sayang yang mendalam terhadap ibunya, bahkan ketika dia telah dewasa, yang mana hal ini berlawanan dengan anak remaja Amerika yang berjuang untuk mendapatkan kebebasan dari kedua orang tuanya (Lebra, 1976 : 58). Secara umum, dalam pola pengasuhan anak yang dilandasi oleh amae, baik dominasi dan sifat posesif para ibu Jepang, kedua-duanya diseimbangkan atau disembunyikan di belakang sikap rela berkorbannya. Sang ibu secara konsisten mendoktrinkan anaknya untuk menjadi anak laki-laki yang kelaki-lakian atau anak perempuan yang bersifat perempuan. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Dalam pola pengasuhan berlatar belakangkan budaya amae ketika sudah dewasa ini , ketergantungan ibu-anak bersifat timbal balik. Di saat si anak masih kecil bahkan menginjak usia remaja, si anak bergantung kepada ibunya. Sebaliknya, si anak telah dewasa sang ibulah yang bergantung kepada anak. Para ibu di Jepang, saat mengorbankan dirinya bagi anaknya, barangkali mengingatkan anaknya secara verbal atau melalui tingkah laku akan beban hatinya bahwa sang ibu bergantung kepada si anak untuk menopang hidupnya. Dia akan berkata, “ Ingatlah anakku, kamu adalah satu-satunya yang ku miliki sebagai tempat bergantung. Engkau adalah tujuan hidupku “ ( Lebra, 1998 :60). Berharap bergantung di masa tua kepada anak, dapat dimengerti menjadi alasan utama mengapa akhir-akhir ini para ibu Jepang pada tingkat ekonomi menengah cenderung menjadi kyoiku mama
(para ibu yang
terobsesi pada pendidikan yang secara terus menerus menekankan pendidikan kepada anaknya, terutama dalam menghadapi ujian masuk). Hal ini adalah tanda lainnya bahwa perilaku sosial, dalam hal ini adalah ketergantungan, bersifat interaksi. Berkat amae, bukanlah hal yang disengaja bahwa peran ibu menjadi tema yang populer dalam lagu-lagu terkenal, cerita, permainan, dan film. Dan masalah dalam tema tersebut diisi dengan adegan menyedihkan yang selalu berhasil membuat penonton maupun pendengar meneteskan air mata.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
BAB III BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK
3.1. Amae Dalam Pengasuhan Bayi Dalam masyarakat Jepang, anak-anak diasuh bebas sekali, hampir terus menerus dalam kontak ibunya, dan praktis tidak pernah ditinggalkan sendirian. Masyarakat Jepang sejak kelahiran memang diarahkan untuk saling bergantung kepada
pihak
lain
(http://www.mail-archive.com/
[email protected]).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti asing sering kali memuji kedekatan Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
fisik antara ibu Jepang dengan anaknya, bukan hanya dalam dekatnya fisik, tetapi juga kontak badan dalam arti yang sebenarnya atau apa yang disebut oleh orang Jepang sebagai ‘skinship’. Hal ini terutama sekali ditemukan pada pengasuhan bayi. Kebiasaan umum yang membuat kontak badan menjadi teratur antara sang ibu dan bayinya adalah ketika pemberian susu. Sang ibu mendekap si anak di lengannya atau meletakkan si bayi dalam berbagai cara sehingga si bayi merasa nyaman ketika menyusu kepada ibunya. Memberi susu telah dipercayai menjadi kebutuhan pemberi asupan gizi, kebiasaan psikologi umum, dan telah dipraktekkan secara umum. Pemberian susu tidak hanya berlangsung sebagai alasan untuk memenuhi asupan nutrisi saja tetapi juga untuk alasan kepentingan emosional. Secara umum para ibu Jepang menikmati menyusui anaknya sehingga keadaan menyapih adalah hal yang sangat sulit bagi mereka begitu juga dengan si bayi. Orang Jepang yakin bahwa menyusui merupakan salah satu kesenangan fisiologis terbesar bagi seorang wanita dan si bayi juga mudah belajar untuk ikut merasakan kesenangan ibunya. Bahkan karena menyusui adalah kesenangan yang teramat besar bagi mereka, para ibu akan menyapih anaknya ketika mendekati adik si bayi akan lahir. Ketika banyak orang menyalahkan para ibu karena menyusui anaknya terlalu lama bahkan menuding mereka bahwa mereka egois dan tidak tegas karena memperlama si bayi untuk menyapih karena adanya anggapan bahwa anak yang disusui lama adalah anak yang lemah , para ibu tidak perduli dan penyuluhan penyapihan setelah si bayi berumur delapan bulan tidak berhasil (Benedict, 1989: 273). Hal tersebut seolah menunjukkan bahwa sang ibu dan si bayi tidak dapat terpisahkan. Sang ibu memberikan perhatian yang berlebih pada si bayi, bahkan Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
ketika banyak orang yang menyalahkan mereka karena menyapih yang terlalu lama, mereka tidak perduli dan tetap melakukan apa yang mereka anggap terbaik bagi bayi mereka. Di Jepang, payudara ibu dipuja lebih sebagai simbol pengasuhan ibu daripada sebagai fungsi seks. Payudara sering diberikan kepada bayi untuk bermain tidak sebanyak untuk memberi makan. Dada ibunya itu bukan saja sumber makanan, tetapi juga kesenangan dan hiburan (Benedict, 1989: 269). Suatu hal yang sangat berbeda dengan budaya manapun yang menganggap bahwa dada sang ibu hanya untuk memberi makan saja. Suatu hal yang patut diacungi jempol bahwa sang ibu memberikan dadanya bukan sebagai memberi makan saja tetapi juga menjadi pusat kesenangan dan hiburan bagi si bayi. Hal ini melambangkan bahwa sang ibu memberi segenap jiwa dan raganya bagi si bayi. Ibu sebagai seorang “pemberi makan” dilambangkan dengan payudaranya, yang mana seringkali disebutkan dalam percakapan, permainan, puisi, dan lagu seperti di bawah ini : Twos, twos, what comes in twos? Your eyes, one and two, they are two Your ears, one and two, they are two What else comes in twos? Your hands, see, aren’t they are two? Your feet, too, are two, aren’t they? Aren’t there better things in twos? Those round things, Mama’s oppai Aren’t they two? Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut : Dua, dua, apakah yang ada dua? Matamu, satu dan dua, mereka ada dua Telingamu, satu dan dua, mereka ada dua Apakah yang lainnya yang terdiri dari dua? Lihatlah tanganmu, bukankah mereka ada dua? Juga kakimu, ada dua kan? Apakah ada lagi yang terdiri dari dua? Itu adalah payudara ibu Bukankah mereka ada dua juga? ( Lebra, 1998:59) Lagu tersebut memiliki makna bahwa dada sang ibu memiliki peran yang sangat penting di samping organ tubuh si bayi yang lainnya. Tampak disini bahwa sang ibu menekankan bahwa dada sang ibu sebagai organ yang sama pentingnya dengan mata si anak yang berfungsi untuk melihat, telinga untuk mendengar, tangan untuk memegang, dan juga kaki untuk berjalan. Merawat bayi bukan hanya persoalan nutrisi saja. Hal tersebut kelihatannya menyenangkan bagi wanita untuk menunjukkan cinta mereka kepada si bayi, cara yang hanya dapat dilakukan oleh wanita. Para ibu Jepang merasakan bahwa menyusui bayi terlihat lebih menyenangkan daripada memberi susu di dalam botol. Ketika si anak merasakan cinta ibunya di sekujur tubuh, di dalam hati si anak yang terdalam akan timbul sesuatu yang unik. Kebiasaan lainnya yang mengharuskan terjadinya kontak tubuh adalah memandikan anak. Hal pertama yang mendasarinya adalah orang Jepang yang sangat menikmati mandi dan berendam di dalam bak mandi Jepang yang disebut furo. Si Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
bayi diletakkan di dekat badan ibunya dan mereka bersama-sama duduk berendam didalam bak mandi. Hal ini dilakukan di bak mandi umum yang mereka anggap seperti bak mandi pribadi di rumah. Bagian bak mandi umum yang menjadi milik wanita biasanya dilengkapi dengan sederet tempat tidur bayi. Selama mandi, seperti halnya dalam perawatan anak, sang ibu dan si anak berbagi kepuasaan fisik dan berkomunikasi satu sama lain melalui kontak tubuh. Tekanan pada kontak tubuh telah mencatat secara umum pola interaksi antara ibu dengan bayinya. Para ibu Jepang memanfaatkan budaya mandi yang sangat digemari oleh masyarakat Jepang sebagai sarana untuk memberi perlakuan amae pada bayinya. Dapat dilihat bahwa kasih sayang dari sang ibu ditunjukkan melalui perilaku, tidak selalu dengan kontak verbal. Suatu hal yang hanya dapat dijumpai dalam budaya amae, yang tidak terdapat dalam budaya lain. Perilaku lainnya yang memperlihatkan kedekatan antara ibu dan anak juga ditunjukkan ketika sang ibu menggendong anaknya. Sebagai orang Jepang yang tidak memperkerjakan seorang pengasuh, seorang ibu biasanya membawa anaknya kemana pun ia pergi, kecuali jika seorang anggota keluarga berada di rumah untuk menjaga si bayi. Si anak dijamin aman di belakang sang ibu dengan cara mengikatkan sebuah ikat pinggang dengan posisi kaki si anak melebar, mengarah ke tiap sisi badan ibunya, dan tangannya berada di pundak ibunya. Dalam keadaan tersebut biasanya seluruh tubuh si bayi beristirahat di belakang pundak ibunya. Ketika mengendong dengan cara ini, si anak tertidur dengan posisi kepala ada di atas leher ibunya ataupun lengan ibunya. Sang ibu dan anak satu sama lain merasakan kehangatan tubuh. Dan jika sang ibu tidak memiliki waktu untuk menjaga anaknya yang sudah mulai merangkak, sang ibu mungkin lebih memilih untuk membawanya ke mana saja di belakang badannya Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
dan membiarkan tangannya bebas. Sebuah kereta beroda empat juga akan digunakan untuk membawa si anak dalam berjalan. Jenis pengangkut tradisional adalah kereta bergaya Indian yang disebut onbu. Sekilas dilihat bahwa cara mengendong seperti ini adalah hal yang umum yang dapat ditemukan dalam budaya masyarakat lainnya. Perbedaannya adalah jika dalam kebiasaan mengendong yang lazim, sang ibu hanya sekedar mengendong bayinya saja. Namun cara mengendong bayi oleh ibu Jepang disertai dengan komunikasi non verbal yang disertai dengan perlakuan amae yaitu dengan mengendong bayinya kemana saja yang mana dengan cara tersebut sang ibu ingin mengkomunikasikan bahwa anaknya tidak bisa terlepas darinya dan bergantung kepadanya. Hal tersebut mengindikasikan adanya amae. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa para ibu Jepang lebih banyak berkomunikasi dengan bayinya melalui fisik daripada melalui kontak verbal. Hal ini dapat dilihat ketika sang ibu menimang bayinya, membawa, dan mengayunnya untuk menenangkan dan menghangatkan si bayi. Sedangkan sang ayah memiliki cara yang lain untuk memanjakan anaknya. Sang ayah membawa si anak di lengannya atau ketika si anak dirasakan sudah cukup besar, dia diletakkan di bahunya sebagai kesenangan. Akan dicatat bahwa cara membawa anak ini dinikmati oleh kedua belah pihak, bahkan ketika si anak sudah dapat berjalan. Kasih sayang orangtua kelihatannya diperlihatkan lebih mudah melalui kontak tubuh yang menunjukkan beberapa makna dari menggendong anak. Dan hal tersebut merupakan ciri dari budaya amae yang memperlihatkan bahwa orangtua terlalu “memberi hati” dan ketergantungan kepada si bayi.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Si bayi juga sangat dimanjakan karena sang ibu tidak akan pernah membiarkan si bayi sendirian ketika tidur. Bahkan, ketika si bayi menangis sang ibu akan segera datang tergopoh-gopoh untuk menemtramkan bayinya. Sang ibu akan segera menimang, menyusui, menggendong si bayi berkeliling, megayun-ayunkannya, dan selanjutnya si bayi akan diletakkan di lengannya agar kembali tenang. Jika si ibu tidak segera datang sehingga si bayi menangis dalam waktu yang agak lama, sang ibu akan merasa bersalah terhadapnya dan akan meminta maaf seraya berkata, “maafkan ibu karena telah mengabaikanmu, nak”. Di Jepang,
bayi dan anak-anak tidak dibiarkan tidur sendiri. Mereka
biasanya tidur bersama orang tua, kakek atau nenek. Bagi masyarakat Jepang membiarkan bayi tidur tanpa pendamping merupakan prilaku kejam. Orang Jepang menekankan kasih sayang pada bayi yang dimanifestasikan dalam bentuk mendampinginya ( Satsuki Kawano dalam http://www.mail-archive.com/
[email protected]). Suatu hal yang sangat berbeda dengan budaya lainnya di negara manapun yang memisahkan orangtua dengan bayi ketika tidur dengan maksud untuk menanamkan kemandirian sejak bayi. Caudill dan Weinstein dalam Lebra (1998: 389) mengatakan bahwa dari hasil penelitian yang mereka lakukan terhadap para ibu Jepang, didapati bahwa para ibu Jepang bersama dengan bayinya ketika dia tidur. Para ibu Jepang, walaupun tidak bertaut dalam perawatan yang aktif dalam hitungan waktu yang lebih besar, secara pasif hadir untuk bayinya dalam waktu yang lebih banyak. Dengan demikian, si bayi belajar bahwa kebutuhannya akan dipenuhi oleh ibunya dengan seketika atau diwakili oleh ibunya yang selalu ada di sampingnya dan keamanannya bergantung kepada sang ibu. Pengertian keamanan ini, diikat sebegitu erat dengan kehadiran seketika dari Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
ibunya, yang hilang ketika dia mendapati ketidakhadiran ibunya, “demikian juga ada kegelisahan tentang ketidakhadiran ibunya dan ketakutan yang nyata bahwa ia tidak akan mampu mengatasi masalahnya dan akan marah jika ibunya tidak ada di sampingnya” (Vogel, 1966:163). Dapat dilihat bahwa dalam masyarakat Jepang, bayi diperlakukan begitu istimewa. Memang dalam budaya masyarakat lainnya, bayi juga diperlakukan istimewa tetapi tidak seekslusif seperti layaknya masyarakat Jepang memperlakukan bayi mereka. Sebuah analogi mungkin diambil antara anak dalam kemarahan dan seorang dewa dalam kuil orang Jepang yang melepaskan kemarahannya dengan memberikan kesusahan bagi manusia. Baik antara anak dengan dewa diharapkan untuk ditentramkan dan ditenangkan oleh beberapa hal pembawa perdamaian. Tentu saja, kepercayaan rakyat bahwa anak adalah pemberian Dewa atau reinkarnasi Dewa tersebut. Dari penjabaran-penjabaran bagaimana perlakuan sang ibu kepada bayinya yang berlatarkan budaya amae seperti teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi, nampak bahwa perlakuan sang ibu kepada bayinya sangatlah istimewa. San ibu terlalu memberi hati kepada si bayi dan sangat memanjakannya , suatu hal yang jarang ditemukan dalam kebudayaan bangsa lain. Memang, pada saat si anak masih bayi, adalah hal yang sangat wajar mengingat si bayi tidak memiliki kemampuan untuk melakukan semua hal sendiri. Namun, sang ibu terlalu memanjakannya sampaisampai ditarik suatu analogi yang menyamakan antara bayi dengan Dewa yang akan marah besar jika keinginannya tidak dituruti.
3.2 Amae Dalam Pengasuhan Anak-Anak Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Anak-anak Jepang dengan cepat belajar untuk menemukan kesenangan dan keamanan jika berada dekat dengan ibunya. Baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan, si ibu adalah sumber kepuasaan yang besar dan tak putus-putusnya (Benedict, 1989: 275). Perlakuan amae dari ibu kepada anaknya dapat dilihat ketika anak-anak Jepang akan duduk di pangkuan ibunya ketika tamu orang tuanya datang. Betapa istimewanya mereka sampai-sampai pada pembicaraan orang tua pun mereka boleh ikut. Si anak membagikan banyak waktu dan ruang dengan orang dewasa, bahkan ketika tamu dewasa datang. Tidak ada garis pembatas antara dunia orang dewasa dan anak, karena anak dipercaya mampu ikut serta dalam percakapan orang dewasa karena mereka tidak dapat terpisahkan secara fisik. Padahal jika kita melihat budaya negara lain, ketika tamu datang orangtua berusaha untuk menjauhkan anak-anak dari pembicaraan antara tamu dengan orangtua si anak (sebagai tuan rumah) karena mereka menganggap bahwa anak kecil tidak akan mengerti percakapan diantara orang dewasa dan dikhawatirkan anak-anak akan menganggu percakapan mereka. Hal ini juga menjadi perbedaan yang mencolok antara pola pengasuhan yang berlatarbelakang amae dengan pola pengasuhan di negara lain. Bahkan dalam kesempatan ini, orangtua si anak mendorongnya untuk memamerkan beberapa keahlian dan kepandaian anaknya sebagai tanda dari kecakapan maupun prestasi si anak. Si anak didukung keluarganya untuk menunjukkan kemampuannya dalam memperkenalkan nama-nama dari anggota keluarganya, menyebutkan alamat rumah, berhitung dari angka 1-10, menyanyi ataupun menari. Si tamu juga menikmati beberapa pertunjukan dan dengan baik hati Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
mengucapkan kata-kata pujian. Orang dewasa Jepang adalah penonton setia pertunjukan anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa si tamu memberikan kebaikan hati dengan kesediaannya menonton pertunjukan si anak tersebut. Dan hal
ini
menunjukkan perlakuan amae. Si anak selanjutnya menjadi peka terhadap rasa takut ditinggalkan sendiri dikarenakan rasa ketergantungannya terhadap sang ibu yang dipercaya akan memenuhi segala kebutuhan-kebutuhan dan harapannya. Hal ini mengakibatkan suatu masalah dalam penyesuaian diri ketika memasuki ssekolah. Bahkan dalam suatu penelitian dapat dilihat bahwa anak TK Jepang cenderung memperlihatkan perasaan takut yang berlebihan dan perasaan malu dibandingkan dengan anak Amerika. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa perlakuan amae juga membawa pengaruh yang negatif pada anak. Diakibatkan rasa ketergantungan yang besar kepada ibunya sejak bayi, maka anak Jepang yang memasuki usia sekolah yang sudah terbiasa dengan perlakuan amae yang didapatnya ketika berada di rumah akan merasa asing berada di lingkungan yang baru yang masih teramat asing baginya. Bahkan dalam rangka menumbuhkan disiplin dalam diri anak mereka, para orang tua Jepang memanfaatkan rasa ketergantungan dari anak terhadap mereka. Jika si anak ribut sekali atau tidak cepat melakukan sesuatu, ibunya akan berkata kepada tamu prianya, “maukah anda membawa anak ini? Kami tidak menyukai anak seperti ini”. Tamunya pun berpura-pura memainkan perannya. Ia mulai membawa anak itu keluar rumah. Si anak menjerit dan memanggil-manggil ibunya agar menolongnya. Ia benar-benar marah. Jika menurut ibunya cara tersebut berhasil, ibunya lalu mengalah dan mengambil kembali anaknya, seraya menyuruh anaknya berjanji untuk menjadi anak yang baik. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Olokan juga bisa berbentuk lain. Si ibu berkata kepada anaknya, “ibu lebih suka kepada ayahmu daripada kepada kamu. Ayahmu adalah pria yang baik”. Si anak menunjukkan iri hatinya yang besar dan berusaha untuk menyelip ke tengah ibu dan ayah. Ibunya berkata, “ayahmu tidak berteriak-teriak atau berlarian di seluruh rumah”. “Tidak, tidak”, anaknya memprotes, “saya juga tidak akan melakukannya. Saya anak yang baik. Nah, cintakah ibu padaku?”. Kalau sandiwara itu telah berlangsung cukup lama, maka si ayah dan si ibu saling berpandangan dan tersenyum. Mereka juga bisa mengolok anak gadisnya atau putranya dengan cara seperti itu. Sang ibu juga dapat membuat anaknya kecewa dengan memuji anak yang lain, saudara kandung si anak, ataupun teman bermain si anak. Sang ibu mengatakan bahwa si anak harus menjadi seperti anak yang lain yang berlaku baik dan tidak nakal. Kata-kata yang akan membuat iri, namun hal ini adalah cara yang efektif untuk mendisiplinkan. Sang ibu juga dapat mengancam bahwa tidak ada satupun temannya atau saudaranya yang akan bermain dengannya jika si anak tetap berbuat nakal. Temannya juga mengancam akan menjauhi si anak jika si anak nakal tersebut mengacaukan permainan dengan kenakalan yang diperbuatnya. Mendisiplinkan juga dapat dilakukan dengan memohon empati kepada si anak. sang ibu menghadirkan dirinya sebagai korban dari kenakalan anaknya dan membuatnya seolah-olah turut merasakan kesakitan yang dirasakan oleh ibunya. Sang ibu akan berkata, “Jika kamu tidak berhenti berbuat kenakalan, ibumu ini akan menderita. Cobalah meletakkan posisi kamu pada posisi saya”. Permohonan rasa empati digunakan bersama dengan menggambarkan keadaan yang memalukan. Ibu, ayah, atau keluarga akan ditertawakan oleh tetangga karena kenakalan si anak. Sang ibu akan mengatakan kepada si anak bahwa setiap orang akan Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
menertawakannya akibat kenakalan yang diperbuatnya. Ayahnya akan kehilangan muka di depan orang banyak dan seluruh anggota keluarga akan menderita malu. Dalam hal ini, si anak akan termotivasi untuk memperbaiki tingkah lakunya melalui rasa bersalah dan juga rasa malu. Pengalaman-pengalaman semacam ini juga merupakan tanah subur untuk menanamkan ketakutan akan ditertawakan orang lain dan juga akan pengasingan dari masyarakat yang begitu jelas di dalam psikologi orang Jepang dewasa. Pengasingan tersebut datang dari teman sepermainannya atau saudaranya yang tidak akan mau bermain bersamanya karena kenakalannya. Tak mungkin dikatakan kapan si anak mulai mengerti bahwa ia sebenarnya dipermainkan dengan olokan-olokan ini, tetapi lambat atau cepat mereka pasti akan mengerti dan kalau mereka telah mengerti, maka perasaan bahwa ia ditertawakan akan menyatu dengan kepanikannya ketika ia terancam akan kehilangan segala sesuatu yang aman dan dikenal yaitu orangtuanya. Paparan diatas menunjukkan kepada kita bahwa ternyata amae juga dipakai dalam menanamkan disiplin kepada si anak. Dan disiplin ini nantinya akan berguna ketika dia telah dewasa. Secara tidak langsung juga menanamkan perasaan malu baginya sejak kecil.
3.3 Amae Pada Saat Remaja Pada fase ini dapat dikatakan bahwa fase inilah yang menjadi titik balik dari perlakuan amae dari sang ibu kepada anaknya. Maksudnya adalah bahwa fase ini merupakan pembalasan amae dari si anak kepada sang ibu. Pada fase ini sang ibu ‘memetik hasil’ dari perlakuan-perlakuan amae terhadap si anak sejak bayi hingga Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
anak-anak. Pada fase remaja ini, kita dapat melihat dua sudut pandang yang berbeda mengenai perlakuan amae yang diterapkan kepada si anak. Sudut pandang yang pertama berasal dari orangtua yang memberi perlakuan amae. Dan sudut pandang yang kedua berasal dari si anak yang menerima perlakuan amae. Jika dilihat dari sudut pandang orangtua, dalam fase ini si anak tetap bergantung kepada sang ibu walaupun dalam frekuensi yang relatif sedikit. Hal ini dikarenakan si anak dapat dikatakan sudah cukup sempurna dalam perkembangan. Perlakuan amae yang diterimanya sejak bayi membuatnya tidak meninggalkan kasih sayang yang mendalam terhadap ibunya bahkan ketika dia telah remaja, yang mana hal ini berlawanan dengan anak remaja Amerika yang beerjuang untuk mendapatkan kebebasan dari kedua orangtuanya (Lebra, 1976: 58). Dikarenakan si anak telah cukup mengerti akan perlakuan amae terhadapnya, dia lambat laun mengerti bahwa ketergantungannya dengan sang ibu tidak bersifat unilateral. Tetapi sebaliknya sang ibu juga bergantung kepada anaknya. Di Jepang, para ibu saat mengorbankan dirinya bagi kepentingan anaknya, barangkali mengingatkan anaknya secara verbal atau melalui tingkah laku , terkadang secara eksklusif bahwa sang ibu bergantung kepada si anak untuk menopang hidupnya. Dia akan berkata, “ingatlah anakku, kamu adalah satu-satunya yang kupunya sebagai tempat bergantung, engkaulah tujuan hidupku”. Jika dilihat dari sudut pandang si anak tersebut, dikarenakan perlakuan amae yang telah diterimanya sejak bayi yang membuatnya terlalu dekat dengan orangtuanya, remaja Jepang kesulitan dalam mencari identitas dirinya. Mereka menemukan ketidakpuasan. Bagi remaja Jepang, orangtua mereka layaknya seperti pria dan wanita tua dalam dongeng. Mereka menerima perlindungan dan kasih sayang dari orangtua Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
mereka tetapi tidak menerima nasehat bagaimana bertumbuh menuju arah kedewasaan. Mereka tidak mengetahui bahwa dalam cara bagaimana orangtua mereka menuju ke arah kedewasaan berbeda dengan diri mereka. Maksudnya adalah mereka ingin orangtua mereka mengerti bagaimana kehendak hati mereka yang ingin menjadi diri mereka sendiri tanpa berada di bawah bayang-bayang orangtua mereka karena orangtua mereka dulu juga pasti merasakan apa yang mereka rasakan. Kisah yang terdapat dalam cerita Momotaro mengindikasikan perlakuan amae yang membuat kesulitan dalam mencari identitas diri ketika menginjak usia remaja. Momotaro adalah seorang anak yang sangat dikasihi oleh orangtuanya . Dibalik kedekatannya dengan orangtuanya, Momotaro tidak mengenal mereka. Dia menemukan suatu ketidakpuasaan mengenai orangtuanya yang telah mengasuh dan membesarkannya. Ketika dia bertumbuh, dia menemukan tujuan hidupnya yaitu dengan melakukan berbagai tindakan kriminal yang kejam yaitu sesuatu yang mana dia dapat mengarahkan perasaan yang dia tidak dapat tujukan kepada orangtuanya dan menyatakan terima kasih terhadap hal yang telah mengubahnya menjadi seorang dewasa. Seorang dewasa yang penuh percaya diri. Baginya, dengan melakukan kejahatan adalah suatu permulaan menju kedewasaan. Momotaro melakukan berbagai kejahatan juga untuk menghabiskan energi dan meluapkan semangat mudanya. Kisah Momotaro ini berakhir dengan bahagia dimana sang tokoh yaitu Momotaro mengakhiri “petualangan” kejahatannya dan kembali kepada orangtua yang telah mengasuhnya. Dalam cerita tersebut, tampak bahwa seperti apapun yang dilakukan oleh si anak untuk mencari jati diri, dia akan kembali kepada orangtua. Dapat ditarik kesimpulan bahwa anak tidak akan bisa terlepas dari orangtua dan akan tetap bersama Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
mereka. Hal ini didasari oleh perlakuan amae yang mereka terima sejak bayi hingga masa remaja membuat ikatan di antara mereka tidak dapat terlepas bagaimana pun caranya. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku amae membuat hubungan si anak menjadi dekat dengan ibunya. Suatu hal yang memang umum dijumpai dalam budaya lainnya. Tetapi kedekatan ini memang sangat erat. Kedekatan dengan ibunya menjadi motivasi bagi si anak untuk semakin maju di masa dewasanya. Seperti yang dikatakan Yamamura dalam Lebra (1976: 154) dalam studi analisis dari program radio seri ‘haha o kataru ‘ (percakapan tentang ibu dimana seratus orang sohor berpartisipasi, meliputi aktor, komedian, penyanyi, penulis, penyair, dan pemain baseball yang mengatakan bahwa mereka dapat seperti sekarang karena didikan dan dorongan semangat dari ibunya. Hal tersebut membukt ikan bahwa hubungan tersebut tidak saja sangat erat tapi juga sangat intim. Amae pada saat remaja lebih dominan menjadi hasil dari perlakuan amae yang telah diterima si anak semenjak dia bayi sampai anak-anak. Berkat amae, si anak menjadi terbawa-bawa dalam pergaulan dengan teman-temannya. Hal tersebut dikarenakan perlakuan amae yang diberikan kepadanya menjadi contoh baginya untuk berlaku amae kepada teman-temannya. Dapat dikatakan terjadi peralihan kebudayaan dari orangtua kepada anak. Perlakuan amae tidak berhenti dalam pola hubungan orangtua dengan anak sja. Tetapi juga akan diteruskan oleh si anak kepada teman-temannya sebagai skop kecil kelompoknya dalam masyarakat. Karena amae selalu ada dalam setiap hubungan sosial masyarakat Jepang sebagai “minyak kehidupan” yang melumasi hubungan antar sesama orang Jepang menjadi lebih harmonis. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
3.4 Tinjauan Budaya amae dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Dari hasil tinjauan yang dilakukan terhadap teori ketergantungan yang dikemukakan oleh Takeo Doi, dapat dilihat bahwa budaya amae telah tertanam kuat dalam mentalitas orang-orang Jepang dan amae menjadi satu bagian terpenting dalam sisi kehidupan mereka dan hal ini direalisasikan pula dalam pola pengasuhan anak. Dari tinjauan yang didapat dapat dikatakan bahwa budaya amae memiliki pengaruh yang baik maupun yang buruk bagi si anak. Pengaruh yang baik antara lain: 1. Amae membuat si anak menjadi lebih dekat dengan orangtuanya. Dapat dilihat ketika terjadi kontak tubuh terjadi antara orangtua dengan si anak. kontak tubuh yang terjadi disertai dengan komunikasi non verbal yang menciptakan perasaan yang sangat mendalam diantara mereka. 2. Pengasuhan menjadi lebih terarah karena si anak lebih bergantung kepada ibunya. Hal ini dikarenakan ibu pasti memberikan yang terbaik bagi anaknya. Terlihat dari kesiapsediaan sang ibu yang serta merta datang ketika anaknya menangis. Sang ibu dengan sigap menimang anaknya untuk meredakan anaknya. 3. Kontak fisik yang sering terjadi juga kontak tubuh yang tidak terpisahkan membuat si anak tidak serta merta melupakan kedekatannya dengan ibunya bahkan setelah dewasa. Hal tersebut terlihat bahwa setelah remajapun, si anak tidak serta merta meninggalkan kasih sayang ibunya. Jika dalam budaya lain, para remaja menginginkan kebebasan penuh dari orangtuanya, tidak demikian halnya dengan remaja Jepang. Mereka tetap bergantung kepada kasih sayang ibunya.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
4. Kedekatan dengan ibunya menjadi motivasi bagi si anak untuk semakin maju di masa dewasanya. Seperti yang dikatakan Yamamura dalam Lebra (1976: 154) dalam studi analisis dari program radio seri ‘haha o kataru ‘ (percakapan tentang ibu dimana seratus orang sohor berpartisipasi, meliputi aktor, komedian, penyanyi, penulis, penyair, dan pemain baseball yang mengatakan bahwa mereka dapat seperti sekarang karena didikan dan dorongan semangat dari ibunya. 5. Penegakan disiplin juga dapat dilakukan dengan memanfatkan perlakuan amae. Dengan keadaan si anak yang bergantung kepada orangtuanya, orangtua dapat mengancam bahwa si anak akan kehilangan perlakuan amae dari kedua orangtuanya jika si anak tidak berlaku disiplin. Adapun pengaruh yang buruk dari budaya amae yang diterapkan kepada si anak adalah : 1. Anak yang menjadi agak manja karena bergantung sepenuhnya kepada sang ibu. Karena si anak mengetahui bahwa segala kebutuhannya pasti akan dipenuhi oleh ibunya melalui perlakuan amae yang diterimanya, maka si anak akan bergantung mutlak kepada ibunya. Dan ini akan berdampak si anak berlaku manja kepada ibunya. 2. Si anak menjadi takut untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang baru diakibatkan ketergantungannya kepada sang ibu. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa ketika memasuki bangku TK, si anak menjadi peka dan takut akan ditinggalkan sendirian karena ketika dia telah bersekolah, ketergantungannya dengan sang ibu menjadi berkurang.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
3. Si anak menggantungkan segalanya kebutuhan terhadap ibunya. Hal ini dikarenakan sang ibu pasti akan memenuhi segala kebutuhan anaknya karena sang ibu berperan sebagai amayakasu yaitu peran yang memberi perlakuan amae. 4. Pada fase remaja, si anak akan kesulitan menuju ke arah kedewasaan karena orangtua mereka tetap memberi perlakuan amae tanpa memberi petunjuk bagaimana mempersiapkan diri menuju arah kedewasaan karena mereka tetap diperlakukan layaknya seperti anak kecil. Amae
juga menjadi dasar bagi sang ibu untuk mengetahui kemauan dan
kebutuhan si anak. Secara tidak langsung, amae menjadi dasar perekat hubungan yang harmonis antara sang ibu dengan si anak.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Dari tinjauan yang dilakukan terhadap teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi dalam pola pengasuhan anak Jepang, dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Istilah amae adalah suatu kosakata yang khas Jepang dan pada dasarnya umum didapatkan dalam kalangan umat manusia secara keseluruhan. 2. Amae
dalam pola pengasuhan anak mendasari terjadinya amae dalam
hubungan sosial lainnya karena pola amae mengadopsi hubungan antara ibu dan anak. 3. Dalam masyarakat Jepang, anak diasuh bebas sekali, hampir terus menerus dalam kontak ibunya dan praktis tidak pernah ditinggalkan sendirian. 4. Adanya konsep amae membantu si ibu dalam memahami jalan pikiran si anak dan kemudian meladeni kebutuhannya. Dan dengan demikian ibu dan bayi mengecap suatu perpaduan yang harmonis. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
5. Amae itu ada karena ada yang menanggapinya. Si anak dapat menggandalkan ibunya karena sang ibu bersedia untuk diandalkan. Si anak dapat bermanja kepada ibunya karena sang ibu memanjakannya. 6. Secara tidak langsung pola amae yang diterapkan kepada anak membuat pengalihan kebudayaan dari sang ibu kepada si anak. Hal tersebut tampak dari perlakuan amae yang diterima si anak dari orangtuanya diterapkan juga ketika si anak bergaul dengan teman-temannya sebagai skop kecilnya dalam masyarakat. 7. Pola budaya amae selama fase bayi sampai remaja, perlakuan amae pada fase bayi adalah yang terbanyak dan semakin berkurang pada fase remaja. Hal ini disebabkan pada fase remaja, si anak sudah sempurna pertumbuhan fisik sehingga tidak terlalu tergantung kepada ibunya secara fisik, akan tetapi secara emosi tetap bergantung kepada ibunya. 8. Pada masa bayi, dengan perlakuan amae si anak belajar bahwa segala kebutuhannya akan kasih sayang dan keamanan akan selalu terpenuhi dengan kehadiran sang ibu yang selalu ada di sampingnya. 9. Pada
masa
anak-anak,
orangtua
juga
menggunakan
amae
untuk
mendisiplinkan anaknya. Perlakuan amae juga dapat membawa pengaruh yang buruk yaitu membuat si anak takut untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang baru di luar rumah, contohnya ketika si anak memasuki masa sekolah. Hal ini terjadi karena si anak berpisah dengan ibunya walaupun dalam waktu yang singkat. 10. Pada masa remaja, dari sudut pandang orangtua, tidak serta merta meninggalkan kasih sayang orangtuanya karena orangtua mengharapkan Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
anaknya sebagai penopang hidupnya kelak. Dilihat dari sudut pandang si anak, si anak merasa kesulitan menemukan identitas dirinya karena perlakuan amae yang diterimanya membuatnya selalu berada di bawah baying-bayang kasih sayang dan perlindungan orangtuanya. Orangtua hanya memberi kasih sayang tanpa mengajarkan bagaimana mempersiapkan diri menuju ke arah kedewasaan. 11. Dengan pola budaya amae, si anak belajar bahwa kebutuhannya akan dipenuhi dengan seketika dan keamanannya bergantung sepenuhnya kepada ibunya.
4.2 Saran Adapun saran yang disampaikan melalui skripsi ini adalah 1. Budaya amae dalam pola pengasuhan anak dapat diterapkan dalam pola pengasuhan anak tidak hanya di Jepang saja, melainkan dapat juga diterapkan di Indonesia karena budaya amae dalam pola pengasuhan memiliki sisi kebaikan yaitu membuat si anak tidak mudah melupakan kasih sayang yang telah ditanamkan oleh orangtua kepadanya sejak bayi. Hal ini menyebabkan si anak tidak akan melupakan tanggungjawabnya sebagai anak terhadap orangtua. 2. Budaya amae dalam pola pengasuhan anak Jepang hendaknya dapat dicontoh oleh orangtua di Indonesia. Karena dengan adanya perlakuan amae yang diterimanya, si anak termotivasi untuk semakin maju. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya orang terkenal di Jepang yang mengatakan keberhasilannya dikarenakan motivasi yang diberikan oleh ibunya melalui perlakuan amae yang diterimanya. Karena tidak sedikit orang berhasil yang melupakan jasaDesy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
jasa orangtuanya. Mereka menganggap bahwa keberhasilannya semata-mata karena kerja kerasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Balson, Maurice. 1996. Bagaimana Menjadi Orangtua Yang Baik. Jakarta : Bumi Aksara. Benedict, Ruth. 1989. Pedang Samurai Dan Bunga Seruni. Boston : Houghton And Mifflin Company. Doi, Takeo. 1988. The Anatomy of Dependence. Tokyo and New York : Kodansha International. Gunarsa, D. Singgih.1997. Dasar Dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Koentjaraningrat. 1976. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia. Lebra, Takie Sugiyama. 1998. Japanese Pattern of Behavior. USA : University of Hawaii Press. Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia Dan Kebudayaan (Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar). Jakarta : Rineka Cipta. Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Sinar Harapan. Nasution, M. Arief. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Sibiyan, Faisal. 2005. Skripsi : Budaya Amae Dalam Novel “ Sembazuru” Karya Yasunari Kawabata. Medan : Universitas Sumatera Utara. Tim Peneliti Dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1989. Pola Pengasuhan Anak Secara Tradisional. Jakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Vogel, Ezra F. 1966. Jepang Jempol. Jakarta: Sinar Harapan. http://forumpp.blogspot.com/. Sumber NuJapan mail list. Diakses Pada Tanggal 7 Februari 2009. http: //en.wikipedia.org/wiki/amae/. Diakses pada tanggal 16 Mei 2009. http://www.mail-archive.com/
[email protected]/. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2009
ABSTRAK
Dalam kehidupan masyarakat Jepang, terdapat budaya yang sampai sekarang tetap berkembang dan direalisasikan dalam segala hubungan sosial. Hubungan sosial tersebut dapat terjadi di antara atasan dengan bawahan, guru dengan murid, pemimpin dengan pengikut, senior dengan junior, orangtua dengan anak, dan sebagainya. Budaya tersebut adalah budaya amae. Budaya amae ini dilontarkan oleh Takeo Doi pada tahun 1971. Doi memakai istilah amae no kozo atau struktur dependensi sebagai ciri khas masyarakat Jepang.Istilah amae ini dijadikan alasan kuat adanya struktur dependensi di Jepang. Kata sifat amae
adalah amai .Tidak saja dalam arti “manis” yang
dirasakan oleh lidah, tetapi juga mengungkapkan sifat seseorang. Kata amae secara
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
leksikal mempunyai arti “kebaikan”, hasil perlindungan seorang ibu terhadap bayinya. Sekaligus ketergantungan yang manis antara si bayi dengan ibunya. Amae juga mempunyai arti “minyak kehidupan” dan merupakan salah satu tonggak dasar pada kepribadian manusia. Orang Jepang tidak merasa nyaman apabila hubungan antar pribadinya tidak diliputi dengan amae. Mereka bisa memperoleh kasih sayang yang tulus dari orang lain. Penerapan budaya amae juga direalisasikan dalam hubungan orangtua dan anak dalam pola pengasuhan. Peran amaeru adalah si anak sedangkan peran amayakasu dilakoni oleh sang ibu. Dalam pola pengasuhan yang berlatarbelakangkan amae terdapat pola keterikatan antara anak dan orangtua, khususnya terhadap ibu yang berlebih. Keterikatan berlebih ini dapat disebut dengan ketergantungan. Si anak secara total sangat bergantung kepada ibunya. Amae merupakan pengalaman seorang anak untuk merasakan ketergantungan dari ibu. Hubungan ketergantungan antara ibu dan anak memiliki suatu bentuk ideal menurut kebiasaan orang Jepang. Terdapat hubungan ketergantungan yang manis antara orangtua dengan anak dalam pola pengasuhan yang berlatarbelakangkan budaya amae ini. Para ibu Jepang akan menyalahkan dirinya sendiri jika tidak memberikan cukup cinta kepada anak-anak mereka. Para ibu Jepang akan menikmati pengalaman dan kepuasan melalui ketidakdewasaan si anak. Pola budaya amae memberikan jawaban atas keresahan batin yang dialami oleh para ibu Jepang. Melalui pola amae ini, mereka dapat memberikan perhatian, cinta, dan perlindungan yang berlebih kepada anak mereka.
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
Perlakuan amae yang diterima oleh si anak dari ibunya terbagi dalam 3 fase, yaitu masa bayi, masa anak-anak, dan masa remaja. Dalam masyarakat Jepang, anakanak diasuh bebas sekali dan praktis tidak pernah ditinggalkan sendirian. Masyarakat Jepang sejak kelahiran memang diarahkan untuk saling bergantung kepada pihak lain. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti asing seringkali memuji kedekatan fisik
antara ibu Jepang dengan anaknya. Bukan hanya dalam
kedekatan fisik tetapi juga kontak badan dalam arti yang sebenarnya.
Hal ini
terutama sekali ditemukan pada pengasuhan bayi. Pada masa bayi, perlakuan amae yang diterima oleh bayi didapat melalui memberi susu kepada si bayi, memandikannya, menggendongnya, dan menidurkan si bayi. Di Jepang pemberian susu tidak hanya berlangsung sebagai alasan untuk memenuhi kebutuhan gizi saja tetapi juga merupakan kesenangan fisiologis terbesar bagi seorang ibu. Dada ibunya bukan hanya sebagai sumber makanan, tetapi juga sebagai kesenangan dan hiburan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sang ibu dan si bayi tidak dapat terpisahkan. Sang ibu memberikan perhatian yang berlebih pada sang bayi. Si bayi juga sangat dimanjakan karena sang ibu tidak pernah membiarkan si bayi sendirian ketika tidur. Anak-anak Jepang dengan cepat belajar untuk menemukan kesenangan dan keamanan jika berada dekat dengan ibunya. Baik bagi anak laki-laki maupun perempuan, sang ibu adalah sumber kepuasan yang besar dan tak putus-putusnya. Perlakuan amae dari ibu kepada anaknya dapat dilihat ketika sewaktu tamu orangtuanya berkunjung. Betapa istimewanya mereka bahkan
pada pembicaraan
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
orangtua pun mereka boleh ikut. Bahkan dalam kesempatan ini, orangtua si anak mendorongnya untuk memamerkan beberapa keahlian dan kepandaian si anak kepada tamunya. Si tamu menikmati pertunjukan tersebut. Si tamu memberikan kebaikan hati dengan bersedia menonton pertunjukan si anak. Hal ini juga menunjukkan si tamu berlaku amae terhadap si anak. Perilaku amae juga dapat digunakan orangtua untuk mendisiplinkan anak mereka. Dengan memanfaatkan ketergantungan antara si anak kepada orangtuanya, orangtua berusaha menumbuhkan disiplin dalam diri anak mereka. Orangtua akan mengancam bahwa mereka akan memberikan si anak kepada orang lain jika si anak berbuat nakal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perlakuan amae yang diterima si anak, tidak hanya menimbulkan ketergantungan kepada orangtua tetapi juga dapat menumbuhkan kedisiplinan dalam diri anak mereka. Fase remaja merupakan titik balik perlakuan amae dari sang ibu kepada si anak. Pada fase remaja ini, perlakuan amae dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Yang pertama adalah adalah sudut pandang orangtua dan yang kedua adalah sudut pandang si anak dalam fase remaja. Jika dilihat dari sudut pandang orangtua, dalam fase ini anak tetap bergantung kepada orangtua walaupun dalam frekuensi yang relatif sedikit. Perlakuan amae yang diterimanya sejak kecil membuatnya tidak meninggalkan kasih sayang yang mendalam terhadap ibunya. Hal ini berlawanan dengan anak remaja manapun yang berjuang untuk mendapatkan kebebasan dari kedua orangtuanya.
Sang ibu secara
verbal maupun melalui tingkah laku mengingatkan anaknya bahwa sang ibu Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
bergantung kepada si anak untuk menopang hidupnya karena si anak adalah tujuan hidupnya. Jika dilihat dari sudut pandang si remaja, perlakuan amae yang diterimanya membuatnya terlalu dekat dengan orangtuanya sehingga mempersulit si anak mencari identitas dirinya. Akan tetapi apa saja yang dilakukan oleh si anak untuk mencari jati diri, si anak tidak dapat terlepas dari orangtuanya. Si anak juga diajarkan berlaku amae terhadap orang-orang di sekitarnya melalui perlakuan amae yang diterimanya.
ようし
要旨 た け お ど い
りろん
こども
ぶんか
竹男土井の理論によるとの日本の子供たちの指導型における『甘え』文化の ぶんせき
分析
に ほ んし ゃか い
せいかつちゅう
ぜ ん ぶ し ゃ こう て き
かんけい
なか
げんざい
じっこう
そだ
日本社会の 生 活 中 には全部社交的な関係の中で現在までの実行し育っ ぶんか
しゃこうてき
したやく
がくせい
せんせい
じゅうしゃ
しどう
た文化がある。その社交的な関係は上役と下役、学生と先生、 従 者 と指導、 こうはい
せんぱい
こども
りょうしん
あいだ
お
ぶんか
あま
後輩と先輩 、 子供たちと 両 親 、などの 間 に起 こられた。その 文化は『甘 ぶんか
あま
ぶんか
ねん
な
え』文化である。この『甘え』文化は 1971 年に投げられた。『ドイはアマエ Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
ようご
に ほ んし ゃか い
とくせい
てきよう
あま
ようご
にほん
ノコゾ』の用語が日本社会の特性 としてを適用した。この甘 えの用語は日本 こうぞう
じょうぶ
りゆう
で『デペンデンシ』の構造があることと丈夫な理由がされていた。 あま
けいようし
あま
した
かん
あま
い
『
み
甘え』の形容詞は甘 いである。舌に感 じられた甘いの意味 のあるしかないで、 ひとり
せいかく
しょうめい
あま
ちょくやく
よ
い
み
しかし 一人の性格 も 証 明 しました。『甘 え』は 直 訳 に良 さの 意味があっ あか
たい
はは
かく
が
どうじ
はは
あか
ま
て、赤ちゃんに対して母の隠れ処があることである。同時に母と赤ちゃん間 あま
しけいだい
に甘い死刑台である。 あま
せいかつ
あぶら
い
み
にんげんとくせい
ひと
だいばしら
『 甘え』も生活 の 油 という意味 があるし、人間特性に一 つ 台 柱 であ にほんじん
こ じ んさ いか ん
かんけい
かぶ
き
も
る。日本人 は甘えで 個人際間の 関係 が 被せられならば 気持 ちがよくではな かれ
たにん
せいじつ
あいじょう
にゅうしゅ
い。彼らは他人からの誠実な愛 情 を 入 手 されられた。 あま
ぶんか
やくめ
こども
じっし
しどうがた
こども
りょうしん
あいだ
しっこう
甘え文化の実施 も指導型に子供 たちと 両 親 の 間 に執行された。
あま
あま
やくめ
はは
えん
甘えるの役目は子供たちだって甘やかすの役目は母が演じされている。 あま
はいけい
しどうがた
なか
りょうしん
こども
あいだ
くみあいがた
とくべつ
たい
甘えに背景した指導型の中に 両 親 と子供たち 間 に組合型があって特別に対 してである。 よぶん
くみあい
しけいだい
い
こども
はは
その余分な組合 は死刑台が言 われることができる。子供たちは母 にお たよ
あま
はは
こども
けいけん
しけいだい
かん
いてさっぱりでまことに頼っている。甘 えは母に子供の経験に死刑台 を 感じ るためである。 こども
ぼ
ま
し け い だ い かん け い
にほんじん
しゅうかん
りそうてきかたち
も
子供と母間の死刑台関係は日本人の習 慣 によると理想的形を持ちる。 あま
ぶんか
はいけい
しどうがた
なか
こども
りょうしんかん
あま
し け い だ い かん け い
この甘え文化の背景した指導型の中に子供と 両 親 間 に甘い死刑台関係 にほん
はは
かれ
こども
じゅうぶん
こい
あたえ
じぶん
あやま
がある。日本の母は彼たちの子供に充 分 な恋を 与 えったら自分に 誤 りをす にほん
はは
まんぞく
けいけん
たの
こども
せいじん
あま
る。日本の母 は満足と経験 を楽しんで子供の成人したないからである。甘 え ぶんかがた
にほんはは
かれ
こども
けいけん
ないしん
だ
こた
あま
かた
文化型は日本母 に経験した内心 のいら立つ答 えをあたえる。この甘えの型 に よけい
かく
が
あい
ようじん
あた
彼たちは子供に余計な隠れ処と愛と用心を与えられる。 Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
こども
はは
う
あま
おうたい
さんだんかい
わ
子供たちが母に受 けられた甘えの応対 は三段階に分 けられて、 あか
きかん
こども
きかん
せいしゅんき
に ほ ん し ゃ かい な か
こども
それは赤ちゃんの期間 、 子供たちの期間 、青春期である。日本社会中 に子供 じゆう
まも
ひとり
はなれ
に ほ んし ゃか い
しゅっしょう
はとても自由に守りをされて一人で 離 られてことがある。日本社会は 出 生 そと
がわ
たが
か
む
からもちろん外の側に互いに掛かって向けられた。 がいらい
けんきゅうしゃじっこう
けんきゅうちゅう
こども
にほんはは
い
しんたいかんけい
にくたいてき
かんけい
外来の研究者実行 された 研 究 中 には子供と日本母の肉体的の関係を にくてき
かんけい
じつ
み
よくほめる。肉的の関係だけではないで実 な意味で身体関係 である。 とく
あか
しどう
この
はつめい
こと特に赤ちゃんの指導に発明された。 あか
きかん
あか
う
あま
おうたい
あか
ね
赤ちゃんの期間に、赤ちゃんに受けられた 甘えの応対が 赤ちゃんを寝 こし
かかえ
みずあ
あか
ちち
かせて、 腰に 抱 って、 水浴びさせて、赤 ちゃんに 乳を上げることである。 にほん
ちち
きょうきゅう
ひつよう
つ
りゆう
お
はは
日本で乳の 供 給 は必要だけ詰めるため理由にとして起 こらないでしか母に いちばんおお
せいりがくよろこ
はは
むね
しょくもつしげん
も一番大きな生理学喜びである。母 の胸は食物資源 にとしてだけではないで ごらく
よろこ
あか
はは
わか
しめ
はは
娯楽と 喜 びである。このことは赤ちゃんと母が別れてことができて示た。母 あか
かぶん
ようじん
あた
あか
ひじょう
あま
ね
なら
ちあん
は赤ちゃんに過分な用心を与える。赤 ちゃんも非常に甘 やかせて寝るときに はは
あか
ひとり
ゆる
母は赤ちゃんに一人で許すことがない。 にほん
こども
はは
ちか
はや
たの
そうぐう
ほんげん
はは
日本の子供たちは母 に近くいったら早 く習って治安と楽しさを遭遇 す おとこ
こ
おんな
こ
はは
た
おお
まんぞく
る。 男 の子 たとえ 女 の子 でも母は絶えずで大きい満足の本源である。母 か こども
あま
おうたい
りょうしん
きゃく
ほうもん
み
かれ
ら子供に甘 えの応対が 両 親 の 客 は訪問 するとき見られたことができる。彼 とくしゅ
りょうしん
はな
りょうしん
きゃく
かれ
いっしょ
らは特殊などのようにさらに両 親 の話しにも彼らが一緒にしてもいいである。 うえ
きかい
こども
こども
のうりょく
こくぎ
その上この機会に子供たちの 両 親 は 客 において子供のいくつか能 力 と国技 てんらん
こども
はげ
を展覧するために子供を励る。 きゃく
かんらん
たの
きゃく
こころぜんこう
こども
かんらん
み
ようい
客 もこの観覧を楽 しむ。 客 は心 善 行 で 子供の観覧 を 見て用意 する。 きゃく
こども
あま
こうどう
し
じ
あま
たいぐう
りょうしん
かれ
このことも 客 は子供 に甘えを行動して指示する。甘 えの待遇も両 親 が 彼ら Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.
こども
きりつ
てきよう
りょうしん
こどもあいだ
しけいだい
ゆうえき
の子供 に 規律するために適用 される。 両 親 と子供間 に 死刑台を有益 して、 りょうしん
かれ
こども
じ
こ
きりつ
はついく
どりょく
りょうしん
こども
両 親 は彼 らの子供たちの自己 に規律を発育 させて努力する。両 親 は子供が こども
たにん
あた
きょうい
いたずらなことをしったら子供が他人に与えて脅威する。 こども
あま
おうたい
さししめ
りょうしん
しけいだい
まね
このことは子供に甘えの応対が指示して両 親 に死刑台を招くだけでは かれ
こども
じぶん
きりつ
お
せいねん
だんかいだんかい
こども
はは
ないで、彼らの子供 の自分に規律を起こす。青年 の段階段階は子供 に母から あま
おうたい
しゅっぱつてん
せいねん
だんかい
あま
おうたい
ちが
め
甘え応対の出 発 点 である。この青年の段階に甘えの応対が違う目じりからみ られた。 いちばん
りょうしん
め
にばん
こども
一番は両 親 の目じりだし二番は子供のめじりである。 りょうしん
め
み
だんかい
こども
りょうしん
ふへん
両 親 の目じりから見 られったらこの段階に子供 は 両 親 に不変
か
すく
ひ か く て き かい す う
ふか
あいじょうさ
ちい
とき
う
あま
おうたい
はは
に掛かっても少 ない比較的回数である。小さい時から受 けた甘えの応対 は母 ひ
お
とうそう
せいねん
に深まった愛情去らないで引 き 起こす。このことは闘争 したどれでも青年に じゆう
う
はんたい
はは
たいど
はな
てき
こども
おも
だ
こども
自由 を 受けてため反対 する。 母は態度 と 話し的 に 子供に思 い 出して子供 は かのじょ
せいぞんもくてき
はは
こども
かのじょ
せいぞん
ささ
彼女の生存目的 から母が子供に彼女の生存 を支えるため掛かっていると言う。 せいねん
め
み
う
あま
おうたい
りょうしん
ひじょう
ちか
青年の目じりから見られったら受けた甘えの応対は両 親 と非常に近く ひ
おきこ
かれ
みもと
こども
じしん
しら
こんなん
で引き起越して彼の自身を調べることが困難にする。 しら
なに
こども
りょうしん
はな
しかし身元を子供に調べるため何か子供は両 親 から放されたことができない。 こども
う
あま
おうたい
まわ
ひとびと
こどう
きょういく
子供も受けられた甘えの応対で周りの人々に甘えを鼓動して 教 育 される。
Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.