TINGKAT PENCAHAYAAN ALAMI PADA RUMAH SUSUN STUDI KASUS RUSUNAWA MARISO LEVEL FLAT IN NATURAL LIGHTING RUSUNAWA MARISO Lasty Dinulfy Risfawany KS, Ramli Rahim, Baharuddin Hamzah
Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Alamat Koresponden: Jl. Kakatua II No. 118A Makassar Hp. 085322234500 Email:
[email protected]
Abstrak Pencahayaan alami pada ruang difungsikan untuk memenuhi aktifitas kegiatan sehari – hari . Peneltian ini bertujuan menganalisis tingkat ketersediaan pencahayaan alami di ruang tamu, ruang tidur, dan dapur pada rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Mariso Dan capaian tingkat pencahayaan optimal di Rusunawa Mariso. Penelitian ini dilaksanakan di Rusunawa Mariso pada Mei – Juli 2014. Pelaksanaan penelitian menggunakan hasil pengamatan, wawancara dengan penghuni, dan pengukuran unit hunian. Populasi penelitian adalah hunian Rusunawa Mariso. Sampel penelitian mencakup penghuni yang dipilih sebagai kasus berdasarkan pertimbangan – pertimbangan (1) posisi hunian yang berada di sudut dan dekat tangga, (2) tingkatan lantai, dan (3) orientasi hunian yang mengarah Timur – Barat. Hasil penelitian menunjukka bahwa hunian yang berada di posisi sudut memiliki tingkat iluminasi lebih tinggi dibandingkan hunian yang berada di dekat tangga. Tingkat iluminasi setiap tingkatan (level) lantai berbeda. Semakin tinggi level lantai, semakin besar peluang masuknya pencahayaan alami. Tingkat iluminasi yang masuk di hunian Rusunawa Mariso belum memenuhi standar pencahayaan alami yang baik untuk hunian rumah susun, yakni 60 – 250 lux. Capaian tingkat pencahayaan yang optimal berada pada pukul 08.00, pukul 10.00 dan pukul 12.00. kesimpulannya adalah Hunian pada posisi yang berdekatan dengan tangga memiliki tingkat iluminasi yang sangat rendah yakni 57 lux, dan tertinggi hanya terdapat pada ruang tidur. Sehingga hunian terlihat lebih gelap pada pukul 08.00 hingga pukul 16.00 jika tidak menggunakan lampu. Kata kunci: Rusunawa Mariso, pencahayaan alami, iluminasi
Abstract Natural lighting in the room is functioned to meet the daily acivities. The research aimed (1) to analyze the availability levels of the natural lighting in the guest rooms, bedrooms, and kitchens in Mariso multistory housing, (2) to analyze the optimum lighting capacity in Mariso multistory housing. The research was conducted in Mariso leasing housing, Makassar from May through July 2014. The population of the research included the dwelling units of the multistory housing. The samples were chosen based on some considerations, such as (1) the dwelling units which were located in the corners and closed to the stairs, (2) floor numbers, and the east – west facing dwelling units. The research used the results of the observation, the interviews with the residents, and the measurement of the dwelling units. The data were then analyzed qualitatively and descriptively, and the simulation using the software dialux 4. 12. The research results indicated that in Mariso leasing multistory housing the dwelling units which were located in the corners had higher illuminating levels compared to those dwelling units closed to the stairs. Also, the higher the floor the better the illumination. In general, the levels of the natural lighting in Mariso leasing multistory housing had not met the natural lighting standard of 60 – 250 lux. The optimum lighting occurred at 08.00 at 08.00 through 10.00 and 12.00. Residential conclusion is positioned adjacent to the staircase has a very low level of illumination that is 57 lux, and highs only in the bedroom. So that residential look darker at 08.00 until 16.00 when not using lights. Keywords: Mariso leasing multistory housing, natural lighting, illumination.
PENDAHULUAN Pencahayaan alami pada unit hunian di rumah susun (rusun) bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah sangat penting untuk dicermati, karena langsung berpengaruh pada kenyamanan visual penghuninya dalam beraktivitas sehari-hari, dan secara tidak langsung berpengaruh pada penggunaan energi untuk pencahayaan buatan yang harus dibiayai, (Suriansyah, 2011). Lebih dari setengah total konsumsi listrik digunakan untuk bangunan. Pencahayaan alami dapat digunakan untuk mengurangi pencahayaan buatan, untuk itu desain bentuk bangunan memegang peranan penting, (Nikpour, et al., 2011). Studi terbaru mengungkapkan bahwa 5060% untuk pengkondisian udara dan 20-30% untuk pencahayaan buatan, (Lam,J.C. and Li, D.H.W 1996; Suriansyah, 2011). Pencahayaan alami pada ruang difungsikan untuk memenuhi aktifitas kegiatan seharihari. Kualitas pencahayaan alami yang tidak sesuai dengan standar ruang akan berakibat pada tidak berjalannya dengan baik aktifitas yang ada. Ruangan dengan pencahayaan sedikit memberikan kesan muram pada ruang tersebut, namun sebaliknya pencahayaan yang berlebihan akan menyebabkan silau dan kurang baik bagi mata. Dalam arsitektur, pemanfaatan pencahayaan alami selalu menjadi bagian terpenting dalam proses perancangan. Pencahayaan alami mampu menciptakan ruang secara visual. Terdapat 2 jenis sumber cahaya yang dapat dipergunakan untuk penerangan di dalam ruang, yaitu cahaya alam yang berasal dari kubah langit dan cahaya buatan dari pencahayaan elektrik. Penerangan alam berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) karena dapat dimanfaatkan tanpa membutuhkan energi dan tidak menimbulkan polusi sehingga mengurangi polutan (Evans, 1981). Ruang-ruang hunian memerlukan distribusi penerangan alam yang optimum untuk memenuhi kebutuhan kerja visual (visual task) yang memadai. Aktivitas dalam hunian membutuhkan kuantitas cahaya dalam intensitas tertentu yang harus dipenuhi agar kegiatan dapat berjalan dengan baik dan nyaman (Soegijanto, 1999). Untuk itu, penelitian dilakukan terhadap salah satu bangunan rumah susun (rusun) Dupak Bangunrejo Surabaya, yaitu ruang hunian di lantai 1 dan lantai 3 (teratas) untuk membandingkan fenomena distribusi penerangan alam yang terjadi berdasarkan perbedaan ketinggian lantai.
Isu yang berkembang tentang pembahasan pencahayaan alami menyatakan bahwa kualitas pencahayaan alami yang baik tidak terlepas dari distribusi cahaya yang masuk melalui jendela (bukaan) dan orientasi arah bukaan. Semakin luas bukaan maka akan semakin banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Kualitas pencahayaan alami yang baik juga dipengaruhi oleh letak bukaan terhadap arah datang sinar matahari. Menurut SNI (2001), pencahayaan alami siang hari dapat dikatakan baik apabila 1) pada siang hari antara jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 waktu setempat terdapat cukup banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan, 2)distribusi cahaya di dalam ruangan cukup merata dan atau tidak menimbulkan kontras yang mengganggu. Ketersediaan cahaya matahari yang melimpah merupakan suatu kelebihan tersendiri bagi hunian di lingkungan tropis. Intensitas penerangan alami di daerah khatulistiwa dapat mencapai ±10.000 lux dan tersedia sepanjang tahun dengan intensitas yang dipengaruhi kubah langit. Lama waktu penyinaran matahari relatif stabil sepanjang tahun yaitu antara pukul 06.00-18.00 atau antara 11-12 jam, (Koenigsberger, 1974). Rumah susun merupakan jawaban atas terbatasnya lahan untuk permukiman di daerah perkotaan. Pada umumnya rumah susun dibangun saling berdekatan dan bertingkat sehingga pencahayaan alami tidak dapat dimaksimalkan dan lebih sering menggunakan pencahayaan buatan untuk menerangi rumah bahkan disiang hari. Dalam hal ini, rumah susun memiliki potensi memperoleh pencahayaan alami dari dan hanya pada fasade bangunan yang memiliki kendala berkaitan dengan penerangan dalam ruang. Rusunawa Mariso, yang mulai di bangun pada tahun 2005 terdiri atas 6 twin block, dimana keseluruhannya berjumlah 288 unit hunian. Luas tiap unitnya sama dengan tipe 24 m 2. Berdasarkan pengamatan awal, kondisi rusunawa Mariso saat ini khususnya unit hunian pada blok B1, yakni cahaya alami yang masuk pada ruang hunian tidak merata dan penghuni lebih cenderung menutup bukaan jendela dan lebih memilih menggunakan cahaya buatan pada pagi sampai sore hari, sehingga dapat dikatakan bahwa penghuni rusunawa Mariso Blok B1 menggunakan lampu sepanjang hari. Tujuan penelitian ini adalah Untuk menganalisis tingkat ketersediaan pencahayaan alami pada ruang tamu, ruang tidur dan dapur pada rusunawa Mariso.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif deskriptif melalui analisis komparatif. Menurut Sugiyono (2011), metode kuantitatif adalah suatu metode tradisional, karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut juga sebagai metode positivistik karena berlandaskan filsafat positivisme. Metode ini sebagai metode ilmiah/scientific karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional, dan sistematis. Metode ini juga disebut metode discovery, karena dengan metode ini dapat ditemukan dan dikembangkan berbagai iptek baru. Metode ini disebut sebagai metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Teknik pengumpulan data Berdasarkan tujuan penelitian, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yakni Kajian Pustaka, Data Observasi, Wawancara, Teknik pengukuran dan Softwere. Kajian pustaka yaitu Mengumpulkan data dokumen dan informasi melalui sumber tertulis seperti: jurnal, buku, artikel, atau sumber ilmiah lainnya kemudian menjadikan literatur pembanding dalam mengolah dan menganalisis data penelitian. Teknik pengumpulan data dengan cara observasi/pengamatan lapangan secara langsung terhadap lokasi menjadi objek penelitian. Pengumpulan data dengan observasi dibantu dengan peralatan penunjang, yakni: kamera, peralatan menggambar, alat tulis dan alat ukur. Teknik wawancara ini dilakukan secara terstruktur secara langsung dan dengan menggunakan kuesioner untuk mengetahui semua data sekunder mengenai bangunan maupun objek yang akan dijadikan sampel. Pengumpulan data dengan wawancara dibantu dengan peralatan penunjang, yakni: alat perekam, kamera, alat tulis dan daftar pertanyaan. Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan teknik pengukuran menggunakan alat penelitian
yaitu: Denah daerah pengukuran, Tabel pengukuran dan
pengamatan, Lux meter, dan meteran.
Adapun softwere yang digunakan dalam membantu
proses analisis data yakni: Autocad 2011 dan Simulasi DIALUX 4.12. Tenik analisis data Teknik analisis data yang dipergunakan adalah analisis kuantitatif, yakni menganalisis data tentang tingkat pencahayaan alami pada rusunawa Mariso dengan menggunakan bantuan alat lux meter.
HASIL Berdasarkan Tabe1, data hasil pengukuran kondisi iluminasi maksimum terjadi pada pukul 12.00 hingga pukul 14.00 dan iluminasi terendah pada pukul 08.00 pagi, hal ini dikarenakan posisi tangga yang berada pada fasad hunian sehingga pencahayaan alami tidak maksimal. Data hasil pengukuran lapangan pada hunian lantai 2 dekat tangga, menunjukkan bahwa iluminasi pada ruang tamumemiliki kondisi iluminasi maksimum yang terjadi pada pukul 14.00 sama halnya dengan hunian lantai 1 tetapi nilai iluminasi berbeda dengan lantai 2 dikarenakan perbedaan ketinggian level lantai mempengaruh tingkat cahaya yang masuk. Semakin tinggi level lantai maka akan semakin besar tingkat cahaya alami yang masuk. Selain itu, penggunaan perabot pada ruang tamu hunian lantai 2 lebih sedikit dibandingkan dengan hunian lantai 1 sehingga cahaya alami yang masuk tidak banyak terserap oleh perabotan, sedangkaniluminasi terendah berada pada pukul 08.00 pagi. Data hasil pengukuran lapangan memperlihatkan bahwa iluminasi pada ruang tamumaksimum terjadi pada pukul 14.00 dan iluminasi terendahpada pukul 08.00 pagi. Kondisi pencahayaan alami yang masuk pada ruang tidur belum juga mencukupi dikarenakan penggunaan warna pada dinding unit hunian. Data hasil pengukuran lapangan menerangkan iluminasi pada ruang tamu maksimum terjadi pada pukul pukul 14.00 dan terendahpada pukul 08.00 pagi. Angka iluminasi yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan ruang tamu pada hunian lantai 3, hal ini disebabkan oleh letak perabot pada ruang tamu hunian lantai 4 menutupi bidang bukaan jendela. Berdasarkan Tabel 2, data hasil pengukuran lapangan menyatakan bahwa kondisi iluminasi maksimum terjadi pada pukul 10.00 hingga 12.00, hal ini dikarenakan ruang tidur ruang tidur memiliki bukaan jendela yang berorientasi ke arah timur dan tidak dihalangi oleh bangunan apapun sehingga kesempatan mendapatkan pencahayaan alami lebih besar dibandingkan dengan ruang tamu, namun terhalang oleh penataan layout perabot. Iluminasi terendah pada pukul 08.00 pagi. Iluminasi pada ruang tidurmaksimum terjadi pada pukul 10.00 dan pukul
12.00, hal ini dikarenakan hunian berada di lantai 2 sehingga kesempatan
mendapatkan pencahayaan alami lebih besar dibandingkan dengan ruang tamu dan ruang tidur pada hunian lantai 1. Iluminasi pada ruang tidur maksimum terjadi pada pukul 10.00 dan pukul 12.00. Tingkat iluminasi maksimum ruang tidur pada lantai 3 lebih rendah dibandingkan ruang tidur hunian lantai 2, hal ini dikarenakan beberapa letak perabot ruang tidur hunian lantai 3 menutupi separuh bidang bukaan jendela sehingga kesempatan mendapatkan pencahayaan alami
lebih rendah. Iluminasi pada ruang tidur maksimum terjadi pada pukul 10.00 dan pukul 12.00. Tingkat iluminasi maksimum ruang tidur pada lantai 4merupakan tingkat iluminasi tertinggi dibandingkan yang lainnya. Hal ini dikarenakan hunian ini terletak paling tinggi diantara unit hunian lainnya. Iluminasi terendahpada pukul 16.00 pagi. Berdasarkan Tabel 3, data hasil pengukuran, iluminasi pada dapur konstan mulai dari pukul 08.00 hingga pukul 16.00, hal ini dikarenakan pemakaian perabot pada dapur terlalu banyak sehingga kesempatan cahaya alami yang masuk melalui jendela dan pintu tidak dimanfaatkan dengan maksimal. hasil pengukuran iluminasi pada dapurjauh berbeda dengan dapur pada hunian lantai 1. Dapur hunian lantai 2 ini memiliki tingkat iluminasi maksimum terjadi pada pukul 10.00, sedangkan nilai iluminasi minimum terjadi pada pukul 16.00. Kesempatan mendapatkan cahaya alami pada pukul 08.00 pagi dengan iluminasi lebih besar dapat dicapai jika penghuni tidak meletakkan perabot tepat di depan pintu dapur. Data hasil pengukuran iluminasi pada dapur jauh berbeda dengan dapur pada hunian lantai 1. Dapur hunian lantai 2 memiliki tingkat iluminasi maksimum terjadi pada pukul 08.00, sedangkan nilai iluminasi minimum terjadi pada pukul 16.00 sore. Kesempatan mendapatkan cahaya alami pada pukul 08.00 pagi dengan iluminasi lebih besar dibandingkan dapur hunian lantai 1 dan 2 dikarenakan berada pada lantai 3. hasil pengukuran iluminasi pada dapur jauh berbeda dengan dapur pada hunian lantai 1, 2, dan 3. Dapur hunian lantai 4 ini memiliki tingkat iluminasi maksimum terjadi pada pukul 12.00, sedangkan nilai iluminasi minimum terjadi pada pukul 16.00 sore. Perbedaan tersebut terjadi karena pengaruh orientasi dan ketinggian level lantai.
PEMBAHASAN Pada penelitian ini terlihat bahwa Semakin tinggi level lantai maka semakin tinggi tingkat iluminasi yang dihasilkan sehingga pada hunian lantai 1 yang berdekatan dengan tangga memiliki tingkat iluminasi yang sangat rendah. Tingkat iluminasi dari hasil pengukuran lapangan dapat dikatakan tidak sesuai standar iluminasi untuk hunian yakni 60-250 lux. Hunian pada posisi sudut memiliki tingkat iluminasi yang tinggi dibandingkan dengan hunian yang berdekatan dengan tangga yakni 655 lux. Sehingga hunian jarang menggunakan lampu pada pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Semakin level lantai, maka semakin tinggi tingkat iluminasi yang dihasilkan sehingga hunian pada lantai 4 posisi sudut memiliki tingkat iluminasi tertinggi namun masih belum memenuhi standar iluminasi untuk hunian yakni 60-250 lux.
Salah satu penelitian yang bisa menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian tentang peran pencahayaan alami pada bangunan Eco-house ITS yang merupakan salah satu bangunan yang menjadi contoh aplikasi bangunan hemat energi di Indonesia. Penelitian ini meneliti performa pencahayaan alami pada unit – unit ruang kerja yang ada di lantai dua dan tiga. Tahapan simulasi awal dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting peran pencahayaan alami pada masing–masing ruang kerja. Simulasi awal ini dilanjutkan dengan tiga kali tahap optimasi. Optimasi pertama dengan mengubah posisi jendela dari jendela yang terletak di bagian tengah bawah dinding menjadi dibagian tengah atas dinding. Tahapan optimasi kedua mengubah pola perletakan jendela dan optimasi ini menghasilkan kondisi DF (Daylight Factor) dan iluminasi membaik. Tahap terakhir dengan mengganti kaca bening menjadi kaca reflektif 60% namun hal ini tidak membawa pengaruh berbeda dari kondisi eksisting. Dari beberapa kali optimasi ini dapat disimpulkan awalnya pendistribusian cahaya alami pada objek belum optimal dan melalui pengaturan pola perletakan yang berbeda diperoleh optimasi pencahayaan alami yang lebih baik. Studi lain adalah studi tentang sistem pencahayaan alami pada bangunan hunian di iklim tropis dengan menggunakan program simulasi ECOTECT v.5.0 dan RADIANCE. Dalam studi ini ada empat tahapan simulasi dan permodelan yaitu tahap awal dengan model rumah sederhana dengan bukaan jendela kecil di bagian tengah dua sisi dinding yang memanjang. Model tahap dua, bukaan jendela mengisi sepanjang sisi dinding memanjang dilanjutkan dengan tahap tiga yaitu model dengan bukaan pada atap saja tanpa jendela. Terakhir dengan model yang menggunakan atap bertingkat dimana bagian dinding yang memikul atap atas digunakan untuk bukaan. Secara umum, di tahap awal disimpulkan kondisi pencahayaan alami yang tidak maksimal dan memerlukan bantuan pencahayaan buatan. Pada tahap– tahap selanjutnya diperoleh kualitas pencahayaan alami yang lebih baik. Dari model 3 dimensi, pencahayaan dari bidang atap mampu memaksimalkan pemanfaatan pencahayaan alami tapi harus memperhatikan panas yang masuk kedalam ruangan melalui bukaan dengan kaca. Pada model terakhir, desain atap bertingkat dengan jendela disisinya mampu memberi efek cahaya diffus yang dapat menjadi teknik pemanfaatan cahaya alami yang optimal. Studi lain yang cukup berkaitan dengan objek penelitian ini adalah penelitian tentang pengaruh geometri ruang bersama terhadap kualitas pencahayaan alami pada pada unit rumah susun di Surabaya. Pada penelitian ini mengambil studi kasus tujuh buah rumah susun yang ada
di Surabaya yang memiliki bentuk geometri denah yang berbeda. Masing – masing rumah susun ditinjau rasio panjang dan lebar bangunan (Plan Area Ratio ) serta jarak sumber cahaya dengan pusat ruang bersama (depth) yang biasanya berupa koridor–koridor. Dengan menggunakan program CAD dan Desktop Radiance kemudian kondisi masing–masing studi kasus disimulasikan. Yang ditinjau adalah tingkat intensitas iluminasi dan rata–rata iluminasi absolut yang memenuhi standar pencahayaan alami. Dari hasil simulasi kemudian disimpulkan bahwa unit rumah susun yang memiliki tingkat intensitas baik adalah yang geometri kedalaman kecil. Bentuk bangunan yang kompak dan dengan nilai PAR mendekati satu merupakan bangunan dengan kualitas pencahayaan alami yang paling baik. Di Hongkong, akhir-akhir ini terjadi peningkatan minat untuk menggunakan pencahayaan alami untuk menghemat energi pada bangunan, (Li,D.H.W et al, 2002). Menurut Zain-Ahmed et al (1998), di Malaysia ukuran jendela (bukaan fasad) 25% WWR untuk bangunan anpa sirip, sedangkan penelitian di Hongkong menunjukkan bahwa WWR optimal untuk bangunan dengan sirip adalah 36%.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil pengukuran dengan lux meter menggambarkan bahwa Hunian pada posisi yang berdekatan dengan tangga memiliki tingkat iluminasi yang sangat rendah yakni 57 lux, dan tertinggi hanya terdapat pada ruang tidur. Sehingga hunian terlihat lebih gelap pada pukul 08.00 hingga pukul 16.00 jika tidak menggunakan lampu. Semakin tinggi level lantai maka semakin tinggi tingkat iluminasi yang dihasilkan sehingga pada hunian lantai 1 yang berdekatan dengan tangga memiliki tingkat iluminasi yang sangat rendah. Tingkat iluminasi dari hasil pengukuran lapangan dapat dikatakan tidak sesuai standar iluminasi untuk hunian yakni 60-250 lux. Hunian pada posisi sudut memiliki tingkat iluminasi yang tinggi dibandingkan dengan hunian yang berdekatan dengan tangga yakni 655 lux. Sehingga hunian jarang menggunakan lampu pada pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Semakin level lantai, maka semakin tinggi tingkat iluminasi yang dihasilkan sehingga hunian pada lantai 4 posisi sudut memiliki tingkat iluminasi tertinggi namun masih belum memenuhi standar iluminasi untuk hunian yakni 60-250 lux. Berdasarkan hasil pengukuran lapangan, direkomendasikan untuk pembangunan dan penataan rusunawa selanjutnya agar dapat memperhitungkan posisi bukaan dan lebar bukaan, warna dinding, dan penempatan/layout perabot.
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, A.Z. (2002). Daylighting as a Passive Solar Design Strategy in Tropical Buildings: a Case Study of Malaysia,Energy Conversion and Management, Vol. 43, hal 1725-1736. Evans Benjamin H. (1981). Daylight in Architecture. New York: Mc. Graw Hill. Koenigsberger, O.H. et al. (1973). Manual of Tropical Housing and Building. Bombay: Orient Longman, India. Lam, J.C. and Li, D.H.W. (1996). Study of Solar Radiation Data Significant Energy and Environmental Implications for Hong Kong, Energy Conversion and Management, Vol 37, hal 343-351. Li, D.H.W and Lam, J.C. and Wong, S.L. (2002). Day lighting and Its Implications to Overall Thermal Transfer Value (OTTV) Determinations, Energy, Vol.27, hal 991-1008. Nikpour et al. (2011). Study of the Effectiveness of Solar Heat Gain and Day light Factors on Minimizing Electricity Use in High-rise Buildings, World Academy of Science, Engineering and Technology, Vol 73, hal 73-77. SNI. (2001). Tentang Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Buatan Pada Bangunan Gedung. 03-6575 Soegijanto. (1999). Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab ditinjau dari Aspek Fisika Bangunan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sugiyono. (2011). Statistika Untuk Penelitian. Cetakan Kesembilan. Alfabeta, Bandung. Suriansyah Yasmin. (2011). Kualitas Pencahayaan Alami pada Enam Rumah Susun di Bandung, Cimahi, Soreang, dan Baleendah. Prosiding, Seminar Nasional dan Pameran Kebijakan dan Strategi Pengadaan Perumahan Berkelanjutan di Indonesia. Bandung 22-23 November 2011.
Tabel 1. Hasil pengukuran pada ruang tamu menggunakan lux meter (posisi dekat tangga lantai 1,2,3 dan 4)
Waktu 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00
18 Juni 2014 Niai iluminasi Rata-rata 2.4 2 3.3 8 2.3 2.7 3 3.3 13 4.3 4 6 6.3 18.3 8 4 5 5.6 17 8
19 Juni 2014 Niai iluminasi Rata-rata 1.7 2.7 3.3 7.6 3.3 2.7 2.7 5 15.3 5.3 4 5.3 6.3 12 7.3 3.3 3.6 3.6 4.3 4.3
20 Juni 2014 Niai iluminasi Rata-rata 1.6 2.4 2.6 2.7 3 2.7 3.3 3.7 2.7 4 3.7 4.6 5.3 4.3 5.3 3 3 3 3.3 3.6
Tabel 2 . Hasil pengukuran pada ruang tidur menggunakan lux meter (dekat tangga lantai 1,2,3, dan 4)
Waktu 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00
18 Juni 2014 Niai iluminasi Rata-rata 5.7 29 26 6.3 4.7 8 47.7 36.7 14.7 12 7.3 29 24.3 6.3 17.3 21.7 35.7 44.3 16.3 14.6
19 Juni 2014 Niai iluminasi Rata-rata 4.3 27 24.7 13 7 5.7 50 41.7 19.7 13.7 9.7 13.7 12.3 10.3 10.7 17 29.7 46 38 22.3
20 Juni 2014 Niai iluminasi Rata-rata 5.7 29 13.7 6.7 6.7 12.7 48.7 35.3 11.3 15 9.3 8.7 10.3 6 12.7 15.7 20.7 24.3 24.7 21.7
Tabel 3. Hasil pengukuran pada dapur menggunakan lux meter (dekat tangga lantai 1,2,3, dan 4)
Waktu 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 08.00 10.00 12.00 14.00 16.00
18 Juni 2014 Niai iluminasi Rata-rata 1 1 1 1 1 4.7 28.6 21.3 5.7 6 10 19 11.3 11 7 3.3 6 6 3.7 1.6
19 Juni 2014 Niai iluminasi Rata-rata 1 1 1 1 1 3.7 33.3 16 6 4.3 17.3 12.7 10 7.3 6.7 3.3 6 6 3.7 1.3
20 Juni 2014 Niai iluminasi Rata-rata 1 1 1 1 1 5.3 25 15 6.3 6.3 11 8.7 8.7 6.7 7.7 2.7 4.3 5.3 3.3 3.7