KEPONAKAN PENYIHIR a MR. Collection's
a KEPONAKAN PENYIHIR eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
[email protected] C.S. Lewis Ilustrasi oleh Pauline Baynes Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005 THE CHRONICLES OF NARNIA #1 THE MAGICIAN'S NEPHEW Copyright © CS Lewis Pte Ltd 1955, 1950, 1954, 1951, 1952, 1953, 1956 Inside illustrations by Pauline Baynes, copyright © CS Lewis Pte Ltd 1955, 1950, 1954, 1951, 1952, 1953, 1956 Cover art by Cliff Nielsen, copyright © CS Lewis Pte Ltd 2002 The Chronicles of Narnia®, Narnia® and all book titles, characters and locales original to The Chronicles of Narnia, are trademarks of CS Lewis Pte Ltd Use without permission is strictly prohibited Published by PT Gramedia Pustaka Utama under license from the CS Lewis Company Ltd All rights reserved www.narnia.com THE CHRONICLES OF NARNIA #1 KEPONAKAN PENYIHIR Alih Bahasa: Indah S. Pratidina GM 106 05 008 Hak Cipta Terjemahan Indonesia:
PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat '3337 Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Anggota IKAPI, Jakarta, Juni 2005 Cetakan kedua: September 2005 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) LEWIS, C.S. THE CHRONICLES OF NARNIA: KEPONAKAN PENYIHIR/ C.S. Lewis; alih bahasa: Indah S. Pratidina, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005 280 hlm; ilustrasi; 18 cm Judul asli: THE CHRONICLES OF NARNIA: THE MAGICIAN'S NEPHEW ISBN 9792214577 I. Judul II. Pratidina, Indah S. Dicetak oleh PT SUN, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan
Kepada Keluarga Kilmer Untuk KMR, yang slalu menjadi inspirasiku a DAFTAR ISI 1. Pintu yang Salah 9 2. Digory dan Pamannya 29 3. Hutan di Antara Dunia-Dunia 47
4. Bel dan Palu 64 5. Kata Kemalangan 83 6. Awal Segala Kesusahan Paman Andrew 101 7. Yang Terjadi di Pintu Depan 119 8. Pertarungan di Lampu Tiang 138 9. Membangkitkan Narnia 154 10. Lelucon Pertama dan Hal-hal Lain 174 11. Digory dan Pamannya Sama-sama dalam Kesulitan 192 12. Petualangan Strawberry 209 13. Pertemuan Tak Terduga 228 14. Penanaman Pohon 246 15. Akhir Kisah Ini dan Awal Kisah-kisah Lain 262
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's BAB 1
Pintu yang Salah INI kisah tentang sesuatu yang terjadi dulu sekali ketika kakeknenekmu masih kanakkanak. Kisah ini penting karena mengungkapkan bagaimana pertama kali dimulainya berbagai hal bisa keluarmasuk dari dunia kita sendiri ke tanah Narnia. Di masamasa itu, Mr Sherlock Holmes masih tinggal di Baker Street dan keluarga Bastable masih mencari harta terpendam di Lewinsham Road. Di masamasa itu, kalau kau anak lakilaki kau harus mengenakan kerah Eton yang kaku setiap hari, dan sekolahsekolah biasanya lebih kejam daripada sekarang. Tapi makananmakanannya lebih lezat, dan kalau bicara soal permenpermennya, aku tidak akan bilang padamu betapa murah dan nikmat semua jenisnya, karena itu hanya akan membuat air liurmu 9 menetes percuma. Dan di masamasa itu, hiduplah di London anak perempuan bernama Polly Plummer. Dia tinggal di salah satu rumah di deretan panjang rumah yang berdempetan. Di suatu pagi, dia sedang berada di kebun belakang ketika seorang anak lakilaki datang berlari dari kebun sebelah dan meletakkan kepalanya di atas pagar tembok. Polly sangatlah terkejut karena hingga saat ini belum pernah ada anakanak di rumah itu, hanya Mr Ketterly dan Miss Ketterley, kakakberadik, perjaka tua dan perawan tua, tinggal bersama. Jadi Polly mendongak, penuh rasa ingin tahu. Wajah anak lakilaki asing itu sangat kotor. Nyaris tidak akan bisa lebih kotor lagi bila dia menggosokkan tangan ke tanah dulu, menangis keras, lalu mengeringkan wajah dengan kedua tangannya. Bahkan sebenarnya, bisa dibilang itulah yang baru saja dia lakukan. "Halo," sapa Polly. "Halo," sapa anak lakilaki itu. "Siapa namamu?" "Polly," jawab Polly. "Kalau namamu?" "Digory," jawab si anak lakilaki. "Wah, namamu aneh sekali!" kata Polly. "Lebih aneh mana dengan Polly?" kata Digory. 10
"Namamu lebih aneh," kata Polly. "Tidak," kata Digory. "Yang pasti aku akan mencuci wajahku," kata Polly. "Itu perlu kaulakukan, terutama setelah—" lalu dia berhenti. Dia berniat berkata "Setelah kau menangis lama," tapi dia pikir itu tidak sopan. "Baiklah, aku akan mencuci muka," kata 11 Digory dengan suara yang jauh lebih keras, seperti anak lelaki yang saking sedihnya tidak peduli siapa saja yang tahu dia habis menangis. "Tapi kau juga akan begini," dia melanjutkan, "kalau sepanjang umurmu kau hidup di pedesaan dan memiliki kuda poni, juga sungai di bagian bawah taman, lalu dibawa untuk hidup di gua kumuh mengerikan seperti ini." "London bukan gua," kata Polly yakin. Tapi anak lelaki itu terlalu marah untuk mendengarnya, dia pun melanjutkan— "Dan kalau ayahmu berada jauh di India— dan kau harus tinggal bersama Bibi dan Paman yang gila (siapa yang bakal mau?)—dan kalau alasannya adalah karena mereka harus menjaga ibumu—dan jika ibumu sakit dan akan— akan—meninggal." Kemudian wajahnya mulai membentuk rupa aneh yang biasa muncul bila kau berusaha menahan air mata. "Aku tidak tahu itu. Maaf ya," kata Polly lembut. Kemudian, karena dia hampir tidak tahu apa yang harus diucapkan dan berusaha mengalihkan pikiran Diggory ke topiktopik menggembirakan, dia bertanya: "Memangnya Mr Ketterly benarbenar gila,
ya?" "Yah, kalau tidak gila," kata Digory, "pasti12 nya dia menyimpan misteri lain. Dia punya ruang kerja di lantai atas dan Bibi Letty bilang jangan sekalikali aku berani ke sana. Nah, itu saja sudah terdengar mencurigakan, kan? Kemudian ada satu hal lagi. Setiap kali pamanku berusaha mengatakan apa pun padaku saat makan—dia bahkan tidak pernah berusaha bicara pada Bibi—Bibi Letty langsung menyuruhnya diam. Dia bilang, 'Tidak perlu mencemaskan anak itu, Andrew' atau 'Aku yakin Digory tidak mau mendengar tentang itu' atau kalau tidak 'Nah, Digory, tidakkah kau ingin main keluar di taman?"' "Biasanya pamanmu berusaha bicara tentang apa?" "Aku tidak tahu. Dia tidak pernah bisa bicara banyak. Tapi ada lagi yang lebih membuat penasaran. Suatu malam—bahkan sebenarnya, kemarin malam—waktu aku melewati tangga terbawah menuju loteng, saat mau pergi tidur (dan biasanya aku tidak pernah terlalu peduli saat melewatinya), aku yakin aku mendengar teriakan." "Mungkin dia menyekap istrinya yang gila di atas sana." "Ya, aku sudah memikirkan kemungkinan itu." 13 "Atau mungkin dia sebenarnya pembuat uang palsu." "Atau dia mungkin dulunya bajak laut, seperti pria yang ada di bagian awal buku Treasure Island, yang selalu bersembunyi dari temanteman sekapalnya." "Seru sekali!" kata Polly. "Aku tidak pernah menyangka rumahmu begitu menarik." "Kau mungkin berpendapat rumah itu menarik," kata Digory. "Tapi kau tidak bakal menyukainya kalau harus tidur di sana. Apakah kau masih akan menyukainya kalau harus selalu terbaring dalam keadaan terjaga mendengarkan langkah kaki Paman Andrew yang mengendapendap sepanjang koridor menuju rumahmu? Matanya juga mengerikan sekali."
Begitulah ceritanya bagaimana Polly dan Digory bisa saling mengenal. Dan karena saat itu masih permulaan liburan musim panas dan tidak satu pun dari mereka yang pergi ke laut tahun itu, mereka bertemu nyaris setiap hari. Sebagian besar alasan dimulainya petualangan mereka adalah karena saat itu musim panas yang paling sering hujan dan dingin yang pernah ada sejak bertahuntahun. Keadaan ini membuat mereka harus berpuas diri dengan kegiatankegiatan di dalam rumah, bisa dibi14 lang, petualangan di dalam rumah. Menakjubkan sekali betapa banyaknya petualangan yang bisa kaulakukan dengan sebongkah lilin di suatu rumah besar, atau di deretan rumah. Polly telah lama menemukan bahwa jika kau membuka pintu kecil tertentu di loteng yang berbentuk kotak di rumahnya, kita akan menemukan tempat penyimpanan air dan ruang gelap di belakangnya yang bisa kaumasuki dengan sedikit memanjat hatihati. Ruang gelap itu seperti terowongan panjang dengan dinding bata di satu sisi dan atap curam di sisi lainnya. Di atap, berkasberkas kecil cahaya menembus di antara ronggarongganya. Tidak ada lantai di terowongan ini, kita bakal harus melangkah dari kasau ke kasau, dan di antaranya hanya ada plester. Kalau kita menginjak plester ini kau akan mendapati dirimu terjatuh dari langitlangit ruangan di bawahnya. Polly menggunakan sebagian kecil terowongan itu, tepat di sebelah tempat penyimpanan air, sebagai gua penyelundup. Dia membawa bagianbagian peti pakaian tua, beberapa bantalan kursi dapur yang rusak, dan bendabenda sejenis lainnya, lalu menyebar semua benda itu di atas kasau demi kasau sehingga terbentuk semacam lantai. Di sinilah dia menyimpan kotak uang yang 15
berisi berbagai harta, dan cerita yang sedang ditulisnya, lalu biasanya beberapa apel. Dia sering kali diamdiam meminum bir jahe di sana, botolbotol lamanya membuat tempat itu lebih kelihatan seperti gua penyelundup. Digory lumayan menyukai gua itu (Polly tidak mengizinkannya melihat cerita yang ditulisnya) tapi anak lelaki itu lebih suka bertualang. "Polly," kata Digory. "Sepanjang apa terowongan ini sebenarnya? Maksudku, apakah terowongan ini berakhir di ujung rumahmu?" "Tidak," kata Polly. "Dindingdindingnya tidak berakhir hingga atap rumah ini saja. Tapi 16 terus memanjang. Aku tidak tahu hingga sejauh apa." "Kalau begitu kita bisa menjelajah sejauh panjangnya deretan rumah ini." "Sepertinya begitu," kata Polly. "Dan oh, astaga!" "Apa?" "Kita bisa masuk ke rumahrumah lain." "Ya, dan dianggap perampok! Tidak, terima kasih." "Jangan sok tahu, dengar dulu. Yang kumaksud itu rumah di sebelah rumahmu." "Ada apa di rumah itu?" "Rumah itu kosong. Daddy bilang rumah itu selalu kosong sejak kami pindah kemari." "Berarti kurasa kita harus mencoba melihatnya," kata Digory. Kalau kau mendengarnya berbicara, kau tidak akan menduga sebenarnya dia jauh lebih bersemangat daripada itu. Karena tentu saja dia sedang memikirkan, seperti yang juga akan kaulakukan, semua alasan kenapa rumah itu kosong begitu lama. Begitu juga Polly. Tidak satu pun di antara mereka yang
mengucapkan kata "berhantu". Dan keduanya merasa bahwa sekali suatu ide tercetus, akan jadi tindakan pengecut bila tidak melakukannya. 17 "Jadi kita coba pergi ke sana sekarang?" tanya Digory. "Baiklah," jawab Polly. "Tidak usah kalau kau tidak ingin," kata Digory. "Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly. "Bagaimana caranya kita bisa tahu kita sudah ada tepat di rumah sebelah rumahku?" Mereka memutuskan harus keluar dari ruang kotak dan berjalan menyeberanginya dengan berjalan sebanyak langkah yang dibutuhkan untuk berpindah dari satu kasau ke kasau lain. Tindakan ini akan bisa memberikan mereka perkiraan ada berapa kasau yang harus dilewati untuk melewati satu ruangan. Kemudian mereka akan melebihkan kirakira empat kasau untuk memperkirakan lorong di antara dua loteng di rumah Polly, kemudian jumlah yang sama dengan ruang kotak untuk kamar tidur pelayan perempuan. Perhitungan ini akan membantu mereka mengirangira panjang rumah. Kalau mereka sudah melalui jarak itu sejauh dua kalinya, mereka akan berada di ujung rumah Digory. Pintu mana pun yang mereka temui setelah itu akan membawa mereka ke loteng rumah kosong tersebut. "Tapi kurasa loteng itu tidak akan benarbenar kosong," kata Digory. 18 "Memangnya menurutmu bakal ada apa di sana?" "Menurutku bakal ada seseorang tinggal secara diamdiam di sana, hanya keluarmasuk di malam hari, dengan lentera temaram. Kita mungkin akan menemukan geng penjahat yang putus asa dan mendapatkan hadiah untuk penangkapan mereka. Bisa dibilang mustahil sebuah rumah kosong selama bertahuntahun seperti itu tanpa ada misteri
di baliknya." "Menurut Daddy pasti pipapipanya yang tidak beres," kata Polly. "Huh! Orang dewasa selalu memikirkan penjelasanpenjelasan yang tidak menarik," kata Digory. Karena mereka sekarang sedang berbicara di loteng dengan cahaya matahari siang dan bukannya dengan sinar lilin di Gua Penyelundup, semakin tidak tampak adanya kemungkinan rumah kosong itu ada hantunya. Ketika selesai mengukur loteng, mereka harus mengambil pensil dan melakukan penjumlahan. Awalnya mereka berdua mendapatkan hasil yang berbeda, dan bahkan ketika akhirnya mereka sependapat, aku masih belum yakin perhitungan mereka benar. Mereka begitu terburuburu ingin segera memulai petualangan. "Kita tidak boleh bersuara," kata Polly ke19 tika mereka memanjat lagi ke belakang tempat penyimpanan air. Karena ini peristiwa penting, mereka masingmasing membawa lilin (Polly punya banyak persediaan lilin di guanya). Keadaan begitu gelap, berdebu, dan lembap saat mereka melangkah dari kasau ke kasau tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kecuali ketika mereka saling berbisik, "Kita sudah ada di seberang loteng mu sekarang," atau "Kita pasti sudah setengah jalan melewati rumah kami". Keduartya tidak pernah tersandung dan lilinlilin mereka tidak pernah padam, lalu akhirnya mereka mencapai suatu tempat mereka bisa melihat pintu kecil di dinding batu bata di sebelah kanan mereka. Tidak ada gembok atau kenop di sisi yang bagian sini tentu saja, karena pintu itu dibuat untuk masuk dan bukan keluar, tapi ada semacam pegangan (seperti yang biasa ditemukan di pintu lemari) yang mereka yakin bakal bisa diputar. "Aku buka?" tanya Digory.
"Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly, seperti ucapannya sebelumnya. Keduanya merasa situasi mulai jadi serius, tapi tidak satu pun dari mereka yang mau mundur. Dengan agak susah payah, Digory menekan dan memutar pegangan itu. Pintu terayun terbuka 20
dan sinar matahari siang yang mendadak menghambur keluar membuat mata mereka mengejapngejap. Lalu, bersama dengan rasa sangat terkejut, mereka mendapati mereka sedang melihat, bukan loteng terlantar, tapi ruangan berperabot lengkap. Namun ruangan itu sepertinya memang tak berpenghuni. Sepi sekali di 21 dalamnya. Rasa ingin tahu Polly menguasainya. Dia meniup lilinnya hingga padam dan masuk ke ruangan asing itu, nyaris tanpa suara. Ruangan itu berbentuk, tentu saja, seperti loteng, tapi dilengkapi perabotan ala ruang duduk. Setiap sisi dinding ditutupi rakrak dan setiap sudut dalam rak itu dipenuhi buku. Api menyala di perapian (kau pasti ingat bahwa musim panas tahun itu begitu basah dan dingin) dan di depan perapian, membelakangi Digory dan Polly, ada kursi berlengan yang berpunggung tinggi. Di antara kursi dan Polly, mengisi sebagian besar ruangan, ada meja besar yang dipenuhi berbagai benda—bukubuku cetakan dan jenis bukubuku yang bisa kautulisi, juga beberapa botol tinta, pena, lilin segel, dan mikroskop. Tapi yang langsung menarik perhatian Polly adalah baki kayu merah yang di atasnya tergeletak beberapa cincin. Cincin itu masingmasing berpasangan—yang kuning berpasangan dengan yang hijau, lalu ada sedikit jarak, kemudian cincin kuning lagi dengan cincin hijau lain. Cincincincin itu tidak lebih besar daripada cincincincin biasa, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian dari bendabenda itu karena mereka bersinar terang
sekali. Bendabenda itu benda kecil bercahaya 22 terindah yang bisa kaubayangkan. Kalau Polly lebih muda usianya daripada saat itu, dia pasti bakal ingin memasukkan salah satunya ke mulut. Ruangan itu begitu sepi sehingga kau langsung bisa mendengar bunyi detakan jam. Namun, seperti yang kini Polly sadari, ruangan itu juga tidak benarbenar sepi. Ada suara berdengung yang samar—amat sangat samar. Kalau mesin penyedot debu sudah ditemukan saat itu, Polly pasti akan berpikir itu suara penyedot debu yang sedang digunakan jauh sekali—terpisah darinya beberapa ruangan di beberapa lantai di bawahnya. Tapi dengungan itu lebih menyenangkan daripada suara mesin, lebih bernada: hanya saja begitu samar sehingga kau nyaris tidak bisa mendengarnya. "Tidak apaapa—tidak ada orang di sini," kata Polly ke balik bahunya ke Digory. Sekarang dia bicara sedikit lebih keras daripada bisikan. Lalu Digory keluar, matanya mengejapngejap, dan tubuhnya tampak kotor sekali— pasti Polly juga begitu. "Ini bukan pertanda bagus," kata Digory. "Ini sama sekali bukan rumah kosong. Sebaiknya kita cepat pergi sebelum ada orang datang." 23 "Menurutmu cincincincin apa itu?" kata Polly sambil menunjuk cincincincin berwarna tadi. "Aduh, ayolah," ajak Digory. "Semakin cepat kita—" Dia tidak pernah menyelesaikan katakatanya karena tepat pada saat itu sesuatu terjadi. Kursi berpunggung tinggi di depan perapian tibatiba bergerak dan berdiri dari bangkunya—
seperti iblis pantomim keluar dari pintu bawah panggung—sosok mengejutkan Paman Andrew. Ternyata mereka tidak berada di rumah kosong, mereka berada di rumah Digory dan di ruang kerja yang terlarang dimasuki! Kedua anak itu berucap "Oooh" dan menyadari kekeliruan besar mereka. Mereka merasa seharusnya sudah tahu mereka belum pergi cukup jauh. Paman Andrew bertubuh tinggi dan sangat kurus. Wajahnya bersih bercukur dengan hidung bengkok tajam, matanya luar biasa tajam, dan rambutnya beruban lebat juga berantakan. Digory tak mampu berkatakata, karena kini Paman Andrew tampak seribu kali lebih mengerikan daripada sebelumnya. Polly belum merasa setakut itu, tapi tak lama lagi pasti begitu. Karena tindakan pertama yang Paman Andrew lakukan adalah berjalan menuju pintu ruangan, 24 menutupnya, dan menguncinya. Lalu dia berbalik, menatap lekat kedua anak itu dengan matanya yang tajam, dan tersenyum, menunjukkan seluruh giginya. "Nah!" katanya. "Sekarang kakakku yang bodoh tidak akan bisa membantumu!" Tindakan itu sama sekali bukan tindakan yang kita harapkan bakal dilakukan orang dewasa. Jantung Polly rasanya mau melompat keluar, dia dan Digory pun mulai berjalan mundur ke pintu kecil yang mereka lalui tadi. Tapi Paman Andrew terlalu cepat dibanding mereka. Tahutahu dia sudah berada di belakang mereka, menutup pintu itu juga, lalu berdiri menghalanginya. Kemudian dia menggosokgosokkan kedua tangannya dan membuat bukubuku jemari tangannya berderak. Jemarinya sangat panjang, putih, dan bagus. "Aku senang sekali kalian datang," katanya. "Tepat saat aku membutuhkan dua anak."
"Saya mohon, Mr Ketterly," kata Polly. "Saat ini sudah hampir waktunya makan malam dan saya harus segera pulang. Maukah Anda membiarkan kami keluar?" "Belum," jawab Paman Andrew. "Ini kesempatan yang terlalu bagus untuk dilewatkan. Aku memang menginginkan dua anak. Jadi 25 begini, aku sedang melakukan suatu percobaan besar. Aku sudah mengetesnya pada hamster dan tampaknya berhasil. Tapi masalahnya hamster tidak bisa memberitahumu apaapa. Dan kau tidak bisa menjelaskan cara kembali kepadanya." "Begini, Paman Andrew," kata Digory, "sekarang benarbenar saatnya makan malam dan mereka akan segera mencari kami. Kau harus membiarkan kami keluar." "Harus?" tanya Paman Andrew. Digory dan Polly bertukar pandang sekilas. Mereka tidak berani mengatakan apaapa, tapi pandangan itu berarti "Ini mengerikan sekali" dan "Kita harus membujuknya." "Kalau Anda membiarkan kami keluar untuk makan malam sekarang," kata Polly, "kami bisa kembali lagi ke sini setelahnya." "Ah, tapi bagaimana aku bisa yakin kalian akan melakukan itu?" tanya Paman Andrew dengan senyum licik. Lalu tampaknya dia berubah pikiran. "Yah, yah," katanya, "kalau kalian memang harus pergi, kurasa kalian harus pergi. Aku tidak bisa mengharapkan dua anak muda seperti kalian bakal tertarik berbincangbincang dengan orang tua sepertiku." Dia mengembus26 kan napas dan melanjutkan. "Kalian sama sekali tidak akan bisa membayangkan betapa terkadang aku sangat kesepian. Tapi tidak masalah. Pergilah makan malam. Tapi
aku memberi kalian hadiah sebelum kalian pergi. Tidak setiap hari aku bisa melihat gadis kecil di ruang kerjaku yang membosankan ini, terutama, kalau aku boleh berterus terang, wanita muda yang sangat cantik sepertimu." Polly mulai berpikir bahwa mungkin pria ini tidaklah segila bayangannya. "Apakah kau mau cincin, sayangku?" tanya Paman Andrew ke Polly. "Apakah maksudmu salah satu cincin kuning atau hijau itu?" tanya Polly. "Kau baik sekali!" "Bukan yang hijau," kata Paman Andrew. "Sayangnya aku tidak bisa memberimu cincin yang hijau. Tapi aku akan senang sekali bila bisa memberimu salah satu cincin kuning itu, bersama rasa cintaku. Ayo, cobalah salah satunya." Kini Polly sudah cukup menguasai rasa takutnya dan yakin pria tua ini tidaklah gila, lagi pula pastinya memang ada sesuatu yang anehnya menarik pada cincincincin bersinar terang itu. Dia bergerak mendekati baki. 27 "Wah! Astaga," katanya. "Suara dengungan itu terdengar lebih keras di sini. Hampir seolah cincincincin inilah yang mengeluarkannya." "Khayalanmu indah sekali, Sayang," kata Paman Andrew sambil tertawa. Suara tawanya terdengar seperti tawa yang sangat biasa, tapi Digory sempat melihat ekspresi bersemangat, hampir serakah, di wajahnya. "Polly! Jangan ceroboh!" Digory berteriak. "Jangan sentuh cincincincin itu." Terlambat. Tepat saat Digory berbicara, tangan Polly terulur untuk menyentuh
salah satu cincin itu. Dan mendadak, tanpa kilatan cahaya, suara, atau peringatan apa pun, Polly menghilang. Hanya tinggal Digory dan pamannya di ruangan itu. 28
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's BAB 2
Digory dan Pamannya KEJADIAN itu begitu tibatiba dan mencekam, tidak seperti apa pun yang pernah dialami Digory, bahkan dalam mimpi buruk sekalipun, sehingga dia menjerit. Tangan Paman Andrew langsung membekap mulutnya. "Hentikan itu!" desisnya di telinga Digory. "Kalau kau terus membuat keributan, ibumu akan mendengarnya. Dan kau tahu sendiri apa yang bisa terjadi bila dia terlalu terkejut." Seperti yang Digory ceritakan nanti, jenis kemarahan mengerikan yang ingin dilampiaskannya ke pria itu hampir membuatnya muak. Tapi tentu saja dia tidak menjerit lagi. "Begitu lebih baik," kata Paman Andrew. "Mungkin kau juga tidak bisa mencegahnya. Memang mengejutkan bila kau melihat seseorang lenyap untuk pertama kalinya. Aku saja 29 shock waktu hamsterku menghilang kemarin malam." "Apakah itu yang terjadi waktu kau menjerit tempo lalu?" tanya Digory. "Oh, kau mendengar itu, ya? Kuharap kau tidak sedang mematamataiku?" "Tidak, tentu tidak," jawab Digory penuh gengsi. "Tapi apa yang terjadi pada Polly?"
"Beri aku selamat, keponakanku tersayang," kata Paman Andrew, menggosok kedua tangannya. "Percobaanku telah berhasil. Gadis kecil itu lenyap—menghilang—keluar dari dunia ini." "Apa yang telah kaulakukan padanya?" "Mengirimnya ke—yah—ke tempat lain." "Apa maksudmu?" tanya Digory. Paman Andrew duduk dan menjawab, "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya kepadamu. Kau sudah pernah dengar kisah tentang Mrs Lefay yang tua?" "Bukankah dia bibi buyutku atau semacamnya?" tanya Digory. "Bukan juga," kata Paman Andrew. "Dia ibu angkatku. Itu dia, di sana, di dinding." Digory mendongak dan melihat foto yang sudah buram: wajah wanita tua mengcnakan topi bonnet yang berpita di bagian dagunya. Dan dia kini bisa mengingat bahwa dia dulu 30 juga pernah melihat foto wajah yang sama di laci tua di rumah, di desanya. Dia telah bertanya kepada ibunya siapa wanita itu dan ibunya tampak tidak terlalu berminat membicarakan topik itu lebih lanjut lagi. Wajahnya sama sekali tidak menyenangkan, pikir Digory, tapi tentu saja dengan fotofoto zaman itu kita tidak akan pernah bisa benarbenar tahu. "Apakah ada—pernah ada—sesuatu yang salah padanya, Paman Andrew?" tanyanya. "Yah," kata Paman Andrew sambil terkekeh, "tergantung dengan apa yang kausebut sebagai salah. Orangorang begitu berpikiran sempit. Dia memang sangat unik di masa hidupnya. Melakukan berbagai tindakan tidak bijaksana. Itulah sebabnya mereka membungkamnya." "Di rumah sakit jiwa, maksudmu?" "Oh bukan, bukan, bukan," kata Paman Andrew, nada suaranya terkejut. "Bukan di
tempat yang seperti itu. Maksudku hanya penjara." "Astaga!" kata Digory. "Apa yang telah dilakukannya?" "Ah, wanita malang," kata Paman Andrew, "dia telah bertindak tidak bijaksana. Sebaiknya kita tidak membahas semua itu. Dia selalu bersikap baik padaku." 31 "Tapi tunggu dulu, apa hubungannya semua ini dengan Polly? Kenapa kau tidak langsung saja—" "Semua ada waktunya, anakku," kata Paman Andrew. "Mereka membiarkan Mrs Lefay keluar sebelum dia meninggal dan aku salah satu dari sedikit orang yang dia izinkan menemuinya di harihari terakhir sakitnya. Dia begitu membenci orangorang biasa yang tidak pedulian, kau harus tahu itu. Aku sendiri juga begitu. Aku dan dia memiliki ketertarikan pada halhal yang sama. Hanya beberapa hari sebelum kematiannya, dia menyuruhku menghampiri meja rias tua di rumahnya, membuka laci rahasia, lalu membawakan kepadanya kotak kecil yang kutemukan di dalamnya. Saat aku mengangkat kotak itu aku bisa menduga dari rasa kesemutan di jemari tanganku bahwa aku sedang memegang rahasia besar di tanganku. Dia memberikan kotak itu kepadaku dan memaksaku berjanji bahwa segera setelah dia meninggal aku akan membakarnya, tetap dalam keadaan tak pernah terbuka dan dengan upacara tertentu. Aku tidak menepati janji itu." "Yah, kalau begitu, kau jahat sekali," komentar Digory. "Jahat?" kata Paman Andrew dengan wajah 32 bertanyatanya. "Oh, aku mengerti. Maksudmu, anakanak lelaki harus menepati janji. Itu sangat benar: yang paling tepat dan pantas dilakukan, aku yakin, dan aku lega kau sudah diajar untuk bersikap
begitu. Tapi tentu saja kau harus memahami bahwa peraturan seperti itu, betapa pun bagusnya untuk anakanak lelaki—pelayan—wanita—bahkan manusia pada umumnya, tidak bisa diharapkan berlaku pada siswasiswa luar biasa, para pemikir dan ahli pengetahuan hebat. Tidak, Digory. Para pria seperti aku, yang memiliki kebijakan tersembunyi, terbebaskan dari peraturan biasa seperti begitu juga kami terlepaskan dari kesenangankesenangan biasa. Takdir kami, anakku, adalah takdir yang tinggi dan sepi." Saat mengatakan ini dia mengembuskan napas dan tampak begitu muram, mulia, juga misterius sehingga sesaat Digory benarbenar berpikir Paman Andrew sedang mengucapkan sesuatu yang sangat menakjubkan. Tapi kemudian dia teringat ekspresi buruk yang dilihatnya di wajah sang paman beberapa saat sebelum Polly menghilang. Dia pun langsung bisa melihat apa yang ada di balik katakata luar biasa Paman Andrew. Semua itu hanya berarti, katanya pada dirinya sendiri, bahwa Paman 33 Andrew pikir dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya. "Tentu saja," kata Paman Andrew, "aku tidak berani membuka kotak itu lama sekali, karena aku tahu bisa saja isinya sesuatu yang sangat berbahaya. Karena ibu angkatku wanita yang amat menakjubkan. Sebenarnya, dia satu dari manusiamanusia terakhir yang memiliki darah peri dalam tubuhnya. (Dia bilang ada dua orang lain di masanya. Salah satunya seorang bangsawan bergelar duchess dan satu lagi wanita tukang bersihbersih.) Bahkan, Digory, saat ini kau sedang berbicara dengan pria terakhir (mungkin) yang benarbenar memiliki ibu angkat peri. Nah! Itu akan jadi sesuatu yang bakal kauingat ketika kau sendiri sudah menjadi pria tua."
Aku berani bertaruh dia peri yang jahat, pikir Digory, lalu menambahkan dengan keras, "Tapi bagaimana dengan Polly?" "Kenapa kau terusterusan meributkan masalah itu?" kata Paman Andrew. "Seolah masalah itulah yang paling penting! Tugas pertamaku adalah tentu saja mempelajari kotak itu sendiri. Kotaknya kuno sekali. Dan bahkan pada saat itu aku tahu cukup banyak untuk 34 yakin kotak tersebut bukan buatan Yunani, Mesir kuno, Babilonia, Hittite, ataupun Cina. Usianya lebih tua daripada negaranegara itu. Ah—benarbenar hari yang indah ketika akhirnya aku mengetahui kebenarannya. Kotak itu buatan bangsa Atlantis, datangnya dari kepulauan Atlantis yang hilang. Itu berarti kotak itu jauh lebih tua berabadabad daripada bendabenda Zaman Batu yang digali di Eropa. Dan benda itu juga tidaklah kasar dan mentah seperti barang Zaman Batu. Karena di awal masa, Atlantis sudah menjadi kota hebat dengan istanaistana, kuilkuil, dan orangorang terpelajar." Paman Andrew berhenti sesaat seolah menduga Digory akan mengatakan sesuatu. Tapi anak itu semakin tidak menyukai pamannya sejalan dengan setiap menit yang berlalu, jadi dia tidak mengucapkan apaapa. "Sementara itu," Paman Andrew melanjutkan, "aku sedang mempelajari banyak sihir secara umum dengan berbagai cara (yang kurasa tidaklah pantas bila dijelaskan kepada anak kecil). Itu berarti aku mendapatkan bayangan yang cukup jelas tentang bendabenda macam apa saja yang mungkin berada di dalam kotak itu. Dengan berbagai tes aku menyempit35
kan berbagai kemungkinan. Aku harus mengenal beberapa—yah, sejumlah orang jahat aneh, dan melalui berbagai pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Semua itulah yang membuat rambutku beruban. Seseorang tidaklah begitu saja menjadi penyihir. Kesehatanku sempat ambruk. Tapi aku membaik. Dan aku akhirnya tahu." Meski tidak ada kemungkinan, walau barang sedikit pun, ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka, Paman Andrew mencondongkan tubuh ke depan dan hampir berbisik ketika berkata: "Kotak Atlantis itu berisi sesuatu yang telah dibawa dari dunia lain ketika dunia kita baru
saja dimulai." "Apa?" tanya Digory yang kini jadi sangat tertarik, tanpa bisa menahan diri. "Hanya debu," jawab Paman Andrew. "Debu 36
bagus dan kering. Tidak banyak yang bisa dilihat. Bahkan bisa dibilang, tidak banyak yang bisa ditunjukkan setelah kerja keras seumur hidup. Ah, tapi waktu aku melihat debu itu (aku benarbenar berhatihati untuk tidak menyentuhnya) dan berpikir bahwa setiap butir pernah berada di dunia lain—maksudku bukan planet lain tentunya, planetplanet itu juga bagian dari dunia kita dan kau bisa mencapainya kalau kau pergi cukup jauh—tapi Dunia Lain sungguhan—Alam Lain— jagat raya lain—suatu tempat yang tidak akan pernah kaucapai walaupun kau menjelajahi luar angkasa jagat raya ini selamalamanya—dunia yang hanya bisa dicapai dengan sihir—nah!" Saat mengatakan itu Paman Andrew menggosokgosokkan kedua tangannya sampai bukubuku jemarinya berderak seperti kembang api. "Aku tahu," dia melanjutkan, "hanya kalau kau 37 bisa menemukan bentuk tepatnya maka debu itu bisa menarikmu ke tempat asalnya. Tapi kesulitannya justru terletak pada mencari bentuk tepatnya itu. Pengalamanpengalaman terdahuluku semua adalah kegagalan. Aku mencobanya pada hamster. Beberapa di antaranya hanya mati. Beberapa yang lain meledak seperti bombom kecil—" "Itu tindakan yang kejam sekali," kata Digory,
yang dulu pernah punya kelinci. "Kenapa kau selalu bisa mengalihkan topik pembicaraan?" kata Paman Andrew. "Itulah gunanya makhlukmakhluk itu. Aku membelinya sendiri. Sekarang sebentar—sampai di mana aku tadi? Ah ya. Akhirnya aku berhasil membuat cincincincin itu: cincin yang warnanya kuning. Tapi sekarang kesulitan baru muncul. Aku cukup yakin saat ini, bahwa cincin yang kuning bisa mengirimkan makhluk mana pun yang menyentuhnya ke Tempat Lain. Tapi apalah gunanya itu semua kalau aku tidak bisa mengembalikan mereka untuk bercerita kepadaku apa yang telah mereka temukan di sana?" "Dan bagaimana nasib mereka?" tanya Digory. "Kekacauan yang bakal mereka temui kalau mereka tidak bisa kembali!" "Kau terusmenerus melihat segala sesuatunya 38 dengan sudut pandang yang salah," kata Paman Andrew dengan ekspresi tidak sabar. "Tidak bisakah kau mengerti semua ini pengalaman hebat? Tujuan utama mengirim siapa pun ke Tempat Lain adalah supaya aku bisa tahu bagaimana rasanya." "Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi saja sendiri ke sana?" Digory nyaris tidak pernah melihat seseorang tampak begitu terkejut dan tersinggung seperti Paman Edward sekarang hanya karena pertanyaan sederhana itu. "Aku? Aku?" dia berseru. "Anak ini pasti gila! Pria dengan usiaku, dengan keadaan kesehatan sepertiku, rela mengambil risiko kejutan dan bahaya yang mungkin muncul karena mendadak dilemparkan ke dunia lain? Aku tidak pernah mendengar apa pun yang begitu tidak masuk di akal sepanjang hidupku!
Apakah kausadar dengan yang baru saja kaukatakan? Bayangkan apa arti kata Dunia Lain— kau mungkin saja bertemu apa pun—apa pun." "Tapi kurasa tidak masalah bagimu untuk mengirim Polly ke sana," kata Digory. Pipinya terbakar karena amarah sekarang. "Dan aku hanya bisa berkata," dia melanjutkan, "biarpun kau pamanku—kau telah bertindak pengecut, mengirim anak perempuan ke tempat yang 39 terlalu menakutkan bagimu untuk pergi sendiri." "Diam kau!" kata Paman Andrew, sambil memukul meja keraskeras. "Aku tidak akan sudi diceramahi seperti itu oleh anak sekolahan kecil yang kotor. Kau tidak mengerti. Aku ilmuwan besar, sang penyihir, si pakar yang sedang melakukan percobaan. Tentu saja aku membutuhkan seseorang untuk menjadi subjek percobaan. Demi jiwaku, janganjangan setelah ini kau akan berkata bahwa seharusnya aku meminta izin pada hamsterhamsterku sebelum aku menggunakan mereka! Tidak ada kebijakan besar yang bisa dicapai tanpa pengorbanan. Tapi gagasan seharusnya aku pergi sendiri adalah omong kosong. Itu seperti meminta jenderal berperang seperti prajurit biasa. Seandainya aku terbunuh, apa jadinya kerja keras seumur hidupku?" "Oh, berhentilah membual," kata Digory. "Kau akan membawa Polly kembali, tidak?" "Aku baru saja akan memberitahumu soal itu ketika dengan tidak sopan kau memotongku," kata Paman Andrew, "Bahwa akhirnya aku menemukan cara untuk melakukan perjalanan pulang. Cincincincin yang hijau akan menarikmu pulang." 40
"Tapi Polly tidak membawa cincin yang hijau." "Tidak," kata Paman Andrew dengan senyum jahat. "Kalau begitu dia tidak akan bisa kembali," teriak Digory. "Dan itu sama saja dengan kau sudah membunuhnya." "Dia bisa saja kembali," kata Paman Andrew, "kalau ada orang yang menyusulnya, mengenakan cincin kuning sambil membawa dua cincin hijau, satu untuk membawa orang itu sendiri pulang dan yang satu lagi untuk membawa Polly pulang." Dan saat ini tentu saja Digory sudah bisa melihat jebakan yang menjeratnya. Dia memandang Paman Andrew, tanpa mengatakan apaapa, dengan mulut ternganga lebar. Kedua pipinya kini pucat sekali. "Aku berharap," kata Paman Andrew kini dengan suara yang sangat tinggi dan kuat, seolah dia paman sempurna yang baru saja memberi seseorang uang saku besar dan nasihat baik, "Aku berharap, Digory, kau tidak akan mundur dan menyerah. Aku akan jadi sangat menyesal bila ada anggota keluarga kita yang tidak memiliki kehormatan dan keberanian yang cukup besar untuk bersedia pergi 41 menyelamatkan—ngng— lady yang dalam kesusahan." "Oh, diamlah!" kata Digory. "Kalau kau punya kehormatan dan segala itu, kau sendiri yang akan pergi. Tapi aku tahu kau tidak akan melakukan itu. Baiklah. Aku mengerti aku harus pergi. Tapi ternyata kau memang monster. Kurasa kau sudah merencanakan semua ini supaya Polly pergi tanpa sepengetahuannya sehingga kemudian aku harus pergi menjemputnya." "Tentu saja," kata Paman Andrew dengan senyumnya yang menyebalkan. "Baiklah. Aku akan pergi. Tapi sebelumnya ada satu hal yang harus kukatakan. Aku tidak
pernah percaya pada sihir hingga hari ini. Aku lihat sekarang sihir adalah nyata. Yah, dan kalau sihir memang ada, berarti kurasa segala kisah tua tentang peri juga kuranglebih benar. Dan kau tidak lain adalah penyihir licik yang kejam seperti yang ada di dalam ceritacerita. Nah, aku tidak pernah membaca cerita di mana orangorang seperti itu tidak mendapat ganjaran di akhir kisah, dan aku berani bertaruh itulah yang juga akan kaualami. Kau pantas menerimanya." Dari segala hal yang telah diucapkan Digory, 42 katakatanya yang ini merupakan yang pertama yang mengenai sasaran. Paman Andrew terkejut kemudian muncul awan ketakutan menaungi wajahnya yang, meskipun dia begitu kejam, nyaris bisa membuatmu mengasihaninya. Tapi sedetik kemudian dia mengusirnya pergi dan berkata ditemani tawa yang agak dipaksakan, "Yah, yah, kurasa itu hal biasa yang bakal muncul di benak seorang anak—terutama karena dibesarkan di antara wanitawanita, seperti dirimu. Kisahkisah istri tua, hah? Kurasa kau tidak perlu mencemaskan bahaya yang akan mendatangi ku, Digory. Bukankah lebih baik kau mengkhawatirkan bahaya yang menghampiri teman kecilmu itu? Dia sudah pergi cukup lama. Kalau memang ada bahaya Di Sana— yah, akan sangat disayangkan bila kau tiba terlambat." "Seolah kau peduli saja," kata Digory penuh amarah. "Tapi aku sudah muak mendengar segala bualan ini. Apa yang harus kulakukan?" "Kau benarbenar harus belajar mengendalikan emosimu, anakku," kata Paman Andrew tenang. "Kalau tidak kau akan tumbuh menjadi seperti Bibi Letty. Sekarang. Kemarilah."
Paman Andrew bangkit, mengenakan sepa43 sang sarung tangan, lalu berjalan menuju baki tempat cincincincin itu berada. "Cincincincin ini hanya berfungsi," katanya, "kalau mereka benarbenar menyentuh kulitmu. Kalau memakai sarung tangan, aku bisa mengangkatnya—seperti ini—tanpa ada kejadian apaapa. Kalau kau membawa salah satunya di sakumu juga tidak akan terjadi apaapa, tapi tentu saja kau harus berhatihati untuk tidak memasukkan tangan ke saku dan tanpa sengaja menyentuhnya. Di saat menyentuh cincin kuningmu, kau akan lenyap dari dunia ini. Waktu kau berada di Tempat Lain, dugaanku—tentu saja ini belum dites kebenarannya, tapi aku menduga—saat kau menyentuh cincin hijau kau akan menghilang dari dunia itu dan—perkiraanku—muncul kembali di dunia ini. Sekarang. Aku akan mengambil dua cincin hijau ini dan memasukkan keduanya ke saku sebelah kananmu. Ingatlah dengan sangat hatihati di mana cincin yang hijau berada. Hijau sama dengan Green. Kanan sama dengan Right. G untuk Green dan R untuk Right. G.R. kau lihat: adalah dua huruf pertama kata Green. Satu untukmu dan satu lagi untuk si gadis kecil. Dan sekarang kau ambillah sendiri cincin yang kuning. Aku akan mengenakannya—di jariku— 44 kalau aku jadi kau. Kemungkinan jatuhnya akan lebih kecil bila kaulakukan itu." Digory hampir saja mengambil cincin kuning ketika tibatiba dia berhenti. "Tunggu dulu," katanya. "Bagaimana dengan Ibu? Bagaimana kalau dia menanyakan keberadaanku?" "Semakin cepat kau pergi, semakin cepat kau akan kembali," kata Paman Andrew ceria.
"Tapi kau bahkan tidak benarbenar yakin aku bisa kembali." Paman Andrew mengangkat bahunya, berjalan menyeberangi ruangan menuju pintu, membuka kunci, membukanya lebarlebar dengan entakan, dan berkata: "Oh, baiklah kalau begitu. Terserah kau saja. Turunlah dan santap makan malammu. Biarkan si gadis kecil itu dimakan binatangbinatang liar, tenggelam, kelaparan di Dunia Lain, atau tersesat di sana selamalamanya, kalau itu yang kauinginkan. Semuanya sama saja bagiku. Mungkin sebelum waktunya minum teh sebaiknya kau mampir ke sebelah dan menemui Mrs Plummer untuk menjelaskan dia tidak akan pernah melihat anak perempuannya lagi karena kau takut mengenakan sebentuk cincin." 45 "Ya ampun," kata Digory, "aku benarbenar berharap aku sudah cukup besar untuk meninju kepalamu!" Lalu Digory mengancingkan mantelnya, menarik napas dalamdalam, dan meraih cincin itu. Dan saat itu dia berpikir, seperti yang selalu dia lakukan setelahnya, bahwa kata hatinya tidak akan membiarkannya mengambil pilihan lain. 46
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's BAB 3 Hutan di Antara Dunia-Dunia PAMAN ANDREW dan ruang kerjanya langsung menghilang. Kemudian selama sesaat, segalanya menjadi seolah bertumpuktumpuk. Hal selanjutnya yang Digory ketahui adalah adanya cahaya hijau lembut yang menyinarinya dari atas dan kegelapan di bawahnya. Dia tidak tampak seperti sedang berdiri atau apa pun, atau duduk, atau berbaring. Seolah tidak ada yang menyentuhnya. "Sepertinya aku ada di dalam air," kata Digory. "Atau di
bawah air." Pemikiran ini sempat membuatnya takut, tapi hampir seketika dia bisa merasakan tubuhnya naik dengan cepat. Lalu kepalanya tibatiba keluar di udara dan dia mendapati dirinya berenang ke tepian, menuju daratan berumput lembut di pinggir suatu mata air. Saat bangkit dia menyadari dirinya tidak 47
basah kuyup dan meneteskan air. Dia juga tidak terengahengah mencari udara seperti yang akan diperkirakan semua orang bila habis berada di bawah air. Pakaiannya sama sekali kering. Dia sedang berdiri di pinggir mata air kecil—tidak lebih dari tiga meter dari satu sisi ke sisi lainnya—dalam suatu hutan. Pepohonan tumbuh rapat dan berdaun lebat sehingga dia bahkan tidak bisa mengintip langit. Semua cahaya berwarna hijau dan menyeruak di antara dedaunan, tapi pastinya di atas sana ada matahari yang bersinar sangat kuat karena 48 sinar hijau yang dirasakannya begitu terang dan hangat. Hutan itu hutan tersunyi yang mungkin bisa kaubayangkan. Tidak ada burungburung, tidak ada serangga, tidak ada hewanhewan, dan tidak ada angin. Kau nyaris bisa merasakan pepohonan tumbuh. Mata air tempat Digory baru saja keluar ternyata bukanlah satusatunya mata air di sana. Ada lusinan mata air lain—satu mata air di setiap meter sejauh matamu bisa memandang. Kau hampir bisa merasakan pepohonan mengisap air dengan akarakar mereka. Hutan itu sangat hidup. Ketika berusaha melukiskannya nanti Digory
selalu berkata, "Tempat itu begitu kaya, sekaya kue plum.'" Hal teranehnya, hampir sebelum dia memandang ke sekeliling, Digory separo lupa bagaimana dia bisa datang ke sana. Pada suatu titik, dia pastinya tidak memikirkan Polly, Paman Andrew, atau bahkan ibunya. Dia sama sekali tidak takut, bersemangat, atau penasaran. Kalau ada yang bertanya kepadanya, "Dari mana asalmu?" dia mungkin bakal menjawab, "Tempat tinggalku dari dulu di sini." Seperti itulah rasanya—seolah seseorang sudah berada di tempat itu sejak lama dan tidak pernah merasa bosan, walaupun tidak ada yang pernah 49 terjadi di sana. Seperti yang diceritakannya lama setelah itu, "Tempat itu bukan jenis tempat di mana banyak hal terjadi. Pepohonan terus bertumbuh, itu saja." Setelah lama memandangi hutan itu, Digory menyadari ada gadis kecil berbaring telentang di kaki pohon beberapa meter dari dirinya. Mata gadis itu nyaris tertutup tapi tidak terpejam, seolah dia sedang berada di antara keadaan tidur dan bangun. Jadi Digory menatapnya lama sekali dan tidak berkata apaapa. Dan akhirnya gadis itu membuka mata dan memandangi Digory lama sekali, juga tanpa berkata apaapa. Lalu gadis itu bicara, dengan suara yang pelan dan lembut seperti orang mengantuk. "Sepertinya aku pernah bertemu denganmu sebelumnya," katanya. "Menurutku juga begitu," kata Digory. "Kau sudah lama berada di sini?" "Oh, aku selalu ada di sini," kata si gadis. "Setidaknya—entahlah—lama sekali." "Aku juga," ucap Digory. "Tidak ah," kata si gadis. "Aku baru saja melihatmu keluar dari mata air itu." "Ya, mungkin memang begitu," kata Digory
kebingungan. "Aku lupa." 50 Kemudian untuk beberapa saat yang cukup lama keduanya tidak saling bicara lagi. "Tunggu dulu," kata si gadis tibatiba, "kirakira kita memang pernah bertemu, tidak ya? Aku punya sejenis bayangan—semacam gambaran di kepalaku—tentang anak lakilaki dan perempuan seperti kita—tinggal di suatu tempat yang agak berbeda—dan melakukan berbagai hal. Mungkin itu hanya mimpi." "Aku juga punya mimpi yang sama, sepertinya," kata Digory. "Tentang anak lakilaki dan perempuan, tinggal bersebelahan—dan sesuatu tentang merangkak di antara kerangka rumah. Aku ingat anak perempuan itu mukanya kotor." "Sepertinya ingatanmu terbalik? Dalam mimpiku justru si anak lakilaki yang wajahnya kotor." "Aku tidak bisa mengingat wajah anak lelaki itu," kata Digory kemudian menambahkan, "Wah! Apa itu?" "Wah! Itu kan hamster," kata si gadis kecil. Dan memang benar—di sana ada hamster gendut, mengendusendus rumput. Tapi di sekeliling perut hamster itu ada tali dan, terikat di tali itu, cincin kuning yang bersinar terang. "Lihat! Lihat!" teriak Digory. "Cincin itu! 51
Dan lihat! Kau juga mengenakan cincin seperti itu di jarimu. Aku juga." Si gadis kecil itu kini duduk tegak, akhirnya benarbenar tertarik. Mereka menatap satu sama lain lekatlekat, berusaha mengingat. Kemudian di saat yang tepat bersamaan, si gadis berteriak, "Mr
Ketterley," dan si anak lelaki berseru, "Paman Andrew," lalu mereka pun tahu siapa diri mereka dan mulai mengingat keseluruhan cerita. Setelah banyak berbincangbincang selama beberapa menit, akhirnya mereka mengingat semuanya. Digory menjelaskan betapa kejamnya tindakan Paman Andrew. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Polly. "Membawa pulang hamster ini dan kembali ke dunia kita?" "Tidak perlu terburuburu," kata Digory, sambil menguap lebar sekali. "Kurasa harus begitu," kata Polly. "Tempat ini terlalu sunyi. Begitu—begitu seperti mimpi. Kau sendiri nyaris tertidur. Sekali kita menyerah terhadap pengaruhnya kita hanya akan berbaring dan dalam keadaan setengah tertidur selamalamanya." 52 "Tapi nyaman sekali berada di sini," kata Digory. "Ya, memang benar," kata Polly. "Tapi kita harus kembali." Dia berdiri dan mulai berjalan menghampiri si hamster dengan hatihati. Tapi kemudian dia berubah pikiran. "Sebaiknya kita biarkan saja si hamster di sini," kata Polly. "Dia tampak begitu bahagia di tempat ini, dan pamanmu hanya akan melakukan sesuatu yang buruk padanya kalau kita membawanya pulang." "Aku yakin dia akan melakukan itu," komentar Digory. "Lihat saja caranya memperlakukan kita. Omongomong, bagaimana cara kita pulang?" "Kurasa sih, lewat mata air itu lagi." Mereka berjalan mendekati mata air dan berdiri berdampingan di tepinya, menunduk menatap permukaan air yang datar. Pada permukaan itu terlihat bayangan cabangcabang pohon yang hijau penuh dedaunan sehingga
tampak sangat dalam. "Kita tidak punya perlengkapan berenang," kata Polly. "Kita tidak butuh semua itu, bodoh," kata Digory. "Kita akan menyelam ke dalamnya dengan pakaian lengkap. Masa kau tidak ingat 53 airnya sama sekali tidak membasahi kita ketika kita naik ke sini?" "Kau bisa berenang?" "Sedikit. Kau bagaimana?" "Yah—tidak terlalu bisa." "Kurasa kita tidak akan perlu berenang," kata Digory. "Kita kan mau pergi ke bawahnya, ya kan?" Tidak satu pun di antara mereka menyukai ide melompat ke mata air itu, tapi tidak ada yang mengatakannya. Mereka bergandengan tangan dan berkata "Satu—Dua—Tiga— Lompat" lalu melompat. Mereka merasakan cipratan besar dan tentu saja mereka memejamkan mata. Tapi ketika membuka mata lagi, mereka mendapati diri mereka masih berdiri, bergandengan tangan di hutan hijau, dan nyaris hanya terendam air hingga ke mata kaki. Mata air itu ternyata beberapa sentimeter dalamnya. Mereka berjalan kembali ke daratan kering. "Apa sebenarnya yang salah?" tanya Polly dengan suara ketakutan, tapi tidaklah setakut seperti yang kaubayangkan, karena sangatlah sulit merasa sangat takut saat berada di hutan itu. Tempat itu terlalu damai. "Oh! Aku tahu," kata Digory. "Tentu saja, ini tidak akan berhasil. Kita masih mengenakan 54 cincin kuning kita. Cincincincin ini kan untuk
perjalanan pergi. Cincincincin yang hijau akan membawa kita pulang. Kita harus mengganti cincin kita. Kau punya saku? Bagus. Simpan cincin kuningmu di saku kiri. Aku punya dua cincin hijau. Ini satu untukmu." Mereka mengenakan cincin hijau dan kembali ke mata air. Tapi sebelum mereka mencoba melompat lagi, Digory mengeluarkan "Oooh!" yang panjang sekali. "Ada apa?" tanya Polly. "Aku baru saja mendapat ide bagus," kata Digory. "Untuk apakah mata airmata air lainnya?" "Apa maksudmu?" "Begini, kalau kita bisa kembali ke dunia kita sendiri dengan melompat ke mata air yang ini, bukankah berarti kita bisa pergi ke tempat lain dengan melompat ke mata air lain? Mungkin saja ada dunia di bawah setiap mata air." "Tapi bukankah kita sudah berada di Dunia Lain, Tempat Lain, atau apalah namanya itu yang dibicarakan Paman Andrew? Bukankah kau bilang—" "Ah, lupakan Paman Andrew," potong Digory. "Kurasa dia bahkan tidak tahu apa55 apa tentang itu. Dia tidak pernah punya keberanian untuk datang ke sini sendiri. Dia hanya bicara tentang satu Dunia Lain. Tapi siapa tahu ada lusinan?" "Maksudmu, hutan ini mungkin hanya salah satunya?" "Tidak, menurutku hutan ini sama sekali bukan dunia lain. Menurutku tempat ini hanyalah semacam tempat di antaranya." Polly tampak bingung. "Tidakkah kau lihat?" tanya Digory. "Tidak,
dengar dulu. Pikirkan terowongan kita di bawah papanpapan di rumah. Tempat itu kan bukan ruangan di salah satu rumah. Bisa dibilang, terowongan itu bahkan bukan benarbenar bagian dari rumahrumah. Tapi sekalinya kau berada di terowongan, kau bisa berjalan di dalamnya dan datang ke rumah mana pun di deretan rumah kita. Mungkin saja hutan ini juga sama, kan?—tempat yang bukanlah salah satu dunia, tapi sekali kau menemukan tempat ini kau bisa masuk ke dunia mana pun." "Yah, kalaupun kau bisa—" Polly memulai, tapi Digory melanjutkan seolah tidak mendengar katakatanya. "Dan tentu saja itu menjelaskan segalanya," katanya. "Itulah sebabnya tempat ini begitu 56 sepi dan kita selalu merasa mengantuk. Tidak pernah ada kejadian apa pun di sini. Seperti di rumah. Di dalam rumahrumahlah orangorang berbicara, atau melakukan halhal, juga tempat mereka makan. Tidak ada yang terjadi di tempattempat perantara: di belakang dinding, di atas langitlangit, atau di bawah lantai, juga di dalam terowongan kita. Tapi ketika kau keluar dari terowongan, kau akan mendapati dirimu berada di rumah mana pun. Kurasa kita bisa keluar dari tempat ini dan menuju tempat mana pun! Kita tidak perlu melompat ke dalam mata air yang sama dengan yang kita lewati. Atau belum saatnya." "Hutan di Antara DuniaDunia," kata Polly menerawang. "Kedengarannya bagus juga." "Ayo," kata Digory. "Kolam mana yang akan kita coba?" "Tunggu dulu," kata Polly, "Aku tidak akan mencoba mata air baru sebelum memastikan kita memang bisa pulang melalui mata air yang pertama. Kita bahkan tidak yakin itu cara yang benar."
"Benar," kata Digory sinis. "Kita akan dirangkap Paman Andrew dan harus menyerahkan cincincincin kita sebelum sempat bersenangsenang. Tidak, terima kasih." 57 "Tidak bisakah kita sampai di setengah jalan ke bawah mata air kita?" tanya Polly. "Hanya untuk melihat cara ini benarbenar manjur. Lalu begitu kita tahu itu berhasil, kita ganti cincin dan kembali naik sebelum benarbenar sampai di ruang kerja Mr Ketterly." "Bisakah kita pergi separo jalan ke bawah?" "Yah, cukup lama waktu yang kita perlukan untuk naik, kurasa bakal memakan waktu sedikit lama untuk kembali." Digory agak sulit menyetujui rencana ini, tapi akhirnya dia terpaksa setuju karena Polly sama sekali menolak melakukan penjelajahan ke dunia baru apa pun sebelum memastikan dia bisa kembali ke dunia asalnya. Dia kuranglebih sama beraninya dengan Digory dalam menghadapi beberapa bahaya (tawon, misalnya), tapi Polly tidaklah tertarik menemukan halhal yang belum pernah didengar siapa pun. Sedangkan Digory tipe orang yang ingin mengetahui segalanya, dan ketika tumbuh dewasa dia menjadi Profesor Kirke yang terkenal yang akan muncul di bukubuku lain. Setelah cukup lama berdebat, mereka sependapat untuk mengenakan cincin hijau mereka ("Hijau untuk keamanan," kata Digory, "jadi kau tidak bisa tidak mengingat cincin yang 58 mana untuk apa"), lalu mereka bergandengan tangan dan melompat. Tapi segera ketika mereka tampak akan kembali ke ruang kerja Paman Andrew, atau bahkan dunia mereka sendiri, Polly bertugas untuk berteriak, "Ganti" dan mereka akan membuka cincin hijau lalu memakai cincin kuning lagi. Digory ingin jadi yang bertugas berteriak, "Ganti," tapi Polly tidak juga mau setuju. Mereka mengenakan cincin hijau, saling
menggamit tangan, dan sekali lagi berteriak "Satu—Dua—Tiga—Lompat". Kali ini cara itu manjur. Sangatlah sulit menceritakan pada kalian bagaimana rasanya, karena segalanya terjadi begitu cepat. Awalnya ada cahayacahaya terang yang bergerak di langit hitam. Digory selalu menganggap cahayacahaya itu bintangbintang dan bersumpah melihat Planet Jupiter cukup dekat—cukup dekat untuk melihat bulannya. Tapi hampir sekaligus terlihat oleh mereka barisan demi barisan atap dan cerobong asap di atas, mereka juga bisa melihat St Paul sehingga tahu mereka sedang melihat pemandangan London. Tapi kau bisa melihat menembus dindingdinding semua rumah. Lalu mereka bisa melihat Paman Andrew, sangat samar dan berbayangbayang, tapi semakin lama semakin 59 kelihatan jelas dan nyata, seolah dia kian mendekati fokus. Tapi sebelum Paman Andrew menjadi benarbenar nyata, Polly berteriak "Ganti", dan mereka langsung mengganti cincin, dunia kita pun mengabur seperti mimpi, kemudian cahaya hijau di atas menjadi kian terang dan terang, hingga kepala mereka keluar dari mata air dan mereka berlari ke tepian. Kini hutan mengelilingi mereka lagi hingga ke atas, masih sehijau dan seterang dulu. Seluruh proses itu hanya mengambil waktu kurang dari satu menit. "Nah!" kata Digory. "Sudah bisa, kan? Sekarang mari kita bertualang. Mata air yang mana pun boleh. Ayolah. Ayo kita coba yang satu itu." "Stop!" kata Polly. "Tidakkah sebaiknya kita tandai mata air yang ini dulu?" Mereka bertatapan dan wajah mereka berdua memucat saat mereka menyadari hal mengerikan yang baru saja akan Digory lakukan. Ada begitu banyak mata air di di hutan ini, dan semua mata air tampak serupa, begitu juga
pepohonannya. Kalau sekali saja mereka meninggalkan mata air yang merupakan jalan menuju dunia mereka sendiri tanpa membuat semacam tanda, kemungkinannya seratus ban60 ding satu bagi mereka untuk menemukannya lagi. Tangan Digory gemetaran saat dia membuka pisau lipatnya dan memotong sebongkah panjang rumput di tepian mata air. Tanah hutan itu (yang wangi sekali) berwarna cokelat kemerahan gembur dan tampak kontras di antara hijau rerumputan. "Untung salah satu di antara kita berakal sehat," kata Polly. "Yah, kau kan tidak perlu menyombongkan diri hanya garagara masalah ini," kata Digory. "Ayolah, aku ingin melihat ada apa di balik mata airmata air yang lain." Polly membalas ucapan Digory dengan cukup pedas, Digory pun mengucapkan sesuatu yang lebih ketus lagi sebagai balasannya. Pertengkaran itu berlangsung selama beberapa menit, tapi akan membosankan bila ditulis semuanya. Marilah kita langsung menuju saat ketika mereka berdiri dengan jantung berdebardebar dan wajah agak ketakutan di pinggir mata air tak dikenal dengan cincincincin kuning mereka. Keduanya bergandengan dan sekali lagi berkata "Satu— Dua—Tiga—Lompat!" Byuurr! Sekali lagi cara ini tidak berhasil. Mata air ini ternyata juga hanyalah sedalam kubangan air. Bukannya mencapai dunia lain, 61 mereka hanya mendapati kaki mereka basah dan mengotori tungkai kaki mereka untuk kedua kalinya pagi itu (kalau memang saat itu pagi: waktu tampak selalu sama di Hutan di Antara DuniaDunia). "Sial!" seru Digory. "Apa lagi yang salah sekarang? Kita sudah mengenakan cincin kuning kita kok. Dia bilang kuning untuk perjalanan pergi."
Nah, sekarang diketahui ternyata Paman Andrew, yang tidak tahu apaapa tentang Hutan di Antara DuniaDunia, punya perkiraan yang salah tentang kegunaan cincincincin itu. Cincin yang kuning bukanlah cincin "pergi" dan cincin yang hijau bukanlah cincin "pulang", setidaknya bukan seperti yang dipikirkannya. Bahanbahan yang membuat kedua cincin itu berasal dari hutan itu. Bahanbahan dalam cincin kuning memiliki kekuatan untuk menarikmu ke hutan, bahanbahan yang ingin kembali ke tempatnya semula, tempat di antara. Tapi bahan dalam cincin hijau adalah bahan yang berusaha keluar dari tempatnya semula: jadi cincin hijau akan membawamu keluar dari hutan ke sebuah dunia. Paman Andrew, untuk kauketahui, sedang bereksperimen dengan bendabenda yang sebenarnya tidak terlalu dia 62 mengerti, sebagian besar penyihir memang begitu. Tentu saja Digory juga tidak terlalu menyadari kenyataan ini, setidaknya tidak hingga nanti. Tapi ketika mereka telah membicarakannya, mereka memutuskan mencoba cincin hijau mereka ke mata air baru hanya untuk melihat apa yang akan terjadi. "Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly. Tapi sebenarnya dia mengatakan ini karena di hatinya yang paling dalam, dia kini merasa yakin kedua cincin itu tidak akan berfungsi di mata air baru, jadi tidak ada yang perlu lebih ditakutinya selain cipratan air lagi. Aku tidak terlalu yakin Digory punya perasaan yang sama. Bagaimanapun, ketika mereka berdua telah memakai cincin hijau, kembali ke tepian mata air, dan bergandengan, mereka kini jauh lebih ceria dan tidak muram daripada pada kali pertama. "Satu—Dua—Tiga—Lompat!" kata Digory.
Dan mereka pun melompat. 63
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. (
[email protected]) MR. Collection's BAB 4 Bel dan Palu SIHIR kali ini tidak perlu diragukan lagi. Ke bawah dan terus ke bawah mereka berkelebat pergi, pertama melalui kegelapan kemudian melewati kumpulan sosok samar yang berputarputar, yang bisa jadi apa saja. Lalu situasi menjadi lebih terang. Kemudian mendadak mereka berdiri di atas sesuatu yang padat. Sesaat kemudian segalanya jadi lebih fokus dan mereka mampu melihat ke atas mereka. "Tempat ini aneh sekali!" kata Digory. "Aku tidak menyukainya," kata Polly, sambil agak merinding. Yang pertama kali mereka sadari adalah cahaya. Tidak seperti sinar mentari, tapi juga tidak seperti cahaya listrik, lampu, lilin, atau sumber cahaya apa pun yang pernah mereka lihat. Cahayanya samar, agak kemerahan, sama 64 sekali tidak cerah. Cahaya itu terangnya pasti dan tidak meredup. Mereka sedang berdiri di permukaan datar berlapis bebatuan dan gedunggedung berdiri di sekeliling mereka. Tidak ada atap di atas mereka, mereka berada di semacam halaman. Langit gelap secara tidak wajar— biru yang nyaris hitam. Kalau kau melihat
langit itu kau akan bertanyatanya apakah memang benar ada cahaya di sana. "Cuaca tempat ini aneh sekali ya," kata Digory. "Atau mungkin kita tiba tepat pada saat akan datang badai petir, atau gerhana." "Aku tidak menyukainya," kata Polly. Keduanya, tanpa tahu pasti kenapa, berbicara dengan berbisik. Dan walaupun tidak ada alasan kenapa mereka masih terus bergandengan setelah melompat, mereka tidak saling melepaskan tangan. Dindingdinding gedung menjulang sangat tinggi di sekeliling halaman. Dindingdinding itu juga memiliki banyak jendela, jendelajendela tanpa kaca, melaluinya kau tidak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan hitam. Di bagian bawah dinding ada areaarea berpilar besar, menganga lebar menampilkan lubang hitam besar seperti mulut terowongan kereta api. Suasana jadi terasa agak dingin. 65 Batu yang digunakan untuk membangun segala hal sepertinya merah, tapi mungkin itu hanya karena cahaya misterius yang menerangi tempat tersebut. Yang pasti rasanya aneh sekali. Banyak di antara bebatuan datar yang melapisi permukaan halaman, retak hingga terbelah. Tidak satu pun menempel rapat satu sama lain dan sudutsudut tajamnya telah cacat semua. Salah satu pintu yang diapit area setengahnya tertutupi reruntuhan. Kedua anak itu terusmenerus membalikkan tubuh untuk melihat ke sudutsudut berbeda di halaman. Salah satu alasannya adalah karena mereka khawatir seseorang—atau sesuatu—sedang mengawasi mereka dari jendelajendela ketika mereka menghadap ke depan. "Menurutmu ada yang tinggal di sini, tidak?" tanya Digory akhirnya, masih dengan berbisik. "Tidak," jawab Polly. "Semua ini hanya
reruntuhan. Kita belum mendengar suara apa pun sejak datang ke sini." "Ayo kita coba berdiri diam sebentar dan menajamkan pendengaran," saran Digory. Mereka berdiri diam dan mendengarkan, tapi satusatunya yang mereka dengar hanyalah detakan jantung mereka sendiri. Tempat ini setidaknya sesunyi Hutan di Antara Duniadunia. 66
Tapi sepinya berbeda. Kesunyian di hutan terasa kaya, hangat (kau nyaris bisa mendengar pepohonan bertumbuh), dan penuh kehidupan. Kali ini yang terasa kesunyian yang mati, dingin, dan hampa. Kau tidak bisa membayangkan apa pun tumbuh di tempat ini. 67 "Ayo pulang," kata Polly. "Tapi kita belum melihat apa pun," kata Digory. "Berhubung kita sudah sampai di sini, setidaknya kita harus melihatlihat." "Aku yakin sama sekali tidak ada yang menarik di sini." "Tidak ada gunanya menemukan cincin ajaib yang bisa membawamu ke dunia lain kalau kau takut menjelajahi duniadunia itii begitu sudah sampai di sana." "Siapa yang bilang aku takut?" kata Polly, melepaskan tangan Digory. "Aku hanya mengira kau tampak kurang berminat menjelajahi tempat ini." "Aku akan pergi ke mana pun kau mau pergi." "Kita bisa pergi dari sini kapan pun kita mau," kata Digory. "Ayo kita lepas cincin
hijau kita dan menyimpannya di saku kanan. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengingat bahwa cincin kuning kita ada di saku kiri. Kau bisa meletakkan tangan sedekat yang kauinginkan dengan sakusaku itu, tapi jangan kaumasukkan tanganmu ke saku karena kau bisa saja menyentuhnya dan lenyap." Mereka melakukan itu dan berjalan tanpa suara menuju salah satu gerbang lengkung besar 68 yang membawa mereka ke dalam salah satu gedung. Lalu ketika berdiri di depan pintu dan bisa melihat ke dalam, mereka melihat bagian dalam gedung itu tidaklah terlalu gelap seperti dugaan awal mereka. Pintu itu memperlihatkan ruang depan berbayangbayang yang tampaknya kosong, tapi di sisi ruang depan yang lebih jauh tampak sederetan pilar dengan lengkungan di bagian atas tiap dua pilar. Di balik lengkungan tersebut mengalir lebih banyak cahaya temaram aneh yang sama. Mereka menyeberangi ruang depan tersebut, berjalan dengan sangat hatihati karena khawatir ada lubanglubang di lantai atau apa pun yang mungkin tergeletak di sana yang bisa membuat mereka tersandung. Perjalanan itu rasanya lama sekali. Ketika mencapai sisi lain ruang itu, mereka melewati pilarpilar dan mendapati diri mereka berada di halaman lain yang lebih luas. "Sepertinya tempat itu tidak terlalu aman," kata Polly sambil menunjuk ke suatu tempat di mana dindingnya condong ke depan dan tampak siap runtuh ke halaman. Di satu tempat ada pilar yang hilang di antara dua lengkungan dan bagian yang seharusnya berada di bagian atas pilar, hanya bergantung di sana tanpa
69 disangga apa pun. Tampak jelas, kota itu telah diterlantarkan selama ratusan, bahkan mungkin ribuan, tahun. "Kalau tempat ini bertahan hingga saat ini, kurasa akan bisa bertahan lebih lama lagi," kata Digory. "Tapi kita harus benarbenar bergerak tanpa suara. Kau tahu bukan terkadang suara pelan sekalipun bisa membuat segalanya runtuh—seperti salju longsor di Pegunungan Alpen." Mereka keluar dari halaman itu menuju gerbang lain, menaiki tangga besar nan tinggi, dan melalui ruangruang luas yang terbuka menuju ruangruang lain sampai kau merasa pusing hanya karena ukuran tempat itu. Sesekali mereka mengira bakal keluar ke tempat terbuka dan melihat dataran macam apa yang mengelilingi istana besar itu. Tapi setiap kali berjalan, mereka hanya mencapai halaman lain. Istana ini pastinya merupakan tempat yang luar biasa saat penduduknya masih tinggal di sini. Di salah satu sisi ada patung yang dulu adalah air mancur. Monster batu besar dengan sayap terentang lebar berdiri dengan mulut terbuka dan kau bisa melihat pipa kecil di bagian belakang mulutnya, dari sanalah dulu air keluar. Di bawah patung itu ada mangkuk 70
batu lebar untuk menadahi airnya, tapi kini mangkuk itu kering bagaikan padang pasir. Di tempattempat lain ada batangbatang kering sejenis tanaman rambat yang telah tumbuh mengelilingi pilarpilar dan membuat sebagian pilar tersebut runtuh. Tapi tanaman itu 71 sudah lama mati. Dan tidak ada semut, labahlabah, atau makhluk hidup lain yang kaupikir bisa kautemui di antara reruntuhan. Tanah kering yang terdapat di antara batu lantaibatu lantai pun tidak ditumbuhi rumput
atau lumut. Keadaan di tempat itu begitu mati di seluruh sudutnya hingga bahkan Digory pun mulai berpikir sebaiknya mereka segera mengenakan cincin kuning dan kembali ke hutan hidup yang hangat dan hijau di tempat antara. Pada saat itulah mereka menemukan dua daun pintu raksasa yang terbuat dari sejenis logam yang mungkin saja emas. Salah satu daun pintu itu sedikit terbuka. Jadi tentu saja mereka masuk untuk melihat ke dalam. Keduanya terkejut dan menarik napas panjang: karena di sinilah akhirnya ada sesuatu yang pantas dilihat. Selama beberapa saat mereka berpikir ruangan tersebut dipenuhi orang—ratusan orang, semuanya sedang duduk, dan semuanya bergeming. Polly dan Digory juga, seperti yang bisa kautebak, berdiri tanpa bergerak cukup lama karena melihat pemandangan di depan mereka. Tapi akhirnya mereka memutuskan yang sedang mereka pandangi tidaklah mungkin orang sungguhan. Tidak ada gerakan maupun 72 suara embusan napas di antara mereka semua. Orangorang itu seperti patung lilin terhebat yang pernah kaulihat. Kali ini Polly yang berjalan duluan. Ada sesuatu di ruangan ini yang menarik rasa ingin tahunya dibanding rasa ingin tahu Digory: semua sosok di sana mengenakan pakaian yang menakjubkan. Kalau kau sedikit saja tertarik pada pakaian, kau tidak akan tahan untuk
tidak melihat lebih dekat. Berkasberkas warna pada pakaianpakaian ini pun membuat ruangan itu tampak, meski tidak bisa dibilang ceria, begitu kaya dan anggun setelah semua debu dan kekosongan di tempat lain. Ruangan itu juga memiliki lebih banyak jendela dan jauh lebih terang. Aku nyaris tidak bisa melukiskan pakaianpakaian mereka. Sosoksosok itu semuanya berjubah dan mengenakan mahkota di kepala mereka. Jubahjubah mereka berwarna merah tua, abuabu keperakan, ungu tua, dan hijau gelap. Tampak polapola hias, juga gambar bunga, hewan liar ajaib, disulam di permukaan jubahjubah tersebut. Batubatu berharga dalam ukuran dan kilau menakjubkan menatap dari mahkotamahkota mereka, juga dari kalungkalung yang menggantung di sekeliling leher 73
mereka, mengintip dari segala tempat semuanya terpasang. "Kenapa semua pakaian itu tidak lapuk sejak zaman dulu?" tanya Polly. "Sihir," bisik Digory. "Tidakkah kau bisa merasakannya? Aku berani bertaruh seluruh ruangan ini beku karena mantra sihir. Aku bisa merasakannya sejak detik pertama kita masuk." "Satu saja pakaian ini bisa berharga ratusan pound" komentar Polly. Tapi Digory lebih tertarik pada wajahwajah mereka, dan memang semua wajah itu pantas dipandangi. Orangorang itu duduk di kursi batu mereka di masingmasing sisi ruangan, bagian tengahnya dibiarkan kosong. Kau bisa
berjalan dan memandangi wajahwajah itu bergiliran. 74 "Mereka orangorang baik, menurutku," ucap Digory. Polly mengangguk. Semua wajah yang bisa mereka lihat memang tampak baik. Baik para pria maupun wanitanya tampak ramah dan bijaksana, dan mereka tampaknya berasal dari keturunan berwajah tampan. Tapi setelah anakanak itu berjalan beberapa langkah lebih jauh di ruangan tersebut, mereka sampai pada wajahwajah yang tampak agak berbeda. Wajahwajah di sini begitu serius. Kau akan merasa perlu memerhatikan etiket dan sopan santun bila bertemu orangorang seperti itu dalam kehidupanmu. Ketika Polly dan Digory berjalan lebih jauh lagi, mereka mendapati diri mereka berada di antara wajahwajah yang tidak mereka sukai: ini terjadi kirakira di tengah ruangan. Wajahwajah itu tampak begitu kuat, bangga, dan bahagia, tapi mereka tampak kejam. Dan saat mereka lebih jauh berjalan, wajahwajah di sana tampak lebih kejam. Lebih jauh lagi, mereka masih tampak kejam tapi tidak lagi tampak bahagia. Wajahwajah itu bahkan tampak penuh keputusasaan: seolah pemilikpemiliknya telah melakukan halhal buruk dan menderita karena halhal buruk. Sosok terakhir dari deretan orang itu adalah yang 75 paling menarik—wanita yang pakaiannya lebih mewah daripada yang lainnya, sangat tinggi (tapi semua sosok dalam ruangan itu memang lebih tinggi daripada orangorang di dunia kita), dengan ekspresi wajah yang begitu keras
dan penuh kebanggaan sehingga kau akan menahan napas bila melihatnya. Namun wanita itu juga cantik. Bertahuntahun kemudian, saat telah menjadi pria tua, Digory berkata dia belum pernah melihat orang secantik wanita itu selama hidupnya. Tapi wajar juga bila ditambahkan bahwa Polly berkata dia tidak melihat apa pun yang spesial pada wanita itu. Wanita ini, seperti yang kukatakan tadi, adalah sosok terakhir, tapi ada banyak kursi kosong setelahnya, seolah ruangan itu telah dimaksudkan untuk lebih banyak lagi koleksi sosok. "Aku ingin sekali tahu cerita di balik semua ini," kata Digory. "Ayo kembali dan melihat meja di tengah ruangan ini." Benda yang berada di tengah ruangan itu sebenarnya bukanlah meja. Benda itu pilar kotak setinggi kirakira semeter lebih dan di atasnya berdiri arca emas yang digantungi bel emas kecil. Di samping pilar itu tergeletak palu emas kecil untuk membunyikan belnya. 76 "Kirakira apa ya... Hmmm... Apa ya...," kata Digory. "Sepertinya ada sesuatu yang tertulis di sini," kata Polly, menundukkan badan dan memandangi salah satu pilar tersebut. "Ya ampun, ternyata memang ada," ucap Digory. "Tapi tentu saja kita tidak akan bisa membacanya." "Benarkah begitu? Aku tidak yakin," kata Polly. Mereka berdua memandangi tulisan itu lekatlekat, seperti yang mungkin sudah kauduga, hurufhuruf yang dipahat ke batu pilar itu memang aneh. Tapi kini terjadi keajaiban besar:
karena saat mereka memandanginya, walaupun bentuk hurufhuruf aneh itu tidak berubah, mereka mendapati diri mereka bisa memahami semuanya. Kalau saja Digory ingat katakatanya sendiri beberapa saat lalu, bahwa ini ruangan yang tersihir, mungkin dia bakal bisa menebak sihirnya mulai bekerja. Tapi rasa penasaran terlalu menguasai dirinya, sehingga dia tidak bisa memikirkan itu. Dia semakin ingin tahu apa yang tertulis di pilar tersebut. Dan tak lama kemudian mereka berdua pun tahu. Yang tertulis adalah sesuatu yang kirakira begini bunyinya—setidaknya inilah yang bisa dicerna 77 walaupun puisi itu sendiri, ketika kau membacanya di sana, lebih bagus: Tentukan pilihan, wahai petualang asing, Bunyikan bel, dan hadapi bahaya genting, Atau teruslah penasaran, hingga lenyap kewarasan, Akan apa yang bakal terjadi bila saja kaulakukan. "Apa ini?" seru Polly. "Kita kan tidak mau mendapatkan bahaya apa pun." "Ah, tapi tidakkah kau sadar tidak ada pilihan lain?" tanya Digory. "Tidak mungkin kita bisa menghindar sekarang. Kita bakal selalu bertanyatanya apa yang akan terjadi kalau saja kita membunyikan bel ini. Aku tidak mau pulang lalu penasaran setengah mati karena selalu mengingatnya. Tidak perlu takut!" "Jangan konyol begitu," kata Polly. "Memangnya bakal ada oran