BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORSI) KARENA PERKOSAAN
2.1 Pengguguran Kandungan (Aborsi) 2.1.1 Pengertian Pengguguran Kandungan (Aborsi) Aborsi berasal dari kata abortus yang artinya gugur kandungan. 1 Aborsi berasal dari bahasa Latin, yaitu abortus, yang mengandung pengertian berakhirnya atau berhentinya kehamilan dimana janin belum dapat hidup di luar rahim (viable) atau pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.2 Aborsi istilah populernya adalah mengugurkan kandungan, dimaksud dengan perbuatan mengugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang bagaimanapun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Perbuatan memaksa kelahiran bayi
1
Mien Rukmini, 2002, Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan, Badan Pembina Hukum Nasional, Jakarta, (selanjutnya disingkat Mien Rukmini II), h.10. 2 Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Karya Putra Darwati, Bandung, h.366.
atau janin sebelum waktunya ini sering disebut abortus provocatus atau kadang disingkat dengan aborsi saja.3 Sudut pandang etimologi, abortus berasal dari kata abort, artinya gugur. Sedangkan abortus atau aborsi adalah mengugurkan atau keguguran. Perbedaanya terletak pada ada atau tidaknya unsur kesengajaan, mengugurkan merupakan sengaja mengeluarkan janinnya sedangkan keguguran keluarnya janin dengan tidak disengaja sebelum waktunya lahir.4 Menurut Bambang Poernomo, pengguguran kandungan (abortus) adalah lahirnya buah kandungan sebelum waktunya oleh perbuatan seseorang yang bersifat sebagai perbuatan pidana kejahatan.5 Menurut Taufan Nugroho, aborsi adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang kurang dari 500 gram, sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup janin sebelum tumbuh.6 2.1.2 Jenis – Jenis Pengguguran Kandungan (Aborsi)
3
Adami Chazawi, 2010, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi I), h.113. 4 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, h.373. 5 Bambang Poernomo, 1982, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, Bina Aksara, Jakarta, h.137. 6 Taufan Nugroho, 2011, Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan, Nuha Medika, Yogyakarta, h.20.
Aborsi dapat terjadi baik karena sebab-sebab alamiah atau dengan sendirinya (aborsi alamiah), maupun akibat perbuatan manusia (abortus provokatus) Secara garis besar, aborsi dibedakan menjadi dua ialah aborsi spontan dan aborsi provokatus. 1. Aborsi Spontan atau Alamiah Sering disebut dengan keguguran yaitu aborsi yang terjadi tanpa tindakan medis apapun. Penyebab dari Aborsi Spontan ini, yaitu : (1) Kelainan pertumbuhan hasil pembuahan yang dapat menyebabkan kematian janin atau cacat. Faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan ialah kelainan kromosom, lingkungan tidak baik di kandungan sehinggan pemberian zat makanan pada hasil pembuahan terganggu; pengaruh dari luar, radiasi, virus, obatobatan dan sebagainya dapat mempengaruhi baik hasil pembuahan maupun lingkungan hidupnya dalam rahim. (2) Kelainan pada plasenta. Infeksi dapat terjadi dalam jonjot plasenta dan menyebabkan oksigenisasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan
kematian janin,
biasanya terjadi karena penyakit darah tinggi. (3) Penyakit Ibu, misalnya penayakit menahun seperti radang paruparu,
tifus
abdominimalis,
menyebabkan aborsi.
infeksi
ginjal,
malaria,
dapat
(4) Kelainan saluran reproduksi, misalnya mion atau mulut rahim lemah.7
2. Aborsi Buatan atau Aborsi Provokatus Jenis aborsi yang sengaja dilakukan untuk menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup. Aborsi Provokatus ini di bagi menjadi 2 (dua), yaitu : 1. Aborsi Provokatus Medicinalis/Therapeuticus Adalah pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat-syarat medis dan cara yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, biasanya karena alasan medis untuk menyelamatkan nyawa atau mengobati ibu.8 Adapun
syarat
untuk
melakukan
aborsi
Provokatus
Medicinalis/Therapeuticus, yaitu : (a) Harus dengan indikasi medis (b) Dilakukan oleh tenaga kesehatan keahlian dan wewenang untuk itu (c) Harus berdasarkan pertimbangan tim ahli (d) Harus dengan persetujuan ibu hamil, suaminya atau kelurganya (informed consent) dan (e) Dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.9 Alasan
atau
indikasi
aborsi
ini
dilakukan
provokatus
medicinalis/therapeuticus karena : 7
Nyoman Serikat Putra, op.cit, h.21 Syahrul Machmud, op.cit, h.368 9 Adami Chazawi, 2007, Malpraktek Kedokteran (Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum), Bayu Media, Malang, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi II), h.117. 8
(1) Hamil di luar kandungan, bila kehamilan tidak dikeluarkan, maka akan terjadi robekan pada tempat di mana hasil pembuahan “menempel” diikuti pendarahan yang dapat menyebabkan kematian. (2) Hamil anggur (mola hidatidosa), pada hamil anggur, janin biasanya meninggal dan tumbuh jaringan seperti buah anggur, jaringan inilah yang harus dikeluarkan karena kemungkinan timbulnya kanker trofoblas. (3) Cacat bawaan pada janin, cacat bawaan berat seperti “anenchephalus” (tidak ada otak). (4) Penyakit ibu yang berat, misalnya kelainan jantung. (5) Hamil akibat perkosaan atau incest. (6) Penyakit atau kelainan jiwa berat (kecenderungan ingin bunuh diri). (7) Kegagalan Kontrasepsi, kehamilan akibat kegagalan kontrasepsi yang mengandung hormone estrogen dapat menyebabkan kelainan bawaan pada janin.10
2. Aborsi Provokatus Criminalis Biasanya pelaku yang melakukan aborsi ini adalah wanita yang hamil di luar nikah yang mengakibatkan kehamilannya tidak diinginkan. Merupakan abortus yang sengaja di lakukan, karena kehadiran janin atau bayi yang tidak dikehendaki termasuk juga apa yang disebut “unsafe abortion”. “Unsafe Abortion” adalah aborsi yang dilakukan orang yang tidak terlatih atau kompeten, sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian.11 Sudarji Sumapraja, mengemukakan beberapa ciri “unsafe abortion” : a. Membahayakan “Unsafe Abortion” yang dilakukan sendiri atau oleh orang yang tidak terlatih akan selalu membahayakan. Di Indonesia dikenal jamu – jamu peluntur atau terlambat dating bulan, dengan maksud agar para wanita hamil akan berduyun-duyun membeli jamu itu untuk induksi haid. Yang berbahaya ialah bila wanita itu berusaha menginduksi haid dengan jalan kekerasan, yang dapat dilakukan “dukun” dengan memijat kandungan, atau 10 11
Nyoman Serikat Putra, op.cit, h.22. Nyoman Serikat Putra, loc.cit.
b.
c.
d.
e. f. g.
dengan benda tajam yang dimasukkan sendiri ke dalam peranakan. Kurang pengetahuan yang menyebabkan terjadinya “unsafe abortion”, karena memang tidak mau tahu, merupakan masalah di Negara berkembang, termasuk yang sudah melegalisasikan aborsi. Kurang fasilitas kesehatan di negara berkembang akan lebih terasa dalam pelayanan aborsi, karena undang-undang menuntut standar pelayanan amat tinggi. Biayanya selangit berakibat abosi tidak mudah dicapai yang memerlukan. Wanita yang sangat memerlukan akan pergi ke klinik atau dukun untuk melakukan aborsi dengan biaya yang lebih murah. Keterlambatan. Bahaya aborsi meningkat dengan bertambahnya umur kehamilan. Masa bodoh. Seringkali petugas kesehatan bersikap masa bodoh atau menolak wanita yang dirujukkan untuk aborsi. Tidak diteruskan dengan kontrasepsi. Karena sikap masa bodoh itu, petugas kesehatan tidak hendak menyusahkan diri sendir dengan mlakukan “follow-up”, apalagi menganjurkan pasiennya memakai kontrasepsi. Sesungguhnya pasien sangat memerlukan dan akan memakai kontraseps terbaik bila ditawarkan dengan baik-baik.12
2.1.3 Faktor Penyebab Tindakan Pengguguran Kandungan Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan pengguguran kandungan, yaitu: a. Faktor ekonomi, pasangan suami isteri yang tidak ingin menambah anak lagi karena kesulitan biaya hidup, tetapi tidak memasang alat kontrasepsi atau bisa juga karena kegagalan kontrasepsi. b. Faktor kesehatan, adanya penyakit yang mengakibatkan bayi yang dikandung mengalami cacat secara fisik. c. Faktor psikologis, terjadi terhadap perempuan yang mengalami korban perkosaan. d. Faktor usia, hamil diluar nikah yang biasanya dialami oleh muda-mudi yang belum siap untuk membangun lingkup rumah tangga. e. Faktor penyakit ibu, seperti: 1. Adanya penyakit yang mengancam nyawa ibu.
12
Nyoman Serikat Putra, op.cit, h.23
2. Faktor kelainan pertumbuhan hasil kontrasepsi yang menyebabkan kelainan genetik, menempelnya pembuahan yang kurang sepurna yang dapat membahayakan bagi keselamatan janin. 3. Kelainan pada plasenta yang dapat menyebabkan gangguan sirkulasi plasenta akibat ibu menderita suatu penyakit, atau kelainan pembentukan plasenta. 4. Ibu menderita penyakit berat seperti infeksi yang disertai demam tinggi, penyakit jantung atau paru yang kronik, keracunan, mengalami kekurangan vitamin berat, dan lain-lain. 5. Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada mulut rahim. 6. Antagonis Rhesus ibu yang merusak darah janin. f. Faktor kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy), seperti kehamilan diluar nikah, kehamilan akibat perkosaan atau hubungan incest, kehamilan akibat kegagalan kontrasepsi dan sebagainya.13
Banyak adanya pro dan kontra mengenai masalah pengguguran kandungan ini, namun kaum yang setuju dengan adanya pengguguran kandungan atas indikasi medis memiliki pendapat yaitu: a. Janin tidak memiliki nilai yang sama dengan manusia dewasa yang telah dilahirkan. b. Menelantarkan anak jauh lebih berat akibat sosial dan budaya daripada saat si ibu tidak siap menghadapi kehamilannya. c. Mengendalikan kelahiran dapat ikut membantu mengendalikan populasi dunia. d. Membiarkan pengguguran kandungan illegal yang dilakukan secara diam-diam oleh seorang yang tidak punya keahlian lebih buruk dan berbahaya daripada memberikan kebebasan pengguguran kandungan dengan mensyaratkan dokter ahli sebagai pelaksananya, karena pengguguran kandungan yang dilakukan diam-diam lebih banyak korban dan tanpa pertanggungjawaban baik secara hukum maupun medis. e. Resiko yang dihadapi ibu yang melakukan pengguguran kandungan hanya sama dengan resiko seorang pasien mencabut gigi jika ditangani oleh ahlinya.14
13
Syahrul Machmud, op.cit, h.373. Alexandra Indriyanti Dewi, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, h.274. 14
2.1.4 Pengaturan Hukum Pengguguran Kandungan (Aborsi) Pengaturan hukum mengenai pengguguran kandungan (aborsi) dapat kita temukan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan di dalam Undang – Undang No. 36 Tahun 2009 (selanjutnya di sebut dengan UU Kesehatan No.36 Tahun 2009) serta Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi
yang mengatur secara khusus mengenai
pengecualian aborsi karena indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. 1. Pengaturan mengenai Pengguguran Kandungan (Aborsi) dalam KUHP Berdasarkan ketentuan KUHP, terdapat dua bentuk perbuatan pada aborsi yakni menggugurkan kandungan dan mematikan kandungan. Ketentuan KUHP menyebutkan, setiap tindakan aborsi dengan motif apa pun, dengan indikasi apa pun, dan dengan cara apa pun dalam usia kehamilan berapa pun adalah suatu kejahatan.15 Ketentuan mengenai pengguguran kandungan (aborsi) dapat dilihat dalam bab XIV Buku ke II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa pada Pasal 299 KUHP, khususnya pada Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 dan Pasal 349 KUHP. Perumusan pasal – pasal tersebut sebagai berikut : Pasal 299 menyebutkan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang
wanita
atau
menyuruhnya
supaya
diobati
dengan
sengaja
memberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu 15
Adami Chazawi II, loc.cit.
hamilnya dapat digugurkan, diancam pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah”. Pasal
346
menyebutkan
bahwa
“Seorang
wanita
yang
sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”. Ditinjau dari rumusannya, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 346 KUHP diatas itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja b. Unsur objektif : 1. de vrouw atau seorang wanita 2. afdrijving veroorzaken atau menyebabkan gugur 3. den dood veroorzaken atau menyebabkan mati 4. een vrucht atau janin 5. door een ander laten veroorzaken atau menyuruh orang lain menyebabkan.16
Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 346 KUHP, yakni: menggugurkan kandungan, mematikan kandungan dan menyuuruh orang lain menggugurkan kandungan dan menyuruh orang lain mematikan kandungan. Adapun yang dimaksud dengan perbuatan menggugurkan kandungan (afdrijving) adalah melakukakan perbuatan yang bagaimanapun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut sebelum waktunya.
16
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa Tubuh & Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang I), h.87
Perbuatan memaksa kelahiran bayi atau janin belum waktunya sering disebut dengan abortus provocatus.17
Pasal 347 : (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun Ditinjau dari rumusan Pasal 347 diatas, mengandung unsur – unsur sebagai berikut :
a. Unsur Subjektif : dengan sengaja b. Unsur objektif : 1. Perbuatan : menggugurkan atau mematikan 2. Objeknya : kandungan perempuan 3. Tanpa persetujuan perempuan itu Pasal 348 : (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan (2) Jika itu mengakibatkan matinya perempuan tersebu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun Ditinjau dari rumusan Pasal 348 diatas, mengandung unsur – unsur sebagai berikut : a. Unsur subjektif : dengan sengaja b. Unsur objektif : 1. Perbuatan : menggugurkan atau mematikan 17
Adami Chazawi I, op.cit, h.119
2. Objeknya : kandungan perempuan 3. Dengan persetujuan perempuan itu
Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP mengandung pokok pemikiran yang berbeda. Dalam Pasal 347 KUHP perbuatan menggugurkan kandungan tersebut tanpa adanya persetujuan perempuan itu, yang artinya perempuan itu tidak menghendaki atau mengharapkan gugurnya kandungan tersebut. Sedangkan dalam Pasal 348 KUHP perbuatan menggugurkan kandungan tersebut dilakukan atas persetujuan dari perempuan tersebut. Artinya pelaksanaan pengguguran kandungan tersebut telah di kehendaki oleh ke dua belah pihak, dimana dua atau lebih orang tersebut memiliki kehendak yang sama dalam pengguguran kandungan tersebut. Tidak dipersoalkan dari mana asal
atau datangnya inisiatif untuk dilakukannya pengguguran atau pembunuhan kandungan tersebut, karena yang penting adalah sebelum atau pada saat memulai perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan itu sama dikehendaki baik oleh perempuan yang mengandung maupun oleh orang yang melaksanakan perbuatan itu.18 Pasal 349 menyebutkan bahwa “Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan”.
18
Adami Chazawi I, op.cit, h.122.
Menurut KUHP mengenai kasus pengguguran kandungan ini, yang dapat dihukum adalah : a. Pelaksanaan aborsi, yaitu tenaga medis atau dukun atau orang lain dengan hukuman maksimal 4 tahun ditambah sepertiga dan bisa juga dicabut hak untuk berpraktek.
b. Wanita yang menggugurkan kandungannya, dengan hukuman maksimal 4 (empat) tahun
c. Orang – orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab terjadinya aborsi itu dihukum dengan hukuman yang bervariasi.
2. Pengaturan mengenai Pengguguran Kandungan (Aborsi) dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, pengguguran kandungan diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77 yang dinyatakan sebagai berikut : Pasal 75 (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan “diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76 menyebutkan bahwa Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan : a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedarurata medis; b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 77 menyebutkan bahwa “Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundangundangan”. Berdasarkan ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 tersebut, melarang adanya praktek pengguguran kandungan (aborsi) seperti yang terdapat dalam Pasal 75 ayat (1), namun larangan tersebut dapat di kecualikan apabila terdapat syarat yang telah dipenuhi seperti yang tercantum dalam Pasal 75 ayat (2), salah satunya kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis terhadap korban perkosaan. Selain UU Kesehatan N0.36 Tahun 2009 yang mengatur tentang pengguguran kandungan, di Indonesia pengaturan pengguguran kandungan juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.61 Tentang Kesehatan Reproduksi yang telah disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2014.
Pengaturan pasal yang mengatur tentang pengguguran kandungan (aborsi) dapat dilihat pada Pasal 31 dan Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 61 Tentang Kesehatan Reproduksi, yang berbunyi : Pasal 31 (1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. Indikasi kedarurata medis; atau b. Kehamilan akibat perkosaan (2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Pasal 34 (1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan : a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang mengatur masalah pengguguran kandungan yang secara substansial berbeda dengan KUHP, dalam UndangUndang tersebut pengguguran kandungan diatur pasal 75 yang menurut pasal tersebut pengguguran kandungan dapat dilakukan apabila ada indikasi medis.19 Dapat dikatakan bahwa larangan pengguguran kandungan dapat dikecualikan jika adanya syarat yang telah dipenuhi seperti yang tercantum dalam Pasal 75 ayat (2).
19
Mien Rukmini I, op.cit, h.27.
2.2 Perkosaan 2.2.1 Pengertian Perkosaan Perkosaan menurut Suryono Ekotama diartikan sebagai : 1. Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seseorang wanita tanpa persetujuannya. 2. Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kemauan/kehendak wanita yang bersangkutan. 3. Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan seorang pria terhadap seorang wanita yang bukan istrinya atau tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau dibawah kondisi ancaman lainnya.20 Menurut Kamus Hukum, yang dimaksud dengan perkosaan adalah melakukan kekerasan dengan ancaman memaksa seseorang perempuan di luar perkawinan bersetubuh dengan dia.21 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwadaminta, perkosaan merupakan perbuatan memperkosa, penggagahan atau paksaan disertai dengan pelanggaran dengan kekerasan.22 Menurut Soetandyo Wignjsoebroto mendefinisikan perkosaan sebagai suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang
20
Suryono Ekotama, 2001, Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi, dan Hukm Pidana, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h.99. 21 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h.507. 22 W.J.S Poerwodaminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.74.
perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.23 Menurut Wirdjono Prodjodikoro, perkosaan adalah seorang laki – laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istinya untuk bersetubuh dengan dia, sehngga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.24 Nursyahbani Kantjungkana berpendapat bahwa perkosaan merupakan salah satu jenis kekerasan terhadap perempuan yang menjadi contoh kerentanan posisi perempuan terhadap kepentingan laki – laki.25 Perkosaan adalah tindak kejahatan secara fisik terhadap orang lain, yang biasanya dilakukan oleh laki – laki yang berusaha melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan dan bertentangan dengan kehendak korban, yang biasanya dilakukan melalui kontak seksual dengan memasukan penis ke dalam vagina, dubur, atau mulut, ejakulasi pada daerah vagina atau tempat lain pada tubuh, atau memaksa korban melakukan bentuk – bentuk aktivitas seksual lainnya.26 Dari definisi mengenai perkosaan diatas, dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindak kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap 23
Suparman Marzuki, 1997, Pelecehan Seksual, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,
h.25. 24
Wirdjono Prodjodkoro, 1986, Tindak Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, h.117. 25 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Refika Aditama, Bandung, h.65. 26 Boyke Dian Nugraha, 2010, It`s All About Sex: A-Z Tentang Seks, Bumi Aksara, Jakarta, h.217.
perempuan dengan cara memaksa perempuan tersebut untuk bersetebuh dengannya. 2.2.2 Unsur – Unsur Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP tindak pidana perkosaan diatur dalam BAB XIV dengan judul Kejahatan terhadap kesusilaan yaitu dalam Pasal 285 yang menyatakan “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita berseubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Tindak pidana perkosaan tersebut memiliki unsur – unsur oyektif, masing – masing yakni: a. b. c. d. e. f. g.
Barangsiapa Dengan kekerasan atau Dengan ancaman akan memakai kekerasan Memaksa Seorang wanita Mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan Dengan dirinya.27
Kiranya sudah cukup jelas bahwa kata “barangsiapa” ini menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur
27
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Delik – Delik Khusus: Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang II) h.97.
dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana perkosaan tersebut.28 Unsur dengan kekerasan disini dimaksudkan bahwa untuk dapat dilaksanakannya suatu perbuatan maka digunakan kekerasan. Pengertian kekerasan dlihat dari Pasal 89 KUHP menyebtkan bahwa “membat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Menurut R. Soesilo yang dikutip dalam buku Adami Chazawi, mmberikan arti kekerasan dengan kata – kata mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah.29 Kekerasan itu tidak hanya dapat dilakukan dengan memakai tenaga badan juga dapat dilakukan dengan memakai sebuah alat sehingga tidak diperlukan adanya pemakaian tenaga badan yang kuat, maka “mengancam akan memakai kekerasan” itu harus diartikan sebagai suatu ancaman, yang apabila yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan pelaku, maka pelaku akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan kesehatan atau keselamatan orang yang diancam.30 Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan, tapi yang menyebabkan orang yang
28
Ibid, h.98. Adami Chazawi II, op.cit, h.64. 30 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 1990, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, (selanjutnya disingkat P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang III), h.112 29
terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.31 Dapat dikatakan unsur memaksa disini memiliki arti bahwa tindakan bersetubuh yang dilakukan oleh wanita tersebut terpaksa atas dasar paksaan dari pelaku. Perbuatan memaksa itu sendiri adalah perbuatan yang ditujukan orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.32 Perlu diketahui bahwa bagi kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya berbagai wanita masing-masing yakni, wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun Pasal 287 ayat (2) KUHP, wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP, wanita yang belum dapat dinikahi Pasal 288 ayat (1) KUHP dan wanita pada umumnya Pasal 285 KUHP.33 Unsur tersebut mengandung makna bahwa di lakukan oleh pelaku yang diluar ikatan perkawinan dan dilakukan dengan paksaan kehendak. Menurut M.H. Tirtaamidjaja, pengertian bersetubuh mengandung arti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki – laki dan perempuan yang pada umumnya dapat
31
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit, h.111. Adami Chazawi II, op.cit, h.63. 33 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang II, op.cit, h.101. 32
menimbulkan kehamilan, tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.34 Bahwa yang dimaksud di sini adalah dengan diri yang melakukan dengan kekerasan memaksa seorang wanita untuk bersetubuh. Menurut R. Soesilo “yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia.35 2.2.3 Jenis – Jenis Perkosaan Perkosaan itu sendiri dapat digolongkan menjadi : 1. Sadistic Rape Perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak, dimana pelaku menikmati kesenangan erotiknya bukan dari hubungan seksnya tetapi dari serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. 2. Anger Rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan marah yang tertahan, tubuh korban seakan – akan merupakan objek pelampiasan kelemahan, kekecewaan serta kesulitan hidup yang dialami pelaku. 3. Donomation Rape Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban, tujuannya adalah pelaku menyakiti korban namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. 4. Seduktive Rape
34
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit, h. 112. R. Soesilo, 1995, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP Serta Komentar – Komentarnya Lengkap), Politeia, Bogor, h.210. 35
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak, dimana biasanya pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks. 5. Victim Precipitatied Rape Yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya. 6. Eksploitation Rape Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial, misalnya pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.36
36
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit, h.46