The Spiderwick Chronicles Amarah Mulgarath Buku Kelima
Tony DiTerlizzi dan Holly Black Edit & Convert: inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi Untuk nenekku, Melvina, yang mengatakan aku seharusnya menulis buku seperti ini dan kepada siapa kukatakan aku takkan melakukannya -H.B. Untuk Arthur Rackham, semoga kau terus memberi inspirasi kepada orang lain seperti yang kaulakukan kepadaku -T.D. Dear Pembaca, Tony dan aku sudah, bersahabat bertahuntahun, dan kami berbagi kekaguman masa kecil yang sama kepada makhluk-makhluk sejenis peri. Kami tidak menyadari
pentingnya ikatan itu atau bagaimana kekuatannya teruji. Suatu hari Tony dan aku-bersama beberapa penulis lainnya-sedang menandatangani buku di sebuah toko buku besar. Saat acara itu selesai, kami tetap tinggal, membantu mengatur buku-buku dan mengobrol, sampai seorang pelayan mendatangi kami. Dia berkata ada surat yang ditinggalkan untuk kami. Saat aku bertanya untuk siapa surat itu, kami kaget mendengar jawabannya. "Kalian berdua," katanya. Surat itu disalin tepat sama dan dicantumkan di halaman berikut. Tony menghabiskan waktu lama hanya menatap kertas fotokopi yang terselipkan bersama surat itu. Lalu dengan suara pelan, dia terus bertanya-tanya tentang isi naskah itu. Kami buru-buru menulis surat balasan, memasukkannya ke amplop, dan meminta si pelayan mengantarkannya kepada anakanak keluarga Grace. Tidak lama setelahnya, sebuah paket tiba di pintu rumahku, terikat pita merah. Beberapa hari berikutnya, tiga anak membunyikan bel pintu, dan menceritakan semua ini kepadaku. Apa yang terjadi setelahnya sulit dilukiskan. Tony dan aku ditarik masuk ke dunia yang tidak benar-benar kami percayai. Sekarang
kami melihat bahwa makhluk-makhluk sejenis peri lebih dari sekadar kisah masa kanak-kanak. Ada dunia tak terlihat di sekeliling kita dan kami harap kau, pembaca yang budiman, mau membuka mata untuk melihatnya. -Holy BlackDear Mrs. Black dan Mr. DiTerlizzi: Aku tahu banyak orang tidak percaya ada makhluk-makhluk seperti peri, tapi aku percaya dan kurasa kalian juga. setelah membaca buku-buku kalian, aku memberitahu saudara-saudaraku tentang kalian dan kami memutuskan untuk menulis. kami mengenal makhluk-makhluk seperti peri yang sebenarnya. malah, kami tahu banyak tentang mereka. Halaman yang kami sertakan ini adalah fotokopi dari buku tua yang kami temukan di loteng rumah kami. fotokopinya tidak bagus, karena kami tidak pandai menggunakan mesinnya. Buku itu memberitahu orang cara mengenali makhlu-makhluk seperti peri dan bagaimana melindungi diri mereka sendiri. Maukah kalian memberikan buku ini kepada penerbit kalian? kalau kalian bisa, tolong masukkan surat ke amplop ini dan kembalikan ke toko. kami akan mencari jalan
untuk mengirimkan buku itu. pos biasa terlalu berbahaya. Kami hanya ingin orang-orang tahu tentang ini. Apa yang terjadi pada kami bisa terjadi pada siapa pun. Salam hormat, Malloy, Jared, dan Simon Grace
Bab Satu KETIKA Dunia Jungkir-Balik
CAHAYA pucat matahari yang baru terbit membuat embun bersinar di atas rerumputan saat Jared, Mallory, dan Simon susah payah menelusuri jalanan pagi itu. Mereka lelah, tapi keinginan sampai di rumah membuat mereka terus berjalan. Mallory gemetar dalam gaun putihnya yang tipis, mencengkeram pedangnya begitu erat sehingga buku-buku jarinya memutih. Di sampingnya, Simon mengikuti, menendangi pecahan aspal. Jared juga diam. Setiap kali matanya menutup, bahkan untuk sesaat, dia langsung melihat goblin-ratusan goblin, dengan dipimpin Mulgarath.
Jared berusaha mengalihkan perhatiannya dengan merencanakan apa yang akan dikatakannya pada ibunya saat mereka sampai di rumah. Ibunya pasti sangat marah pada mereka karena pergi sepanjang malam dan bahkan lebih marah lagi pada Jared karena masalah dengan pisau itu. Tapi sekarang Jared bisa menjelaskan semuanya. Dia membayangkan bercerita pada ibunya tentang ogre yang bisa berubah wujud, penyelamatan Mallory dari para dwarf, dan cara mereka membohongi para elf. Ibunya akan melihat pedang itu kemudian terpaksa percaya pada mereka. Kemudian dia akan memaafkan semua kesalahan Jared. Suara melengking, seperti siulan ketel teh saat airnya mendidih, mengembalikan Jared ke kenyataan. Mereka berada di gerbang Spiderwick Estate. Jared sangat ketakutan ketika melihat sampah, kertas-kertas, bulubulu, dan berbagai perabot patah mengotori halaman. "Apa-apaan ini?" tanya Mallory kaget. Lengkingan membuat Jared mendongak, melihat griffin milik Simon sedang mengejar makhluk kecil ke sekeliling atap dan menjatuhkan genteng-genteng yang lepas. Bulu-bulu yang copot melayang di atas atap. "Byron!" teriak Simon, tapi griffin itu entah tidak mendengarnya atau memutuskan
mengabaikannya. "Dia seharusnya tidak berada di sana. Sayapnya masih sakit." "Apa yang dikejarnya?" tanya Mallory sambil menyipitkan mata. "Goblin, kurasa," kata Jared pelan. Kenangan akan gigi dan cakar yang merah karena darah mengembalikan rasa takutnya. "Mom!" Mallory tersentak, kemudian mulai lari ke rumah. Jared dan Simon lari mengikutinya. Dari jarak dekat mereka bisa melihat jendelajendela rumah tua itu pecah berantakan dan pintu depan tergantung pada satu engsel. Mereka lari ke dalam, melalui ruang depan, melangkahi kunci-kunci dan cabikan-cabikan mantel yang berceceran. Di dapur, air mengalir dari ledeng, mengisi wastafel yang penuh piring pecah, lalu tumpah ke lantai, makanan-makanan dari lemari es yang terbalik sedang mencair membentuk genangan-genangan basah. Lemari dinding berlubang di beberapa tempat, dan lapisan debu, bercampur dengan tepung dan sereal tumpah, menutupi kompor. Meja makan masih berdiri, tapi beberapa kursinya jatuh, dudukannya terkelupas. Salah satu lukisan paman buyut mereka sobek dan bingkainya retak, meskipun masih tergantung di dinding.
Ruang duduk lebih parah: papan permainan mereka berada di dalam tabung televisi yang pecah. Sofa-sofa tercabik-cabik, dan kapas isinya berhamburan di seluruh lantai seperti salju yang baru turun. Dan di sana, duduk di bekas bantal kaki brokat, ada Thimbletack. Saat Jared mendekati brownie kecil itu, dia bisa melihat ada luka panjang yang masih baru di bahu Thimbletack, dan topinya hilang. Brownie itu mengerjap menatap Jared dengan mata hitamnya yang basah. "Semua salahku, semua salahku," kata Thimbletack. "Aku berusaha melawan; sihirku kurang kekuatan." Air mata mengalir menuruni pipinya yang kurus, dan dia menghapusnya dengan gerakan marah. "Kalau goblin saja bisa kuusir. Ogre itu hanya melihatku lalu mengejek getir." "Di mana Mom?" tanya Jared. Dia bisa merasakan dirinya gemetar. "Tepat sebelum fajar hari ini, mereka mengikat dan membawanya pergi," kata Thimbletack. "Tidak mungkin!" suara Simon seperti cicitan. "Mom!" panggilnya, lari ke arah tangga dan berteriak ke lantai atas. "Mom!" "Kita harus melakukan sesuatu," kata Mallory. "Kita melihatnya," kata Jared pelan, terduduk pada sofa yang rusak. Dia merasa
agak pusing, juga panas-dingin pada saat yang sama. "Di tambang. Dia orang dewasa yang dibawa para goblin. Mulgaratb menangkapnya, dan kita bahkan tidak memerhatikan. Kita seharusnya mendengarkan-aku seharusnya mendengarkan. Aku seharusnya tidak pernah membuka buku Arthur sialan itu." Si brownie menggeleng keras-keras. "Melindungi rumah dan isinya adalah tugasku, ada atau tidak Panduan Lapangan itu." "Tapi kalau aku menghancurkannya seperti katamu, semua ini tidak akan terjadi!" Jared memukul kakinya sendiri. Thimbletack menggosok mata dengan tangannya. "Tidak ada yang tahu buku itu benar atau tidak. Aku menyembunyikannya-lihat dalam apa kita terjebak?" "Cukup mengasihani diri-kalian berdua sama sekali tidak menolong!" Mallory berjongkok di sebelah bantalan kaki, mengembalikan topi Thimbletack. "Menurutmu ke mana mereka membawa Mom?" Thimbletack menggeleng sedih. "Goblin sangat menjijikkan, tuan mereka lebih mengerikan. Mereka tinggal di tempat seburuk diri mereka, tapi aku tidak tahu di mana."
Dari atas terdengar siulan dan suara berisik. "Satu goblin masih di atap," kata Simon sambil mendongak. "Dia pasti tahu!" Jared berdiri. "Sebaiknya kita menghentikan Byron sebelum dia memakannya." "Benar," kata Simon, melangkah ke tangga. Ketiga anak itu lari menaiki tangga dan menelusuri lorong menuju loteng. Pintu kamar-kamar tidur di lantai dua terbuka. Pakaian-pakaian robek, bulu-bulu isi bantal, dan penutup tempat tidur yang tercabikcabik berantakan sampai ke lorong. Di lantai di luar kamar Jared dan Simon terdapat stoples-stoples kosong. Simon berhenti, ekspresi takut melumuri wajahnya. "Lemondrop?" panggil Simon. "Jeffrey? Kitty?" "Ayolah," kata Jared. Saat menarik Simon menjauhi kekacauan kamar mereka, dia melihat lemari lorong. Rak-raknya basah karena lotion dan sampo, yang juga membasahi handuk-handuk yang berantakan. Dan di dasarnya, dekat bekasbekas cakaran yang dalam di panel dinding, pintu rahasia perpustakaan Arthur sudah ditarik lepas dari engselnya. "Bagaimana mereka bisa menemukannya?" tanya Mallory.
Simon menggeleng. "Kurasa mereka menghancurkan tempat ini untuk mencarinya." Jared membungkuk dan merangkak masuk perpustakaan Arthur Spiderwick. Sinar matahari yang cerah masuk melalui jendela tunggal dan menunjukkan kerusakan yang terjadi dengan jelas. Air mata membuat mata Jared panas saat dia melangkah melintasi lapisan halaman-halaman yang robek. Buku-buku Arthur telah ditarik lepas dari jilidannya dan dihambur-hamburkan. Sketsa-sketsa robek dan rak-rak tumbang mengotori lantai. Jared memandang ke sekelilingnya dengan putus asa. "Well?" tanya Mallory. "Hancur," kata Jared. "Semuanya hancur." "Ayolah," panggil Simon. "Kita harus menangkap goblin itu." Jared mengangguk, meskipun saudarasaudaranya tak bisa melihatnya, dan dengan mati rasa bergerak ke arah pintu. Ada sesuatu tentang penghancuran ruangan ini ruangan yang telah tersembunyi selama bertahun-tahun-yang membuat Jared merasa tidak ada yang akan beres lagi. Bersama, Jared, Simon, dan Mallory mendaki tangga ke loteng, menyeberangi pecahan-pecahan kelap-kelip ornamenornamen Natal dan melangkahi robekan-
robekan baju. Dalam cahaya remangremang Jared bisa melihat debu berhamburan bersamaan dengan entakan cakar griffin, dan dia bisa mendengar teriakan di atasnya dengan lebih jelas. "Satu lantai lagi dan kita bisa langsung keluar ke atap," kata Jared, menunjuk tangga terakhir. Tangga itu menuju kamar teratas dalam rumah itu, menara kecil dengan jendela berpagar setengah di keempat sisinya. "Kurasa aku mendengar gonggongan," kata Simon saat mereka mendaki. "Goblin itu pasti masih baik-baik saja." Saat mereka mencapai menara itu, Mallory mengayunkan pedangnya ke bingkai jendela, memecahkannya. Jared berusaha menyingkirkan apa yang tersisa. "Aku duluan," kata Simon, melompat ke pinggiran jendela dan dengan hati-hati memanjat melewati bingkai pecah itu ke atap. "Tunggu!" teriak Jared. "Kau yakin bisa mengontrol griffin itu?" Tapi Simon sepertinya tidak peduli. Mallory mengambil ikat pinggang yang tercecer di situ, melilitkannya ke sekeliling pedang, lalu memakainya di pinggulnya. "Ayo!"
Jared mengangkat kakinya ke bingkai jendela dan melangkah ke atap. Cahaya matahari yang tiba-tiba mengenai mata membutakan-nya, dan beberapa saat matanya memandang hutan di luar batas halaman mereka. Lalu dia melihat Simon mendekati si griffin, yang telah menyudutkan si goblin ke salah satu cerobong asap bata. Goblin itu Hogsqueal.
Bab Dua KETIKA Sahabat Lama Kembali
STOP melongo, otak siput!" teriak Hogsqueal. "Tolong aku!" dia bersandar di cerobong asap, satu tangan memegangi mantelnya yang menutupi benda besar, yang sebelah lagi mengacung-acungkan katapel kosong dengan galak. "Hogsqueal?" Jared menyeringai melihat hobgoblin itu, kemudian mengernyitkan dahi. "Apa yang kaulakukan di sini?" Simon berusaha menghentikan si griffin, dengan cara berdiri di antaranya dan Hogsqueal sambil berteriak-teriak. Byron me-
nelengkan kepala elangnya dan mengerjap, kemudian mengais-ngais atap dengan cakarnya seolah dia kucing betina bukan burung. Jared menduga Byron berpikir mereka sedang mencoba permainan baru. Hogsqueal ragu-ragu, melihat wajah Jared. "Aku tidak tahu ini rumahmu sampai si griffin muncul." "Kau membantu menangkap ibu kami?" Jared bisa merasakan wajahnya memanas. "Merusak rumah kami? Membunuh binatang peliharaan Simon?" Dia maju dua langkah ke arah Hogsqueal, tangannya terkepal. Dia memercayai Hogsqueal. Dia menyukai makhluk itu. Dan si hobgoblin mengkhianatinya. Jared nyaris tak bisa berpikir karena dengungan di kupingnya. "Aku tidak membunuh apa pun." Hogsqueal membuka mantelnya sedikit, menunjukkan bola bulu berwarna Jingga. "Kitty!" kata Simon, perhatiannya teralih karena melihat anak kucing itu. Saat itu Byron melewati Simon, menangkap tangan si hobgoblin dengan paruhnya. "Aaaaaaaaahhhhh!" jerit Hogsqueal. Si kucing mengeong keras, melompat ke atap. "Byron, jangan!" teriak Simon. "Lepaskan dia!"
Si griffin menggeleng, membuat Hogsqueal tersentak ke depan-ke belakang. Jeritan si hobgoblin semakin keras. "Lakukan sesuatu!" teriak Jared panik. Simon maju ke arah si griffin dan memukul paruhnya keras-keras dengan tangan. "JANGAN!" teriaknya. "Oh, sial, jangan lakukan itu!" kata Mallory, meraih pedang di pinggangnya. Tapi bukannya menyerang, si griffin berhenti menggoyang Hogsqueal dan menatap Simon dengan heran. "Lepaskan dia!" ulang Simon, menunjuk atap yang miring. Hogsqueal meronta tanpa hasil, menusuk lubang hidung Byron dengan jarinya dan berusaha menggigit leher berbulu itu dengan gigi bayinya. Si griffin mengabaikan si hobgoblin tapi juga tidak bergerak melepaskannya. "Hati-hati," kata Jared kepada saudaranya. "Lebih baik dia makan Hogsqueal daripada kita." "Tidaaaaaak! Maaf, goblok," kata Hogsqueal, masih meronta-ronta. "Aku tidak sengaja! Sumpah. Lepaskan aku! To-looooooong!" "Jared," kata Simon. "Ambil Hogsqueal, oke?" Jared mengangguk, bergerak mendekat. Dari jarak ini, dia bisa mencium aroma si griffin-
dia memiliki aroma binatang liar, seperti bulu kucing. Simon memegang puncak paruh Byron dengan sebelah tangannya, dan bagian bawah paruhnya dengan tangan yang lain, lalu mulai memisahkan kedua belah paruh itu, mengulang-ngulang, "Anak baaaaaaaaaik. Ya. Lepaskan goblin itu." "Hobgoblin!" jerit Hogsqueal. "Kau gila, ya?" teriak Mallory kepada adiknya. Si griffin menengok ke arahnya begitu cepat, nyaris membuat Simon terjatuh. "Maaf," kata Mallory dengan suara yang jauh lebih pelan. Jared memegang kaki Hogsqueal. "Da-pat. "Hei, sialan, kita tidak akan main tariktarikan dengan tubuhku, kan? Kan?" Jared hanya tersenyum muram. Simon kembali mencoba membuka paruh Byron. "Mallory, sini bantu aku. Pegang paruh bawah, dan aku pegang yang atas." Mallory melangkah hati-hati melintasi atap yang miring. Si griffin menatapnya gugup. "Saat aku bilang tarik," kata Simon, "tarik." Bersama-sama mereka berusaha membuka paruh si griffin. Jari-jari Mallory tergelincir ke dalam mulut Byron saat dia menarik, nyaris bergantung pada si griffin, berusaha menggunakan berat tubuhnya untuk mem-
buka paruh itu. Byron memberontak kemudian tiba-tiba menyerah, membuka paruhnya dan menjatuhkan seluruh bobot tubuh Hogsqueal ke tangan Jared. Kehilangan keseimbangannya, Jared tergelincir ke belakang, melepaskan Hogsqueal dan menggapai-gapai pegangan. Si hobgoblin juga tergelincir, memukul lepas genteng yang dipakai Jared sebagai pegangan. Jared tergelincir lagi dan berhasil memegang talang air tepat sebelum dia terjatuh ke sisi rumah. Simon dan Mallory menatap Jared dengan membelalakkan mata. Jared menelan ludah. Saat saudara-saudaranya mendatanginya untuk menariknya kembali ke atap, Jared melihat Hogsqueal lari ke jendela terbuka. "Dia lari!" kata Jared, berusaha mengangkat tubuhnya lebih tinggi. Sikunya bersandar pada dedaunan dan lumpur yang kering dalam talang air. "Lupakan goblin bodoh itu," kata Mallory. "Pegang tanganku." Mereka menariknya kembali ke atap. Begitu sudah berdiri tegak, Jared lari mengejar Hogsqueal diikuti Mallory dan Simon. Mereka berlari menuruni tangga. Hogsqueal sedang melintasi lorong di luar kamar tidur anak-anak itu, saat benang kuning tiba-tiba melilitkan diri ke
sekelilingnya. Jared ternganga saat melihat benang itu mengikat diri sendiri menjadi pita. Thimbletack melompat ke kepala Hogsqueal. "Aku akan membantumu melawan musuhmu. Kurasa aku punya utang kepadamu. Jared memandang benang itu kemudian kembali menatap Thimbletack. "Aku tidak tahu kau bisa melakukan itu!" Dia ingat betapa tali-tali sepatunya sepertinya saling mengikat sendiri dan tiba-tiba menemukan penjelasannya. Brownie kecil itu menyeringai. "Tidak bisa dilihat tidak cukup untuk menjaga semua tetap hebat." "Hei," jerit Hogsqueal. "Jauhkan makhluk gila ini dariku! Aku tidak melarikan diri darimu. Aku lari dari monster di atap itu!" "Diam," kata Mallory. "Goblin ini bukan salah dimengerti," kata Thimbletack. "Dia benar-benar tidak ada gunanya lagi." "Brownie jelek itu pintar bicara," kata Hogsqueal. "Kau harus menceritakan semua yang kauketahui kepada kami, kalau tidak kami akan mengecapi kepalamu dan mengeluarkanmu ke atap," kata Jared. Saat itu dia
sangat marah sehingga bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Thimbletack melompat ke kaki meja pendek yang terbalik. "Itu terlalu ramah bagi goblin yang sudah menyerah. Tidak, kita akan suruh tikus-tikus menggigiti kakimu, mencungkil mataku, dan memasukkannya ke lubang hidungmu. Dengan gunting tumpul kita potong jari-jarimu, dan kita tunggu sampai hilang percaya dirimu." Simon memucat tapi tidak mengatakan apaapa. Hogsqueal meronta dalam ikatannya. "Aku sudah bilang, brengsek. Tidak perlu mengancam! "Di mana ibu kami?" tanya Jared. "Ke mana mereka membawanya?" "Sarang Mulgarath di tempat pembuangan sampah di ujung kota. Dia membangun istana dari sampah, dan tempat itu dipertahankan oleh pasukan goblinnya dan makhluk-makhluk lain selain itu. Jangan bodoh. Tidak mungkin kalian masuk ke sana." "Makhluk-makhluk lain apa yang melindunginya?" tanya Jared. "Naga," kata Hogsqueal. "Kebanyakan masih kecil." "Naga?" ulang Jared ketakutan. Panduan Lapangan Arthur mencantumkan naga, tapi
Arthur sendiri belum pernah melihatnya. Semua catatannya datang dari tangan kedua. Tapi meskipun begitu, kisah-kisahnya menakutkan- mereka melukiskan racun mematikan, gigi setajam belati, dan tubuh yang secepat cambuk. "Dan kau bergabung dengan pasukan goblin Mulgarath?" tanya Mallory sambil menyipitkan mata. "Harus!" sentak Hogsqueal. "Semuanya bergabung! Apa yang harus kulakukan, ember bocor?" "Apa yang kauceritakan pada mereka tentang goblin-goblin lain-yang bersamamu sebelumnya?" "Goblin-goblin lain?" tanya Hogsqueal. "Untuk terakhir kalinya, anak penakut. Aku ini hobgoblin! Kau sama saja bilang burung hitam itu gagak!" Jared mendesah. "Jadi, apa yang kauceritakan?" Hogsqueal memutar matanya. "Menurutmu apa, perut kumbang? Aku bilang troll makan mereka, semudah itu." "Kalau kami membebaskanmu, maukah kau membawa kami ke tempat pembuangan sampah?" tanya Mallory. "Mungkin sudah terlambat," gerutu Hogsqueal. "Apa?" Jared mengernyitkan dahi.
"Ya," kata Hogsqueal. "Ya! Aku akan mengantar kalian. Senang, anak sombong? Selama aku tidak harus melihat griffin itu lagi." "Tapi, Jared," kata Simon, senyum kecil bermain di bibirnya, "pasti jauh lebih cepat kalau kita terbang." "Tunggu dulu! Aku tidak setuju!" jerit Hogsqueal. "Kita perlu rencana," kata Mallory, menjauh dari si hobgoblin dan memelankan suaranya. "Bagaimana kita bisa mengalahkan sepasukan goblin, naga, dan ogre yang bisa berubah wujud?" "Pasti ada jalan," kata Jared mengikuti kakaknya. "Mereka pasti punya kelemahan." Halaman-halaman Panduan Lapangan Arthur yang pernah sangat jelas dalam kepalanya sekarang mengabur, ingatannya semakin tidak jelas. Dia berusaha berkonsentrasi, mengingat apa pun yang mungkin penting. "Sayang sekali kita tidak memiliki Panduan Lapangan." Simon menatap stoples-stoples tempat ikan yang pecah seolah jawaban bisa ditemukan di antara pecahan kaca. "Tapi kita tahu di mana Arthur," kata Jared hati-hati, rencana mulai terbentuk di kepalanya. "Kita bisa bertanya padanya."
"Bagaimana kita bisa melakukan itu?" tanya Mallory sambil berkacak pinggang. "Aku akan minta izin para elf untuk membiarkanku bicara padanya," kata Jared seolah itu saran yang sangat masuk akal. Mata Mallory melebar kaget. "Terakhir kalinya kita bertemu elf, mereka tidak benar-benar bersahabat." "Yeah, mereka ingin menyekapku di bawah tanah selamanya," kata Simon. "Kalian harus memercayaiku," kata Jared pelan. "Aku bisa melakukannya. Mereka berjanji bahwa mereka tidak akan menyekapku di luar keinginanku." "Aku percaya padamu," kata Mallory. "Para elf-lah yang tidak kupercayai, dan seharusnya kau juga begitu. Aku ikut." Jared menggeleng. "Tidak cukup waktu. Paksa Hogsqueal mengatakan segala yang diketahuinya tentang Mulgarath. Aku akan kembali secepat aku bisa." Dia menunduk menatap si brownie kecil. "Aku akan mengajak Thimbletack-kalau dia mau." "Kupikir kau akan pergi sendiri," kata Simon. "Aku harus jadi satu-satunya manusia," kata Jared, matanya terus menatap Thimbletack. "Aku sudah bertahun-tahun tidak keluar dari rumah yang aman." Sambil bicara Thimbletack melangkah ke pinggir kursi dan membiarkan Jared memasukkan dirinya ke
tudung jaketnya. "Tapi aku harus menyingkirkan ketakutan." Mereka pergi sebelum Simon atau Mallory bisa menghalangi. Menyeberangi jalan, mereka mulai mendaki bukit menuju tempat tinggal para elf. Langit pagi menuju siang telah berubah menjadi warna biru cerah tanpa awan, dan Jared melangkah cepatcepat, takut dia tidak punya cukup waktu.
Bab Tiga KETIKA Jared Tahu Hal-Hal yang Tak Ingin Dia Ketahui
PADANG itu sama seperti yang diingatnyadikelilingi pepohonan dengan jamur di tengahnya-tapi kali ini saat Jared melangkah ke tengah, tidak ada yang terjadi. Tidak ada cabang yang saling melilit untuk memerangkapnya, tidak ada akar yang membelit kakinya, dan tidak ada elf yang muncul memarahinya. "Halo!" teriak Jared. Dia menunggu sesaat, tapi satu-satunya jawaban adalah kicauan burung di kejauhan. Dengan frustrasi, Jared mondar-mandir. "Ada orang di sini? Aku terburu-buru!"
Masih tidak ada apa-apa. Menit-menit lewat. Memandang lingkaran jamur, dia merasakan dorongan untuk menyerang para elf. Kalau saja mereka tidak menyekap Arthur. Jared baru mengangkat kakinya untuk menendang jamur saat mendengar suara lembut dari batas pepohonan. "Anak nekat, apa yang kaulakukan di tempat ini?" Itu si elf perempuan bermata hijau, rambutnya berwarna lebih merah dan cokelat daripada sebelumnya. Dan gaunnya sekarang berwarna merah tua dan emas, seperti warna musim panas berganti musim gugur. Suaranya terdengar lebih sedih daripada marah. "Tolonglah," kata Jared. "Mulgarath menangkap ibuku. Aku harus menyelamatkannya. Kau harus mengizinkanku bicara pada Arthur." "Mengapa aku harus peduli pada satu makhluk fana?" Elf itu berbalik ke arah pepohonan. "Kau tahu berapa banyak rakyatku yang hilang? Berapa dwarf-setua bebatuan di bawah kakimu -yang tidak ada lagi?" "Aku melihatnya," kata Jared. "Kami di sana. Tolonglah-akan kuberikan apa pun. Aku tinggal di sini kalau kau mau."
Elf itu menggeleng. "Satu-satunya benda milikmu yang memiliki nilai bagi kami sudah hilang." Jared merasa lega sekaligus takut. Dia harus bertemu Arthur, tapi tidak punya apa-apa yang bisa ditawarkan sebagai gantinya. "Kami tidak memiliki Panduan Lapangan waktu itu," katanya. "Kami tidak bisa memberikannya padamu saat itu, tapi mungkin kami bisa memperolehnya kembali sekarang." Elf bermata hijau itu berbalik sambil mengernyitkan dahi. "Aku tidak tertarik lagi pada dongeng-dongengmu." "Aku... aku bisa membuktikannya." Jared meraih ke dalam tudungnya, menarik keluar Thimbletack, dan meletakkannya di rumput. "Sudah kukatakan padamu brownie rumah kami mengambil buku itu. Ini Thimbletack." Brownie itu melepaskan topinya dan membungkuk dalam-dalam, sedikit gemetar. "Great Lady, pasti aneh sekali, aku tahu, tapi memang benar aku mengambil buku itu." "Tingkahmu mencelakakanmu." Si elf menatap mereka berdua kemudian terdiam sesaat. Jared bergerak-gerak tidak sabar saat Thimbletack memanjat kakinya dan kembali ke tempat persem-bunyiannya. Sikap diam
elf bermata hijau itu membuat Jared gugup, tapi dia memaksa dirinya tetap diam. Ini mungkin kesempatan terakhir mereka untuk meyakinkan si elf. Akhirnya elf itu berkata, "Waktu kami untuk menghukum dan memerintah sudah lewat. Saat yang kami takutkan sudah datang. Mulgarath telah membangun pasukan yang kuat dan menggunakan Panduan Lapangan untuk membuatnya semakin menakutkan." Jared mengangguk, meskipun bingung. Dia tak bisa memikirkan apa yang bisa dilakukan Mulgarath dengan Panduan Lapangan yang akan membuat pasukannya semakin berbahaya. Itu kan cuma buku. "Berjanjilah padaku, anak fana," kata elf bermata hijau. "Kalau Panduan Lapangan Arthur bisa kaumiliki lagi saat kau mencari ibumu, kau akan memberikannya pada kami supaya bisa dihancurkan." Jared mengangguk, cepat-cepat menyetujui apa pun yang bisa berarti dia diizinkan menemui Arthur. "Pasti. Aku akan membawanya-" "Tidak," kata si elf. "Kalau sudah tiba saatnya, kami akan datang menemuimu." Dia menunjuk ke atas dan mengatakan sesuatu dalam bahasa yang aneh. Sehelai daun melayang berputar dari dahan tinggi
pohon ek yang sudah tua. Daun itu melayang pelan, seolah melayang dalam air bukannya udara. "Pertemuanmu dengan Arthur Spiderwick akan terjadi selama waktu yang dibutuhkan daun itu untuk jatuh ke tanah." Jared mendongak ke tempat yang ditunjuk si elf. Meskipun daun itu melayang sangat pelan, bagi Jared rasanya cukup cepat. "Bagaimana kalau waktunya tidak cukup?" Si elf tersenyum dingin. "Waktu adalah kemewahan yang tidak kita miliki lagi, Jared Grace." Tapi Jared nyaris tidak memerhatikannya, karena seorang pria dengan mantel tweed, dengan rambut mulai memutih di sisi kepalanya yang botak berjalan ke arah mereka dari pepohonan. Dedaunan berjatuhan di sekelilingnya dan membentuk karpet di depannya supaya kakinya tidak pernah menyentuh tanah. Dia memperbaiki letak kacamatanya dengan gugup dan menatap Jared. Jared tak bisa menahan senyumnya. Arthur Spiderwick tampak tepat sama dengan lukisan di perpustakaan. Sekarang semuanya akan baik-baik saja. Paman buyutnya akan menjelaskan apa yang harus dilakukan, dan itulah yang akan terjadi. "Paman Arthur," Jared memulai. "Aku Jared."
"Kurasa aku tidak mungkin pamanmu, Nak," kata Arthur kaku. "Sepengetahuan-ku, saudara perempuanku tidak punya putra. " "Well, sebenarnya, kau paman buyutku," kata Jared, tiba-tiba tidak yakin pada dirinya sendiri. "Tapi itu tidak penting." "Tidak mungkin." Ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. "Kau sudah lama pergi," Jared menjelaskan dengan hati-hati. Arthur mengerutkan dahi. "Beberapa bulan, mungkin." Thimbletack bicara, memanjat keluar tempat persembunyiannya ke bahu Jared. "Dengarkan anak itu bicara-itu satu-satunya cara. Kita tidak bisa berlama-lama." Arthur menatap brownie itu dan mengerjap. "Halo, teman lama! Aku sangat merindukanmu! Apakah Lucy-ku baik-baik saja? Bagaimana dengan istriku? Maukah kau menyampaikan pesanku?" "Dengar!" potong Jared. "Mulgarath menangkap ibuku, dan kau satu-satunya yang tahu apa yang harus dilakukan." "Aku?" tanya Arthur. "Mengapa aku harus tahu apa yang harus dilakukan?" Dia menaikkan kacamatanya. "Aku membayangkan aku akan menyarankantunggu, berapa umurmu?"
"Sembilan," jawab Jared, takut pada apa yang akan terjadi selanjutnya. "Menurutku kau seharusnya mengutamakan keamanan dan membiarkan orang yang lebih tua menghadapi makhluk-makhluk berbahaya itu. "Kau tidak dengar ya?" teriak Jared. "MULGARATH MENANGKAP IBUKU! TIDAK ADA ORANG YANG LEBIH TUA!" "Aku mengerti," kata Arthur. "Tapi kau harus -" "Tidak, kau tidak mengerti!" Jared tidak bisa menghentikan dirinya. Rasanya enak akhirnya bisa berteriak pada seseorang. "Kau bahkan tidak tahu sudah berapa lama kau ada di sini! Lucinda sudah lebih tua daripadamu sekarang! Kau tidak tahu apa-apa." Arthur membuka mulutnya seolah akan bicara kemudian menutupnya. Dia tampak pucat dan gemetar, tapi Jared merasa sulit bersimpati. Matanya terbakar air mata yang tidak mengalir. Di sisi lain lingkaran jamur, sehelai daun tadi melayang semakin dekat ke tanah. "Mulgarath adalah ogre yang sangat berbahaya," kata Arthur pelan. Dia bahkan tidak menatap Jared saat bicara. "Bahkan para elf tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghentikannya." "Dia juga punya naga," kata Jared.
Tiba-tiba Arthur mendongak tertarik. "Naga? Sungguh?" Kemudian dia menggeleng dan bahunya turun. "Aku tak bisa mengatakan padamu bagaimana mengatasi semua mi. Maaf-aku benar-benar tidak tahu." Jared ingin memohon, meminta, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Arthur maju selangkah, dan saat dia bicara, suaranya sangat lembut. "Nak, kalau aku selalu tahu apa yang harus dilakukan, apakah aku akan berada di sini, terjebak di antara para elf, tidak pernah bertemu keluargaku lagi?" "Kurasa tidak," kata Jared, menutup matanya. Daun tadi telah berada setinggi tubuh Jared. Tidak lama lagi waktu akan habis. "Aku tidak bisa memberi jalan keluar," kata Arthur. "Aku hanya bisa memberi informasi. Kuharap aku bisa melakukan lebih daripada itu." Dia melanjutkan. "Goblin bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, biasanya tidak lebih dari sepuluh. Mereka mengikuti Mulgarath karena mereka takut padanyakalau tidak kau takkan pernah melihat begitu banyak goblin di satu tempat. Tanpa pimpinan Mulgarath, para goblin itu pasti terpecah belah. Tapi bahkan dengan
Mulgarath, mereka mungkin tidak terlalu terorganisir. "Sementara untuk ogre, Mulgarath memiliki sifat tipikal. Mereka pandai berubah wujudcerdas, licik, dan kejam. Juga kuat, sayangnya. Satu kekurangan yang mungkin bisa membantumu adalah mereka biasanya tinggi hati dan senang menyombongkan diri." "Seperti tokoh ogre dalam kisah Kucing Bersepatu Lars?" tanya Jared. "Benar sekali." Mata Arthur berbinar saat dia bicara. "Para ogre sering sekali memikirkan dirinya sendiri dan ingin kau juga begitu. Mereka senang mendengar suara mereka sendiri. Dan pengaman normal - seperti pakaian yang kaukenakan - hampir tidak berguna. Mereka terlalu kuat. "Dan untuk naga... well, aku harus mengakui semua yang kuketahui tentang naga kuperoleh dari peneliti lain." "Peneliti lain? Maksudmu ada orang lain yang menyelidiki makhluk-makhluk sejenis peri?" Arthur mengangguk. "Di seluruh dunia. Tidakkah kau tahu ada makhluk-makhluk sejenis peri di setiap benua? Tentu saja ada perbedaannya, sama seperti binatang. Tapi aku sudah mulai melantur. "Tipe naga ini mungkin varietas wyrm Eropa yang paling umum di daerah ini. Sangat
beracun. Aku ingat satu kisah saat naga minum susu sapi-dia menjadi besar dan racunnya merusak segalanya, mematikan rumput, dan membuat air tak bisa diminum." "Tunggu!" teriak Jared. "Air ledeng kami membakar mulut kalau kau meminumnyaair sumur kami." "Pertanda yang sangat buruk." Arthur mendesah berat dan menggeleng. "Naganaga bergerak cepat, tapi bisa dibunuh sama seperti makhluk lain. Kesulitannya, tentu saja, adalah racunnya semakin mematikan seiring pertumbuhan si naga, dan hanya sedikit sekali makhluk yang cukup cepat dan berani untuk mengejar naga, seperti musang menyerang kobra." Jared menatap daun tadi-sudah hampir sampai tanah. Arthur mengikuti arah pandangan Jared. "Waktuku bicara denganmu hampir habis. Apakah kau mau memberikan pesanku pada Luanda?" "Tentu saja." Jared mengangguk. "Katakan padanya-" Tapi apa pun yang akan dikatakan Arthur lenyap dalam daun yang berputar di sekelilingnya, menutupi dirinya dari pandangan. Tornado daun berputar ke atas, kemudian... tidak ada apa-apa. Jared mencari-cari si elf, tapi dia juga hilang.
Saat meninggalkan batas lapangan, Jared melihat Byron mengais-ngais tanah. Simon duduk di punggung si griffin, menepuknepuk makhluk itu untuk menenangkannya. Di belakangnya, Mallory memegang pedang dwarf dengan posisi terhunus, besinya bersinar di bawah sinar matahari. Hogsqueal duduk di leher Byron, jelas tampak sebal. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Jared. "Kupikir kalian memercayaiku." "Memang begitu," kata Mallory. "Karena itu kami menunggu di sini bukannya berlari masuk dan menyeretmu ke luar." "Kami punya rencana." Simon mengulurkan tali yang diikat membentuk lingkaran. "Ayo. Kau bisa menceritakan apa yang kautemukan dari para elf sambil jalan." "Jadi," kata Mallory, "sekarang giliranmu memercayai kami."
Bab Empat KETIKA Semuanya Masuk dalam Api
SAAT menyeberangi jalan besar, Jared berusaha tidak memainkan ikatan longgar yang melilit tangannya di belakang
punggung. Dia berjalan di belakang Mallory yang diikat dengan cara yang sama dan berusaha tidak memerhatikan bayangan Byron dan Simon yang terbang di atas mereka-satu-satunya cara mereka menyelamatkan diri kalau rencana gagal dan cara tercepat untuk pergi kalau rencana berhasil baik. Hogsqueal menusuk Jared dengan ujung pedang dwarf. "Ayo cepat, tukang ngupil." "Hentikan," kata Jared, nyaris terjatuh. Thimbletack bergerak di belakang lehernya. "Kita belum masuk, dan benda itu tajam," kata Jared. "Benar," si hobgoblin tertawa. "Salahku, daging mentah." "Jangan ganggu Jared, kalau tidak aku akan menunjukkan padamu bagaimana cara menggunakan pedang," desis Mallory, lalu tiba-tiba terdiam. Pepohonan di sisi jalan besar itu nyaris tidak berdaun sama sekali, menghitam, dan mati. Beberapa daun yang tersisa tergantung pada cabang-cabang seperti kelelawar. Pohon besi para dwarf bahkan terasa lebih nyata daripada pohon-pohon ini. Di baliknya, Jared bisa melihat tempat pembuangan. Gerbangnya berkarat dan terbuka, dan jalur berdebu di baliknya penuh petak-petak rumput. Tanda DILARANG MASUK tertanam
di tanah dengan sudut yang aneh. Mobilmobil tua, ban-ban, dan sampah lain tersusun dalam tumpukan berbahaya yang mirip gundukan pasir di pantai. Dan di depan Jared bisa melihat istana itu dengan jelas. Puncak menara-menaranya berkilau karena bahanbahan kaca dan kaleng dalam cahaya matahari. Jared melihat beberapa goblin mengintip ke luar dari tumpukan mobil berkarat. Dua goblin mengendus udara dan yang ketiga mulai menggonggong. Kemudian para goblin mulai merangkak keluar dari mobil-mobil itu. Setiap goblin mendongakkan kepala mereka yang seperti katak dan menunjukkan gigi mereka yang terdiri atas kaca dan tulang. Mereka membawa tombak dan pedang buatan dwarf. "Katakan sesuatu," bisik Jared pada Hogsqueal. "Aku menangkap manusia," teriak Hogsqueal. "Tanpa bantuan kalian, anjinganjing kampung!" Goblin besar mendekat. Giginya terbuat dari kaca botol, dan berkilau di bawah sinar matahari-cokelat, hijau, dan jernih. Dia mengenakan mantel compang-camping dengan kancing-kancing kotor dan topi segitiga butut. Topi itu menarik perhatian
Jared karena berwarna cokelat kemerahan. Lalat beterbangan di atasnya. "Kaubilang kau menangkap keduanya?" "Gampang sekali, Wormrat besar," Hogsqueal menyombong. "Di sanalah mereka, cewek ini mengayun-ayunkan pedangnya ini-tajam, kan?-tapi aku terlalu cepat bagi mereka! Aku..." Wormrat menatapnya, dan suara si hobgoblin semakin pelan. "Oke," katanya lagi. "Mereka sedang tidur dan aku " Para goblin menggonggong keras-keras. Entah maksudnya tertawa atau apa, Jared tidak yakin. "Aku tetap sudah menangkap umbi bawang ini! Mereka tawananku," kata Hogsqueal, mengangkat pedang Mallory. Pedang itu tampak besar di tangannya yang kecil bergetar. Wormrat menggonggong, dan ujung pedang itu terarah ke bawah. Jared melirik ke atas mencari apakah Simon dan Byron ada di dekat situ, tapi mereka entah bersembunyi atau pergi. Jared berharap untuk kesejuta kalinya Simon bisa mengendalikan si griffin. "Kita akan melakukan apa yang kuperintahkan," kata Wormrat. "Bawa mereka!"
Mallory dan Jared didorong dan ditarik melalui tempat pembuangan oleh sekelompok gobhn yang terus menggonggong. Mereka harus berhati-hati tidak menginjak potongan-potongan besi yang tajam yang muncul dari tanah kering dengan sudutsudut aneh. Kapan pun Mallory dan Jared memelankan langkah, para goblin menarik mereka dan menusuk mereka dengan senjata. Karat dari mobil-mobil mengotori jins Jared saat dia melewati lorong-lorong sempit di antara mobil-mobil itu. Akhirnya mereka dibawa ke lapangan tempat selusin lebih goblin bersantai di sekeliling api. Tulang-tulang kecil terserak di antara sampah. Wormrat menggerutu dan menunjuk mobil biru dekat api. "Ikat tawanan di sana." "Kita harus membawa mereka ke Istana Sampah," kata Hogsqueal, tapi suaranya terdengar setengah hati. "Diam!" gonggong si goblin besar. "Aku yang memberi perintah." Sambil menyeringai, salah satu goblin menggunakan kawat berkarat untuk mengikat tali belenggu Jared dan Mallory ke mobil yang ditunjuk. Saat si goblin melilitkan kawat ke kaca spion di sisi mobil. Jared bisa
men-cium napasnya yang busuk dan bisa melihat kulitnya yang berbentol-bentol aneh, rambut yang menyeruak dari kupingnya, bagian putih matanya yang terlihat mati, dan kumis pan-jang bergetar yang tumbuh di wajahnya. Para goblin lain berdiri dalam lingkaran, melirik lirik dan menunggu. "Kembali ke pos kalian, anjing-anjing malas!" teriak si goblin besar. Kemudian, ber paling kepada goblin-goblin yang sudah ada di sana ketika mereka tiba, dia membentak, "Para tawanan harus berada di tempat aku meninggalkan mereka! Aku pergi melaporkan mereka kepada Mulgarath!" Sambil menggonggong, sebagian besar goblin kembali berpatroli saat Wormrat pergi, tapi beberapa tinggal tetap dudukduduk di sekeliling api. Jared menggerakkan tangannya. Dia yakin ikatannya masih cukup kendor sehingga dia bisa melepaskan diri, tapi dia tidak terlalu yakin mereka bisa melewati semua goblin itu. Jared dan Mallory duduk di tanah yang dingin dan berpasir dalam waktu yang rasanya berjam-jam, memerhatikan para goblin mengambil kadal-kadal kecil dan melemparkan mereka dalam api. Langit
mulai gelap, sinar matahari menimbulkan semburat keemasan pada senja hari. "Mungkin ini bukan rencana yang bagus," kata Mallory pelan. "Kita sama sekali tidak berada dekat Mom, dan aku tidak tahu di mana Simon." "Tapi kita hampir sampai," jawab Jared balas berbisik. Tangan mereka cukup dekat sehingga dia bisa mengambil sebelah tangan kakaknya dan meremasnya. "Apa yang mereka tunggu?" tanya Mallory sambil mengeluh. "Mungkin menunggu goblin besar itu kembali," jawab Jared. Di seberang api salah satu goblin melempar makhluk hitam yang meronta ke api. "Mereka tidak pernah terbakar," kata goblin itu. "Aku ingin mereka terbakar." "Kau tetap tak bisa memakannya," kata goblin lain. Suara lembut keluar dari tudung Jared membuatnya teringat Thimbletack masih bersama mereka. "Lihatlah," bisik si brownie, "salamander melata." Jared memandang ke dekat kakinya. Salah satu makhluk seperti kadal itu berada dekat sepatunya. Warnanya hitam opal, tubuhnya berkaki depan dan panjang serta berakhir dengan ekor. Makhluk itu sedang menelan sesuatu yang sepertinya ekor makhluk lain.
"Jared," kata Mallory. "Lihat dalam api. Apa itu?" Jared membungkuk sejauh yang dimungkinkan ikatannya. Dalam api ada semua salamander yang tadi dilemparkan para goblin. Tapi bukannya terbakar, mereka berdiam dengan tenang saat api berkobar di sekeliling mereka. Saat Jared memerhatikan, beberapa makhluk itu bergerak sedikit, seekor memutar kepalanya dan yang lain bergerak semakin dalam ke api. Mereka benar-benar tahan api. Jared berusaha mengingat Panduan Lapangan Arthur. Dia memikirkan sesuatu tentang salamander, tapi ingatannya payah. Makhluk-makhluk kecil ini seperti ilustrasi lain, tapi dia tak bisa mengingatnya. Jared terlalu gugup untuk berkonsentrasipikirannya terlalu penuh ibu dan saudaranya juga para goblin yang begitu dekat. Beberapa saat kemudian salah satu goblin mendekat dan menusuk perut Jared dengan cakarnya yang kotor. "Mereka tampak sangat enak. Aku bisa menggigit seluruh pipi yang merah itu. Aku berani bertaruh rasanya semanis permen." Setetes panjang air liur jatuh di tanah dekat Jared.
Jared menelan ludah dan menatap Hogsqueal. Si hobgoblin sedang menggunakan pedang dwarf untuk menusuk-nusuk api. Dia tidak mendongak, dan itu membuat Jared semakin gugup. Salah satu goblin mengikuti arah tatapan Jared. "Wormrat akan berpikir dia yang melakukannya," kata si goblin sambil menunjuk Hogsqueal. "Dia kan yang cerewet tadi." Hogsqueal berdiri. "Demi semua monyet panggang, kepala kosong..." Goblin ketiga mendekat, menjilat giginya yang tidak rata. "Begitu banyak daging." "Menjauhlah darinya!" kata Mallory. Dia menarik tangannya dari genggaman Jared. Saat itulah Jared sadar dia telah mencengkeram tangan Mallory begitu erat sehingga kukunya menusuk kulit kakaknya. "Apakah kau lebih suka kami memakanmu?" tanya si goblin dengan manis. "Gula dan bumbu dan semua yang semanis madu. Kalau itu bahan-bahan pembuat gadis kecil... kedengarannya enak bagiku!" "Makan ini!" kata Mallory. Dia menarik lepas tangannya dan menonjok wajah si goblin. "Pedangnya!" teriak Jared pada Hogsqueal, berusaha melepaskan tangannya dari tali. Si hobgoblin melirik Jared sekali, kemudian
menjatuhkan pedang dwarf itu dan lari dari lapangan. "Pengecut!" teriak Jared marah. Setelah lepas dari ikatannya, dia lari ke api, tapi dua goblin meraih kakinya dan membuatnya terjatuh ke tanah. Terus merangkak maju sampai bisa meraih pedang itu, Jared melemparkan pedang itu, pangkalnya lebih dulu, kepada kakaknya. Tangannya terasa sakit, dan dengan kaget bercampur kagum dia sadar telah mengiris dirinya sendiri. Semakin banyak goblin melompat ke punggungnya, menahannya di tanah. "Menjauhlah darinya!" Mallory maju, pedangnya berdesing saat diayunkan di udara. Para goblin menjauh darinya. Dia memukulkan pedang ke arah mereka. Para goblin melompat pergi dari punggung Jared dan berusaha mengambil senjata mereka sendiri. "Pergi! Lari!" teriak Mallory. Salah satu goblin melompat ke punggungnya, menggigit bahunya. Jared menarik tangan si goblin dan mengentakkannya sampai lepas dari kakaknya. Mallory menendang goblin lain yang mendekat. Salah satu goblin mengangkat tombak buatan dwarf dan melemparkannya pada Mallory. Dia berkelit kemudian menyerang, menusuk si goblin dengan
pedangnya. Saat makhluk itu melolong, Mallory membeku, menyadari apa yang telah dilakukannya. Darah mengotori pedang peraknya. Si goblin jatuh, tapi yang lain maju begitu cepat dan Mallory masih terpaku. Jeritan di atasnya menyadarkan Mallory. Byron menukik ke lapangan dan para goblm berpencar, bersembunyi di bawah sampah. Sayap si griffin mengepak kuat-kuat, membuat debu beterbangan. "Ayo," kata Jared, meraih tangan Mallory. Bersama-sama mereka melompat ke atap station wagon yang berkarat kemudian melompat turun ke lorong sempit berpagar rusak. Mereka lari melalui bathtub terbalik dan setumpuk ban. Beberapa pintu tersandar pada lemari es, dan saat mereka melewati semua itu, Jared terhenti mendadak. Di sana, berbaring di atas lempengan besi berkarat, ada seekor sapi.
Bab Lima KETIKA Mereka Mengetahui Arti "Di Sana Ada Naga"
SECARA refleks. Jared menengok ke belakang, tapi para goblin sudah tidak ada lagi. Si griffin mendarat dengan suara berisik ketika cakarnya mengentak bagian atas mobil, membuatnya peot, dan langsung menyisiri bulunya seperti kucing. Simon menyeringai dari punggung Byron. Jared berpaling kepada Mallory, tapi kakaknya sedang menatap si sapi. Binatang itu dirantai ke tanah, merendahkan dirinya perlahan, kelopak matanya cukup terbuka untuk menunjukkan bagian putih matanya. Perutnya tertutup makhluk-makhluk mirip ular-ular hitam yang menggeliat-geliat berebut posisi pada puting susunya yang merah. Makhluk-makhluk itu membuat lempengan besi di tanah menjadi hitam seperti karpet terbakar. Sesaat kemudian Jared sadar makhluk-makhluk itu salamander yang lebih besar. "Apa yang dilakukan makhluk-makhluk itu?" tanya Mallory. Pedangnya yang bernoda darah tergantung lemas pada tangannya, dan Jared merasakan dorongan untuk mengambil benda itu lalu membersihkannya sebelum kakaknya sadar. Tapi Jared mendekat kepada si sapi, "Minum susu, kurasa." "Uh," kata Simon, menyipitkan mata dari atas punggung Byron. "Aneh."
Beberapa salamander berbaring di tanah, kulit mereka pucat dan tubuh mereka menggeliat-geliat. Mereka jauh lebih besar daripada makhluk-makhluk sebesar jari yang di-liat Jared dan Mallory dalam api. "Mereka sedang berganti kulit," kata Simon. "Apa sih itu?" Jared menggeleng. "Salamander tahan api. Tapi mereka seharusnya tidak membesar seperti ini. Mereka hampir mirip..." Tapi dia tak yakin mereka membuatnya teringat pada apa. Sesuatu yang mengganggu di bagian belakang ingatannya. Saat itu Byron maju dan menjepit salah satu makhluk hitam yang meronta-ronta itu dengan paruhnya, melemparnya ke udara, dan menelannya. Lalu dia meraih satu lagi dan satu lagi. Dengan rakus dia mulai mengejar yang lebih besar, sepanjang lengan Jared, yang sedang bergelung di bawah sinar matahari senja. Makhluk itu berbalik dan mendesis, dan tibatiba Jared tahu apa yang dilihatnya. "Mereka naga," katanya. "Mereka semua naga." Di sudut matanya, Jared melihat sesuatu bergerak ke arahnya, secepat cambuk. Dia berputar, tapi makhluk hitam itu menabrak dadanya keras-keras. Terjatuh ke belakang, Jared hanya punya waktu untuk mengangkat
tangan ke depan wajahnya sebelum tubuh besar si naga, yang sepanjang sofa, menindihnya. Kepala Jared menghantam tanah, dan sesaat semuanya tampak kabur. "Jared!" jerit Mallory. Si naga membuka mulutnya untuk menunjukkan barisan ratusan gigi, setipis jarum. Jared membeku. Dia terlalu takut untuk bergerak. Kulitnya terbakar di tempat tubuh licin itu menyentuhnya. Mallory mengayunkan pedangnya keraskeras, mengenai bagian ekor naga itu. Darah hitam menyembur saat si naga berpaling ke arahnya. Jared berdiri, pusing dan gemetar. Kulitnya memerah, dan luka yang diperolehnya tadi berdenyut menyakitkan. "Hati-hati," teriaknya. "Dia beracun!" "Byron!" teriak Simon, menunjuk ke arah sosok hitam yang mengejar Mallory. "Byron! Tangkap dia!" Si griffin terbang ke udara sambil menjerit. Jared menatap Byron dan Simon dengan menusuk sebisanya, tapi si naga terlalu cepat Tubuhnya bergulung dan melompat seperti ular, tangannya yang kecil mencakar dan mencengkeram, mulutnya begitu lebar sehingga sepertinya bisa menelan Mallory bulat-bulat. Mallory takkan bertahan. Jared harus melakukan sesuatu.
Jared meraih benda terdekat - sepotong besi - dan melemparnya ke arah si naga. Makhluk itu berpaling dan kembali mengejarnya, secepat kilat, mulutnya terbuka. Dia mendesis. Si griffin menukik dari langit, cakarnya meraih si naga, paruhnya mematuk punggung lawannya. Naga itu melingkari tubuh Byron, mengeratkan ekornya sampai cukup untuk mencekik. Simon berpegangan erat-erat saat sayap-sayap si griffin mendorong mereka kembali ke angkasa. Si naga bergulung, giginya terbenam pada tubuh Byron yang berbulu. Kemudian sayapsayap si griffin terhenti sejenak, dan saat dia tiba-tiba merendah, Simon melompat turun. Jared lari ke kembaran-nya saat Simon jatuh ke arah tempat pembuangan itu. Simon terjatuh di atas tumpukan jendela dan tangan kirinya terlipat dalam sudut yang aneh. "Simon?" Jared membungkuk di sebelahnya. Simon mengeluh pelan dan menggunakan tangan kanannya untuk mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Pipi dan leher kirinya merah karena racun naga,l tapi sisa kulitnya tampak sangat pucat. "Kau tidak apa-apa?" bisik Jared. Mallory menyentuh tangan Simon dengan hati-hati.
Simon mengernyit dan berdiri dengan gemetar. Di atas mereka, naga dan griffin masih bergulat, kumpulan sisik dan kulit yang berputar-putar dan menggeliat-geliat. Gigi naga itu terbenam dalam leher Byron, dan si griffin terbang dengan panik. "Dia akan mati." Simon tertatih-tatih melangkah ke arah sapi yang dikelilingi naga-naga kecil yang seperti ikan. "Apa yang kaulakukan?" tanya Jared pada saudaranya. Saat Simon berpaling ke arah mereka, air mata membasahi wajahnya. Saat Jared menatapnya, Simon-yang tak pernah membunuh apa pun, yang selalu membawa labah-labah ke luar bukannya membunuhnya- menginjak kepala bayi naga, menghancurkannya sampai lumat dengan sepatu. Makhluk itu menjerit. Darah naga mengotori tanah dan melelehkan ujung sol sepatu Simon. "Lihat!" jeritnya. "Lihat apa yang kulakukan pada anak-anakmu!" Si naga berpaling di udara, dan Byron meraih kesempatan itu. Membenamkan paruhnya pada leher naga itu, dia membuat luka yang dalam. Naga itu terkulai dalam cakar Byron. "Simon! Kau hebat!" kata Mallory. Simon menatap Byron mendarat di dekat
mereka. Bulu-bulunya ternoda darah, dan dia menggetarkan tubuhnya. Kemudian, setelah menjatuhkan tubuh naga yang besar itu, Byron meneruskan kegiatannya makan bayi naga. "Ini tidak berjalan sesuai rencana kita," kata Simon. "Tapi sekarang kita sudah lebih dekat ke istana itu," kata Jared. "Mom pasti di sana." "Kau bisa terus, Simon?" tanya Mallory, meskipun dia sendiri juga tidak tampak segar, pipinya tertoreh dan jaketnya robek pada bagian pundak. Simon mengangguk, wajahnya muram. "Bisa, tapi aku tak tahu bagaimana Byron." "Kita harus meninggalkannya di sini," kata Jared. "Kurasa dia akan baik-baik saja. Racun itu sepertinya tidak memengaruhinya." Byron menelan seekor salamander hitam lagi dan menatap anak-anak keluarga Grace dengan mata emasnya yang aneh. Simon mengelus hidungnya dengan hati-hati. "Yeah, sepertinya dia menyukai naga-naga ini lebih daripada apa pun yang biasa kuberikan padanya." "Coba kulihat apa yang bisa kulakukan pada tanganmu," kata Mallory. "Kurasa tanganmu patah." Dia menggunakan kaus dalamnya
untuk membuat gendongan bagi tangan Simon. "Kau yakin kau tahu apa yang kaulakukan?" tanya Simon sambil mengernyit sakit. "Tentu aku yakin," kata Mallory, mengikat kain putih itu erat-erat. Mereka berjalan ke arah istana. Bangunan yang sangat besar itu terbuat dari sesuatu yang mirip semen atau batako, bercampur kerikil, kaca, dan kaleng alumunium. Bangunan itu tampak lebih seperti dituang dan di beberapa tempat bahkan mirip lelehan lava kering. Jendela-jendelanya berbentuk aneh, seolah si pembuat menyesuaikan bangunan itu dengan benda buangan apa pun yang ditemukannya. Cahaya berkelip di dalam. Beberapa tombak menghias bagian ujung atap utama, yang hitam karena tar dan ditutupi berlapis-lapis kaca dan kaleng yang kelihatan seperti sisik ikan. Saat mendekat, Jared melihat pintu utama terbuat dari bekas kepala tempat tidur kuningan. Di belakang gerbang ada parit dalam yang digali di tanah, penuh besi bergerigi yang penuh karat dan potongan kaca. Jembatan gantungnya diturunkan. "Bukankah seharusnya ada goblin yang menjaga?" tanya Mallory.
Jared menatap ke sekeliling. Di kejauhan dia bisa melihat asap datang dari apa yang dianggapnya perkemahan para goblin. "Sebentar lagi gelap," kata Simon. "Sepertinya terlalu mudah," kata Jared. "Seperti perangkap." "Perangkap atau bukan, kita harus terus maju," kata Mallory. Simon mengangguk. Jared masih merasa Simon tampak terlalu pucat dan bertanyatanya seberapa besar sakit yang diderita saudaranya itu. Paling tidak bagian merah di kulitnya sudah berkurang. Melangkah di atas jembatan gantung dengan hati-hati, Jared terus waspada kalau sesuatu terjadi. Dia terus menatap pecahan kaca yang berdiri dalam parit. Kemudian dia berlari ke seberang. Mallory dan Simon berhenti sejenak lalu lari mengikutinya. Saat memasuki istana itu, mereka ternyata berada di aula besar yang dibangun dari bahan-bahan buangan dan sesuatu yang sepertinya semen. Gerbangnya dihiasi pagar krom yang bengkok. Spatbor motor tergantung dari langit-langit dengan rantai berkarat, berkelap-kelip dengan cahaya lusinan lilin kuning yang menetes-netes. Dalam salah satu dinding, ada perapian yang cukup besar untuk memanggang Jared.
Suasananya hening yang aneh. Langkah mereka bergema dalam ruangan remangremang itu, dan bayangan mereka menari di dinding-dindingnya. Mereka melangkah lebih jauh, melewati sofa-sofa berbau jamur yang lapisannya sudah tidak berbenang. "Apakah kita punya rencana?" tanya Mallory. "Tidak," kata Jared. "Tidak," ulang Simon. "Hus," kata Thimbletack. "Hati-hati. Aku mendengar sesuatu di sini." Mereka berhenti sejenak, mendengarkan. Ada suara sayup-sayup yang hampir mirip musik. "Kurasa suara itu datang dari sini," kata Jared, mendorong sebuah pintu yang dihiasi lebih dari selusin kenop. Di dalam ruangan itu ada meja panjang tinggi yang terbuat dari sepotong kayu yang diletakkan di atas tiga dudukan untuk menyerut kayu. Lilinlilin gemuk yang baunya seperti rambut terbakar menutupi sebagian besar meja. Sisa-sisa lilin yang meleleh mengalir di sisinya. Di atas meja juga ada piring-piring hidangan-nampan besar berminyak berisi kodok panggang, apel-apel setengah habis, ekor dan tulang ikan yang besar. Lalat-lalat beterbangan rakus di atas sisa makanan.
Dari suatu tempat dalam ruangan itu terdengar serentetan nada tinggi. "Apa itu?" tanya Simon, melewati kursi tunggal yang besar. Kemudian dia berhenti, menatap sesuatu yang tak bisa dilihat Jared dan Mallory. Mereka buru-buru menghampirinya. Stoples besar berdiri di lantai di bawah jendela terbuka. Di sana, dalam cahaya remang-remang, Jared bisa melihat banyak sprite terjebak dalam madu, tenggelam seolah madu itu pasir isap. Teriakan sprite kecil itulah suara yang didengarnya tadi. Simon mengulurkan tangan untuk membebaskan para sprite itu, tapi madu itu berat dan melekat pada sayap-sayap mereka yang tipis, merobeknya. Para sprite menjerit saat Simon meletakkan mereka satu per satu, menjadi tumpukan yang lengket dan lembap. Salah satunya benar-benar diam dan terbaring lemas, seperti boneka. Jared membuang muka, menatap ke luar jendela. "Kaupikir masih ada banyak di dalam sana?" bisik Mallory. "Kurasa begitu," kata Simon. "Di dasar sana." "Kita harus terus." Jared bergerak ke pintu lain. Pikiran tentang peri mungil yang terbenam membuatnya pusing.
"Istana ini terlalu tenang," kata Mallory saat mengikuti adiknya. "Mulgarath tidak mungkin berada di sini sepanjang waktu," kata Jared. "Mungkin kita beruntung. Mungkin kita bisa langsung menemukan Mom lalu keluar." Mallory mengangguk, tapi tampak tidak yakin. Mereka melewati peta yang tergantung di dinding. Peta itu mirip peta tua Arthur, tapi tempat-tempatnya sudah dinamai ulang. Jared memerhatikan bahwa di atas tempat pembuangan sampah tertulis ISTANA MULGARATH dan yang tertulis di bagian atas kertas itu adalah DAERAH KEKUASAAN MULGARATH. "Lihat!" kata Simon. Di hadapan mereka ada ruangan besar dengan singgasana di tengahnya. Mengelilingi singgasana itu ada karpet bertumpuk-tumpuk dengan pola berbeda-beda, semuanya sudah tua dan dimakan rayap. Singgasana itu dibuat dari besi, disatukan dan bergerigi di beberapa tempat. Di ujung ruangan ada tangga spiral, setiap anak tangganya merupakan papan yang diikat dua rantai besi panjang. Seluruhnya tampak seperti jaring, bergerak-gerak ringan mengikuti tiupan angin. Dalam cahaya
remang-remang, tangga itu tampak tak mungkin di-panjat. Mallory menarik tubuhnya ke anak tangga pertama. Papan itu berayun mengerikan. Dia berusaha melangkah ke anak tangga berikut, tapi kakinya terlalu pendek. "Tangga ini terlalu berjauhan!" teriaknya. "Sempurna bagi ogre," kata Simon. Mallory akhirnya berhasil menangkap anak tangga berikut, naik dengan bertahan pada dadanya, dan menarik rubuhnya ke atas dengan cara itu. "Simon tidak mungkin memanjat ini," katanya. "Bisa... aku tidak apa-apa," Simon berkeras, mengangkat tubuhnya dengan kaku ke anak tangga pertama. Mallory menggeleng. "Kau akan jatuh." "Pegangan erat-erat," teriak Thimbletack dari dalam tudung Jared. "Kau akan baikbaik saja." Kemudian Jared menatap takjub saat tiap anak tangga berayun mendekat dan tetap diam supaya bisa dipanjat saudara-saudaranya. Dengan sebelah tangan yang sehat dan bantuan Mallory, Simon memanjat tangga itu. "Sudah giliranmu untuk menaiki tangga itu," kata Thimbletack. "Oh, benar." Jared mendaki tiap anak tangga. Bahkan dengan bantuan si brownie,
jantungnya berdetak semakin kuat saat dia memanjat semakin tinggi. Luka di tangannya terasa sakit saat dia memegang rantai tangga. Menatap ke kegelapan di bawah membuat Jared pusing sejenak. Di puncak, mereka mendapati diri mereka di lorong dengan tiga pintu, semuanya tidak sempurna. "Ayo coba yang di tengah," kata Simon. "Kita sudah membuat begitu banyak suara sekarang," kata Mallory. "Di mana semua penghuni istana? Ini menyeramkan." "Kita harus terus," kata Jared, mengulangi kata-katanya tadi. Mallory mendesah dan membuka pintu. Pintu itu terbuka pada ruangan besar dengan balkon yang terbuat dari batu dan rantai yang tidak cocok satu sama lain. Jendela katedral besar, terisi mosaik transparan dari potongan kaca, menutupi dinding lain. Ibu mereka ada di sudut, terikat, disumpal, dan pingsan. Di sudut lain, tergantung pada tali dan roda, ada ayah mereka.
Bab Enam KETIKA Kekacauan Hebat
APA yang kaulakukan di sini?" tanya Jared. Di belakangnya, dia mendengar Simon dan Mallory berteriak, "Dad!" bersama-sama. Rambut hitam ayah mereka tampak agak kusut dan kausnya keluar dari celananya di satu sisi, tapi jelas itu dia. Mata ayah mereka melebar. "Jared! Simon! Mallory! Untunglah kalian baik-baik saja." Jared mengernyitkan dahi. Ada sesuatu yang salah dalam situasi ini. Dia memandang ke sekeliling kamar itu lagi. Di luar balkon dia melihat para goblin berkumpul dalam kegelapan, membawa obor. Apa yang terjadi? "Cepat," kata Mallory. "Kita harus bergerak. Jared, lepaskan Mom. Aku akan melepaskan Dad." Jared membungkuk dan menyentuh pipi pucat ibunya. Rasanya dingin dan lembap. Kacamatanya hilang. "Mom pingsan," katanya. "Apakah dia masih bernapas?" tanya Mallory, berhenti dari pekerjaannya. Jared meletakkan tangan di depan bibir ibunya dan merasakan uap napasnya. "Dia baik-baik saja. Dia masih hidup." "Apakah kau melihat Mulgarath?" tanya Simon pada ayahnya. "Si ogre?" "Ada ribut-ribut di luar," kata Mr. Grace. "Aku tidak melihat apa-apa setelannya."
Mallory berkutat dengan ikatan dan berhasil menurunkan tangan ayahnya. "Bagaimana kau bisa datang ke sini dari California?" Ayah mereka menggeleng lelah. "Ibu kalian menelepon untuk mengatakan dia sangat khawatir-kalian bertiga bertingkah aneh kemudian menghilang. Aku datang secepat aku bisa, tapi para monster sudah ada di rumah. Mengerikan sekali. Pertama-tama aku tak bisa memercayai apa yang terjadi. Dan mereka terus bicara tentang suatu buku. Buku apa sih?" "Paman kami Arthur -" Jared memulai. "Dia paman buyut Mom, paman buyut kami," kata Mallory sambil menarik-narik ikatan. "Benar. Well, dia tertarik pada dunia makhluk-makhluk sejenis peri." Jared membuka ikatan ibunya sambil bercerita, tapi bahkan saat ikatannya lepas ibunya tetap tidak bergerak. Jared mengelus bagian belakang kepala ibunya, berharap dia membuka mata. "Saudaranya dimakan troll," Simon menyambung. Jared mengangguk, memandang ke sekeliling dengan gugup. Berapa lama sebelum mereka bakal ditemukan? Apakah mereka punya waktu untuk semua ini? Setelah menemukan ibu mereka, mereka harus keluar secepat mungkin. "Jadi dia
membuat buku tentang makhluk-makhluk sejenis peri ini. Isinya hebat sekali, bahkan beberapa juga tidak diketahui makhlukmakhluk itu." "Karena sepertinya mereka tidak berurusan satu sama lain," kata Mallory. Bagaimana mereka bisa membawa ibu mereka turun tangga? Apakah ayah mereka bisa membopongnya? Jared berusaha berkonsentrasi menjelaskan. Mereka harus yakin ayah mereka mengerti. "Tapi makhlukmakhluk itu tidak ingin ada yang punya kekuasaan atas diri mereka, jadi mereka berusaha mengambil buku itu. Saat Arthur tidak mau memberikannya, mereka menyekapnya." "Para elf yang melakukannya," kata Simon. "Benar?" kata ayah mereka dengan binar aneh di matanya. Jared mendesah. "Dengar, aku tahu kedengarannya sulit dipercaya, Dad, tapi lihatlah ke sekelilingmu. Apakah ini kelihatan seperti tata letak untuk salah satu filmmu?" "Aku percaya padamu," kata ayah mereka pelan. "Untuk memendekkan ceritanya," kata Mallory, "kami menemukan buku itu." "Tapi sekarang kami kehilangannya lagi," kata Simon. "Si ogre mengambilnya."
"Dan dia punya rencana benar-benar bodoh untuk menguasai dunia," sambung Mallory. Alis ayah mereka terangkat, tapi dia hanya berkata, "Jadi sekarang buku itu hilang, semua pengetahuan itu ikut hilang. Tidak ada salinannya? Sayang sekali." "Jared ingat banyak," kata Simon. "Aku berani bertaruh dia bisa membuat buku sendiri." Mallory mengangguk. "Dan kami juga belajar beberapa hal sambil jalan-ya kan, Jared?" Jared tersenyum, menunduk. "Kurasa begitu," katanya akhirnya. "Tapi coba kalau aku ingat lebih banyak." Ayah mereka melemaskan pergelangan tangannya yang baru dibebaskan dan meregangkan kaki. "Sayang sekali aku tidak datang lebih cepat. Seharusnya aku tidak meninggalkan kalian sendiri bersama ibu kalian. Dan aku ingin menebusnya. Aku ingin tinggal." "Kami juga merindukanmu, Dad," kata Simon. Mallory menunduk menatap botnya. "Yeah." Jared tidak berkata apa pun. Ini semua terasa terlalu mudah, sehingga pasti ada yang salah. "Mom?" katanya pelan, dan mengguncang ibunya. Dad membentangkan tangannya lebar-lebar. "Marilah beri ayahmu pelukan."
Simon dan Mallory memeluknya. Jared menatap ibunya dan dengan ragu mulai melintasi ruangan, saat ayahnya berkata, "Aku ingin kita selalu bersama mulai sekarang." Jared membeku. Dia sangat ingin itu terjadi, tapi kata-kata itu terasa bohong. "Dad tidak pernah mengatakan itu," katanya. Ayahnya mencengkeram tangannya. "Tidakkah kau ingin kita jadi keluarga utuh lagi?" "Tentu saja!" teriak Jared, menyentakkan tangannya sampai lepas dan mundur. "Aku ingin Dad bersikap lebih baik, dan Mom tidak sedih lagi. Aku ingin ayahku berhenti selalu membicarakan dirinya sendiri, film-filmnya, dan hidupnya lalu ingat bahwa akulah pecundang yang nyaris dikeluarkan dari sekolah dan Simon-lah yang menyukai binatang dan Mallory-lah yang main anggar. Tapi itu tidak akan terjadi dan kau bukan dia." Jared menatap mata cokelat ayahnya yang familier berubah menjadi kuning pucat. Tubuh ayahnya memanjang, semakin berisi, mengambil bentuk mammoth berpakaian sisa-sisa baju indah model kuno. Tangannya menjadi cakar, dan rambut hitamnya terpilin menjadi ranting-ranting. "Mulgarath," kata Jared.
Si ogre mencekik leher Mallory dengan sebelah tangan dan mencengkeram Simon dengan tangan yang lain. "Datanglah kemari, Jared Grace!" suara Mulgarath menggelegar, jauh lebih dalam daripada suara ayah mereka. Dia melangkah ke balkon, masih mencengkeram Simon dan Mallory. "Serahkan dirimu. Kalau tidak, akan kulempar saudara-saudaramu ke dalam parit kaca dan besiku." "Lepaskan mereka," kata Jared gemetar. "Kau sudah memiliki buku itu." "Aku tak bisa melakukan itu," kata Mulgarath. "Kau tabu rahasia yang mempercepat pertumbuhan naga dan bagaimana membunuh mereka. Kau tahu kelemahan-kelemahan goblinku. Aku tak bisa membiarkanmu membuat Panduan Lapangan lagi." "Lari!" teriak Mallory. "Bawa Mom dan lari!" Dia menggigit si ogre. Mulgarath tertawa dan semakin mengeratkan cengkeramannya, mengangkat Mallory ke udara. "Kau pikir kekuatanmu yang kecil cukup untuk menandingiku, anak perem-puan?" Simon menendang, tapi monster raksasa itu sepertinya tidak merasakannya. Keluhan terdengar dari sisi lain ruangan, dan Jared setengah berbalik. Ibunya bergerak
dan membuka matanya. Matanya melebar. "Richard? Kupikir aku mendengar... oh Tuhanku!" "Semuanya akan baik-baik saja, Mom," kata Jared, berharap suaranya terdengar meyakinkan. Entah bagaimana dia merasa sedih ibunya melihat semua ini. "Mom, suruh dia lari!" teriak Mallory. "Kalian berdua! Pergi!" "Diam, atau kupatahkan lehermu." Si ogre menggeram, tapi saat bicara pada Jared, suaranya melembut. "Ini pertukaran yang adil, kan? Hidupmu ditukar hidup saudarasaudaramu juga ibumu?" "Jared, apa yang terjadi?" tanya ibu mereka. Jared berusaha tetap tenang. Dia takut mati, tapi pasti jauh lebih parah melihat saudarasaudara dan ibunya disakiti. Jari-jari si ogre bahkan sudah merenggang, siap menjatuhkan Simon dan Mallory kapan pun. "Kau takkan mau melepaskan kami-bahkan kalaupun aku berjanji tidak akan membuat Panduan Lapangan lagi!" Mulgarath menggeleng pelan, matanya penuh kepuasan mengerikan. "Lepaskan mereka!" suara ibu mereka terdengar panik. "Lepaskan anak-anakku! Jared, apa yang kaulakukan?" Saat itulah Jared melihat pedang Mallory tergeletak di lantai.
Melihat pedang itu membuat pikiran Jared jernih. Dia harus berkonsentrasi-membuat rencana. Jared ingat apa yang dikatakan Arthur tentang ogre-mereka senang menyombongkan diri. Dia berharap ogre yang ini juga begitu. "Aku menyerah dan akan ke sana." "Jangan, bodoh!" teriak Mallory. "Jared, jangan!" teriak Simon. "Tapi sebelum melakukannya...," Jared menelan ludah dan berharap si ogre mau menangkap umpannya, "ada sesuatu yang ingin kuketahui. Mengapa kau melakukan ini semua? Kenapa sekarang?" Mulgarath tersenyum lebar. "Kalian manusia mengambil semua dan menyimpan bagian terbaik untuk diri kalian. Kalian tinggal di istana-istana, makan dalam jamuan, dan mendandani diri kalian dengan sutra mahal serta beludru seperti para bangsawan. Kami, yang hidup abadi, yang memiliki sihir, yang memiliki kekuatan, harus bersembunyi dan membiarkan kalian menginjak-injak kami sampai lumat. Tidak lagi. "Aku sudah merencanakan ini lama sekali. Pertama-tama kupikir aku harus menunggu naga-nagaku besar. Aku punya banyak waktu. Tapi dengan Panduan Lapangan, aku bisa mempercepat rencanaku. Kau tahu, selama naga-naga itu cukup susu, mereka
cukup jinak. Dan aku yakin sekarang kau sudah menyadari betapa cepat susu membesarkan mereka dan membuat mereka jadi kuat. "Para elf terlalu lemah untuk menghentikanku, dan manusia takkan pernah menyadari bahaya yang datang. Inilah waktu yang tepat bagiku-Masa Mulgarath! Masa goblin! Tanah ini akan punya penguasa baru!" Jared menelengkan kepalanya ke satu sisi, berharap Mulgarath terlalu sibuk bicara untuk memerhatikannya, dan berbisik ke dalam tudungnya. "Thimbletack, bisakan kau membuat rantai di langit-langit mengikat kaki Mallory dan Simon?" Thimbletack bergerak dan balas berbisik. "Aku harus turun tanpa bunyi satu pun." "Aku akan terus mengajaknya bicara," bisik Jared, kemudian mengeraskan suaranya, bicara pada si ogre. "Jadi kenapa kau harus membunuh para dwarf? Aku tidak mengerti. Mereka ingin membantumu." "Mereka punya impian kecil mereka sendiri tentang dunia yang dibangun dari besi dan emas. Tapi apa senangnya memerintah dunia seperti itu? Tidak, aku ingin dunia dari daging, darah, dan tulang." Si ogre tersenyum lagi, seolah senang mendengar
suaranya sendiri, kemudian memandang Jared. "Cukup bicaranya. Kemarilah." "Bagaimana dengan Panduan Lapangan?" tanya Jared. "Paling tidak, beritahu aku di mana buku itu." "Tidak," kata Mulgarath. "Buku itu tak mungkin kaumiliki lagi sekarang." "Aku hanya ingin tahu apakah sebenarnya aku bisa menemukannya," kata Jared. Senyum jahat mengembang pada wajah si ogre. "Memang, kalau kau lebih pintar, kau bisa menemukannya. Sayang sekali kau hanya anak manusia, sama sekali bukan lawanku. Buku itu di bawah singgasanaku selama ini." "Tahu, tidak," kata Jared, "kami sudah membunuh naga-nagamu. Kuharap itu tidak membuat rencana cerdikmu terlalu terhambat." Mulgarath tampak benar-benar terkejut. Kemudian alisnya mengerut marah. Di sudut matanya Jared bisa melihat rantai terurai dan melata di lantai seperti ular. Salah satu mengikat kaki Mallory, dan yang lain melingkari pinggang Simon. Saat besi itu menyentuh kulitnya, Mallory tersentak. Rantai ketiga merayap menuju kaki Mulgarath, dan Jared berharap si ogre tidak sadar. Tapi keheningan Jared cukup lama untuk
menggugah perhatian Mulgarath. Dia memandang ke bawah dan melihat Thimbletack mondar-mandir di lantai. Si ogre menendang brownie itu, kaki raksasanya membuat Thimbletack terlempar ke seberang ruangan, tempat dia mendarat seperti sarung tangan lemas di sebelah Mrs. Grace. Rantai-rantai itu berhenti bergerak. "Apa ini?" raung Mulgarath, menginjak-injak rantai di dekat kakinya. "Kau mau menipuku?" Jared lari maju dan meraih pedang perak Mallory. Mulgarath tertawa dan menjatuhkan Simon serta Mallory di luar balkon. Mereka berdua menjerit kemudian terdiam, sementara jeritan ibu mereka terus berkepanjangan. Jared tidak tahu apakah rantai itu bisa Jared merasa mual. Kemarahan mengisi dirinya. Semua tampak kecil dan jauh. Dia merasakan berat pedang di tangannya seolah hanya itulah yang nyata di dunia ini. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi. Seseorang di tempat yang jauh memanggil namanya, tapi dia tidak peduli. Tidak ada yang berarti lagi sekarang. Kemudian saat akan mengayunkan pedang, dia melihat ekspresi puas di wajah si ogre seolah Jared melakukan tepat apa yang diinginkan Mulgarath... seolah Jared masuk
tepat ke dalam jebakannya. Kalau dia mengayunkan pedang itu, dia akan mengadu tenaganya dengan tenaga si ogre, dan si ogre akan menang. Tiba-tiba Jared mengubah arah pukulannya dan mengarahkan ujung pedang itu ke bawah, menusuk kaki Mulgarath keraskeras. Si ogre melolong kaget dan kesakitan, mengangkat kakinya yang luka. Jared menjatuhkan pedang itu dan meraih rantai yang mengikat sebelah kaki si ogre, menariknya sekuat tenaga. Mulgarath oleng ke belakang, berusaha menyeimbangkan diri. Tapi saat tubuhnya menghantam pagar rantai, Jared mendorongnya lagi. Berat si ogre membuat rantai itu lepas dari dinding, dan dia terjatuh ke luar. Jared berlari ke ujung balkon. Dia sangat lega melihat Simon dan Mallory tergantung, rantai mengikat pinggang Simon dan kaki Mallory. Mereka memanggilnya dengan suara lemas. Jared mulai tersenyum, tapi saat melakukannya, dia melihat Mulgarath, tangannya berpegangan pada rantai, tubuhnya berubah bentuk menjadi naga yang menggeliat. Dia mulai merangkak kembali ke arah mereka.
"Hati-hati!" teriak Jared. Simon, tergantung lebih dekat pada si monster, berusaha menendangnya. Dia hanya membuat rantainya berayun mengerikan. Mallory dan Simon menjerit saat Jared membungkuk sejauh mungkin dan mengayunkan pedang lagi. Kali ini pedang itu menghantam rantai si ogre, memotongnya dan tertanam pada dinding istana. Mulgarath mulai berubah wujud lagi. Saat si ogre terjatuh menuju parit berisi pecahan kaca, tubuhnya mengecil dan mengecil sehingga akhirnya menjadi burung layang-layang. Burung itu melayang keluar dari parit, menuju kumpulan goblin. Dalam beberapa saat, Mulgarath akan memimpin pasukan itu ke istana. Tidak ada jalan keluar bagi keluarga Grace. Tapi kemudian, saat burung itu berbelok, bersiap terbang kembali ke arah anak-anak keluarga Grace, tangan hobgoblin tiba-tiba keluar dan menangkap burung itu. Kejadiannya begitu cepat sehingga Jared tidak bisa terkejut dan si ogre tidak punya waktu untuk berubah wujud lagi. Hogsqueal menggigit kepala si burung dan mengunyah dua kali dengan kegembiraan yang tampak jelas. "Mulut bau," katanya sambil menelan.
Jared tak bisa menahan diri. Dia mulai tertawa.
Epilog KETIKA Kisah Anak-Anak Keluarga Grace Berakhir
JARED duduk di lantai berkilat perpustakaan Arthur yang baru dibersih-kan dan bersandar di kaki Bibi Lucinda. Mallory berlutut di sebelahnya, membuat tumpukan surat tua yang tertulis dalam bahasa yang tidak mereka kuasai. Simon membuka-buka buku foto penuh foto hitam-putih memudar sementara ibu mereka menuang teh hangat ke dalam cangkir-cangkir. Semua itu akan terasa normal kalau Hogsqueal tidak duduk di bantalan kaki di dekat situ, main catur melawan Thimbletack yang diperban dan tampak kesal. Lucinda mengangkat salah satu lukisan gadis kecil dari meja Arthur. "Aku tak percaya. Aku tak pernah tahu semua ini." Tiga minggu sudah berlalu sejak mereka mengalahkan Mulgarath, dan Jared akhirnya mulai merasa keadaan akan tetap baik-baik saja. Para goblin menghilang dalam
kelompok-kelompok ribut. Byron sudah pergi saat mereka meninggalkan istana, dan sepertinya dia sudah makan semua anak naga. Jared, Simon, Mallory, dan ibu mereka berjalan pulang bersama dari tempat pembuangan itu. Perjalanan itu jauh, dan mereka begitu lelah sehingga begitu sampai di rumah, mereka ambruk ke tumpukan bulu dan kain yang dulunya tempat tidur mereka tanpa mengeluh atau berkomentar. Hari sudah gelap saat Jared akhirnya bangun dan melihat Thimbletack bergelung di atas bantal di sebelahnya, bersama kucing kecil cokelat milik Simon yang bersandar pada tubuh brownie kecil itu. Jared tersenyum, menarik napas panjang, dan tersedak bulu. Di bawah, dia menemukan ibunya sedang membersihkan dapur. Saat Jared berjalan memasuki ruangan itu, Mrs. Grace memeluknya erat-erat. "Aku minta maaf," katanya. Meskipun dia merasa seperti bayi, Jared balas memeluk ibunya lama sekali. Di akbir minggu itu ibu mereka mengatur supaya Lucinda bisa meninggalkan rumah sakit jiwa dan tinggal bersama mereka. Suatu hari sepulang sekolah, Jared terkejut melihat bibi buyutnya, dengan potongan rambut dan pakaian baru, duduk di ruang
duduk. Saat Mulgarath mati, sihirnya pasti ikut mati, dan meskipun Lucinda sering berjalan menggunakan tongkat, sekarang punggungnya tegak lagi. Mrs. Grace tidak bisa membuat keajaiban pada masalah-masalah Jared di sekolah; dia dikeluarkan. Dia memasukkan Jared dan Simon dalam sekolah swasta di dekat sana. Dia berkata sekolah itu punya program seni dan sains yang bagus. Mallory tinggal di sekolah yang lama. Dia toh tinggal menjalani satu tahun sebelum masuk SMU dan masih banyak yang harus dibuktikannya pada tim anggar J. Waterhouse. 138 Jared sendiri telah mengembalikan Panduan Lapangan Arthur ke dalam peti besinya. Tapi setelah melakukan itu pun dia masih tidak tahu harus melakukan apa. Apakah makhluk-makhluk itu masih mengejarnya? Apakah si ogre itu yang terburuk-atau sekadar yang terburuk sejauh ini? Angin berembus ke dalam perpustakaan, membuat kertas-kertas berantakan dan Jared terjaga dari lamunannya. Simon melompat bangkit, berusaha menangkap kertas-kertas itu. "Apakah kau membiarkan jendela terbuka?" tanya Mrs. Grace pada Bibi Lucinda.
"Aku tidak ingat melakukan itu," jawab bibi buyut mereka. "Aku tutup ya," kata Mallory, dan mulai melangkah ke arah jendela. Kemudian sehelai daun tertiup ke dalam. Daun itu menari di udara, melayang dan berputar, sampai jatuh tepat di depan Jared. Daun itu berwarna hijau kecokelatan, dan Jared merasa mungkin asalnya dari pohon mapel. Nama Jared tertulis di atas daun itu dengan tulisan tangan yang rapi. Dia membaliknya dan membaca: Waktu telah tiba Temui kami malam ini di bawah bulan purnama Bawa buku itu.
"Pesan ini tidak mengatakan tempatnya," kata Mallory, membaca dari balik pundak adiknya. "Padang itu, kurasa," kata Jared. "Kau tidak akan pergi, kan?" tanya Simon. "Aku pergi," kata Jared. "Aku sudah berjanji. Aku harus memberikan Panduan Lapangan Arthur kepada mereka. Aku tidak ingin sesuatu seperti ini terjadi lagi." "Kalau begitu kami ikut," kata Simon. "Aku juga," kata ibu mereka.
Ketiga anak itu memandang ibu mereka dengan terkejut, lalu berpandangan. "Jangan lupakan aku, jelek," kata Hogsqueal. "Jangan lupakan kami," koreksi Thimbletack. Bibi Lucy meraih tongkatnya. "Jaraknya tidak jauh, kan?" Malam itu mereka meinggalkan rumah membawa lentera, senter, dan Panduan Lapangan. Rasanya aneh mencari makhlukmakhluk seperti peri dengan diikuti ibu mereka dan Simon mendampingi Bibi Lucy. Mereka mendaki bukit, kemudian dengan hati-hati menuruni sisi sebelahnya. Jared merasa mendengar bisikan, "Memang cerdas," tapi bisa saja itu hanya tiupan angin. Lapangan itu disinari lusinan sprite, berputar-putar di udara, berkilauan seperti kunang-kunang raksasa, menerangi cabangcabang pohon dan mendarat di rerumputan. Para elf duduk di tanah - lebih banyak daripada yang dilihat ketiga anak pada kunjungan terakhir mereka-semua berpakaian warna musim gugur gelap seolah meng-kamuflase diri mereka dengan hutan. Para elf terdiam saat kelompok kecil manusia itu maju ke tengah lapangan. Di sana, berdiri di antara mereka yang duduk, adalah si elf bermata hijau, ekspresinya tak terbaca.
Di sebelahnya berdiri elf bertanduk daun, tampak kaku, dan Lorengorm yang berambut merah, yang tersenyum. Ingat pada Thimbletack, Jared membungkuk dengan kaku. Yang lain mengikuti contohnya. "Kami membawa buku itu," kata Jared, dan memberikannya pada si elf bermata hijau. Dia tersenyum. "Bagus. Kami harus menuruti janji kami, dan kalau kau tidak membawanya, Simon harus tinggal bersama kami dalam waktu yang sangat lama." Simon gemetar dan melangkah mendekati Mallory. Jared mengerutkan dahi. "Tapi karena kau sudah melakukannya," lanjut si elf, "kami ingin mengembalikannya padamu untuk disimpan." "Apa?" kata Mallory. Jared sangat terkejut. "Kau sudah membuktikan bahwa manusia bisa menggunakan pengetahuan itu untuk tujuan yang baik. Karena itulah kami mengembalikan Panduan Lapangan padamu." Lorengorm maju selangkah. "Kami juga ingin memberimu bentuk rasa terima kasih kami karena kau telah mengembalikan kedamaian ke tanah ini. Untuk itu kami menawarkan hadiah untukmu." "Hadiah?" Hogsqueal membusungkan dadanya. "Apa yang akan kudapat?
Bagaimana bisa anak-anak jelek ini mendapat hadiah sementara aku yang mengalahkan Mulgarath?" Beberapa elf mulai tertawa, dan Thimbletack memelototi Hogsqueal. "Sudah kuduga dia tidak ikut ke sini untuk membantu," kata Mallory. "Jadi apa yang kauinginkan, hobgoblin kecil?" tanya elf bermata hijau. "Well," kata Hogsqueal, menyentuhkan jarinya ke mulut seolah sedang berpikir. "Aku ingin medali, jelas. Emas dengan tulisan pembunuh ogre yang menakutkan'. Tidak, tunggu, bagaimana dengan tulisan pembantai monster yang hebat'? Atau-" "Itu saja?" tanya Lorengorm. "Tulisannya seharusnya kepala kumbang hebat," bisik Simon pada Jared. "Rasanya tidak," kata si hobgoblin. "Aku ingin jamuan kemenangan untuk menghormatiku. Dan harus ada telur burung puyuhaku suka itu-dan merpati dipanggang dalam pie dan barbecue - " Kami akan mempertimbangkan permintaanmu," kata elf bermata hijau, senyumnya hampir tidak tersembunyi di balik tangannya yang halus. "Tapi sekarang aku harus bertanya pada anak-anak apa yang mereka inginkan."
Jared menatap saudara-saudaranya. Pertama-tama mereka seolah berpikir, kemudian senyum mulai merekah di wajah mereka. Jared menatap ibunya, yang sepertinya masih agak bingung, dan bibi buyutnya, wajahnya penuh harapan. "Kami ingin paman buyut kami, Arthur Spiderwick, bisa memilih akan tinggal di Dunia Peri atau tidak." "Tentunya kau tahu," kata Lorengorm, "bahwa kalau dia memilih kembali ke dunia fana, begitu dia menginjak tanah, dia akan menjadi debu." Jared mengangguk. "Aku mengerti." "Kami sudah mengantisipasi permintaanmu," kata elf bermata hijau. Dengan lambaian tangannya pohon-pohon menyibak, dan Byron melangkah maju. Di punggungnya ada Arthur Spiderwick. Jared mendengar yang lain tersentak di belakangnya. Arthur tersenyum singkat pada Jared, dan kali ini Jared melihat matanya mirip mata Lucinda, sama-sama tajam dan ramah. Arthur duduk di punggung si griffin dengan kaku dan mengelus bulunya dengan kagum. Kemudian dia menatap Mallory dan Simon. Dia memperbaiki letak kacamatanya. "Kalian cucu keponakanku, kan?" katanya lembut. "Jared tidak bilang dia punya saudara."
Jared mengangguk. Dia ingin tahu apakah ada cara minta maaf untuk apa yang dulu dia katakan. Dia ingin tahu apa pendapat Arthur tentang dirinya. "Aku Simon," kata Simon. "Ini Mallory, dan ini ibu kami." Simon menatap Lucinda dan ragu-ragu. "Aku senang bertemu kalian," kata Arthur. "Kalian anak-anak jelas mewarisi darah selalu ingin tahuku. Kalian mungkin akan menyesalinya." Dia menggeleng sedih. "Sepertinya darah itu sudah membuat kalian luka-luka. Untunglah kalian bertiga sepertinya lebih berhasil menghindari masalah daripada aku." Dia tersenyum lagi, dan kali ini senyumnya pasti. Senyum itu seringai lebar yang membuatnya sama sekali tidak mirip pria dalam lukisan. "Kami juga senang bisa bertemu denganmu," kata Jared. "Kami ingin mengembalikan bukumu kepadamu." "Panduan Lapangan-ku!" kata Arthur. Dia mengambilnya dari tangan Jared dan mulai membuka-bukanya. "Lihat ini - siapa yang menggambar ini?" "Aku," kata Jared, suaranya selembut bisikan. "Aku tahu gambarnya jelek." "Nonsens!" kata Arthur. "Ini pekerjaan bagus. Aku meramalkan kau akan mejadi seniman hebat suatu hari nanti."
"Benar?" kata Jared. Arthur mengangguk. "Benar." Thimbletack melangkah ke sepatu Arthur. "Senang bertemu denganmu, teman lamaku, tapi ada beberapa hal yang harus dijelaskan. Ini Lucinda, yang dikenal olehmu. Dia tidak seperti dirinya bertahun-tahun yang lalu." Napas Arthur tercekat saat dia akhirnya mengenali Lucinda. Bibi pasti kelihatan sangat tua baginya, pikir Jared. Jared berusaha membayangkan ibunya sebagai wanita muda, melihat dirinya dalam versi yang jauh lebih tua, tapi rasanya terlalu sulit, terlalu menyedihkan. Lucinda tersenyum, dan air mata meleleh di pipinya. "Daddy!" katanya. "Kau tampak persis seperti saat kau pergi." Arthur bergerak hendak turun. "Jangan!" kata Lucinda. "Kau akan langsung jadi debu." Bertopang pada tongkatnya, dia melangkah mendekat kepada ayahnya. "Aku minta maaf bagi semua kesedihan yang dialami kau dan ibumu," kata Arthur. "Aku menyesal telah mencoba menipu para elf. Seharusnya aku tidak mengambil risiko itu. Aku selalu mencintaimu, Lucy. Aku selalu ingin pulang." "Kau sudah di rumah sekarang," kata Lucinda.
Arthur menggeleng. "Sihir elf membuatku hidup selama ini. Sudah saatnya aku pergi, tapi melihatmu, Lucy-aku bisa pergi dengan lega." "Aku baru saja bertemu lagi denganmu," kata Lucinda. "Kau tak boleh meninggal sekarang. " Arthur membungkuk dan bicara pada putrinya-kata-kata pelan yang tak dapat didengar Jared-sebelum dia melangkah turun dan si griffin dan masuk dalam pelukan Lucinda. Saat kaki Arthur menyentuh tanah, tubuhnya berubah menjadi debu kemudian asap. Asap itu berputar di sekeliling bibi buyut Jared kemudian naik ke langit malam dan menghilang. Jared berpaling pada Lucinda, berpikir akan melibatnya menangis, tapi mata bibinya itu kering. Dia menatap bintang-bintang dan tersenyum. Jared menyusupkan tangannya ke tangan Lucinda. "Sudah saatnya kita pulang," kata Bibi Lucinda. Jared mengangguk. Dia memikirkan semua yang telah terjadi, semua hal yang telah dilihatnya, dan tiba-tiba sadar betapa banyak yang harus digambarnya. Lagi pula, dia baru saja mulai. Di sini akhir kisah ANAK ANAK KELUARGA GRACE
Melalui padang gua, dan hutan. benang ini terus terurai dengan kemenangan sang pahlawan dan kejahatan tercerai-berai!
Tapi tidak semua gembira saat tiba di akhir ini dan harus berpisah juga pada ayah pemandu... teman sejati. Meskipun Arthur pergi, pengorbanannya sangat berarti! Lucinda, putrinya tersayang akhirnya aman, sudah pulang.
Hogsqueal sudah makan. Keluarga Grace bisa istirahat. Dan Thimbletack kembali melakukan rutinitas yang dilakukannya dengan hebat. Semua bahagia dan tidak lagi ketakutan tinggal satu pertanyaan... Apa yang terjadi selanjutnya?
Apakah ada ogre dan naga untuk dibantai? Apakah ada kejahatan meraja, Mungkin di masa depan mereka? Tanya Tony dan Holy. Mereka bersumpah semua nyata. Tapi kau masih belum percaya apa yang mengejarmu nanti!
Waktunya sudah tiba. Panduan Lapangan di tangan Tak lama lagi kisah Spiderwick kita akan dibaca di mana-mana. Jadi bukalah matamu. Dan saat melihatnya, pilih dia! Karena pengetahuan penting bagimu... Tapi hati-hatilah menggunakannya.
Ucapan Terima Kasih Tony dan Holly ingin berterima kasih kepada Steve dan Dianna untuk ide-ide mereka, Starr untuk kejujurannya, Myles dan Liza untuk berbagi pengalaman, Ellen dan Julie untuk membantu menjadikan ini nyata,
Kevin untuk antusiasmenya yang tak kenal lelah Dan kepercayaannya kepada kami. Dan terutama kepada Angela dan Theo - Tidak ada cukup banyak pujian Yang bisa mendeskripsikan kesabaran kalian Dalam menjalani malam-malam panjang Diskusi tentang Spiderwick.