言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
EKSOTISME JEPANG DALAM NOVEL SAYONARA KARYA JAMES A. MICHENER
Rachmidian Rahayu Jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Abstrak Dalam novel Sayonara, Michener menceritakan mengenai relasi antara tokoh Amerika dengan tokoh Jepang. Relasi tersebut menghasilkan representasi eksotisme Jepang yang didapat dari tokoh Amerika, yaitu eksotisme dalam wacana orientalisme. Oleh sebab itu, kajian ini membahas eksotisme Jepang yang direpresentasikan dalam novel Sayonara. Untuk dapat menganalisis eksotisme Jepang, kajian ini menggunakan pendekatan representasi yang dikemukakan oleh Hall dan eksotisme dalam wacana orientalisme oleh Said. Hasil analisis menunjukkan bahwa eksotisme Jepang dalam Sayonara ditemukan pada perempuan Jepang dan ketika tokoh Amerika menggambarkan Jepang sebagai latar tempat. Kata Kunci: Sayonara, eksotisme, orientalisme, Jepang, James A. Michener Pendahuluan Karir James A. Michener menjadi seorang penulis novel adalah ketika ia berusia 40 tahun. Karyanya yang berjumlah 69 buku membuktikan bahwa Michener adalah penulis yang produktif (Smith, 2012). Michener yang lahir pada 3 Februari 1907 di Pennsylvania, Amerika ini banyak merekam realitas Perang Dunia II dalam karyanya (Vaughn, 1999). Seperti novel Sayonara (1954), novel keempat Michener yang ditulis setelah menjabat sebagai Letnan Angkatan Laut Amerika ketika berperang dengan Jepang. Pengalamannya dengan Jepang tersebut menjadi dasar bagi Michener menulis novel Sayonara (Smith, 2012). Menurut Vaugh (1999), melalui buku-bukunya Michener menginginkan agar orang-orang belajar toleransi seperti yang terdapat dalam novel Sayonara. Toleransi yang terdapat dalam Sayonara yaitu masyarakat Jepang yang menerima dengan baik kehadiran orang-orang Amerika di Jepang. Penerimaan masyarakat Jepang ini dapat dikaitkan dengan peristiwa dalam narasi Sayonara yang terjadi pada tahun 1950-an, ketika masa pendudukan militer Amerika di Jepang. Sebagaimana yang dipaparkan Sugimoto (2010), pendudukan sesudah perang melibatkan Amerika Serikat dengan akrab sekali dalam segala aspek kehidupan orang Jepang dengan menjadikan negara itu sebagai teladan Jepang. Akan tetapi, toleransi yang terdapat dalam Sayonara menunjukkan relasi yang tidak seimbang antara tokoh Amerika dengan tokoh Jepang. Tokoh Amerika lebih mendominasi dalam menggambarkan Jepang. Dominasi Amerika tersebut sebagaimana yang dipaparkan oleh Freesen (2007) bahwa dalam Sayonara subjektivitas tokoh Amerika sebagai seorang yang berasal dari Barat lebih |1
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
ditonjolkan daripada subjektivitas tokoh Jepang sendiri. Subjektivitas Barat dalam menggambarkan Timur ini mengukuhkan wacana dalam orientalisme bahwa Barat adalah subjek, sedangkan Timur adalah objek yang didefinisikan (Loomba, 2000). Loomba (2000) menambahkan bahwa karya sastra yang berbicara mengenai Timur oleh Barat merupakan wacana imajinatif yang dikonstruksi untuk melanggengkan superioritas Barat. Akibatnya, teks-teks Barat tersebut mendefinisikan Timur, dalam hal ini Jepang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka. Jepang yang didefinisikan tersebut merupakan representasi Jepang dalam novel Sayonara. Representasi Jepang yang dibahas dalam tulisan ini adalah tokoh perempuan Jepang dan Jepang sebagai latar tempat. Perempuan Jepang dan Jepang sebagai latar tempat dianggap aneh dan asing bagi tokoh Amerika. Dalam wacana orientalisme Said (1977), Timur yang aneh dan asing merupakan Timur yang eksotis bagi Barat. Definisi eksotis sendiri dalam KBBI adalah memiliki daya tarik khas, asing, aneh dan ganjil, sehingga sejalan dengan eksotis dalam wacana orientalisme yang merupakan hasil representasi. Oleh sebab itu, tulisan ini akan membahas eksotisme Jepang yang merupakan hasil representasi dalam novel Sayonara karya James. A. Michener. Pembahasan 1. Landasan Teori Subbab ini merupakan penjelasan mengenai representasi eksotisme dalam wacana orientalisme. Oleh sebab itu, akan dijelaskan lebih dahulu mengenai representasi. Representasi bukanlah realitas yang sebenarnya. Representasi merujuk pada cara seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat ditampilkan (Eriyanto, 2009:113). Oleh sebab itu, bagi Hall (1997) representasi berarti “menghadirkan kembali sesuatu” atau “mewakili sesuatu”. Jika dikaitkan dalam penelitian ini, eksotisme Jepang artinya merepresentasikan/menghadirkan Jepang kembali dalam karya sastra atau segala sesuatu di dalam karya sastra yang terkait dengan eksotisme Jepang, dianggap mewakili Jepang itu sendiri. Dengan kata lain, eksotisme Jepang bukanlah Jepang, tetapi eksotisme Jepang dalam representasi. Hall (1997) menambahkan, bahwa dalam representasi terdapat ketidaksengajaan yang terkait dengan kode-kode budaya, bahwa orang yang memiliki kode budaya yang sama akan memiliki interpretasi yang sama (Hall, 1997). Hall mengistilahkannya dengan “berbagi makna” atau “berbagi peta konseptual”. Contohnya, “domba”. Untuk menginterpretasinya, seseorang harus memiliki akses kedua sistem representasi, yaitu peta konseptual yang berkorelasi dengan konsep domba dan sistem bahasa berupa bahasa visual. Dengan kata lain, jika kita berpikir mengenai “domba”, maka kode memberitahu untuk menggunakan kata “domba” dalam bahasa Indonesia, atau “sheep” dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu, kode-kode lah yang menghubungkan antara sistem konseptual dan sistem bahasa. Selain itu, representasi diproduksi oleh kekuatan sosial dominan yang ada dalam masyarakat. Kekuatan sosial dominan ini terkait dengan pemaknaan yang diterima dengan yang tidak diterima (Eriyanto, 2009:29). Menurut Hall, seperti yang dikutip Eriyanto (2009:30), hal ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana |2
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
wacana dominan membentuk, menghitung definisi dan mengatur batas-batas dari pengertian tersebut. Hall (1997) mengaitkan wacana dominan tersebut dengan kekuasaan dan subjek. Hal ini disebabkan beberapa orang memiliki kekuasaan untuk berbicara daripada yang lain. Kekuasaan tersebut tidak hanya mengasumsikan kebenaran, tetapi memiliki kekuatan untuk membuat dirinya benar. Wacana dominan, kekuasaan, dan subjek juga menjadi pembahasan Said (1977) dalam bukunya Orientalism. Terkait dengan tiga hal tersebut, Said dapat memperlihatkan bagaimana otoritas berfungsi dengan menghasilkan suatu wacana tentang Timur. Tesis dasar Said adalah bahwa orientalisme atau studi Timur pada akhirnya merupakan suatu visi politis tentang realitas yang strukturnya mengemukakan suatu perlawanan biner antara Barat “kita” dengan Timur “Liyan” (Loomba, 2000). Wacana dominan, kekuasaan, dan subjek juga menghasilkan representasi. Representasi yang dimaksud Said (1977) bukan merupakan paparan ilmiah mengenai Timur. Namun, karena Timur dianggap tidak mampu menampilkan dirinya sendiri, Barat merasa perlu mewakilinya. Akan tetapi, Barat tidak selalu berbicara atas nama Timur, karena Timur dibiarkan untuk bersuara. Membiarkan Timur bersuara atas nama mereka sendiri atau untuk menampilkan diri merena sendiri, menurut Said semua itu memiliki batas dan dengan cara-cara tertentu. Said menambahkan, bahwa saat ini mulai muncul representasi hibriditas mengenai Timur, salah satunya Jepang. representasi ini telah memberikan dampak yang luas terhadap isu kekinian dan telah dibahas di berbagai tempat. Pembahasan mengenai representasi ini penting, karena representasi tersebut sebenarnya berasal dari orientalisme tradisional Eropa di Amerika Serikat (Said, 1977:285). Orientalisme tradisional yang dimaksud merupakan suatu doktrin politis yang tidak hanya menjadikan Timur sebagai objek kajian – karena Timur lebih lemah daripada Barat – tetapi juga yang dapat menyatukan perbedaan Timur dengan kelemahan, kebarbaran, keanehan, dan keeksotisannya (Said, 1997:205). Disebabkan Timur dijadikan objek, maka Barat adalah subjek yang menentukan. Akan tetapi, baik Barat maupun Timur ternyata sama-sama menjustifikasi takdirnya dan menguatkan identitas mereka dalam relasi subjek-objek tersebut. Pernyataan ini diperkuat oleh kenyataan-kenyataan yang muncul bahwa Barat pada hakikatnya berusaha untuk lebih bersikap superior daripada Timur. Posisi ini kemudian menempatkan Barat sebagai subjek yang mensurvei Timur yang pasif, subur, feminin, bahkan diam (Said, 1977:138-139). Dalam tulisan-tulisan atau teks-teks Barat mengenai Timur, Timur hampir selalu diperlakukan sebagai bangsa yang melanggar moralitas seksual. Segala sesuatu tentang Timur ditampilkan sebagai sejenis panggung yang seolah-olah selalu menampilkan tontonan seks yang berbahaya, dengan kebebasan seksualnya yang berlebihan (Said, 1977). Teks-teks tersebut ditambahkan Said (1977) juga menyajikan Timur sebagai yang eksotis, yang begitu asing, memesona, penuh misteri dan moralitasnya yang tampak sesat, direduksi besar-besaran untuk kemudian dikemas menjadi serangkaian detail-detail dalam suatu gaya prosa yang normatif. Dari teks-teks tersebut, eksotisme Timur ini tidak hanya menampilkan ancaman-ancaman seks di negeri Timur, tetapi juga menampilkan ancamanancaman lain yang tidak kalah mencemaskan. Ancaman-ancaman tersebut |3
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
memberangus kecermatan, rasionalitas dan identitas pribadi manusia Barat, yaitu kecantikan Timur yang tidak terbayangkan, keindahannya yang tidak manusiawi, dan kejauhannya yang tidak terbatas (Said, 1977:168). Seperti pemaparan di atas, representasi eksotisme Jepang dalam tulisan ini merupakan hasil representasi yang terdapat dalam narasi Sayonara. Oleh sebab itu, naratologi diperlukan untuk membantu dalam menganalisis eksotisme Jepang dalam Sayonara, karena menurut Bal (1997) naratologi merupakan teori narasi, citra dan peristiwa untuk memahami dan menganalisis struktur narasi. Dengan demikian, analisis struktur narasi dilakukan untuk menemukan informasiinformasi yang berhubungan dengan penutur narasi atau narator (Fludernik, 2009:8-9). Fungsi narator menurut Genette (sebagaimana yang dikutip Lecthe, 2001) berfungsi untuk mengisahkan cerita dan memberi kesempatan masuknya suatu gagasan-gagasan tertentu. Dalam konteks ini, terdapat hubungan antara narator dan dunia fiksi (teks), yaitu narator merupakan bagian dari dunia yang diceritakan (Fludernik, 2009:98). Artinya, narator di sini adalah narator narator yang menjadi salah satu tokoh dalam peristiwa. Narator yang menjadi salah satu tokoh dalam peristiwa ini menurut Genette (1980) merupakan narasi orang pertama yang cenderung subjektif dan naif. Penggambaran yang disampaikan oleh narator orang pertama ini pun cenderung berupa prasangka yang terkadang dilebih-lebihkan. Oleh sebab itu, menurut Genette (1980) narator yang berperan sebagai tokoh ini memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengisahkan cerita. Narator ini hanya mampu menceritakan tentang yang dilihat dan didengarnya sendiri, yang sedang dipikirkan dan yang dapat ia pahami sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya, dan pengalaman, serta pengetahuannya yang terbatas. Narasi yang disampaikan narator dalam cerita terkait dengan sudut pandang, karena peristiwa di dalam narasi disajikan berdasarkan perspektif atau sudut pandang tertentu. Menurut Genette (1980), melalui sudut pandang dapat mengungkapkan fokus narasi karena menunjukkan melalui sudut pandang siapa narasi diceritakan. Mengenai sudut pandang ini, Genette mengistilahkannya dengan fokalisasi, dan orang yang melakukan fokalisasi disebut dengan fokalisator. Genette (1980) menambahkan, fokalisasi pada narator orang pertama cenderung terbatas, karena fokalisasinya hanya mewakili pandangan dari satu tokoh, artinya posisi pemandang ada di dalam cerita. Oleh sebab itu, narator tersebut merupakan narator yang berbicara dan memandang, sehingga menyebabkan ia memiliki sudut pandang yang subjektif. Namun, ada kalanya narasi yang dituturkan orang pertama memiliki fokalisasi jamak. Artinya, satu narator dapat terdiri dari beberapa fokalisator. Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas, representasi eksotisme Jepang artinya menampilkan Jepang yang eksotis dalam karya sastra, atau segala sesuatu di dalam karya sastra yang terkait dengan eksotisme Jepang, dianggap mewakili Jepang itu sendiri. Hasil representasi eksotisme Jepang itu sendiri menampilkan Jepang berdasarkan subjektivitas tokoh Amerika dan pandangannya yang terbatas mengenai Jepang dalam narasi Sayonara kara James. A. Michener.
|4
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
2. Eksotisme Jepang dalam Novel Sayonara Pada bab ini akan dipaparkan analisis mengenai eksotisme Jepang terhadap novel Sayonara karya James A. Michener. Eksotisme Jepang yang ditampilkan dalam novel ini mengacu kepada tokoh perempuan Jepang dan Jepang sebagai latar tempat. Dalam Sayonara, narasi didominasi oleh tokoh utama, yaitu Gruver. Dengan kata lain, tokoh Gruver adalah narator yang hadir sebagai salah satu tokoh dalam cerita sehingga menunjukkan posisi pemandang berada dalam cerita. Cerita novel Sayonara diawali dengan keberhasilan seorang Mayor Angkatan Udara bernama Lloyd Ace Gruver menjatuhkan tujuh MIG 1 pada perang korea. Kemudian Gruver mendapatkan tugas khusus di Kobe, Jepang. Kedatangan Gruver ke Jepang ini adalah sebagai hadiah keberhasilannya, karena tugas di Jepang tidak terlalu banyak, sehingga Gruver memiliki banyak waktu luang. Dengan waktu luang yang dimilikinya, Gruver mengamati tempat-tempat dan kejadian-kejadian di sekelilingnya. Pengamatan Gruver ini menghasilkan penggambaran mengenai Jepang salah satunya perempuan Jepang. Perempuan Jepang menurut Gruver memiliki wajah aneh karena bermata sipit dan berkulit kuning yang berbeda dengan perempuan Amerika. Kemudian Gruver mengenal seorang gadis Jepang yang merupakan aktris nomor satu teater Takarazuka, bernama Hana-ogi. Gruver pun jatuh cinta kepada Hana-ogi. Hana-ogi digambarkan sebagai perempuan cantik dan sempurna (Michener, 1979:204). Kecantikan Hana-ogi begitu memesona bagi Gruver sehingga menghilangkan rasionalitas Barat dalam dirinya. Tapi aku meyakinkannya kalau dia mau, dia bisa kelihatan hampir seperti orang Amerika, jadi dia menyisipkan rambutnya dan anak-anak rambutnya lenyap. Memang ini kedengarannya aneh, tapi aku percaya bahwa di jalanjalan di New York hanya sedikit orang yang akan bisa mengenali bahwa dia dari Jepang. (Michener, 1979:244). Narator dan fokalisator pada kutipan adalah tokoh Gruver. Melalui narasi Gruver dapat di ketahui fokalisasi Gruver adalah sebagai seorang laki-laki Amerika yang terpesona dengan perempuan Jepang. Pesona yang dimiliki perempuan Jepang, Hana-ogi mampu untuk membius laki-laki Amerika, sehingga melakukan atau berpikiran akan hal-hal di luar logika Barat. Dalam konteks ini batas-batas perbedaan antara Amerika dengan Jepang pun menjadi kabur. Seperti Gruver yang berpikir bahwa Hana-ogi akan seperti orang Amerika hanya dengan menyisipkan rambutnya. Padahal pada kutipan lain dikatakan bahwa Hana-ogi memiliki mata sipit dan berkulit kuning yang berbeda dengan perempuan Amerika. Dengan demikian, kaburnya batas-batas Timur dan Barat tersebut bukan hanya mengikis, tetapi juga menghilangkan rasionalitas Barat. Perbandingan yang biasanya dilakukan Barat untuk membedakannya dengan Timur, tidak dilakukan oleh Gruver. MIG merupakan akronim dari Mikoyan Gurevich, pesawat tempur jet yang aktif digunakan dalam perang Korea. 1
|5
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Berbicara mengenai kecantikan Hana-ogi, dapat dikatakan telah menjadi stereotip bagi Amerika. Disebabkan Hana-ogi disebut sebagai Madame Butterfly bukan hanya oleh Gruver, tetapi juga oleh ayah Gruver ketika pertama kali melihat Hana-ogi. Madame Butterfly adalah opera oleh Puccini yang terkenal di Amerika. Opera tersebut bercerita mengenai kisah cinta tragis antara perempuan Jepang cantik yang disebut Madame Butterfly dengan pria Amerika (Freseen, 2007). Dengan demikian, pengetahuan Gruver dan ayahnya mengenai Madame Butterfly dijadikan patokan dalam menilai kecantikan perempuan Jepang yang ideal bagi Amerika. Interpretasi dari Gruver dan ayahnya memperlihatkan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan kode budaya yang sama, sehingga menghasilkan makna yang sama pula. Dalam konteks ini, tokoh fiktif Madame Butterfly menjadi acuan bagi Amerika untuk menilai seorang perempuan Jepang termasuk dalam kategori cantik atau tidak. Tokoh Jepang selanjutnya yang terpesona dengan perempuan Jepang adalah Joe Kelly. Kelly adalah seorang laki-laki bawahan Gruver yang masih berusia sembilan belas tahun. Kelly menganggap bahwa perempuan Jepang lebih baik dijadikan istri daripada perempuan Amerika karena Kelly tidak pernah mendengar militer Amerika yang beristri Jepang mengeluh tentang istri-istri mereka. “Di barak tidur pada malam hari kau tak pernah mendengar orang yang menikah dengan wanita Jepang mengeluh. Kau mendengar banyak lakilaki lain mengeluh tentang isteri-isteri mereka. tapi mereka yang punya isteri Jepang tidak.” (Michener, 1979:22) Kutipan di atas merupakan narasi dan fokalisasi tokoh Kelly berdasarkan peristiwa yang telah terjadi. Fokalisasi tersebut menunjukkan bahwa Kelly memiliki pandangan yang positif terhadap orang Jepang, khususnya perempuan Jepang yang menjadi istri laki-laki Amerika. Akan tetapi, prasangka yang berlebih-lebihan dari Kelly mengesankan bahwa semua perempuan Jepang akan menjadi isteri yang baik. Pandangan yang belebihan ini diperkuat oleh latar pada kutipan, karena terbatas hanya pada barak tentara Amerika di Jepang. Artinya, prasangka yang berlebihan dari Kelly ini menunjukkan bahwa subjektivitas Kelly bersifat naif. Dalam Sayonara, tokoh Kelly memiliki rekor aneh, yaitu pernah dinaikkan pangkatnya menjadi kopral empat kali – dan tiap kali diturunkan lagi. Kelly juga dikatakan sebagai orang terakhir dalam kesatuan militer yang akan melibatkan diri secara serius dengan seorang gadis (Michener, 1979:15-16). Akan tetapi, prasangka orang-orang dalam kesatuan militer kontradiktif dengan kehidupan Kelly. Diusianya yang masih muda, Kelly memutuskan untuk menikah dengan perempuan Jepang. Terpikatnya Kelly dengan perempuan Jepang membuatnya nekat untuk menikah dengan perempuan Jepang bernama Katsumi. Padahal, dalam narasi Sayonara dikatakan bahwa laki-laki militer Amerika yang menikah dengan perempuan Jepang dianggap menodai profesi dan negaranya. Akan tetapi, Kelly menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap profesi dan negaranya. |6
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
“Betul. Aku cukup bodoh untuk jatuh cinta. aku mencintai gadis ini. Dan kalau aku harus menyerahkan warga negara Amerikaku untuk bisa mengawini dia, oke. Aku akan melepaskan kewarganegaraanku.” (Michener, 1979:21). Kelly sebagai subjek pada kutipan menunjukkan bahwa ia merupakan penguasa narasi dan juga sebagai fokalisator. Narasi Kelly tersebut menunjukkan pesona Katsumi tidak hanya mengikis kecermatan dan rasionalitas Barat dalam diri Kelly. Akan tetapi, juga mengancam identitas pribadinya karena Kelly mengatakan sanggup untuk melepaskan kewarganeraan Amerikanya. Tokoh Amerika berikutnya yang juga terpesona dengan perempuan Jepang adalah Mike Bailey, seorang Letnan dari Angkatan Laut. Usia Bailey tidak dinarasikan secara eksplisit, tetapi dari sebutannya memanggil Gruver dengan kata “Nak”, menunjukkan usianya yang lebih tua. Sama halnya dengan Kelly, Bailey mengesankan bahwa perempuan Jepang memiliki reputasi yang baik. Banyak hal yang salah dengan Jepang. tapi wanita Jepang bukan salah satu dari kesalahan itu, dan aku menyukai pandangan mereka tentang cinta. (Michener, 1979:150). Namun demikian, berbeda dengan Gruver dan Kelly, Bailey yang juga terpesona dengan perempuan Jepang, tidak serta merta mengikis rasionalitasnya sebagai seorang yang berasal dari Amerika. “Nak, tiap kali aku tiba di suatu negara, ada tiga hal yang ingin kulakukan. Mencoba makanan khas negara itu, dalam hal ini sukiyaki – yang tidak enak. Mencicipi minuman kerasnya yang juga tidak lezat. Dan bercinta dengan gadis-gadisnya, yang dalam hal Fumiko akan sangat menyenangkan sekali.” (Michener, 1979:92). Oleh sebab itu, pesona perempuan Jepang yang dimaksud oleh Bailey adalah pesona seks yang dimiliki perempuan Jepang. Fumiko merupakan “teman perempuan” Bailey yang juga salah seorang aktris dari teater Takarazuka seperti Hana-ogi. Subjektivitasnya sebagai penutur narasi menunjukkan bahwa perempuan Jepang adalah objek yang dapat dinikmati, sehingga tidak mengancam rasionalitas dan identitasnya sebagai seorang yang berasal dari Barat. Pesona seks yang dimiliki perempuan Jepang ini juga terdapat pada kutipan lain. “Kobe adalah pusat rekreasi,” kata Jenderal Webster murung. “Aku tak bisa mengubahnya.” (Michener, 1979:29). Narasi di atas berasal dari suara Jenderal Webster. Jenderal Webster ditugaskan di Kobe, Jepang ketika masa pendudukan. Posisinya tersebut membuat ia disegani bukan hanya oleh militer Amerika, juga oleh orang-orang Jepang lainnya. Amerika sebagai pihak yang menang perang menyebabkan Jenderal Webster merasa harus menjaga jarak dengan orang-orang Jepang. Ketika diketahui anak |7
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
buahnya “berhubungan” dengan gadis Jepang, Jenderal Webster menganggap hal tersebut tidak hanya menodai militer, tetapi juga bangsanya Amerika. Kobe sebagai pusat “rekreasi” menarik para militer Amerika untuk datang “bersenang-senang” ke Jepang. Rekreasi yang dimaksud adalah tempat bersenang-senang dengan perempuan Jepang bagi militer Amerika yang sedang bebas tugas di Korea. Jenderal Webster memiliki keinginan untuk mendisiplinkan para militer Amerika untuk tidak terlibat dengan perempuan Jepang meski sebatas “bersenang-senang”. Akan tetapi, karena pesona seks yang dimiliki Jepang begitu kuat, membuat usahanya yang mengatur pergaulan militer Amerika dengan orang Jepang menjadi sia-sia. Kobe yang dianggap sebagai tempat prostitusi dikeluhkan Jenderal Webster karena tidak dapat diubahnya menjadi tempat yang baik menurut subjektivitas Amerika. Terlihat bahwa Barat seolah memiliki tanggung jawab untuk mendisiplinkan Timur. Representasi eksotisme Jepang terhadap pesona seks yang dimiliki perempuannya begitu kuat, sehingga bagi para militer yang dapat mengelak, dianggap sebagai bentuk kepahlawanan. Di luar gerbang utama pangkalan udara di Itami, jalan lebar terbentang hampir satu kilometer jauhnya. Sepanjang jalan dipenuhi dengan ruangruang dansa murahan, tempat minum bir, tempat minum-minum dan judi yang murah dan gaduh, dan rumah-rumah pelacuran yang sederhana. Di depan tiap bangunan gadis-gadis muda bergerombol bermalas-malasan. Jalan ini dikenal sebagai The 1.000 Yard Dash (Lari cepat 1.000 yar). Orang bilang bahwa orang Amerika berseragam yang berhasil melewati jalan maksiat ini dengan celana masih melekat di tubuhnya akan menerima hadiah sebesar seribu dolar untuk kepahlawanan di luar panggilan tugas. (Michener, 1979:284). Dalam konteks ini, perempuan Timur tersedia bagi Barat. Perempuan Jepang sebagai orang yang menjajakan dirinya dengan target mendapatkan laki-laki Amerika. Dengan demikian, perempuan Jepang memiliki nilai jual, sedangkan laki-laki Amerika memiliki daya beli. Hal ini menunjukkan kekuasaan berada di tangan Amerika karena sebagai subjek yang menikmati perempuan Jepang. Kekuasaan tersebut dipandang sebagai bentuk maskulinitas Barat sehingga Timur pun menjadi sebaliknya yaitu feminin. Eksotisme Jepang selanjutnya dilihat dari Jepang sebagai latar tempat. Ketika menggambarkan latar Jepang sebagai tempat yang eksotis yaitu terkait dengan keindahan dan pesonanya yang menarik bagi Amerika. Di ujung jalan yang luar biasa sempitnya kami turun dan berjalan ke tempat yang menyerupai negeri dongeng. Karena saat itu pertengahan bulan April dan jalan di depan kami dipagari dengan deretan pohon ceri, dan aku belum pernah melihat pohon seperti itu sebelumnya. Bunganya bukan main banyaknya. Warnanya merah muda keunguan bersemu abuabu. Indah serta lembut. Dahan-dahannya yang sarat dengan bunga bergaya menaungi kami, dan langit biru musim semi kelihatan dari selaselanya. (Michener, 1979:44). |8
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Jepang dikatakan menyerupai negeri dongeng oleh narator karena merasa aneh dan asing, tetapi keanehan dan keasingan yang memikat. Kondisi Jepang di musim semi dengan deretan pohon ceri merupakan sesuatu yang asing bagi narator karena sesuatu hal yang baru dilihat pertama kali. Dengan demikian, Jepang sebagai latar tempat di sini direpresentasikan sebagai sesuatu yang aneh dan asing, tetapi memiliki daya tarik. Pada kutipan di atas menunjukkan fokalisator tidak terdiri dari satu orang saja. Kata kami di atas mengacu kepada Gruver sebagai narator dan fokalisator, serta orang-orang yang bersama dengannya memiliki fokalisasi yang sama. Artinya, pada kutipan di atas, terdiri dari seorang penutur narasi, dan lebih dari satu sebagai pemandang dalam peristiwa. Eksotisme Jepang yang direpresentasikan sebagai tempat yang menarik juga terdapat pada kutipan yang lain. Dia membawa kami ke kebun binatang. Di sana ada danau-danau indah, berpetak-petak bunga, serta bangku-bangku menarik. (Michener, 1979:45). Kami melewati petak-petak kecil sawah yang letaknya dekat dengan jalan raya dan rumah-rumah mungil di tengah-tengah gerombolan pohon. Udara harum dengan aroma musim semi dan ketika kami mengamati pekerjapekerja Jepang berjalan dengan susah payah sepanjang jalan setapak di senja hari, kami merasa menjadi sebagian dari negara asing ini (Michener, 1979:53). Ketertarikan narator terhadap Jepang terlihat kekagumannya terhadap keindahan danau-danau di Jepang. Dalam narasi fokalisator, kata kecil dan mungil mengesankan kalau ukuran sawah dan rumah di Jepang tidak berada dalam ukuran normatif berdasarkan subjektifitas narator. Meskipun demikian, kecil dan mungil menjadi sesuatu yang aneh, dan kemudian dikatakan secara eksplisit bahwa Jepang merupakan negara yang asing. Dari pembahasan mengenai struktur narasi, diketahui bahwa penutur merupakan orang pertama tunggal. Akan tetapi, fokalisator tidaklah tunggal, karena ada kalanya satu narator memiliki fokalisasi yang jamak. Namun demikian, dalam menghasilkan representasi eksotisme Jepang, narator mengedepankan subjektivitasnya dan memiliki pandangan terbatas karena kenaifannya, serta pengetahuan dan pengalamannya yang terbatas. Penutup Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa eksotisme Jepang direpresentasikan melalui perempuan Jepang dan Jepang sebagai latar tempat. Perempuan Jepang dikatakan eksotis karena memesona tokoh Amerika. Pesona tersebut terdapat pada bentuk fisik dan pesona seks yang dimiliki perempuan Jepang. Pesona perempuan Jepang ini mampu memberangus rasionalitas dan mengancam identitas manusia Barat pada tokoh Amerika. Akan tetapi, terdapat juga tokoh Amerika yang terpesona dengan perempuan Jepang sebatas objek yang dapat dinikmati. Sementara itu, representasi eksotisme Jepang yang didapat dari latar tempatnya, Jepang direpresentasikan sebagai tempat yang asing, indah dan menarik. |9
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Pembahasan mengenai eksotisme Jepang dalam novel Sayonara ini ditemukan, bahwa tokoh Hana-ogi yang memilih untuk tetap tinggal di Jepang dan menginggalkan Gruver, di satu sisi dapat dikatakan sebagai resistensi. Akan tetapi, menurut analisa Freesen (2007) bahwa penolakan Hana-ogi tersebut sesuai dengan wacana laki-laki Barat terhadap perempuan Jepang terkait dengan fantasi laki-laki Barat, yaitu mereka mendapatkan kebebasan seksual dengan perempuan Timur tanpa adanya tuntutan pernikahan. Dengan demikian, dapat dikatakan resistensi yang dilakukan Hana-ogi sebagai strategi yang dilakukan oleh narasi untuk mengukuhkan wacana yang selama ini telah dikonstruksi Barat terhadap Timur. Wacana tersebut adalah Barat dan Timur tetap berada di tempat yang berseberangan. Oleh sebab itu, tokoh Hana-ogi pada akhir cerita dihilangkan untuk melanggengkan perbedaan antara Amerika dan Jepang dengan tetap menganggap Jepang sebagai Liyan.
| 10
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Daftar Pustaka Bal, Mieke. 1997. Narratology. Introduction To The Theory of Narrative. 2nd Edition. Toronto: University of Toronto Press. Eriyanto. 2009. Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yokyakarta: LkiS. Fludernik, Monika. 2009. An Introduction to Narratology Terjemahan Patricia New york: Routledge. Genette, Gerard. 1980. Narrative Discourse An Essay in Method. Terj. Jane E. Lewin. Ithaca, New York: Cornell University Press Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practice. London : Sage Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer; Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Terj. A. Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Kanisius. Loomba, Ania. 2000. Colonialism/Postcolonialism. London-New York: Routledge. Michener, James A. 1979. Sayonara. Terj. Listiana. Jakarta : Gramedia Said, Edward. 1977. Orientalism. New York: Pantheon Sugimoto, Yoshio. 2010. An Introduction to Japanese Society. Third Edition. New York: Cambridge University Press. Sumber Internet Freesen, Ines Sandra. 2007. http://webdoc.sub.gwdg.de/ebook/mon/2007/ppn%20524679150.pdf diunduh pada 4 Juni 2015 Smith, Scott S. 2012. Novelist James Michener Dream Big: Tireless research brought history to vivid life. http://search.proquest.com/docview/1112519239?accountid=48290 diunduh pada 18 Juni 2016 Vaughn, Susan. 1999. “Author James Michener.” http://search.proquest.com/docview/1011624591/6B82E4E461EF4F06PQ/ 8?a ccountid=48290 diunduh pada 18 Juni 2016
| 11