Linguistik Kebudayaan #Resume Linguistic Anthropology Ch. 01 Name : Hj. Bunga Diantirta Yapati Salim Anshori NIM : 121514253008 121414253009 Duranti, A. (1997). Linguistic Anthropology, Cambridge: Cambridge University Press
The Scope of Linguistic Anthropology 1.1 Definitions Ada banyak definisi untuk istilah linguistic anthropology. Selain istilah linguistic anthropology, ada juga yang menggunakan istilah anthropological linguistics sedangkan sebagian lainnya memakai istilah ethnolinguistics. Istilah yang digunakan dalam buku ini adalah linguistic anthropology, yaitu suatu upaya secara sadar untuk mengkosolidasikan dan mendefinisikan kembali kajian bahasa dan budaya sebagai salah satu cabang dari antropologi. Hal ini sesuai dengan Hymes (1963: 277) yang menuliskan “the study of speech and language within the context of anthropology”. Buku ini akan membahas linguistic anthropology sebagai kajian bahasa sebagai sumberdaya budaya dan ujaran/percakapan sebagai praktek budaya. Sebagai kajian multidisiplin, linguistic anthropology menggunakan dan mengembangkan metode-metode dari disiplin ilmu lain, khususnya linguistik dan antropologi, dengan tujuan untuk memahami berbagai aspek bahasa sebagai praktek budaya (system komunikasi). Orang linguistic anthropology melihat subyek kajian mereka, yaitu speaker sebagai aktor sosial, yakni sebagai anggota komunitas yang khusus dan komplek yang terikat dengan berbagai institusi sosial, kepercayaan, dan nilai-nilai moral tertentu. Linguistic anthropology dalam buku ini tidak sama dengan kajian bahasa yang dilakukan oleh para ahli antropologi. Pun, tidak sama dengan kajian kumpulan-kumpulan teks ‘eksotis’ dari para ahli antropologi. Yakni teks yang biasanya dihasilkan oleh masyarakat yang teknologinya masih kurang maju, masyarakat yang tuna literasi. Jadi seseorang yang meneliti grammar bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang tidak punya sistem tata tulis, misalnya, tidak otomatis menjadikan dia sebagai seorang ahli linguistic anthropology. Ada tujuan dan metode tertentu yang membedakan penelitian linguistic anthropology dari penelitian bahasa atau survei maupun dari penelitian etnografi. Yang membedakan ahli linguistic anthropology dengan ahli lain di bidang bahasa bukan hanya sekedar keminatan pada panggunaan bahasanya saja, namun lebih pada fokus mereka pada bahasa sebagai simbol yang merepresentasikan pribadi ataupun sosial mereka pada dunia Page | 1
nyata. Fokus seperti ini memungkinkan ahli linguistic anthropology untuk mengkaji dengan inovatif topik-topik yang menjadi kajian inti bidang antropologi, seperti politik perwakilan, otoritas hukum, legitimasi kekuasaan, konflik etnik dan rasis yang berbasis budaya, proses sosialisasi, konstruksi budaya seseorang, emosi politik, dan lain sebagainya. Linguistic anthropology merupakan salah satu dari empat cabang tradisional antropologi (selain arkeologi, biologi atau fisika dan sosiokultural antropologi). Sekalipun begitu, seorang ahli antropologi yang mengkaji bahasa tidak berarti dia telah menjadi seorang ahli linguistic anthropology. Linguistic anthropology harusnya dilihat sebagai bagian yang lebih luas dari antropologi, bukan hanya karena itu merupakan kajian bahasa di bidang antropologi, namun lebih karena itu mengkaji bahasa dengan menggunakan sudut pandang antropologi. Sudut pandang ini termasuk diantaranya transmisi dan reproduksi budaya, hubungan antara system budaya dengan berbagai bentuk organisasi sosial dan sebagainya. Sudut pandang linguistic anthropology ini tidak berarti bahwa semua permasalahan linguistic anthropology harus dibentuk dari bidang antropologi yang lainnya. Lebih khusus, tidak semua pandangan budaya dalam antropologi sosial budaya
sama dengan pandangan budaya dari linguistic
anthropology. Linguistic anthropology memandang bahasa sebagai alat penting dalam mengungkapkan aspek-aspek ide dan materi keberadaan manusia. Pandangan dinamis tentang bahasa inilah yang menempatkan linguistic anthropology pada tempat yang unik dalam ilmu sosial dan budaya. 1.2 The Study of Linguistic Practices Linguistic anthropology bermula dari asusmsi teoretis bahwa kata itu bermakna dan dari temuan empiris bahwa tanda bahasa (linguistc signs) tidak pernah netral. Mereka digunakan secara konstan untuk mengkonstruksi persamaan maupun perbedaan budaya. Jika dalam strukturalisme di linguistik, antropologi dan ilmu sosial lainnya, untuk menjelaskan fakta bisa dengan interpretasi dari proses perbandingan yang kemudian menghasilkan perdedaan, maka linguistic anthropology menambahkan bahwa perbedaan itu bukan hanya sekedar penggantian satu suara dengan yang lainnya atau satu kata dengan kata lainnya, perbedaan juga ada pada tindak tutur, pencampuran kata dengan tindakan, juga penggantian kata aksi. Yang membuat linguistic anthropology berbeda adalah kepeminatannya pada penutur sebagai aktor sosial, pada bahasa baik sebagai sumber maupun hasil dari interaksi sosial. Linguistic anthropology sebagian dibangun dari kerja-kerja ahli bahasa strukturalis, namun mempunya perspektif yang berbeda pada obyek kajiannya, bahasa, dan membentuk satu obyek baru. Page | 2
Termasuk dalam obyek baru tersebut ‘language instinct’
yang juga dikaji oleh formal
grammarians. Grammarians biasanya mengkaji bahasa sebagai pola system abstrak yang menggabungkan elemen tak bermakna tapi berbeda (phoneme) menjadi elemen yang bermakna (morpheme) dan selanjutnya digabung-gabungkan lagi membentuk unit yang lebih tinggi (kata, frasa, kalimat). Kajian linguistic anthropology bertujuan “language as the measure of our lives” (Morrison’s, 1994). Ini menjadi dasar mengapa linguistic anthropology lebih focus pada language performance dan situated discourse. Linguistic anthropology juga focus pada bagaimana bahasa bisa menciptakan perbedaan – antar grup, individu, identitas. Linguistic anthropology berangkat dari asumsi ada dimensi lain dari percakapan yang hanya bisa dijelaskan dengan cara mempelajari apa yang sebenarnya dilakukan oleh manusia dengan bahasanya, dengan mencocokkan kata-kata, diam, dan gesture dengan kontek saat ujaran itu dihasilkan. 1.3 Linguistic Anthropology and Other Disciplines in the Humanities and Social Sciences Dalam duapuluh tahun terakhir, linguistic anthropology berkembang dan dipengaruhi banyak teori dari berbagai bidang. Misalnya, kajian folklore and performance, literasi dan pendidikan, sosiologi kognitif, sosiologi interaksional, dan pemerolehan bahasa pada anak-anak. Ethnometodologi, yang mengkaji metode-metode yang digunakan di bidang sosial juga menawarkan ide-ide yang inovatif dan penting. Dari pendekatan yang diinspirasi phenomenology ini, linguistic anthropology dapat belajar banyak hal. Pertama, mereka bisa belajar bahwa struktur sosial bujanlah variable yang independen, kedua bahwa jika pengetahuan itu implisit, maka kita tidak cukup hanya sekedar bertanya untuk mengetahui apa yang mereka pikirkan. Kita harus juga melihat bagaimana mereka menggunakan interaksi sosial untuk memecahkan permasalahan sehari-hari mereka. 1.3.1 Linguistic Anthropology and Sociolinguistics Dari berbagai disiplin ilmu budaya dan sosial yang berkaitan dengan komunikasi, bidang sosiolinguistik merupakan disiplin yang paling dekat dengan linguistic anthropology. Sekilas, memperhatikan latar belakang sejarah kkedua disiplin ini, sulit untuk membedakannya sekalipun ahli sosiolinguistik biasanya lebih suka menggunakan metode quantitative dan meneliti di daerah urban sedangkan ahli linguistic anthropology cenderung menggunakan
Page | 3
metode qualitative dan lebih sering meneliti di daerah terpencil, tujuan penelitian mereka secara umum sangat mirip bagi orang awam. Untuk membedakan kedua disiplin ini, bisa dilihat dari sejarah terbentuknya. Linguistic anthropology merupakan salah satu cabang antropologi ketika bidang ini didefinisikan oleh Boas dan kawan-kawannya pada awal abad 20. Sedangkan sosiolinguistik muncul dari urban dialectology pada akhir 1950an dan awal 1960an. Masih pada tahun 1960an sampai 1970an, beberapa ahli berusaha menggabungkan kedua disiplin ini. Ahli sosiolinguistik tetap meneliti pada pilihan bahasa dan perubahan bahasa, mereka juga tetap focus pada speech community sebagai dasar penelitian batasan variasi individu dalam penggunaan bahasa. Area penelitian lainnya, seperti speech register, bahasa dan gender, tindak tutur dan wacana sering bersinggungan dengan linguistic anthropology dan bisa saling melengkapi. Hal lain yang membedakan diantara keduanya adalah pentingnya konsep pengertian budaya yang membuat metode, tujuan teoretis linguistic anthropology berbeda dengan sosiolinguistik. 1.4. Perhatian Teoretis dalam Linguistik Kontemporer Di bagian ini, ada 3 domain atau ranah teoretis yang berkembang yang berkaitan dengan linguitik antropologi di beberapa dekade belakangan ini. 3 ranah teoretis tersebut adalah: (i) performance (ii) indexicality, dan (iii) partisipasi. 1.4.1. Performance Konsep “performance” ini tercakup di dalam banyak sumber dan bisa diinterpretasikan atau ditafsirkan di dalam berbagai cara atau uraian. Istilah “performance” ini salah satunya berasal dari hasil atau buah pikiran Noam Chomsky yang terutama termaktub di dalam bukunya yang berjudul Aspects of the Theory of Syntax (1965) yang mengkomparasikan atau membandingkan antara “competence” dan “performance”. Adapun pembagian atau pembedaan antara “competence” dan “performance” ini juga sebenarnya terinspirasikan dari komparasi atau pembedaan yang dilakukan oleh Ferdinand De Saussure, terutama untuk istilah “langue” dan “parole”. “Langue” merupakan sitem yang menyangkut keseluruhan kekayaan bahasa seperti kosakata serta tata bahasa. Sedangkan, “parole” merupakan bahasa yang diujarkan atau diutarakan oleh seorang individu, termasuk segala kekhasan dalam ucapan dan pilihan struktur bahasa serta variasi bahasa yang digunakan (dialek, slang, dll).
Page | 4
Dikorelasikan dengan hal di atas, dalam konteks selanjutnya, “competence” mendeskripsikan atau menggambarkan dirinya sebagai kapasitas atau skill bahasa, terutama yaitu pengetahuan atau kompetensi yang penutur asli punyai, dimana prinsip-prinsip membolehkan interpretasi atau penafsiran dan penggunaan dari bahasa-bahasa tersebut. Sedangkan, “performance” adalah penggunaan secara actual dari seluruh bahasa dan dalam hal ini, tidak hanya dilihat oleh Chomsky sebagai sesuatu yang berdasar “competence” saja, tetapi juga menyangkut prinsip-prinsip seperti perhatian, persepsi, dan memori dari seorang individu, khususnya seorang penutur bahasa. Dari hal tersebut, dalam hal ini, “competence” adalah pengetahuan atau kompetensi dari bahasa yang penutur miliki atau punyai. Di lain pihak, “performance” adalah implementasi dari pengetahuan bahasa yang dalam hal ini berbentuk ujaran atau tuturan. Berdasar statemen di atas, linguistik antropologi tertarik terhadap apa yang penutur atau pembicara lakukan dengan bahasa. Dikaitkan dengan “performance”, para ahli di bidang linguistik antropologi mengemukakan bahwa “performance” itu merujuk pada sebuah domain atau ranah aktifitas atau kegiatan manusia dimana perhatian khusus diberikan pada cara-cara bagaimana tindak komunikasi atau tindak bahasa diproduksi atau dihasilkan. Perhatian khusus ini biasanya untuk bentuk-bentuk pesan yang oleh Roman Jakobson (1960) dinamai “fungsi poetik” dari ujaran atau pembicaraan. Menurut Hymes, “performance” adalah sesuatu yang kreatif, bisa diaktualisasikan, dan yang akan bisa dicapai atau diperoleh (1981: 81). Menyangkut hal ini, “performance” biasanya merupakan sebuah dimensi dari kehidupan manusia yang kebanyakan itu ditekankan atau terfokus di dalam musik, teater, dan pertunjukan atau tampilan publik lainnya terutama yang berhubungan dengan kemampuan dan kreatifitas artistik. Dalam hal ini, “performance” semisal ditemukan dalam debat, penyampaian cerita atau dongeng, atau aktifitas-aktifitas lain yang berkaitan dengan tuturan atau ujaran. Selain itu, pikiran-pikiran atau ide-ide tentang “performance” itu tidak hanya menyangkut pengenalan fakta bahwa berbicara atau berujar itu mencakup dimensi estetik saja seperti di atas, tetapi juga dipahami sebagai sebuah perhatian terhadap bentuk-bentuk ujaran atau tuturan tentang apa yang diucapkan atau disampaikan. Terakhir, kesimpulan yang bisa didapat adalah ide-ide atau pikiran-pikiran tentang “performance” itu secara langsung atau tidak langsung dinyatakan berkaitan dengan kreatifitas (Palmer dan Jankovich, 1996) dan improvisasi (Sawyer, 1996). Dihubungkan dengan hal ini, “performance” sendiri dijumpai sepanjang aktifitas-aktifitas bertutur atau berbicara, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Dan, jika dihubungkan atau Page | 5
dikorelasikan antara seorang penutur dengan seorang pelaku seni atau artis (seperti musisi jazz, penyanyi, dll), keduanya hampir sama atau mirip dalam memproduksi sebuah “performance”. Jika seorang penutur atau yang fasih berbahasa itu memproduksi tuturan atau pembicaraan itu haruslah mampu memproduksi dan memenuhi pembicaraan apapun tanpa merusak harmonisasi pembicaraan, sedangkan, seorang musisi jazz yang ahli itu haruslah mampu memproduksi dan memasuki komposisi jazz apapun tanpa mengganggu jalannya atau lancarnya pentas atau pertunjukan musik yang ada. 1.4.2. Indexicality Di bagian ini, “indexicality” dibicarakan. Berkaitan dengan hal ini, pada zaman dulu, para filosof mengemukakan bahwa ada berbagai macam tanda (signs). Immanuel Kant, salah satu filosof, di dalam bukunya Anthropology from a pragmatic point of view (1798) membedakan atau mengklasifikasikan tanda (sign) menjadi tanda yang arbitrer (arbitrary signs) dan tanda yang natural (natural signs). Contoh tanda yang arbitrer itu semisal adalah huruf-huruf yang mempresentasikan bunyi-bunyi linguistic yang merupakan cakupan juga dari suara-suara yang arbitrer (arbitrary sounds). Sedangkan, tanda yang natural (natural signs) itu contohnya adalah asap dimana asap ini merupakan tanda (sign) yang bisa dijadikan rujukan (index) oleh kita akan adanya api. Dikorelasikan dengan hal di atas, “indexes” atau “indices” adalah tanda– tanda (signs) yang memiliki relasi atau hubungan dengan apa yang “indexes” atau “indices” rujuk atau tunjukkan (Burks, 1949). Dalam hal ini, kategori “indexes” atau “indices” yang mudah untuk dijadikan contoh atau yang bisa didapatkan di dalam ekspresi-ekspresi atau statemen-statemen yang berbau linguistik adalah yang menyangkut: “demonstrative pronouns” (contoh: this, that, those, dll), “personal pronouns” (contoh: I, you, dll), “temporal expressions” atau “time expressions” (contoh: now, then, yesterday, dll), dan “spatial expressions” (contoh: up, below, above, dll). Berdasar hal di atas, “demonstrative pronouns”, “personal pronouns”, “temporal pronouns”, dan “spatial pronouns” itu disebut “indexicality”. Dikorelasikan dengan hal di atas, kata-kata yang merujuk atau menunjuk (indexicality) pada objek-objek atau aspek-aspek yang lain tersebut itu sebenarnya diinterpretasikan atau ditafsirkan bahwa kata-kata tersebut (indexicality) itu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan, atau merujuk pada objek-objek, orang-orang, dan hal-hal lainnya.
Page | 6
1.4.3. Partisipasi Di bagian ini, para linguis antropologi mengemukakan tentang partisipasi para penutur bahasa atau pembicara tersebut sebagai makhluk social yang harus berpartisipasi di dalam kehidupan social masyarakat. Salah satu poin atau inti di bagian ini adalah secara fakta, seorang penutur bahasa itu pastilah seorang anggota dari komunitas bahasa atau komunitas percakapan (speech community). Dikaitkan dengan hal di atas, menjadi seorang penutur bahasa yang berkompeten itu berarti bahwasanya dia mampu mengkomunikasikan apa yang menjadi ide-idenya atau gagasan-gagasannya itu dalam kegiatan atau aktifitas social yang cakupannya luas dan secara cultural terorganisir dan semuanya bisa diinterpretasikan atau ditafsirkan. Berdasar hal ini, berbicara atau bertutur itu merupakan bentuk partisipasi terutama di dalam sebuah aktifitas atau kegiatan. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa partisipasi itu mencakup juga aktifitas atau kegiatan berbicara atau bertutur (speaking) yang di dalamnya ada proses untuk mengatur dan mengaktualisasikan infromasi, gagasan, ide, dan hal-hal lain yang pastinya bisa diinterpretasikan atau ditafsirkan. Partisipasi yang mencakup aktifitas atau kegiatan berbicara atau bertutur tersebut mengimplementasikan berbagai bentuk bahasa atau variasi bahasa, seperti dialek, gaya bahasa, dan lain-lain. 1.5. Kesimpulan Linguistik antropologi merupakan salah satu ilmu linguistik yang memaparkan berbagai hal yang menghubungkan antara linguistik dan antropologi, khususnya yang menyangkut ketertarikan penutur bahasa sebagai anggota dari komunitas bahasa atau komunitas percakapan yang mengaktualisasikan diri dalam hal-hal social humanisme. Berkaitan dengan hal ini, tiga domain atau ranah yang salah satunya tercakup dan dibahas di dalam linguistic antropologi adalah “performance”, “indexicality”, dan partisipasi (yang dalam hal ini, khususnya partisipasi dari penutur bahasa).
Page | 7