TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN
JURNAL
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
SUPRIONO TARIGAN 090200394 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
LEMBAR PENGESAHAN TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN
JURNAL Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
SUPRIONO TARIGAN 090200394
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. H.M. Hamdan, SH., MH NIP. 195703261986011001
Pembimbing I
Syafruddin, SH., M.H.D.F. M NIP. 197110051948011001
Pembimbing II
Dr. M. Ekaputra, SH., M.Hum NIP. 19635051119890310001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
ABSRTAK TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana ketentuan pidana aborsi menurut KUHP dan UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan?Bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada korban perkosaan? Bagaimana kehamilan Akibat Perkosaaan Bisa Dikatakan Sebagai Alasan Indikasi Medis? Sifat dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang mendeskripsikan secara terperinci fenomena social yang menjadi pokok permasalahan. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. KUHP Pasal 346,347,348,349 yang merupakan keseluruhan pasal-pasal tentang buku pengguguran kandungan. Hanya menekankan pada perempuan dan barang siapa yang sengaja melakukan pelanggaran atau menyuruh orang lain untuk melakukan pengguguran pada badannya harus dihukum apapun alasannyaAborsi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan. Tindakan media dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun aturan KUHP yang keras tersebut telah dilunakkan dengan memberikan peluang dilakukannya aborsi. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan. sehingga dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentuPerlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi. Perlindungan hukum pidana pada korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus dapat dijelaskan melalui pengaturan tentang abortus provocatus itu sendiri di dalam hukum pidana, yakni yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sebagai hukum pidana umum (lex generale) dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku sebagai hukum pidana khusus (lex speciale).
Kata Kunci : Aborsi, Alasan Indikasi Medis, Kehamilan Akibat Perkosaan
ABSTRACT ACTION ABORSI BY the REASON OF MEDICAL INDICATION BECAUSE THE HAPPENING OF PREGNANCY EFFECT OF RAPE . In this time doing an injustice rape represent the badness which enough get the attention among society. Often in newspaper or magazine reported on happened the doing an injustice rape. If studying history, in fact this doing an injustice type there since long time, or can be told as classic badness form to always keep abreast of the culture of human being itself, he there will always and expand each;every moment although might not too differing far previously. Problem of this research is how rule of crime aborsi of according to KUHP and UU No. 36 year 2009 about healt? Why form the protection given government to rape victim? How pregnancy Effect Of Perkosaaan Can Be Told As Reason Of Medical Indication? Nature of in this research is analytical descriptive, that is research which description detailedly is phenomenon social becoming problems fundamental. Meant descriptive research to give the data as accurately as about human being, other symptom or situation. KUHP Section 346,347,348,349 representing the overall of section of about aborsi book. Only emphasizing at who did goods and woman intend to the collision or order the others to the abortion its body have to be punished any is Aborcition of As Protection Form Punish To Woman of Rape Victim. Media Action in the form of abortion with any reason prohibited by because opposing against norm punish the, religion norm, ethics norm, and courtesy norm. But the hard order KUHP have been mellowed by giving opportunity of aborsi. As determined in of No.36 year 2009 about health. so that in a state of emergency as effort save the mother and or foetus contained can be brought an action against medical Criminal Law To Rape Victim Aborsi. Protection of criminal law rape victim explainable abortus provocatus the arrangement about abortus provocatus itself in criminal law, namely which is there are in KUHP acting as criminal law (lex generale) and UU No. 36 Year 2009 about Health acting as special criminal law ( lex special) Keyword : Aborsi, Reason Of Medical Indication, Pregnancy of Effect of Rape
A. Latar Belakang Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. Angka yang tidak sedikit mengingat besarnya tingkat kehamilan di Indonesia. Selain itu, ada yang mengkategorikan aborsi itu pembunuhan. Ada yang melarang atas nama agama. Ada yang menyatakan bahwa jabang bayi juga punya hak hidup sehingga harus dipertahankan, dan lain-lain. Kasus aborsi di Indonesia diperkirakan semakin meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta jiwa dari 5 juta kelahiran pertahun. Bahkan, 1-1,5 juta diantaranya adalah kalangan remaja.1 Data yang dihimpun Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan dalam kurun waktu tiga tahun (2008-2010) kasus aborsi terus meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak korban Aborsi, tahun berikutnya (2009) naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang dibuang paksa. Sementara itu, pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta jiwa. 62,6 persen pelaku diantaranya adalah anak berusia dibawah 18 tahun. Metode aborsi 37 persen dilakukan melalui kuret, 25 persen melalui oral dan pijatan, 13 persen melalui cara suntik, 8 persen memasukkan benda asing ke dalam rahim dan selebihnya melalui jamu dan akupunktur.2 Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor mengatakan bahwa pada 2003, rata-rata terjadi 2 juta kasus aborsi per tahun. Lalu pada tahun berikutnya, 2004 penelitian yang sama menunjukkan kenaikan tingkat aborsi yakni 2,1-2,2 juta per tahun. Kehamilan pranikah angkanya 12,7 persen, dan 87 persen dilakukan oleh perempuan yang memiliki suami.3 Data serupa juga diungkap oleh Inne Silviane, Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat, pelaku aborsi justru paling banyak adalah perempuan yang sudah menikah karena 1
http://bukuhariankimmy.blogspot.com/2013/05/aborsi‐sebuah‐paradoks‐ kontradiksi.html, diakses tanggal 1 September 2013 2 Ibid 3 Ibid
program KB-nya gagal. Data studi PKBI di 12 kota dari tahun 2000-2011 juga menunjukkan, 73-83 persen wanita yang ingin aborsi ialah wanita menikah karena kegagalan kontrasepsi.4 Berapapun jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia dan siapa pelakunya remaja atau wanita yang sudah menikah, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi penyebab aborsi ini angkanya cenderung terus meningkat. Beberapa kalangan meyakini faktor pendorong melakukan aborsi adalah kehamilan yang tidak direncanakan akibat dari seks pranikah, perkosaan, dan kontrasepsi yang gagal. Pertama, seks pranikah dilakukan saat usia mereka diliputi rasa penasaran dan ingin mencoba, tapi tidak mau bertanya pada orang tua ataupun guru konseling, dan terlebih lagi pengetahuan mereka mengenai kontrasepsi masih minim. Akhirnya, mereka mendapatkan informasi dari sumbersumber yang salah seperti film porno. Orang tua harus memberi pendampingan dan pendidikan seks agar tidak terjerumus pada hubungan seks pranikah. Karena, ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah perempuan jika kehamilan tidak diinginkan (KTD) terjadi, meskipun aborsi dilakukan maupun tidak. Kedua, perkosaan. Dalam kasus perkosaan jelas bahwa jika terjadi KTD, perempuan pasti akan menolak keberadaan janin dalam rahimnya, perasaan dendam, tidak menginginkan, depresi, harus menghadapi stigma miring masyarakat yang tidak menganggap ia sebagai korban. Sehingga, aborsi menjadi solusi terbaik yang diambil. Ketiga, kontrasepsi yang gagal. Aborsi ini sering dilakukan oleh perempuan yang sudah menikah, dengan alasan ekonomi, melanjutkan pendidikan, ikatan kerja, alasan tidak ingin menambah anak, serta alasan kesehatan. 5 Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan 4
Majalah Detik, Juli 2012 5 http://rifkaanisa.blogdetik.com/2013/01/21/problematika‐aborsi‐di‐indonesia/diakses tanggal 01 September 2013
manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Selama ini aborsi oleh tenaga medis dilakukan bilamana ada indikasi medis misalnya ibu dengan penyakit berat yang mengancam nyawa6. Masalah perlindungan terhadap korban perkosaan menjadi permasalahan yang menarik untuk dicermati, karena masalah perlindungan terhadap korban perkosaan tidak hanya berkaitan dengan pemberian perlindungannya saja, akan tetapi berkaitan dengan hambatan yang dihadapi. Tidak mudah untuk memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan karena ada beberapa faktor yang jadi penghambat. Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan trauma.7 Perkosaan dapat mengakibatkan cedera fisik, karena luka pada kepala, dada, punggung hingga bagian intern wanita yang terjadi pukulan, benturan, dan cekikan. Hal yang terburuk adalah kehamilan yang tidak diinginkan, dimana kehamilan tersebut akan menjadi beban baik terhadap korban maupun keluarganya dalam menghadapi kehidupan selanjutnya karena dia harus membesarkan dan mengasuh anak hasil perkosaan. Dampak lainnya yang dapat terjadi adalah stress akut atau depresi berat yang kadang menyebabkan korban menjadi gila karena merasa dirinya tidak normal lagi, kotor, berdosa dan tidak berguna. Selain itu perkosaan juga dapat mengakibatkan kematian, atau tertular penyakit seksual yang tidak dapat disembuhkan.
6
http://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/03/perlindungan‐korban‐perkosaan/diakses tanggal 9 Maret 2013 7 http://boeyberusahasabar.wordpress.com/2012/11/02/aborsi‐sebagai‐bentuk‐ perlindungan‐hukum‐bagi‐perempuan‐korban‐perkosaan/diakses tanggal 9 Maret 2013
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana ketentuan pidana aborsi menurut KUHP dan UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan? 2. Bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada korban perkosaan? 3. Bagaimana kehamilan Akibat Perkosaaan Bisa Dikatakan Sebagai Alasan Indikasi Medis?
C. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi hukum, pertama hukum dapat dipelajari dan diteliti sebagai suatu studi mengenai law in books, dan yang kedua adalah hukum yang dipelajari dan diteliti sebagai suatu studi mengenai law in action. Mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial yang lain, studi terhadap hukum sebagai law in action merupakan studi ilmu social yang non doktrinal dan bersifat empiris. 1. Sifat Penelitian Sifat dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang mendeskripsikan secara terperinci fenomena social yang menjadi pokok permasalahan. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya8. 2. Jenis dan sumber data Jenis dan sumber data yang terhimpun dari hasil penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan dan kepustakaan, digolongkan ke dalam 2 jenis data, yaitu : a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan dengan menggunakan metode wawancara atau interview kepada para para pelaku tindak pidana perkosaan, serta lainnya yang relevan dengan pokok permasalahan
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 2001, hal. 9-10
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis melalui penelusuran literatur atau kepustakaan, peraturan perundangundangan, buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-arsip yang berhubungan dengan pokok materi pembahasan. 3. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah melalui studi kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan literatur yang berhubungan dengan pemasalahan yang dibahas, serta studi wawancara langsung dengan pihakpihak yang berkompeten guna memperoleh keterangan data tentang subjek dan objek yang diteliti. 4. Analisis Data Data yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder dianalisis dengan teknik kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Alasan-Alasan Yang Dapat Dikatakan Sebagai Alasan Indikasi Medis Adapun alasan-alasan untuk menghilangkan pidana atau hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana diatur dalam Bab III buku kesatu KUHP dan telah diuraikan pada bab terdahulu dari tulisan ini. Sedangkan alasan-alasan / indikasi untuk melakukan aborsi dapat diperinci 1. Alasan-alasan medis a. Untuk menyelamatkan si ibu b. Untuk menjaga kesehatan si ibu c. Untuk mencegah gangguan yang berat dan tetap terhadap keselamatan sibayi d. Untuk mencegah bahaya terhadap jiwa si ibu 2. Untuk mencegah kelahiran anak dengan cacat fisik atau mental yang berat. Alasan-alasan social – ekonomi a. Sudah mempunyai tiga anak atau lebih b. Sudah mempunyai lima anak atau lebih c. Jika ibu memikul tanggung jawab bagi penghasilan keluarga atau anak d. Untuk mereka yang belum kawin si lelaki tidak mau bertanggung jawab terhadap anak yang akan dilahirkan.
2. Alasan-alasan kemanusiaan Kehamilan disebabkan oleh a. Perkosaan (persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan ) b. Perbuatan sumbang (incest) c. Persetubuhan dengan gadis masih dibawah umur. 2. Aborsi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
(KUHP)
melarang
keras
dilakukannya aborsi dengan alasan apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283, 299 serta pasal 346 – 349. Bahkan pasal 299 intinya mengancam hukuman pidana penjara maksimal empat tahun kepada seseorang yang memberi harapan kepada seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan. Pasal 299 KUHP 1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh seseorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah. 2. Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya. 3. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu. Apabila pelaku salah menduga bahwa wanita itu hamil, padahal sebenarnya tidak, maka ia tidak dapat dihukum, karena perbuatannya tidak menggugurkan kandungan. Pelaksanaan kejahatan itu dianggap selesai, apabila pengobatan
telah
diberikan
atau
pemijatan
telah
dilakukan,
sehingga
menimbulkan pengharapan bahwa kandungan itu akan gugur karena pengobatan atau pemijatan itu. Menurut Pasal 346 KUHP : Wanita
yang
dengan
sengaja
menyebabkan
gugur
atau
mati
kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun.
Pengguguran kandungan atau pembunuhan janin yang ada di dalam kandungan dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, misalnya: dengan obat yang diminum atau dengan alat yang dimasukkan ke dalam rahim. Dalam Pasal 348 KUHP: 1. Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. 2. Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Dalam Pasal 349 KUHP Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu kejahatan tersebut dalam pasal 346, atau bersalah melakukan atau membantu salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut haknya melakukan pekerjaannya yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu. Penjelasan Yang diancam hukuman lebih berat dalam pasal ini ialah dokter, bidan atau juru obat yang membantu wanita yang dengan sengaja menyebabkan kandungannya menjadi gugur atau mati (Pasal 346), atau membantu seseorang yang dengan sengaja menyebabkan kandungan seorang wanita menjadi gugur atau mati, tanpa izin dari wanita yang bersangkutan (pasal 347 ayat ke-1), atau pula membantu seseorang yang dengan sengaja menyebabkan kandungan seorang wanita menjadi gugur atau mati, atas izin wanita yang bersangkutan (pasal 348 ayat ke-1), atau apabila perbuatan itu mengakibatkan wanita yang bersangkutan mati (pasal 347 dan 348 ayat ke-2). Selain hukuman yang lebih berat, maka dokter, bidan atau juru obat yang membantu kejahatan itu dapat dijatuhi hukuman tambahan pencabutan hak melakukan pekerjaannya sebagai dokter, bidan atau juru obat. Sebaliknya apabila dokter, bidan atau juru obat yang membantu menggugurkan atau membunuh kandungan itu justru menolong jiwa atau menjaga kesehatan wanita tersebut, tidak dihukum. Diluar dari ketentuan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 ketentuan apa yang diperbolehkan melakukan aborsi atau yang dianjurkan oleh dokter ! diluar
daripada undang-undang yaitu indikasi medis yang mengancam keselamatan ibu atau anak9 Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara. 2. Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara. 3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5 tahun 6 bulan penjara dan bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara. 4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktik dapat dicabut. 5. Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta mempertahankan hidupnya. Tindakan media dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun aturan KUHP yang keras tersebut telah dilunakkan dengan memberikan peluang dilakukannya aborsi. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan. sehingga dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu Aborsi dalam Undang – Undang No.36 tahun 2009 dalam Pasal 75 : 1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi 2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. c. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan 9
Ibid
“diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Lembaga apa yang menerima korban kehamilan akibat perkosaan? Ngak ada lembaga yang menerima korban kehamilan akibat perkosaan10 Butir ke-2 & 3, mungkin para ahli kesehatan & ahli hukum dapat memahami alasan aborsi karena merupakan hal-hal yang di luar kemampuan ibu, dimana pada butir ke 2, apabila bayi dibiarkan hidup, mungkin akan menjadi beban keluarga serta kurang baiknya masa depan anak itu sendiri. Namun keadaan ini bertentangan dengan UU HAM pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan, & pasal 54 mengenai hak untuk mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan & bantuan khusus atas biaya negara bagi setiap anak yang cacat fisik & mental. Pada butir ke 3, kemungkinan besar bayi tidak akan mendapatkan kasih sayang yang layak, bahkan mungkin akan diterlantarkan ataupun dibuang, yang bertentangan dengan UU Kesehatan pasal 4 tentang perlindungan anak mengenai hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang & berpartisipasi secara wajar sesuai dgn harkat & martabat kemanusiaan. Sedangkan bagi ibu yang merupakan korban pemerkosaan itu sendiri, hal ini merupakan keputusan yang kurang adil apabila kehamilan akibat perkosaan itu dilanjutkan, karena dia sendiri adalah korban suatu kejahatan, & pasti akan merupakan suatu beban psikologis yang berat. Penanganan utama yang harus dilakukan adalah terhadap korban perkosaan, karena selama ini perhatian dari pemerintah maupun kepedulian masyarakat terasa sangat kurang. Meskipun setiap hari ada saja berita di surat kabar tentang jatuhnya korban perkosaan, namun pemerintah dan masyarakat sendiri kurang peduli dan menganggap hal seperti itu sesuatu yang sudah wajar terjadi. Korban yang mengalami tekanan emosional dan fisik yang hebat dapat melakukan upaya bunuh diri atau melakukan tindakan aborsi karena penderitaan psikis yang dialaminya setelah diketahui bahwa korban mengalami kehamilan. 10
Ibid
Korban perkosaan banyak yang mengalami depresi berat atau kecemasan berat, kelesuan kronis, gangguan tidur, mimpi buruk, merasa terisolasi dari masyarakat sekitar dan menarik diri karena malu akan apa yang dialaminya. Dalam Pasal 76 : Aborsi sebagaimana dimaksud Pasal 75 hanya dapat dilakukan: 1. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis 2. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh merited; 3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; 4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan 5. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Dalam KUHP terdapat larangan terhadap aborsi, dan bagi ibu serta pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan diundangkannya UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi, maka pasal-pasal tentang aborsi dalam KUHP ini tidak berlaku lagi atas dasar Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Berbeda dengan KUHP, UU Kesehatan memberikan pengecualian (legalisasi) terhadap tindakan aborsi tertentu, yaitu aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu atau janinnya. Pasal 49 ayat 3 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa wanita berhak memperoleh perlindungan hukum yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Dalam Pasal 77: Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma-norma dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Semua pihak dihadapkan pada adanya pertentangan baik secara moral & kemasyarakatan di satu sisi maupun dengan secara agama & hukum di lain sisi. Dari sisi moral & kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil pemerkosaan. Melakukan aborsi pasti merupakan keputusan yang sangat berat dirasakan oleh perempuan yang bersangkutan. Tapi bila itu memang menjadi jalan yang terakhir, yang harus diperhatikan adalah persiapan secara fisik dan mental
dan informasi yang cukup mengenai bagaimana agar aborsi bisa berlangsung aman. Banyaknya kematian akibat aborsi yang tidak aman, tentu sangat memprihatinkan. Hal ini diakibatkan kurangnya kesadaran dari perempuan dan masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan. Padahal bagaimanapun kondisinya atau akibat apapun, setiap perempuan sebagai warganegara tetap memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan kewajiban negaralah untuk menyediakan hal itu. Hak-hak ini harus dipandang sebagai hak-hak sosial sekaligus hak individu yang merupakan hak untuk mendapatkan keadilan sosial termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan pelayanan. Hak atas pelayanan kesehatan ini ditegaskan pula dalam Pasal 12 Konvensi Penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan) dan UU Kesehatan. Dalam hal Hak Reproduksi, termasuk pula didalamnya hak untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia (Rekomendasi bab 7 Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo 1994). Pelayanan Kesehatan yang Memadai adalah hak setiap orang, tidak terkecuali Perempuan yang memutuskan melakukan Aborsi. Dilihat dari adanya undangundang yang diberlakukan di banyak negara, setiap negara memiliki undangundang yang melarang dilakukannya aborsi buatan meskipun pelarangannya tidak bersifat mutlak. Bagaimana yang dikatakan indikasi medis menurut dokter ? ibu hamil dalam keadaan tidak baik atau terancam hidupnya11 3. Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi Perlindungan hukum berarti melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undangundang, maka oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak pula untuk mendapat perlindungan dari hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum. Tetapi perlu kita ketahui bahwa dalam kasus perkosaan pihak korban telah terabaikan dari 11
Ibid
jangkauan hukum. Ini terbukti dari banyaknya kasus dengan korban perempuan yang tidak mampu terselesaikan secara adil dan memuaskan.12 Perlindungan hukum pidana pada korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus dapat dijelaskan melalui pengaturan tentang abortus provocatus itu sendiri di dalam hukum pidana, yakni yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sebagai hukum pidana umum (lex generale) dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku sebagai hukum pidana khusus (lex speciale). Apakah aborsi diperbolehkan untuk korban perkosaan ? kalau sehat-sehat aja boleh atau dia merasa aman-aman saja tetapi kalau dia tidak sehat tidak boleh dan itu keputusan dari dokter jiwa13 Regulasi tentang pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Berikut ini adalah uraian tentang pengaturan abortus provocatus yang terdaapat dalam masing-masing pasal tersebut: a. Pasal 346 KUHP : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. b. Pasal 347 KUHP : 1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. c. Pasal 348 KUHP: 1. Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. d. Pasal 349 KUHP : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan 12
Erwin Yuliatiningsih, “Kebutuhan Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban Tindak Pidana Perkosaan di Indonesia”, http://www.google.com, diakses 12 Februari 2010. 13 Ibid
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”. Jika kita menelaah pasal-pasal dalam KUHP tersebut, tampaklah KUHP tidak membolehkan suatu abortus provocatus di Indonesia. KUHP tidak melegalkan abortus provocatus tanpa kecuali. Bahkan abortus provocatus medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang, termasuk di dalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan. Oleh karena sudah dirumuskan demikian, maka dalam kasus abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan, minimal ada dua orang yang terkena ancaman sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHP, yakni si perempuan sendiri yang hamil karena perkosaan serta barangsiapa yang sengaja membantu si perempuan tersebut menggugurkan kandungannya. Seorang perempuan yang hamil karena perkosaan dapat terkena ancaman sanksi pidana kalau ia sengaja menggugurkan kandungan tanpa bantuan orang lain. Ia juga dapat terkena ancaman sanksi pidana kalau ia meminta orang lain dengan cara menyuruh orang itu untuk menggugurkan
kandungannya.
Khususnya untuk orang lain yang disuruh untuk menggugurkan kandungan dan ia benar-benar melakukannya, maka baginya berlaku rumusan pasal 347 dan 348 KUHP sebagai berikut : “…barangsiapa dengan sengaja menggugurkan…” Jika terbukti bersalah di muka pengadilan, ia turut dipidana sebagaimana si perempuan hamil yang melakukan abortus provocatus tersebut. Sedangkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan undang-undang kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992, melalui Pasal 75,76, dan Pasal 77 memberikan penegasan mengenai pengaturan pengguguran kandungan (abortus provocatus). Berikut ini adalah uraian lengkap mengenai pengaturan aborsi yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut: Pasal 75: 1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi. 2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. 3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76: Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 77 : Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun tersebut jika kita kaitkan dengan aborsi karena kehamilan tidak dikehendaki (KTD) akibat perkosaan, maka dapat disimpulkan: Pertama, secara umum praktik aborsi dilarang; Kedua, larangan terhadap praktik dikecualikan pada beberapa keadaan, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Selain itu tindakan medis terhadap aborsi KTD akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila: 1. setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang; 2. dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; 3. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; 4. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; dan 5. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Perkosaan sendiri merupakan tindak pidana yang pelakunya harus dijatuhi sanksi pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun sesuai Pasal 285 KUHP. Sedangkan korbannya harus mendapat perlindungan hukum yang salah satu caranya adalah mengembalikan kondisi jiwanya akibat tekanan daya paksa dari pihak lain (tekanan psikologis). Alasan tekanan psikologis akibat perkosaan inilah yang seharusnya dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan bahwa aborsi akibat perkosaan sebagai suatu pengecualian, sehingga seharusnya legal dilakukan. Arif Gosita dalam bukunya Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan mengatakan bahwa: “Dalam kasus abortus, janin ditolak sebagai makhluk hidup dan dianggap sebagai objek mati. Oleh karena diformulasikan seperti itu maka penghancurannya saat itu tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan dan tidak menimbulkan kemarahan moral atau pertentangan moral seperti pada kasus pembunuhan lain.”14 Sudah menjadi opini publik bahwa salah satu latar belakang abortus dilarang undang-undang adalah karena bertentangan dengan moral masyarakat dan atau moral agama. Apabila dihubungkan dengan pendapat tersebut, sebenarnya yang menentang moral adalah pemerkosaannya bukan orang yang melakukan aborsi. Aborsi hanyalah merupakan akibat tindakan orang biadab yang memperkosa perempuan, sehingga perempuan tersebut menjadi hamil. Perempuan 14
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), (Jakarta: Akademika Presindo, 1985), hal 88.
dalam hal ini adalah sebagai korban dari rentetan tindak pidana perkosaan, sehingga apabila tindak pidana perkosaan yang dilakukan terhadapnya berakibat hamil maka janin yang dikandungnya adalah dianggap sebagai objek yang mati/tidak hidup. Oleh karena dianggap sebagai objek yang mati maka penggugurannya, dianggap legal untuk dilakukan. Apabila dihubungkan dengan Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht), sebenarnya Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang pengecualian melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan, mengakui adanya daya paksa bagi barang siapa yang melakukan aborsi. Ketentuan tentang overmacht atau daya paksa yang terdapat dalam pasal 48 KUHP, yaitu : “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.15 Dari ketentuan Pasal 48 KUHP tersebut dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu paksaan atau tekanan yang tidak dapat dihindarkan. Adapun paksaan itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan suatu ancaman yang membahayakan diri dan jiwanya. Tentu saja dalam hal ini, orang yang diancam tersebut mempunyai dugaan kuat bahwa ancaman itu benar-benar akan dilaksanakan apabila ia menolak mengerjakan sesuatu yang dikehendaki pemaksa (pengancam). Daya paksa (overmacht) ini merupakan alasan pemaaf. Dalam alasan pemaaf ini, seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dijatuhi pidana karena tidak adanya kesalahan. Artinya perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana. Tetapi ia tidak dipidana, karena tidak adanya kesalahan. Dengan demikian, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Karena overmachtsebagaimana yang tercantum dalam Pasal 48 KUHP hanya memuat alasan pemaaf, artinya perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum, tetapi kesalahannya bisa dimaafkan karena pengaruh daya paksa tadi. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana, sedangkan ia berada di bawah pengaruh daya paksa sehingga ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini merupakan hal yang tepat dan mencerminkan 15
Ibid. hal. 23
rasa keadilan, sebab orang tersebut melakukan perbuatan pidana karena dorongan yang tidak mampu dilawannya, misalnya karena mengancam keselamatan jiwanya. Dihubungkan dengan teori tersebut, dalam kasus abortus provokatus pada korban perkosaan terjadi konflik antara 2 (dua) hak, yakni hak perempuan yang hamil bertentangan dengan hak janin. Dengan demikian untuk menentukan apakah perempuan yang melakukan abortus provokatus atas kandungannya dapat dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan manakah yang lebih utama.16 Apakah dibolehkan seorang melakukan aborsi karena terjadi kehamilan akibat perkosaan ? boleh dilihat dari psikologis korban apabila dia tidak menerima dia boleh melakukan aborsi menurut dokter forensic17 Apakah kasus perkosaan sering terjadi di wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara khususnya Kota Medan ? sering dilihat dari tingkat aborsi yang dilakukan korban perkosaan.18 Dengan demikian alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan aborsi apabila tindakan perkosaannya tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti. Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh orang yang benar-benar belum pernah dikenal oleh korban, tapi juga telah dikenal sebelumnya bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban (sebagai pacar misalnya). Lembaga apa yang menerima kehamilan akibat perkosaan ? nggak ada sebab pemerintah belum membuat instansi khusus untuk korban akibat perkosaan19 Ketentuan atau peraturan yang mengatur tindak pidana aborsi ! Dalam KUHP diatur siapa saja yang dapat dipidana ketika melakukan tindak. Yang dapat dipidana dalam ketentuan KUHP meliputi seseorang yang melakukan tindak pidana, seseorang yang menyuruhlakukan tindak pidana, seseorang yang turut 16
Ekotama, Suryono., dkk. Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif iktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001.hal 194 17 Wawancara dengan Parman Barus Tata Usaha Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tanggal 13 April 2013 18 Wawancara dengan Parman Barus, Tata Usaha Kepolisian Daerah Sumatera Utara, tanggal 13 April 2013 19 Ibid
serta melakukan tindak podana dan seseorang yang membatulakukan tindak pidana.20 E. Kesimpulan Dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka ditarik kesimpulan bahwa: a. Ketentuan Pidana Aborsi Menurut KUHP dan UU NO. 36 TAHUN 2009 Tentang Kesehatan dalam KUHP Pasal 346,347,348,349 yang merupakan keseluruhan pasal-pasal tentang buku pengguguran kandungan. Hanya menekankan pada perempuan dan barang siapa yang sengaja melakukan pelanggaran atau menyuruh orang lain untuk melakukan pengguguran pada badannya harus dihukum apapun alasannya menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu Pasal 75 ayat (2) huruf b yang menyatakan bahwa “kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan” maka dapat diberikan perlindungan hukum terhadap korban terdapat pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yaitu memberikan kejelasan bahwa Pemerintah wajib melindungi korban perkosaan yang berbunyi: “Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan”. b. Aborsi
Sebagai
Bentuk
Korban Perkosaan.
Perlindungan
Tindakan
media
Hukum
dalam
Bagi
bentuk
Perempuan pengguguran
kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun aturan KUHP yang keras tersebut telah dilunakkan dengan memberikan peluang dilakukannya aborsi. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan. sehingga dalam 20
Ibid
keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi: Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu. Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101 yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh korban dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap korban,
khususnya
korban
perkosaan.
Jadi
selain
pelaku
telah
mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. c. Kehamilan Akibat Perkosaaan Yang Dapat dikatakan sebagai alasan indikasi medis. Adapun alasan-alasan untuk menghilangkan pidana atau hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana diatur dalam Bab III buku kesatu KUHP dan telah diuraikan pada bab terdahulu dari tulisan ini. Sedangkan alasan-alasan / indikasi untuk melakukan aborsi dapat diperinci. Alasan-alasan medis. Untuk menyelamatkan si ibu, Untuk menjaga kesehatan si ibu, Untuk mencegah gangguan yang berat dan tetap terhadap keselamatan sibayi, Untuk mencegah bahaya terhadap jiwa si ibu, Untuk mencegah kelahiran anak dengan cacat fisik atau mental yang berat.
Alasan-alasan social – ekonomi; Sudah mempunyai tiga anak atau lebih, Sudah mempunyai lima anak atau lebih, Jika ibu memikul tanggung jawab bagi penghasilan keluarga atau anak, Untuk mereka yang belum kawin si lelaki tidak mau bertanggung jawab terhadap anak yang akan dilahirkan. Alasan-alasan kemanusiaan. Kehamilan disebabkan oleh Perkosaan (persetubuhan
yang
dilakukan
dengan
kekerasan
atau
ancaman
kekerasan), Perbuatan sumbang (incest), Persetubuhan dengan gadis masih dibawah umur. 2. Saran a. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam member pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seyogyanya dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal tunggal. b. Negara Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women-CEDAW) dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, seyogyanya dalam RUU KUHP tentang masalah perkosaan juga melihat ketentuanketentuan dalam Undang-Undang tersebut sehingga terdapat pasal-pasal yang bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan (perkosaan). c. Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para perempuan korban kekerasan (perkosaan) untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.