BAB II KERANGKA TEORI POLA ASUH ORANG TUA
A. PENGERTIAN POLA ASUH ORANG TUA 1. Pengertian Orang Tua Yang dimaksud orang tua adalah pendidik atas dasar hubungan darah.1 Fungsi dan peran orang adalah sebagai pelindung setiap anggota keluarga, orang tua merupakan kepala keluarga. Keluarga adalah sebagai persekutuan hidup terkecil dari masyarakat negara yang luas. Pangkal ketentraman dan kedamaian hidup terletak dalam keluarga mengingat pentingnya hidup keluarga itu maka Islam memandang keluarga bukan hanya sebagai persekutuan hidup terkecil saja, tetapi lebih dari itu yakni sebagai lembaga hidup manusia yang dapat memberi kemungkinan celaka dan bahagianya anggota-anggota keluarga tersebut dunia dan akherat.2 Jadi dapat penulis simpulkan bahwa orang tua adalah orang yang usianya lebih tua dan mampu memberikan perlindungan serta bimbingan. Orang tua mempunyai fungsi pendidik karena seorang anak pertama kali memperoleh pengetahuan dari orang tuanya terutama ibu, ayah serta anggota lainnya. Dengan demikian kepribadian seseorang terbentuk sebagai hasil perpaduan antara warisan sifat-sifat, bakat orang tua dan lingkungan di mana ia berada berkembang. Lingkungan pertama yang mula-mula memberikan pengaruh yang mendalam adalah keluarga sendiri.
2. Pengertian Pola Asuh Orang Tua Pola asuh merupakan pola sikap mendidik dan memberikan pelakuan terhadap anak.3 Yulia Singgih D. Gunarso mengemukakan 1
Soegarda Poerbakawatja, Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 1982), hlm. 263 2 Arifin, Hubungan Timbal Balik Hubungan Agama Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hlm 79 3 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja Rosda Karya: 2000), hlm 48
5
6
bahwa “Pola Asuh” tidak lain merupakan metode atau cara yang dipilih pendidik dalam mendidik anak-anaknya yang meliputi bagaimana pendidik memperlakukan anak didiknya.4 Jadi yang dimaksud pendidik adalah orang tua terutama ayah dan ibu. Sedangkan secara etimologi pendidikan oleh Jhon Dewey diartikan sebagai berikut “Etymologically the word education means just a process of leading or bringing up, wen have th out come of the process in mind we speak of education as shopping, forming, molding, activity.5 “Secara etimologi kata pendidikan maksudnya adalah suatu proses memimpin atau mengasuh, jika kita renungkan inti proses itu maka kita akan berbicara tentang pentingnya pendidikan itu sebagai pembentuk perbuatan, pembinaan dan mengarahkan aktivitas”. Menurut Chabib Thoha “Pola Asuh orang tua adalah merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak.6 Menurut Kohn (1971) yang dikutib oleh Chabib Thoha; mengemukakan pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya. Sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberikan pengaturan kepada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian, tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan demikian yang dimaksud dengan Pola Asuh Orang Tua adalah bagaimana cara mendidik anak baik secara langsung maupun tidakl langsung.7 Cara mendidik secara langsung bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan, ketrampilan yang dilakukan secara sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi, pemberian hadiah sebagai alat pendidikan. 4
Dalam
Yulia Singgih D. Gunarso, Azas psikologi Keluarga Idaman, (Jakarta; BPR Gunung Mulia : 2000), hlm 44 5 Jhon Dewey, Demokrasi and Education, The Macmilan Companya, (New York : 1964). 6 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm 109 7 Ibid, hlm 110
7
situasi seperti ini yang diharapkan muncul dari anak adalah efek intruksional yakni respon-respon anak terhadap pendidikan itu. Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan seharihari baik tutur kata sampai kepada adat kebiasaan pola hidup, hubungan antara orang tua dan keluarga, masyarakat, hubungan suami istri, semua ini secara tidak sengaja membentuk situasi dimana anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.8 Dalam pembentukan Akhlak anak, peranan orang tua sangatlah besar, oleh karena itu sikap dan tingkah laku orang tua dapat mendukung agar tujuan tercapai, sikap orang tua seharusnya menerima keberadaan anak, sehingga anak merasa aman. Anak yang merasa dirinya aman dan mencurahkan kesulitan yang dihadapinya, karena merasa bahwa orang tuanya akan membantu memecahkan masalah yang dihadapi anak tersebut. Dengan demikian anak akan berani menghadapi masalah bukan menghindari. Dari pendapat-pendapat di atas, penulis memberikan batasan tentang pengertian Pola Asuh Orang Tua yaitu suatu cara/model bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya manusia yang berkepribadian yang dilandasi dengan kesadaran yang berlangsung dalam lingkungan yang ditetapkan orang tua.
3. Fungsi dan Peran Orang Tua Dalam keluarga orang tua merupakan orang tua pertama yang bertanggung jawab terhadap proses hubungan dalam keluarga, antara lain sebagai tauladan bagi anak, mengarahkan tata cara bergaul dan pendidikan bagi anak-anaknya.9 Dan untuk melaksanakan semua itu orang tua harus memerankan fungsi sebagai pelindung, pemelihara dan juga sebagai pendidik.
8
Ibid, hlm 111 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Jogyakarta : Aditya Media, 1999), hlm 90 9
8
Fungsi ini terwujud secara langsung diberikan oleh Allah sendiri sebagai hal yang tergambar dalam firmannya sebagai berikut:
(٦ : ) ﻢﺮﺤﺘﻠا
ﻴﺎﻴﻬﺎاﻠﺬ ﻴﻦاﻤﻧواﻗﻮااﻧﻔﺴﻜﻢ ﻮاهﻠﻴﻜﻢﻧﺎﺮا
“Hai orang-orang yang beriman pelihara dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka (Q.S At-Tahrim : 6).10 Dari kewajiban yang dipikulkan oleh ayat tersebut atas pundak orang tua dapat dibedakan dua macam tugas yaitu : a. Orang tua berfungsi sebagai pendidik anak. Melatih anak suatu hal yang sangat penting sekali karena anak sebagai amanat orang tuanya. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang bersih dari segala ukiran serta gambaran ia dapat mampu menerima segala yang diukirkan atasnya dan condong kepada segala yang dicondongkan kepadanya. Maka bila ia dibiasakan kearah kebaikan dan diajarkan kebaikan jadialah ia baik dan berbahagia dunia akhirat, tetapi bila dibiasakan jelek dan dibiarkan tanpa adanya pengawasan maka celaka dan rusaklah ia. Untuk itu wajiblah orang tua menjaga anak dari perbuatan dosa dari mendidik dan mengajar berakhlak bagus, menjaga dari teman-temannya yang jahat dan tak boleh membiarkan anak dengan bernikmat-nikmat.11 Ayah dan ibu merupakan dwi tunggal yang bersama-sama dalam keluarga yang dijalin dengan kerjasama dan saling pengertian dan sebaik-bainya, agar timbul keserasian dalam menunaikan tugas tersebut baik yang bersifat paedagogis atau psikologis dalam pembentukan watak/sikap seorang anak.12
10
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : Toha Putra, 1997), hlm 90 Arifin, Op.cit, hlm 80 12 Ibid, hlm 88 11
9
b. Orang tua berfungsi sebagai pelindung dan pemelihara keluarga Disamping orang tua memiliki kekuasaan pendidikan, juga mempunyai tugas melindungi keluarga yakni orang tua harus memelihara keselamatan kehidupan keluarganya baik moril maupn materiilnya. Setiap orang tua mempunyai tanggung jawab dan anak merupakan amanat yang harus dijaga dan dipelihara, karena dihadapan Allah
akan
dimintai
pertanggung
jawaban
atas
amanat
itu
sebagaimana sabda rasulullah SAW : 13
ﻜﻠﻜم ﺮاع وﻜﻠﻜم ﻤﺴﺋﻮﻞﻋﻦ ﺮﻋﻴﺘﻪ
“Semua kamu adalah pemimpin dan semua kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas yang kamu pimpin” Dilihat dari hubungan dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, maka tanggung jawab pendidikan itu pada dasarnya tidak bisa dipikulkan kepada orang lain sebab guru dan pemimpin umat umumnya dalam memikul tanggung jawab pendidikan hanyalah keikutsertaan. Dengan kata lain yang karena satu dengan yang lain tidak mungkin melaksanakan pendidikan anaknya secara sempurna. Orang tua bertanggung jawab dalam kelangsungan keluarga. Salah satu tugas utama orang tua mendidik keturunnanya, dengan kata lain dalam relasi antara anak dan orang tua itu secara kodrati tercakup unsurunsur
pendidikan
guna
membangun
kepribadian
anak
dan
14
mendewasakannya . Yulia Singgih D. Gunarsa mengemukakan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam perkembangan anak, peranan tersebut diantaranya :
13
Shohih Bukhori, Juz III, (Semarang : Maktabatul Munawaroh), hlm. 257 Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Nasional, (Jakarta : PT. Pranya Paramita, 1997), hlm 59 14
10
1) Sebagai orang tua (mereka membesarkan, merawat, memelihara dan memberikan kesempatan berkembang). 2) Sebagai guru (mengajarkan ketangkasan motorik, keterampilan melalui latihan-latihan mengajarkan peraturan-peraturan, tata cara keluarga, tata lingkungan, masyarakat, menanamkan pedoman hidup bermasyarakat). 3) Sebagai tokoh teladan, orang tua menjadi tokoh yang ditiru pola tingkah lakunya, cara berekspresi, cara berbicara dan sebagainya. 4) Sebagai pengawas, orang tua memperhatikan, mengamati tingkah laku anak, mereka mengawasi anak agar tidak melanggar peraturan dirumah diluar lingkungan keluarga (tidak – jangan – stop).15 Kartini Kartono mengemukakan bahwa tugas orang tua ialah mendidik keturunannya. Dengan kata lain, dalam relasi dalam anak dengan orang tua secara kodrati tercakup unsur pendidikan untuk membangun kepribadian anak dan mendewasakannya. Ditambah dengan adanya kemungkinan untuk dapat dididik pada diri anak, maka orang tua menjadi agen pertama dan terutama yang mampu dan berhak menolong keturunanny, serta mendidik anak-anaknya.16 Pernyataan ini sesuai dengan sabda Nabi, sebagai berikut:
ﻋﻦأﺒﻲ هﺮﻴﺮة أﻧﻪ ﻜﺎن ﻳﻗﻮﻞ ﻗﺎﻞ ﺮﺴوﻞاﷲﻋﻠﻳﻪ ﻮﺴﻟﻢ ﻣﺎﻤن ﻤﻮﻟﻮﺪاﻻﻳﻮﻠﺪﻋﻟﻰاﻠﻓﻃﺮة ﻔﺄﺒﻮاﻩ ﻳﻬﻮﺪاﻧﻪ ﻮ ﻳﻧﺼﺮاﻧﻪ 17
(ﻮ ﻳﻤﺟﺴﺎﻧﻪ )ﺮﻮاﻩ ﻤﺴﻠﻢ
”Sesungguhnya Nabi SAW bersabda tidaklah anak yang baru lahir adalah fitrah (suci), kecuali bapaknya yang menjadikan anaknya yahudi nasrani atau majusi”. 15 16
63
17
Yulia Singgih D. Gunarsa, Op cit hlm 45 Kartini Kartono, Quo Vadis Tujuan PEndidikan, (Bandung : Mandar Maju, 1991), hlm Shohih Muslim, Juz 2, (Bandung : Dahlan), hlm. 458
11
Hadits ini mengemukakan bahwa pendidikan agama islam itu merupakan tanggung jawab orang tua dan bersifat keharusan, dan pengertian fitrah adalah sikap tauhid kepada Allah SWT, yakni untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu orang tua memiliki tanggung jawab atas fitrah tersebut, berbagai macam asuhan (cara mendidik) yang dilaksanakan orang tua tidaklah satu dengan dengan yang lainnya sebab sesuai dengan prinsip mereka masing-masing.
4. Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua Pola asuh adalah sikap atau cara orang tua mendidik dan mempengaruhi anak dalam mencapai suatu tujuan yang ditujukan oleh sikap perubahan tingkah laku pada anak, cara pendidikan dalam keluarga yang
berjalan
dengan
baik
akan
menumbuhkan
perkembangan
kepribadian anak menjadi pribadi yang kuat dan memiliki sikap positif jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal. Dengan kata lain bahwa anak-anak itu merupakan tanggung jawab orang tua, karena itu ayah dan ibu memberikan bekal dan memberikan perhatian yang cukup kepada anaknya itu sejak dari masa mengandung hingga sampai kepada masa dapat dilepaskan terjun dalam gelombang masyarakat.18 Cara mendidik anak menurut Syamsu Yusuf LN. terdapat tiga pola asuh (gaya perlakuan) orang tua yaitu: 1. Authoritarian : (sikap “aceptance” , suka menghukum, memaksa, kaku/keras dan bersikap menolak) 2. Authoritative : (sikap “aceptance” dan controlnya tinggi, responsif terhadap
kebutuhan
anak,
mendorong
serta
memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk)
18
1, hlm 188
Muhammad Rifa’I, Pembina Pribadi Muslim, ( Semarang : CV. Wicaksana, 1993), Cet
12
3. Permisive
: (sikap “aceptance” nya tinggi, kontrolnya rendah memberi
kebebasan
anak
untuk
menyatakan
19
dorongan atau keinginannya.
Chabib Thoha mengemukakan ada tiga pola asuh orang tua yaitu: demokratis, otoriter, dan permissive.20 a. Demokratis Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengar pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.21 Jadi dapat disimpulkan, bahwa pola asuh demokratis adalah pola pendidikan, dimana anak diberi kebebasan dan kesempatan luas dalam mendiskusikan segala permasalahannya dengan orang tua, dan orang tua mendengarkan, memberi tanggapan, pandangan serta menghargai pendapat anak, keputusan dari orang tua selalu dipertimbangkan dengan anak-anaknya. Namun orang tua tetap menentukan dalam segala pengambilaln keputusan. Jadi ciri-ciri pola asuh demokratis menurut Chabib Thoha antara lain mendorong anak untuk menyatakan pendapatnya, anak diberi kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik buat dirinya tetapi masih ada kontrol dari pihak orang tua, hubungan antar keluarga harmonis. Sedangkan kondisi pola asuh demikian menyebabkan anak 19
Syamsu Yusuf, Op. Cit. hlm. 51 Chabib Thoha, Op.Cit, hlm. 111 21 Ibid, hlm. 111 20
13
memiliki sikap sahabat, percaya diri, sopan, berani berpendapat, sedang menurut Yulia Singgih dan Syamsu Yusuf antara lain : 1. Kebebasan anak tidak mutlak 2. Menghargai dengan penuh pengertian 3. Keterangan yang rasional terhadap yang boleh dan tidak boleh dilakukan22 4. Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak 5. Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan 6. selalu menggunakan cara musyawarah dan kesepakatan 7. Hubungan antar keluarga sangat harmonis dan akrab. 8. Orang tua selalu memberikan kesempatan kepada anak untuk berkreatifitas23 Dan kondisi pola asuh demikian menyebabkan anak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Bersikap bersahabat b. Memiliki percaya diri c. Mampu mengendalikan (self control) d. Sikap sopan e. Mau bekerjasama f. Memiliki rasa ingin tahunya tinggi g. Mempunyai tujuan atau arah yang jelas h. Berorientasi terhadap prestasi i.
Berani berpendapat24 Dari apa yang telah diuraikan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa pola asuh demokratis itu ditandai oleh adanya dorongan dari orang tua untuk anaknya memberi pengertian, dan diskusi. Biasanya menempatkan anak pada posisi yang sama pada mereka, anak 22
Yulia Singgih D. Gunarsa, Op. Cit, hlm 46 Syamsu Yusuf. Op. Cit, hlm 52 24 Ibid, hlm 53 23
14
diberikan kesempatan untuk memberikan saran atau usul-usul yang berhubungan dengan masalah anak dengan demikian akan tumbuh rasa tanggung jawab pada anak dan akan memupuk kepercayaan diri anak.
b. Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama dirinya sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua. Orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak.25 Sedangkan menurut Yulia Singgih D. Gunarsa Pola Asuh Otoriter adalah “orang tua menentukan aturan dan batasan mutlak yang harus ditaati anak, apabila dilanggar anak dihukum.26 Pola asuh otoriter merupakan sikap orang tua yang keras, biasanya memberikan batasan yang jelas antara tingkah laku yang diperbolehkan dengan tingkah laku yang dilarang. Namun dalam mempertahankannya mereka sering mengabaikan kehangatan dan moral memberikan dukungan serta semangat diperlukan oleh seorang anak.27 Pola asuh “otoriter” adalah suatu sikap mau menang sendiri, main bentak, main pukul, anak serba salah, orang tua serba benar. Dengan kata lain orang tua menerapkan pola asuh otoriter membatasi anak, berorientasi pada hukuman (fisik maupun verbal) mendesak anak untuk bertanya mengapa ia harus melakukan hal-hal tersebut mekispun sesungguhnya tidak ingin melakukan sesuatu kegiatan yang
25
Chabib Thoha, Op. Cit, hlm 111 Yulia Singgih D. Gunarsa, Op.Cit, hlm 46 27 Alex Sobur, Butir-butir Mutiara Rumah Tangga, (Kumpulan Tulisan Mengenai Pendidikan Anak Cit. 2) (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 57 26
15
diperintah oleh orang tuanya, ia harus tetap melakukan kegiatan tersebut disisi lain ia tidak ingin melakukannya. Disisi lain orang tua melarang anaknya melakukan sesuatu kegiatan meskipun kegiatan tersebut mungkin sangat disenangi atau diinginkan oleh sang anak, maka anak harus tetap rela untuk tidak melakukannya. Ciri-ciri pola asuh otoriter sebagai berikut : 1. Sikap “Aceptance” rendah namun kontrolnya tinggi 2. Suka menghukum secara fisik 3. bersikap mengomando (mengharuskan anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi). 4. Bersikap kaku (keras) 5. Cenderung emosional dan bersikap menolak 6. Harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah Akibat dari pola asuh yang otoriter anak akan cenderung memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Mudah tersinggung b. Penakut c. Pemurung tidak bahagia d. Mudah terpengaruh dan mudah stres e. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas f. Tidak bersahabat g. Gagap (stuttering) serta rendah diri29 Sedangkan menurut Monty P. Satria Darma mengemukakan akan dampak dari perlakuan orang tua yang selalu menyakiti (memberi hukuman) adalah rasa sakit, secara fisik rasa sakit dapat langsung hanya sesaat saja akan tetapi secara psikologi rasa sakit 29
Syamsu Yusuf, Op. Cit., hlm 51
16
secara fisik tidak seberapa itu bisa dirasakan berkepanjangan dan menahun, atau biasa dikenal dengan istilah trauma. Contoh jika seorang anak dipukul orang tuanya pada saat tertentu, ia cenderung akan mengingat terus peristiwa tersebut sebagai peristiwa yang menyakitkan didalam hidupnya. Inilah yang disebut trauma.30 Dari apa yang diuraikan diatas dapat penulis simpulkan bahwa dengan cara otoriter ditambah dengan sikap keras, menghukum, mengancam anak menjadikan anak patuh dihadapan orang tua, tetapi dibelakangnya ia memperlihatkan reaksi-reaksi, misalnya menentang atau melawan, bisa ditampilkan dalam bentuk tingkah laku yang melanggar norma-norma dan menimbulkan persoalan dan kesulitan baik pada dirinya, lingkungan rumah, sekolah maupun pergaulannya.
c. Pola Asuh Permissive Pola asuh permissive ditandai dengan orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa (muda), ia diberi kelonggaran
seluas-luasnya
untuk
melakukan
apa
saja
yang
dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya, semua yang telah dilakukan anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran, arahan (bimbingan).31 Kekurangan-kekurangan dalam pola asuh ini antara lain : - Anak cenderung melakukan segala sesuatunya “semua gue” - Tidak atau kurang memperhatikan akibat dari perbuatannya baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. - Orang tua hampir tidak pernah campur tangan baik dalam memilih tempat sekolah mengatur waktu ibadah teman bergaul dan sebagainya.
30 Monty P. Satria Darma, Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Anak (Dampak Pigmalion didalam Keluarga), (Jakarta : Pustaka Populer, 2001), hlm 74 31 Chabib Thoha, Op.Cit., hlm 112
17
Pola asuh permissive menurut Yulia Singgih adalah : anak mencari sendiri batasan perilaku baik dan yang tidak baik tanpa dituntut kewajiban dan tanggung jawab, kurang kontrol terhadap perilaku anak dan hanya berperan sebagai pemberi fasilitasi serta kurang berkomunikasi dengan anak.32 Pola asuh ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa/muda, ia diberi kelonggaran
seluas-luasnya
untuk
melakukan
apa
saja
yang
dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua apa yang telah dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapat teguran, aturan atau bimbingan.33 Syamsu Yusuf mengemukakan bahwa pola asuh permissive memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Sikap “Acceptance” nya tinggi namun kontrolnya rendah. 2. Memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan/ keinginannya 3. Anak diperbolehkan melakukan sesuatu yang dianggap benar oleh anak. 4. Hukuman tidak diberikan karena tidak ada aturan yang mengikat 5. Kurang membimbing. 6. Anak lebih berperan dari pada orang tua 7. kurang tegas dan kurang komunikasi. Kondisi permissive ini cenderung mengakibatkan anak memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Bersikap impulsif dan ogresif b. Suka bersikap memberontak c. Kurang memiliki rasa percaya diri 32 33
Yulia Singgih, Op.Cit., hlm 46 Chabib Thoha, Op.Cit., hlm 112
18
d. Suka mendominasi e. Tidak jelas arahnya f. Prestasinya rendah28 Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh permissive merupakan pola asuh yang memperlakukan anak secara bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dan tanpa dituntut oleh kewajiban dan tanggung jawab. Dari uraian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa ada tiga bentuk pola asuh yaitu pola asuh otoriter dan pola asuh permissive. Dan ternyata pola asuh demokratis dinilai paling baik buat pendidikan anak dibandingkan dengan pola asuh yang lain. Hal ini disebabkan pola asuh demokratis dapat membentuk anak yang baik, memiliki hubungan sosial yang baik, cenderung mempengaruhi anak menjadi dewasa dalam bersikap serta membentuk akhlak anak. Dalam penulisan ini penulis menggunakan tiga macam pola asuh sebagaimana yang dikemukakan oleh (Chabib Thoha, 1996) yakni pola asuh demokratis, pola asuh otoriter dan pola asuh permissive. Pemilihan ketiga jenis pola asuh ini secara umum diterapkan oleh orang tua dalam mendidik dan mengasuh anaknya baik secara terpisah maupun secara bersama-sama, ada orang tua yang melaksanakan pola asuh demokratis tetapi
kadang juga menerapkan pola asuh otoriter dan pola asuh
permisive. Bahkan sangat sulit menemukanorang tua yang melaksanakan satu pola asuh murni tetapi orang tua cenderung menggabungkan ketiga pola asuh tersebut. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka indikator pola asuh dari orang tua terhadap anaknya dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) Pola asuh demokratis, antara lain mempunyai indikator hubungan orang tua – anak hangat, hubungan orang tua – anak bersifat fleksibel
28
Syamsu Yusuf, Op. Cit, hlm 52
19
dan pemberian tanggung jawab dari orang tua kepada anak yang disertai tanggung jawab anak kepada orang tua. 2) Pola asuh Otoriter, antara lain mempunyai indikator hubungan orang tua – anak kurang hangat, orang tua sering merasa berkuasa, dan hubungan orang tua dan anak kaku serta penuh formalitas. 3) Pola asuh permisive, antara lain mempunyai indikator hubungan orang tua dan anak kurang terkontrol, orang tua memberikan kebebasan kepada anak, dan hubungan orang tua dan anak cenderung acuh tak acuh.
B. AKHLAK 1. Pengertian Akhlak Anak merupakan amanah dari Allah yang diberikan kepada orang tua dan sebagai orang tua berkewajiban mempesiapkan tubuh, jiwa dan akhlak anak-anaknya untuk menghadapi pergaulan masyarakat. Kewajiban ini merupakan tugas yang ditekankan agama. Jadi dapat dipahami bahwa orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya agar berakhlak baik dan pengertian dari akhlak adalah : Dari segi bahasa (etimology), perkataan akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khulk yang dalam kamus Al-Munjid berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Di dalam Da’iratul Ma’arif dikatakan :
اﻻﺨﻼ ﻖ هﻲﺼﻓﺎﺖاﻻ ﻧﺴﺎﻦاﻻ ﺪ ﺒﻴﻪ “Akhlak ialah sifat-sifat manusia yang terdidik”.29 Rahmat Djatnika mengungkapkan kata Akhlak berasal dari bahasa arab (
) اﺨﻼ ﻖbentuk jamak mufradnya khuluq ( ) ﺨﻠﻖyang berarti
budi pekerti, sinonimnya etika dan moral. Etika berasal dari bahasa latin
29
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1992), hlm. 1
20
etos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa latin juga mores juga bearti kebiasaannya. Secara terminologi kata “budi pekerti” yang terdiri dari budi dan pekerti, “budi” ialah yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, ratio, yang disebut karakter. “Pekerti” ialah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan hati yang disebut behaviour, jadi “budi pekerti” adalah merupakan perpaduan dari hasil ratio dan cara yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.30 Akhlak berarti suatu kemantapan (jiwa) yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan itu sedemikian, sehingga menghasilkan amalamal yang baik – yaitu amal yang terpuji menurut akal dan syari’ah – maka ini disebut akhlak yang baik. Jika amal-amal yang tercela yang muncul dari keadaan (kemantapan) itu, maka itu dinamakan akhlak yang buruk.31
2. Sumber dan Tujuan Akhlak a. Sumber Akhlak Sumber dari akhlak dalam Islam tidak lain adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi SAW, firman Allah SWT :
ﻮاﻧﻚﻟﻌﻟﻰﺨﻠﻖﻋﻆﻴﻢ “Sesungguhnya engkau ya Muhammad seorang yang berbudi tinggi berakhlak utama”.32 Sabda Rasulullah SAW
اﻧﻣﺎ ﺒﻌﺜﺖﻻ ﺖ ﻣﻢ ﻤﻜﺎ ﺮﻢ اﻻ ﺨﻼ ﻖ 26
30
Rahmad Djatnika, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), (Jakarta : Panjimas, 1996), hlm.
31
Abul Quasem, Etika Al-Ghazali, (Bandung : Pustaka, 1998), hlm 81 Barmawie Umari, Materi Akhlak, (Solo : Ramandani), hlm. 1
32
21
“Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak yang utama, budi yang tinggi”.33 Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa sumber dari akhlak dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Tujuan Akhlak Tujuan adanya akhlak tidak berbeda dengan utjuan agama yaitu untuk mengatur manusia yang memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, kesempurnaan individu dan menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan dan keteguhan bagi masyarakat.34 Yang ujungujungnya mengharapkan ridha dari Allah semata.35
3. Macam-macam Akhlak Pada dasarnya aktivitas hidup sehari-hari manusia senantiasa terkait dengan tiga buah kewajiban, yakni kewajiban kepada diri sendiri, kewajiban kepada Allah, dan kewajiban kepada orang tua (keluarga) maupun kewajiban terhadap lingkungan. Sehubungan dengan hal itu, penulis akan menguraikan beberapa macam akhlak ditinjau dari dasar kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Terutama yang berkaitan langsung dengan skripsi ini : a. Akhlak Manusia kepada Allah Yang dimaksud kewajiban manusia kepada khaliqnya adalah bagian dari rangkaian hak dan kewajiban manusia dalam hidupnya sebagai suatu yang wujud dan maujud artinya hubungan manusia dengan
33
10
Allah
adalah
hubungan
makhluk
dengan
khaliqnya
Muhammad Al Ghozali, Akhlak Seorang Muslim, (Semarang : Wicaksana, 1981), hlm.
34 Mohammad Al-Taomi Al Syaibani, Falsafat at Tarbiyah Al-Islamiyah, atau Falsafat Pendidikan Islam, terjemahan Hasan Langgulang, (Jakarta; Bulan Bintang, 1997) hlm. 346 35 Hamzah Yakub, Etika Islam, (Bandung : Diponegoro, 1983), hlm. 53
22
sebagaimana hidup manusia selalu mempunyai ketergantungan kepada orang lain.36 1. Salat Pada dasarnya salat menurut bahasa adalah do’a, Allah berfirman :
﴾١٠٣:﴿ﺔﺒﻮﺘﻠا
اﻦﺼﻠﻮاﺗﻚ ﺴﻜﻦﻠﻬﻢ
“Dan sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman bagi mereka”. (Q.S. At-Taubah : 103).37 Sedang pengertiannya dalam agama dan syari’at adalah ibadah yang kita kenal selama ini, dimana dituntut kesucian padanya, yang mengandung ucapan-ucapan dan perbuatan perbuatan khusus, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.38 Salat merupakan tiang agama sehingga salatlah yang menopang sendi keislaman kita, sebab segala hal amal perbuatan kita tidak sempurna bila salat kita tidak baik. Pada dasarnya salat adalah pendidikan
bagi
rohani
dan
akal
manusia
yang
menghubungkannya dengan sang Khalik, salat mendidik manusia untuk taat, berkemauan keras, terbiasa sabar, dan mengekang hawa nafsu dari perbuata keji dan mungkar. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat AlAngkabut ayat 45 yang artinya : “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah ibadah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dalam menjalankan salat telah ditentukan waktunya, dengan ditentukannya waktu salat tersebut mengandung hikmah 36
Rahmat Djatnika, Op. Cit. hlm. 173 Depag. RI., Al-Aliyy, Op. Cit., hlm. 38 M. Jawwad Mughniyah, Figh Ja fari. (Jakarta : Lentera, 1995). Hlm. 117 37
23
yang sangat besar, diantaranya melatih diri dan membiasakan hidup secara teratur dan penuh kedisiplinan sehingga dalam mengarungi kehidupan ini akan lebih terarah dan terencana. Di samping itu dalam melaksanakan salat dianjurkanuntuk melaksanakannya dengan berjama’ah, 27 kali lipat pahalnya bagi mereka yang mau melaksanakannya. Bahkan salat berjama’ah diwajibkan melaksanakan sekali dalam seminggu, yaitu pada salat Jum’at. Dari sini Islam berusaha mendidik umatnya untuk bermasyarakat dan mempererat ukhuwah islamiyah antar sesama muslim. Salat berjama’ah juga menumbuhkan rasa solidaritas dengan yang kaya. Rakyat jelata duduk bersisian dengan para pejabat, tak ada tempat yang diisimewakan. Semuanya melakukan satu gerakan yang sama dan seirama dan disiplin atas komando dari sang imam. Akhirnya salat ditutup dengan salam, maksudnya saling menyatakan selamat sejahtera dan damai, sesudah itu dimanifestasikan dengan saling berjabat tangan yang menandakan ikatan perdamaian dan persaudaraan, sama-sama menyatakan diri sebagai hamba Allah yang bersaudara, tak ada permusuhan dan satu tujuan mengabdi kepada Allah SWT.39
2. Puasa Puasa menurut bahasa menahan diri dari sesuatu, seperti makan, minum, nafsu dan menahan dari berbicara yang tidak bermanfaat. Sedangkan menurut syar’i puasa digambarkan dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah (ayat : 187) sebagai menahan hawa nafsu dari makan, minum dan hubungan seksual dari terbit fajar sampai terbenam matahari.40
39 40
hlm. 274
Nasiruddin Rozak, Dienul Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1996), hlm. 184 Murni Djamal, Ilmu Fiqh, (Jakarta : Direktorat Pembinaan Tinggi Agama Islam, 1983),
24
Puasa merupakan salah satu yang telah disyari’atkan Islam yakni sesudah turunnya perintah salat dan zakat, firman Allah SWT :
ﻴﺎﻴﻬﺎاﻟﺬﻴﻦاﻤﻧﻮاﻜﺘﺐﻋﻟﻴﮑﻢاﻟﺼﻴﺎﻢ ﻜﻤﺎ ﻜﺘﺐﻋﻟﻰاﻟﺬ ﻴﻦ (١٨٣ : )ةرﻗﺒﻠا
.ﻤﻦ ﻘﺒﻟﮑﻢ ﻟﻌﻟﮑﻢ ﺘﺘﻘﻮﻦ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana, diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah : 183)41 Dalam ayat diatas dapat dijelaskan bahwa tujuan puasa adalah
membentuk
manusia
yang
bertaqwa,
dan
taqwa
sesungguhnya merupakan sikap mental yang tumbuh atas dasar jiwa tauhid dan mengaktualisasikan dalam bentuk ibadah-ibadah yang dilakukan semata-mata untuk Allah. Dari pengertian yang telah dipaparkan diatas penulis menyimpulkan bahwa puasa selain menahan lapar, minum, dan menahan dari berbicara yang tidak bermanfaat dari terbit fajar sodiq hingga terbenamnya matahari, disini puasa merupakan sarana yang dapat menahan dari hawa nafsu, dengan puasa hawa nafsu kita melemah, kecenderung kepada kejahatan pun menjadi melemah dan kemampuan beramal baik akan meningkat, karena nilai saum (puasa) dinamakan landasan bagi kebiasaan beribadah dan kunci amal soleh, kalau jiwa dimurnikan dengan lapar ia menjadi mampu mengingat Allah dan merenungkannya, dzikir kepada Allah dalam keadaan begini menciptakan pengaruh besar kepada jiwa.42 Puasa melatih kita untuk berjiwa besar, sanggup mengatasi segala kesulitan dan cobaan hidup. Puasa juga melatih kita untuk 41 42
Soenarjo dkk, Op. Cit. hlm. 44 M. Abul Quasem, Op.Cit. hl. 233
25
berakhlak teguh memegang amanah, jujur, disiplin serta menumbuhkan jiwa sosial kita terhadap orang-orang yang bernasib kurang beruntung.
b. Akhlak Manusia Kepada Dirinya Sendiri 1. Membina sifat jujur Jujur atau benar ialah : “memberitahukan, menuturkan sesuatu dengan sebenarnya.43 Kejujuran merupakan salah satu untuk mencapai keselamatan, keberuntungan dan kebahagiaan. Kejujuran akan menentukan status dan kemajuan masyarakat dan baik kemajuan diri sendiri maupun kemajuan masyarakat, kejujuran juga akan menimbulkan ketenangan dan rasa percaya serta menimbulkan keberanian. Islam menganjurkan bahkan menekankan, agar segi-segi dan unsur-unsur kejujuran ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil agar mereka terbiasa melakukan kejujuran dimana pun berada. Rasulullah SAW bersabda :
﴾ ﴿ﺮﻮاﻩاﺤﻣﺪ.ﺑﺔ
ﺘﻌﺎﻞهﺎﻚ ﺛﻢ ﻠم ﻴﻌﻈﻪ ﻔﻬﻲ ﮐﺬ: ﻤن ﻗﺎﻞﻟﺼﺒﻰ
“Barang siapa yang berkata kepada anak kecil, mari kemari, saya beri ini, kemudian tidak memberi, maka itu bohong”. (H.R. Ahmad)44 Hadits diatas menjelaskan bahwa kejujuran itu harus selalu ditanamkan orang tua terhadap anaknya sejak kecil dan selain itu orang tua harus selalu bersikap jujur terhadap anaknya dalam hal apapun, terutama dalam pendidikan anaknya. Karena jika prinsip kebenaran dan kejujuran ini telah membudaya maka akan tegaklah suatu masyarakat yang harmonis, aman dan sentosa sebagaimana 43 44
Muhammad Al-Ghazali, Op.Cit., (Semarang : Wicaksana, 1986), hlm 74 Ibid, hlm. 81
26
pribadi mu’min yang hatinya selalu merasa aman dan tenang karena selalu berkata dan bertingkah laku yang benar dan jujur.
2. Membina sifat disiplin Disiplin dapat diartikan sebagai suatu ketaatan atau kepatuhan pada aturan dan tata tertib. Pribadi yang memiliki dasar-dasar dan mampu mengembangkan disiplin diri, berarti memiliki peraturan diri berdasarkan acuan nilai moral, sehubungan dengan itu disiplin diri dibangun dari asimilasi dan penggabungan nilai-nilai moral untuk diinternalisasi oleh subjek didik sebagai dasar untuk mengarahkan perilakunya. Untuk mengupayakan hal itu orang tua dituntut untuk memiliki keterampilan paedagogis dan proses pembelajaran pada tataran tertinggi.45 Disiplin erat hubungannya dengan pembagian waktu, hal itu dapat kita temukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang didahului dengan sumpah Allah yang berhubungan dengan waktu, misalnya demi waktu Dhuha, demi masa dan lain-lain yang secara tidak langsung mengingatkan manusia agar dapat membagi dan memanfaatkan waktu sebaikbaiknya. Untuk membina disiplin diri, pelatihan dan pembinaan disiplin diri agar lebih efektif dapat dilakukan secara kolektif, misalnya di sekolah, di masyarakat, dan yang paling penting adalah di lingkungan keluarga yakni orang tua.
3. Membina sifat sabar Sabar merupakan sikap jiwa yang berupa penerimaan terhadap sesuatu baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk suruhan maupun dalam bentuk penerimaan terhadap perlakuan orang lain. Sabar yang dimaksudkan adalah sabar atas 45
Muhammad Shochib, Pola Asuh Orang tua Untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), hlm. 3
27
panjangnya jalan perjuangan, banyak onak dan durinya, banyak penghambat karena ketakutan atau karena keuntungan pribadi. Semua ini harus dihadapi dengan sabar dan tabah tanpa memperdulikan
pemboikotan
manusia,
penghinaannya,
pelecehannya maupun penganiayaan dan tekanannya.46 Ibnu Abas r.a mengatakan : “Sabar dalam Al-Qur’an terdiri atas tiga arah yaitu : a) Sabar atas menunaikan segala amalan fardu, sebagai hamba berarti manusia harus menyerahkan segenap jiwa dan raga kepada kehendak Allah dan patuh serta taat terhadap segala amalan fardu Allah. b) Sabar terhadap larangan atau yang diharamkan Allah atau mengendalikan diri dari hawa nafsu yang mendorong untuk melanggar larangan-Nya. Nafsu sesuai dengan sifatnya merupakan kekuatan besar yang mendorong manusia untuk mencari kenikmatan dan kepuasan semata yang cenderung kepada hal-hal buruk. Jadi sabar disini berarti mengendalikan diri dan menekan perasaan dan keinginan yang buruk itu, sehingga dapat menyikapi setiap larangan Allah sebagai sesuatu yang wajar dan harus ditinggalkan. c) Sabar atas musibah. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan
sesuatu
yang
sudah
dikehendaki
Allah
(sunnatullah) baik musibah yang disebabkan oleh alam maupun kelalaian manusia itu sendiri.47
c. Akhlak Terhadap Kedua Orang Tua Ibu dan ayah adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya kepada anaknya, dan mereka mempunyai tangung jawab yang besar terhadap anaknya tersebut, jasa mereka tidak bisa dihitung dan 46 Yusuf Al-Qordlowy, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Bannah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hlm. 52 47 Ismail Yakup, Terjemahan Ihya’ Al-Ghazali Jilid III, (Jakarta : Faizan, 1987), hlm. 302
28
dibandingkan dengan harta, kecuali mengembalikan menjadi orang merdeka sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang penuh setelah menjadi budak/hamba sahaya karena suatu keadaan yang tidak diinginkan. Kalau ibu merawat jasmani dan rohaninya sejak kecil secara langsung,
maka
bapak
pun
merawat,
mencari
nafkahnya,
membesarkannya, mendidiknya dan menyekolahkannya, disamping itu usaha ibu mulai mengandung sampai masa muhariq (masa dapat membedakan baik dan buruk). Seorang ibu sangat berperan, maka setelah memasuki masa belajar, ayah lebih tampak kewajibannya, mendidiknya dan mempertumbuhkannya menjadi dewasa. Namun apabila dibandingkan antara berat tugas ibu dengan ayah, mulai mengandung sampai dewasa, dan sebagaimana perasaan ibu dan ayah terhadap putranya, maka secara perbandingan tidaklah keliru apabila dikatakan lebih berat tugas ibu daripada tugas ayah. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori Muslim dari Abu Hurairah : seorang sahabat bertanya kepada Rosulullah : “Ya Rosulullah, siapakah yang harus saya perbuat baik? (sampai tiga kali) “Rosulullah menjawab : “Kepada ibumu”, dan yang keempat kalinya sahabat bertanya, kemudian siapa lagi? Rosul menjawab kepada ayahmu.48 Adapun bentuk-bentuk bakti atau berbuat baik terhadap orang tua itu antara lain : 1) Tata terhadap yang diperintahkan dan meinggalkan segala yang dilarang mereka sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Namun jika bertentangan dengan ajaran agama kita tidak boleh tidak mentaatinya, tetapi tetap bersikap baik terhadap keduanya. 2) Menghormatinya, merendahkan diri kepadanya. Berkata halus baik, tidak membentak dan tidak bersuara melebihi suaranya, tidak 48
Rahmad Djatnika, Op. Cit. hlm. 203
29
bejalan didepannya, memanggil dengan ayah, ibu dan tidak pergi kecuali seizinnya. 3) Memberi
penghidupan,
pakaian,
mengobati
sakitnya
menyelamatkannya dari suatu yang membahayakannya.
dan
49
d. Akhlak terhadap Alam Manusia tidak lepas dari alam, maka hendaknya manusia berbuat baik terhadap alam. Adapun bentuk akhlak terhadap alam adalah : 1) Menyayangi binatang Sebagian dari binatang merupakan karunia Allah yg boleh kita makan dagingnya, tetapi kita harus menyembelihnya terlebih dahulu. Jangan sampai kita menghambat kematiannya atau menyiksanya sedikit demi sedikit. Berbuatlah sesuatu yang membuat binatang itu senang.50 Firman Allah dalam surat alAn’am ayat 38 :
ﻮﻣﺎ ﻤﻦ ﺪاﺑﺔ ﻔﻰ اﻻ رﺾ ﻮﻻ ﻃﺌر ﻴﻃﻴر ﺑﺠﻧﺎ ﺤﻴﻪاﻻ اﻤﻢ اﻣﺜﺎ ﻠﻜﻢﻘﻠﻰ ﻤﺎ ﻔﺮﻂﻧﺎ ﻔﻰ اﻠﻜﺘﺐ ﻣن ﺸﻲﺀ ﺜﻢ إﻟﻰ (٣٨ : )ﻢﺎﻌﻧﻷا
رﺒﻬﻢ ﻴﺣﺸرﻮن
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umatumat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan seuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun. (QS. Al An’am : 38)51
49
Asmaran As, Op. Cit. hlm 179-180 Hamzah Ya’qub, Op.Cit., hlm. 17 51 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, op. cit., hlm 192 50
30
2) Menyayangi tumbuh-tumbuhan Tumbuhan yang menghiujau di muka bumi ini sungguh memberikan kemanfaatan yang besar bagi kehidupan manusia. Sebagian dari buah-buahnya memberikan manfaat untuk kita makan, kayunya memberikan manfaat untuk kita jadikan aneka macam bangunan dan kita jadikan sebagian obat-obatan dari daun dan akar-akarnya. Semua itu wajib kita pelihara dan kita syukuri.52
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak Para ahli etika bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dari luar dan dari dalam. Faktor-faktor dari dalam meliputi instink dan akal, adat kebiasaan, keinginan dan hati nurani. Sedangkan faktor dari luar meliputi keturunan, lingkungan keluarga.53 Berikut ini akan penulis bahas secara singkat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak tersebut. a. Instink dan Akal Instink ialah suatu sifat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan tidak berfikir lebih dahulu kearah tujuan itu dan tiada didahului latihan perbuatan itu.54 Instink itu dapat tetap tumbuh karena proses pendidikan, sebagaimana ia dapat lemah bahkan jika diabaikan. Instink merupakan sifat jiwa yang pertama yang membentuk akhlak, akan tetapi suatu sifat yang permitive, yang tidak dapat diabaikan dan dibiarkan begitu saja, tetapi wajib dididik dan diasuh dengan baik.55 b. Adat Kebiasaan Sikap dan perbuatan manusia yang menjadi akhlak sangat erat kaitannya dengan kebiasaan. Sebagaimana pengertian akhlak yang
52
Asmaran, As, Op.Cit., hlm. 179 Muslim Nurdin, dkk. Moral dan Koqnisi Islam, (Bandung : Alftika, 1995), hlm. 270 54 Rahmat Djatnika, Op. Cit. hlm. 73 55 Ahmad Amin, Etika, (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 17 53
31
dikemukakan oleh Prof. Dr. Ahmad Amin bahwa akhlak adalah membiasakan kehendak. Banyak sebab yang menjadikan adat kebiasaan antara lain : adat kebiasaan warisan nenek moyang dan dilestarikan turun temurun, sebab lingkungan tempat bergaul yang memberi pengaruh yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Adapun proses pembentukan kebiasaan sebagai berikut : pertama, ada kecenderungan hati yang melakukan perbuatan itu dan merasa senang untuk meniru dan melakukan perbuatan
itu.
Kedua,
diperturutkannya
keinginan
itu
untuk
dipraktikan dan berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan.56 Orang yang sudah menerima suatu perbuatan sebagai kebiasaan atau adat pada dirinya, maka perbuatan itu sukar ditinggalkan karena telah mengakar kuat di dalam dirinya. Kebiasaan inilah yang menjadi salah satu cikal bakal pembentukan akhlak pada diri manusia. c. Keinginan Sebagaimana telah disebutkan dalam pengertian akhlak menurut Ahmad Amin diatas, kehendak merupakan faktor yang sangat penting
dalam
pembentukan
akhlak.
Keinginan
merupakan
kecenderungan yang dimenangkan atau dipilih diantara keinginan atau kecenderungan yang banyak setelah bimbang.57 Keinginan merupakan salah satu kekuatan besar yang tersimpan dalam diri manusia. Keinginanlah yang menggerakkan manusia berbuat yang sungguh-sungguh.58 Seseorang dapat bekerja sampai larut malam atau dapat melakukan sesuatu perbuatan yang berat dan hebat menurut orang lain karena digerakkan oleh keinginannya. Hanya orang-orang keinginannya yang akan dapat mencapai setiap tujuan yang dikehendakinya. 56
Rahmad Djatnika, Op. Cit. hlm. 48 Ibid, hlm. 42 58 Hamzah Yakub, Op. Cit. hlm 73 57
32
d. Hati Nurani Dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktuwaktu dapat memberi peringatan atau isyarat jika tingkah laku manusia diambang bahaya dan keburukan suara tersebut yang disebut suaru hati (hati nurani).59 Jika seseorang berhasil dari panggilan hati nuraninya, maka ia akan merasa gembira dan puas karena merasa menemukan kemuliaan. Jadi hati nurani berperan sebagai salah satu kontrol perbuatan manusia.
e. Keturunan Sudah menjadi sunnatullah bahwa makhluk hidup ini mempunyai keturunan yang menyerupai indukny. Hal ini dapat dilihat pada beberapa makhluk, misalnya tumbuhan, hewan dan manusia itu sendiri. Dalam
dunia
manusia
dapat
dilihat
anak-anak
yang
menyerupai orang tuanya bahkan nenek moyangnya sekalipun yang sudah jauh, sejumlah warisan, fisik dan mental masih terus diturunkan kepada cucu-cucunya. Adapun yang diturunkan itu bukanlah sifat yang dimiliki yang telah tumbuh dengan matang karena pengaruh lingkungan, adat maupun pendidikan, melainkan sifat-sifat bawaan sejak lahir.60
f. Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan arena yang dihadapi oleh anak. Dimana anak mendapat pengaruh tingkah laku dan pendidikan. Dalam lingkungan keluarga ayah dan ibu berkewajiban mempesiapkan tubuh, jiwa dan akhlak anak-anaknya menghadapi pergaulan masyarakat.61
59
Ahmad Amin, Op. Cit. hlm. 68 Ibid, hlm 68 61 Muhammad Rifa’i, Pembinaan Pribadi Muslim, (Semarang : CV. Wicaksana, 1993), 60
hlm. 188
33
Dengan demikian, keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan keluarga merupakan pendidik utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama kali dari orang tua dan anggota keluarganya sendiri.
C. PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP AKHLAK ANAK Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak adalah faktor lingkungan, termasuk dalam kategori lingkungan ini adalah keluarga yang mana ayah dan ibu merupakan pendidik dwi tunggal yang bersama-sama menjalankan tugas pendidikan dalam keluarga yang dijalin dengan kerjasama dan saling pengertian sebaik-baiknya agar timbul keserasian dalam menunaikan tugas tersebut dengan bersifat paedagogis ataupun psikologis dalam pembentukan wata katau sikap seseorang anak. Dalam mendidik anak biasanya orang tua mengasuh anaknya dengan berbagai cara ada yang menggunakan pola asuh demokratis, otoriter, permissive, akan tetapi ada pula orang tua yang tidak hanya menerapkan satu pola asuh saja. Dan dari pola asuh yang diterapkan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, dan akibat dari pola asuh tersebut. Di dalam suatu keluarga biasanya terjadi proses internalisasi nilai. Terutama nilai yang dianut dan dijunjung tinggi oleh orang tua kepada setiap anak, sehingga orang tua yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur akhlak alkarimah akan berusaha agar nilai-nilai terinternalisasi kepada anak-anaknya, baik melalui pengajaran (nasehat) maupun melalui contoh-contoh (teladan) dari pihak orang tua. Dari sekelumit penjelasan diatas ada beberapa hal yang perlu ditekankan disini. Pertama sebagai orang tua dalam membina akhlak anak akan berusaha membiasakan anak-anaknya untuk bertingkah laku sesuai tuntutan akhlakul karimah, sehingga perbuatan yang dibiasakan itu akan
34
menjadi bagian dari kepribadiannya. Kedua, sehebat apapun orang tua membina akhlak anaknya tidak akan berarti apa-apa jika tidak dibarengi dengan teladan ataupun contoh dari pihak orang tua sendiri dan juga sebagai orang tua harus dapat menerapkan pola asuh yang tepat dalam membina akhlak anak. Jadi pola asuh (cara mendidik anak) akan berpengaruh besar pada terbentuknya akhlak anak atau dengan bahasa yang lebih bagus orang tua yang lebih bisa menerapkan pola asuh yang tepat (sesuai dengan karakteristik anak) akan memperoleh hasil yang diinginkan yakni anak yang ber-Akhlak Karimah.
D. KAJIAN PENELITIAN YANG RELEVAN Pendidikan akhlak terhadap anak adalah persoalan dan pembahsan yang sudah selayaknya dilakukan oleh orang tua ataupun guru. Sehingga orang tua yang mempunyai peran besar dalam mencetak karakter anak. Untuk mengungkap konsep pengaruh pola asuh (cara mendidik) orang tua dalam membentuk akhlak anak, penulis berusaha untuk obyektif. Sebenarnya penelitian tema tersebut sudah banyak dilakukan oleh para penulis terdahulu. Diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Peneliian yang dilakukan oleh Eni Mufti, Pengaruh Pola Pendidikan Orang Tua Pada Anak Terhadap Kedisiplinan Belajar Anak di MTs.N Uswah Bergas Kabupaten Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang 2001. Dalam penelitiannya lebih menekankan pada pengaruh pendidikan orang tua terhadap kedisiplinan belajar anak, yang mana bahwa pendidikan orang tua akan mempengaruhi sikap anak yang disiplin dan taat pada tata tertib atau peraturan. Cara demokratis atau otoriter dapat diterapkan selama masih proporsional. Dalam mendidik anak sikap demokratis sangat diperlukan, namun kadang-kadang sikap otoriter orang tua juga diperlukan dalam hal-hal tertentu. Dengan demikian pola pendidikan orang tua sangat membantu anak mencapai kedisiplinan dalam belajarnya, sehingga tujuan pendidikan itu akan tercapai. Dan sebagaimana pengaruh Pola Asuh Orang Tua
35
terhadap akhlak anak kurang disentuh. Karena fokus dari penelitian lebih pada kedisiplinan belajar anak. 2) Pengaruh Pendidikan Agama Dalam Keluarga Terhadap Perilaku Beragama Siswa SLTP NU Hasanudin 6 Semarang tahun 2003/2004, penelitian ini dilakukan oleh Fathiyaturrohmah (3198211) Fakultas Tarbiyah PAI 2004. Adapun yang dibahas dalam tesis tersebut adalah pendidikan agama dalam keluarga seperti apakah yang dapat membentuk sikap ketaqwaan kepada Allah bagi anak. Pola asuh yang seperti apakah yang sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam, dan pengaruhnya terhadap perilaku agama anak. Dalam penelitiannya Fathiyaturrohmah menjelaskan bahwa sebagai realisasi terhadap tanggung jawab orang tua dalam mendidik anaknya, dan ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pendidikan antara lain pendidikan ibadah, mengajarkan pokokpokok ajaran Islam dan melatih salat, pendidikan akhlak, juga pendidikan aqidah Islamiyah sebagai tiang pendidikan Islam. 3) Dalam penelitian kwalitatif yang dilakukan oleh Abdul Ghofur yang berjudul “Pengaruh Kepedulian Orang Tua terhadap Perilaku Keagamaan Anak”. Dimana orang tua-lah yang pertama memberikan pendidikan kepada anaknya dengan melalui pembinaan latihan fisik, latihan mental, dan bahasa serta keterampilannya. Dan perilaku tersebut melalui pembiasaan untuk bertingkah laku baik, pengarahan dan bimbingan dan juga pemilihan tempat pendidikan untuk anaknya oleh orang tua. Dengan demikian orang tua sangatlah diharapkan dalam pembentukan tingkah laku atau perilaku dalam keagamaan seperti halnya salat, puasa dan lain sebagainya. 4) Penelitian yang dilakukan oleh Windarti (1314990009) Mahasiswa UNNES Jurusan BK/2004 dengan tema Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Perilaku Menyimpang Remaja Kelas II di SMU Santo
36
Bernadus Pekalongan Tahun Pelajaran 2003/2004 penelitian tersebut lebih menekankan pada hubungan pola asuh orang tua terhadap/dengan perilaku menyimpang dilakukan oleh para remaja. Dimana orang tua merupakan pendidik yang utama dan pertama, dan sebagai orang tua yang memiliki anak usai remaja harus dapat menentukan sikap dan memberikan teladan yang baik bagi anaknya. Karena dengan sikap dan teladan yang baik tersebut seorang anak/remaja akan menjadikan orang tua mereka sebagai figur yang patut ditiru. Pada umumnya penelitian tentang pendidikan (pola asuh) orang tua sudah banyak dikaji, namun dalam penelitian kali ini penulis mencoba mencari hubungan dari pola asuh orang tua dengan akhlak anak, dan apakah pola asuh yang diterapkan orang tua dengan cara otoriter, demokratis, permissive yang diberikan kepada anak akan mempengaruhi akhlak anak.
E. PENGAJUAN HIPOTESIS Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis ada ketika peneliti telah mendalami masalah penelitian serta menetapkan anggapan dasar dan membuat teori yang bersifat sementara dan perlu diuji kebenarannya. Berdasarkan kajian teori yang tersebut diatas, peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut perbedaan “Pola asuh orang tua mempunyai pengaruh terhadap siswa MTs Taqwal Ilah Meteseh Kec. Tembalang”, dengan kata lain perbedaan pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anaknya akan berbeda pula akhlak anak tersebut.