TINGKAT RESPON KOMUNITAS TERHADAP KONVERSI LAHAN MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI DESA BUNGKU JAMBI
VICI NOVIA KRISTINI MUHAM
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit di Desa Bungku Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Vici Novia Kristini Muham NIM I34090014
ABSTRAK VICI NOVIA KRISTINI MUHAM. Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di Desa Bungku Jambi. Dibimbing oleh RINA MARDIANA Komoditas kelapa sawit yang semakin populer saat ini mendorong komunitas di Desa Bungku mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit. Komunitas ini terdiri dari komunitas pendatang, adat, dan lokal. Adanya perbedaan komunitas menghasilkan respon yang berbeda-beda terhadap aktivitas konversi lahan menjadi kelapa sawit di Desa Bungku. Oleh sebab itu dilakukan kajian mengenai tingkat respon komunitas terhadap tingkat konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku dengan melihat pada kondisi awal lahan dan luas lahan yang dikonversi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat respon komunitas pendatang, adat, dan lokal yang tinggi berhubungan dengan kondisi awal lahan berbentuk hutan serta tidak berhubungan dengan luas lahan yang dikonversi. Kata kunci: Konversi lahan, kelapa sawit, tingkat respon, komunitas
ABSTRACT VICI NOVIA KRISTINI MUHAM. Community Response Rate of Land Conversion To Oil Palm Plantations in Bungku, Jambi. Supervised by RINA MARDIANA Palm oil commodities that are increasingly popular nowadays encouraged community in the village of Bungku convert their land into oil palm. This community is made up of immigrant communities, indigenous people, and local communities. The difference of the community produce different responses to the activity of land conversion to oil palm in Bungku Village. Therefore this research carried out a study on the level of community response to the rate of land conversion to oil palm plantations in the village Bungku by looking at the initial condition of the land and the land converted. This research was conducted using questionnaires and in-depth interviews. The results of this study showed that the response rate of immigrant communities, indigenous, and local are related with the initial conditions in the form of forest land and not related with the land area converted. Keywords: Land conversion, oil palm plantation, response rate, community.
TINGKAT RESPON KOMUNITAS TERHADAP KONVERSI LAHAN MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI DESA BUNGKU JAMBI
VICI NOVIA KRISTINI MUHAM
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul Skripsi : Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di Desa Bungku Jambi Nama : Vici Novia Kristini Muham NIM : I34090014
Disetujui oleh
Rina Mardiana, SP, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertanNYA sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah konversi lahan, dengan judul Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di Desa Bungku Jambi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Rina Mardiana, SP, MSi selaku dosen pembimbing yang telah sabar dan banyak memberikan saran, masukan serta arahan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Sukiwa selaku tokoh desa, Bapak Yul Nasri selaku kepala desa, Bapak Suparno selaku sekretaris desa, dan Mas Taufik yang menemani penulis dalam mencari dan pengumpulan data. Terima kasih juga disampaikan kepada ayah, Abdy Muham, ibu, Marhaini Kaban, abang, Eprim Muham dan Mikael Muham, serta saudara kembar, Vini Muham, atas doa, kasih sayang, dan dukungannya selama ini. Tak lupa kepada Melisa Anjani dan Emma Hijriati, teman satu bimbingan dan seperjuangan, Vera, Tesa, Meilani, Anindya, Yusi, Rachma, Wewe, Bagas, Echy, Nikko sahabat yang selalu membantu, Bonita, Melisa, Sondang, Yanti, Mona, dan Encha dan juga teman-teman SKPM lainnya serta pihak-pihak yang mendukung, memotivasi, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013 Vici Novia Kristini Muham
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
3
Tujuan Penelitian
3
Kegunaan Penelitian
3
PENDEKATAN TEORETIS Tinjauan Pustaka
4 4
Lahan dan Penggunaan Lahan (Land Use)
4
Pola Penguasaan Lahan dan Struktur Agraria
4
Definisi, Faktor Penyebab dan Tipe Konversi Lahan
6
Definisi dan Proses Timbulnya Respon
7
Tipe Komunitas Masyarakat
8
Perkembangan Kelapa Sawit di Jambi
9
Kerangka Pemikiran
10
Hipotesis Penelitian
11
Definisi Operasional
11
METODE PENELITIAN
13
Lokasi dan Waktu Penelitian
13
Jenis dan Sumber Data
13
Teknik Penentuan Responden
13
Pengumpulan Data
14
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
14
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
16
Kondisi Desa Bungku
16
Karakteristik Komunitas
17
POLA PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN LAHAN Tahun Lahan Diperoleh
26 26
Sumber Perolehan Lahan
27
Cara Perolehan Lahan
28
Bukti Legalitas Lahan dan Nama yang Tecantum
29
Penggarap Lahan
31
TINGKAT KONVERSI LAHAN MENJADI KELAPA SAWIT DI DESA BUNGKU
33
Kondisi Awal Lahan
33
Luas Lahan yang Dikonversi Menjadi Kelapa Sawit
34
Ikhtisar
35
FAKTOR PENDORONG DAN PENARIK KONVERSI LAHAN MENJADI KELAPA SAWIT 37 Faktor Pendorong Meninggalkan Komoditas Lama
37
Faktor Pendorong Meninggalkan Hutan
37
Faktor Pendorong Meninggalkan Bekas Hutan
39
Faktor Pendorong Meninggalkan Kebun Karet
40
Faktor Penarik Tanaman Kelapa Sawit
41
Ikhtisar
43
TINGKAT RESPON KOMUNITAS TERHADAP KONVERSI LAHAN MENJADI KELAPA SAWIT
45
Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit Berdasarkan Kondisi Awal Lahan 45 Komunitas Pendatang
45
Komunitas Adat
46
Komunitas Lokal
47
Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit Berdasarkan Luas Lahan yang Dikonversi Menjadi Kelapa Sawit 48 Komunitas Pendatang
48
Komunitas Adat
49
Komunitas Lokal
50
Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit dan Faktor Penarik Tanaman Kelapa Sawit 51 Komunitas Pendatang
51
Komunitas Adat
52
Komunitas Lokal Ikhtisar SIMPULAN DAN SARAN
53 54 55
Simpulan
55
Saran
56
DAFTAR PUSTAKA
58
LAMPIRAN
60
RIWAYAT HIDUP
87
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Tipe-tipe cara produksi yang eksis dalam masyarakat Tipologi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan Luas areal kelapa sawit di Jambi tahun 2005-2012 Hubungan antara tingkat respon komunitas dengan kondisi awal lahan, luas lahan yang dikonversi, dan faktor penarik kelapa sawit
5 8 9 50
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kerangka pemikiran Persentase suku responden Persentase jenis kelamin responden Persentase usia responden Persentase agama responden Persentase status perkawinan responden Persentase pendidikan terakhir responden Persentase pekerjaan utama responden Persentase pekerjaan sampingan responden Jumlah dan persentase tahun perolehan lahan berdasarkan komunitas Jumlah dan persentase sumber perolehan lahan berdasarkan komunitas Jumlah dan persentase cara perolehan lahan berdasarkan komunitas Jumlah dan persentase bukti legalitas lahan berdasarkan komunitas Jumlah dan persentase nama yang tercantum pada bukti legalitas lahan berdasarkan komunitas Jumlah dan persentase penggarap lahan berdasarkan komunitas Jumlah dan persentase kondisi awal lahan sebelum dikonversi menjadi kelapa sawit berdasarkan komunitas Jumlah dan persentase luas lahan yang dikonversi berdasarkan komunitas Jumlah dan persentase faktor penarik tanaman kelapa sawit berdasarkan komunitas Hubungan antara respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit berdasarkan kondisi awal lahan Hubungan antara respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit berdasarkan kondisi awal lahan Hubungan antara respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit berdasarkan kondisi awal lahan Hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi
10 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 30 31 32 33 35 42 45 46 47
48
23 Hubungan antara tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi 24 Hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi 25 Hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit 26 Hubungan antara tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit 27 Hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit
49 50
51
52
53
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Kerangka sampling penelitian Peta lokasi penelitian Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi Hasil pengolahan data menggunakan Chi Square Tabel hasil pengolahan data Dokumentasi
57 59 60 77 85
PENDAHULUAN Latar Belakang Dinamika ekonomi domestik dan global mengharuskan Indonesia senantiasa siap mengalami perubahan. Tantangan ini dijawab oleh pemerintah Indonesia dengan diluncurkannya kebijakan penyusunan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk memberikan arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga tahun 2025. Fokus dari pengembangan MP3EI terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, salah satunya adalah kelapa sawit. Kalimantan dan Sumatera merupakan koridor ekonomi dalam kebijakan MP3EI yang kegiatan ekonomi utamanya adalah kelapa sawit. Hasil perkebunan di Kalimantan didominasi oleh produksi kelapa sawit dengan kontribusi mencapai 80 persen, jauh lebih besar dibandingkan hasil produksi perkebunan karet dan kelapa. Di Sumatera, kegiatan ekonomi utama kelapa sawit juga memberikan kontribusi ekonomi yang besar yakni mencapai 70 persen (MP3EI 2011). Menurut BPS (2008) diketahui bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 53 persen dari total luas areal perkebunan di Kalimantan. Total luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera (sekitar 5 juta ha) lebih besar daripada luas areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan (sekitar 2 juta ha). Jika ditinjau dari tingkat perkembangan areal perkebunan kelapa sawit, Kalimantan (sekitar 13 persen per tahun) memiliki pertumbuhan lebih pesat dibandingkan perkembangan areal kelapa sawit di Sumatera (sekitar 5 persen per tahun). Rencana investasi industri kelapa sawit yang akan dilakukan di Kalimantan dan Sumatera pada periode 2011—2015 berupa proyek-proyek pengembangan dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Indonesia adalah produsen dan pengekspor terbesar kelapa sawit di pasar dunia terutama Eropa. Hampir 75 persen produksi kelapa sawit Indonesia diekspor ke pasar dunia. Tingginya permintaan dunia akan kelapa sawit adalah salah satu hal penting yang memicu pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia. Hal ini ditunjang dengan ketersediaan lahan dan jumlah tenaga kerja yang tersedia untuk sektor ini. Produksi kelapa sawit Indonesia terutama berada di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan. Produksi kelapa sawit di pulau Sumatera hampir menguasai 80 persen dari total produksi kelapa sawit Indonesia. Provinsi utama penghasil kelapa sawit di pulau Sumatera adalah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Barat. Pada 2008, hampir 49 persen dari wilayah penanaman kelapa sawit Indonesia dikuasai oleh swasta, 41 persen area penanaman kelapa sawit dikuasai oleh masyarakat kecil, dan sisanya dikuasai oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kelapa sawit berpotensi sebagai pencipta lapangan kerja bagi masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan (Abdullah 2011). Provinsi Jambi adalah salah satu produsen kelapa sawit di pulau Sumatera yang mempunyai kontribusi sebesar hampir 10 persen terhadap total kelapa sawit di Indonesia (WALHI 2012). Perluasan perkebunan kelapa sawit di Jambi dilakukan sejalan dengan program transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah Indonesia sejak tahun 1990. Hal ini jugalah yang menyebabkan adanya perubahan
2 tata guna lahan di Jambi dari yang semula hutan kini menjadi perkebunan kelapa sawit. Peranan subsektor perkebunan sawit terhadap pendapatan di daerah dalam perekonomian daerah cukup besar. Dengan luas lahan perkebunan kedua terluas di Jambi setelah perkebunan karet, kelapa sawit memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian Jambi. Di Sumatera, lahan kelapa sawit Jambi merupakan keempat terluas setelah Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Pada 2009, produksi kelapa sawit Jambi merupakan produksi terbesar terhadap total produksi sektor pertanian dan perkebunan di Jambi, yaitu sebesar 1,3 juta ton. Pertumbuhan produksi kelapa sawit ini ditunjang oleh perubahan lahan yang tersedia di Jambi yang diubah ke kelapa sawit baik yang berasal dari lahan kehutanan maupun lahan lain yang digunakan oleh sektor lainnya yang diubah ke kelapa sawit (Abdullah 2011). Selain hutan, pengembangan perkebunan kelapa sawit juga dilakukan dengan melakukan konversi lahan perkebunan karet dan lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit. Perubahan komoditas karet menjadi kelapa sawit terjadi karena produktifitas karet yang sudah menurun dan harga kelapa sawit yang lebih tinggi dibandingkan karet. Pada kasus konversi lahan pertanian menjadi kelapa sawit, belum maksimalnya kerja peraturan perundang-undangan yang ada dan fungsi kontrol pemerintah dalam melindungi lahan pertanian tanaman pangan menjadi peluang yang coba dimanfaatkan masyarakat untuk angan-angan kesejahteraan dengan merubah fungsi lahan sawah produktif yang sudah lama diusahakan. Alih fungsi lahan itu diperhebat oleh minimnya dukungan pemerintah terhadap pembangunan dan pembenahan infrastruktur pertanian. Sarana produksi untuk bibit dan pupuk, misalnya, tidak dilindungi dari permainan spekulan sehingga animo petani bertanam tanaman pertanian merosot dan berubah pikiran untuk beralih ke usaha kelapa sawit (Hamdan 2011). Sebagai contoh yang terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang berada dipesisir, hampir 70 persen sawah tadah hujan dan sawah ladang kini telah berganti ke kebun sawit. Akibat semakin menyempitnya lahan pertanian pangan di provinsi Jambi tentu menjadi tantangan dimana akan terjadi kerawanan pangan di provinsi Jambi (Hamdan 2011). Sektor kelapa sawit memang telah menghasilkan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Selain meningkatkan pemasukan devisa suatu daerah, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan dan ketersediaan pangan di Indonesia. Hal ini terjadi karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi. Selain hutan, kegiatan konversi juga dilakukan pada lahan karet dan lahan pertanian. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk melihat tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Jambi.
3 Masalah Penelitian Konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit terjadi karena adanya faktor pendorong dan penarik serta respon komunitas yang berbeda. Untuk itu perlu dikaji: 1. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya lahan di Desa Bungku, sebelum di konversi menjadi perkebunan kelapa sawit? 2. Bagaimana tingkat konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku? 3. Apa saja faktor-faktor pendorong terjadinya konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku? 4. Apa saja faktor-faktor penarik terjadinya konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku? 5. Bagaimana respon komunitas terhadap tingkat konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Menjelaskan pemanfaatan sumberdaya lahan di Desa Bungku sebelum di konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. 2. Menjelaskan tingkat konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku. 3. Mengetahui faktor-faktor pendorong terjadinya konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku. 4. Mengetahui faktor-faktor penarik terjadinya konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku. 5. Mengetahui respon komunitas terhadap tingkat konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku.
Kegunaan Penelitian 1.
2.
3. 4.
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan (pemerintah) dalam perencanaan, mengambil keputusan dan membuat kebijakan terkait konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Bagi swasta, sarana evaluasi bagi perusahaan swasta yang ingin melakukan konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Bagi masyarakat, dapat memberikan pemahaman serta informasi terkait konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
4
PENDEKATAN TEORETIS Tinjauan Pustaka Lahan dan Penggunaan Lahan (Land Use) Lahan mengandung makna lingkungan fisik yang mencakup relief, iklim, tanah, air, udara, dan juga vegetasi. Lahan dapat disimpulkan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi dan mencakup semua komponen yang berada diatas dan di bawah wilayah tersebut. Lahan sesuai dengan UUPA 1960 (pasal 1 ayat 2,4,5,6) merupakan bagian dari tanah yang merupakan objek agraria, sehingga lahan memiliki keterikatan dengan tanah sebagaimana dengan definisinya bahwa lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya sudah ada pemiliknya, baik perorangan atau lembaga, juga merupakan modal utama dalam kegiatan pertanian. Menurut Putri (2008), lahan memiliki komponen yang dipandang sebagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sebagai suatu modal utama, lahan memiliki dua fungsi dasar yaitu: (1) fungsi kegiatan sosial, dimana sebuah kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sosial seperti pemukiman, baik perkotaan dan pedesaan, dan (2) fungsi lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan untuk menjadi kawasan lindung dan menjaga kelestarian lingkungan hidup yang ada, mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, juga segala nilai sejarah negara yang bermanfaat dalam pelestarian budaya. Jayadinata (1999) menggolongkan lahan berdasarkan nilainya ke dalam tiga kelompok yaitu: (1) Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas; (2) Nilai keuntungan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat dan; (3) Nilai sosial, yang merupakan hal dasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya Menurut Putri (2008), segala bentuk intervensi manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dapat di katakan land use atau penggunaan lahan/tata guna lahan. Tata guna lahan meliputi dua unsur, yaitu : tanah sebagai sumber daya alam dan tata guna yang berarti penataan/pengaturan penggunaan. Kemudian dalam hubungannya dengan tata guna lahan, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (1) kualitas fisik lahan, (2) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (3) interaksi diantara keduanya. Pola Penguasaan Lahan dan Struktur Agraria Tata guna lahan merupakan suatu bentuk kesatuan dari penataan, pengaturan lahan oleh pemilik, penguasaan dan pengusahaan atas lahan. Kata pemilikan menunjuk kepada penguasaan secara formal, sedangkan penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif dengan tujuan mengusahakan lahan secara efektif. Hubungan antara pemilikan dan penguasaan atas lahan dapat dikatakan sebagai suatu konsep agraria, dimana lahan seperti telah diterangkan sebelumnya merupakan bagian dari objek agraria, sedangkan subjek agraria merupakan pihak
5 yang memiliki dan menguasai objek agaria (Putri 2008). Menurut Sitorus (2002) dalam Sihaloho et al. (2010), subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu komunitas, sebagai kesatuan dari unit-unit rumahtangga yang mencakup unsur-unsur individu, keluarga dan kelompok, pemerintah sebagai representatif negara yang mencakup pemerintahan daerah, pemerintah desa, dan juga Badan Usaha Milik Negara serta swasta (private sector) mulai dari perusahaan kecil hingga perusahaan besar. Hubungan antara subjek agraria dengan objek agraria dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1. Hubungan Teknis Agraris, yang menunjukan cara kerja subjek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan objek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. 2. Hubungan Sosial Agraris, menunjukan hubungan antara ketiga subjek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan objek agraria. Dengan kata lain hubungan ini berpangkal kepada pada perbedaanperbedaan akses (penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan) terhadap objek agraria. Hubungan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tersebut akhirnya disebut dengan istilah struktur agraria. Struktur agraria digambarkan dalam bentuk segitiga yang saling berhubungan antara subjek agraria dan objek agraria. Hubungan ini dapat menimbulkan suatu interaksi sosial, baik itu kerjasama ataupun konflik. Hubungan kerjasama dapat timbul apabila antara subjek agraria mempunyai kesepakatan dan kepentingan yang sama dalam hal pemanfaatan objek agraria. Konflik dapat timbul apabila ada perbedaan artikulasi diantara subjek agraria dalam pemanfaatan objek agraria. Konflik inilah yang akhirnya menimbulkan masalah agraria. Masalah agraria dan penguasaannya merupakan masalah yang kompleks karena ia menyangkut konstelasi hubungan-hubungan agraria. Menurut Jacoby (1971) dalam Sihaloho et al. (2010), pola-pola hubungan atau interaksi sosial agraria yang terdapat dalam suatu masyarakat sangat ditentukan oleh formasi sosial yang ada. Perbedaan pola hubungan agraria yang berlaku dalam masyarakat sangat ditentukan oleh perbedaan cara produksi yang eksis dan tipe cara produksi yang dominan. Tabel 1 akan menjelaskan tipe-tipe cara produksi yang mungkin eksis dalam suatu masyarakat dengan salah satu diantaranya tampil dominan. Tabel 1 Tipe-tipe cara produksi yang eksis dalam masyarakat
1
Tipe cara produksi Kapitalisme
2
Sosialisme
3 4
Populisme/NeoPopulisme Naturalisme
5
Feodalisme
No
Definisi sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan) sumber agraria dikuasai oleh negara atau nama kelompok atau keluarga pekerja sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumahtangga pengguna. sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal, misalnya komunitas adat secara kolektif sumber agraria dikuasai oleh minoritas “tuan tanah“ yang biasanya juga merupakan “patron politik“.
6 Perlu ditekankan bahwa kelima tipe struktur agraria ini tidak mungkin ditemukan secara mutual eksklusif dalam suatu masyarakat. Hal yang memungkinkan adalah dua atau lebih tipe struktur agraria sama-sama berada dalam suatu masyarakat, tetapi dengan dominasi salah satu tipe atas tipe lainnya (Jacoby 1971 dalam Sihaloho et al. 2010). Definisi, Faktor Penyebab dan Tipe Konversi Lahan Istilah konversi lahan memiliki pengertian yang berbeda-beda. Menurut Iqbal dan Soemaryanto (2007), istilah alih fungsi (konversi) lahan merupakan perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non pertanian. Konversi lahan merupakan suatu proses perubahan penggunaan lahan oleh manusia dari penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara dan permanen (Maftuchah dalam Lestari 2011). Menurut Ruswandi (2005), konversi lahan adalah berubahnya suatu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan tataguna tanah menjadi salah satu penyebab terjadinya konversi lahan, faktor-faktor lain yang juga menjadi penyebab berlangsungnya kegiatan konversi lahan yaitu aksesbilitas lahan, lahan sebagai aset, persaingan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian serta penurunan produktivitas pertanian. Kegiatan konversi lahan memiliki beragam pola tertentu tergantung pada kebutuhan dari usaha konversi lahan itu sendiri. Sumaryanto et al. (2001) memaparkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, menurut pelaku konversi, yang dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada tiga yaitu: (a) Untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal (b) Dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha (c) Kombinasi dari (a) dan (b) seperti misalnya untuk membangun rumah tinggal yang sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola konversi seperti ini terjadi di sembarang tempat, kecil-kecil dan tersebar. 2. Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi dan umumnya berkolerasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Kedua, pola konversi lahan yang ditinjau menurut prosesnya. Menurut prosesnya kegiatan konversi lahan sawah dapat pula terjadi secara gradual dan seketika. Secara gradual, alih fungsi lazimnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani padi di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena kurang menguntungkan. Sedangkan secara seketika (instant), alih fungsi yang umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri. Menurut Sihaloho (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1. Faktor pada aras makro: meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi ekonomi.
7 2. Faktor pada aras mikro: meliputi pola nafkah rumahtangga (struktur ekonomi rumahtangga), kesejahteraan rumahtangga (orientasi nilai ekonomi rumahtangga), strategi bertahan hidup rumahtangga (tindakan ekonomi rumahtangga). Berdasarkan faktor pokok konversi, pelaku, pemanfaat dan prosesnya, Sihaloho (2004) membedakan konversi lahan menjadi tujuh pola atau tipologi berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kelurahan Mulyaharja. Ketujuh pola tersebut antara lain: 1. Konversi gradual-berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi. 2. Konversi sistematik berpola “enclave”; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah. 3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. 4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan. 5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung. 6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian. 7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk/pola; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konversi lahan adalah berubahnya pengunaan lahan dari penggunaan semula, misalnya dari lahan pertanian dikonversikan menjadi permukiman, dari hutan dikonversikan menjadi lahan pertanian, perkebunan atau yang lainnya. Definisi dan Proses Timbulnya Respon Respon menurut terminologi adalah suatu tanggapan atas reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap rangsangan atau stimulus yang yang dihadapinya (Mar’at 1982 dalam Hamzah 2008). Menurut Berlo (1960) dalam Murtiyeni (2002), respon adalah suatu reaksi organisme individu terhadap suatu stimulus, atau tingkah laku yang ditimbulkan oleh rangsangan atau stimulus. Stimulus yang dimaksud dalam hal ini adalah segala sesuatu yang dapat diterima oleh seseorang melalui salah satu inderanya. Respon menurut Hornby (1985) dalam Agusta dinyatakan sebagai jawaban atau reaksi terhadap sesuatu. Suatu perkembangan atau perubahan akan menjadi stimulus timbulnya respon pihakpihak yang terlibat dalam perubahan itu. Menurut teori stimulus respon Hosland, Janis, dan Kelly (2008) dalam Adi (1982), proses timbulnya respon didahului oleh tiga hal yaitu perhatian,
8 pengertian, dan penerimaan individu terhadap stimulus yang ada. Stimulus yang diberikan pada individu kemungkinan dapat diterima (diberi tanggapan) atau dapat pula tidak mendapat tanggapan. Bila tidak mendapat tanggapan, berarti stimulus tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu terhadap stimulus tersebut. Jika stimulus mendapat tanggapan (diterima) oleh individu berarti adanya komunikasi dan adanya perhatian dari individu. Kemudian tahap berikutnya, individu akan mengartikan stimulus yang diterima, serta dilanjutkan dengan penerimaan stimulus oleh individu yang bersangkutan. Dengan demikian, respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada stimulus yang kuat dan berarti. Tipe Komunitas Masyarakat Tipe komunitas masyarakat yang akan dibahas disini adalah tipe komunitas yang tinggal di dalam dan disekitar hutan. Tipe masyarakat ini terdiri atas masyarakat adat, lokal, dan pendatang (migran). Tabel dibawah ini merupakan perbedaan masing masing tipe masyarakat adat, lokal, dan pendatang. Tabel 2 Tipologi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan Masyarakat adat
Masyarakat lokal Karakteristik Tinggal di sekitar Tinggal di hutan selama sekitar hutan beberapa generasi selama beberapa Hukum adat generasi masih berlaku Tidak memiliki Berpedoman pada hukum adat kearifan lokal dalam mengelola Pada umumnya hutan menerapkan praktek tradisional dan modern Peraturan Daerah Belum diatur Status (kabupaten) dalam Peraturan mengakui Daerah keberadaannya Hak yang diakui Mengelola dan Memiliki akses negara memanfaatkan terhadap sumber daya sumber daya hutan hutan Terlibat dalam Terlibat dalam proses proses perencanaan perencanaan
Pendatang/Migran Tidak tinggal di sekitar hutan Tidak memiliki hukum adat Biasanya menerapkan praktek modern
Perambah
Tidak memiliki hak untuk menggunakan sumber daya hutan
Sumber: Direktorat jenderal produksi hutan 2007 dalam Mulyoutami E, dkk (2010)
Masyarakat Jambi terdiri dari tiga komunitas yaitu; (1) komunitas adat atau yang biasa dikenal dengan Suku Anak Dalam. Salah satu komunitas adat adalah Suku Anak Dalam Batin Sembilan (selanjutnya disebut Batin Sembilan saja). Komunitas adat biasanya tinggal di wilayah pedalaman dan di pinggir-pinggir
9 sungai dimana mereka memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari; (2) komunitas lokal adalah masyarakat yang terdiri dari suku Melayu Jambi, Kerinci, dan Semendo. Sejak zaman era kolonial Belanda, masyarakat Jambi telah bersifat heterogen dengan berbagai macam suku didalamnya (Scholten 2008) dan; (3) komunitas pendatang yaitu masyarakat yang datang dari luar daerah Jambi dan tinggal menetap di Jambi seperti suku Jawa dan Batak. Perkembangan Kelapa Sawit di Jambi Kelapa sawit merupakan produk unggulan dari Provinsi Jambi. Perkebunan kelapa sawit merupakan areal perkebunan kedua terluas setelah perkebunan karet di provinsi Jambi dengan luas lahan 574,514 ha dan penghasil produksi pertanian terbesar yaitu 1.297.620 ton. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi diperkirakan dimulai pada tahun 60an. Pengusahaan perkebunan kelapa sawit mulai diusahakan oleh PTPN tahun 1993/1994 dengan sistem Pola Inti Rakyat (PIR) di Kecamatan Sungai Bahar, Bunut, Sungai Merkanding, dan Tanjung Lebar. Kelapa sawit menjadi komoditas yang membutuhkan mobilisasi tenaga kerja dan petani, hingga kemudian program sawitisasi di Indonesia di masukan kedalam program pengentasan kemiskinan dan program pemerataan pembangunan yang diusung oleh Orde Baru. Program sawitisasi yang ada di Jambi dimulai pada tahun 2000. Masuknya proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit mengikuti perkembangan transmigrasi. Perkembangan sawit di Jambi semakin meluas menyusul diberlakukannya program Pemerintah Derah Provinsi Jambi yaitu “Pengembangan Kelapa Sawit Sejuta Hektar”. Perluasan kelapa sawit di Jambi juga didukung dengan adanya program pemerintah yaitu Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk memberikan arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga tahun 2025 dengan fokus komoditas kelapa sawit di daerah Sumatera, salah satunya adalah Jambi. Di bawah ini merupakan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Jambi tahun 2005 hingga tahun 2012. Tabel 3 Luas areal kelapa sawit di Jambi tahun 2005-2012 Tahun
Luas (ha)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
403.4771 568.7511 448.8991 484.1372 489.3842 490.9112 521.7593 515.3003
Sumber : 1) Buku Analisis Pengembangan Kelapa Sawit di Jambi 2) Direktorat Jendral Perkebunan (diolah) 3) WALHI Jambi tahun 2012
10 Kerangka Pemikiran Pada penelitian ini kasus konversi lahan yang akan diteliti adalah kasus konversi lahan menjadi tanaman kelapa sawit. Tingkat konversi lahan menjadi kelapa sawit dilihat dari kondisi awal lahan yaitu hutan, bekas hutan, atau kebun karet dan luas lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit dengan ukuran luas dan sempit. Pada dasarnya, keputusan seseorang untuk mengkonversi lahan terjadi dikarenakan adanya faktor pendorong dan penarik. Untuk itu, penelitian ini melihat bagaimana faktor pendorong responden meninggalkan kondisi awal lahan mereka serta faktor penarik kelapa sawit yang membuat responden mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit. Penelitian ini juga ingin melihat hubungan antara tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit serta tingkat respon komunitas dengan faktor penarik konversi lahan. Faktor Pendorong Konversi Lahan: Hutan Bekas Hutan Kebun Karet
Tingkat Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit : Kondisi Awal Lahan Luas Lahan
Faktor Penarik Lahan: Tinggi Rendah
Konversi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan:
= Uji Kuantitatif = Data kualitatif
Tingkat Respon Komunitas Terhadap Konversi Lahan:
Tinggi Rendah
11 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Diduga terdapat hubungan antara tingkat respon komunitas dan tingkat konversi lahan menjadi kelapa sawit 2. Diduga terdapat hubungan antara tingkat respon komunitas dan faktor penarik konversi lahan menjadi kelapa sawit Definisi Operasional Defenisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Komunitas adat adalah komunitas masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar hutan selama beberapa generasi dimana masyarakatnya mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai tempat untuk tinggal dan mencari makan serta masih menerapkan hukum adat dan hidup berpindahpindah. Masyarakat ini berasal dari suku Batin Sembilan. 2. Komunitas lokal adalah komunitas masyarakat yang berasal dari luar Desa Bungku namun masih berasal dari daerah Jambi yang datang dan tinggal di Desa Bungku dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk kebutuhan hidup. Masyarakat ini berasal dari suku Melayu Jambi, Kerinci dan Semendo. 3. Komunitas pendatang adalah komunitas masyarakat luar Jambi yang datang dari suatu daerah tertentu dengan suku yang berbeda-beda dan tinggal menetap di Desa Bungku dan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Masyarakat ini berasal dari suku Jawa dan Batak. 4. Kondisi awal lahan adalah bagaimana kondisi awal lahan sebelumnya yang dilihat dari hutan, bekas hutan, kebun karet, dan sawah, hingga akhirnya menjadi kelapa sawit. 5. Luas lahan adalah seberapa luas ukuran lahan yang dimiliki rumah tangga yang dikonversi untuk dijadikan lahan tanaman kelapa sawit. Pengukuran didasarkan pada rata-rata luas lahan yang dikonversi oleh rumahtangga dengan skor terendah pada luas lahan yang dikonversi dengan ukuran paling kecil. Luas lahan diukur dengan menggunakan skala nominal dengan kategori sebagai berikut: a. Lahan sempit : mean-standar deviasi, skor 1; 7.165 ha b. Lahan luas : mean+standar deviasi, skor 2; 7.165 ha 6. Tingkat respon komunitas adalah tindakan pengamatan hingga menghasilkan suatu kesan dan kecepatan mengambil tindakan untuk melakukan konversi lahan. Tingkat respon ini diukur dengan menggunakan sembilan pertanyaan pada kuesioner dengan skala nominal “Ya” dengan skor 2 dan “Tidak” dengan skor 1. Tingkat respon komunitas dikategorikan menjadi tinggi dan rendah dengan indeks sebagai berikut: a. Rendah : jika skor total pertanyaan berjumlah 9-13 b. Tinggi : jika skor total pertanyaan berjumlah 14-18 7. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang membuat masyarakat meninggalkan komoditas lama mereka dan menggantinya menjadi tanaman kelapa sawit.
12 8. Faktor penarik adalah faktor-faktor yang menarik responden sehingga mau mengkonversi lahannya menjadi kelapa sawit. faktor ini diukur dengan menggunakan sepuluh pertanyaan pada kuesioner dengan skala nominal “Ya” skor 2 dan “Tidak” skor 1. Faktor penarik konversi lahan dikategorikan menjadi tinggi dan rendah dengan indeks sebagai berikut: a. Rendah : jika skor total pertanyaan berjumlah 10-15 b. Tinggi : jika skor total pertanyaan berjumlah 16-20
13
METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokoknya (Singarimbun dan Effendi 1989). Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendukung penelitian kuantitatif, yang dilakukan melalui observasi, studi literatur, dan wawancara mendalam. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat respon komunitas serta faktor penarik terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit. Metode kualitatif digunakan untuk mendukung penelitian kuantitatif, yaitu mengetahui faktor pendorong melakukan konversi lahan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi (Lampiran 2). Pemilihan Lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Desa Bungku merupakan salah satu daerah di Jambi yang melakukan konversi lahan dari hutan, lahan karet atau sawah menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, Desa Bungku juga terdiri dari beberapa komunitas masyarakat yaitu etnis pendatang, adat, dan lokal. Penelitian dilakukan selama 3 minggu pada bulan April 2013. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil kuesioner, wawancara, dan pengamatan. Data sekunder sebagai data pendukung yang diperoleh melalui studi literatur berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian seperti buku, internet, dokumen pemerintah desa, skripsi, dan tesis. Teknik Penentuan Responden Unit analisis penelitian ini adalah rumahtangga. Terdapat dua subjek penelitian yang terdiri dari informan dan responden. Informan dipilih dengan menggunakan teknik purposive yaitu memilih orang-orang yang dianggap lebih tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data dan mengetahui masalahnya secara mendalam. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive berdasarkan heterogenitas komunitas yang ada di Desa Bungku karena tidak semua rumahtangga di Desa Bungku melakukan konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan suku yang sesuai tujuan penelitian. Responden dipilih secara purposive sebanyak 55 responden (Lampiran 1). Keseluruhan responden berasal dari tiga komunitas berbeda dengan jumlah masing-masing 20 responden komunitas pendatang (2 orang suku Batak dan 18 orang suku Jawa), 20 responden komunitas adat (Batin Sembilan), serta 15 responden komunitas lokal (5 orang suku Melayu Jambi, 4 orang suku Kerinci, dan 6 orang suku Semendo). Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Hal ini dikarenakan rumahtangga merupakan unit terkecil dari masyarakat dalam hal pengambilan
14 keputusan keluarga. Pengambilan responden dilakukan di tiga dari lima dusun yang ada di Desa Bungku yaitu Dusun Bungku Indah, Dusun Johor Baru 1, serta Dusun Johor Baru 2. Pengambilan responden tidak dilakukan pada kelima dusun yang ada di Desa Bungku karena responden dengan komunitas pendatang, komunitas adat, dan komunitas lokal sudah cukup terwakili di tiga dusun yang disebutkan diatas. Responden diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah disusun. Informan juga dipilih secara purposive. Informan dalam penelitian ini adalah aparat desa seperti Kepala Desa Bungku, Sekretaris Desa Bungku, kepala dusun, dan ketua RT serta tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui sejarah serta perkembangan konversi lahan menjadi kelapa sawit di Desa Bungku. Informan tersebut juga diperlukan dalam penentuan responden sesuai dengan karateristik yang telah disebutkan sebelumnya. Pengumpulan Data Pengumpulan data kuantitatif dilakukan melalui wawancara mendalam dengan panduan pertanyaan kepada responden yang melakukan konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan komunitas pendatang, komunitas adat, dan komunitas lokal. Sementara untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui observasi serta wawancara mendalam dengan informan yang dipilih. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari kuesioner, wawancara, serta observasi langsung. Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur, meliputi: profil desa, studi literatur berupa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kebijakan, program, serta kegiatan konversi lahan, makalah ilmiah, tesis, skripsi, internet, serta data lain yang dibutuhkan terkait penelitian ini Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan uji statistik. Analisis deskriptif merupakan analisis yang digunakan untuk mengungkapkan keadaan atau karakteristik data sampel masing-masing variabel penelitian. Analisis ini menggunakan teknik-teknik statistik deskriptif yang meliputi tabel frekuensi dan grafik. Data yang telah dikumpulkan dengan kuesioner diolah secara kuantitatif. Langkah dalam pengolahan data meliputi : 1. Pengkodean data 2. Pemindahan data ke penyimpanan data (perangkat lunak yang digunakan adalah microsoft excel 2007) 3. Mengubah data dari microsoft excel 2007 ke SPSS 16 for Windows untuk memudahkan pengolahan data 4. Perapihan data 5. Pengolahan data sesuai rencana analisis Langkah pertama yang dilakukan adalah editing kuesioner. Hal ini bertujuan untuk memperoleh data yang lengkap, teliti, dan melihat kelogisan jawaban responden. Setelah data terkumpul lengkap dan benar maka dilakukan pengkodean. Pengkodean bertujuan untuk memudahkan penyimpanan data di microsoft excel 2007. Data yang ada dalam microsoft excel 2007 kemudian dibuat
15 menjadi tabel frekuensi (Lampiran 4) untuk menghitung jumlah responden dengan kategori tertentu. Data yang ada kemudian dianalisis statistik menggunakan program SPSS 16 for Windows. Analisis yang digunakan yaitu Cross-tabs untuk melihat hubungan antara dua variabel, yaitu hubungan antara respon komunitas dengan tingkat konversi lahan menjadi kelapa sawit, serta melihat hubungan antara faktor penarik dengan tingkat konversi lahan menjadi kelapa sawit. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memberikan penguatan dari data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan. Gabungan data tersebut diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, grafik, tabel, kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.
16
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Kondisi Desa Bungku Pada bab ini diuraikan mengenai kondisi Desa Bungku yang ditinjau berdasarkan kondisi demografi Desa Bungku, kondisi sosial dan ekonomi, dan kondisi sarana dan prasarana Desa Bungku. Kondisi Demografi Secara administratif, Desa Bungku terletak di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Secara goegrafis pusat desa terletak pada posisi 01 54' 32", 5 dan 103 15' 37", 6 dengan topografi relatif datar sedikit bergelombang. Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Sebelah utara Sebelah Selatan Sebelah Barat Sebelah Timur
: : : :
Desa Pompa Air Desa Meranti Baru Desa Jebak Desa Unit 5 Sungai Bahar
Desa Bungku merupakan wilayah berstatus perdesaan yang letaknya berada di tepi/sekitar kawasan hutan berjenis fungsi hutan produksi. Lokasi desa berada di hamparan dengan kemiringan lahan sedang (15-25 derajat). Desa Bungku memiliki lima dusun, yaitu Dusun Bungku Indah, Dusun Johor Baru 1, Dusun Johor Baru 2, Dusun Kunangan Jaya 1, dan Dusun Kunangan Jaya 2. Pola pemukiman penduduk termasuk pola pemukiman menyebar dalam bentuk kumpulan-kumpulan kecil yang kemudian dikelola dalam sebuah bentuk Rukun Tetangga (RT) dengan total 31 RT. Tipe perumahan masyarakat saat ini telah bercampur antara tipe rumah asli (rumah panggung papan) dan rumah permanen dengan letak rumah yang tidak terlalu jauh. Perjalanan menuju Desa Bungku dapat ditempuh melalui jalan darat yang berjarak 30 Km dari pusat kecamatan, 30 Km dari pusat Kabupaten (Muara Bulian) dan sejauh 100 Km dari ibukota Propinsi Jambi. Akses transportasi untuk menuju dan keluar desa ini tidak terlalu sulit, apalagi kondisi jalan telah beraspal sejak dari pusat ibukota kabupaten sampai ke desa. Jalur transportasi dilayani oleh angkutan desa yang beroperasi sejak pagi hingga sore hari. Kondisi Sosial dan Ekonomi Berdasarkan data Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Bungku tahun 2013-2017, jumlah penduduk Desa Bungku adalah 9 768 jiwa dengan total penduduk laki-laki adalah 5 429 jiwa dan total penduduk perempuan adalah 4 239 jiwa. Sumber penghasilan utama Desa Bungku adalah sektor pertanian dengan jenis komoditi utama adalah perkebunan khususnya perkebunan karet dan sawit. Walaupun sumber utama masyarakat adalah perkebunan, tapi beberapa masyarakat masih menanam tanaman hortikultura seperti cabe dan sayur-sayuran. Penggunaan tanah di Desa Bungku sebagian besar diperuntukkan untuk perkebunan sedangkan sisanya digunakan sebagai lokasi bangunanbangunan fisik seperti masjid, sekolah, dan lapangan sepak bola. Tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Bungku terdiri dari 30 persen tergolong kaya, 40 persen tergolong sedang, dan 30 persen tergolong kurang mampu. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Bungku terbagi menjadi 20 persen tidak tamat SD,
17 40 persen lulusan SD, 20 persen lulusan SMP, 15 persen lulusan SMA, dan 5 persen lulusan perguruan tinggi (RPJMDes 2013). Kondisi Sarana dan Prasarana Desa Bungku memiliki 1 buah gedung balai desa, 9 buah bangunan TK/SD, 1 buah gedung poliklinik desa, 6 buah lapangan bola/volly, 23 buah gedung masjid/musholla, dan 2 buah lapangan sepak bola. Sumber penerangan di Desa Bungku 100 persen non PLN, artinya PLN belum masuk ke Desa Bungku dan hanya mengandalkan mesin diesel untuk menghidupkan listrik pada malam hari saja. Tidak ada penerangan di jalan utama dan jalan-jalan setapak. Bahan bakar sebagian besar warga menggunakan minyak tanah. Sebagian besar keluarga sudah memiliki jamban sendiri walaupun belum permanen. Desa Bungku tidak memiliki Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dimana pembuangan sampah dilakukan melalui lubang atau dibakar. Lalu lintas antar desa melalui jalur darat dengan jenis kondisi fisik permukaan jalan beraspal/beton dan dapat dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun. Jumlah jembatan yang ada di Desa Bungku berjumlah 3 jembatan. Kondisi jalan utama di Desa Bungku pada umumnya sudah cukup bagus walaupun ada sebagian kecil kondisi jalan yang berada dalam keadaan rusak. Jalan-jalan sempit dan setapak untuk masuk ke rumah warga pada umumnya sulit untuk di akses dikarenakan kondisi jalan naik dan turun yang curam. Jika hujan turun, maka jalanan tidak bisa dilalui oleh kendaraan bermotor karena jalanan yang licin sehingga perlu menunggu waktu 1-2 hari untuk menunggu jalanan kering kembali. Kios yang menjual sarana produksi pertanian di Desa Bungku sebagian besar bukan milik KUD walaupun ada beberapa yang merupakan milik KUD. Tidak ada kelompok pertokoan di Desa Bungku. Jarak Desa Bungku ke kelompok pertokoan terdekat adalah 21 KM. Desa Bungku tidak memiliki pasar dengan bangunan permanen. Jarak terdekat desa terhadap pasar dengan bangunan permanen adalah 21 KM. Desa Bungku tidak memiliki Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Jarak terdekat Desa ke Bank Umum adalah 45 KM sementara jarak terdekat desa ke Bank Perkreditan Rakyat adalah 95 KM (RPJMDes 2013). Karakteristik Komunitas Bab ini akan membahas karateristik komunitas yang meliputi suku, jenis kelamin, usia, agama, status perkawinan, pendidikan terakhir, pekerjaan utama, dan pekerjaan sampingan responden dari komunitas pendatang, adat, dan lokal. Suku, Jenis Kelamin, dan Usia Komunitas Suku responden terdiri dari suku Jawa, Batak, Batin Sembilan, Melayu Jambi, Kerinci, dan Semendo. Gambar 2 akan memperlihatkan sebaran persentase suku responden yang ada di Desa Bungku berdasarkan komunitas pendatang, adat, dan lokal.
18
Gambar 2 Jumlah dan persentase suku responden berdasarkan komunitas Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa untuk komunitas pendatang, sebagian besar terdiri dari suku Jawa dengan persentase 30.91 persen diikuti oleh suku Batak dengan persentase 5.45 persen. Untuk komunitas adat keseluruhan responden berasal dari suku Batin Sembilan dengan persentase sebesar 36.36 persen. Untuk komunitas lokal, sebagian besar terdiri dari suku Semendo dengan persentase 10.91 persen, diikuti suku Melayu Jambi sebanyak 9.09 persen, dan yang paling kecil adalah suku Kerinci dengan persentase 7.27 persen. Dari penelitian yang dilakukan, mayoritas jenis kelamin responden dengan komunitas pendatang adalah laki-laki dengan persentase 32.73 persen diikuti oleh perempuan dengan persentase 3.64 persen. Mayoritas jenis kelamin responden untuk komunitas adat adalah laki-laki dengan persentase 32.73 persen dan perempuan dengan persentase 3.64 persen. Untuk komunitas lokal, sebagian besar responden adalah laki-laki dengan persentase 21.82 persen dan perempuan dengan persentase 5.45 persen. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.
19
Gambar 3 Jumlah dan persentase jenis kelamin responden berdasarkan komunitas Untuk usia responden, dibagi dalam rentang usia 10-20 tahun hingga umur 71-80 tahun. Gambar 4 akan memperlihatkan sebaran persentase usia responden berdasarkan rentang umur untuk masing-masing komunitas pendatang, adat, dan lokal.
20
Gambar 4 Jumlah dan persentase usia responden berdasarkan komunitas Dari gambar di atas diperoleh bahwa untuk komunitas pendatang, mayoritas responden berada pada rentang umur 41-50 tahun dengan persentase sebanyak 18.18 persen, diikuti oleh responden dengan rentang umur 31-40 tahun dengan persentase sebanyak 12.73 persen, responden dengan rentang umur 51-60 tahun dengan persentase sebanyak 3.64 persen, dan persentase terkecil responden dengan rentang umur 61-70 tahun dengan persentase sebanyak 1.82 persen. Untuk komunitas adat, mayoritas responden berada pada rentang umur 41-50 tahun dengan persentase sebanyak 9.09 persen, diikuti oleh responden dengan rentang umur 31-40 tahun dengan persentase 7.27 persen, responden dengan rentang umur 21-30 tahun dan 51-60 tahun dengan persentase yang sama sebanyak 5.45 persen, responden dengan rentang umur 61-70 tahun dan 71-80 tahun dengan persentase yang sama sebanyak 3.64 persen, dan persentase terkecil pada rentang umur 10-20 tahun sebanyak 1.82 persen. Untuk komunitas lokal, mayoritas responden berada pada rentang umur 41-50 tahun dengan persentase 14.55 persen, diikuti oleh responden dengan rentang umur 21-30 tahun, 31-40 tahun, dan 51-60 tahun dengan persentase yang sama yaitu 3.64 persen, dan persentase terkecil responden dengan rentang umur 61-70 tahun sebanyak 1.82 persen. Agama dan Status Perkawinan Komunitas Mayoritas agama responden untuk komunitas pendatang adalah Islam dengan persentase terbesar sebanyak 34.55 persen dan diikuti oleh responden dengan agama Kristen dengan persentase sebanyak 1.82 persen. Untuk komunitas adat dan lokal keseluruhan responden beragama Islam dengan persentase masing-
21 masing 36.36 persen dan 27.27 persen. Untuk lebih jelasnya bisa di lihat pada Gambar 5 dibawah ini.
Gambar 5 Jumlah dan persentase agama responden berdasarkan komunitas Berdasarkan kuesioner, status perkawinan responden tergolong menjadi empat yaitu belum menikah, menikah, cerai, janda/duda karena meninggal. Dari hasil wawancara yang dilakukan, status perkawinan responden tergolong menjadi dua bagian yaitu menikah dan janda/duda karena meninggal. Gambar 6 akan menunjukkan persentase status perkawinan responden berdasarkan masingmasing komunitas.
22
Gambar 6 Jumlah dan persentase status perkawinan responden berdasarkan komunitas Dari gambar terlihat jelas bahwa mayoritas status perkawinan responden dengan komunitas pendatang dan adat adalah menikah dengan masing-masing persentase terbesar sebanyak 34.55 persen diikuti janda/duda karena meninggal dengan persentase sebanyak 1.82 persen. Untuk komunitas lokal, mayoritas status perkawinan responden adalah menikah dengan persentase 27.27 persen. Pendidikan Terakhir, Pekerjaan Utama, dan Pekerjaan Sampingan Komunitas Pendidikan terakhir responden terbagi menjadi beberapa kategori yaitu tidak/belum sekolah, tidak/belum tamat sekolah dasar, lulus sekolah dasar, lulus sekolah menengah pertama, lulus sekolah menengah atas, dan lulus diploma/universitas. Gambar 7 akan memperlihatkan persentase pendidikan terakhir responden dengan masing-masing komunitas.
23
Gambar 7 Jumlah dan persentase pendidikan terakhir responden berdasarkan komunitas Dari gambar di atas terlihat bahwa mayoritas pendidikan terakhir responden untuk komunitas pendatang adalah lulus sekolah menengah atas dengan persentase 12.73 persen diikuti oleh tidak/belum tamat sekolah dasar dengan peersentase 10.91 persen, lulus sekolah dasar dengan persentase sebanyak 9.09 persen, dan tidak/belum sekolah dan lulus sekolah menengah pertama dengan persentase yang sama masing-masing sebesar 1.82 persen. Untuk komunitas adat, mayoritas pendidikan terakhir responden adalah tidak/belum sekolah dengan persentase sebanyak 29.09 persen diikuti oleh tidak/belum tamat sekolah dasar dengan persentase sebesar 5.45 persen dan persentase palin kecil adalah lulus sekolah dasar dengan persentase sebesar 1.82 persen. Untuk komunitas lokal, mayoritas pendidikan terakhir responden adalah tidak/belum tamat sekolah dasar dengan persentase sebesar 7.27 persen, lulus sekolah dasar dengan persentase sebesar 5.45 persen, dan persentase paling kecil adalah tidak/belum tamat sekolah dasar, lulus sekolah menengah pertama, lulus sekolah menengah atas, dan lulus diploma/universitas dengan masing-masing persentase sebesar 3.64 persen. Pada umumnya mayoritas pekerjaan utama yang ada di Desa Bungku merupakan seorang petani kebun karet dan kelapa sawit. Gambar 8 akan menggambarkan persentase pekerjaan utama responden berdasarkan komunitas pendatang, adat, dan lokal.
24
Gambar 8 Jumlah dan persentase pekerjaan utama responden berdasarkan komunitas Dari gambar terlihat bahwa mayoritas pekejaan utama responden komunitas pendatang adalah adalah petani yang memiliki tanah dengan persentase sebesar 32.73 persen diikuti oleh petani penyewa tanah dan ibu rumah tangga dengan persentase masing-masing sebesar 1.82 persen. Untuk komunitas adat, mayoritas pekerjaan utama responden adalah petani yang memiliki tanah dengan persentase 34.55 persen dan sisanya tidak bekerja sebesar 1.82 persen. Untuk komunitas lokal, mayoritas pekerjaan utama responden adalah petani yang memiliki tanah dengan persentase sebesar 25.45 persen dan sisanya adalah guru dengan persentase sebesar 1.82 persen Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada responden, pada umumnya sebagian besar responden tidak memiliki pekerjaan sampingan. Mereka hanya berfokus pada satu bidang pekerjaan saja yaitu sebagai petani yang menggarap lahan milik sendiri maupun lahan milik orang lain. Namun terdapat pula beberapa responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9 mengenai persentase pekerjaan sampingan responden yang dilihat berdasarkan komunitas.
25
Gambar 9 Jumlah dan persentase pekerjaan sampingan responden berdasarkan komunitas Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pekerjaan sampingan responden dengan komunitas pendatang pada umumnya tidak memiliki pekerjaan sampingan dengan persentase sebanyak 30.91 persen dimana sebagian kecil responden memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani penyewa tanah, buruh tani, dan wiraswasta dengan masing-masing persentase sebesar 1.82 persen. Untuk komunitas adat, keseluruhan responden tidak memiliki pekerjaan sampingan dengan persentase sebanyak 36.36 persen. Untuk komunitas lokal, sebagian besar responden juga tidak memiliki pekerjaan sampingan dengan persentase 21.82 persen, dan sebagian kecil memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani yang memiliki tanah, buruh tani, dan tokeh sawit dengan masing-masing persentase sebanyak 1.82 persen.
26
POLA PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN LAHAN Pada bab ini pola penguasaan lahan yang akan dibahas adalah tahun lahan diperoleh, sumber perolehan lahan, cara perolehan lahan, bukti legalitas lahan, luas lahan yang dikonversi, dan orang yang menggarap lahan (penggarap lahan). Pola penguasaan lahan ini akan dilihat berdasarkan kategori komunitas pendatang, adat dan lokal. Tahun Lahan Diperoleh Pada bab ini akan diberikan informasi mengenai tahun berapa responden memperoleh tanah mereka yang ada di Desa Bungku. Tahun perolehan lahan dibagi menjadi beberapa periode dengan rentang 10 tahun yaitu tahun 1950-1960 sampai dengan tahun 2011-sekarang. Gambar 10 memaparkan jumlah dan persentase tahun perolehan lahan responden berdasarkan kategori masing-masingmasing komunitas.
Gambar 10 Jumlah dan persentase tahun perolehan lahan berdasarkan komunitas Berdasarkan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa untuk komunitas pendatang, tahun perolehan lahan dengan persentase terbesar sebanyak 18.18 persen adalah tahun 1991-2000, selanjutnya diikuti tahun 2001-2010 dengan persentase sebanyak 14.55 persen, dan persentase terkecil sebanyak 3.64 persen adalah tahun 2011-sekarang. Untuk komunitas adat, tahun perolehan lahan pada umumnya diperoleh antara tahun 1971-1980 dengan persentase terbesar sebanyak 10.91 persen, diikuti dengan tahun 1981-1990, 1991-2000, dan 2001-2010 dengan persentase yang
27 sama masing-masing sebanyak 7.27 persen. Tahun perolehan lahan yang paling sedikit adalah 1950-1960 dengan persentase terkecil sebanyak 3.64 persen. Komunitas terakhir yang dibahas adalah komunitas lokal dimana tahun perolehan lahan terbanyak terdapat pada tahun 1991-2000 dan 2001-2010 dengan persentase yang sama yaitu 10.91 persen dan persentase terkecil adalah tahun 2011-sekarang dengan persentase sebanyak 5.45 persen. Sumber Perolehan Lahan Sumber perolehan lahan yang diperoleh oleh responden didapatkan dari orang yang berbeda-beda. Jumlah dan persentase sumber perolehan berdasarkan komunitas secara lebih jelas dapat kita lihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Jumlah dan persentase sumber perolehan lahan berdasarkan komunitas Persentase terbesar untuk komunitas pendatang yaitu sebanyak 18.18 persen, lahan diperoleh responden dari kepala desa dan warga Desa Bungku. Untuk komunitas adat, persentase terbesar yaitu sebanyak 27.27 persen lahan diperoleh dari orangtua/keluarga, sebanyak 7.27 persen lahan diperoleh dari warga Desa Bungku, dan sebanyak 1.82 persen lahan diperoleh dari pemerintah. Untuk komunitas lokal, persentase terbesar yaitu sebanyak 14.55 persen lahan diperoleh dari warga Desa Bungku, sebanyak 7.27 persen lahan diperoleh dari o8rangtua/keluarga, sebanyak 3.64 persen lahan diperoleh dari kepala desa, dan sebanyak 1.82 persen lahan diperoleh dari warga desa lain.
28 Cara Perolehan Lahan Setiap lahan yang dimiliki oleh responden diperoleh dengan cara berbedabeda tergantung masing-masing responden. Cara perolehan lahan ada yang diperoleh dengan cara membuka sendiri lahan hutan belukar sesuai dengan kesanggupan tenaga dan modal. Ada juga dengan cara membeli kepada orangorang yang ingin menjual lahannya, ada yang diperoleh dengan berbagi menggunakan sistem bagi hasil, warisan dari orangtua, harta bawaan dari suami/istri, atau bisa juga pemberian dari pemerintah karena suatu hal atau alasan tertentu. Gambar 12 memaparkan bagaimana cara responden memperoleh lahan yang mereka konversi tersebut dilihat dari masing-masing komunitas.
Gambar 12 Jumlah dan persentase cara perolehan lahan berdasarkan komunitas Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa untuk komunitas pendatang persentase terbesar yaitu sebanyak 18.18 persen lahan diperoleh dengan cara buka sendiri, sebanyak 16.36 persen lahan diperoleh dengan cara membeli, sebanyak 1.82 persen lahan diperoleh dengan cara warisan. Kebanyakan responden dengan komunitas pendatang diajak untuk bertempat tinggal di Desa Bungku dengan membuka lahan sendiri. Lokasi Desa Bungku yang dikelilingi sebagian besar hutan dibuka dengan cara memotong kayu-kayu besar yang ada setelah sebelumnya mendapatkan izin dari pihak yang berwenang memberikan izin. Pembukaan lahan hutan dengan cara menebas pohon-pohon di hutan ini bisa dibuka seluas apapun tergantung kesanggupan dari segi tenaga dan modal dari si responden tersebut. Berikut pernyataan dari Bapak SKW, salah satu informan yang merupakan seorang tokoh desa:
29 “Pembukaan lahan dengan cara buka sendiri tergantung dari modal kita masing-masing. Kalau saya punya banyak modal, saya bisa buka lahan besar-besaran dengan cara ditebas misalnya 10 Ha. Saya membuat patok sendiri yang menandakan batas lahan yang sudah saya tebas adalah milik saya” Selain mendapatkan lahan dengan cara membuka sendiri, responden dengan komunitas pendatang membeli lahan kepada masyarakat Desa Bungku dengan harga sesuai dengan kesepakatan. Sisanya, responden mendapatkan lahan dengan mendapatkan warisan dari keluarga yang sebelumnya sudah bermukim di Desa Bungku. Untuk komunitas adat, keseluruhan responden yaitu sebanyak 36.36 persen mendapatkan lahan dengan cara warisan dari orangtua. Hal ini dikarenakan responden memang memiliki hak penuh atas lahan-lahan yang ada di Desa Bungku karena pada dasarnya mereka sudah tinggal di Desa Bungku dalam waktu yang sangat lama. Lahan tersebut merupakan peninggalan lampau dari nenek moyang mereka yang diwarisakan secara turun-menurun untuk kemudian digarap sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada dasarnya, komunitas adat dulunya tidak mengenal adanya sistem jual beli dengan menggunakan uang sehingga tidak ada istilah jual beli lahan bagi mereka. Begitupun juga dengan halnya dengan istilah pembukaan lahan dengan menebas pohon tidak berlaku bagi komunitas ini karena mereka tinggal dan bertahan hidup dengan mengandalkan hutan. Untuk komunitas lokal, persentase terbesar yaitu sebanyak 12.73 persen mendapatkan lahan dengan cara membeli. Sama halnya dengan komunitas pendatang, responden dengan komunitas lokal membeli lahan kepada masyarakat Desa Bungku sesuai harga dan kesepatan tertentu. Sebanyak 7.27 persen mendapatkan lahan dengan cara mendapatkan warisan dari keluarga atau saudara yang tinggal di Desa Bungku. Sebanyak 1.82 persen mendapatkan lahan dengan cara harta bawaan dari suami/istri dan dengan pemberian. Bukti Legalitas Lahan dan Nama yang Tecantum Lahan yang sudah dikonversi oleh responden menjadi kelapa sawit memiliki bukti legalitas lahan yang berbeda-beda. Bukti legalitas lahan tersebut adalah tanah adat, tanah milik tanpa surat, tanah milik dengan surat desa, tanah milik dengan akte jual beli, dan terakhir adalah SKTT (Surat Keterangan Tanam Tumbuh). Jumlah dan persentase bukti legalitas lahan berdasarkan komunitas bisa dilihat secara lebih jelas pada Gambar 13.
30
Gambar 13 Jumlah dan persentase bukti legalitas lahan berdasarkan komunitas Dari Gambar 13 bisa dilihat bahwa untuk komunitas pendatang persentase terbesar yaitu sebanyak 32.73 persen bukti legalitas lahan berbentuk tanah milik dengan surat desa, sedangkan sisanya sebanyak 1.82 persen bukti legalitas lahan adalah tanah milik tanpa surat dan tanah milik dengan akte jual beli. Hal ini dikarenakan keenganan responden untuk membuat surat desa menjadi sebuah sertifikat tanah karena waktu pengurusan surat yang memakan waktu lama dan surat desa yang dianggap sudah cukup legal dan terdaftar di kantor desa. Untuk komunitas adat, persentase terbesar yaitu sebanyak 24.45 persen bukti legalitas lahan adalah tanah adat dan sebanyak 10.91 persen bukti legalitas lahan adalah tanah milik tanpa surat. Hal ini dikarenakan lahan yang mereka miliki sekarang merupakan warisan turun-menurun yang diberikan oleh nenek moyang mereka yang diwariskan untuk mereka garap dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk komunitas lokal, persentase terbesar yaitu sebanyak 9.09 persen bukti legalitas lahan adalah tanah milik dengan surat desa. Sebanyak 7.27 persen bukti legalitas lahan adalah tanah milik dengan akte jual beli, sebanyak 5.45 persen bukti legalitas lahan adalah tanah milik tanpa surat, sebanyak 3.64 persen bukti legalitas lahan adalah tanah adat, dan persentase terkecil yaitu 1.82 persen bukti legalitas lahan adalah Surat Keterangan Tanam Tumbuh (SKTT). Pada bukti legalitas lahan, nama yang tercantum pada bukti-bukti yang sebelumnya telah disebutkan diatas pun berbeda-beda. Nama yang tercantum meliputi laki-laki kepala rumah tangga, istri dari laki-laki kepala rumah tangga, perempuan kepala rumah tangga, dan tidak ada nama yang tercantum karena tidak
31 ada bukti legalitas lahan. Jumlah dan persentase nama yang terantum pada bukti legalitas lahan berdasarkan komunitas bisa dilihat secara jelas pada Gambar 14.
Gambar 14 Jumlah dan persentase nama yang tercantum pada bukti legalitas lahan berdasarkan komunitas Berdasarkan gambar dapat kita lihat bahwa untuk komunitas pendatang, persentase terbesar yaitu sebanyak 30.91 persen nama yang tercantum pada bukti legalitas lahan adalah laki-laki kepala rumah tangga sedangkan sisanya sebanyak masing-masing 1.82 persen nama yang tercantum adalah istri dari laki-laki kepala rumah tangga, perempuan kepala rumah tangga, dan tidak ada nama yang tercantum karena tidak memiliki bukti legalitas lahan. Untuk komunitas adat, keseluruhan responden yaitu sebanyak 36.36 persen tidak memiliki nama yang tercantum karena semua lahan yang mereka miliki tidak memiliki bentuk legalitas lahan disebabkan lahan mereka saat ini adalah warisan dari keluarga maupun nenek moyang terdahulu. Untuk komunitas lokal, persentase terbesar yaitu sebanyak 18.18 persen nama yang tercantum pada bukti legalitas lahan yang mereka miliki adalah laki-laki kepala rumah tangga dan sisanya sebanyak 9.09 persen tidak memiliki nama yang tercantum karena tidak memiliki surat legalitas lahan. Penggarap Lahan Lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit diusahakan dan digarap oleh orang yang berbeda-beda. Orang yang menggarap lahan tersebut adalah sendiri, keluarga inti, kerabat luas, dan orang lain tapi sesama desa. Gambar 15 menggambarkan jumlah dan persentase orang-orang yang menggarap lahan berdasarkan komunitas.
32
Gambar 15 Jumlah dan persentase penggarap lahan berdasarkan komunitas Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa persentase terbesar untuk komunitas pendatang yaitu sebanyak 25.45 persen lahan digarap oleh keluarga inti. Hal ini dikarenakan jumlah keluarga inti sudah cukup untuk menggarap lahan. Jika menyuruh orang lain maka keuntungannya akan berkurang karena harus membayar orang yang sudah menggarap lahan, sehingga lebih baik jika dikerjakan saja oleh keluarga inti. Sebanyak 5.45 persen lahan digarap oleh orang lain tapi sesama desa. Hal ini dikarenakan lahan yang cukup luas dan tidak mampu digarap sendiri maupun keluarga inti sehingga lebih baik menyuruh orang lain sesama desa yang sudah dikenal untuk menggarap lahan. Selain itu juga cara tersebut bisa membantu orang yang menggarap lahan tersebut untuk mendapatkan penghasilan sehingga sama-sama menguntungkan. Seperti yang disampaikan oleh bapak YNS berikut ini: “Lahan saya cukup luas dan tidak mungkin untuk digarap sendiri. Lagipula orang yang menggarap lahan saya tersebut lumayanlah buat nambah uang pemasukan dia. Kan sama sama menguntungkan kalau begitu”. Sebanyak 3.64 persen lahan digarap oleh kerabat luas, dan sisanya sebanyak 1.82 persen lahan digarap oleh sendiri. Untuk komunitas adat persentase terbesar yaitu sebanyak 21.82 persen lahan digarap oleh keluarga inti, sebanyak 12.73 persen lahan digarap oleh sendiri, dan 1.82 persen lahan digarap oleh kerabat luas. Untuk komunitas lokal, persentase terbesar yaitu sebanyak 21.82 persen lahan digarap oleh keluarga inti dan sisanya sebanyak 5.45 persen lahan digarap secara sendiri. Hal ini sama dengan alasan yang telah disebutkan sebelumnya.
33
TINGKAT KONVERSI LAHAN MENJADI KELAPA SAWIT DI DESA BUNGKU Bab ini membahas bagaimana tingkat konversi lahan menjadi kelapa sawit di Desa Bungku dengan melihat bagaimana kondisi awal lahan sebelum dikonversi menjadi kelapa sawit dan pola penguasaan lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit dengan melihat pada tiga komunitas yaitu komunitas pendatang, adat, dan lokal yang ada di Desa Bungku. Kondisi Awal Lahan Kondisi awal lahan yang dimaksud disini adalah bagaimana perubahan lahan sebelum responden mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit dengan melihat kondisi awal lahan seperti hutan, bekas hutan, kebun karet, atau lahan pertanian. Masyarakat Desa Bungku memiliki kondisi awal lahan yang berbeda-beda sebelum dikonversi menjadi kelapa sawit. Sebelum mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit, responden yang khususnya merupakan komunitas pendatang dan lokal memanfaatkan lahan mereka dengan menyadap karet serta menanam beberapa tanaman hortikultura. Berbeda dengan komunitas adat, mereka memanfaatkan hutan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka mulai dari sandang, pangan, dan papan. Untuk melihat jumlah dan persentase masing-masing komunitas dengan kondisi awal lahan secara lebih jelas bisa dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Jumlah dan persentase kondisi awal lahan sebelum dikonversi menjadi kelapa sawit berdasarkan komunitas
34 Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa untuk komunitas pendatang, persentase terbesar yaitu sebanyak 20.00 persen memiliki kondisi awal hutan, diikuti responden sebanyak 14.55 persen memiliki kondisi awal bekas hutan, dan kemudian yang memiliki persentase terkecil yaitu sebanyak 1.82 persen responden komunitas pendatang memiliki kondisi awal kebun karet. Hal ini dikarenakan responden dengan komunitas pendatang yang datang dan ingin tinggal menetap di Desa Bungku mendapatkan lahan mereka dengan kondisi berbentuk hutan dan bekas hutan karena Desa Bungku memang memiliki wilayah dengan sebagian besar dikelilingi oleh hutan. Lahan hutan tersebut yang pada akhirnya mereka olah dan gunakan untuk bertahan hidup. Mereka menganggap bahwa hutan tidak begitu menghasilkan dan tidak memanfaatkan sehingga mereka lebih memilih untuk mengubah hutan tersebut menjadi lahan yang lebih menguntungkan yaitu dengan menanam karet dan kelapa sawit. Namun beberapa responden menganggap karet tidak begitu menguntungkan sehingga kebun karet mereka pun ikut dikonversi menjadi kelapa sawit. Untuk komunitas adat, persentase terbesar yaitu sebanyak 34.55 persen memiliki kondisi awal adalah hutan dan 1.82 persen memiliki kondisi awal kebun karet. Berbeda dengan komunitas pendatang, komunitas adat memang memiliki serta menguasai hutan-hutan yang ada di Desa Bungku karena mereka tinggal dan bertahan hidup dengan mengandalkan hutan. Namun karena hutan-hutan dan beberapa kebun karet milik mereka kini ditanami menjadi lahan kelapa sawit oleh beberapa perusahaan, mau tidak mau untuk menyambung hidup mereka pun harus memanen kelapa sawit yang sudah ditanami kelapa sawit di lahan yang menjadi milik mereka dahulu. Untuk komunitas lokal, persentase terbesar yaitu sebanyak 10.91 persen memiliki kondisi awal adalah hutan dan bekas hutan, serta sebanyak 5.45 persen memiliki kondisi awal adalah kebun karet. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan responden dengan komunitas pendatang dimana lahan yang mereka dapatkan di Desa Bungku adalah hutan dan bekas hutan. Responden menganggap lahan tersebut kurang menguntungkan sehingga diubah menjadi kelapa sawit dan ada juga yang mengubah dari kebun karet menjadi kelapa sawit. Luas Lahan yang Dikonversi Menjadi Kelapa Sawit Luas lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit yang dimaksud adalah seberapa luas ukuran lahan yang dimiliki rumahtangga yang dikonversi untuk dijadikan lahan tanaman kelapa sawit. Pengukuran didasarkan pada rata-rata luas lahan yang dikonversi oleh rumahtangga dengan skor terendah pada luas lahan yang dikonversi dengan ukuran paling kecil. Luas lahan diukur dengan menggunakan skala nominal dengan kategori lahan sempit <7.165 ha dan lahan luas >7.165 ha. Luas lahan yang dikonversi akan dilihat berdasarkan komunitas yaitu pendatang, adat, dan lokal. Gambar 17 akan menggambarkan sebaran komunitas yang mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit dengan ukuran luas dan sempit.
35
Gambar 17 Jumlah dan persentase luas lahan yang dikonversi berdasarkan komunitas Pada Gambar 17 terlihat bahwa responden dengan komunitas pendatang, adat, dan lokal pada umumnya yaitu masing-masing sebanyak 30.91 persen, 34.55 persen, dan 20.00 persen mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit dengan ukuran sempit. Bagi komunitas pendatang dan lokal, hal ini dikarenakan mereka masih bertahan pada komoditas lama yang masih memberikan keuntungan yang sama bagi mereka. Selain itu juga susahnya mendapatkan lahan dan tingginya modal yang dibutuhkan membuat responden mengkonversi lahan mereka dengan ukuran sempit. Responden dengan komunitas adat tidak melakukan konversi lahan menjadi kelapa sawit. Perusahaan datang ke Desa Bungku dan menanami lahan hutan milik komunitas adat dengan kelapa sawit. Setelah melakukan usaha yang cukup keras untuk mengembalikan hak mereka atas lahan, pemerintah memberikan ganti rugi seluas 2 ha per rumahtangga bagi komunitas adat. Lahan berisi kelapa sawit tersebut akhirnya mereka panen sebagai cara untuk bertahan hidup karena sudah kehilangan hutan yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan bagi komunitas adat. Ikhtisar Tingkat konversi lahan menjadi kelapa sawit dilihat dari kondisi awal lahan sebelum dikonversi menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit dengan melihat pada tiga komunitas berbeda yaitu pendatang, adat, dan lokal. Untuk kondisi awal lahan, ketiga komunitas memiliki kondisi awal lahan berbentuk hutan. Bagi komunitas pendatang dan lokal hal ini dikarenakan
36 sebagian besar wilayah Desa Bungku dikelilingi oleh hutan sehingga lahan hutan tersebut yang pada akhirnya mereka olah dan gunakan untuk bertahan hidup. Bagi komunitas adat, hutan merupakan tempat mereka menggantungkan hidup baik itu tempat tinggal dan mencari makan, namun hutan tersebut kini sudah ditanami kelapa sawit oleh perusahaan. Untuk luas lahan yang dikonversi, ketiga komunitas yaitu pendatang, adat dan lokal mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit dalam ukuran sempit. Bagi komunitas pendatang dan lokal hal ini dikarenakan mereka masih bertahan pada komoditas lama yang masih memberikan keuntungan yang sama bagi mereka. Selain itu juga susahnya mendapatkan lahan dan tingginya modal yang dibutuhkan membuat responden mengkonversi lahan mereka dengan ukuran sempit. Untuk responden dengan komunitas adat, lahan kelapa sawit yang mereka panen hanya diberikan sebanyak 2 ha per rumahtangga oleh pemerintah sebagai ganti rugi karena hutan mereka sudah ditanami sawit oleh perusahaan kelapa sawit.
37
FAKTOR PENDORONG DAN PENARIK KONVERSI LAHAN MENJADI KELAPA SAWIT Konversi lahan menjadi kelapa sawit dilakukan seseorang didasarkan pada beberapa faktor-faktor tertentu. Komunitas pendatang, adat, dan lokal di Desa Bungku juga memiliki perbedaan dalam faktor-faktor yang membuat mereka akhirnya mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit. Bab ini membahas bagaimana faktor-faktor responden dengan masing-masing komunitas mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit dilihat dari faktor pendorong meninggalkan komoditas lama dan faktor penarik yang membuat responden akhirnya memutuskan untuk mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit. Faktor Pendorong Meninggalkan Komoditas Lama Faktor pendorong yang dimaksud pada bab ini adalah faktor-faktor dan alasan-alasan responden meninggalkan komoditas lama dan lahan mereka sebelumnya yang sudah dikonversi menjadi kelapa sawit. Seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, kondisi awal lahan sebelum dikonversi menjadi kelapa sawit terdiri dari hutan, bekas hutan, dan kebun karet. Di bawah ini akan dibahas apa saja faktor-faktor pendorong responden dengan masing-masing komunitas meninggalkan lahan mereka sebelumnya. Faktor Pendorong Meninggalkan Hutan Pada umumnya responden dengan komunitas pendatang berasal dari berbagai macam daerah di luar Desa Bungku. Mereka datang dan tinggal menetap di Desa Bungku karena diajak oleh teman maupun saudara mereka yang sebelumnya sudah tinggal lehih dulu di Desa Bungku. Sebagian responden dengan komunitas pendatang merupakan transmigran dengan sebutan “rantau rasau”. Ketika mereka datang pertama kali di Desa Bungku, Semua wilayah di Desa Bungku sebagian besar masih berbentuk hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi beserta isinya. Mereka melihat bahwa hutan-hutan tersebut bisa dijadikan lahan untuk digarap dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga. Dibandingkan dengan di tempat asal mereka sebelumnya yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa, sangat susah untuk mendapatkan lahan dengan harga murah seperti yang mereka dapatkan di Desa Bungku. Melihat kondisi seperti ini lantas membuat banyak responden mengajak seluruh keluarga mereka untuk ikut tinggal bersama-sama di Desa Bungku. Untuk responden dengan komunitas pendatang secara keseluruhan faktor pendorong yang membuat mereka mengkonversi hutan menjadi kelapa sawit adalah karena lahan yang tidak dimanfaatkan dan lahan yang tidak menghasilkan secara ekonomi. Lahan-lahan hutan yang ada di Desa Bungku tidak terpelihara dan terlantar sehingga mereka memilih untuk mengkonversi lahan mereka menjadi sesuatu yang lebih bernilai tinggi yaitu kelapa sawit. Untuk komunitas adat yang keseluruhan respondennya memiliki kondisi awal lahan berbentuk hutan, alasan mereka meninggalkan hutan dikarenakan hutan yang dulu menjadi tempat tinggal, sumber untuk mencari makanan, dan merupakan bagian dari kehidupan mereka, kini telah ditebang dan dihancurkan
38 untuk kemudian ditanami kelapa sawit oleh perusahaan. Pada kenyatannya, responden yang biasanya disebut dengan Suku Anak Dalam (SAD) ini memang hidup dari hutan dan tidak bisa terlepas dari hutan. Bagi mereka hutan merupakan surga yang mampu memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Dari hutan responden ini dulunya tidak mengenal adanya uang dan istilah membeli karena tanpa duit atau uang segala kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang responden dari komunitas adat yaitu Pak SD seperti berikut ini: “Dulu itu kehidupan kami nggak kenal sama yang namanya duit. Kalo kami butuh apa-apa, kami cuma perlu menukar kayu-kayu hutan kami beberapa buah ke orang kota dengan mengayuh kapal selama berminggu-minggu. Kalau kami ke pasar biasanya yang kami tukar hanya kayu dengan beras, kopi, dan gula. Sisanya kami bisa dapatkan dari hutan dan itu saja sudah cukup. Kami itu dulu tidak tahu dan tidak kenal dengan yang namanya uang untuk membeli, karena semua yang kami butuhkan bisa kami dapat dari hutan dan kami tidak pernah kekurangan”. Sebagai contoh untuk makan, mereka mengandalkan jernang dari pohon jernang yang banyak tumbuh di hutan. Tidak hanya jernang, hutan mereka dulunya dipenuhi dengan pohon-pohon buah-buahan yang sangat banyak macamnya sehingga mereka kaya akan buah-buahan seperti contohnya durian. Selain itu, mereka memanah rusa atau hewan-hewan lain yang ada di hutan sebagai makanan mereka dan keluarga. Untuk tempat tinggal, mereka biasanya hidup dan tinggal didalam hutan dengan mengandalkan kayu-kayu hutan dimana kayu-kayu tersebut mereka bangun menjadi sebuah pondok sederhana sebagai tempat tidur atau tempat meneduh jika ada hujan. Mereka bisa membuat alat penerangan dari tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan dan membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Kehidupan mereka begitu dekat dan bersahabat dengan hutan dan segala isinya sehingga mereka pun senantiasa merawat dan menjaga hutan dengan sebaik-baiknya. Namun kini hutan tempat mereka menggantungkan hidup selama bertahun-tahun sudah tidak ada lagi dikarenakan masuknya perusahaan kelapa sawit dan menanamkan sahamnya yaitu dengan membabat habis seluruh hutan mereka dan isinya serta menanami sawit di areal hutan tersebut. Kehilangan hutan membuat komunitas adat sangat terpukul karena kehilangan sumber kehidupan mereka selama ini. Hal ini mendorong komunitas adat untuk menduduki lahan perusahaan tersebut dan memanen kelapa sawit milik perusahaan karena mau tidak mau mereka harus bertahan hidup. Menurut mereka cara satu-satunya yang mereka bisa lakukan adalah dengan membangun pondokpondok semi permanen di lokasi sekitar kelapa sawit dan memanen kelapa sawit yang mereka klaim itu adalah lahan hutan milik nenek moyang mereka dahulu. Seperti yang disampaikan oleh salah satu responden Bapak SH berikut ini:
39 “saya tidak punya sawit tapi saya memanen sawit milik PT.AP karena hutan kami sudah mereka hancurkan. Semua hutan tempat kami hidup dulu sudah dibuldozer habis oleh perusahaan. Mau tidak mau kami memanen sawit untuk bertahan hidup. Kalau tidak seperti itu, kami hidup dan mendapat uang darimana untuk makan sehari-hari jika tidak memanen sawit? kan itu juga dulunya hutan punya nenek moyang kami”. Menurut komunitas adat, tindakan mereka memanen sawit milik perusahaan juga tidak mereka lakukan secara senang hati. Namun hanya ini jalan satu-satunya yang bisa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Terbiasa hidup dari hutan membuat mereka tidak terbiasa untuk bekerja diluar sektor pertanian. Masuknya perusahaan kelapa sawit juga telah mengubah cara dan pola pikir masyarakat adat mengenai uang. Jika dahulu mereka tidak pernah mengetahui istilah uang, kini dengan masuknya kelapa sawit ke Desa Bungku, mereka telah mengenal istilah uang dan hidup dengan berkecupan. Menurut mereka adanya kelapa sawit juga membuat tanah menjadi keras dan tidak subur dimana sebelumnya tanah mereka sangat subur dan gembur dan cocok untuk ditanami tanaman pertanian. Namun keadaan ini tidak bisa mereka ubah lagi, mau tidak mau mereka hidup dengan memanen sawit untuk bertahan hidup karena hutan mereka sudah hancur. Untuk komunitas lokal, faktor pendorong mereka mengkonversi hutan pada umumnya hampir sama dengan faktor pendorong pada komunitas pendatang. Komunitas lokal yang mengkonversi hutan tersebut berasal dari suku Kerinci, Melayu Jambi, dan Semendo. Untuk suku Kerinci dan Melayu Jambi, di tempat mereka semula sudah terbiasa dengan kegiatan bertani dan berkebun dengan bekerja menjadi buruh upahan. Mereka pindah ke Desa Bungku untuk mendapatkan lahan bertani dimana di tempat mereka sebelumnya sangat susah untuk mendapatkan lahan dengan harga yang murah. Dengan kondisi awal berbentuk hutan, susah bagi responden untuk bertani dengan kondisi lahan tersebut karena kurang menguntungkan secara ekonomi. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. Bagi responden dengan suku Semendo, faktor pendorong meninggalkan hutan sama dengan komunitas adat dimana mereka juga dulunya hidup dari hutan yang kini hutan tersebut sudah ditanami sawit oleh perusahaan sehingga mau tidak mau untuk bertahan hidup mereka pun harus memanen sawit milik perusahaan. Faktor Pendorong Meninggalkan Bekas Hutan Faktor pendorong meninggalkan bekas hutan bagi responden dengan komunitas pendatang dan lokal hampir sama dengan faktor pendorong meninggalkan hutan. Pada awalnya mereka datang ke Desa Bungku dengan maksud untuk bertani dan memiliki lahan dimana sebelumnya mereka juga bekerja sebagai petani dan buruh upahan ditempat sebelumnya. Bentuk lahan yang mereka dapatkan pertama kali adalah bekas hutan dengan belukar. Melihat kondisi lahan yang berbentuk belukar, akhirnya responden pun membersihkan lahan tersebut dengan waktu kurang lebih setahun hingga akhirnya ditanami kelapa sawit. Menurut responden, lahan berbetuk belukar itu tidak bisa dimanfaatkan dan
40 tidak menghasilkan secara ekonomi. Jika ingin mendapatkan keuntungan secara ekonomi, maka harus ditanami dengan tanaman yang menguntungkan. Responden ini pun memutuskan untuk menanami lahan tersebut dengan tanaman kelapa sawit. Menurut responden yang pernah mengkonversi hutan dan bekas hutan menjadi kelapa sawit, mengkonversi bekas hutan jauh lebih enak dibandingkan dengan hutan. Dari segi waktu, proses mengkonversi bekas hutan lebih cepat dibandingkan dengan hutan sehingga semakin cepat untuk bisa ditanami kelapa sawit. Faktor Pendorong Meninggalkan Kebun Karet Bagi responden dengan komunitas pendatang dan komunitas lokal, faktor pendorong utama mereka meninggalkan kebun karet dikarenakan tanaman karet yang sudah tua dan sudah mulai rusak. Rusaknya tanaman karet membuat produktivitas karet yang dihasilkan pun mulai menurun. Tanaman karet yang ada di Desa Bungku memang terbilang sudah cukup tua dimana jenis karet mereka merupakan jenis karet hutan yang sudah tumbuh bepuluh-puluh tahun lamanya. Tidaklah mengherankan jika produktivitas yang dihasilkan sudah mulai menurun. Selain umurnya yang sudah tua, rusaknya karet dikarenakan dipotong oleh orangorang tidak mengetahui teknik pemotongan sehingga karet pun rusak dan tidak produktif lagi. Seperti yang disampaikan Ibu SKW berikut ini: “Dulu itu semua lahan ditanam karet, cuma sekarang sudah rusak karena orang-orang itu dulu yang memotong tidak tahu cara-cara memotongnya. Mereka memotong mengenai pohonnya sehingga karetnya kering dan tidak ada lagi yang bisa disadap. Harusnya kalau memotong karet itu tidak boleh mengenai batang kayunya, karena kalau kena karetnya akan kering. Ya karena sudah rusak diganti semua menjadi sawit”. Selain umur karet yang sudah cukup tua dan sudah mulai rusak, faktor pendorong lainnya mereka meninggalkan kebun karet adalah karena frekuensi/intensitas penyadapan karet yang tinggi. Untuk menyadap karet, mereka harus pergi ke hutan pagi-pagi sekali dengan membawa perlengkapan yang dibutuhkan. Mereka bekerja menyadap karet mulai dari pagi-pagi hingga siang. Hasil yang didapatkan setiap harinya tidaklah begitu banyak sehingga jika dijual, keuntungannya tidaklah seberapa. Pekerjaan menyadap karet ini begitu menyita waktu karena mau tidak mau setiap harinya karet harus disadap. Jika turun hujan, maka penyadapan karet tidak bisa dilakukan karena akan merusak karet yang sudah dipotong sehingga membuat responden tidak bisa menyadap karet. Aktivitas seperti ini membuat responden merasa jenuh karena setiap hari harus berhubungan dengan karet, dengan hasil penyadapan yang tidak bisa sekaligus didapatkan banyak. Pada dasarnya harga karet bisa dibilang cukup tinggi per kilogramnya, hanya saja hasil penyadapan karet setiap harinya tidaklah banyak dan diperlukan waktu berminggu-minggu untuk mendapatkan hasil yang cukup banyak. Oleh karena itu responden berpikir untuk mengganti tanaman mereka menjadi tanaman lain yang lebih menguntungkan sekaligus tidak merepotkan. Selain beberapa faktor pendorong yang sudah disebutkan sebelumnya, sebagain responden juga mengatakan bahwa faktor pendorong mereka meninggalkan kebun
41 karet dikarenakan serangan hama karet yang susah untuk dicegah. Hama tersebut merupakan hewa-hewan hutan yaitu babi hutan dan monyet yang memakan karet milik responden. Hewan-hewan tersebut sangat susah untuk dibasmi mengingat lokasi kebun karet yang berada di areal hutan sehingga hewan-hewan tersebut datang dan menganggu karet milik warga untuk mencari makan. Melihat hal seperti ini, lantas responden pun memilih untuk mengganti lahan karet mereka menjadi kelapa sawit. Dari segi pemeliharaan, sesungguhnya tanaman karet tidak membutuhkan pemeliharaan yang khusus. Berbeda dengan tanaman pertanian pada umumnya, pohon karet sama seperti pohon-pohon yang hidup di hutan pada umumnya yang tidak perlu diberi pupuk atau harus disirami setiap hari. Namun, jika memang ingin memberi pupuk ke tanaman karet agar tanaman karet lebih subur lagi juga tidak menjadi masalah. Hanya saja, banyak responden tidak melakukan hal tersebut karena merasa tanaman karet mereka cukup bagus dan lumayan menghasilkan. Untuk harga, karet memiliki harga yang cukup tinggi dan stabil. Jika responden mampu menyadap karet dengan hasil yang banyak maka akan didapatkan keuntungan yang cukup untuk kebutuhan rumah tangga responden. Seperti yang disampaikan Bapak SYD berikut ini: “Sebenarnya dari segi harga, karet memiliki harga yang tinggi. Namun karet itu tidak bisa sekali menyadap bisa mendapatkan hasil yang banyak. Sekali menyadap dalam satu hari hanya bisa mendapatkan maksimal setengah sampai satu karung”. Bagi responden dengan komunitas adat, faktor pendorong meninggalkan lahan karet hampir sama dengan faktor pendorong meninggalkan hutan yaitu dikarenakan hutan mereka yang dulu penuh dengan tanaman kayu dan rotan kini sudah ditanami sawit oleh perusahaan. Jika dahulu masyarakat adat menggunakan kayu rotan sebagai bahan untuk membuat api unggun, membangun tempat tinggal, dan sebagai salah satu barang yang dipertukarkan untuk mendapatkan kebutuhan pokok keluarga, kini semua kayu yang ada di hutan sudah ditebang habis dan diganti menjadi kelapa sawit oleh perusahaan. Faktor Penarik Tanaman Kelapa Sawit Faktor penarik kelapa sawit yang dimaksudkan adalah faktor yang menarik responden sehingga memilih kelapa sawit untuk ditanam pada lahan mereka. Bagi responden dengan komunitas yang berbeda-beda yaitu pendatang, adat, dan lokal, faktor-faktor penarik tanaman kelapa sawit yang mereka sampaikan pun berbedabeda. Faktor penarik kelapa sawit dibagi menjadi dua yaitu tinggi dan rendah. Responden diberikan sepuluh pertanyaan yang terkait tentang faktor penarik kelapa sawit. Pertanyaan tersebut dijawab dengan jawaban tertutup “ya” dan “tidak” yang kemudian diakumulasikan dengan indeks skala nominal. Gambar 18 memaparkan sebaran responden dengan masing masing komunitas dengan masing-masing tingkatan faktor penarik. Untuk responden dengan komunitas pendatang, sebanyak 32.73 persen memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang tinggi dan sebanyak 3.64 persen memiliki faktor tanaman kelapa sawit yang rendah. Untuk responden dengan komunitas adat, sebanyak 1.82 persen memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang tinggi
42 dan sebanyak 34.55 persen memiliki faktor penarik yang rendah. Untuk responden dengan komunitas lokal, sebanyak 20.00 persen memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang tinggi dan sebanyak 7.27 persen memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang rendah. Persentase sebaran responden berdasarkan masing-masing tingkatan faktor penarik bisa dilihat secara lebih jelas pada Gambar 18.
Gambar 18 Jumlah dan persentase faktor penarik tanaman kelapa sawit berdasarkan komunitas Dari Gambar 18 terlihat bahwa untuk responden dengan komunitas pendatang dan lokal memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang tinggi. Hal ini dikarenakan dibandingkan dengan tanaman lainnya, tanaman kelapa sawit saat ini tengah menjadi komoditas primadona dan banyak dicari. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang menanamkan modalnya di Jambi maupun Desa Bungku sendiri. Hal ini membuat permintaan kelapa sawit yang semakin tinggi dan membuat pemasaran kelapa sawit semakin mudah. Dari segi pemanenan, kelapa sawit memiliki waktu panen yang cukup banyak yaitu dua kali selama satu bulan. Jika dibandingkan dengan tanaman karet, kelapa sawit tidaklah serepot dibandingkan dengan menyadap karet setiap hari. Jika karet harus disadap setiap hari dan jika hujan turun maka karet tidak bisa disadap, maka tanaman kelapa sawit cukup dibiarkan saja dan setiap dua minggu sekali sawit bisa dipanen tanpa harus pergi ke kebun setiap harinya. Untuk pemeliharaannya, kelapa sawit juga tergolong tanaman dengan pemeliharaan yang cukup sederhana karena tidak perlu disiram setiap hari. Dari segi harga, tanaman kelapa sawit memiliki harga yang tinggi dan stabil. Dengan hasil panen berjumlah
43 satu ton per bulannya, keuntungan kelapa sawit sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian responden komunitas pendatang dan lokal memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang rendah karena biaya produksi tanaman kelapa sawit yang cukup tinggi. Kelapa sawit harus diberi pupuk untuk menambah kualitas dari kelapa sawit dan menambah produksi. Selain itu sebagian dari responden juga berpendapat bahwa keuntungan dan hasil kelapa sawit dan karet sebenarnya hampir sama. Seperti yang disampaikan Bapak SDR berikut ini. “Sebenarnya ya kalau dilihat-lihat hasil dari karet dan sawit hampir sama. Jika kita memiliki sawit 4 Ha dan memiliki karet 2 Ha hasil yang kita peroleh hampir sama. Kalau sawit keuntungan kita harus dibelikan pupuk lagi, sedangkan kalau karet tidak usah diberi pupuk juga jadi. Untuk jumlah produksi, kelapa sawit akan terlihat menguntungkan jika memiliki lahan yang luas. Jika lahan yang dimiliki hanya 1 Ha dan ditanami kelapa sawit maka tidak akan begitu terlihat keuntungannya. Lebih baik ditanami dengan karet saja”. Untuk responden dengan komunitas adat, memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang rendah. Walaupun pada kenyataannya mereka ikut memanen kelapa sawit dan menikmati keuntungan dari hasil pemanenan kelapa sawit tersebut, namun mereka tidak setuju dengan segala aktivitas penanaman kelapa sawit di lahan mereka. Hal ini mereka lakukan dikarenakan alasan bertahan hidup. Menurut mereka masuknya kelapa sawit sudah banyak mengubah cara hidup mereka saat ini. Pembabatan hutan secara besar-besaran oleh perusahaan membuat mereka kehilangan tempat tinggal dan sumber kehidupan. Ikhtisar Untuk faktor pendorong meninggalkan hutan dan bekas hutan, komunitas pendatang mengkonversi hutan menjadi kelapa sawit dikarenakan lahan hutan yang tidak dimanfaatkan dan lahan yang tidak menghasilkan secara ekonomi. Sedangkan bagi komunitas adat, faktor pendorong meninggalkan hutan dikarenakan hutan tempat mereka menggantungkan hidup sudah dibabat dan ditanami kelapa sawit oleh perusahaan. Untuk faktor pendorong meninggalkan kebun karet, komunitas pendatang, adat, dan lokal meninggalkan karet karena umur karet yang sudah tua dan sudah rusak. Selain itu karet yang sudah tua tidak lagi berproduksi secara produktif. Faktor lainnya yang ikut berpengaruh adalah intensitas penyadapan karet yang tinggi dimana karet harus disadap setiap hari membuat responden bosan dan ingin mencoba komoditas yang lain. Faktor penarik tanaman kelapa sawit menurut komunitas pendatang dan komunitas lokal memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang tinggi. Hal ini dikarenakan dibandingkan dengan tanaman lainnya, tanaman kelapa sawit saat ini sedang terkenal dan banyak dicari. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaanperusahaan kelapa sawit yang menanamkan modalnya di Jambi maupun Desa Bungku sendiri. Hal ini membuat permintaan kelapa sawit yang semakin tinggi dan membuat pemasaran kelapa sawit semakin mudah. Dari segi pemanenan,
44 kelapa sawit memiliki waktu panen yang cukup banyak yaitu dua kali selama satu bulan. Jika dibandingkan dengan tanaman karet, kelapa sawit tidaklah serepot dibandingkan dengan menyadap karet setiap hari. Untuk komunitas adat, memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang rendah. Walaupun pada kenyataannya mereka ikut memanen kelapa sawit dan menikmati keuntungan dari hasil pemanenan kelapa sawit tersebut, namun mereka tidak setuju dengan segala aktivitas penanaman kelapa sawit di lahan mereka. Hal ini mereka lakukan dikarenakan alasan bertahan hidup. Pembabatan hutan secara besar-besaran oleh perusahaan membuat mereka kehilangan tempat tinggal dan sumber kehidupan.
45
TINGKAT RESPON KOMUNITAS TERHADAP KONVERSI LAHAN MENJADI KELAPA SAWIT Bab ini akan membahas analisis respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan melihat tiga hal yaitu tingkat respon komunitas dengan kondisi awal lahan, tingkat respon komunitas dan luas lahan yang dikonversi, dan tingkat respon komunitas dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit. Tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dibagi menjadi dua yaitu tinggi dan rendah. Responden diberikan sembilan pertanyaan yang terkait tentang respon responden terkait konversi lahan menjadi kelapa sawit. Pertanyaan tersebut dijawab dengan jawaban tertutup “ya” dan “tidak” yang kemudian diakumulasikan dengan indeks skala nominal. Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit Berdasarkan Kondisi Awal Lahan Komunitas Pendatang Dari gambar di bawah ini bisa kita lihat bahwa ada hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan kondisi awal lahan. Tingkat respon yang tinggi terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dilakukan pada umumnya dengan kondisi awal lahan berbentuk hutan yaitu sebanyak 50.00 persen sedangkan tingkat respon yang rendah terhadap konversi lahan kelapa sawit juga dilakukan dengan kondisi awal lahan adalah hutan dan kebun karet yaitu masing-masing sebanyak 5.00 persen.
Gambar 19 Hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit berdasarkan kondisi awal lahan
46 Pengolahan data menggunakan chi-square test, dengan value 9.899, df 2, dan α 0.05 persen diperoleh chi-square tabel 5.991. Dari hasil pengolahan data tersebut bisa disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan dengan kondisi awal lahan. Tingkat respon yang tinggi terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya dengan kondisi awal lahan hutan dikarenakan hutan yang tidak dimanfaatkan serta tidak menghasilkan dari segi ekonomi. Untuk itu, responden mengganti tanaman mereka dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan. Tingkat respon yang rendah terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya dengan kondisi awal lahan hutan dan kebun karet terjadi dikarenakan responden mengikuti orang lain yang lebih dulu mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit. Komunitas Adat Dari gambar di bawah ini bisa kita lihat bahwa ada hubungan antara tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan kondisi awal lahan. Tingkat respon yang tinggi terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya dengan kondisi awal lahan berbentuk kebun karet yaitu sebanyak 5.00 persen sedangkan tingkat respon yang rendah terhadap konversi lahan kelapa sawit pada umumnya terjadi dengan kondisi awal lahan adalah hutan dengan persentase sebanyak 95.00 persen.
Gambar 20 Hubungan antara tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit berdasarkan kondisi awal lahan Pengolahan data menggunakan chi-square test, dengan value 20.000 , df 1, dan α 0.05 persen diperoleh chi-square tabel 3.841. Dari hasil pengolahan data tersebut bisa disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat respon komunitas
47 adat terhadap konversi lahan dengan kondisi awal lahan. Tingkat respon komunitas adat yang tinggi terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya dengan kondisi awal lahan kebun karet dikarenakan kebun karet yang sudah tua dan rusak sehingga dikonversi menjadi kelapa sawit. Tingkat respon komunitas adat yang rendah terhadap konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit pada umumnya dengan kondisi awal hutan dikarenakan hutan merupakan tempat terpenting bagi komunitas adat untuk memenuhi kebutuhan hidup namun kini ditanami sawit oleh perusahaan sehingga membuat mereka memanen sawit untuk memenuhi kebutuhan hidup karena sudah kehilangan hutan. Komunitas Lokal Dari gambar di bawah ini bisa kita lihat bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan kondisi awal lahan. Tingkat respon yang tinggi terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya dengan kondisi awal lahan berbentuk bekas hutan yaitu sebanyak 40.00 persen sedangkan tingkat respon yang rendah terhadap konversi lahan kelapa sawit pada umumnya terjadi dengan kondisi awal lahan adalah kebun karet dengan persentase sebanyak 20.00 persen.
Gambar 21 Hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit berdasarkan kondisi awal lahan Pengolahan data menggunakan chi-square test, dengan value 3.920, df 2, dan α 0.05 persen diperoleh chi-square tabel 5.991. Dari hasil pengolahan data tersebut bisa disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan dengan kondisi awal lahan. Tingkat respon komunitas lokal yang tinggi dan terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya dengan kondisi awal lahan adalah bekas hutan yaitu
48 sebanyak 40.00 persen. Hal ini terjadi dikarenakan responden membeli lahan dari orang lain berbentuk bekas hutan dan setelah itu mengkonversi lahan tersebut karena tidak menghasilkan dari segi ekonomi. Tingkat respon komunitas lokal yang rendah terhadap konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit pada umumnya dengan kondisi awal kebun karet dikarenakan komoditas karet masih menjadi salah satu tumpuan ekonomi yang memegang peranan penting bagi responden hingga saat ini. Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit Berdasarkan Luas Lahan yang Dikonversi Menjadi Kelapa Sawit Komunitas Pendatang Dari gambar di bawah ini bisa kita lihat bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan luas lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit. Tingkat respon yang tinggi terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya mengkonversi lahannya dengan ukuran sempit yaitu sebanyak 75.00 persen dan tingkat respon yang rendah terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya mengkonversi lahannya dengan ukuran sempit yaitu sebanyak 10.00 persen. Tingkat respon yang tinggi dan rendah tidak berhubungan dengan luasnya lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit.
Gambar 22 Hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi Pengolahan data menggunakan chi-square test, dengan value 0.392, df 1, dan α 0.05 persen diperoleh chi-square tabel 3.841. Dari hasil pengolahan data
49 disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan luas lahan yang dikonversi responden menjadi kelapa sawit. Hal ini dikarenakan modal yang dibutuhkan cukup besar untuk mengkonversi lahan menjadi kelapa sawit mulai dari proses pembersihan lahan awal menjadi lahan yang siap ditanami menjadi kelapa sawit, harga bibit kelapa sawit yang cukup mahal, hingga proses pemeliharaan dan pemupukan yang cukup tinggi. Hal ini membuat responden masih berpikir dua kali untuk mengkonversi lahan menjadi kelapa sawit dengan ukuran luas. Selain itu, responden juga masih bertahan dengan komoditas sebelumnya dikarenakan komoditas sebelumnya masih memberikan keuntungan yang cukup besar bagi responden. Komunitas Adat Dari gambar di bawah ini bisa kita lihat bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan luas lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit. Tingkat respon yang rendah terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya mengkonversi lahannya dengan ukuran sempit yaitu sebanyak 90.00 persen dan tingkat respon yang rendah terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya mengkonversi lahannya dengan ukuran sempit yaitu sebanyak 5.00 persen. Tingkat respon yang tinggi dan rendah tidak berhubungan dengan luasnya lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit.
Gambar 23 Hubungan antara tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi Pengolahan data menggunakan chi-square test, dengan value 0.055, df 1, dan α 0.05 persen diperoleh chi-square tabel 3.841. Dari hasil pengolahan data disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon terhadap konversi
50 lahan menjadi kelapa sawit dengan luas lahan yang dikonversi responden menjadi kelapa sawit. Hal ini dikarenakan responden adat sangat menentang keberadaan kelapa sawit namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika perusahaan menanam kelapa sawit di hutan tempat mereka tinggal. Sebagai solusi, pemerintah Jambi memberikan hak lahan sebesar 2 ha kepada masing-masing rumahtangga yang kehilangan hutan akibat penanaman kelapa sawit oleh perusahaan. Namun dalam kenyataannya ada beberapa rumah tangga yang menduduki dan memanen sawit perusahaan lebih dari 2 ha karena merasa lahan miliknya yang ditanami sawit lebih luas dari 2 ha sehingga hal ini masih menimbulkan konflik hingga sekarang. Komunitas Lokal Dari gambar di bawah ini bisa kita lihat bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan luas lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit. Tingkat respon yang tinggi terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya mengkonversi lahannya dengan ukuran sempit yaitu sebanyak 46.67 persen dan tingkat respon yang rendah terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit pada umumnya juga mengkonversi lahannya dengan ukuran sempit yaitu sebanyak 26.67 persen. Tingkat respon yang tinggi dan rendah tidak berhubungan dengan luasnya lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit.
Gambar 24 Hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi Pengolahan data menggunakan chi-square test, dengan value 1.983, df 1, dan α 0.05 persen diperoleh chi-square tabel 3.841. Dari hasil pengolahan data disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon terhadap konversi
51 lahan menjadi kelapa sawit dengan luas lahan yang dikonversi responden menjadi kelapa sawit. Sama seperti komunitas pendatang, hal ini dikarenakan modal yang dibutuhkan cukup besar untuk mengkonversi lahan menjadi kelapa sawit mulai dari proses pembersihan lahan awal menjadi lahan yang siap ditanami menjadi kelapa sawit, harga bibit kelapa sawit yang cukup mahal, hingga proses pemeliharaan dan pemupukan yang cukup tinggi. Hal ini membuat responden masih berpikir dua kali untuk mengkonversi lahan menjadi kelapa sawit dengan ukuran luas. Selain itu, responden juga masih bertahan dengan komoditas sebelumnya dikarenakan komoditas sebelumnya masih memberikan keuntungan yang cukup besar bagi responden. Tingkat Respon Komunitas terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit dan Faktor Penarik Tanaman Kelapa Sawit Komunitas Pendatang Dari gambar di bawah ini bisa dilihat bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik kelapa sawit. Tingkat respon yang tinggi umumnya memiliki faktor penarik kelapa sawit yang tinggi yaitu sebanyak 80.00 persen dan tingkat respon yang rendah juga memiliki faktor penarik kelapa sawit yang tinggi yaitu sebanyak 10.00 persen. Tinggi rendahnya respon komunitas pendatang tidak berhubungan dengan tinggi rendahnya faktor penarik kelapa sawit.
Gambar 25 Hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit Pengolahan data menggunakan chi-square test, dengan value 0.247, df 1, dan α 0.05 persen diperoleh chi-square tabel 3,841. Dari hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas
52 terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit. Walaupun sebagian besar responden memiliki respon yang tinggi dengan faktor penarik kelapa sawit yang tinggi, namun beberapa responden memiliki respon yang rendah dengan faktor penarik kelapa sawit yang tinggi. Hal ini dikarenakan responden merasa komoditas lama masih cukup menguntungkan dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan akan lebih besar untuk mengkonversi seluruh lahannya menjadi kelapa sawit. Komunitas Adat Dari gambar di bawah ini bisa dilihat bahwa ada hubungan antara tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik kelapa sawit. Tingkat respon komunitas adat yang tinggi umumnya memiliki faktor penarik kelapa sawit yang tinggi yaitu sebanyak 5.00 persen dan sebaliknya tingkat respon komunitas adat yang rendah juga memiliki faktor penarik kelapa sawit yang rendah yaitu sebanyak 95.00 persen. Tinggi rendahnya respon komunitas pendatang tidak berhubungan dengan tinggi rendahnya faktor penarik kelapa sawit.
Gambar 26 Hubungan antara tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit Pengolahan data menggunakan chi-square test, dengan value 20.000, df 1, dan α 0.05 persen diperoleh chi-square tabel 3.841. Dari hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit. Tingkat respon komunitas adat yang rendah berhubungan denga dengan faktor penarik kelapa sawit yang rendah. Hal ini disebabkan responden adat sangat
53 menolak kehadiran kelapa sawit yang secara tidak langsung sudah membuat mereka kehilangan hutan sebagai tempat untuk tinggal dan memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga selama ini. Komunitas Lokal Dari gambar di bawah ini bisa dilihat bahwa ada hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik kelapa sawit. Tingkat respon komunitas lokal yang tinggi umumnya memiliki faktor penarik kelapa sawit yang tinggi yaitu sebanyak 66.67 persen dan sebaliknya tingkat respon komunitas lokal yang rendah juga memiliki faktor penarik kelapa sawit yang rendah yaitu sebanyak 20.00 persen.
Gambar 27 Hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit Pengolahan data menggunakan chi-square test, dengan value 6.516, df 1, dan α 0.05 persen diperoleh chi-square tabel 3.841. Dari hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit. Adanya faktor-faktor penarik kelapa sawit seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya membuat masyarakat memiliki respon yang tinggi terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit. Respon ini terlihat jelas dengan adanya kemauan dan tindakan responden mengkonversi lahan mereka menjadi kelapa sawit.
54
Ikhtisar Tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit melihat tiga hal yaitu tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan kondisi awal lahan, tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi, dan tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan faktor penarik kelapa sawit seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 dibawah ini. Tabel 4 Hubungan antara tingkat respon komunitas dengan kondisi awal lahan, luas lahan yang dikonversi dan faktor penarik kelapa sawit
Pendatang
Komunitas Adat
Lokal
Ada hubungan antara tingkat respon komunitas yang tinggi dengan kondisi awal lahan berbentuk hutan Tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas yang tinggi dengan luas lahan yang dikonversi dalam ukuran sempit
Ada hubungan antara tingkat respon komunitas yang rendah dengan kondisi awal lahan berbentuk hutan Tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas yang tinggi dengan luas lahan yang dikonversi dalam ukuran sempit
Tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas yang tinggi dengan kondisi awal lahan berbentuk bekas hutan
Tidak ada Faktor hubungan antara penarik kelapa sawit tingkat respon komunitas yang rendah dengan faktor penarik kelapa sawit yang tinggi
Ada hubungan antara tingkat respon komunitas yang rendah dengan faktor penarik kelapa sawit yang rendah
Ada hubungan antara tingkat respon komunitas yang tinggi dengan faktor penarik kelapa sawit yang tinggi
Kondisi awal lahan
Luas lahan yang dikonversi
Tidak ada hubungan antara tingkat respon komunitas yang tinggi dengan luas lahan yang dikonversi dalam ukuran sempit
Dari Tabel 4 bisa dilihat bahwa tingkat respon komunitas pendatang berhubungan dengan kondisi awal lahan serta tidak berhubungan dengan luas lahan yang dikonversi dan faktor penarik kelapa sawit. Selanjutnya, tingkat respon komunitas adat berhubungan dengan kondisi awal lahan dan faktor penarik kelapa sawit serta tidak berhubungan dengan luas lahan yang dikonversi. Terakhir, tingkat respon komunitas lokal berhubungan dengan faktor penarik kelapa sawit serta tidak berhubungan dengan kondisi awal lahan dan luas lahan yang dikonversi.
55
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan kondisi Desa Bungku, pola penguasaan dan pemanfaatan lahan, faktor pendorong dan penarik konversi lahan menjadi kelapa sawit, serta tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada awalnya, kondisi lahan di Desa Bungku sebagian besar terdiri atas hutan. Penduduk Desa Bungku sebagian besar terdiri dari komunitas adat dengan suku Batin Sembilan. Mereka tinggal dan bertahan hidup dengan mengandalkan dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Selain komunitas adat, penduduk yang tinggal di Desa Bungku merupakan komunitas lokal dan pendatang yang juga ikut memanfaatkan hutan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan. Seiring perkembangan zaman, komoditas kelapa sawit yang sangat terkenal dan memiliki permintaan yang cukup tinggi mulai masuk ke Desa Bungku. Melihat kondisi yang ada di Desa Bungku, perusahaan-perusahaan kelapa sawit atas izin pemerintah mulai masuk dan menanam kelapa sawit dengan sebelumnya membabat habis hutan yang menjadi tempat masyarakat adat menggantungkan hidup. Tingkat konversi lahan menjadi kelapa sawit di Desa Bungku melihat 2. bagaimana kondisi awal lahan sebelum dikonversi menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit dengan melihat pada tiga komunitas yaitu komunitas pendatang, komunitas adat, dan komunitas lokal yang ada di Desa Bungku. Untuk kondisi awal lahan sebelum dikonversi menjadi kelapa sawit bagi komunitas pendatang, adat, dan lokal pada umumnya memiliki kondisi awal berbentuk hutan. Menurut responden komunitas pendatang dan lokal, hal ini dikarenakan lahan yang mereka dapatkan pertama kali adalah hutan sebagaimana awal kondisi Desa Bungku yang sebagian besar adalah hutan. Untuk luas lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit, pada umumnya komunitas pendatang, adat, dan lokal mengkonversi lahan mereka dengan ukuran sempit. Bagi komunitas pendatang dan lokal, hal ini dikarenakan sebagian besar responden masih bertahan pada komoditas lama yang masih memberikan keuntungan yang besar bagi responden. Selain itu juga susahnya mendapatkan lahan dan tingginya modal yang dibutuhkan membuat sebagian besar responden dengan komunitas pendatang dan lokal mengkonversi lahan mereka dengan ukuran sempit. Untuk komunitas adat, selain menentang keras kehadiran kelapa sawit, lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit tergolong sempit dikarenakan lahan kelapa sawit yang bisa mereka panen hanya diberikan oleh pemerintah sebanyak 2 Ha per rumahtangga sebagai ganti rugi karena hutan mereka sudah ditanami sawit oleh perusahaan. Faktor pendorong komunitas pendatang meninggalkan hutan dan bekas 3. hutan dikarenakan lahan hutan yang tidak dimanfaatkan dan lahan yang tidak menghasilkan secara ekonomi. Sedangkan bagi komunitas adat, faktor pendorong meninggalkan hutan dikarenakan hutan tempat mereka
56
4.
5.
menggantungkan hidup sudah dibabat dan ditanami kelapa sawit oleh perusahaan. Untuk faktor pendorong meninggalkan kebun karet, komunitas pendatang, adat, dan lokal meninggalkan karet karena umur karet yang sudah tua dan sudah rusak. Selain itu karet yang sudah tua tidak lagi berproduksi secara produktif. Faktor lainnya yang ikut berpengaruh adalah intensitas penyadapan karet yang tinggi dimana karet harus disadap setiap hari membuat responden bosan dan ingin mencoba komoditas yang lain. Faktor penarik tanaman kelapa sawit menurut komunitas pendatang dan komunitas lokal memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang tinggi. Hal ini dikarenakan dibandingkan dengan tanaman lainnya, tanaman kelapa sawit saat ini sedang terkenal dan banyak dicari. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang menanamkan modalnya di Jambi secara umum dan Desa Bungku secara khusus. Hal ini membuat permintaan kelapa sawit yang semakin tinggi dan membuat pemasaran kelapa sawit semakin mudah. Dari segi pemanenan, kelapa sawit memiliki waktu panen yang cukup banyak yaitu dua kali selama satu bulan. Jika dibandingkan dengan tanaman karet, kelapa sawit tidaklah serepot dibandingkan dengan menyadap karet setiap hari. Untuk komunitas adat, memiliki faktor penarik tanaman kelapa sawit yang rendah. Walaupun pada kenyataannya mereka ikut memanen kelapa sawit dan menikmati keuntungan dari hasil pemanenan kelapa sawit tersebut, namun mereka tidak setuju dengan segala aktivitas penanaman kelapa sawit di lahan mereka. Hal ini mereka lakukan dikarenakan alasan bertahan hidup. Menurut mereka masuknya kelapa sawit sudah banyak mengubah cara hidup mereka saat ini. Pembabatan hutan secara besarbesaran oleh perusahaan membuat mereka kehilangan tempat tinggal dan sumber kehidupan. Tingkat respon komunitas terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit melihat tiga hal yaitu tingkat respon komunitas dan kondisi awal lahan, tingkat respon komunitas dan luas lahan yang dikonversi, serta tingkat respon komunitas dengan faktor penarik kelapa sawit. Tingkat respon komunitas pendatang berhubungan dengan kondisi awal lahan serta tidak berhubungan dengan luas lahan yang dikonversi dan faktor penarik kelapa sawit. Selanjutnya, tingkat respon komunitas adat berhubungan dengan kondisi awal lahan dan faktor penarik kelapa sawit serta tidak berhubungan dengan luas lahan yang dikonversi. Terakhir, tingkat respon komunitas lokal berhubungan dengan faktor penarik kelapa sawit serta tidak berhubungan dengan kondisi awal lahan dan luas lahan yang dikonversi. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan masukan atau saran diantaranya sebagai berikut : 1. Sebaiknya dibuat suatu peraturan bagi masyarakat pendatang dan lokal yang ada tinggal di Desa Bungku untuk ikut melestarikan hutan dan tidak dengan mudah mengkonversi hutan menjadi kelapa sawit.
57 2. Pemerintah sebaiknya mengontrol dan meninjau kembali mengenai batasan-batasan lahan di Desa Bungku dan membuat batasan-batasan secara jelas dan tertulis mengenai lahan mana di Desa Bungku yang bisa dikonversi menjadi kelapa sawit khususnya di wilayah hutan. 3. Untuk mengurangi konversi karet yang telah tua dan rusak menjadi kelapa sawit, pemerintah sebaiknya mengadakan replanting karet untuk mendukung kegiatan masyarakat dalam melestarikan karet dan mengurangi kegiatan konversi lahan menjadi kelapa sawit di Desa Bungku.
58
DAFTAR PUSTAKA Abdullah A. 2011. Prospek proyek REDD+ (Pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan) yang berpihak pada masyarakat miskin untuk mengurangi emisi karbon dari sektor kelapa sawit di Provinsi Jambi, Indonesia. Inovasi. 19(02): 9-17. Adi IR. 1992. Respons masyarakat Bali terhadap perubahan pola rumah tradisional Bali di Banjar Legian Kaja Daerah Wisata Kuta. Bogor: Tesis Institut Pertanian Bogor. Agusta I. 1997. Respon komunitas terhadap industrialisasi desa (studi kasus Desa Kedungdowo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah). Bogor: Tesis Institut Pertanian Bogor Astuti UP, Wibawa W, Ishak A. 2009. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pangan menjadi kelapa sawit di Bengkulu. Balai Pengkajian Pertanian Bengkulu. [internet] [diunduh tanggal 7 februari 2013] http://bengkulu.litbang.deptan.go.id/ind/images/dokumen/publikasi/Alih %20Fungsi.pdf ___________. 2007. Dampak pengembangan kelapa sawit di Jambi: pendekatan input-output. [internet] [diunduh tanggal 15 februari 2013] http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/FAC01E13-93A7-421D-9FA18280CA664F81/16551/boks1AnalisisPengembanganKelapaSawitdiJamb i.pdf ___________. 2007. Rencana dan replanting kelapa sawit di Jambi. [internet] [diunduh 14 februari 2013] http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/37E2D2BD-4E36-482D-A4247B5BC60B3657/26837/Boks1RencanaDanKendalaReplantingKelapaSa witDiProvi.pdf BKPM. 2009. Profil potensi investasi provinsi Jambi. [internet] [diunduh tanggal 15 februari 2013] http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/userfiles/ppi/PROFIL%2 0POTENSI%20INVESTASI%20PROVINSI%20JAMBI%202009.pdf Hamdan. 2011. Ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Hamzah A. 2008. Respon komunitas nelayan terhadap modernisasi perikanan (studi kasus nelayan suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara). Bogor: Tesis Pascasarjan Institut Pertanian Bogor Iqbal, M dan Soemaryanto. 2007. Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian bertumpu pada partisipasi masyarakat. [internet] [diunduh tanggal 13 februari 2013] http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART5-2c.pdf Jayadinata, JT. 1999. Tata guna tanah dalam perencanaan pedesaan, perkotaan,dan wilayah. Edisi Ketiga. Penerbit ITB, Bandung. Lestari A. 2011. Konversi lahan pertanian (Studi Kasus : Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor) .[skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
59 Mulyoutami E, dkk. 2010. Perubahan pola perladangan: Pergeseran persepsi mengenai para peladang di Indonesia. Bogor, Indonesia.World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 101 hal. Murtiyeni. 2002. Respon peternak sapi perah terhadap sumber informasi teknologi peternakan (kasus di Kecamatan Cibungbulang, Pamijahan dan Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bogor: Tesis Institut Pertanian Bogor. MP3EI. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta. Putri RI. 2008. Konversi lahan dan dampak yang ditimbulkan terhadap implikasi tata guna lahan pada masyarakat perkotaan: studi kasus proses pembentukan Kampung Pengarengan, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Ruswandi, A. Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan dampak negatifnya. [internet] [diunduh tanggal 15 februari 2013] http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART5-2c.pdf Scholten. EL. 2008. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan JambiBatavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Nur Cholis, penerjemah. Edisi pertama. Jakarta: Banana, KITLV. Terjemahan dari: The Research Institute for History and Culture (OGC). Sihaloho, M. 2004. Konversi lahan pertanian dan perubahan struktur agraria: Kasus Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. Tesis. Tidak dipublikasikan. Sihaloho M, Purwandari H, dan Mardiyaningsih DI. 2010. Reforma agraria dan revitalisasi pertanian di Indonesia: Studi kasus pertanian tanaman pangan dan hortikultura di Jawa Barat. Sodality [internet]. [diunduh 2012 Feb 19];04(01):146-150. Tersedia pada: http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi10-7.pdf Singarimbun, M dan Sofian E. 1989. (editor). Metode penelitian survei. Jakarta: LP3ES Sumaryanto, Friyatno S, dan Irawan B. 2001. Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan dampak negatifnya. Prosiding seminar nasional multifungsi lahan sawah [internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Hlm 1-18; [diunduh 2013 Jan 15]. Tersedia pada: http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/prosiding/mflp2001/su maryanto.pdf Surambo A, Andiko, Andriyanu B, Sutrisno E, Saepuloh E, Saragih J, Nurcholis, Jiwan N. 2010. Dampak hak atas tanah untuk industri terhadap hak adat atas tanah ulayat. Dalam: Irawanto DS, editor. Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Asasi Manusia (HAM). Bogor [ID]: Sawit Watch Press. Hal 55130.
60
LAMPIRAN Lampiran 1. Kerangka sampling penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42 43 44 45 46
Nama Responden Arifin Yul Nasri Sugianto Mbah Kani Lilis Mawati Sayudi Isngari Suyono Zulkarnaen Sahnan Hadi Aryanto M. Ali Harahap Sino Mahmud Suparno Saina Yanto Nursidin Nuh Ani Matapis Sudirman Romunah Khotip Erdi Yatum Abu Amo Arna Teguh Hayadi Sinaga Tasjuni Saino Karsum Sumarno Nasihun Pranoto Sampurno Maryadi E. Manullang Sutrisna Sarbaini Rasmawati Syahrial Misrianti Hasan Basri Anam Rohimin
Jenis Kelamin L L L P P L L L L L L L L L L P L L L L L P L L L L P L L L L L L L L L L L L L P L P L L P
RT/RW 02/01 02/01 02/01 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 32/04 02/01 01/01 04/02 04/02 04/02 04/02 04/02 04/02 08/03 08/03 08/03 08/03 08/03 08/03 08/03 13/03 13/03 13/03 13/03 13/03 13/03 13/03 13/03 13/03 13/03 13/03 13/03 03/02 05/02 05/02 05/02 08/03 08/03 08/03
61 Nomor 47 48 49 50 51 52 53 54 55
Nama Responden Kasim Agus Sutan Rusli Wendy Dimas Junaidi Tarijan Lamsa
Jenis Kelamin L L L L L L L L L
RT/RW 08/03 08/03 08/03 08/03 08/03 08/03 08/03 08/03 08/03
62 Lampiran 2. Peta lokasi penelitian Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi
63 Lampiran 3. Hasil pengolahan data menggunakan Chi Square TINGKAT RESPON KOMUNITAS DAN KONDISI AWAL LAHAN Tingkat Respon Terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit * Kondisi Awal Lahan * Suku Crosstabulation Kondisi Awal Lahan Suku Pendatang
Hutan Tingkat Konversi
Respon Lahan
Terhadap Rendah
Count
Menjadi
Bekas Hutan
Kebun Karet
Total
1
0
1
2
1.1
.8
.1
2.0
.0%
50.0%
.0
-.9
2.8
Adjusted Residual
-.1
-1.2
3.1
Count
10
8
0
18
Expected Count
9.9
7.2
.9
18.0
44.4%
.0%
Expected Count
Kelapa Sawit %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Std. Residual
Tinggi
%
within
Terhadap
Tingkat Konversi
Respon Lahan
Menjadi Kelapa Sawit
50.0 %
55.6 %
Std. Residual
.0
.3
-.9
Adjusted Residual
.1
1.2
-3.1
100. 0%
100. 0%
64 Total
Count Expected Count %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Adat
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Terhadap
Rendah
Count
Menjadi
Expected Count
Kelapa Sawit
%
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Std. Residual
1
20
11.0
8.0
1.0
20.0
40.0%
5.0%
55.0 %
0%
19
0
19
18.0
1.0
19.0
100. 0%
.0%
100. 0%
4.5
-4.5
0
1
1
1.0
.0
1.0
.0%
100.0%
Std. Residual
-1.0
4.2
Adjusted Residual
-4.5
4.5
19
1
20
19.0
1.0
20.0
Expected Count within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit
Total
100.
-1.0
Count
%
8
.2
Adjusted Residual Tinggi
11
Count Expected Count
100. 0%
65 %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Lokal
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Terhadap
Rendah
Count
Menjadi
Expected Count
95.0
5.0%
%
100. 0%
3
0
1
4
1.6
1.6
.8
4.0
.0%
25.0%
Kelapa Sawit %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit
Tinggi
-1.3
.2
Adjusted Residual
1.7
-1.9
.3
3
6
2
11
4.4
4.4
2.2
11.0
54.5%
18.2%
-.7
.8
-.1
-1.7
1.9
-.3
6
6
3
15
6.0
6.0
3.0
15.0
40.0%
20.0%
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Std. Residual Adjusted Residual Count Expected Count %
0%
1.1
Expected Count
Total
%
100.
Std. Residual
Count
%
75.0
within
Terhadap
Tingkat Konversi
Menjadi Kelapa Sawit
Respon Lahan
27.3 %
40.0 %
100. 0%
100. 0%
66 Chi-Square Tests Asymp. Suku Pendatang
Value Pearson Chi-Square
df
9.89 a
9 Likelihood Ratio
6.30 1
Linear-by-Linear Association
4.92 6
N of Valid Cases Adat
2
.007
2
.043
1
.026
1
.000
1
.034
1
.005
20.0 b
00 c
4.48 8
Likelihood Ratio
7.94 1
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
.050 19.0 00
N of Valid Cases Lokal
Pearson Chi-Square
(2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
20
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Sig. (2-sided)
Exact Sig.
1
.000
2
.141
20 3.92 d
0
.050
67 Likelihood Ratio
5.26 1
Linear-by-Linear Association
.094
N of Valid Cases
2
.072
1
.759
15
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,10. b. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,05. c. Computed only for a 2x2 table d. 6 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,80.
RESPON KOMUNITAS DAN LUAS LAHAN YANG DIKONVERSI Tingkat Respon Terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit * Luas Lahan yang Dikonversi * Suku Crosstabulation Luas Lahan yang Dikonversi Suku Pendatang
Sempit Tingkat Konversi
Respon Lahan
Terhadap
Rendah
Count
Menjadi
Luas
Total
2
0
2
1.7
.3
2.0
100.0%
.0%
Std. Residual
.2
-.5
Adjusted Residual
.6
-.6
Count
15
3
Expected Count
Kelapa Sawit %
within
Terhadap
Tingkat Konversi
Respon Lahan
Menjadi Kelapa Sawit
Tinggi
100. 0%
18
68 Expected Count %
15.3
2.7
83.3%
16.7%
.0
.2
Adjusted Residual
-.6
.6
Count
17
3
20
17.0
3.0
20.0
85.0%
15.0%
18
1
19
18.0
1.0
19.0
94.7%
5.3%
.0
.1
-.2
.2
1
0
1
1.0
.0
1.0
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Std. Residual
Total
Expected Count %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Adat
Tingkat Konversi
Respon Lahan
Terhadap
Rendah
Count
Menjadi
Expected Count
Kelapa Sawit
%
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Std. Residual Adjusted Residual Tinggi
Count Expected Count
18.0 100. 0%
100. 0%
100. 0%
69 %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
.0%
Std. Residual
.1
-.2
Adjusted Residual
.2
-.2
Count
19
1
20
19.0
1.0
20.0
95.0%
5.0%
4
0
4
2.9
1.1
4.0
100.0%
.0%
.6
-1.0
1.4
-1.4
7
4
11
8.1
2.9
11.0
63.6%
36.4%
Menjadi Kelapa Sawit
Total
Expected Count %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Lokal
Tingkat Konversi
Respon Lahan
Terhadap
Rendah
Count
Menjadi
Expected Count
Kelapa Sawit
%
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Std. Residual Adjusted Residual Tinggi
Count Expected Count %
100.
100.0%
within
Terhadap
Tingkat Konversi
Menjadi Kelapa Sawit
Respon Lahan
0%
100. 0%
100. 0%
100. 0%
70 Std. Residual Adjusted Residual Total
-.4
.6
-1.4
1.4
11
4
15
11.0
4.0
15.0
73.3%
26.7%
Count Expected Count %
within
Tingkat
Terhadap
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit
Chi-Square Tests Valu Suku Pendatang
e Pearson Chi-Square
Continuity Correction
df .392
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
a
1
.531
.000
1
1.000
.688
1
.407
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Adat
b
Pearson Chi-Square
Exact Sig. (2-sided)
1.000 .373
1
.542
1
.814
20 .055 c
Exact Sig. (1-sided)
.716
100. 0%
71 Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
.000
1
1.000
.105
1
.746
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Lokal
b
.053
1
.819
d
1
.159
.560
1
.454
1
.084
1.98 3 b
Likelihood Ratio
2.97 7
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1.85 1
N of Valid Cases
b
.950
.516
.242
20
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
1.000
1
.174
15
a. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,30. b. Computed only for a 2x2 table c. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,05. d. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,07.
72 RESPON KOMUNITAS DENGAN FAKTOR PENARIK TANAMAN KELAPA SAWIT Tingkat Respon Terhadap Konversi Lahan Menjadi Kelapa Sawit * Faktor Penarik Kelapa Sawit * Suku Crosstabulation Faktor Penarik Kelapa Sawit Suku Pendatang
Tinggi Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Terhadap
Rendah
Rendah
Total
2
0
2
1.8
.2
2.0
100.0%
.0%
Std. Residual
.1
-.4
Adjusted Residual
.5
-.5
Count
16
2
18
16.2
1.8
18.0
88.9%
11.1%
.0
.1
Adjusted Residual
-.5
.5
Count
18
2
20
18.0
2.0
20.0
Count
Menjadi
Expected Count
Kelapa Sawit %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit
Tinggi
Expected Count %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Std. Residual
Total
Expected Count
100. 0%
100. 0%
73 %
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
10.0%
0
19
19
1.0
18.0
19.0
.0%
100.0%
Std. Residual
-1.0
.2
Adjusted Residual
-4.5
4.5
Count
1
0
1
Expected Count
.0
1.0
1.0
100.0%
.0%
Std. Residual
4.2
-1.0
Adjusted Residual
4.5
-4.5
1
19
20
1.0
19.0
20.0
5.0%
95.0%
Menjadi Kelapa Sawit Adat
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Terhadap
Rendah
Count
Menjadi
Expected Count
Kelapa Sawit
%
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit
Tinggi
%
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit
Total
Count Expected Count %
100.
90.0%
within
Terhadap
Tingkat Konversi
Menjadi Kelapa Sawit
Respon Lahan
0%
100. 0%
100. 0%
100. 0%
74 Lokal
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Terhadap
Rendah
Count
Menjadi
1
3
4
2.9
1.1
4.0
25.0%
75.0%
Std. Residual
-1.1
1.9
Adjusted Residual
-2.6
2.6
Count
10
1
11
Expected Count
8.1
2.9
11.0
90.9%
9.1%
.7
-1.1
Adjusted Residual
2.6
-2.6
Count
11
4
15
11.0
4.0
15.0
73.3%
26.7%
Expected Count
Kelapa Sawit
%
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit
Tinggi
%
within
Terhadap
Tingkat
Respon
Konversi
Lahan
Menjadi Kelapa Sawit Std. Residual
Total
Expected Count %
within
Terhadap
Tingkat Konversi
Menjadi Kelapa Sawit
Respon Lahan
100. 0%
100. 0%
100. 0%
75
Chi-Square Tests Asymp. Suku Pendatang
Value Pearson Chi-Square
Continuity Correction
df .247
b
Likelihood Ratio
Sig. (2-sided)
a
1
.619
.000
1
1.000
.445
1
.505
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Adat
b
.235
.628
1
.000
1
.034
1
.005
20.0 c
00 b
4.48 8
Likelihood Ratio
7.94 1
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
19.0 00
N of Valid Cases
b
(2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1.000
.805
.050
.050
20
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
1
Exact Sig.
20
1
.000
76 Lokal
Pearson Chi-Square
6.51 d
6 Continuity Correction
b
3.58 1
Likelihood Ratio
6.19 7
1
.011
1
.058
1
.013
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
.033 6.08 2
N of Valid Cases
b
1
.014
15
a. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,20. b. Computed only for a 2x2 table c. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,05. d. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,07.
.033
77 Lampiran 4. Tabel hasil pengolahan data Tabel 1 Jumlah dan persentase suku responden No 1 2 3 4 5 6
Suku Jawa Batak Batin Sembilan Melayu Jambi Kerinci Semendo Total
Jumlah 18 2 20 5 4 6 55
Persentase (%) 32.73 3.64 3636 9.09 7.27 10.91 100
Tabel 2 Jumlah dan persentase jenis kelamin responden No 1 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah 48 7 55
Persentase (%) 87.27 12.73 100
Tabel 3 Jumlah dan persentase usia responden Usia Responden 10-20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun 61-70 tahun 71-80 tahun
Jumlah 1 5 13 23 7 4 2
Persentase (%) 1.82 9.09 23.64 41.82 12.73 7.27 3.64
Total
55
100
Tabel 4 Jumlah dan persentase agama responden No
Agama
Jumlah
Persentase (%)
1
Islam
54
98.18
2
Kristen
1
1.82
Total
55
100
78 Tabel 5 Jumlah dan persentase status perkawinan responden No
Status Perkawinan
1 2
Jumlah
Persentase (%)
53 2
96.36 3.64
55
100
Menikah Janda/duda karena meninggal Total
Tabel 6 Jumlah dan persentase pendidikan terakhir responden No
Pendidikan Terakhir Tidak/belum sekolah Tidak/belum tamat sekolah dasar Lulus sekolah dasar Lulus sekolah menengah pertama Lulus sekolah menengah atas Lulus diploma/universitas Total
1 2 3 4 5 6
Jumlah
Persentase (%)
19 13
34.55 23.64
9 3
16.36 5.45
9
16.36
2
3.64
55
100
Tabel 7 Jumlah dan persentase pekerjaan utama responden No 1 2 3 4 5
Pekerjaan Utama Petani yang memiliki tanah Petani penyewa tanah Ibu Rumah Tangga Tidak bekerja Guru Total
Jumlah 51
Persentase (%) 92.73
1
1.82
1 1 1 55
1.82 1.82 1.82 100
Tabel 8 Jumlah dan persentase pekerjaan sampingan responden No 1 2 3 4 5
Pekerjaan Utama Petani yang memiliki tanah Petani penyewa tanah Ibu Rumah Tangga Tidak bekerja Guru Total
Jumlah 3
Persentase (%) 5.45
1
1.82
1 4 46 55
1.82 7.27 83.64 100
79 Tabel 9 Jumlah dan persentase tahun perolehan lahan berdasarkan komunitas Tahun Lahan Diperoleh 19501960 19711980 19811990 19912000 20012010 2011sekarang
No 1 2 3 4 5 6
Total
Pendatang
Adat
Lokal
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
0
0
2
3.64
0
0
2
3.64
0
0
6
10.91
0
0
6
10.91
0
0
4
7.27
0
0
4
7.27
10
18.18
4
7.27
6
10.91
20
36.36
8
14.55
4
7.27
6
10.91
18
32.73
2
3.64
0
0
3
5.45
5
9.09
20
36.37
20
36.36
15
27.27
55
100
Tabel 10 Jumlah dan persentase sumber perolehan lahan berdasarkan komunitas
Sumber Perolehan Lahan
Pendatang Jumlah %
Adat Jumlah %
Lokal Jumlah %
Total Jumlah %
Desa/kepala desa
10
18.18
0
0
2
7.27
12
25.35
Keluarga
0
0
15
27.27
4
3.64
19
30.91
Warga Desa Bungku
10
18.18
4
7.27
8
14.55
22
30.00
Warga desa lain
0
0
0
0
1
1.82
1
1.82
Pemerintah
0
0
1
1.82
0
0
1
1.82
Total
20
6,36
20
36,36
15
21,28
55
100
80 Tabel 11 Jumlah dan persentase cara perolehan lahan dilihat berdasarkan komunitas Pendatang Cara perolehan lahan
Adat
lokal
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Buka sendiri
10
18.18
0
0
1
1,82
11
20.00
Beli/ganti rugi
9
16.36
0
0
7
12,73
16
29.09
warisan harta bawaan dari suami/istri
1
1.82
20
36.36
4
7,27
25
45.45
0
0
0
0
2
3,63
2
3.63
Pemberian
0
0
0
0
1
1,82
1
1.82
20
36.36
27,27
55
100
Total
20
36.36
15
Tabel 12 Jumlah dan persentase bukti legalitas lahan dilihat berdasarkan komunitas
Bukti legalitas lahan Tanah adat Tanah milik:tanpa surat Tanah milik:surat desa Tanah milik:akte jual beli Surat Keterangan Tanam Tumbuh(SKTT) Total
Pendatang
Adat
Lokal
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
0
0
14
25.45
2
3.64
16
29.09
1
1.82
6
10.91
3
5.45
10
18.18
18
32.73
0
0
5
9.09
23
41.82
1
1.82
0
0
4
7.27
5
9.09
0
0
0
0
1
1.82
1
1.82
20
36.37
20
36.36
15
27.27
55
100
Tabel 13 Jumlah dan persentase nama yang tercantum pada bukti legalitas lahan berdasarkan komunitas Pendatang Nama yang Tercantum Laki-laki kepala rumah tangga Istri laki-laki kepala rumah tangga Perempuan kepala rumah tangga Tidak ada (tidak memiliki surat) Total
Adat
Lokal
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
17
30.91
0
0
10
18.18
27
49.09
1
1.82
0
0
0
0
1
1.82
1
1.82
0
0
0
0
1
1.82
1 20
1.82 36.37
20 20
36.36 36.36
5 15
9.09 27
26 55
47.27 100
81 Tabel 14 Jumlah dan persentase orang yang menggarap lahan berdasarkan komunitas Pendatang
Orang yang Menggarap Lahan
Adat
Lokal
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Sendiri
1
1.82
7
21.82
3
5.45
11
29.09
Keluarga Inti
14
25.45
12
12.73
12
21.82
38
60.00
Kerabat Luas
2
3.64
1
1.82
0
0
3
5.46
3
5.45
0
0
0
0
3
5.45
20
36.36
20
36,.37
15
27.27
55
100
Orang lain, sesama desa
tapi
Total
Tabel 15 Kondisi awal lahan sebelum dikonversi menjadi kelapa sawit dilihat berdasarkan komunitas Hutan
Bekas Hutan
Kebun Karet
Total
Komunitas Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Pendatang
11
20.00
8
14.55
1
1.82
20
37.17
Adat
19
34.55
0
0
1
1.82
20
36.37
Lokal
6
10.91
6
10.91
3
5.45
15
27.27
Total
36
65.46
14
25.46
5
9.09
55
100
Tabel 16 Jumlah dan persentase luas lahan yang dikonversi berdasarkan komunitas
Komunitas Pendatang Adat Lokal Total
Sempit Jumlah % 17 30.91 19 34.55 11 20.00 46 83.64
Luas Lahan yang Dikonversi Luas Total Jumlah % Jumlah % 3 5.45 20 36.36 1 1.82 20 36.37 4 7.27 15 27.27 9 16.36 55 100
82 Tabel 17 Jumlah dan persentase faktor penarik tanaman kelapa sawit berdasarkan komunitas Faktor Penarik Kelapa Sawit Komunitas
Tinggi
Rendah
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Pendatang
18
32.73
2
3.64
20
36.37
Adat
1
1.82
19
34.55
20
36.37
Lokal
11
20.00
4
7.27
15
27.26
Total
30
54.55
25
45,.5
55
100
Tabel 18 Hubungan antara respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit berdasarkan kondisi awal lahan Kondisi Awal Lahan
Tingkat Respon
Hutan
Bekas Hutan
Kebun Karet
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah
1
5.00
0
0
1
5.00
2
10.00
Tinggi
10
50.00
8
40.00
0
0
18
90.00
Total
11
55.00
8
40.00
1
5.00
20
100
Tabel 19 Hubungan antara respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit berdasarkan kondisi awal lahan Tingkat Respon Rendah
Hutan Jumlah % 19 95.00
Tinggi
0
0
Total
19
95.00
Kondisi Awal Lahan Bekas Hutan Kebun Karet Jumlah % Jumlah % 0 0 0 0 0 0 0 1 5.00 0 0 0 1 5.00
Total Jumlah % 19 95.00 1
5.00
20
100
83 Tabel 20 Hubungan antara respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit berdasarkan kondisi awal lahan Tingkat Respon Rendah Tinggi Total
Hutan Jumlah % 3 20 3 20 6 40
Kondisi Awal Lahan Bekas Hutan Kebun Karet Jumlah % Jumlah % 0 0 1 6.67 6 40 2 13.33 6 40 3 20
Total Jumlah % 4 26.67 11 73.33 15 100
Tabel 21 Hubungan antara tingkat komunitas pendatang dan luas lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit
Tingkat Respon Tinggi Rendah Total
Luas Lahan yang Dikonversi Sempit Luas Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % 15 75.00 3 15.00 18 90.00 2 10.00 0 0 2 10.00 17 85.00 3 15.00 20 100
Tabel 22 Hubungan antara tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi
Tingkat Respon Tinggi Rendah Total
Luas Lahan yang Dikonversi Sempit Luas Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 5.00 0 0.0 1 5.00 18 90.0 1 5.0 19 95.00 19 95.00 1 5 20 100
Tabel 23 Hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dan luas lahan yang dikonversi
Tingkat Respon Tinggi Rendah Total
Luas Lahan yang Dikonversi Sempit Luas Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % 7 46.67 4 26.67 11 73.34 4 26.67 0 0 4 26.67 11 73.34 4 26.67 15 100
84 Tabel 24 Hubungan antara tingkat respon komunitas pendatang terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit
Tingkat Respon Tinggi Rendah Total
Faktor Penarik Kelapa Sawit Tinggi Rendah Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % 16 80.00 2 10.00 18 90.00 2 10.00 0 0.00 2 10.00 18 90.00 2 10.00 20 100
Tabel 25 Hubungan antara sawit tingkat respon komunitas adat terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa
Tingkat Respon Tinggi Rendah Total
Faktor Penarik Kelapa Sawit Tinggi Rendah Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 5.00 0 0 1 5.00 0 0.00 19 95.00 19 95.00 1 5.00 19 95.00 20 100%
Tabel 26 Hubungan antara tingkat respon komunitas lokal terhadap konversi lahan menjadi kelapa sawit dengan faktor penarik tanaman kelapa sawit Tingkat Respon Tinggi Rendah Total
Faktor Penarik Kelapa Sawit Tinggi Rendah Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % 10 20.00 1 6.66 11 5.00 1 6.67 3 66.67 4 95.00 11 26.67 4 73.33 5 100
85 Lampiran 5. Dokumentasi
Gambar 1. TBS yang baru selesai dipanen
Gambar 3. Kelapa sawit di pinggir jalan
Gambar 5. Karet yang dikeringkan
Gambar 2. Tanaman kelapa sawit
Gambar 4. Tanaman karet masyarakat
Gambar 6. TBS yang akan ditimbang
86
Gambar 7. Tanaman karet masyarakat
Gambar 8. Tanaman karet masyarakat
Gambar 9. Jalan menuju dusun Johor 1
Gambar 10. Lapangan sepakbola
Gambar 11. Responden Suku Bathin 9
Gambar 12. TBS yang siap ditimbang
87
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 16 November 1991, dari pasangan Abdy Muham dan Marhaini Kaban. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SD Xaverius 1 Kabanjahe 1997-2003, SMP Negeri 1 Kabanjahe 2003-2006, SMA Negeri 1 Kabanjahe 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain aktif dalam perkuliahan penulis juga aktif sebagai anggota Komisi Pelayanan Anak Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor, anggota divisi medis dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Penulis juga merupakan salah satu peserta dan pemenang second runner up untuk lomba paper dari World Congress of Global Partnership for Young Women yang diselenggrakan di Seoul, Korea Selatan.