ti angin bulan September dan Oktober seperti yang terjadi itu.
10 Aku kini sudah kira-kira sepuluh bulan di pulau ini dan harapanku dapat meninggalkan pulau ini sudah berangsurangsur hilang. Karena tempat kediamanku kini sudah memenuhi keinginanku dan sudah aman pula dari segala serangan yang mungkin terjadi, lambat laun aku mempunyai maksud akan pergi keliling memeriksa seluruh pulau itu. Pada tanggal 15 Juli, mulailah aku melaksanakan maksudku. Mula-mula aku menuju ke arah anak air, yang dahulu, telah kuceritakan, selalu aku melayarinya dengan rakit. Ketika kira-kira sudah sejauh dua mil ke hulu, aku dapat mengetahui bahwa sepanjang kedua tepinya terbentang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tegalan yang seluruhnya ditumbuhi rumput. Di tempat-tempat yang tanahnya meninggi, air anak sungai tak dapat mengalir, terdapat diantara berbagai-bagai tanaman-tanaman dan tumbuh-tumbuhan, juga tanaman tembakau. Lama aku mencari-cari umbi singkong, yang biasa dibuat roti sepanjang tahun oleh penduduk asli, tapi sangat kecewa, aku tak mendapatkan sebatang pun. Ada beberapa macam gaharu yang besar-besar dan juga berbagai jenis tebu, tapi tumbuhan ini tumbuh hanya sebagai tumbuhan liar, tentu takkan dapat dikembangbiakkan. Untuk sementara merasa puas dengan apa yang kuperoleh aku pun pulanglah, pulanglah.
Keesokan harinya, tanggal 16 Juli, kuturuti jalan yang sudah kulalui. Kulihat, parit-parit kecil dan padang-padang rumput itu kemudian diganti oleh hutan-hutan lebat. Dalam hutan itu kuketemukan buah-buahan yang sudah tak asing lagi bagiku, misalnya jeruk yang tumbuh banyak sekali dan buah anggur, yang baru saja matang. Sungguh suatu penemuan yang tak disangka-sangka sama sekali. Amat gembira aku karenanya. Tapi menurut pengalamanku di Pantai Caribia yang bertahun-tahun lamanya, aku tahu, bahwa terlalu banyak makan buah anggur di daerah panas amat berbahaya. Karena itu terpaksa kujemur saja buah anggur itu dibuat kismis. Bukan saja rasanya enak, melainkan menyehatkan badan pula. Dalam hutan itu aku tinggal sepanjang hari, tidak pulang seperti yang sudah-sudah. Waktu hari menjelang ma lam, aku naik ke atas pohon tidur nyenyak sekali. Keesokan harinya kulanjutkan perjalananku. Aku berjalan empat mil terusmenerus, selalu ke arah utara. Di kiri kananku berderet bukitbukit. Pada akhir perjalananku, aku sampai pada sebuah parit kecil, yang mungkin bermata air. Dataran ini tampaknya amat segar, hijau dan subur, sepintas lalu menyerupai kebun yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ terpelihara baik-baik. Kutemukan banyak sekali pohon-pohon cokelat, jeruk manis dan jeruk sitrun, tetapi hanya berbuah sedikit atau sama sekali tidak. Tapi ada buah buahan hutan kecil berwarna hijau, yang ternyata enak sekali rasanya. Sari buah-buahan itu kemudian kucampur dengan air dan menjadi minuman yang menyegarkan sekali.
Aku sibuk benar memetik dan mengangkut buah-buahan itu ke rumah, aku berniat membikin persediaan kism is dan jeruk manis yang cukup untuk musim hujan yang akan datang. Sesudah tiga hari lamanya aku dalam perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah kembali. Besoknya tanggal 19, aku berjalan lagi, sambil membawa dua kantung kecil. Tapi alangkah tercengangnya, ketika kulihat bahwa persediaan buah anggurku sebagian besar sudah ada yang memakannya dan terinjak-injak., Oleh karena itu, aku dapat menarik kesimpulan, bahwa di pulauku terdapat binatang-binatang buas, tapi binatang apakah, aku sendiri tak tahu. Oleh karena itu, aku tidak mau mengambil buah-buah anggur sisanya, karena kotor dan setengah terinjak-injak. Aku memutuskan mencoba jalan lain. Sesudah aku memetik buahbuah anggur yang baru, kugantungkan saja jurai-jurainya di antara dahan-dahan pohon supaya menjadi kering. Tapi jeruk manis dan buah-buahan hutan lainnya kubawa saja pulang sebanyak mungkin. Sampai di rumah, aku selalu teringat akan letaknya lembah yang indah itu dan kepada suburnya tumbuh-tumbuhan di sana. Terus terang, aku telah memasang kemahku bukan di tempat yang terbaik di pulau itu. Sesaat aku berpikir untuk memindahkan saja kemahku ke lembah yang sangat indah tadi. Tapi kemudian aku berpikir lagi, bahwa aku berdiam di dekat pantai dan selalu dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ memandang ke laut dengan sepuas-puas hatiku. Dan justru dari lautlah tergantung segala harapanku untuk dapat meninggalkan pulau ini. Karena itu niatku untuk pindah
kuurungkan. Aku mengambil keputusan untuk tinggal di lembah itu selama bulan Juli. Kubuat sebuah gubuk kecil, kukitari dengan dinding yang kukuh, dari batang-batang kayu yang kemudian kuisi dengan potong-potongan kayu. Dengan demikian sekarang aku mempunyai rumah di tepi laut dan sebuah lagi rumah jauh di darat. Baru saja aku selesai membuat pagar, datanglah pula musim hujan, hingga terpaksa aku kembali ke rumah yang lama. Untuk kemah ini seperti juga untuk kemah lainnya hanya kain layar untuk atap, di sini tak ada bukit yang dapat digunakan sebagai dinding dan juga tak ada kamar dalam tanah untuk dapat tinggal dengan tentram kalau turun badai. Pada tanggal 3 Agustus aku melihat-lihat rangkai buah anggur yang berjuluran dari batangnya. T ampaknya baik dan karena teriknya matahari, buah anggur itu sudah merupakan sejenis kism is yang baik sekali. Karena itu segera saja kupetik rangkai-rangkai itu dari batangnya. Ini sungguh-sungguh menguntungkan, sebab tak lama setelah anggur itu selesai kupetik, turunlah hujan yang lebat. Hujan itu tak boleh tidak akan menyebabkan busuknya buah-buah anggur itu, hingga aku tak akan mempunyai persedian makanan untuk musim dingin. Yang kupetik ada kira-kira seratus rangkaian banyaknya, sungguh tidak sedikit. Dari 1 Agustus sampai pertengahan Oktober, hujan turun tak hentinya, kadang-kadang demikian besarnya, hingga aku berhari-hari tak dapat ke luar dari kamar dalam tanah itu. Dari tanggal 14 sampai tanggal 26 Agustus hujan terusmenerus juga. Selama itu, aku dua kali ke luar rumah membawa bedil. Pertama kalinya aku menembak seekor kambing dan kedua kalinya aku mendapat seekor penyu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ besar. Kubunuh penyu itu. Jadi, makananku kini terdiri dari: buah anggur, kumakan untuk sarapan; untuk makan siang daging kambing atau panggang daging penyu, dan untuk makan malam dua atau tiga butir telur penyu. September 30. Kuketahui, bahwa aku sudah setahun lamanya disini. Beberapa hari kemudian dapat kuketahui pula bahwa tintaku akan segera habis. Lalu aku berjanji dalam hati hanya akan menuliskan peristiwa-peristiwa yang sangat penting saja. Aku mulai kini membedakan antara musim kemarau dan musim hujan, dan menarik pelajaran dari padanya.Tetapi sebelum itu, aku harus mengambil pengalaman-pengalaman yang hebat-hebat dulu. Telah kukatakan, aku sudah mengumpulkan kira-kira 30 batang padi dan 20 batang gandum. Waktu hujan lebat sudah reda, aku mengira bahwa saat itu adalah saatnya untuk mulai menyemai benih. Jadi mulailah aku bekerja. Dengan sekop kayu aku mencangkul-cangkul di sebidang tanah dan setelah bidang ini kubagi dua, maka kusebarkan benih padi dan gandumku. Tapi untung timbul pikiran padaku, untuk mencoba dulu, benih-benih ini tidak semua ku tanamkan. Yang kusebarkan hanya kira-kira dua pertiganya dan sisanya kusimpan. Untung ada pikiran yang baik seperti ini, ternyata dari semua benih yang kusebarkan, tidak sebatang pun yang tumbuh. Karena musim hujan sudah lalu rupanya datanglah musim kemarau. Tanah tak menerima lagi air hujan, akibatnya benih tak dapat tumbuh, dan seperti telah kukatakan, tak sebatang pun yang tampak. Setelah terpikir
sebab-sebabnya, aku mulai saja mencangkul sebidang tanah yang lain dekat rumah yang kusediakan untuk musim kemarau. Di sana kusebarkan sisa benih pada bulan Februari. Benih ini digenangi air hujan Maret dan April tumbuhnya subur dan menghasilkan panen yang sangat baik. Tapi, kali ini pun aku kurang berani menyebarkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ lagi semua benih, hingga dari tiap-tiap bagian hanya mendapat hasil setengah karung saja. Tapi kini aku tahu benar waktu yang paling tepat untuk menyebarkan benih dan aku boleh mengharapkan dari dua macam panenan. Ketika musim hujan telah lalu, dan cuaca sudah jernih kembali, yaitu pada kira-kira pertengahan bulan November, aku mendatangi lagi kemah musim kemarauku itu, yang beberapa bulan tak pernah kukunjungi. Rumah itu kudapati masih seperti sediakala. Hanya kuketahui kini bahwa pagar rumah itu bukan saja menjadi tambah kuat, tapi juga cabangcabang kayunya yang dahulu kupenggal dari batangnya, kini semuanya bertumbuhan. Tumbuhlah ranting-ranting kecil daripadanya, yang liat dan lentuk. Ini suatu hal baru yang sangat menyenangkan hatiku. Kuturuti cabang-cabang itu dengan pandanganku ke atas, dan hampir tak percaya aku, bagaimana akan sangat kuatnya pagarku nanti, kalau sudah melalui tiga tahun. Melihat ini timbul lagi keinginan padaku akan lebih banyak memotong cabang-cabang itu dan memancangkannya pula antara jejeran pagar yang dua rangkap itu. Jadi, kukerjakanlah apa yang
terpikir olehku itu dengan segera. Kelak aku mempunyai pagar yang sangat kuat, yang dapat menolongku dalam mempertahankan rumahku. Tapi tentang ini nantilah.
11 Lambat laun aku berhasil membagi waktu dalam setahun dalam musim-musim hujan dan musim-musim panas, yaitu begini: Dari pertengahan Februari sampai pertengahan April musim hujan sedangkan matahari terletak dekat katulistiwa. Dari pertengahan April sampai pertengahan Agustus musim
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kemarau; matahari terletak di sebelah utara katulistiwa. Dari pertengahan Agustus sampai pertengahan Oktober musim hujan lagi. Dari pertengahan Oktober sampai pertengahan Februari musim kemarau lagi, dengan matahari sebelah selatan dari katulistiwa. Kadang-kadang hujan lebat turun lebih lama atau lebih pendek, menurut adanya angin bertiup atau tidak, tapi kalau tidak demikian pembagian ini dalam garis besarnya adalah pembagian yang setepat-tepatnya. Oleh karena aku telah mengalami akibat-akibat buruk kena hujan seterusnya bila menjelang musim hujan, aku sedapatdapatnya bersiap-siap mengumpulkan segala bahan makanan yang perlu. Dengan demikian aku tidak usah sering ke luar rumah. Selama musim hujan itu aku tinggal dalam ruangan di bawah tanahku, yang sudah kuberi berpintu. Selama waktu itu aku mempunyai banyak kesempatan
untuk memikirkan segala keperluanku. Berkali-kali aku mencoba membuat keranjang, tapi belum saja kuketemukan ranting-ranting yang pantas. Untung waktu kanak-kanak aku sering melihat caranya menganyam keranjang di rumah pembuat keranjang, tak jauh dari rumahku. Kadang-kadang aku ikut membuatnya. Ranting-ranting pagar hidup sekeliling rumah musim panasku ternyata baik sekali untuk dianyam seperti keranjang. Segera aku mulai bekerja, dan meskipun hasilnya tidak begitu bagus aku berhasil juga membuat keranjang-keranjang yang cukup baik. Pernah kukatakan, aku ingin benar menjelajahi seluruh pulau. Karena dulu aku pernah mulai berjalan dari serokan kecil, maka sekarang aku mulai dari pantai. Kusandangkan bedil. Kubawa anjingku, kampak, sejumlah besar mesiu dan peluru, dua bungkus biskuit dan sejurai besar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ anggur. Ketika sampai di lembah bekas mendirikan kemah musim panasku, aku berjalan terus ke arah barat. Daerah yang kulalui, ternyata lebih indah dan menyenangkan daripada bagian pulau yang kudiam i selama ini. Kulalui padang-padang rumput yang luas, penuh ditumbuhi bunga dan rumput, kadang-kadang diselingi hutanhutan kecil. Bukan kepalang indahnya! Di sini kujumpai
banyak sekali burung nuri. Gampang ditangkap, kutangkap seekor. Tentang itu akan kuceritakan kemudian. Di daerah-daerah yang lebih rendah, kujumpai terwelu dan rubah. Tapi meskipun aku dapat menembaknya beberapa ekor, aku tak dapat memakannya. Setiap hari aku menempuh tak lebih dari dua mil, sebab aku selalu bersimpang-simpang, sehingga malamnya aku letih benar. Biasanya aku bermalam di atas pohon. Kadang-kadang tidur di tanah yang kukelilingi dengan dahan-dahan dan pohon-pohon sekitarnya. Ketika aku akhirnya sampai di pantai, kulihat bahwa aku telah memilih tempat tinggal yang jelek benar. Di sini pantai itu penuh didiam i penyu-penyu, sedangkan pantai dekat tempat tinggalku hanya sekali-kali didatangi penyu. Burungburung pun bukan kepalang banyaknya, di antaranya ada yang dapat dimakan dagingnya. Kebanyakan jenisnya tak kukenali, hanya satu, yaitu angsa laut. Dari sini aku berjalan lagi ke arah timur, menyusur pantai dekat kira-kira dua belas mil jauhnya. Sesudah itu kudirikan sebuah batu karang besar sebagai tanda, kemudian aku kembali lagi melalui jalan yang tadi. Aku bermaksud akan membuat perjalanan kedua sepanjang pantai sampai kepada batu karang ini. Dengan demikian aku dapat mengelilingi seluruh pulau ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ 12 Dalam perjalanan pulang anjingku menangkap seekor kambing muda. Kukejar dia dan berhasillah aku merebutnya dari anjingku. Ingin benar aku membawanya pulang, sebab sudah lama aku berpikir, apakah tidak mungkin memelihara seekor dua ekor agar dapat mempunyai sekawanan kambing-
kambing jinak yang kelak dapat memberi daging padaku, bila mesiu dan peluru-peluruku habis. Jadi kuikat lehernya, dan dengan susah payah kubawa dia ke kemah musim panasku. Di sana dia kutinggalkan, sebab aku sudah rindu benar ke rumahku. Maklumlah, sudah sebulan lamanya aku meninggalkan rumahku. Enak benar rasanya berbaring-baring di atas ayunan dalam rumahku itu, sebab perjalanan kian ke mari itu membuatku lelah sekali. Seminggu lamanya aku tinggal di rumah agar tenagaku pulih kembali. Selama itu kulakukan pekerjaan yang sulit sekali, yaitu membuat sangkar bagi si Poli, burung nuriku. Akhirnya aku teringat kepada kambingku, yang hanya kuberi makanan sedikit. Lekas-lekas aku pergi dan kutemukan dia setengah mati kelaparan. Mula-mulanya aku berdiri agak jauh dari dia, tapi ketika kudekati kambing itu ternyata menjadi jinak, karena laparnya rupanya. Dan kemudian harinya, kalau aku tiap hari membiarkan dia makan dari tanganku, ia jadi demikian jinaknya, tak ubahnya seperti binatang peliharaan saja, dan sejak itu tak pernah lagi ia meninggalkan daku. Ketika tanggal 30 September tiba kembali, ketika aku sudah satu tahun lamanya di sana, lalu aku membuat pembagian waktu yang tetap dalam pekerjaanku sehari-hari. Pertama-tama yang kulakukan pagi hari, apabila aku bangun tidur, ialah: melakukan kewajiban perintah agama dan membaca Injil, lalu aku keluar membawa bedil, kira-kira tiga jam lamanya setiap hari, kemudian aku menyelesaikan apa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang kutembak atau yang kutangkap, yang biasanya memakan waktu agak lama juga. Karena tengah hari sangat terik, baru pada petang harinya, kira-kira selama empat jam aku bekerja. Kemudian waktu berburu itu kualihkan kepada waktu bekerja, jadi kini terpaksa aku pagi-pagi bekerja dan baru petang harinya aku pergi berburu. Demikianlah kerjaku sambil memasuki tahun ketiga. Selama jam bekerja aku pun bekerja keras, tapi karena kekurangan perkakas yang kuperlukan, hasilnya tidak seberapa. Demikianlah umpamanya aku bekerja selama empat puluh dua hari membuat papan dari batang kayu, untuk dijadikan lemari dalam ruang kamar di bawah tanah. Sekarang sudah hampir Desember dan aku menantikan panen, panen gandum dan padiku. Tanah yang kusediakan untuk itu, memang tidak luas, sebab seperti telah kukatakan aku mempunyai benih gandum dan padi hanya setengah kantung saja, dari tiap-tiap macamnya. Tapi panen ini membahayakan harapan baik, kalau tidak tiba-tiba datang bahaya yang mengancam, berupa berbagai gangguan, yang hampir saja tak terelakkan olehku. Mula-mula musuhku itu ialah kambing dan sebangsa binatang liar, yang kusebut saja kelinci, yang rupanya sangat tertarik oleh batang padi yang sedang muda dan lunak; hampir aku kewalahan untuk mengusirnya dari ladangku. Segera aku pun mengetahui bahwa dengan tembakan saja tak dapat aku menolong aku sendiri dari ma lapetaka itu, jadi terpaksa aku mulai membuat pagar, yang kusiapkan dengan tergopoh-gopoh. Dan karena keliling ladangku tidak seberapa
besar, dapatlah pagar itu kuselesa ikan dalam tiga m inggu dan selama itu kalau hari siang terpaksa pula aku menjagai ladangku sendiri dan kalau malam kuserahkan penjagaan itu kepada anjingku.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tapi, kalau gandum dan padiku waktu masih hijau selalu diganggu oleh kambing dan kelinci, kini, setelah batang tanaman itu sudah mulai besar, datanglah pula gangguangangguan yang lain. Ketika aku pada suatu hari lewat di ladangku, untuk melihat apakah padi itu sudah kuning, aku melihat sekeliling ladang burung yang banyak sekali jumlahnya. Kulepaskan tembakan, maka kelompok-kelompok burung yang sangat banyak itu beterbangan dari batang-batang tanamanku. Semua ini sungguh-sungguh mengesalkan hatiku, kubayangkan kalau begitu terus-menerus panenku akan rusak sama sekali. Tapi aku tak mau putus asa, seandainya terpaksa aku menjaga ladangku itu siang malam, akan kulakukan juga, daripada mengalami harapan kosong melompong. Ketika atau mengisi lagi bedil aku melihat bangsat-bangsat itu berhinggapan di ranting-ranting pohon sekeliling ladang, seolah-olah perginya itu hanya untuk sementara, menanti kepergianku dari sana. Dan sebenarnya, ketika aku pergi agak jauh, aku melihat bagaimana burung-burung keparat itu berbondong bondong terbang ke bawah. Segera aku kembali dan kutembakkan lagi bedilku, dan ada tiga ekor yang kena.
Ini sebenarnya apa yang kuharapkan, sebab seperti juga halnya di Inggris ada penjahat-penjahat yang dapat hukuman gantung, buat menakut-nakuti penjahat yang lain, demikianlah kugantungkan bangkai burung itu di atas ladangku untuk menakut-nakuti burung yang lain. Aku hampir mengira bahwa dengan jalan ini siasatku tidak akan berhasil, tapi daya guna yang dapat kucapai, sungguh di luar dugaanku. Bukan saja burung itu menghindar dari ladangku, tapi sampai-sampai meninggalkan sebagian dari seluruh kepulauan, hingga selama ketiga bangkai itu masih tergantung, aku tak melihat lagi seekor burung pun di tempat itu. Bahwa aku sangat girang, tak perlu direntang panjang. Dan ketika akhir bulan Desember tiba, tiba pula masanya menuai gandum dan padi untuk kedua kalinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tapi untuk itu aku sangat memerlukan sabit, aku tak punya, satu-satunya jalan yang dapat kulakukan, bagaimanapun jadinya, kupergunakan saja kelewang, yang dahulu kuambil dari dalam kapal. Karena panenku tak banyak, pekerjaan menuai itu pun tak lama. Kujemur dahulu hasil panen itu dengan caraku sendiri dan kuangkut dengan keranjang. Selesa i memotong, kuhitung
ternyata aku dapat mengumpulkan dua gantang padi dan dua setengah gantang gandum. Ini sangat menentramkan hatiku, sebab dengan ini aku mempunyai masa depan banyak gandum, untuk membuat roti. Tapi timbul lagi pikiran was-was, bagaimana aku dapat membuat gandum itu jadi tepung dan seandainya berhasil bagaimana dan dengan apa aku dapat memasaknya, hingga tepung itu menjadi roti? Ini semua, memaksa aku membuat kesimpulan pikiran untuk membiarkan gandum itu tak terjamah dan lebih baik aku segera memberes-bereskan tempat untuk menyimpan padi dan jelai dahulu. Sekarang dapat kukatakan, bahwa aku betul-betul bekerja untuk mendapat roti. Kukira cuma sedikit saja orang yang tahu betapa banyaknya hal-hal yang diperlukan untuk membuat roti dari gandum. Pertama aku memerlukan bajak. Kedua penggali atau sekop untuk menggali tanah. Tapi seperti sudah kukatakan keperluan yang kedra ini sudah terpenuhi karena aku sudah membuat sekop kayu. Sesudah gandum ditebarkan, aku perlu penggaruk. Karena tak punya, terpaksalah aku menggaruk rata tanah dengan sebuah dahan. Sesudah masak, aku harus memagari ladangku, kemudian menyabit gandum, mengikatnya, membawanya ke rumah, dan akhirnya memisahkan butir-butir dari kulitnya. Setelah itu aku memerlukan batu giling untuk membuat tepung, penapis untuk membersihkan tepung, ragi
dan garam untuk membuatnya menjadi roti. Meskipun barang-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ barang itu tidak kupunyai, gandum itu merupakan harta yang besar jua bagiku. Sebab bila orang ingin mengerjakan sesuatu, sudah tersedia. Selain itu masih mempunyai waktu enam bulan, dalam mana — berkat pembagian pekerjaan sehari-hari yang teratur — dapat aku menyelesaikan banyak pekerjaan.
13 Pertama kali aku mesti mulai menggali tanah lebih banyak lagi, sebab sekarang aku sudah mempunyai bibit cukup untuk tanah seluas 1 hektar. Kemudian aku menyebarkan bibit di atas dua bidang tanah yang letaknya rendah, dekat rumahku. Lalu kubuat pagar kukuh dari dahan-dahan kayu. Pekerjaan ini makan waktu tidak kurang dari tiga bulan, karena musim hujan sudah tiba lagi dan karenanya aku berhati-hati tidak dapat bekerja. Tapi dalam rumah pun cukup banyak pekerjaan. Selama aku bekerja selalu aku berbicara dengan burung nuriku dan ku-ajar dia dengan bermacam cara. Ia belajar mengucapkan namanya sendiri dan ketika ia untuk pertama kalinya mengatakan "Poli" dengan tegas dan keras, itulah perkataan pertama yang kudengar dari mulut lain di pulau ini daripada mulutku sendiri. Aku sudah berpikir bagaimana cara yang sebaik-baiknya membuat periuk tanah, yang sangat kuperlukan. Mengingat panasnya udara, aku tidak ragu-ragu lagi, bahwa aku akan berhasil membuat dan membakar beberapa periuk, asal saja aku dapat menemukan tanah liat. Terutama sekali aku ingin mempergunakannya buat menyimpan gandum dan tepung
serta barang-barang lainnya (hanya benda-benda padat saja). Aku tak akan menceritakan tentang periuk-periuk yang gagal kubuat pertama kalinya, juga tentang periuk-periuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang pecah karena dibakar terlalu panas. Sebab akhirnya aku berhasil, meskipun makan waktu sampai dua bulan, aku dapat membuat dua periuk besar yang jelek (periuk atau bejana sukar aku menyebutnya). Dan ketika panas matahari telah mengeringkan dan mengeraskannya, kuambil periuk-periuk itu dengan hati-hati dan kutaruh dalam dua buah keranjang besar, agar jangan pecah. Kubuat pula benda-benda tanah lainnya dengan hasil yang lebih baik, misalnya: periuk-periuk kecil bundar, piring-piring kecil, pendeknya segala sesuatu yang sekedar dapat kubuat. Dan mataharilah yang membuatnya semua itu menjadi keras dan kukuh. Tapi sekarang aku sangat menginginkan periuk tanah yang tahan api untuk dapat memasak daging dan membuat kaldu. Sebab tidak satu pun dari barang-barang yang telah kubuat itu, yang tahan api. Beberapa waktu kemudian terjadilah peristiwa seperti berikut: Ketika api yang kupakai menggarang daging kumatikan, dalam abu kutemukan sebagian dari bejana yang sudah pecah, yang telah menjadi keras dan merah sebagai genteng. Tentu saja aku menjadi tercengang dan aku mengambil keputusan untuk melakukan percobaan-percobaan lebih banyak. Aku tak mengetahui tentang tungku yang biasa dipergunakan oleh tukang periuk, begitu pula bahwa dengan mencampurkan tanah dengan timah orang bisa memperoleh periuk yang diglasir. Jadi, kutaruh tiga buah panci dan tiga buah periuk berdekatan di atas tanah, lalu kubuat api besar
sekitarnya. Apabila api itu menjadi kecil, kutambah lagi kayu bakarnya. Akhirnya kulihat periuk-periuk itu di dalamnya menjadi pijar. Ketika periuk-periuk itu akhirnya menjadi merah muda, kubiarkan kira-kira lima jam lamanya dalam temperatur yang sama, sampai aku melihat bahwa salah satu periukku hampir menjadi cair. Sebab pasir yang kucampurkan dengan tanah liat mencair oleh panas yang terus-menerus, bahkan bila kuperhatikan terus, menjadi gelaslah rupanya kelak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kukecilkan api itu sedikit demi sedikit, hingga warna merah pada periuk itu agak berkurang dan akhirnya selesailah tiga buah panci dan tiga periuk yang baik-baik (aku tak mau mengatakan bagus-bagus), yang dapat tahan panas, apabila dijerangkan di atas api yang dibesarkan: dan dari dalamnya kulicinkan dengan pasir hingga rapi tampaknya. Kegembiraanku dapat menghasilkan dan memiliki sebuah periuk tanah yang tahan api tak dapat kukatakan dan aku hampir tak sabar menunggu sampai periuk itu cukup dingin sebelum diisi dengan air serta menaruhnya di atas api untuk memasak daging, yang ternyata hasilnya memuaskan. Dari sekerat daging kambing telah kubuat sup, meskipun sebenarnya sup itu harus memakai beberapa macam lagi bahan-bahan lain. Hasil karyaku yang baru lumpang batu, yang dapat kupergunakan untuk menumbuk gandum halus-halus. Dan karena menumbuk atau menggiling itu tidak akan dapat dilaksanakan hanya dengan tangan saja maka kubuat pula sebuah alu dari kayu besi. Aku mengalam i kesukaran akan membuat pengayakan, ini adalah benda yang tersukar di dunia, sebab daripada apa akan
kubuat? Kain tipis aku tak punya, ada kain-kainan buruk dan teras. Benar aku mempunyai sejumlah benang bulu kambing, tapi karena aku tak mempunyai perkakas tenun, benang itu tak berguna. Setelah lama kupikir-pikir, tiba-tiba teringatlah bahwa di bawah pakaian-pakaian kelasi yang dapat kuselamatkan dahulu dari kapal, masih terdapat kain-kain leher dari mos lim, dan dari beberapa helai kain-kainan itu, berhasillah akhirnya aku menyiapkan tiga buah pengayakan kecil-kecil, yang kemudian nyata dapat memenuhi kebutuhanku. Tapi kini, bagaimana hal membuat roti? Aku tak mempunyai ragi, tapi karena ragi itu bukan bahan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ terutama, akhirnya tidak kuhiraukan benar. Untuk membakarnya, inilah yang lebih penting. Akhirnya soal membakar ini pun terpikir juga. Aku membuat cambung-cambung besar dari tanah, yang lebar, dan yang dalamnya kira-kira sembilan dim. Kubuat seperti ketika aku membuat barang-barang lainnya,
yang tahan api. Ketika aku akan memulai memasak roti itu, kutaruh cambung itu di atas tungku yang kubuat dari beberapa batu persegi, lalu kunyala-kan api. Ketika kayu bakar sudah menjadi abu, kutaruh periuk di atasnya dan kubiarkan sampai panas. Kemudian setelah kuambil abunya dengan hati-hati, kutaruh adonan roti itu di atas batu tungku yang panas itu, segera kututup dengan periuk tadi, yang sebelumnya sudah kutaruhi abu panas sekelilingnya, hingga panasnya tetap dan merata. Dan demikianlah seterusnya aku memasak roti gandum dan segera saja aku telah menjadi seorang tukang roti, sebab yang kubuat bukan roti saja, juga pelbagai kue dan puding dari tepung beras. Hanya pastel yang tak dapat aku membuatnya. Tak usah kalian heran, kalau aku berkata bahwa semua pekerjaan yang kuceritakan di atas itu telah kulakukan sambil melalui tahun ketiga, dan perlu kiranya kutambahkan bahwa di antara saat-saat yang kulampaui itu ialah datangnya waktu menuai, yang kulakukan sambil menyelenggarakan pekerjaanpekerjaan rumah tangga. Tangkai-tangkai gandum kutaruh dalam keranjang besar, sampai aku mempunyai waktu untuk me luruhnya. Aku tak mempunyai lantai penebah dan karena itu aku tak dapat menebah bulir-bulir gandum itu supaya terlepas dari tangkainya. Dan karena banyaknya hasil yang makin meningkat, aku memerlukan tempat menyimpan yang lebih besar. Kini aku mempunyai duapuluh berkas jelai dan sama jumlahnya padi,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ hingga aku dapat menyisihkan gandum untuk makan seharihari ini sangat perlu, sebab rotiku sudah habis.
Segera kuketahui bahwa empatpuluh berkas jelai dan padi itu banyak lebihnya daripada yang kupergunakan selama setahun. Karena itu untuk selanjutnya aku bermaksud akan menyemai benih itu sekali saja dalam setahun yang sama banyaknya dengan jumlah yang kulebarkan kini.
14 Sambil mengerjakan ini semua, pikiran sering terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan: di mana sebenarnya aku berada, dan berapa jauh dari daratan luas dan dalam saat-saat demikian timbullah keinginan yang sangat untuk pergi menaiki perahu bertiang tiga yang dapat kupergunakan untuk mengurangi jarak yang beribu-ribu mil jauhnya sepanjang pantai Afrika. Tapi hanya keinginan saja tentu tak ada faedahnya. Tapi lambat laun timbullah pikiran mengapa aku tidak seperti penduduk asli, membuat perahu dari batang kayu besar yang dilubangi? Tak lama aku berpikir-pikir demikian, segeralah aku mulai bekerja dengan semangat yang berkobarkobar, hingga bagaimana caranya aku harus membuat perahu itu dan sebagainya, berminggu-minggu jadi pikiran, dan aku lupa mengingat bagaimana jalannya membawa perahu itu ke laut. Ternyata jadi pikiran yang tak kunjung padam, setelah aku mencari batang kayu yang besar dan dengan pertolongan segala perkakasku, setelah beberapa minggu, berhasil menjelmakan sebuah perahu yang kukehendaki, ternyata tak mungkin aku dapat menggerakkannya, apalagi menghelanya ke air. Aku sudah berhasil dengan segala kerajinanku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membuat sebuah perahu besar, tapi pekerjaanku sebenarnya sia-sia. Segala usaha untuk dapat membawanya turun ke air, gagal. Padahal jarak perahu itu dari air tidak akan lebih dari seratus ela. Sedangkan letaknya di atas bukit, di samping anak sungai. Tapi aku tidak putus asa. Sekarang aku mulai melakukan pekerjaan yang lebih tak berguna, yakni menggali terusan yang mesti mengalirkan air dari bukit langsung ke serokan. Tetapi waktu aku menghitung berapa dalam dan lebarnya terusan itu, ternyata aku sendiri memerlukan waktu 10 sampai 11 tahun untuk pekerjaan itu. Karena itu akhirnya kuhentikan saja pekerjaan itu. Dalam pada itu aku menginjak tahun kelima di pulauku. Dalam tempo empat tahun pakaianku sudah koyak-koyak. Tapi aku masih punya beberapa baju pelaut, tapi terlalu tebal untuk dipakai di sini. Karena aku tidak mau telanjang seperti orang-orang hutan dan juga tidak selalu dapat berkemeja, aku mengumpulkan segala pakaian-pakaian burukku dengan maksud menjahit baju-baju pendek dengan jarum dan benangku. Mulailah aku bekerja dan akhirnya berhasil membuat tiga baju pendek. Tetapi kata "menjahit" terlalu bagus, sebab pekerjaanku terlampau buruk. Dulu pernah kukatakan, bahwa aku biasa menyimpan kulit tiap binatang yang dapat kutembak. Ketika aku selesai membuat baju-baju pendek, aku mulai membikin pici dari kulit kambing, dengan bulunya terbalik ke luar, agar air hujan dapat lebih gampang menitik ke bawah. Pici itu demikian bagusnya kubuat, sehingga kemudian aku membuat lagi sebuah baju dan celana pendek dari kulit kambing. Setelah semua itu selesai, aku mulai membuat payung, yang akhirnya berhasil juga setelah mengalami banyak kesukaran. Barang itu sejak di Brasilia terasa amat perlu, apalagi di pulau ini yang
letaknya lebih dekat kepada katulistiwa. Lagi pula di musim hujan ia amat berguna sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sesungguhnya dalam tempo lima tahun itu, banyak hal-hal penting terjadi. Yang terpenting adalah pekerjaanku: tiap tahun menanam padi dan jelai, menjemur buah anggur; tiap hari pergi dengan bedilku; dan sebagainya. Apa yang akhirnya berhasil ialah membuat sebuah perahu. Aku menggali terusan kecil yang lebarnya enam kaki dan dalamnya empat kaki. Dengan demikian aku bisa berlayar kira-kira setengah mil di serokan itu. Ketika perahu kecilku selesai, ia tidak
memenuhi tujuanku, yaitu mengarungi laut untuk mencoba mencapai benua. Karena pikiran semacam itu mustahil dapat dilaksanakan, aku mengambil keputusan menempuh perjalanan-perjalanan pendek saja dengan perahuku, misalnya, berlayar mengelilingi pulauku. Aku belum juga mengitari pulauku. Kupasang sebuah tiang kecil dalam perahu, dan dari bekasbekas layar kapalku dulu, kubuat sebuah layar kecil yang kupasang pada tiang. Perahu itu sudah diberi berlayar, lajunya baik benar. Seterusnya di kiri kanan sisi perahuku kupasang peti-peti kecil, tempat menyimpan makanan, mesiu, dan sebagainya. Di tepi perahuku kubuat sebuah parit untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menaruh bedilku, dengan klep di atasnya supaya jangan kena air. Selanjutnya kupasang payungku pada buritan perahuku, sehingga berdiri tegak sebagai tiang di atas kepalaku dan dengan demikian dapat melindungiku dari sinar matahari terik. Dengan begitu sewaktu-waktu aku melaksanakan pelayaran yang pendek-pendek. Tapi aku tak pernah berlayar jauh-jauh, tidak pernah lebih jauh dari serokan.
Tetapi ketika aku makin percaya kepada perahu kecilku, aku memutuskan merencanakan pelayaran yang lebih jauh. Oleh karena itu,kubawa beberapa lusin kue jelai, sebuah botol kecil rum, sepotong daging kambing, dan sedikit mesiu dan peluru beserta dua jas hujan. Pada tanggal 6 November aku mulai dengan pelayaranku, yang ternyata lebih lama daripada yang kumaksudkan. Ketika tiba di sebelah timur pulau, kuketemukan sekelompok pulau, kuketemukan sekelompok besar pulau-pulau karang, yang meluas sampai dua mil jauhnya ke laut. Sebagian terletak di bawah air dan sebagian lagi di atas. Di belakang pulau-pulau karang itu terletak sebuah gosong yang panjangnya kira-kira setengah mil, aku harus jauh berlayar ke tengah, bila aku ingin mengitari pulaupulau dan gosong tersebut. Ketika aku mula-mula sekali mengetahuinya, timbul pikiran akan membatalkan saja pekerjaan ini lalu pulang. Tapi untuk kembali pun sukar, kuturunkan saja jangkar, jangkar buatanku sendiri, yang kubuat dari jangkar kapal yang tenggelam dahulu, yang sebenarnya sudah patah. Setelah perahuku dalam keadaan aman, lalu aku mengambil bedilku dan naik ke darat menuju sebuah bukit kecil. Dari atas bukit dapat kuketahui dengan segera bahwa ada arus air yang deras sekali bergelora di sepanjang tepi menuju ke arah timur. Hal ini harus benar-benar kuperhatikan, karena aku mengerti, kalau aku menuju ke sana membawa perahuku, ini berarti aku menyongsong bencana, yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ disebabkan oleh dorongan arus yang keras ke tengah laut, hingga aku takkan dapat lagi mencapai tepi pantai. Dan sesunguhnya kalau aku tak berhati-hati mendaki bukit dahulu
untuk menyiasat, bencana yang menimpa diriku mungkin kini sudah terjadi. Di tepi sebelah sana pulau pun terdapat arus yang serupa, malah lebih mengarah ke laut, sedangkan pusaran air yang terdapat di sana sini sepanjang pantai, jangan pula kita anggap enteng. Dua hari lamanya aku berlabuh di sini, karena angin terusterusan bertiup dari arah timur tenggara. Dan karena angin ini berlawanan dengan arah arus mengalir, lalu timbul pecahanpecahan ombak yang hebat-hebat di sepanjang pantai. Baru pada pagi hari yang ketiga, aku mencoba lagi berlayar. Pada malam harinya angin mulai reda dan air laut pun sudah mulai tenang. Hal ini dapat kiranya kupakai contoh untuk memberi pelajaran kepada semua pelaut, yang terlalu berani tapi sembrono, sebab segera setelah aku sampai di tempat yang berbahaya, aku mengetahui bahwa aku kini berada dalam ulakan air kincir. Aku terseret dengan kerasnya oleh ulakan itu, hingga aku tak dapat berbuat apa-apa, selain daripada bertahan diri, jangan sampai tergulung sama sekali oleh arus yang deras mengerikan itu. Dan berhasil, aku makin lama makin jauh terhindar dari pusaran air, yang di sebelah kiriku. T api tidak ada angin yang menolongku dan mendayung dengan kayu pendayung yang selalu kupegang, hanya sia-sia saja. Akhirnya, aku menganggap bahwa diriku kini tak akan dapat tertolong lagi, sebab pada kedua belah pantai pulau itu ada arus yang sama kuatnya dan aku tahu bahwa kedua arus itu akan berpadu menjadi satu pada jarak beberapa mil lagi. Aku tak mempunyai harapan lagi akan selamat, aku akan ditelan oleh ombak kelaparan. Oleh bencana badai, aku tak khawatir lagi, laut sudah tenang benar. Tentang kelaparan sebenarnya aku masih mempunyai seekor ikan penolaknya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang kutangkap tadi di tepi pantai, dan air tawar masih ada seperiuk, tapi semua ini tak ada artinya untuk mencegah jangan sampai mati kelaparan, kalau umpamanya perahuku terus terkatung-katung memasuki samudra raya, yang sekurang-kurangnya harus menempuh seribu mil lagi, untuk dapat bertemu dengan daratan. Aku tak dapat melukiskan dengan kata-kata bagaimana cemasku, ketika aku mengetahui bahwa perahuku makin lama makin jauh dari pulauku yang sangat kucintai itu (demikian perasaanku kini terhadap pulauku), lalu masuk ke lautan luas, yang seolah-olah tidak terbatas. Sudah dua mil kira-kira kini jauhnya dari darat. Tapi aku terus berdaya upaya, dengan sekuat tenaga supaya perahuku dapat kuarahkan ke timur, meskipun pekerjaan ini sangat sukar. Menjelang petang terasa hembusan angin kecil dari arah tenggara, mengusap-usap mukaku. Ini mengembalikan harapan yang hampir hilang dan ketika—setelah kira-kira setengah jam—angin makin terasa berembus, harapanku akan tertolong dari bencana yang mengancam makin besar pula. Tapi lambat laun jarak perahuku dari darat makin jauh, sedangkan udara terasa berat, rupanya angin yang baru datang ini pun tak akan menolong, pikirku. Untung cuaca terang, kucoba kini memasang tiang, layar mulai terbeber. Sedapat mungkin perahuku kutujukan ke arah utara, dengan demikian, mudah-mudahan aku terhindar dari tarikan arus. Justru, baru saja akan memasang layar dan perahuku sudah mulai bergerak maju, aku melihat oleh jernihnya air, yang arusnya masih deras, airnya pun tampak keruh. Jadi, ketika aku melihat air sudah jernih, aku mengerti bahwa arus
yang keras itu sudah mulai berkurang. Dalam pada itu arus yang lain membawa perahuku pada jarak kira-kira satu mil, tepat menuju ke darat, kira-kira begitulah dua mil jauhnya arah utara dari arus yang pertama,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ hingga ketika aku telah mendarat kuketahui bahwa aku berada di pantai pulau bagian utara (artinya arah utara dari tempat, di mana aku mulai turun ke laut). Ketika aku sudah di darat, pekerjaan yang kulakukan mulamula, berlutut dengan khidmat dan mengucapkan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa, bahwa aku telah terlepas dari bahaya. Lalu kutambatkan perahuku di tepi, di teluk kecil, di bawah lindungan beberapa batang pohon, dan aku pun berbaringlah tidur-tiduran, melepaskan lelah. Kini timbul pertanyaan pada pikiranku, bagaimana jalannya supaya aku dengan perahuku dapat pulang ke rumah dengan selamat. Pengalamanku yang baru, mencemaskan untuk kembali dengan berlayar. Dan pula aku tak tahu nasib apa pula yang mungkin menimpa diriku di sebelah sana pulau (aku mengira sebelah barat). Keesokan harinya aku menetapkan untuk berjalan kaki saja menuju ke arah barat, sepanjang pantai, sambil melihat-lihat adakah anak sungai, tempat aku dapat membawa perahuku dengan selamat. Setelah berjalan kira-kira tiga mil sepanjang pantai, aku sampai pada sebuah teluk kecil, yang satu mil ke darat menyempit menjadi sungai kecil. Di sungai itulah kutemukan tempat berlabuh yang amat baik. Aku memudik dan sesudah menambatkan perahuku, aku naik lagi ke darat untuk mengetahui di mana aku berada. Kulihat, bahwa jalan laut yang kutempuh tidak begitu
panjang. Kuambil bedil dan payungku dari perahu, hari bukan main panasnya dan aku pun kembali. Jalannya bagus, dan aku sampai ke kemah musim panasku waktu petang. Tiada ubahnya seperti kutinggalkan dulu. Dengan menaiki tangga aku memanjati pagarku. Kemudian dalam teduh pagar aku berbaring, sebab merasa letih benar. Aku tertidur nyenyak. Tapi siapakah yang bisa melukiskan heranku, ketika aku mendengar berkali-kali namaku dipanggil
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang, "Robin, Robin, Robin Crusoe! Di mana kau? Dari mana kau?" Karena aku setengah bangun dan setengah tidur, mulamulanya aku mengira bermimpi. Tetapi ketika suara itu terusmenerus memanggil Robin Crusoe! Robin Crosoe! Aku sangat terkejut dan melihat-lihat sekitarku dengan mata yang liar. Tetapi ketika aku sekali lagi mengusap-usap mataku, kulihat si Poli duduk di atas pagar. Barulah aku mengerti, bahwa dialah yang memanggil-manggil. Aku merasa jemu berlayar di laut, tapi toh aku akan merasa senang sekali, bila perahuku ada dekatku. Bagaimanakah membawanya kemari? Melalui sebelah timur pulau, tentu harus menempuh laut. Aku takut. Sebelah barat pulau keadaannya tak kuketahui sama sekali. Andaikata arus laut di sana sama kuatnya dengan di sebelah timur, aku menghadapi bahaya yang sama besarnya. Aku terpaksa harus menerima nasibku. Lama benar aku hidup dengan tenang dan tenteram, dan selama itu aku menjadi pandai sekali membuat bermacammacam barang. Kurasa bila aku kelak terpaksa menjadi tukang, maka aku tidak usah malu-malu, apa lagi bila diingat,
bahwa aku harus bekerja dengan alat-alat yang sangat kurang sekali. Aku beroleh kecekatan luar biasa dalam membuat barangbarang dari tanah, yang kubuat bundar dan jorong dengan sebuah roda penggerak, bentuknya lebih bagus daripada dulu. Tapi yang paling menyenangkan ialah ketika aku akhirnya berhasil membuat pipa tembakau. Meskipun kotor dan terbakar merah, aku sangat puas, karena di pulauku tumbuh tanaman tembakau. Juga dalam membuat keranjangkeranjang, aku menjadi tangkas benar, meskipun tidak bagus, praktis sekah dipakainya. Bila aku, misalnya, menembak seekor kambing, kukuliti dia, kukerat-kerat dagingnya, kemudian kubawa pulang dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bakulku. Begitu pula kura-kura; kukerat dagingnya dan kubawa serta telurnya ke rumah. Lama kelamaan mesiu dan peluruku menjadi berkurang, hal ini sangat mencemaskan. Tak mungkin aku dapat menggantinya. Mulailah aku bepikir, apa yang mesti kukerjakan, bila mesiuku habis sama sekali. Bagaimana caranya aku menembak kambing nanti. Seperti sudah kukatakan, pada tahun ketiga di pulau itu aku telah menangkap seekor kambing kecil, yang kubuat jinak. Aku selalu mencoba menangkap kambing jantannya, tapi tak pernah berhasil, dan kambing kecilku kini sudah menjadi tua. Aku tak sampai hati menyembelihnya, karena itu ia mati karena tuanya.
15
Sudah sebelas tahun aku berdiam di pulau ini, mesiuku sudah mulai habis. Karena itu aku berpikir bagaimana caranya menangkap beberapa ekor kambing. Aku ingin benar menangkap kambing betina dengan anaknya. Aku mencoba memasang jerat dan meskipun sering ada yang kena, tapi nyatanya tak berhasil; rupanya jeratnya tidak cukup kuat, ini dibuktikan oleh banyaknya tali-tali yang putus di tengah-tengah, sedangkan umpannya sudah hilang tidak keruan. Jadi aku mencari akal lain dan kini akan kucoba dengan menggunakan pelubang. Mulailah aku bekerja, kubuat pelubang di beberapa tempat (terutama di tengah-tengah yang sering didatangi kambing-kambing itu). Setelah selesai, pelubang-pelubang itu kututup bagian atasnya dengan ranting-ranting kayu dan rumput-rumputan, kemudian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kuserak-serakkan di atas ranting-ranting dan rumputrumputan itu batang-batang jelai. Dan ketika aku pada suatu pagi pergi melihat, terdapatlah dalam salah satu pelubang itu seekor kambing jantan yang besar sekali dan di pelubang yang lain lagi; tiga ekor anak kambing yang masih kecil-kecil, seekor jantan dan dua ekor betina. Kambing yang besar, aku tak tahu bagaimana cara menangkapnya, kambing itu tampaknya sangat galak dan liar, aku tak berani turun untuk mengambilnya seperti yang kumaksudkan semula. Sebenarnya dapat kubunuh saja, tapi untuk apa? Jadi kubiarkan saja kambing itu dan diam-diam aku pergi ke tempat anak-anak kambing. Setelah aku mengambilnya satu persatu, kuikat ketiganya dan kubawa
pulang, meskipun pekerjaan membawa ini tidak boleh disebut mudah. Baru setelah beberapa waktu aku dapat membiarkan anak-anak kambing itu makan dari tanganku sendiri; dan ketika aku memberi kambing-kambing itu gandum yang enak, kambing-kambing itu mulai memakannya dengan lahap dan demikianlah kambing-kambing itu menjadi jinak. Kambing-kambingku yang sudah jinak ini harus kujaga jangan sampai bergaul lagi dengan kambing-kambing yang liar, sebab pasti akan menjadi liar pula apabila sudah besar kelak. Satu-satunya jalan untuk mencegah ini: menyiapkan sepetak tanah, yang dipagari dengan pagar yang kukuh, yang tak dapat dimasuki kambing, dari luar maupun dan dalam. Ini adalah satu pekerjaan berat, apalagi kalau hanya dikerjakan oleh hanya seorang saja. Tapi ini adalah sangat perlu, dan aku pun segera pergi mencari tempat terbuka, yang terletak dekat air dan padang rumput, yang agak terlindung dari s inar matahari. Semua ini kudapati di tengah padang rumput atau savanna (seperti disebut oleh orang Brasilia), yang di dalamnya mengalir dua buah serokan yang jernih airnya dan juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ditumbuhi banyak pohon-pohonan, hingga terlindung dan teduhlah tempat itu dari terik matahari. Mula-mula aku akan membuat saja dahulu pagar yang panjangnya seratus lima puluh dan lebarnya seratus ela. Kalau ternakku nanti bertambah, aku masih dapat menambahnya pula kelak. Tiga bulan sudah, lamanya aku bekerja. Dan selama bekerja ini kubiarkan ketiga kambingku makan rumput di dekat tempatku bekerja, supaya biasa. Seringkali pula aku membawa sekepal batang-batang padi atau jelai kepadanya dan membiarkan
kambing-kambing itu makan dari tanganku; hingga, ketika pagarku selesai, dan kubiarkan mereka di dalamnya, sering mereka mengejar-ngejarku, untuk minta segenggam bulir-bulir gandum. Setelah kira-kira setengah tahun, rombongan ternakku sudah meningkat berjumlah dua belas ekor (besar kecil). Dan setelah dua tahun aku mempunyai empat puluh tiga ekor (yang sudah kusembelih tidak termasuk). Di samping itu aku sudah terpaksa menyediakan lima petak tanah, yang kupersambung-sambungkan dengan pagar, hingga kambingkambing itu tidak perlu kugiring untuk dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Semua jerih payah ini tidak sia-sia, kalau dibanding dengan keuntungannya, yang kuperoleh. Bukan saja aku kini sudah tak kekurangan daging kambing, apabila saja mau, tapi aku mendapat pula susu, suatu hal, yang pada mulanya tidak terlintas dalam pikiranku. Dan aku kini mempunyai peternakan yang tidak boleh dikatakan kecil, sebab tidak jarang aku mendapat dua gallon susu pada tiap-tiap harinya. Mungkin seorang pengikut Zeno akan tertawa kalau.melihat aku sedang makan siang dengan sekalian keluargaku. Sebab aku duduk seperti raja dekat meja, sedangkan anak buahku, gagah berdiri di sekelilingku. Hanya si Poli, kekasihku utamaku, yang kuperolehkan berbicara denganku. Anjingku, yang kini sudah tua dan sakit-sakit dan yang sayangnya tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mempunyai keturunan, duduk selalu di samping sebelah kananku. Dan kedua kucingku yang keduanya selalu bertengkar di pinggir meja, menunggu dengan sabar, sampai aku memberi dia makan.
Sering timbul keinginan padaku untuk pergi lagi ke bagian pulau yang pernah kukunjungi dengan perahuku tempo hari. Dan ketika keinginan ini timbul lagi pada suatu hari, aku menetapkan untuk pergi lagi dengan berjalan kaki saja jalan darat. Dan setelah beberapa lama aku berjalan menyusur pantai, sampailah aku ke tempat yang kutuju. Kalau seandainya di Inggris, ada yang bertemu dengan orang seperti aku ini, ia akan terkejut atau tertawa terbahak-bahak. Dan apabila aku sewaktu-waktu menilik diriku sendiri, aku pun hampir tak dapat menahan senyum, sambil berpikir, kehidupan macam apa yang telah kualam i, kalau aku berjalanjalan di sepanjang jalan Yorkshire dengan berpakaian seperti itu dan membawa bawaan semacam yang memenuhi tubuhku itu. Lihat ini garis-garis dan sketsa pribadiku. Kepalaku dihiasi semacam tutup kepala yang tak tentu bentuknya, yang di belakangnya berlidah untuk menahan sinar matahari dan air hujan. Aku berkemeja yang dibuat dari kulit kambing yang puncapuncanya sampai pinggangku dan celana yang dibuat dari bahan yang sama pula. Celana ini dibuat dari kulit kambing jantan tua yang kakinya panjang sekali hingga pipa-pipanya sampai tengah-tengah betisku. Kaus kaki dan sepatu aku tidak punya, sebagai gantinya aku membuat semacam lares, yang kupakai seperti kaus kaki. Seperti pakaian-pakaian lainnya lares ini pun potongannya sederhana sekali. Dari kulit kambing kering kubuat ikat pingang lebar yang diikat dengan dua jalur kulit tipis. Pada ikat pinggang itu kuselipkan sebuah gergaji kecil dan kampak. Sebuah ikat pinggang lainnya yang lebih kecil bergantung pada pundakku dan padanya kugantungkan pula dua kantong mesiu dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ peluru. Pada punggunggku kubawa sebuah keranjang, pada bahuku kusandangkan bedil, dan di atas kepalaku kupegang sebuah payung besar tak tentu bentuknya, yang juga dibuat dari kulit kambing, yang di samping bedilku merupakan barang paling berguna bagiku. Mengenai air mukaku, tidak begitu berwarna sawo matang, meskipun aku bertahun-tahun lamanya tinggal di daerah yang jauhnya cuma sepuluh derajat dari khatulistiwa. Beberapa lamanya kubiarkan janggutku tumbuh, tetapi ketika aku mendapat gunting dan pisau cukur, kugunting dia pendekpendek. Tapi kumisku kubiarkan, hingga ia menyerupai kumis orang-orang Turki di Sallee. Tetapi cukuplah tentang pakaian dan mukaku! Beberapa lamanya aku berjalan-jalan sepanjang pantai, akhirnya aku sampai pada tempat berlabuh perahuku. Aku amat tercengang ketika kulihat laut di sana tenang dan tak berombak. Mula-mulanya aku tidak mengerti, tetapi kemudian aku melihat bahwa arusnya tergantung dari arah angin dan arus sebuah sungai besar di dekatnya. Meskipun ingin benar, aku tidak berani membawa perahuku melalui laut, aku mengambil keputusan membuat perahu kedua yang dapat kupakai di bagian pantai ini. Sekarang aku mempunyai dua tempat tinggal di pulau ini. Yang satu berupa kemah dan yang lain rumah batu, yang dikelilingi oleh pagar kayu teguh dan pohon-pohon yang tumbuhnya tinggi. Selain itu aku mempunyai ladang gandum yang tiap tahun menghasilkan panen yang cukup banyak. Tempat tinggal yang lainnya letaknya lebih jauh ke pedalaman. Rumah musim panasku juga dikitari oleh pagar yang sudah berupa pohon-pohon yang tumbuh rapat, sehingga memberi teduh dan nyaman sekali. Di tengah-
tengahnya berdirilah kemahku (sebuah kain layar yang direntangkan pada beberapa buah tiang) dengan tempat tidurku, yang kubuat dari kulit-kulit binatang, yang kutembak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Rumahku itu berbatasan dengan kelima ladang rumputku, tempat merumput kambing-kambing, yang dikitari juga oleh pagar yang kukuh seperti kedua kemahku. Di situ tumbuh pohon-pohon anggurku yang tiap tahun menghasilkan kism is yang amat sedap. Bukan saja sedap, melainkan menyehatkan dan menyegarkan badan pula. Karena tempat tinggalku di musim panas itu terletak di pertengahan jalan antara rumah di pantai dan tempat menyimpan perahuku, maka sering benar aku mengunjungi perahuku. Kadang-kadang sebagai pengisi waktu aku berlayarlayar di laut, tapi aku masih takut benar untuk berlayar ke tengah, paling jauh juga sepelontar batu saja. Tetapi,sekarang muncullah perobahan dalam hidupku.
16 Pada suatu petang ketika aku pergi ke perahuku, di pantai kulihat jejak manusia jelas sekali. Pada saat-saat itu aku disambar petir layaknya, tapi kemudian berangsur-angsur tenang kembali. Aku memasang mata dan telingaku untuk dapat mendengar atau melihat sesuatu apa pun. Ketika aku sampai di bentengku kembali (demikianlah kusebut perkemahanku kini) setelah pulang dari bepergian, rasanya seperti remuklah tubuhku. Dan takkan ada seekor terwelu atau seekor rubah sekalipun yang akan lebih merasa ketakutan di tempat pembaringannya, daripada aku di
belakang dinding bentengku. Khayalku menakut-nakuti dengan hal-hal yang sangat mengerikan. Mula-mula aku mengira bahwa aku dikejar-kejar beberapa ratus orang liar. Dan aku melihat suatu saat mendatang pada saat mana mereka memakanku dan sebagainya. Tiga hari tiga malam aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menutup diri dalam kemahku, menjadi mangsa kecemasan hati yang sungguh-sungguh tak terkatakan, tapi akhirnya, karena didera oleh rasa lapar (sebab aku tak mempunyai apaapa selain sedikit kue yang kubuat dari tepung jelai dan sedikit air), terpaksa juga aku ke luar rumah. Lalu teringat olehku, aku belum memerah kambingku, segeralah aku pergi mendapatkannya. Ini ternyata sangat perlu, sebab binatangbinatang itu hampir saja sakit, karena sekian lama tidak diperah. Sangat menyesal aku kini, bahwa dahulu telah kubuat pintu di bagian belakang ruangan dalam tanah itu, yang seperti pernah dahulu kukatakan menuju ke sebelah luar pagar. Setelah aku berpikir-pikir agak lama, aku bermaksud akan membuat pagar yang kedua, di sana, di tempatku dahulu (mungkin lupa aku mengatakannya ketika itu), kira-kira dua belas tahun lewat, aku pernah menanam pohon-pohon dijadikan dua baris. Karena pohon-pohon ini berdekatan benar tumbuhnya dan dalam dua belas tahun menjadi besar dan tinggi, aku tak perlu memasang lagi tiang-tiang di antaranya hingga pekerjaan membuat dinding pun segera selesailah. Aku telah mempunyai dua dinding kukuh dan seperti yang pertama, kurapatkan dinding yang ke dua ini pun dengan kepingan-kepingan kayu, beberapa utas tali dan sebagainya. Kubuat pula tujuh buah lubang yang besarnya kira-kira
sebesar pergelangan tangan. Melalui tiap-tiap lubang ini kumasukkan bedi!, sambil kuatur demikian rupa hingga aku dapat meletuskan serentak ketujuh bedilku dalam waktu kurang dari dua menit. Ketika segalanya selesai, kutanamkan pohon-pohon muda antara kedua pagar itu, yang setelah lewat waktu dua tahun sudah merupakan hutan dan setelah lima tahun, tidak akan ada seorang manusia pun yang akan mengira bahwa di belakang hutan itu kelak terdapat sebuah rumah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Aku pun tak lupa mengerjakan yang lain, kewajibanku pula. Lntuk keselamatan kambing-kambingku aku harus pula berjaga-jaga. Dari padanya bergantung hidupku di kemudian hari, kalau mesiu dan peluru bedilku telah habis. Aku hanya dapat memikirkan dua jalan saja, untuk dapat menjamin hidup mereka. Pertama: membuat lubang dalam tanah, yang kelak dapat dipakai tempat diam kambing-kambing itu pada malam hari, atau kalau akan datang bencana. Cara yang kedua: memagar beberapa bidang tanah, dua atau tiga tempat, yang letak satu dan lainnya berjauhan. Di tiap-tiap bidang, kutempatkan setengah lusin kambing yang masih muda-muda, hingga andaikata satu rombongan dari ke tiga rombongan itu musnah, aku akan dapat membentuknya lagi rombongan lain. Maka pergilah aku setelah ada waktu terluang, menuju tempat-tempat yang agak jauh letaknya di pulau itu, untuk melihat-lihat. Tak lama kemudian dapatlah aku sebuah padang rumput, yang keadaannya cocok dengan yang kukehendaki. Ialah sebidang tanah persegi letaknya di tengah hutan yang lebat sebelah timur dari pulau.
17 Aku mulai bekerja dan tak sampai sebulan aku telah mempunyai bidang tanah yang dikelilingi pagar yang kukuh kuat, yang bagi rombongan kambing pun tak usah lagi khawatir akan mendapat gangguan. Sepuluh ekor kambing betina dan dua ekor yang jantan, kutempatkan di situ. Setelah aku menempatkan kedua belas kambingku di tempat yang berpagar itu, aku pun meneruskan mencari lagi bidang tanah yang seperti itu, aku berjalan ke arah barat, hingga akhirnya aku sampai di tepi pantai, suatu tempat yang belum pernah kukunjungi selama ini. Dan ketika aku tenangtenang melayangkan pandanganku jauh ke tengah laut lepas,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ aku mengira bahwa aku ada me lihat sebuah kapal, sangat jauh dari tempatku berdiri. Benar seperti pernah kukatakan dulu, aku mempunyai teropong, tapi ketika itu tidak kubawa. Dan meskipun aku membelalakkan mataku besar-besar, tak dapat memastikan betul atau tidaknya penglihatanku itu. Lalu aku berjanji tidak akan meninggalkan teropongku lagi apabila aku bepergian. Ketika aku lebih mendekat lagi ke pantai aku mendapat keyakinan, bahwa telapak manusia yang kutemui di pantai pulau itu, belum termasuk hal yang betul-betul ajaib. Dan ini pun mungkin disebabkan aku belum pernah melihatnya selama tiga tahun, sebab selama aku berada di pulau itu hanya di sebelah bagian saja. Selama tiga tahun itu tak pernah mengetahui apa-apa, yang menyatakan ada orangorang yang suka datang ke pulauku. Sebab seperti telah kukatakan tadi ketika aku lebih mendekat ke pantai aku melihat waktu itu seluruh pantai penuh dengan tengkorak-
tengkorak, tulang-tulang tangan, kaki dan bagian-bagian tubuh manusia. Juga aku menjumpai tempat bekas api dan lubang besar yang bulat bentuknya (begitulah seluas tempat orang liar duduk berkeliling, di tengah-tengah pesta liar, sambil makan-makan daging musuh yang sudah menjadi mangsanya). Ketika aku melihat hal-hal yang menyeramkan itu, aku merasa demikian muaknya, hingga segera aku berbalik dan lari cepat-cepat. Kali ini aku menghentikan usaha-usaha penemuan-penemuan selanjutnya dan langsung pulang saja. Sampai di rumah aku merasa agak lebih tenang, sebab sekarang aku mengerti, bahwa makhluk-makhluk tadi tidak datang ke pulau ini untuk mencari atau menemukan sesuatu, melainkan hanya untuk memakan musuh-musuhnya yang mereka tawan sehabis perkelahian-perkelahian di laut, sambil mengadakan pesta-pesta pora yang biadab.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tapi keyakinanku, bahwa aku tidak akan ditemukan orang berangsur-angsur menghilangkan kegelisahan yang telah lama mencekam. Aku hidup kembali dengan tenteram seperti dulu. Terutama bila meletuskan bedilku, agar suaranya tidak terlalu nyaring, lagi pula aku jarang benar memasang bedil. Makin lama makin jelaslah, bahwa pikiran untuk memelihara kambing-kambing jinak itu baik sekali. Bukan saja binatang-binatang itu menghasilkan daging, susu, mentega dan keju, tetapi sekarang aku tidak usah menembaknya lagi, sehingga ada kalanya dua tahun lamanya aku tidak melepaskan satu tembakan pun. Tetapi aku selalu membawa bedil dan satu atau dua pucuk pistol bila aku bepergian, aku bersenjata lengkap.
Dengan hilangnya rasa takut, aku mendapat pikiran-pikiran, yang untuk sebagian besar berhubungan dengan pertanyaan, bagaimana caranya aku mempertahankan diri bila terpaksa menghadapi orang-orang liar. Suatu waktu aku bermaksud menanam enam pon mesiu dalam tanah di bawah tempat menyalakan api, yang dapat meletus bila api itu menyala. Tapi aku tidak ingin menghambur-hamburkan mesiu, karena persediaanku tinggal sekantong lagi, dan aku tidak yakin bahwa enam pon mesiu itu akan menakutkan mereka, sehingga mereka tidak akan datang lagi untuk selamalamanya. Maksud itu kuurungkan. Sebagai gantinya aku berniat bersembunyi dalam salah satu semak, dengan tiga pucuk bedil yang diisi dua kali lipat, yang akan kupasang bila aku yakin dapat mengenai dua atau tiga orang dengan satu tembakan saja. Dan dengan bersenjatakan tiga pistol dan pedang terhunus, aku akan menyerbu mereka, dan bila mereka terdiri dari dua puluh orang, aku akan membunuh mereka semua. Pikiran ini demikian mempengaruhi jiwaku, sehingga berminggu-minggu lamanya aku bermimpi tiap malam bertempur dengan mereka. Bahkan aku beberapa hari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ lamanya mencari tempat yang paling baik untuk dapat bersembunyi dan mengintai mereka. Tapi lama-kelamaan perasaan-perasaan benci dan nafsu untuk membunuh itu menjadi ber-kurang, apalagi ketika aku teringat betapa kejamnya orang-orang Spanyol yang beragama Kristen itu bertindak terhadap musuh-musuhnya, yakni penduduk asli Amerika. Bila orang-orang Kristen sendiri melakukan kekejaman-kekejaman yang tidak mengenal peri kemanusiaan,
dapatkah diharapkan bahwa orang-orang kafir akan kurang ke. amnya? Untuk menyempurnakan persiapan-persiapanku, aku membawa perahu ke bagian lain pulauku. T adinya ia berada di bagian pulau yang berbahaya, meskipun tersembunyi dengan aman, yaitu, seperti dulu kukatakan di bawah pohon-pohon yang condong di atas air. Kutam-batkan perahu itu di bawah ujung karang, aku dapat menduga, bahwa orang-orang liar tidak akan dapat menemukannya, mereka tidak akan dapat datang ke bagian pulau ini, karena ada arus-arus yang berbahaya.
18 Pembaca tentu tidak akan merasa heran, bila rasa takut akan bahaya-bahaya yang mengancam terus-menerus dan persiapan-persiapan yang kuambil, sama sekali telah menghentikan perjalanan-perjalanan untuk menjelajahi pulau. Aku harus lebih memikirkan agar kehadiranku tidak diketahui orang daripada memikirkan keperluan-keperluan hidupku. Aku tidak lagi memasang paku bila tidak sangat perlu, karena aku takut kalau-kalau bunyi pukulannya akan terdengar orang. Apalagi untuk me lepaskan tembakan, dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bila tidak perlu benar, aku tidak menyalakan api, karena asapnya yang pada siang hari tampak jelas dari kejauhan, gampang menunjukkan tempat kediamanku. Oleh karena itu,
aku tidak lagi membakar periuk-periuk, pipah-pipah, dan sebagainya seperti sediakala. Pada suatu hari, ketika aku berjalanjalan di hutan, sampailah aku ke muka jalan masuk sebuah gua, yang letaknya di dalam bukit karang. Tertarik oleh hasrat ingin mengetahui, aku masuk ke dalam gua itu, dan dapat kuketahui kini bahwa gua itu cukup luas. Sedikitnya aku dapat berdiri dengan tegak dan kiranya cukup juga untuk berdiri orang yang kedua. Tapi aku cepat-cepat keluar lagi dan tak jadi masuk ke dalamnya, ketika aku tiba-tiba melihat di dalamnya yang sangat gelap itu, sepasang
mata besar, bersinar-sinar (apakah itu mata setan atau mata manusia aku belum dapat memastikan), seperti gemerlapannya sinar bintang di langit hitam (cahaya remangremang yang masuk dari mulut gua memantul, dan demikian menyebabkan gemerlapan itu). Tapi setelah beberapa saat, aku pun sudah kembali kepada keadaan biasa, sambil aku mengutuki diriku sendiri, seseorang yang tak berharga secepeng pun, untuk menjadi penghuni
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pulau seorang diri dalam dua puluh tahun. Jadi, setelah kukumpulkan lagi keberanianku dan setelah aku menyalakan obor, aku masuk lagi ke dalam gua itu, sambil mengacungkan kayu yang sedang menyala itu tinggi-tinggi. Tapi belum ada tiga langkah aku melangkah kaki, kembali aku sangat terkejut, karena aku mendengar dengan jelas dan tak jauh dari tempatku berdiri suatu dengusan keras seperti orang sedang menarik napas panjang, diikuti oleh gerutu kata-kata yang tak keruan, dan kemudian disambung lagi oleh tarikan napas seperti semula. Untuk ke dua kalinya aku melompat ke luar. Dan kejutku kini betul-betul bukan main,
hingga mengeluarkan keringat dingin dan serasa berdirilah bulu seluruh tubuhku. Tapi sekali lagi aku memaksa keberanian semangatku, untuk ke tiga kalinya aku melangkah kakiku maju ke muka, dan oborku kuacungkan di atas kepalaku, akhirnya aku mengetahui dengan kilatan cahaya, kiranya seekor kambing bandot yang sangat besar, terbaring merentangrentang di atas tanah, sedang bergulat mempertahankan nyawanya. Melihat ini terkejutku segera meredalah, kini aku dengan bebas dan leluasa dapat melayangkan pandangan ke sekitar gua itu; gua itu tidak begitu luas seperti sangka semula, kirakira dua belas kaki kelilingnya, bentuknya, ya apa yang akan kukatakan, persegi tidak bulat pun tidak. Yang dapat dipastikan: tidak pernah ada manusia datang ke sana, ini betul buatan alam dan alam pulalah yang menyelenggarakan pemeliharaannya. Selanjutnya aku melihat pada sebelah dalamnya lagi tempat itu menyempit, merupakan sebuah gang, yang terus masuk ke bagian bawah bukit karang. Gang itu sangat kecil dan sempit, aku hampir tak dapat memasukinya sekalipun merangkak, dan dengan demikian aku tak dapat memastikan benar ke mana tujuan selanjutnya. Karena tak mempunyai lilin dan oborku sudah hampir padam, aku berniat akan membiarkan saja dahulu, dan akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ datang lagi saja pada hari berikutnya sambil membawa lilin beserta kotak kaul dengan pemantik apinya sekali. Ini kulaksanakan juga. Hari esoknya aku pergi lagi, membawa enam buah lilin buatan sendiri (sebab aku membuat juga lilin yang sangat berguna itu daripada lemak
kambing), ke tempat kemarin. Kumasuki liang kecil itu dengan merangkak sejauh kira-kira sebelas meter dan sampailah aku ke suatu tempat, yang tinggi lengkungnya kira-kira dua puluh kaki. Tak pernah aku melihat di pulau ini sesuatu yang demikian indahnya, sebab ke mana saja aku memandang, tampaklah cahaya dan segala jurusan dipantulkan oleh dinding di sekitar gua itu, yang disebabkan oleh penyinaran kembali dari kedua lilin yang kubawa. Demikianlah kiraku seratus kali terangnya. Apakah ini sebenarnya — apakah ini intan atau bijih emas — aku tak tahu. Dan tempat yang kuinjak ini, keadaannya baik benar, meskipun gelap, lantainya kering dan licin ditaburi oleh selapis tipis kerikil dan dengan demikian tidak terdapat dalamnya binatang-binatang yang berbau busuk memuakkan atau tak mengenakkan penciuman, juga udara di sana tidak lembap. Satu-satunya yang memberatkan, gang untuk masuk yang sempit itulah, tapi setelah sedikit kupikir pikir terasalah kini, bahwa hal ini jangan dipandang suatu keberatan, apabila kita mempunyai niat akan membuat tempat itu sebagai tempat sembunyi. Jadi aku sangat girang dengan penemuan ini, dan aku menetapkan akan segera membawa barang-barang yang kuanggap berharga kemari. Terutama obat bedilku dan bedil-bedil cadangan, yaitu dua bedil pemburu dan tiga bedil setinggar. Yang lima lainnya kutinggalkan di rumah, masing-masing telah kutempatkan larasnya pada lubang penembakan yang kubuat pada dinding tempo hari, sebagai meriam yang sewaktu-waktu kalau ada bahaya siap untuk diletuskan. Juga aku membawa ke tempat ini, semua timah yang kupunyai. Aku kini dapat mengenalkan diri sebagai seorang raksasa dari jaman Purbakala, yang menurut cerita dikatakan bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mereka pun tinggal di gua-gua, di lubang-lubang yang dibuatnya dalam bukit karang, yang tidak dapat didatangi orang, sebab aku yakin, aku di sini dan lima ratus orang liar mencariku, mereka tak akan berani menyerangku. Sekarang aku sudah dua puluh tiga tahun diam di pulau ini. Aku sudah biasa hidup seperti ini. Aku hanya mempunyai satu keinginan kini: hidup sehat dan tenteram. Akhirnya, tentu seperti kambing jantan tua, berbaring di tempat tidurku, mati. Tapi aku selalu diganggu oleh pikiran: mungkin akan diserang oleh orang-orang liar. Aku mempunyai lebih banyak perintang dan hiburan daripada semula. Waktu terasa tidak begitu panjang lagi seperti dulu. Pertama-tama aku mengajar si Poli bicara, seperti yang dulu sudah kukatakan, dan ia mengucapkan katakatanya demikian jeas dan baik, hingga aku merasa senang sekali. Ia hidup bersama aku tidak kurang dari dua puluh enam tahun. Beberapa ekor dari kakatuaku agaknya masih hidup dan sekarang pun rupanya masih memanggil-manggil Robinson Crusoe. Anjingku selama enam belas tahun menjadi kawanku yang setia. Dan kucing-kucingku, berkembang biak cepat sekali, sehingga kadang-kadang aku terpaksa menembaknya, karena menjadi liar sangat mengganggu. Kecuali binatang-binatang piaraan, aku mempunyai dua tiga ekor anak kambing, yang kuajar makan dari tanganku. Kecuali si Poli, aku masih mempunyai dua ekor kakatua lainnya yang dapat bicara baik sekali. Tetapi si Poli-lah yang terutama kesayanganku. Aku pun mempunyai bermacam-macam burung laut, yang tak kuketahui namanya, yang kutangkap di pantai dan kupotong sayapnya. Dan karena pohon-pohon
yang kutanam antara kedua pagarku sekarang sudah tumbuh menjadi belukar yang rapat, kubiarkan burung-burung itu hidup di sana, dan ini sangat menyenangkan hatiku.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
19 Sekarang bulan Desember tahun ke dua puluh tiga aku diam di pulau ini. Dan bulan ini waktunya panen, aku terpaksa harus sudah ada di ladang pagi-pagi. Aku sangat tercengang ketika melihat pada jarak kira-kira dua mil di bagian pulau di tempat aku pernah menemukan jejak orang-orang liar, aku melihat lagi mereka. Setelah aku berada lagi dalam bentengku, aku tidak berani ke luar, takut kalau-kalau disergap dengan tiba-tiba. Tapi dalam bentengku juga aku tidak merasa tenteram. Kudaki puncak sebuah bukit yang terdekat dan sambil menelungkup di atas tanah, kuambil teropongku untuk mengamat-amati apa yang terjadi di sana. Segera kulihat sembilan orang liar yang telanjang bulat duduk sekeliling api. Dan api ini bukan untuk memanaskan badannya, sebab hawa di sini amat panas, melainkan untuk memasak makanannya: daging manusia. Mereka membawa beberapa orang yang masih hidup maupun yang telah mati kemari. Mereka membawa dua buah perahu yang mereka seret agak jauh ke darat dan karena waktu itu air sedang surut, kukira mereka tengah menunggu air pasang untuk dapat pergi lagi. Apa yang kuduga, memang terjadi. Baru saja air pasang datang dari sebelah barat, kulihat mereka lekas-lekas naik ke dalam perahunya dan pergi berlayar. Harus kuceritakan pula,
bahwa satu dua jam sebelum mereka berlayar, dengan teropong dapat kulihat, mereka menari-nari begitu jelas kulihat gerakan-gerakan badannya. Dan aku dapat melihat, bahwa mereka telanjang bulat, sama sekali tak berpakaian. Tapi apakah mereka itu laki-laki atau perempuan, entahlah. Baru saja mereka pergi, segera kusandangkan kedua bedilku dan kusisipkan dua pistol dan sebilah pisau besar pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ikat pinggangku dan aku berlari ke tempat mereka kulihat pertama kalinya. Ketika aku sampai di sana (kira-kira dua jam kemudian), aku melihat, bahwa masih ada tiga perahu lagi yang diisi orang-orang liar (jadi semuanya lima perahu). Jauh di tengah laut kulihat perahu-perahu itu menuju ke darat. Ketika turun ke pantai, tampaklah pemandangan yang sangat mengerikan, yang menjadi bukti dari perbuatannya yang terkutuk: darah, tulang-belulang, potongan-potongan daging yang belum habis termakan, dan sebagainya. Ternyata, bahwa kunjungannya ke pulauku itu tidak cepat berulang. Baru lima belas bulan kemudian, mereka muncul lagi, artinya selama waktu itu aku tidak melihat jejaknya maupun tanda-tanda lainnya. Dan karena musim hujan, aku yakin, bahwa mereka tak akan menyeberangi laut lagi. Selama itu keadaanku jauh daripada tenang dan tenteram, aku selalu diganggu rasa takut yang luar biasa. Bekerja pun tak banyak hasilnya, pikiranku tak hentihentinya diganggu oleh pertanyaan: bagaimana aku dapat mempertahankan diri; apa yang harus kuperbuat, kalau mereka dapat mengetahui tempatku. Padahal selama setahun tiga bulan tak pernah aku me lihat mereka. Tapi pada bulan Mei dalam tahun ke dua puluh empat dari masa tinggalku di
tempat itu, menurut perhitunganku, aku menjumpai mereka dalam suatu waktu yang tidak disangka-sangka. Tapi tentang ini baiklah kelak kuceritakan. Menurut almanak kayuku, hari itu tercatat tanggal 16 Mei, ketika t