6 BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Definisi Pola Asuh Orang Tua Menurut Atmosiswoyo & Subyakto (2002), pola asuh adalah pola pengasuhan
yang berlaku dalam keluarga, yaitu bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi berikut sesuai dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat. Pola asuh dalam masyarakat umumnya bernuansa dari yang sangat permisif sampai yang sangat otoriter. Pola asuh dalam suatu masyarakat dapat dikatakan homogen bila dapat diterima sebagai pola asuh oleh seluruh keluarga yang hidup dalam masyarakat itu. Namun demikian ada pola asuh yang amat mendasar yang sifatnya universal atau berlaku disemua etnis di muka bumi ini, misalnya kasih sayang sesama saudara atau sesama makhluk hidup. Pola asuh ini diajarkan di seluruh keluarga, yaitu agar saling menyayangi sesama. Orang tua harus menyadari peran mereka sebagai orang tua, memiliki sensitifitas terhadap kebutuhan anak-anaknya dan rasa ingin tahu anak serta keinginannya. Orang tua juga harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa mereka tidak akan bisa menjadi orang tua yang sempurna, karena tidak ada contoh orang tua
sempurna.
Meskipun
setiap
orang
tua
menyeimbangkan
efektifitas
perkembangan anak pada setiap tahap roda kehidupannya. Beberapa orang tua berhasil dalam mengasuh anaknya disaat masih bayi daripada anaknya yang berada pada tahap sekolah dasar, dan terlebih lagi anak remajanya. Agar menjadi orang tua yang efektif, menurut Thomas Gordon, orang tua perlu mengetahui makna sebenarnya apa yang dimaksud dengan pola asuh orang tua (dalam Dobos, Mastin, & Moore, 1977)
7 2.1.1
Pola Asuh Orang Tua Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang berbeda-beda, beberapa orang tua
mengasuh dan mendukung anak-anak mereka. Orang tua lainnya bersikap kasar atau mengabaikan anaknya dan beberapa anak yang orang tuanya bercerai, anak lainnya tinggal dalam keluarga tidak bercerai, anak lainnya ikut keluarga angkat, beberapa orang tua membiarkan anaknya bekerja seharian dan menempatkan anaknya dalam kegiatan sekolah tambahan atau kursus. Ayah dan anak dari anak yang lainnya mungkin sudah ada di rumah ketika anak-anak pulang dari sekolah. Beberapa anak tumbuh di lingkungan yang seragam etnisnya, dan lainnya dalam lingkungan etnis bercampur-campur. Selain itu, beberapa keluarga hidup dalam kemiskinan, dan lainnya hidup berkecukupan serta ada anak yang punya saudara kandung, ada juga yang tidak. Dengan melihat situasi yang disebutkan diatas maka dapat dipastikan situasi yang bervariasi ini akan mempengaruhi perkembangan anak (Cowan & Cowan, Morrison & Cooney dalam Santrock, 2007). Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata tidak setiap anak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya. Mereka bisa menjadi anak yang “miskin” kepribadiannya ataupun “miskin” kehidupan sosialnya, merasa tidak bahagia dan mengalami kesukaran dalam mengatasi masalah yang timbul. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak menyesuaikan diri antara lain, pertama tergantung dimana anak dibesarkan, yang dimaksud adalah kehidupan didalam keluarga. Bila anak dididik oleh orang tuanya secara otoriter dan kekerasan, maka kelak saat ia dewasa, anak sering kali merasa dendam dengan tokoh otoriter yang dijumpainya dalam masyarakat. Ia mengalami kesukaran dengan orang lain yang memperlihatkan sikap otoriter kepadanya. Lain halnya dengan anak-anak yang dibesarkan secara acuh tak acuh oleh orang tuanya, sering kali memperlihatkan
8 sikap dan perasaan kurang peduli terhadap orang lain. Kedua, kesulitan lain terjadi karena anak tidak memperoleh “model” yang baik di rumahnya terutama dari orang tuanya. Orang tua yang seharusnya memberikan contoh yang baik ternyata seringkali bersikap dan bertingkah laku agresif, kehidupan emosi yang cepat marah dan sebagainya. Biasanya anak-anak yang merupakan “hasil” keluarga tersebut akan mengalami kesukaran dalam hubungan dengan orang lain di luar rumah (Gunarsa, 2006). 2.1.2
Jenis dan Ciri Pola Asuh Orang Tua Menurut Diana Baumrind (dalam Santrock, 2007), seorang pakar parenting,
berpendapat ada cara terbaik untuk mengasuh anak. Dia percaya bahwa orang tua tidak boleh terlalu menghukum (punitive) atau terlalu tidak peduli (aloof). Sebaiknya, orang tua menyususn aturan bagi anak dan pada saat yang sama bersifat suportif dan membimbing dan mengasuh (nurturant). Baumrind mengatakan bahwa ada empat bentuk gaya pengasuhan atau parenting: •
Authoritarian Parenting
•
Authoritative Parenting
•
Neglectful Parenting
•
Indulgent Parenting Authoritarian Parenting adalah gaya asuh yang bersifat membatasi dan
menghukum, dimana hanya ada sedikit percakapan antara orang tua dan anak. Orang tua yang otoriter memerintahkan anak untuk mengikuti petunjuk mereka dan menghormati mereka. Mereka membatasi dan mengontrol anak mereka dengan cara tidak mengizinkan anak berbicara banyak. Orang tua yang otoritatif mungkin akan mengatakan kepada anaknya, “lakukan sesuai perintahku, jangan banyak
9 tanya!”. Anak-anak dari orang tua yang otoriter seringkali berperilaku secara tidak kompeten secara sosial. Mereka cenderung cemas menghadapi situasi sosial, tidak bisa membuat inisiatif untuk berkreativitas, dan memiliki keahlian komunikasi yang buruk (Diana Baumrind dalam Santrock, 2007). Authoritative Parenting adalah gaya asuh positif yang mendorong anak untuk independen tapi masih membatasi dan mengontrol tindakan mereka. Biasanya pola pengasuhan jenis ini disebut pola pengasuhan yang demokratis, perbincangan tukar pendapat diperbolehkan dan orang tua bersikap membimbing dan mendukung. Orang tua yang demokratis mungkin akan mengakui anaknya dengan lembut dan berkata, “kamu kan tahu, seharusnya kamu tidak boleh melakukan itu. Mari kita bahas bagaimana cara kamu bisa menangani situasi secara berbeda lain kali.” Anak yang orang tuanya demokratis seringkali berperilaku kompeten secara sosial, mereka cenderung mandiri, tidak cepat puas, mudah bergaul dan memperlihatkan harga diri yang tinggi. Karena hasil gaya ini positif, maka Baumrind sangat mendukung gaya asuh demokratis ini (Diana Baumrind dalam Santrock, 2007). Neglectful Parenting adalah gaya asuh dimana orang tua tidak terlibat aktif dalam kehidupan anaknya, bahkan ketika anaknya menjadi remaja atau masih kecil. Orang tua model ini mungkin tidak bisa menjawab jika ditanya, “sudah jam 10 malam, anakmu ada di mana?”. Anak dari orang tua yang tidak peduli ini akan menganggap bahwa aspek lain dari kehidupan orang tuanya lebih penting daripada aspek kehidupan anak. Anak dari orang tua yang abai ini sering bertindak tidak kompeten secara sosial. Mereka cenderung kurang bisa mengontrol diri, tidak cukup mandiri, dan tidak termotivasi untuk berprestasi (Diana Baumrind dalam Santrock, 2007).
10 Indulgent Parenting adalah gaya asuh di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anaknya tetapi, tidak banyak memberi batasan atau kekangan pada perilaku mereka. Orang tua ini sering membiarkan anaknya untuk melakukan apa yang diinginkan si anak dan membiarkan anak mencari caranya sendiri untuk mencapai tujuannya, sebab orang tua model ini percaya bahwa kombinasi dukungan pengasuhan dan sedikit pembatasan akan menciptakan anak yang kreatif dan percaya diri. Hasilnya adalah si anak biasanya tidak belajar untuk mengontrol perilakunya
sendiri.
Orang
tua
ini
tidak
memperhitungkan
seluruh
aspek
perkembangan si anak (Diana Baumrind dalam Santrock, 2007). 2.2
Pemecahan Masalah Anak-anak menghadapi banyak masalah baik di sekolah maupun luar sekolah.
Pemecahan masalah meliputi usaha menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan (Santrock, 2008). Pemecahan masalah adalah keterampilan seseorang dalam berpikir
yang
diarahkan
menggunakan
informasi
dan
pengalaman
untuk
menghasilkan tanggapan baru. Model yang berbeda dari proses pememcahan masalah muncul melalui sebuah analisis, yang terbagi kedalam beberapa hal berikut, penafsiran sebuah masalah, kemudian perumusan masalah, membuat perencanaan untuk memecahkan masalah sehingga mendapatkan solusi dari permasalahan yang kemudian dilanjutkan tahap evaluasi terhadap solusi. Langkah pertama dalam memecahkan masalah adalah proses penfsiran masalah, dengan adanya
representasi
masalah
maka
akan
lebih
mudah
dipahami
jenis
permasalahannya, kondisi, data-data dan tujuan yang akan dicapai dari sebuah masalah tersebut. Kesalahan dalam representasi masalah akan mengakibatkan masalah sulit unutk dipecahkan. Terkadang banyak orang yang menggunakan
11 gambar untuk mengatasi masalah dengan cara memvisualisasikan solusi dari masalah tersebut (Davidoff, 1976). Setelah mendefinisikan permasalahan tersebut maka, dapat dirumuskan sejumlah pendekatan yang disebut sebagai solusi umum yang masing-masing dinyatakan dalam beberapa bentuk solusi yaitu, jika sebuah solusi dapat diwujudkan atau tercapai, masalah bisa terselesaikan. Selanjutnya, jika solusi secara umum telah didapat maka berlanjut pada perencanaan lebih rinci disebut sebagai solusi fungsional. Tahapan terakhir adalah mencari cara konkret yang sangat spesifik untuk dapat menerapkan solusi fungsional, cara ini disebut solusi spesifik. Akhirnya solusi didapatkan dan pemecahan masalah tercapai, kemudian jika tujuan sudah sangat jelas maka, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengevaluasi solusi tersebut (Davidoff, 1976). 2.2.1
Pemecahan Masalah Analogi Suatu analogi meliputi persesuaian (correspondence) antara benda-benda
yang tidak mirip satu sama lain. Anak yang masih belia kadangkala mampu menggunakan analogi-analogi yang masuk akal untuk memecahkan masalah (Freeman dan Gehl dalam Santrock, 2008). Dalam kondisi lain, seorang mahasiswa bisa gagal menggunakan analogi-analogi yang sederhana (seperti kesulitan siswa sekolah menengah atas dalam memperhitungkan keseimbangan panci yang mereka kenal dengan keseimbangan lengan yang belum mereka kenal) (Santrock, 2008). Pemacahan masalah analogis seringkali melibatkan alat-alat yang lebih abstrak. Peta-peta dan deskripsi-verbal tentang rute-rute, sering membantu kita memperhitungkan bagaimana kita dapat pergi ke tempat yang inginkan (De Loache, Miller, & Pierroutsakos dalam Santrock, 2008). Pelajaran dari studi ini adalah bahwa anak-anak yang masih belia dapat menggunakan alat-alat yang bervariasi untuk
12 menarik analogi-analogi, tetapi mereka cenderung melupakan bahwa objek tersebut hanyalah simbol dari sesuatu yang lain dan memerlukannya hanya sebagai objek terpisah (De Loach dalam Santrock, 2008). Fungsi sebuah gambar secara alamiah dalam memecahkan masalah tidak bergantung pada realita yang berlawanan dengan gambaran abstrak dari susunan pola secara visual namun bergantung pada keterkaitan antara struktur dan dinamika sebuah gambar serta target situasinya (Antonietti & Agapito, 2011). Pemikiran analogi merupakan sesuatu yang mudah bagi manusia, tentu saja bukan sebagai pembatas pemikiran tetapi sebagai penekanan terhadap sebuah pemikiran, setidaknya pemikiran beberapa simpanse yang sudah diberikan pelatihan secara intensif mengenai manipulasi simbol-simbol (Gillian, Premack & Woodruff dalam Thegard & Holyoak, 1997). Ada tiga kelas penekanan dalam pemikiran analogi pertama, analogi menunjukkan kemiripan sebuah elemen. Secara jelas analogi bergantung pada kemiripan yang berhubungan antara objek misalnya, sumber dan target keduanya meliputi sebuah kesembuhan dengan cara mencintai. Secara umum, kemiripan merupakan konsep pada tahap abstraksi yang berkontribusi kepada pemikiran analogi, terutama akses tahapan ciri-cirinya (Keane, Ross, Seifert, McKoon, Abelson, & Ratcliff, dalam Thegard & Holyoak, 1997). Kedua, analogi ditandai dengan penekanan untuk mengidentifikasi struktur yang konsisten secara pararel antara peranan sumber dan domain targetnya (Gentner dalam Thegard & Holyoak, 1997). Kunci strukutural secara konstrain berdasarkan pemetaan analogi, satu sama lain saling berkorespondensi antara sumber-sumber elemen dan target. Ketiga, pemikiran analogi ditandai dengan tujuan sebuah alasan apa yang akan dicapai sebuah analogi. Melalui persepektif teori analogi multikonstrain, pemilihan role
13 model adalah bagian dari pemilihan analogi dan menerapkan role model adalah bagian dari pemetaan analogi (Thegard & Holyoak, 1997). 2.3
Perkembangan Kognitif Teori Piaget adalah kisah terpadu yang menjelaskan bagaimana faktor biologis
dan pengalaman membentuk perkembangan kognitif. Piaget berpikir sebagaimana tubuh fisik kita memiliki struktur yang memampukan kita beradaptasi dengan dunia, struktur-struktur mental juga membantu kita beradaptasi dengan dunia. Adaptasi meliputi penyesuaian terhadap tuntutan-tuntutan baru dari lingkungan. Piaget menekankan bahwa anak-anak secara aktif membangun dunia-dunia kognitif mereka sendiri. Informasi dari lingkungan tidak begitu saja dituangkan ke dalam pikiran-pikaran mereka. Ia menemukan bagaimana anak-anak pada tahapantahapan yang berbeda dalam perkembangan mereka memandang dunia ini dan bagaimana perubahan yang sistematis (Santrock, 2008). 2.3.1
Tahap Operasional Konkret Tahapan operasional konkret yang berlangsung kira-kira usia 7 hingga 11
tahun adalah tahapan ketiga dalam teori Piaget. Pada tahapan ini, pemikiran logis menggantikan pemikiran intuitif asalkan pemikiran tersebut dapat diaplikasikan menjadi contoh-contoh yang konkret atau spesifik. Contohnya, para pemikir operasional konkret tidak dapat membayangkan langkah-langkah penting untuk persamaan aljabar yang terlalu abstrak bagi perkembangan pemikiran tahapan ini. Anak-anak pada tahapan ini dapat menunjukkan operasi-operasi konkret yang merupakan tindakan dua-arah (reversible) terhadap objek-objek riil dan konkret (Santrock, 2008).
14 •
Konservasi Tugas konservasi mendemonstrasikan kemampuan anak dalam melakukan operasi-operasi konkret. Dalam tes kemampuan pembalikan berpikir yang melibatkan konservasi materi (bahan). Contohnya, seorang anak dihadapkan pada dua buah gumpalan tanah liat. Pembuat eksperimen mengubah bentuk gumpalan tanah liat yang satu menjadi bentuk yang panjang dan ramping, sementara yang lainnya tetap seperti semula. Kemudian, anak ditanyai apakah jumlah gumpalan tanah liat yang panjang lebih banyak alih-alih yang sebelumnya. Saat anak berusia 7 atau 8 sebagian besar jawabannya adalah jumlah gumpalan tanah liat tersebut sama. Untuk menjawab persoalan ini dengan benar, anak harus berimajinasi gumpalan tanah liat tersebut diubah lagi menjadi bentuk semula sebelum diubah menjadi bentuk panjang. Mereka secara mental membalikkan tindakan terhadap gumpalan tersebut (Santrock, 2008). Operasi-operasi
konkret
memampukan
anak
mengkoordinsikan
beberapa karakter sekaligus ketimbang hanya berfokus pada elemen tunggal dari sebuah objek. Dalam contoh gumpalan tanah liat tadi, anak praoperasional berfokus pada tinggi dan lebar sedangkan anak operasional konkret mengkoordinasikan informasi kedua dimensi tersebut. Konservasi melibatkan pemahaman bahwa panjang, jumlah, massa, kuantitas, area, berat, dan volume dari objek dan zat kimiawi berubah meskipun penampilannya berganti (Santrock, 2008). Anak-anak tidak mengkonservasi semua kuantitas atau semua tugas secara serentak. Urutan penguasaan mereka adalah jumlah, panjang, kuantitas zat cair, massa, berat, dan volume. Horizontal decalage adalah
15 konsep
Piaget
bahwa
kemampuan-kemampuan
yang
mirip
muncul
bersamaan dalam sebuah tahapan perkembangan. Selama tahapan operasional konkret, konservasi jumlah lazimnya muncul pertama kali dan konservasi volume muncul paling akhir. Seorang anak usia 8 tahun mungkin memahami bahwa bentuk tanah liat yang panjang dapat dibentuk ulang menjadi gumpalan seperti semula tetapi tidak paham bahwa berat keduanya sama. Pada usia 9 tahun, anak mengetahui bahwa berat kedua bentuk tanah liat tersebut sama, dan akhirnya pada usia 11 tahun sampai 12 tahun, anak memahami bahwa volume tanah liat tidak berubah walaupun bentuknya berubah. Awalnya anak-anak menguasai tugas di mana dimensi-dimensinya menyolok dan jelas kemudian akhirnya mereka menguasai objek-objek yang dimensinya tidak terlalu jelas, seperti volume (Santrock, 2008). •
Klasifikasi Banyak
operasi-operasi
konkret
yang
diidentifikasikan
Piaget
melibatkan cara anak berfikir tentang karakteristik objek. Satu keahlian penting yang mencirikan operasional konkret anak ialah kemampuan untuk mengkalasifikasikan benda dan memahami relasi antar benda tersebut. Secara khusus, anak-anak operasional konkret akan dapat memahami keterhubungan antara kumpulan dan sub kumpulan, seriation, dan transitivity. Kemampuan opersional konkret anak untuk membagi benda menjadi kumpulan dan sub kumpulan dan memahami relasinya diilustrasikan oleh pohon keluarga empat generasi (Fruth dan Wachs dalam Santrock, 2008). Pohon keluarga ini menggambarkan kakek (A) memilki tiga orang anak (B, C, dan D), tiap orang anak memiliki dua orang anak (E smapai J), dan salah satu dari anak-anak tersebut (J) punya tiga orang anak (K, L, dan
16 M). seorang anak dengan operasional konkret dapat memahami bahwa J, pada saat bersamaan, dapat menjadi ayah, saudara, dan cucu. Seorang anak yang memahami sistem klasifikasi ini dapat bergerak dalam sistem tersebut secara vertikal, horizontal, atau diagonal (Santrock, 2008). Seriation adalah tindakan mengurutkan stimuli diantara dimensi kuantitatif (seperti panjang). Transitivity ialah kemampuan memikirkan relasi gabungan secara logis. Jika ada relasi antar objek pertama dan kedua, dan ada relasi antara objek kedua dan ketiga. Contohnya, ada tiga buah tongkat (A, B, dan C) dengan panjang berbeda. A adalah tongkat terpanjang, B lebih pendek dari A namun lebih panjang dari C. apakah A lebih panjang dari C? dalam teori Piaget, pemikir operasional konkret akan menjawab ya, sedangkan pemikir praoperasional akan menjawab tidak (Santrock, 2008). 2.4
Metakognisi Metakognisis menolong orang mengajarkan tugas-tugas kognitif secara lebih
efektif (Flavell, Isquith, Gioia dan Espy, Kuiper, & Pesut dalam Santrock, 2008). Dalam sebuah studi, para siswa diajarkan keterampilan-keterampilan metakognitif untuk menolong mereka menyelesaikan soal-soal matematika (Cordelle-Elawar dalam Santrock, 2008). Metakognisi memiliki bermacam-macam bentuk serta mencakup pengetahuan tentang kapan dan dimana strategi-strategi khusus dimanfaatkan untuk pembelajaran atau menyelesaikan persoalan. Metamemori merupakan pengetahuan individu tentang memori yaitu, bentuk penting dan khusus dari metakognisi. Metamemori termasuk pengetahuan umum tentang memori, seperti mengetahui bahwa tes-tes pengenalan (seperti pertanyaan-pertanyaan pilihan ganda) lebih mudah dikerjakan daripada tes-tes pengingatan (seperti pertanyaan-pertanyaan esai). Metamemori juga mencakup pengetahuan tentang
17 memori seseorang, seperti mengetahui apakah Anda sudah belajar dengan cukup untuk tes yang akan anda jalani (Santrock, 2008). 2.4.1
Metakognisi Pada Anak-anak Secara umum, pemahaman anak terhadap kemampuan memori dan
keterampilan mengevaluasi tugas-tugas memori relatif sangat kurang pada awalawal tahun sekolah dasar, tetapi meningkat dengan sangat baik pada usia 11 hingga 12 tahun (Bjorklund dan Rosenbaum dalam Santrock, 2008). Meski demikian, kemampuan metakognitif anak-anak sekolah dasar untuk secara sadar memonitor dan mengontrol proses-proses berpikir terus berkembang (Carlson dalam Santrock, 2008). Pembelajaran mandiri meliputi membangkitkan motivasi diri sendiri dan memonitor pikiran-pikiran, perasaan, dan perilaku dalam mencapai tujuan. Tujuantujuan ini bersifat akademis (meningkatkan pemahaman membaca, mempelajari bagaimana menjadi penulis yang lebih tertata, mempelajari bagaimana melakukan perkalian-pembagian, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan) atau bisa bersifat sosio-emosional (mengontrol kemarahan, lebih akrab dengan teman sebaya). Beberapa peneliti berpendapat bahwa kesuksesan anak-anak dan remaja dalam hal akademis pada dasarnya ditentukan oleh tingkat dimana mereka dapat menjadi pengatur diri sendiri dalam kedisiplinan dan efektivitas belajar mereka (Schunk, Zimmerman & Schunk dalam Santrock, 2008). Selain perubahan-perubahan metakognisi dalam teori pikiran, memori, dan pengaturan diri yang terjadi selama masa kanak-kanak, perubahan-perubahan, penting dalam metakognisi terjadi pada masa remaja (Kuhn dan Franklin dalam Santrock, 2008). Dibandingkan dengan anak-anak, para remaja memiliki kapasitas yang meningkat untuk memonitor dan menangani sumberdaya-sumberdaya kognitif sehingga
mampu
memenuhi
tuntutan
tugas
pembelajaran
secara
efektif.
18 Peningkatan kemampuan metakognitif ini menyebabkan fungsi kognitif dan pembelajaran menjadi lebih efektif (Kuhn & Pease dalam Santrock, 2008). Suatu aspek penting fungsi kognitif dan pembelajaran adalah menentukan jumlah perhatian yang dialokasikan ke sumberdaya-sumberdaya yang ada. Dalam sebuah investigasi anak berusia 12 tahun mengalokasikan perhatian mereka dalam dua tugas secara lebih baik dibandingkan anak berusia 8 tahun, namun lebih buruk dibandingkan anak yang berusia 20 tahun (Manis, Keating, dan Morrison dalam Santrock, 2008). Walaupun demikian, ingat bahwa ada bermacam-macam variasi individu terkait metakognisi para remaja. Banyak ahli berpendapat bahwa variasi metakognisi individu nampak lebih jelas dalam masa remaja dibandingkan pada masa kanak-kanak (Kuhn dan Franklin dalam Santrock, 2008). Jadi, banyak remaja menggunakan metakognisi dengan baik untuk meningkatkan pemebelajaran mereka, tetapi beberapa remaja lain mengggunakan metakognisinya dengan kurang efektif (Santrock, 2008). 2.5
Perkembangan Bahasa Bahasa adalah bentuk komunikasi, baik itu lisan, tertulis ataupun tanda yang
didasarkan pada sistem simbol. Semua bahasa manusia adalah generatif (diciptakan). Penciptaan bahasa yang tidak terbatasa adalah kemampuan untuk memproduksi sejumlah kalimat tak terbatas yang bermakna dengan menggunakan seperangkat kata dan aturan. Kualitas ini membuat bahasa merupakan kegiatan yang sangat kreatif (Santrock, 2007). Selama masa kanak-kanak periode menengah dan akhir terjadi perubahan cara anak berpikir tentang kata. Mereka menjadi tidak terlalu terikat dengan perbuatan dan dimensi perseptual yang berhubungan dengan kata, dan mereka menjadi semakin analitis dalam memahami kata. Ketika diminta mengatakan kata
19 pertama hal yang muncul di benak mereka saat mereka mendengar satu kata, anak pada tahap ini biasanya memberikan kata yang mengikuti kata tersebut dalam kalimat. Misalnya, ketika diminta menjawab untuk kata “anjing”, si anak mungkin menjawab “menggonggong”, atau untuk kata “makan”, mereka menjawab “sarapan”. Pada usia sekitar 7 tahun, anak mulai merespon dengan kata yang merupakan golongan yang sejenis dengan kata yang didengar. Misalnya, anak bisa merespon kata “anjing”, dengan menjawab “kucing” atau “kuda”, kemudian kata “makan” dengan menjawab “minum”. Ini adalah bukti bahwa anak mulai menggolongkan kosakata mereka berdasarkan suatu jenis kata dari pembicaraan (Berko Gleason dalam Santrock, 2007). Anak-anak membuat kemajuan dalam penguasaan tata bahasa. Peningkatan keahlian penalaran logis dan analitis di kalangan anak SD akan membantu untuk memahami suatu konstruksi kata untuk perbandingan (lebih panjang, lebih pendek) dan penggunaan pendapat subjektif (“jika anda presiden, maka....”). Perkembangan dan perilaku anak dalam bahasa pada umur 6 hingga 8 tahun, anak sudah dapat menggunakan kosakata terus bertambah cepat, lebih ahli menggunakan aturan sintaksis dan keahlian bercakap meningkat. Kemudian pada usia 9 hingga 11 tahun, anak sudah dapat menggunakan definisi kata mencakup sinonim dan strategi berbicara terus bertambah (Santrock, 2007).
20 2.6
Kerangka Berpikir dan Hipotesis
2.6.1
Kerangka Berpikir
Pentingnya peran orang tua bagi pembentukan pribadi anak
Gaya pengasuhan orang tua yang berbeda-beda
Anak dapat menyelesaikan masalahnya secara analogi
Efektifitas pendidikan yang diberikan orang tua pada anak
Hubungan persepsi pola asuh orang tua terhadap pemecahan masalah secara analogi pada anak kelas 3 SDIT Al-Mughni Kuningan
2.6.2
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ho : Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap pemecahan masalah secara analogi pada anak kelas 3 SDIT Al-Mughni Kuningan Jakarta Selatan. Ha : Ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap pemecahan masalah secara analogi pada anak kelas 3 SDIT Al-Mughni Kuningan Jakarta Selatan.