Tingkat Adopsi Komponen Teknologi Anjuran pada Lahan Rawa Lebak Kalimantan Selatan Rina D. Ningsih, A. Sabur dan Eni Siti Rohaeni Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan E-mail:
[email protected] Abstrak Lahan rawa lebak adalah lahan rawa yang terendam. Dengan tinggi genangan bisa mencapai 100 cm dan lama genangan bisa > 6 bln. Padi menjadi komoditas utama di lahan ini, kecuali di rawa lebak dalam. Pada lebak dalam ketinggian air bisa melebihi tinggi tanaman padi dan waktu air surut sangat pendek, sehingga disarankan pada lahan lebak dalam hanya untuk dijadikan budidaya ikan. Komponen teknologi anjuran dalam budidaya padi ada 12 komponen yang sering dikatakan dengan pengelolaan tanaman terpadu. Pada lahan lebak dengan kondisi air yang sulit diprediksi datang dan perginya, sangat sulit juga untuk menerapkan seluruh komponen teknologi tersebut. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui karakterisitik petani padi di lahan rawa lebak dan sejauh mana mampu mengadopsi komponen teknologi yang dianjurkan. Survey dilakukan pada petani di lahan rawa lebak, empat desa (Sungai Durait Hulu, Hambuku Baru, Murung Pati Hulu, dan Babirik Hilir), Kec.Babirik, Kab. Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Kegiatan dilakukan pada saat tidak ada pertanaman di lapang yaitu bulan Nopember 2014. Survey dengan menggunakan kuisioner dan melibatkan petani responden sebanyak 35 orang. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan yaitu karakterisitik petani, usahatani, dan penerapan teknologi. Data yang diperoleh diedit, ditabulasi dan dianalisis. Hasil survey menunjukkan komponen teknologi lebih banyak diterapkan petani dengan respon antara setuju dan sangat setuju. Tingkat adopsi rendah pada 3 komponen teknologi yaitu penggunaah bahan organik, pengolahan tanah yang baik, dan pengairan berselang. Penerapan PTT padi dapat meningkatkan produktivitas sebesar 2,34 ton/ha atau 60,71% dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 6,231,094.75/ha/tahun atau sebesar 52.83% dengan niilai MBCR dengan penerapan PTT padi sebesar 8,50. Kata kunci : adopsi, rawa lebak, teknologi padi.
Pendahuluan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan inovasi untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam peningkatan produktivitas. Tantangan utama yang dihadapi dalam upaya penyediaan pangan adalah meningkatnya permintaan beras sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk, terbatasnya ketersediaan beras dunia dan kecenderungan meninkatnya harga pangan (Kementan, 2014). Upaya peningkatan produksi tanaman menghadapi beberapa permasalahan, yaitu Dampak Perubahan Iklim (DPT), seraangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), rusaknya infrastruktur irigasi, lingkungan dan semakin terbatasnya sumber air, konversi lahan sawah, keterbatasan akses petani terhadap sumber pembiayaan, kompetsis antar komoditas, tingginya konsumsi beras, dan belum sinerginya antar sector dan pusat daerah dalam menunjang pembangunan pertanian (Kementan, 2014). Implementasi PTT tergantung pada masalah yang akan diatasi (demand driven technology). Komponen teknologi PTT ditentukan bersama-sama petani melalui analisis kebetuhan teknologi (need assessment). PTT telah dilaksanakan secara nasional mulai tahun 2008 dan berlanjut hingga sekarang (Kementan, 2014). Tujuan dari pendampingan adalah agar inovasi
310
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
teknologi Balitbangtan dapat diterapkan secara optimal sehingga pelaksanaan PTT padi dapat berjalan dengan baik dan lebih berkualias dalam mendukung pencapaian tujuan dan sasaran peningkatan produksi padi dan jagung nasional (Kementan, 2014). Kabupaten Hulu Sungai Utara terletak di koordinat 2017 sampai 2033 Lintang Selatan dan antara 114052 sampai 115024 Bujur Timur.
Kabupaten Hulu Sungai Utara memiliki luas
wilayah sebesar 892,70 km2 atau sekitar 2,38 persen dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Selatan. Pemanfaatan lahan sebagian besar berupa hutan rawa 28.986 ha (31,75%), sawah 27,91%, pemukiman 4,69% dan sisanya berupa kebun campuran, rumput rawa, danau dan lainnya (BPS HSU, 2013). Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui karakterisitik petani padi di lahan rawa lebak dan sejauh mana mampu mengadopsi komponen teknologi yang dianjurkan. Metodologi Kegiatan ini dilakukan di Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yang dilakukan pada empat desa yaitu di Desa Sungai Durait Hulu, Hambuku Baru, Murung Panti Hulu dan Babirik Hulu. Pertimbangan penetapan lokasi kegiatan adalah merupakan daerah basis padi dan merupakan lokasi pendampingan PTT padi yang dilakukan BPTP Kalsel serta merupakan lokasi Primatani pada tahun 2007-2009. Nopember 2014.
Kegiatan dilakukan pada bulan
Kegiatan ini bersifat survey dan dilakukan wawancara terstruktur pada petani responden. Petani responden yang terlibat sebanyak 35 orang. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer yang diamati yaitu karakteristik petani, karakteristik usahatani, dan pengukuran indicator kinerja PTT padi. Data yang diperoleh diedit, ditabulasi dan dianalisis. Klasifikasi tingkat adopsi yang akan dibahas pada kegiatan ini mengacu pada Hendayana (2014) yaitu terdapat 5 klasifikasi. Lebih jelasnya klasifikasi tingkat adopter ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi tingkat adopsi. No 1 2 3 4 5
Nilai adopsi (%) 0 – 20,00 20,01 – 40,00 40,01- 60,00 60,01 – 80,00 80,01 – 100,00
Klasifikasi sangat rendah rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Sumber : Hendayana, 2014.
Analisis usahatani yang dihitung yaitu penerimaan dan pendapatan. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaaan dengan biaya yang dikeluarkan (Soekartawi, 1995) dengan rumus sebagai berikut : I = ∑ (yi.Pyi) - ∑ (xj.Pxj) dimana : I = pendapatan (Rp) Y = output atau hasil (i=1, 2, 3…..n) Py = harga output (Rp) Pxj= harga input (Rp) Xj = input (j=1, 2,3,……n)
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
311
Kelayakan usahatani dilakukan dengan menggunakan R/C ratio yang merupakan perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Semakin besar nilai R/C ratio usahatani maka makin layak usahatani. Selain itu dihitung nilai MBCR untuk melihat benefit akibat dari penggunaan teknologi lama ke teknologi baru. Rumus R/C dan MBCR ditampilkan di bawah ini : a = R/C R = Py.y C = xj.Pxj a = (Py.y)/( xj.Pxj) dimana : R = penerimaan C
= biaya
y Py
= output = harga output (Rp)
Pxj xj
= harga input (Rp) = input (j=1, 2,3,……n)
Jika a > 1 maka dikatakan layak, jika a < 1 dikatakan tidak layak dan jika a = 1 maka artinya impas (tidak untung atau tidak rugi). MBCR = Penerimaan kotor cara baru – Penerimaan kotor cara lama Total biaya cara baru – total biaya cara lama Menurut Malian (2004), MBCR teknologi baru harus mempunyai nilai lebih besar dari 1 agar menarik petani untuk mengadopsi teknologi itu. Bila MBCR sama dengan 1 maka teknologi baru itu tidak berpotensi secara ekonomi. MBCR = 1 mengandung arti bahwa perubahan teknologi atau mengadopsi teknologi baru, tidak memberikan kenaikan MBCR. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Petani Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa rataan umur responden di Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah 41,34 tahun, usia ini termasuk dalam kategoriusia produktif. Bila dilihat dari rataan pendidikan 9,44 tahun atau setara dengan pendidikan SLTA kelas satu namun tidak sampai lulus atau lebih tepatnya lulus SLTP. Pendidikan merupakan indikator yang mutlak diperlukan untuk mengukur kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM yang baik sangat diperlukan sebagai suatu modal yang penting dalam melaksanakan pembangunan daerah dalam berbagai sector termasuk pertanian. Hasil survey menunjukkan bahwa mata pencaharian utama adalah sebagai petani sebesar 60,34% dan sisanya 39,66% adalah PNS, dan pedagang. Selanjutnya rataan jumlah anggota rumah angga (ART) adalah 3,4 jiwa/KK dengan jumlah tanggungan di bawah usia 15 tahun sebanyak 1,22 jiwa dan di atas 15 tahun 1,18 jiwa. Rataan pengalaman bertani 21,36 tahun (Tabel 2). Lamanya pengalaman memberikan pengaruh yang positif terhadap keberhasilan suatu usaha, karena pengalaman merupakan suatu proses belajar secara informal. Hasil survey menunjukkan bahwa penerapan PTT padi sudah berlangsung selama 3,47 tahun yang dilakukan pertama kali pada tahun 2008. Rataan luas lahan total yang dimiliki petani responden adalah 1,28 ha yang terdiri atas sawah milik sendiri 0,95 ha, sawah garapan 0,20 ha dan
312
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
luas kebun milik sendiri 0,13 ha (Tabel 2). Kebun yang dimiliki petani sebagian besar diusahakan untuk tanaman sayuran seperti cabe, labu kuning, dan terong serta buah mangga. Tabel 2. Karakteristik petani di lokasi SLPTT padi Kabupaten Hulu Sungai Utara. No 1 2 3
4 5
6 7 8
Uraian Umur (tahun) Pendidikan (tahun) Mata pencaharian utama (%) - Petani - Lain-lain : PNS, dagang Anggota Rumah Tangga (jiwa) Tanggungan : ≥ 15 tahun ≤ 15 tahun Pengalaman bertani (tahun) Penerapan PTT padi (tahun) Luas lahan total (ha) Sawah milik sendiri (ha) Sawah garapan (ha) Kebun milik sendiri (ha)
Nilai rataan 41,34 9,44 60,34 39,66 3,4 1,22 1,18 21,36 3,47 1,28 0,95 0,20 0,13
Tabel 3. Karakterisasi usahatani di lokasi SLPTT padi Kabupaten Hulu Sungai Utara. No 1
2
3
4
5 6
7
Uraian Usahatani yang dilakukan (%) : a. Musim Kemarau Padi Padi dan Sayuran b. Musim Kemarau Padi Tanam padi dalam satu tahun (%) Satu kali Dua kali Rataan luas tanam padi (hektar) : - Sebelum PTT padi (hektar) - Sesudah PTT padi (hektar) Produktivitas padi : - Sebelum PTT padi (hektar) - Sesudah PTT padi (hektar) Peningkatan produksi setelah menerapkan PTT padi (%) Penyebaran PTT padi pada teman/saudara (%) : Disebarkan Tidak disebarkan Jumlah teman/tetangga yang ikut menerapkan PTT padi (orang) Hasil survey (Tabel 3)
Nilai rataan
88,57 11,43 100,00 100,00 0,00 0,93 0,95 4,27 6,09 42,52 45,71 54,29 8,19
menunjukkan bahwa usahatani padi dilakukan pada musim
kemarau (MK) hal ini disebabkan karena Kabupaten HSU merupakan daerah dengan agroekosistem lahan rawa lebak yang memanfaatkan lahan hanyaa pada musim kemarau. Petani pada musim kemarau (MK) seluruhnya memanfaatkan lahan untuk usahatani, sebesar 88,57% petani yang mengusahakan tanaman padi dan sisanya 11,43% menanam padi dan sayuran berupa cabe, terong dan labu kuning. Petani melakukan usahatani padi hanya satu kali per tahun. Rataan luas tanam padi pada saat sebelum SLPTT padi sebesar 0,93 ha/KK dan setelah SLPTT padi meningkat menjadi 0,95 ha/KK, peningkatan luas tanam memang tidak besar hanya 0,02 ha/KK.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
313
Penerapan teknologi PTT padi, berdasarkan hasil survey menunjukkan bahwa adanya peningkatan produksi yang dinyatakan oleh sekitar 42,52% responden. Adanya peningkatan produksi padi yang dihasilkan antara sebelum dan setelah PTT padi merupakan hal yang positif karena kondisi ini merupakan salah satu bentuk penyebaran/diseminasi PTT padi yang dilakukan oleh petani pada kerabat atau petani lainnya. Penyebaran PTT padi yang dilakukan oleh petani sebesar 45,71% dengan jumlah adopter lainnya rataan sebesar 8,19 orang (Tabel 3). Adopsi Komponen Teknologi PTT Padi Komponen teknologi dari PTT padi ada 12 yaitu penggunaan VUB, bibit bermutu dan sehat, pengaturan populasi tanam secara optimum (jajar legowo), pemupukan berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman, pengendalian OPT dengan pendekatan PHT, pemberian bahan organic, penggunaan bibit muda, tanam bibit 1—3 batang/lubang, pengolahan tanah yang baik, pengairan secara efektif/efisien (irigasi berseling), penggunaan pupuk cair, penanganan panen dan pasca panen. Berdasarkan wawancara dan survey yang telah dilakukan pada responden terpilih dan mengacu klasifikasi adopsi berdasarkan Hendayana (2014 ) yang ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 4. Sebaran tingkat adopsi komponen teknologi PTT padi oleh petani di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Mengetahui (%)
Komponen teknologi PTT padi Penggunaan VUB Bibit bermutu dan sehat Pengaturan jarak tanam/jajar legowo Pemupukan berdasar status hara Pengendalian OPT dengan PHT Bahan organik/kandang Penggunaan bibit muda Tanam bibit 1-3 batang Pengolahan tanah yang baik Pengairan secara efisien (berseling) Penggunaan pupuk cair Penanganan panen dan pasca panen
2.86 2.86 48.57 31.43 20.00 74.29 54.29 42.86 77.14 82.86 42.86 17.14
Adopsi
Klasifikasi
97.14 97.14 51.43 68.57 80.00 25.71 45.71 57.14 22.86 17.14 57.14 82.86
S. tinggi S. tinggi Sedang Tinggi Tinggi Rendah Sedang Sedang Rendah S. rendah Sedang S. tinggi
Hasil analisis diketahui bahwa komponen teknologi yang klasifikasi adopsinya sangat tinggi ada tiga komponen yaitu penggunaan VUB, bibit bermutu dan sehat, dan penanganan panen dan pasca panen. Komponen teknologi yang klasifikasinya termasuk tinggi berdasarkan survey adalah pemupukan berdasar status hara, dan pengendalian OPT dengan PHT. Komponen teknologi PTT padi yang termasuk dalam kategori rendah ada dua komponen yaitu bahan organik/kandang dan pengolahan tanah yang baik. Sedang komponen yang termasuk dalam kategori adopsi sangat rendah yaitu komponen teknologi pengairan secara efisien (berseling) (Tabel 4). Sumber teknologi PTT padi yang diperoleh petani sebagian besar berasal dari penyuluh BPP, kemudian Dinas Pertanian, sesama petani baik dari desa atau luar desa. BPTP merupakan salah satu sumber informasi hanya terbatas pada petani demplot atau binaan, selain itu BPTP utamanya menyebarkan informasi teknologi pada PPL.
314
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Alasan yang disampaikan petani terkait dengan diadopsinya komponen teknologi PTT padi di Kabupaten Hulu Sungai Utara ditampilkan pada Tabel 5. Namun selain itu diuraikan pula alasan kenapa petani kurang mengadopsi beberapa komponen teknologi dikaitkan dengan Tabel 4. Tingkat adopsi untuk komponen teknologi pengaturan populasi tanam tanam (jajar legowo) termasuk dalam kategori sedang. Hal ini disebabkan karena petani menilai cara tanam jajar legowo itu rumit sehingga tenaga kerja yang lebih banyak dan lebih lama, sehingga biaya meningkat dibandingkan tanam cara tegel, alasan lainnya adalah terbatasnya waktu tanam di daerah rawa lebak sehingga petani harus efisien dan tepat waktu tanam (karena terkait dengan ketersediaan air dalam kondisi yang cukup untuk tanam). Lambatnya tanam di daerah rawa lebak dapat menyebabkan kekeringan atau sebaliknya kebanjiran pada tanaman. Rendahnya tingkat adopsi penggunaan bahan organic/pupuk kandang disebabkan karena tanah dinilai sudah subur, karena tidak ada galengan maka penggunaan pupuk organic kurang efektif, pupuk organic berasal dari sisa tanaman sebelumnya yang sudah ada dan membusuk sehingga tidak perlu ditambahkan lagi, bahkan ada petani yang merasa rumit jika menggunakan pupuk organic karena perlu waktu tambahan untuk mengaplikasikannya. Komponen teknologi penggunaan bibit muda tergolong dalam kategori adopsi sedang. Kesulitan atau permasalahan yang dihadapi petani dalam melakukan muda dengan jumlah antara 1-3 batang per lubang karena adanya hama berupa keong mas, dan menyesuaikan dengan ketinggian air (jika air cukup tinggi maka petani akan menanam bibit lebih tua). Tabel 5. Alasan petani menerapkan komponen teknologi PTT padi di Kabupaten Hulu Sungai Utara. No
Komponen teknologi
1
Penggunaan VUB
2
Bibit bermutu dan sehat
3
Jajar legowo
4
Pemupukan berdasar status hara
5 6
Pengendalian OPT dengan PHT Bahan organic/kandang
7
Penggunaan bibit muda
8
Tanam bibit 1-3 batang
9
Pengolahan tanah yang baik
Alasan Hasil atau produksi tinggi, daya tumbuh baik dan seragam, cepat panen/berumur pendek, tahan terhadap banjir, rasa beras enak dan tahan hama/penyakit Tumbuh seragam dan cepat, hasil tinggi, mutu terjamin dan tahan hama dan penyakit Memudahkan dalam perawatan (pemupukan, penyiangan dan penyemprotan jika ada serangan hama penyakit), hasil meningkat, dan mudah dalam pengendalian hama dan penyakit Kesuburan tanah terjaga, menjaga tidak berlebihan dalam pemberian pupuk kimia, pertumbuhan tanaman optimal dan hasil meningkat, dan hemat biaya Tanaman sehat, sesuai sasaran atau jenis hama/penyakit, hemat biaya, dan hasil meningkat Memperbaiki kualitas lahan/menjaga lingkungan, tanah menjadi subur dan gembur, melengkapi pupuk kimia, mengurangi biaya pupuk, tanaman subur dan hasil meningkat Anakan banyak, menyesuaikan dengan kondisi air, bibit bias ditanam langsung (tidak tanam dua kali/pindah), hemat biaya dan waktu, cepat merespon pupuk, pertumbuhan optimal, hasil tinggi dan penanganan lebih mudah Hemat bibit, jumlah anakan banyak, tumbuh cepat dan merata, hasil meningkat Tanah menjadi lebih subur, tanaman tumbuh maksimal, sesuai dengan kondisi lahan, hasil meningkat, hemat biaya
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
315
No 10 11 12
Komponen teknologi Pengairan secara efisien (berseling) Penggunaan pupuk cair Penanganan panen dan pasca panen
Alasan Keperluan air sesuai dengan kebutuhan yaitu tidak berlebihan Praktis dan tanaman lebih baik pertumbuhannya, mudah menggunakannya, hasil meningkat Kualitas hasil meningkat dan daya simpan lebih lama, mengurangi kehilangan hasil
Komponen teknologi pengolahan tanah termasuk dalam kategori adopsi yang rendah. Olah tanah yang dilakukan petani cukup sederhana dan tradisonal yaitu rumput yang tumbuh ditebas dan dilakukan pembenaman jerami ke dalam tanah sebagai pupuk organic, tanah diratakan seperlunya. Pengolahan lahan cara ini dilakukan karena tenggang waktu pengolahan tanah yang sempit dan lahan dinilai sudah subur. Penebasan rumput dilakukan ketika lahan masih berair (air setinggi 40 cm). Air surut sedikit, dilakukan pembenaman jerami. Rendahnya tingkat adopsi dari komponen teknologi pengairan secara berseling atau efisien disebabkan pada rawa lebak lahan berada pada cekungan yang luas, air menumpuk dan tidak ada saluran drainase, air tidak bisa dibuang. Penggunaan pupuk (cair atau butiran) relative rendah karena petani memerlukan biaya tambahan untuk membeli pupuk cair. beranggapan lahan mereka cukup subur.
Dan petani
Penilaian Petani terhadap PTT Padi Petani memberikan respon sangat setuju dan setuju terhadap komponen teknologi PTT padi. Sangat setuju terhadap penggunaan VUB dan penggunaan bibit bermutu dan sehat dengan nilai di atas 50% (Tabel 6). Setuju dengan presentase di atas 50% pada komponen pemupukan berdasar status hara, pengendalian OPT dengan PHT, dan penanganan panen dan pasca panen. Respon tidak tahu atau ragu-ragu terhadap komponen teknologi pemberian pupuk organic, penggunaan bibit muda, tanam bibit 1-3 batang, pengolahan tanah yg baik, pengairan efektif dan penggunaan pupuk cair. Respon tidak setuju dari sebagian kecil petani adalah pada pemberian pupuk organic dan pengairan efektif dan berseling. Menurut petani lahan mereka sudah cukup subur, pupuk organic sudah cukup dari tanaman sisa dan rumput yang dibusukan di lahan, dan perlu biaya dan waktu untuk mengangkut pupuk ke lahan sawah. Tabel 6. Respon/persepsi petani terhadap komponen teknologi PTT padi di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Komponen teknologi
SS
S
TT
KS
TS
-
-
%
Penggunaan VUB
82.86
17.14
-
Bibit bermutu dan sehat
65.71
34.29
-
-
-
Jajar legowo
25.71
48.57
-
25.71
-
Pemupukan berdasar status hara
28.57
68.57
-
2.86
-
Pengendalian OPT dg PHT
48.57
51.43
-
-
-
Pemberian pupuk organik
17.14
42.86
20.00
17.14
2.86
Penggunaan bibit muda
20.00
48.57
14.29
17.14
-
Tanam bibit 1-3 batang
28.57
48.57
5.71
17.14
-
Pengolahan tanah yg baik
28.57
40.00
14.29
17.14
-
Pengairan efektif
34.29
28.57
22.86
11.43
2.86
316
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Penggunaan pupuk cair
31.43
48.57
14.29
5.71
-
Penanganan panen dan pasca panen
42.86
57.14
-
-
-
Keterangan : SS : sangat setuju; S : setuju; TT : tidak tahu; KS : kurang setuju; TS : tidak setuju
Respon kurang setuju diberikan oleh sebagian kecil petani terhadap komponen teknologi pengaturan populasi tanam (jajar legowo), pemupukan berdasar status hara, pemberian pupuk organic, penggunaan bibit muda, tanam bibit 1-3 batang, pengolahan tanah yang baik, pengairan efektif, dan penggunaan pupuk cair. Tingkat adopsi suatu teknologi dilihat dari banyaknya petani yang menerapkan teknologi tersebut. Adanya program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu, dapat dipastikan sebagian komponen PTT padi diterapkan oleh petani. indikator lain yang digunakan adalah produktivitas, pendapatan serta kesejahteraan petani. Berdasarkan perhitungan hasil survei diketahui bahawa penerapan teknologi PTT padi meningkatkan produktivitas, dapat dilihat pada Tabel 7. Sebelum teknologi PTT padi diintroduksikan rataan produktivitas sebesar 3,85 ton/ha dan sesudah petani menerapkan PTT meningkat menjadi 6,19 ton/ha atau meningkat sebesar 2,34 ton/ha atau sebesar 60,71%. Tabel 7. Perubahan produktivitas dan produksi sebelum dan sesudah pendampingan di lokasi SLPTT padi Kabupaten Hulu Sungai Utara per hektar. No 1
2
Uraian Produktivitas padi (ton/ha) - Sebelum PTT padi - Setelah PTT padi Perubahan : - Ton - %
Nilai 3,85 6,19 2,34 60,71
Berdasarkan data BPS Kabupaten Hulu Sungai Utara (2013) diketahui bahwa rataan produktivitas padi sawah adalah sebesar 5,606 ton/ha sedang di Kecamatan Babirik berdasarkan data produktivitas padi yang dihasilkan adalah 5,676 ton/ha menduduki peringkat kedua setelah Kecamatan Banjang yang rataanya 5,708 ton/ha. Jika dibandingkan antara data hasil survey pada kondisi setelah introduksi PTT padi lebih tinggi dari data produksi yang dilaporkan oleh BPS HSU (2013). Peningkatan pendapatan sebelum dan sesudah menerapkan PTT padi sebesar Rp 6,231,094.75/ha atau sekitar 52.83% (Tabel 8). Peningkatan pendapatan ini disebabkan karena adanya peningkatan hasil/produksi padi yaitu meningkat sebesar 60,71%, sedang untuk total biaya penerapan PTT padi meningkat sebesar 16,08%. Peningkatan pendapatan ini cukup banyak, apalagi jika teknologi PTT padi dapat diterapkan oleh sebagian besar petani di Kabupaten HSU karena akan meningkatkan kesejahteraan petani secara umum. Tabel 8. Perubahan tingkat pendapatan sebelum dan sesudah pendampingan di lokasi SLPTT padi Kabupaten Hulu Sungai Utara per hektar. No 1 2 3
Teknologi PTT padi Penerimaan Biaya Pendapatan
Tingkat pendapatan (Rp) Sebelum Sesudah 17,046,872.44 23,556,932.33 4,764,237.00 5,530,255.64 11,795,581.94 18,026,676.69
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Perubahan Rp % 6,510,059.89 38.19 766,018.64 16.08 6,231,094.75 52.83
317
Berdasarkan perhitungan analisis usaha tani (Tabel 9), terlihat bahwa terjadi perbedaan biaya dan penerimaan serta pendapatan yang diperoleh petani pada kondisi sebelum dan sesudah penerapan PTT padi. Secara rataan peningkatan biaya saprodi dalam penerapan teknologi PTT padi sebesar 13,33%, peningkatan biaya terbesar adalah untuk pembelian pupuk yaitu sebesar 48,15%. Meningkatnya pembelian pupuk pada kondisi setelah penerapan PTT padi menunjukkan bahwa sebelumnya petani sangat minim dalam penggunaan pupuk. Selanjutnya biaya untuk upah juga terjadi peningkatan sebesar 16,66%. Tabel 9. Perubahan penerimaan, biaya produksi dan pendapatan per hektar sebelum dan sesudah pendampingan di lokasi SLPTT padi Kabupaten Hulu Sungai Utara. N o 1
2
3 4 5 6
Teknologi PTT padi Bahan saprodi : Benih Pupuk Obatan Herbisida Total Upah : Olah tanah Tanam Semprot Panen Merontok/giling Angkut total upah total pengeluaran Penerimaan Pendapatan R/C MBCR
Nilai tambah Sebelum Sesudah
Perubahan Rp
%
489,882.28 248,732.79 105,987.79 172,962.36 828,640.70
420,315.79 368,486.84 97,105.26 164,924.81 939,097.74
(69,566.49) 119,754.05 (8,882.52) (8,037.55) 110,457.04
(14.20) 48.15 (8.38) (4.65) 13.33
753,550.34 1,272,885.10 428,700.66 860,428.32 860,477.10 485,598.84 3,935,596.30 4,764,237.00 17,046,872.44 11,795,581.94 4.18
822,241.09 1,268,590.83 392,690.06 882,395.64 1,138,180.45 835,018.80 4,591,157.89 5,530,255.64 23,556,932.33 18,026,676.69 4.92 8,50
68,690.75 (4,294.27) (36,010.60) 21,967.32 277,703.35 349,419.96 655,561.60 766,018.64 6,510,059.89 6,231,094.75 0.74
9.12 (0.34) (8.40) 2.55 32.27 71.96 16.66 16.08 38.19 52.83 17.58
Peningkatan terbesar adalah untuk biaya upah adalah untuk angkut sebesar 71,96%, relevan karena hasil yang diperoleh lebih banyak maka biaya untuk mengangkut padi yang dihasilkan dari lahan ke rumah petani juga meningkat. Besarnya peningkatan penerimaan (hasil jual padi) dan pendapatan masing-masing sebesar 38,19% dan 52,83%. Nilai R/C (revenue cost ratio) pada kondisi sesudah menerapkan PTT padi sebesar 4,92 dan sebelum 4,19. Berdasarkan nilai R/C terlihat bahwa pada kedua kondisi menunjukkan usahatani padi menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Membandingkan kedua tenologi antara sebelum dan setelah menerapkan PTT padi dengan menggunakan nilai MBCR (margin benefit cost ratio) diketahui sebesar 8,50. Nilai ini berarti bahwa setiap perubahan satu rupiah dalam penerapan PTT padi dapat meningkatkan keuntungan sebesar Rp 8,50 (Swastika, 2004; Hermawan dan Hendayana, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan PTT padi lebih baik dibandingkan daripada tidak menerapkan.
Kesimpulan Kesimpulan dari kegiatan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1.
Komponen teknologi PTT padi dengan tingkat adopsi rendah yaitu bahan organik/kandang, pengolahan tanah yang baik, dan pengairan secara efisien (berseling)
318
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
2.
Penerapan PTT padi dapat meningkatkan produktivitas sebesar 2,34 ton/ha atau 60,71% dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 6,231,094.75/ha/tahun atau sebesar 52.83%
3.
Nilai MBCR dengan penerapan PTT padi sebesar 8,50
Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014. Panduan Pendampingan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Kementrian Pertanian. Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2013. Kabupaten Hulu Sungai Utara dalam Angka 2013. Hulu Sungai Utara. Budhi, G. S. 2010. Dilema Kebijakan dan Tanatangan Pengembangan Diversifikasi Usahatani Tanaman Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 8, No. 3 : 241-258. BPTP Kalsel. 2014. Laporan Survei SLPTT di Kabupaten Balangan. Banjarbaru. Hendayana, R. 2014. Persepsi dan Adopsi Teknologi. Materi disampaikan Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Peneliti Sosial Ekonomi dalam Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor, 19 Oktober – 1 November 2014. Hermawan, H., dan R. Hendayana. 2012. Peran Bantuan Langsung Masyarakat melalui PUAP terhadap Struktur Pembiayaan dan Pendapatan Usahatani. P. 523-535. Suryana, A. 2005. Kebijakan penelitian dan kesiapan inovasi teknologi padi dalam mendukung kemandirian pangan dalam Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan Buku Satu, Puslitbang Tanaman Pangan, Balitbang Pertanian. P:25-37, 247p Swastika, D. K. S. 2004. Beberapa Teknik Analisis dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol. 7 No. 1, Januari 2001 : 90103. Swastika, D. K. S., R. Elizabeth, J. Hestina. 2009. Analisis Keberagaman Usaha Rumah Tangga Pertanian di Berbagai Agro Ekosistem Lahan Marginal. P. 110-127. Syafruwardi, A., H. Fajeri, dan Hamdani. 2012. Analisis Finansial Usahatani Padi Varietas Unggul di Desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Jurnal Agribisnis Perdesaan. Vol. 2, No. 3 : 181-192. Tina Febrianti dan Lintje Hutahaen, 2011. Studi adopsi dan dampak gelar teknologi PTT padi sawah dan integrasi padi sawah-ternak sapi di desa Limboto Kecamatan Banawa Sul Tengah; Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Melalui Inovasi Teknologi Spe Lok buku II, Yogjakarta.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
319