TIADA TEMPAT BAGI KEBEBASAN INDIVIDU DALAM NOVEL SASAMAKURA(笹まくら) KARYA SAIICHI MARUYA
Esther Risma Purba Prodi Sastra Jepang Universitas Brawijaya, Malang e-mail:
[email protected] Abstrak
Sejak Restorasi Meiji 1868, individualisme (個人主義) telah membawa perubahan dalam memandang hubungan dalam kerangka antar individu, masyarakat, lembaga, dan individu dengan kepentingan negara di Jepang. Namun, Jepang di tahun 1965 yang menjadi setting novel ini, masih mengedepankan kolektivisme (集団主義) dimana kepentingan kelompok menjadi identitas yang lebih penting daripada individu. Keadaan ini menjadi tidak mudah bagi mereka yang mengusung kebebasan individu. Saiichi Maruya melalui novel karyanya Sasamakura mengangkat isu tentang penolakan wajib militer dan menentang perang yang merupakan hal yang tabu di Jepang hingga tahun 1965. Keikutsertaan dalam wajib militer merupakan wujud dari kolektivisme yang dijunjung oleh masyarakat dan negara.Novel ini menceritakan pergulatan hidup sehari-hari protagonis Shokichi Hamada yang pada masa perang menolak wajib militer dan hidup dalam pelarian, dan setelah perang berakhir, bekerja di sebuah universitas swasta yang masih menjunjung 大和魂
‘Semangat Jepang’ sebagai identitas kelompok. Masa lalu
protagonis sebagai penolak wajib militer menjadi bagian dari identitas yang disematkan terus-menerus dan tidak bisa lepas dari kehidupannya.Hal ini berakibat pada hubungan sosial dan status pekerjaannya di universitas. Penelitian ini akan menekankan perhatian pada teks karya yang dikaitkan dengan aspek sosial dan budaya masyarakat Jepang dalam memandang tugas wajib militer, individualisme dan kolektivisme dalam kehidupan pasca PD II di Jepang hingga tahun 1965. Kata kunci:
identitas, ‘Semangat Jepang’, kolektivisme, individualisme, chohei kihisha ‘penolak perang dan wajib militer’ Pendahuluan これもまたかりそめ臥しのさ、笹枕一夜の夢の契りばかりに Kore mo mata karisomebushi nosa, sasamakura ichiya no yume no chigiri bakari ni (Sasamakura: 178) ‘Perjalanan kali ini pun, seperti hari-hari tidur yang gelisah itu, dengan beralas rumput, bermimpi sepanjang malam’ Puisi tersebut di atas ditulis di dalam Shinkokinshu (New Anthology of Ancient and Modern Verse) yang selesai ditulis pada tahun 1205. Puisi ini terbaca oleh protagonis novel, Shokichi Hamada saat ia membaca buku kumpulan puisi milik Asisten Profesor Kuwano. Puisi ini seolah bicara tentang hidupnya yang sulit di masa lalu sebagai chohei kihisha ‘penolakperang dan wajib militer’.Sejak tahun 1940 hingga perang berakhir dengan kekalahan Jepang di bulan Agustus 1945, ia hidup sebagai pelarian dan mengganti nama menjadi Kenji Sugiura dan mengubah penampilan. Hari-harinya penuh ketakutankarena memilih sebagai penolak wajib militer hukumannya adalah mati.Ia hidup berpindah-pindah ke daerah pelosok Jepang, kelaparan, dan mengasingkan diri. Ia sering tidur beralas rumput. Suara desiran rumput yang tertiup angin membuat tidurnya gelisah karena suara itu membuat dia terjaga.Ia harus hidup dengan ketakutan dan selalu waspada agar tidak tertangkap. Kata sasamakura
‘bantal rumput’ menjadi judul novel berjumlah 420
halaman yang ditulis oleh Saiichi Maruya (1925 - 2012) yang diterbitkan tahun
1966 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dennis Keene pada tahun 2002 dengan judul Grass for My Pillow. Keene mengatakan bahwa Sasamakura dengan jelas diciptakan untuk mengkritik militarisme Jepang di masa perang dan mengkritik paham memuja kaisar. Saat Maruya tengah duduk di Sekolah Menengah Atas di Niigata, ia didaftarkan untuk mengikuti dinas kemiliteran. Maruya menyebut generasi seangkatan dirinya sebagai generasi yang tidak beruntung yang tidak dapat melupakan perang meskipun di masa damai (Kokusai Bunka Shinkokai: 127). Dalam buku yang berjudul yang menentang perang”
戦争拒否十一人の日本人“Sebelas orang Jepang yang ditulis oleh Motoki Yamamura (山村基毅),
terdapat wawancara dengan Maruya
yang menuturkan bahwa ia mengenal
seorang penolak wamil yang ia jadikan model untuk protagonis Hamada. Akan tetapi, ia hanya bertemu dengan pria tersebut sekali dan novel ini sepenuhnya adalah ciptaan. Setelah novel selesai, Maruya mempresentasikan novelnya, dan sekali lagi ia bertemu dengan pria itu yang kemudian mengatakan pengalaman hidupnya sebagai penolak wamil tidaklah sebaik yang dialami protagonis Hamada(Kotani: 130-131). Hukum wajib militer chohei seido (徴兵制度) diberlakukan pertama kali di Jepang pada tahun 1873 (Kotani: 103). Pada masa Jepang terlibat dalam perang hingga tahun 1945, terjun ke medan perang adalah kewajiban bagi pria berusia 20 tahun ke atas sebagai wujud dari tanda cinta negara dan kepatuhan pada kaisar. Menolak untuk ikut dalam perang merupakan sebuah pengkhianatan pada negara dan kaisar, dan dianggap sebagai kejahatan yang lebih besar daripada mencuri dan
membunuh.Sebagaimana yang dituturkan oleh narator dalam Sasamakura, siapa pun yang menolak wajib militer, akan diganjar hukuman mati di depan regu tembak, atau dikirim ke garis depan medan pertempuran yang paling berbahaya (Sasamakura: 52). Sasamakura diterbitkan tahun 1966 di tengah situasi sosial politik Jepang seperti yang tergambar dalam novel.Dalam penelitian ini, penulis mencari referensi yang menjelaskan sejarah dan situasi sosial politik di Jepang pasca PD II dan hingga 1965 untuk memperkuat argumen bahwa novel ini mencerminkan realita yang ada di masyarakat pada masa itu. Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk menganalisis nilai-nilai Jepang yang diperjuangkan dan yang digugat oleh protagonis yang diwujudkannya dengan menolak perang dan wajib militer. Konsekuensi dari pilihan sebagai penolak wamil yang dialami protagonis 20 tahun kemudian (tahun 1965), dapat menunjukkan bahwa di dalam aspek sosial, budaya, dan politik, 大 和 魂 ‘Semangat Jepang’ yang diwujudkan dalam paham kolektif, masih tetap menjadi identitas yang lebih dikedepankan dibanding paham individu. Paper ini akan menyoroti aspek-aspek tersebut dan menghubungkannya dengan referensi pustaka. Paper ini dianggap dapat bermanfaat untuk memahami bagaimana sebuah isu sensitif yang terkait dengan identitas dan kepentingan nilai-nilai sebuah bangsa disuarakan dalam novel dan bagaimana akibat dari tindakan menentang tersebut. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman bahwa sejarah dari kejayaan sebuah bangsa di suatu masa, dapat ditanggapi berbeda oleh anak bangsanya sendiri di masa yang lain.
Identitas, Kolektivisme, Individualisme, Penolak Perang Dan Wajib Militer Individualisme(個人主義)
di Jepang mulai dikenal pada masa 20 tahun
setelah Restorasi Meiji (menjelang akhir 1900) yang oleh Uchimura Kanzo disebut sebagai dekade revolusi spiritual. Akan tetapi, paham ini belum dapat menggeser paham kolektif (集団主義) yang dianut masyarakat Jepang. Individu tidak dianggap sebagai entitas yang independen (個我が確立していない). Karena entitasnya tidak diakui, suara individu tidak dapat dikedepankan (自己出 張ができない). Malah, kepentingannya harus dikorbankan untuk kepentingan kolektif di mana dia berada, dan kepentingan kolektif diakui sebagai hal yang utama (Takano: 9). Masyarakat tradisional Jepang beranggapan bahwa kewajiban sosial dapat dipenuhi dengan tindakan sukarela sebagai wujud kesetiakawanan dan kebajikan.
Orang yang mengutamakan kepentingan kelompok dituntut
untuk menjaga keharmonisan ( 和 ) kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan/keinginan pribadinya. Orang yang merusak keharmonisan kelompok, akan dikeluarkan (Takano: 9). Keharmonisan ini akan menjamin kelangsungan hirarki. 「軍国主義は、日本人の集団主義的な発露だ」 ‘paham negara militer adalah perwujudan dari paham kolektif yang dianut orang Jepang’ merupakan kajian politik dan budaya Jepang yang mendominasi setelah perang berakhir (Takano: 11). Wujud paham kolektif dapat terlihat pada kepatuhan individu dalam
mengikuti tradisi, termasuk di dalamnya menghormati kaisar, bersembahyang dan memberi hormat kepada patung dewa di kuil Shinto, hingga bakti bela negara dengan ikut dalam perang. Sejak Restorasi Meiji (1868) hingga masa sebelum PD II, pikiran yang berpusat pada negara (state-centric) sangat berakar kuat. Kata Okami yang berarti ‘dewa’ yang menandai pemerintah atau pihak berkuasa memiliki arti “mereka yang di atas” dan kata Ooyakeyang pada awalnya merujuk pada rumah tangga kaisar, masih memiliki konotasi kuat yang merujuk pada “pihak pemerintah”. Pikiran akan “mengorbankan diri untuk kepentingan dan melayani publik” atau messhi hookoo(滅私奉公) dan “hormat kepada otoritas”
atau kanson hookoo(官
尊奉公) menjadi sikap yang dituntut dari setiap orang. Masa sebelum perang ini oleh Maruyama Masao (1963) ditandai oleh “kegagalan menarik batas tegas antara wilayah publik dan wilayah pribadi individu” (dalam Schwartz 2003: 5).Hak individu belum mendapat pengakuan karena negara lah yang berkuasa menentukan nasib individu. Kawakami Hajime merumuskan hubungan ini individu-negara ini dalam sistem biner: “In the democratic lands of Europe, human’s rights are granted by heaven, and the state’s rights by the people. … In Japan, the state’s rights are granted by heaven, and human rights by the state” (Schwartz :64). ‘Di negara-negara demokrasi Eropa, hak manusia diberikan oleh surga (Tuhan), dan hak negara diberikan oleh rakyatnya.… Di Jepang, hak negara diberikan oleh surga, dan hak manusia diberikan oleh negara.
Protagonis Hamada yang menganut pasifisme atau heiwa shugi(平和主 義)merupakan individu yang mencoba menarik batas tegas antara wilayah
privatnya sebagai individu yang menjunjung pasifisme yang menolak perang. Pasifisme adalah paham yang menolak perang yang mengunakan kekuatan militer dan kekerasan. Lee mengutip pendapat Douglas Lackey yang mengatakan Pasifismedapat dilihat sebagai pilihan individu a “lifestyle choice,” sebagai sebuah prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berpikir jalan demikian adalah yang terbaik bagi mereka. Sebagai pilihan individu, penganut paham ini tidak menuntut pihak lain untuk mengambil pilihan yang sama jika tidak menghendakinya (Lee: 6-22). Akan tetapi, di Jepang di mana individu tidak dianggap sebagai entitas yang independen, pilihan individu tidak mendapat tempat di Jepang yang mengedepankan kepentingan kolektif.Meski perang telah berakhir 20 tahun sebelumnya, pilihan sebagai penolak perang dan pengusung pasifisme masih dianggap sebagai penghianat bangsa, dan menjadi stempel yang dilekatkan terus-menerus.Orang yang demikian, tidak dianggap sebagai bagian dari kelompok, dengan kata lain, identitas kejepangannya dipertanyakan. Pada bulan Juni 1963, Menteri Departemen Pendidikan, Araki Masuo memerintahkan badan penasihatnya The Central Council on Education untuk merumuskan nilai-nilai moral yang perlu ditanamkan. Sebagai hasil dari kerja timperumus, subkomite mengeluarkan “interim draft” kepada council yang bunyinya tidak diumumkan kepada public yang berbunyi: “We have carried the flag and sung the anthem and loved and revered the Emperor as symbols of Japan….The Emperor is a symbol of Japan and of the unity of the people. We must give our deep thought to the fact that our loving and revering our fatherland, Japan, are identical with loving and revering to the Emperor” (Furukawa: 314).
‘Kita telah mengibarkan bendera dan menyanyikan himne, mencintai kaisar dan menganggapnya sebagai simbol Jepang…. Kaisar adalah simbol Jepang dan pemersatu rakyat.Kita harus memberikan perhatian yang dalam dan mengakui kenyataan bahwa bapak bangsa kita yang kita cintai dan kita puja adalah sama dengan kaisar yang kita cintai dan kita puja.’ Dari rumusan tersebut di atas, dapat terlihat bahwa hingga tahun 1963, pemerintah Jepang menempatkan kaisar sebagai simbol Jepang. Sebagai simbol, penghormatan kepada kaisar yang dianggap sebagai keturunan dewa matahari, ditunjukkan dengan memberi penghormatan di kuil. Kesertaan dalam ritual ini menjadi tanda kesertaan secara kolektif.Tanpa menolak dan menjadikannya ritual, menunjukkan seseorang memiliki Semangat Jepang.Di masa perang, keikutsertaan dalam perang adalah wujud Semangat Jepang yang diusung segenap rakyat.Yang menolak perang dan wamil, dianggap sebagai pengkhianat kesatuan dan bukan bagian dari kelompok, dalam hal ini bukan orang Jepang. Semangat ini pulalah yang masih hidup di kalangan konservatif yang duduk di universitas tempat Hamada bekerja, yang memiliki kuil Shinto di gerbang masuk kampus dan memberi penghormatan ke arahnya setiap kali melewatinya. Identitas Jepang, Kolektivisme, Individualisme, Dalam Sasamakura Cerita diawali dengan Hamada yang tengah memikirkan jumlah uang duka cita yang semestinya diberikan sebagai tanda duka cita atas kematian Akiko, perempuan yang pernah menjadi kekasihnya di 20 tahun silam dan yang telah menyelamatkan hidupnya selama hampir 5 tahun di masa perang. Surat pemberitahuan kematiannya tiba sesaat setelah ia juga menerima surat pemberitahuan kematian pensiunan guru besar yang pernah menjadi dekan di
fakultas di universitas tempat ia bekerja. Sebagai asisten dari kepala juru ketik di bagian administrasi yang artinya ia berada pada jenjang bawah hirarki lembaga, ia terikat pada kebiasaan yang menentukan berapa besar kewajiban sumbangan yang harus ia berikan. Hamada memberikan sumbangan sebesar 30.000 yen untuk pensiunan guru besar yang dimasukkan dalam amplop yang distempel oleh kepala bagian administrasi dan diserahkan langsung kepada direktur eksekutif universitas (Sasamakura: 30).
Hal ini menunjukkan bagaimana hirarki mengatur dan
mengawasi kebiasaan yang berlangsung dan memastikan setiap anggota memenuhinya.Jumlah uang dukacita sebesar 30.000 adalah jumlah yang besar pada masa itu (kurs saat ini setara dengan 3,6 juta rupiah). Hamada menyerahkannya bukan karena ia ingin memberikan sebesar kemampuannya, tetapi ia memberikannya dengan menyadari posisinya sebagai asisten kepala juru ketik dan yang meninggal adalah seorang pensiunan guru besar yang sudah pensiun. Posisi dalam hirarki menentukan besarnya tugas dan kewajiban seseorang di dalam kelompok, dalam hal ini hirarki universitas. Kepada Akiko, perempuan yang kematiannya membuat ia terkenang masa lalunya dan membuat ia membandingkan Yoko istrinya dengan Akiko, Hamada menyerahkan 10.000 yen. Hamada menyadari bahwa pekerjaannya berada di posisi yang rendah dalam hirarki, dan ia menyadari bahwa ia yang merupakan mantan penolak wamil dan bukan lulusan universitas, dapat diterima bekerja hingga menjadi asisten juru ketik di fakultas adalah berkat pertolongan Direktur Eksekutif Horikawa yang juga mengatur pernikahannya. Hamada menyadari bahwa ia bekerja di universitas yang konservatif yang masih memiliki mata kuliah wajib agama Shinto di semua jurusan sehingga ia berusaha untuk mengikuti kebiasaan yang ada di universitas, termasuk
menundukkan kepala dan badan dengan khidmat ke arah kuil Shinto setiap kali melewati gerbang kampus (Sasamakura: 20).Ia tidak ingin menciptakan masalah. Pada masa perang, ia menentang perang dan menentang kaisar, tetapi sekarang ia melakukan penghormatan itu karena ia berusaha berkompromi. Akan tetapi, meski ia berkompromi dengan melakukan ritual tersebut, bukan berarti ia menghormati kaisar dan memiliki Semangat Jepang (大和魂). Di luar ritual dan di luar kampus, ia tidak mau minum sake dan lebih menyukai minuman barat, wiski. Pilihannya ini membuat rekan kerjanya menganggap ia tidak memiliki Semangat Jepang sehingga ia dianggap bukan orang Jepang. Dialog di berikut ini menunjukkan tanggapan rekan kerja Hamada saat melihat Hamada menolak tawaran minum sake: “この人はジャパン・スピリットは駄目なんだよ” (Sasamakura: 127) ‘Orang satu ini, Semangat Jepang tidak cocok untuknya’. Rekan-rekan kerja dan atasannya di universitas yang hadir di pesta saat itu, tidak benar-benar mengetahui masa lalunya sebagaipenolak wamil, tetapi mereka tahu bahwa Hamada dalam beberapa kesempatan menunjukkan hal-hal yang disimpulkan “tidak cocok dengan spirit Jepang’.Hamada tidak minum sake, minuman alkohol Jepang yang menjadi identitas budaya Jepang dan menjadi elemen penting dalam perayaan-perayaan di Jepang.Di Jepang, minum sake menjadi aktivitas sosial yang merekatkan hubungan. Orang asing yang meski tidak menyukai sake,akan tetap diharapkan menerima tawaran minum sake sebagai wujud ikatan kebersaman dengan orang-orang yang hadir di acara yang sama. Penolakan Hamada, seorang Jepang, untuk minum sake menjadi hal yang tidak
sesuai dengan tuntutan sosial yang melihatnya bukan sebagaimana mestinya seorang Jepang. Hamada malah memilih wiski, yang oleh rekannya dianggap tidak berpadu 日 本 料 理 と ウ ィ キ ー じ ゃ 、 合 わ ん だ ろ う
(Sasamakura: 127)
‘Makanan Jepang dan wiski itu, dua hal yang tidak menyatu’. 水割りにしてくれよ。おれは、大和魂のほうは駄目なんだ。 (Sasamakura: 133). ‘Berikan aku (wiski) dengan air. Semangat Jepang tidak cocok untukku’ Dialog ini diucapkan protagonis Hamada saat ia tengah sedikit mabuk di pesta yang diadakan direktur eksekutif universitas. Ia merasa terasing di pesta di mana para atasan dan rekan kerjanya menyanyikan lagu mars tentara dan lagu yang berisi syair kejayaan Jepang. 大和魂 ‘Semangat Jepang’ yang tergambar dalam syair lagu dan minuman sake yang menjadi identitas sebagai Jepang, tidak cocok untuknya. Lagu-lagu tersebut menjadi semangat yang mendorong Jepang menjadi imperialis di masa lalu dan melibatkan diri dalam perang dunia. Lagu itu mengingatkan Hamada pada masa lalunya sebagai penolak wajib militer karena ia menolak perang dan kesulitan hidup yang dialaminya. Hal ini menunjukkan di bawah sadarnya saat mabuk, ia masih memiliki sikap yang menolak identitas Jepang pada dirinya meski ia berkompromi dengan ritual dan kebiasaan lain di tempatnya bekerja. Ritual dilakukan tanpa mempertanyakan untuk apa dan mengapa. Kepatuhan pada tradisi kolektif menjamin keberadaan diakui dalam kelompok dan identitas sebagai orang Jepang terbentuk bersamaa kelompok. Dialog Hamada dengan antara professor senior dari jurusan Bahasa Inggris berikut menunjukkan
kepatuhan tersebut. Prof. Sakurai
: 「浜田君、このお神社は何という神様をまつって いるか、知ってるかい」
Hamada
: 「存じません」
Prof. Sakurai
: 「長い間勤めてる人が、みんな知らない。織田君さえ不合 格なんだよ」
… Prof. Sakurai
: 「そう、小早川さんから教わったのだから……確実な知 識だ。いいかね。このお神社は……八百よろずの神々をま つっている」
Prof. Sakurai Hamada Prof. Sakurai
(Sasamakura: 38) : ‘Hamada, kau tahu dewa apa yang disembah di kuil ini?’ : ‘Saya tidak tahu’ : ‘Mereka yang sudah bekerja lama di sini pun tidak tahu. Si tua Professor Odasaja bahkan tidak tahu.
… Prof. Sakurai : ‘Ya, Direktur Eksekutif Kobayakawa yang memberitahuku. Karena dia yang mengatakannya, maka bisa dipastikan benar. Katanya, kuil ini dipersembahkan untuk …semua dewa-dewa yang ada di surga dan di bumi’ Setelah Jepang kalah dalam perang dan bekerja sebagai pegawai di universitas, Hamada menjadikan dirinya sebagai warga Jepang yang “baik” yang menghormati kaisar yang ia tunjukkan dengan memberi hormat menundukkan kepala ke arah kuil Shinto setiap kali melewati gerbang kampusnya, yang menurut Profesor
Sakurai
adalah‘hal
yang
seharusnya
orang
Jepang
lakukan’
(Sasamakura: 130). Hamada berusaha untuk berkompromi dengan kebiasaan yang ada, tetapi surat yang memberitahukan kematian Akiko, kekasihnya di masa lalu, telah membawa ingatannya ke kehidupan menjadi pelarian di masa perang hampir 20 tahun silam. Peristiwa di suatu sore dimana ia tidak berbuat apa-apa ketika melihat perampok, menjadi berita di seluruh kampus yang membuat orang meyakini bahwa reaksinya adalah wujud dari tindakan seorang pengecut, seperti yang dilakukan seorang penolak wamil. Hamada hanya tertegun dan tidak berbuat apa-apa saat perampok itu melewatinya.Hingga akhirnya seseorang menekel kaki perampok hingga terjatuh dan orang-orang memukulinya. Pemandangan perampoklari dengan orang-orang yang memburu dan memukuli, membuat Hamada seolah melihat dirinya sendiri di masa lalu yang hidup dalam pelarian (Sasamakura: 30-31). Peristiwa Hamada yang tidak berbuat apa-apa mencegah perampok, menjadi pembicaraan di seluruh kampus keesokan harinya hingga beberapa minggu kemudian.Hal ini membuat Hamada menyadari kenyataan bahwa sesungguhnya masa lalunya sebagai penolak wamil menjadi aib yang tidak pernah pupus meski perang telah berakhir hampir 20 tahun sebelumnya. Setting sosial tahun 1965 dalam novel ini menggambarkan pergerakan politik Jepang yang mempengaruhi pergerakan mahasiswa di kampus.Pers mahasiswa yang beraliran kiri mengusung Komunisme menyerukan paham anti militerisme, anti perang, menolak keberadaan Amerika di Pasifik dalam perang Vietnam, dan anti imperialism Amerika yang mengusung kapitalisme.Mahasiswa beraliran kiri ini menjalin gerakan bersama dengan mahasiswa di Amerika yang menolak
perang
Vietnam,
menyerukan
perdamaian,
dan
mendukung
keberadaanpenolak wamil. Di saat yang sama, kalangan yang beraliran konservatif yang mendominasi hirarki atas di universitas, menyoroti keberadaan staf pengajar yang beraliran kiri yang memprotes imperialism Amerika yang mengusung kapitalisme. Kalangan konservatif mendukung suara yang mendukung keberadaan kaisar dan mendukung agar Jepang memiliki senjata nuklir untuk meningkatkan martabat Jepang dalam peranannya di dunia. 日本もここまで国力が充実した以上、もうそろそろ大国らしく原水 爆を持って、国民の誇りを高めなければならないという論旨なので ある。(Sasamakura: 70) ‘Jepang sekarang telah berhasil menjadi negara yang kuat, sudah tiba saatnya untuk meningkatkan kebanggaan bangsa dengan memiliki bom nuklir’. Koran kampus Totality (天地玄黄)yang beraliran kanan, menyoroti gerakan mahasiswa aliran kiri tersebut yang dianggap mengusung paham sosialis komunis. Koran kembali mengangkat tulisan seorang alumni yang menolak kehadiran paham ini dan menyoroti kuliah tentang sosialisme dan komunisme diajarkan oleh seorang professor di jurusan ekonomi: 野本教授は経済学研究に当たっての必読書として十冊をあげたの であるが、とつ!その中にはかのマルクスの著書が実に二冊も入っ ているのだ。何たる暴挙ぞや。これは真に建学の精神にもとる態度 と云わなければならない。私は卒業生の末席を汚す者として、新装
なった母校の屋上に赤い旗のへんぽんとひるがえるのを見るに忍 びないのである。……
(Sasamakura: 76)
‘Setelah membaca 10 laporan penelitian ekonomi dari Profesor Nemoto yang dianggap penting itu, apa yang dapat kita simpulkan? Sangat menjijikkan! Dua di antara penelitiannya adalah tentang Karl Marx.Sungguh-sungguh berani dan lancing, suatu sikap yang sangat bertentangan dengan semangat yang telah membangun universitas ini.Saya mungkin hanya seorang lulusan yang bukan siapa-siapa, tapi saya tidak bisa menerima bendera merah berkibar di atap gedung universitas ini.’ Kelompok mahasiswa ini juga menurunkan artikel di koran kampus untuk menanggapi upaya staf pengajar dan kelompok mahasiswa yang menolak gerakan yang menentang kaisar. Hal-hal yang ditentang oleh mahasiswa aliran kiri adalah hal yang didukung oleh pemerintah, universitas, dan mahasiswa gerakan aliran kanan (Sasamakura: 70). Dari artikel yang tersebut di atas menunjukkan adanya upaya dan semangat untuk menghidupkan kembali Semangat Jepang yang terwujud dalam negara yang kuat secara militer, yakni dengan memiliki senjata nuklir. Di awal tahun 1960, Jepang yang telah pulih dari kehancuran perang dan menjadi negara yang makmur berusaha untuk menunjukkan keberadaannya di tengah masyarakat internasional dengan memiliki senjata nuklir dan bekerja sama dengan Amerika menjaga perdamaian dunia. Kerjasama dengan Amerika ditanggapi negatif oleh aliran kiri karena dianggap mendukung imperialism Amerika dan mendukung Amerika yang pada tahun 1965 berperang dengan Vietnam. Hamada dianggap pengecut dan pengkhianat karena menjadi penolak
perang.Koran kampus mengangkat isu pengangkatan seorang pegawai administrasi menjadi kepala bagian administrasi. 『敢えて母校の職員人事に干渉し、建学の精神の衰頽を憂える』 (Sasamakura: 214) Artikel menyoroti bahwa pegawai administrasi tersebut adalahseorang pengecut karena di masa Jepang berperang menolak wamil.Tulisan ini dibuat oleh kepala bagian administrasi dan Nishi yang menjadi rekan Hamada di bagian administrasi dan mewakili suara staf pengajar dan mahasiswa yang beraliran kanan. Mereka menentang rencana pengangkatan Hamada menjadi kepala bagian Adminsitrasi
dan
menganggap
recana
pengangkatannya
sebagai
bentuk
pengkhianatan pada semangat pendiri universitas dan cita-cita universitas (Sasamakura: 214-215). Tahun
1960-an
di
Jepang
menjadi
masa
gerakan
intelektual
mengedepankan masyarakat sipil. Pada masa 1960-an, Jepang sedang berada di masa pertumbuhan ekonomi pesat yang disibukkan dengan agenda mengejar pertumbuhan ekonomi dan memperluas pengaruh dalam bidang ekonomi dan politik di dunia internasional. Pada masa 1960-an ini pula, kaum intelektual memposisikan diri di 2 kubu, yakni sebagai penganut Marxisme yang bangkit kembali setelah masa perang dan di kubu lain penganut “postwar progressivism.” Perhatian terhadap ide masyarakat sipil tahun 1960-an di Jepang banyak terkait pada teori Marxis dan usaha-usaha untuk melakukan reformasi terhadap teori tersebut (Sugiyama Mitsunobu dalam Yamanouchi: 118). Di sisi lain, kubu yang menolak Marxisme, berusaha untuk membangkitkan kembali Semangat Jepang
dengan menonjolkan sosok kaisar sebagai identitas bangsa dan kebanggaan sebagai negara yang kuat secara militer. Untuk menanggapi upaya aliran kanan, mahasiswa aliran kiri mewawancarai
Hamada
sebagai
bentuk
suara
yang
mewakili
gerakan
mereka.Keberadaan Hamada dengan masa lalunya yang menolak wajib militer dalam desas-desus di kampus, dianggap sebagai sosok pahlawan oleh kalangan kiri
(Sasamakura: 220-221) Hamada semakin merasa terasing di kampus setelah Profesor Ekonomi,
Nemoto yang beraliran kiri, yang mendukung ajaran sosialis komunis, yang oleh Hamada dianggap sebagai orang yang berpihak padanya karena bersimpati pada pengalaman hidup Hamada sebagai penolak wamil, dan yang mendukung pengangkatan Hamada sebagai kepala bagian administrasi, ternyata berkhianat padanya. Nemoto menulis artikel yang menyerukan agar masa lalu seorang penolak wamil tidak menjadi hambatan untuk orang tersebut mendapat peranan dalam masyarakat. Selama Jepang mendukung konstitusi damai anti perang, maka isu tentang penolak wamil yang terjadi 20 tahun silam tidak lagi relevan(Sasamakura: 242-243). Pengkhianatan Nemoto adalah saat ia mencatumkan catatan tambahan di akhir tulisan bahwa ia adalah seorang yang turun di medan perang di garis depan dalam Perang Pasifik, yang bagi Hamada hal ini bentuk pembelaan diri Nemoto yang tidak ingin disamakan dengan Hamada meski di awal tulisan ia menunjukkan dukungannya pada Hamada (Sasamakura: 204). Hamada mendapati kenyataan bahwa orang-orang yang ia kira akan membelanya, yang tidak akan mempersoalkan masa lalunya sebagai penolak
wamil, ternyata mengkhianatinya. Hamada terasingkan oleh reaksi orang-orang di kampus, mulai dari mahasiswa yang mencoba mengorek keterangan lebih dalam, rekan kerjanya sesama asisten juru tulis Nishi, Asisten Profesor Kuwano dari jurusan Sastra Prancis yang dianggap liberal, Profesor Nemoto dari jurusan ekonomi yang oleh mahasiswa dianggap simpatisan aliran kiri yang ia anggap berpihak pada dirinya, Sakai yang menjadi sahabatnya sejak remaja tetapi dengannya Hamada merahasiakan alasan pelariannya, hingga Horikawa direktur eksekutif universitas yang telah memberinya pekerjaan dan mengatur perjodohan pernikahannya, ternyata
mengkhianatinya. Horikawa lah yang mengatur
perpindahan Hamada ke daerah untuk menjadi pegawai di sekolah yang dikelola universitas. Penugasan itu adalah suatu bentuk hukuman
(Sasamakura:
290-292) Meski ia dikhianati oleh orang-orang yang ia percaya, Hamada tidak menyesali keputusannya dahulu menolak wamil. Menjadi penolak wamil adalah sikap yang harus ia lakukan. Ia bukanlah orang egois seperti yang dikatakan oleh istrinya, yang menilainya bertindak seturut yang ia inginkan saja (Sasamakura: 260 dan 339). Hamada memutuskan ia akan keluar dari lingkungan yang tidak menerima keberadaannya. Ia tidak akan menerima tawaran pindah ke daerah menjadi pegawai di sekolah menengah yang dikelola universitasnya. Peristiwa istrinya yang ditangkap polisi karena mengutil di supermarket membuka kesadaran dirinya akan hidupnya yang sebenarnya diinginkannya. Saat ia menatap wajah istrinya yang tertidur pulas di dalam mobil setelah keluar dari kantor polisi, ia mendapati istrinya tertidur pulas laksana bayi yang tidak berdosa.Ia tersadar bahwa Horikawa, yang telah mengatur pernikahan dengan
istrinya yang 15 tahun lebih muda, menikahkannya dengan perempuan yang menderita kleptomania (Sasamakura, 410).Ia cemburu karena selama ini ia tidak memiliki kehidupan yang ‘tenang’ seperti yang terbayang dalam wajah polos istrinya. Ia ingin bebas. Narator menggambarkannya sebagai berikut: ……それにおれは、今の世界の一番大切な掟に……盗むなという掟 や殺すなという掟よりももっと重い掟に……逆らった男なのだか ら。逆らってしまった男なのだから。国家に対し、社会に対し、体 制に対し、一度反抗した者は最後までその反抗を続けるしかない。 引き返すことは許されぬ。いつまでも、いつまでも、危険な旅の旅 人であるしかない。そう、危険なたび、不安な旅、笹まくら。(『笹 まくら』412) ‘Selain itu, aku adalah laki-laki yang telah melakukan pelanggaran berat terhadap perintah yang paling utama dari masyarakat, lebih berat dari perintah dilarang mencuri, dilarang membunuh.Aku adalah laki-laki yang telah melawan arus.Dia melawan negaranya, melawan masyarakat, melawan sistem.Sekali menjadi laki-laki yang melawan hal yang demikian, dia harus melanjutkannya.Penyesalan adalah tidak termaafkan.Tidak ada jalan kembali.Selamanya aku menjadi laki-laki pengembara yang melanjutkan perjalanan yang berbahaya.Ya, perjalanan yang berbahaya, yang tidak tenang, dengan rumput sebagai alas kepala.’ Hamada menyadari bahwa ia adalah orang yang telah melawan sistem, negara, dan masyarakat. Ia bukanlah orang yang mengutamakan kepentingan kelompok, ia menolak sistem yang artinya ia menolak keharmonisan dan kesatuan dalam kelompok, dan menolak pengakuan akan hirarki. Setiap individu di Jepang
dituntut untuk menjaga keharmonisan (和) kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan/keinginan pribadinya. Orang yang merusak keharmonisan kelompok, akan dikeluarkan (Takano: 9). Keharmonisan ini akan menjamin kelangsungan hirarki. Hamada memilih untuk keluar dari sistem dan masyarakat yang menentukan identitasnya. Hamada menghadapi kenyataan bahwa masyarakat yang dihadapinya di tahun 1965 adalah sama dengan yang hidup 20 tahun yang lalu, saat ia menjadi pelarian karena menolak wamil: yang melihat tiada tempat bagi orang yang mengedepankan pilihannya sendiri. Menyuarakan pilihan sendiri adalah pengkhianatan bagi semangat kolektif.Ia tidak menyesal keputusannnya di masa lalu menjadi penolak perang dan wamil dan konsekuensi yang diterimanya 20 tahun kemudian. Ia akan melanjutkan perjalanan hidup yang ia inginkan, meski menjadi orang terbuang.
PENUTUP
Hal yang paling penting dari novel ini menurut pemakalah adalah Sasamakura memberi gambaran kepada pembaca tentang kehidupan tokoh yang melawan
nilai-nilai
yang
dianut
masyarakat
dan
akibat
yang
harus
ditanggungnya.Novel ini memberi gambaran secara umum yang nyata tentang masyarakat Jepang pada masa penting dalam sejarah Jepang, yakni di masa perang dan pasca perang.Novel ini secara detil menggambarkan spirit sebuah bangsa yang diwujudkan dalam aspek kehidupan secara agama, sosial, budaya, dan politik. Semangat atau spirit dalam masyarakat yang ternyata tidak berubah, yang padanya
semangat masa lalu dirayakan dan coba dihidupkan.Semangat itu lah yang pernah mendorong Jepang untuk menjadi penjajah dan membuktikan kejayaannya di tengah ‘penguasa’ dunia lain saat itu, Amerika. Semangat yang demikian itu lah yang ditolak oleh protagonis, yang membuatia tidak ingin memiliki identitas sebagai Jepang. Ia melawan negara, masyarakat, dan lembaga dan memilih keluar lepas dari identitas tersebut dengan menanggung konsekuensi dari perlawanan itu.
Melalui novel ini pula, pembaca dapat menemukan bagaimana kekuasaan negara dapat mengatur dan menentukan nasib warganya.Kekuasaan yang kuat ditentukan oleh hirarki yang dipatuhi masyarakat.Hirarki pula yang menjamin kolektivisme menjadi rekat.Kolektivisme di satu sisi dapat menjadi daya pemersatu bangsa melalui masa sulit, menjadi entitas berupa jejaring besar yang menjamin keberadaan individu.Namun, di sisi lain, masyarakat adalah entitas yang terdiri dari beberapa
individu-individu
yang
memiliki
akal
budi
dengan
pilihan-pilihannya.Hanya saja, masyarakat Jepang di masa 1965, masa di mana protagonis memutuskan jalan hidupnya, merupakan masa di mana entitas kolektif masih mengemuka: masa di mana entitas individu dengan pikiran dan pilihannya belum memiliki tempat.
Entitas individu protagonis mencoba berkompromi dengan nilai-nilai kolektif yang diusung masyarakat dan tempatnya bekerja. Hal ini pada mulanya ia lakukan untuk semata-mata bertahan hidup. Jepang di tahun 1965 telah menjelma menjadi negara yang makmur. Elemen-elemen budaya barat yang tergambar secara fisik dalam setting tempat dan dalam gaya hidup beberapa tokoh lain di novel ini menggambarkan Jepang yang berubah. Perang yang telah berakhir 20 tahun
sebelumnya dan kebangkitan ekonomi yang membawa kemakmuran, ternyata tidak membawa Jepang berangkat dari spirit masa lalu, spirit yang sama yang mendorong Jepang menjadi imperialis. Tiada jalan lain bagi protagonis, Hamada untuk kembali melepaskan diri dari identitas kolektif Jepang yang menolak identitas individunya dimana pernah menjadi chohei kihisha‘penolak perang dan wajib militer’. SINOPSIS
Suatu pagi di bulan September 1940, Shokichi Hamada yang berusia 20 tahun berpamitan dengan orang tuanya untuk mengikuti wajib militer dengan bergabung di Resimen Tiga di Akasaka, Tokyo.Namun, dia meninggalkan rumah untuk melarikan diri.Dia menolak perintah negara dan melarikan diri dari wajib militer dan pergi meninggalkan Tokyo. Selama 5 tahun sejak Oktober 1940 hingga Jepang kalah perang di bulan Agustus 1945, Hamada mengganti identitas dirinya menjadi Kenji Sugiura dan hidup berpindah-pindah di daerah pelosok Jepang.
Selama dalam pelarian, ia hidup dalam ketakutan dan mengasingkan
diri agar tidak tertangkap polisi atau tentara, dan menghindari interaksi dengan orang-orang yang akan bertanya-tanya bila mendapati pria dewasa tidak berada di medan perang. Dia bekerja serabutan, adakalanya ia bekerja memperbaiki radio, di saat yang lain sebagai artis jalanan dan menawarkan karyanya berupa lukisan dari pasir. Hingga suatu hari ia berkenalan dengan Akiko Yuki, perempuan yang berusia hampir 10 tahun lebih tua darinya, yang kemudian menjadi kekasihnya dan tinggal bersama di rumah keluarga Akiko sebagai ‘pria simpanan’. Hidupnya penuh kesulitan, ia dan Akiko hidup miskin dan kelaparan.
Selama pelariannya, ibunya bunuh diri.Tidak tahan menanggung malu memiliki anak laki-laki yang lari dari wajib militer, menjadi alasan ibunya bunh diri. Meski demikian, Hamada percaya bahwa lari dari wajib militer adalah tindakan yang harus ia lakukan. Ada 4 alasan mengapa ia menolak wajib militer. Pertama, ia menolak segala macam bentuk perang dan alasan apapun yang mencetuskan alasan untuk berperang. Secara khusus ia menolak Perang Pasifik (dalam catatan sejarah berlangsung dari tahun 1941-1945). Ia tidak menyukai tentara. Alasan ke-empat adalah dia menentang secara khusus Tentara Jepang. Setelah perang berakhir dengan kekalahan Jepang, Hamada kembali ke Tokyo dan mencari pekerjaan.Ia direkomendasikan oleh Horikawa, teman ayahnya untuk melamar sebagai tukang ketik di bagian administrasi universitas tempat Horikawa bekerja. Pada CV yang ia ajukan saat melamar di tahun 1946 itu, tidak memuat informasi mengenai pekerjaan yang ia lakukan selama tahun 1940 hingga 1945. Suatu hari di tahun 1965, yang menjadi setting utama penelitian pada paper, Shokichi Hamada yang bekerja sebagai asisten dari juru tulis kepala di bagian administrasi Fakultas Sastra, menerima surat yang mengabarkan kematian Akiko Yuki.
Sejak menerima surat itu, ingatannya terbawa kembali kepada
kehidupannya yang penuh penderitaan di masa perang. これもまたかりそめ臥しのさ、枕一夜の夢の契りばかりに ‘Perjalanan kali ini pun, seperti hari-hari tidur yang gelisah itu, dengan beralas rumput, bermimpi sepanjang malam’ Adalah puisi yang ditulis sekitar masa Shinkokinshuu (New Anthology of Ancient and Modern Verse) yang selesai ditulis pada tahun 1205. Hidup Hamada tergambar
seperti puisi yang ia baca di sebuah buku. Ia takut oleh suara gemerisik rumput (rumput yang tumbuhnya tinggi dan tidak nyaman untuk berbaring karena helainya tajam) yang ditiup angin. Ia harus hidup dengan ketakutan dan selalu waspada agar tidak tertangkap. Meski pemerintah yang berkuasa saat Jepang terlibat perang telah kalah dan perang telah berakhir, di setting tahun 1965 tidak berarti ia menjadi manusia yang bebas. Suatu peristiwa yang terjadi di depan kampus telah menjadi awal kesulitan hidup yang ia alami di tempat bekerja. Hamada menyaksikan pencuri yang beraksi di dalam kampus melarikan diri ke arah Hamada.Hamada hanya tertegun dan tidak berbuat apa-apa saat pencuri itu melewatinya.Pemandangan perampok lari dengan orang-orang yang memburunya dan memukuli, membuat Hamada seolah melihat dirinya sendiri di masa lalu yang hidup dalam pelarian. Peristiwa Hamada yang tidak berbuat apa-apa mencegah perampok, menjadi gosip di seluruh kampus keesokan harinya hingga beberapa minggu kemudian akhirnya membawa ia pada kenyataan bahwa sesungguhnya masa lalunya sebagai penolak wamil menjadi aib yang tidak pernah pupus meski perang telah berakhir hampir 20 tahun sebelumnya. Menjadi penolak wamil merupakan aib yang disematkan terus-menerus oleh masyarakat yang menganggapnya pengecut dan pengkhianat. Hamada terasingkan oleh reaksi orang-orang di kampus, mulai dari mahasiswa yang mencoba mengorek keterangan lebih dalam, rekan kerjanya sesama asisten tukang ketik Nishi, Asisten Profesor Kuwano dari jurusan Sastra Prancis yang dianggap liberal, Profesor Nemoto dari jurusan ekonomi yang oleh mahasiswa dianggap simpatisan aliran kiri komunis yang ia anggap berpihak pada dirinya, Sakai yang menjadi sahabatnya sejak remaja tetapi dengannya Hamada
merahasiakan alasan pelariannya, hingga Horikawa direktur eksekutif universitas yang telah memberinya pekerjaan dan mengatur perjodohan pernikahannya, ternyata mengkhianatinya.Mereka adalah orang-orang yang juga melihat masa lalu sebagai penolak wamil sebagai bentuk tindakan pengecut dan pengkhianat. Berita kematian Akiko yang membawa ingatan masa lalunya hidup kembali, peristiwa pencurian yang membangkitkan perihal dirinya sebagaipenolak wamil, membuat ia merenungkan kembali alasan mengapa ia memilih demikian. Ia berusaha mengatasi rasa takut dengan berusaha optimis dan mengingatkan dirinya sendiri tentang alasan ia memilih hidup sebagaipenolak wamil dan lari dari wajib militer. Keputusan menjadi penolak wamiladalah masa lalu yang ia terima dengan tanggung-jawab dan tidak ia sesali. Hamada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istri dan tempatnya bekerja, untuk hidup menjadi orang yang ia anggap bebas. Ia memilih hidup dimana ‘rumput’ menjadi tempat ia merebahkan kepala.
Daftar Pustaka Furukawa, Tesshi. 1968. “The Individual in Japanese Ethics”. Di dalam The status of the individual in East and West. Honolulu: University of Hawaii Press. Kawamoto,
Saburo. 川本三郎. 2014.
Di dalam Epilog Sasamakura. Tokyo:
Shinchosha.Cetakan ke-19. Keene, Donald. 1978. The Barren Years. Japanese War Literature. Monumenta Nipponica, Vol. 33, No. 1 (Spring, 1978). Tokyo: Sophia University: 67-112 (46 halaman). Diakses 2 Agustust 2016, dari http://www.jstor.org/stable/2384256 Kokusai Bunka Shinkokai. 1970. Synopsis of Contemporary Japanese Literature II 1936-1955. Yokohama: Kokusai Bunka Shikokai.
Kokusai Bunka Shinkokai. 1972. Introduction to Contemporary Japanese Literature 1956-1970. Yokohama: Kokusai Bunka Shinkokai. Kotani, Katsuhiko. 1997. 『 兵 役拒 否 宣 言- 全 体 主義 か ら 個人 主 義 へ』 Heiekikyohi Sengen-Zentaishugi kara Kojinshugi he. Tokyo: Kindaibungeisha. Lee, Steven. P.. 2013. Ethics and War. Inggris: Cambridge University Press. Makito, Saya. 2009. The Sino-Japanese War and The Birth of Japanese Nationalism. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh David Noble. 2011. Tokyo. International House of Japan, 2011.(Judul asli Nisshin Senso: Kokumin no Tanjo. Tokyo: Kodansha, 2009). Saiichi, Maruya. 才一丸谷. 2014.『笹まくら』Sasamakura. Tokyo: Shinchosha. Cetakan ke-19 Schwartz, Frank J. dan Susan J Pharr. 2003. The State of Civil Society in Japan. Cambridge University Press. Takano, Yotaro. 高野陽太郎. 2008.「集団主義」という錯覚.‘Kesalahpahaman tentang Kolektivisme’.2008.Tokyo: Shinyosha. Yamanouchi, Yasushi, J. Victor Koschmann, Ryuuichi Narita. 1998. Total War and ‘Modernization’. New York: Cornel University.