The Road to the Empire: Kisah Takudar Khan, Pangeran Muslim Pewaris Mongol(The Road to the Empire #1) by Sinta Yudisia
Baguusss banget! Sama sekali nggak nyesel bacanya. Meskipun sempet jiper liat bukunya yang tebal itu. Buku ini mengisahkan perjalanan Takudar, pangeran pertama kerajaan Mongol selama masa melarikan diri setelah terjadi pemberontakan yang membuat Kaisar dan Permaisuri tewas terbunuh. Takudar, memegang janji ayahnya sang Kaisar bahwa dia akan menjadi seorang muslim, akhirnya memeluk agama Islam dan tinggal bersama orangorang Muslim. Sementara itu adiknya, pangeran kedua Arghun Khan naik tahta menjadi Kaisar karena Takudar dianggap mati. Arghun Khan yang didampingi seorang penasehat yang juga kemaruk harta dan kekuasaan, menjadi seorang kaisar yang lalim. Tak memperdulikan bahwa perang merusak segalanya. Yang dipedulikannya hanyalah bagaimana dia bisa menaklukkan semua daerah di Mongol seperti halnya Jengis Khan, leluhurnya. Buzun, sang pangeran ketiga awalnya tak ingin berpihak pada siapapun. Dia hanya pasif saja meskipun hati kecilnya menolak kekejaman kakak keduanya itu. Dalam gundahnya Buzun pun mencari Takudar, sekedar ingin memastikan bahwa kakak pertamanya masih hidup atau jika sudah mati dia ingin mengetahui dimana kuburnya. Akhirnya Takudar dan Buzun pun bertemu. Takudar yang sudah menjadi seorang muslim berprilaku sangat lembut, begitu pula sahabat-sahabatnya di Madrasah Babussalam. Namun Buzun yang saat itu masih belum bisa menentukan sikap, memutuskan untuk kembali ke ibu kota. Peperangan antara kaum muslim dan tentara Kaisar tak terelakkan lagi ketika Takudar akhirnya menerima
Peperangan antara kaum muslim dan tentara Kaisar tak terelakkan lagi ketika Takudar akhirnya menerima kenyataan bahwa Arghun Khan harus dihentikan karena penaklukannya sudah banyak menelan korban. Apalagi kaisar Mongol hendak membantai kaum Muslim. Takudar tak bisa berdiam diri dan mereka pun akhirnya berhadap-hadapan beradu pedang demi mencapai tahta kekaisaran. Seperti halnya perang yang memakan begitu banyak korban, pertempuran satu lawan satu pun mengambil korban nyawa meskipun sudah diupayakan agar tak lagi banyak korban yang berjatuhan. Ceritanya sangat memikat, dan membacanya seperti menonton film kolosal bertema kerajaan Mongol yang gegap gempita. Apalagi penggambaran pertempurannya yang demikian dahsyat. It really IS a GOOD book :)|Novel ini benar-benar membetot segala rasa saya. Saya tersentak, saya bergemuruh, saya menangis, menelusur epik yang begitu detail dan kuat nuansa risetnya. Pemaparan tokoh-tokohnya begitu manusiawi. Tak ketinggalan, kisah romantika yang benar-benar berbeda, tak bergenit-genit dan mendayu-dayu tanpa arti. Bab demi bab membuat saya acap kali menarik napas. Dan sampai pada titik kata terakhir, saya tak mau novel ini tamat….|Subhanallah! I never know Indonesian writer can write like this. Sinta Yudisia rocks! I used to hate reading histories. But reading this novel, I couldn't help it, hardly stopping. The facts of history combined and mingled with the romance fiction are beautifully presented. The poetical description of the palaces, the Gobi dessert, the meadows, the steep mountain, and the poetical poetries themselves are amazing. Really add my poor vocabs :P Sinta Yudisia is really trained to the creation of beautiful description. Twilight Saga was amazing I thought, but this book... makes Edward Cullen was nothing compared to Takudar Khan :D This crown prince was thrown and eliminated not only from the palace, he was also hunted, to be killed, so Albuqa Khan, the Emperor adviser who betrayed his father, the Emperor, and designed the Emperor and Queen's murder, can freely control the Second Prince, Takudar's younger brother, who was then the next Emperor. I luv it how Yudisia presenting the drama. The complication emerged in Takudar's mind when he seek a refuge to Babussalaam and found his father's best friends' son, Rasyiduddin, who become his ally because of his father's oath, Anda oath, as the heir of Jenghiz Khan, with Syaikh Jamaluddin. The oath made him oppose the Emperor, his younger brother, who he loved and cared very much. This predicament made him think twice to stop their jihad. It broke my heart following the story of the brave Tar Muleng (one of Mongolian etnic) girl Almamuchi, Takudar's faithful servant, and Princess Urghana, Albuqa Khan's first daughter. Actually the whole cruelty of the Mongolian Empire disgusted me. But I was rather comforted by the aim and goal of the Hui-Hui etnic which leader was then Takudar: to change the cruel empire into a just one, a people-oriented empire. I regard this book as not only a great novel, but it also is a great history book. I learn a lot about who Jenghiz Khan, his anchestor and heirs were. Thank to Sinta Yudisia ^^ |Buku ini termasuk buku yang membutuhkan lama untuk dibeli.Nyaris 2 tahun. Pertama kali lihat dan membaca sinopsinya sudah terlarik. Lihat harga ternyata STD. Namun lihat cetakannya langsung ngacir dengan teratur. Niat mau ngintip rak buku teman2 kok kelewatan terus Di IBF, buku ini dipasangi tulisan diskon 40 % dengan manis, sepertinya sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak jadi membelinya. Dengan menguatkan hati, lembar demi lembar halaman buku ini saya buka. Lembaran yang ada mengajak saya berpetualang. Penulis yang melakukan riset dengan baik sehingga mampu menceritakan sebuah rincian tanpa kesan menggurui sepertinya sangat langka. Buku ini dibuat tanpa maksud menonjolkan satu golongan dan menjatuhkan yang lain. Isinya hanya menguraikan sebuah keadaan saja.Kisah peperangan yang sering kali berkesan kejam diimbangi dengan kisah romance yang mendayu-dayu. Kesulitan saya hanya suka lupa nama-nama tokoh karena merupakan nama asing yang sering kali mirip. karena cetakan yang menyedihkan buat mata saya, makanya bintangnya dkurangi satu. Kalimat yang paling berkesan dalam buku ini (untuk saya pribadi) ada dihalaman 459. " Seorang lelaki biasa yang
Kalimat yang paling berkesan dalam buku ini (untuk saya pribadi) ada dihalaman 459. " Seorang lelaki biasa yang tidak sebijak Abubakar, tidak sekuat Umar, tidak sekaya Utsman, tidak secerdas Ali. Hanya pemuda dhaif yang meyongsong kebangkitan" Mau satu dung.............! ^_^|TENTANG CINTA, PERSAUDARAAN DAN PERJUANGAN (Pelajaran Berharga Dari TRTTE)
Judul : The Road To The Empire (Kisah Takudar Khan, Pangeran Muslim Pewaris Mongol) Penulis : Sinta Yudisia Penyunting Ahli : Maman S. Mahayana Genre : Novel Sejarah Penerbit : Lingkar Pena Publishing House Cetakan : I, Desember 2008
Sesekali, tanyakanlah pada anak – anak atau remaja di sekitar kita, “Siapa nama pahlawan yang mereka kenal?!”. Tak jarang, tanpa ‘merasa bersalah’, sebagian dari mereka menjawab dengan polos, “Spiderman”, “Wonder Woman”, atau bahkan “Doraemon”! Ajaib bukan?! Maka, sejarah – sejarah yang seharusnya menjadi cermin bagi kita untuk mengarifi kehidupanpun menguap begitu saja. Beberapa tahun terakhir, beberapa orang penulis tanah air mencoba menjawab kegelisahan ini dengan menghadirkan kembali sejarah dalam kemasan yang berbeda- fiksi, entah itu novel ataupun cerpen. Sebut saja di antaranya Tasaro (Pitaloka) , Sakti Wibowo (Tanah Retak), Agus Trijanto (Tonil Nyai di Ujung Senapan), Afifah Afra (Trilogi Bulan Mati) atau Langit Krena Hariadi (Gadjah Mada) yang mewakili generasi saat ini. Di generasi dahulu, bisa kita temui nama Pramodia Ananta Toer (Bumi Manusia), Abdul Muis (Suropati), juga SM. Ardan (Nyai Dasimah). Yang terbaru dan cukup populer adalah Sinta Yudisia dengan novelnya The Road To The Empire yang berhasil meraih Award untuk Buku Fiksi terbaik di ajang Islamic Book Fair 2009 lalu. Novel ini adalah sekuel dari dua novel Sinta sebelumnya, Sebuah Janji dan The Lost Princes. Sayangnya dua buku terdahulu ini kurang ‘terdengar’ gaungnya. Padahal, menurut saya pribadi, dua buku ini tidak kalah bagusnya. Hanya saja, secara kemasan, The Road To The Empire memang tampil lebih menarik dan menjual. Novel setebal 586 halaman ini sangat kental nuansa Mongolnya. Kita akan dibawa oleh Sinta Yudisia, yang telah menulis beberapa buku best seller ini, ke dalam sebuah pertempuran bukan hanya fisik, tapi juga batin seorang pejuang mongol, Takudar Khan. Membaca buku ini, niscaya kita akan semakin menghayati nilai sebuah ikatan persaudaraan yang bukan disebabkan oleh aliran darah semata, tapi oleh sesuatu yang lebih dalam dari itu. Dan tanpa anda sadari, anda akan menangis atau mungkin tersentuh dan tertawa karenanya. Kisah yang sungguh indah dan inspiratif. Novel ini bercerita tentang Takudar, Arghun dan Buzun adalah tiga putra mahkota dari dinasti mongol yang tercerai berai karena penghianatan Albuqa Khan yang dianggap sebagai tangan kanan Kaisar, tapi sebetulnya tak lebih seperti srigala berbulu domba. Ayahnya, Tulquq Timur Khan, juga ibunya Permaisuri Ikhata meninggal dunia dengan tidak wajar. Padahal kaisar Tulquq Timur Khan yang bijaksana itu mempunyai harapan yang mulia untuk mengembalikan kejayaan dinasti mongol dan menyatukan rakyatnya di bawah panji perdamaian yang kokoh
lebih seperti srigala berbulu domba. Ayahnya, Tulquq Timur Khan, juga ibunya Permaisuri Ikhata meninggal dunia dengan tidak wajar. Padahal kaisar Tulquq Timur Khan yang bijaksana itu mempunyai harapan yang mulia untuk mengembalikan kejayaan dinasti mongol dan menyatukan rakyatnya di bawah panji perdamaian yang kokoh tanpa dikotori pertumpahan darah dan kekerasan sebagaimana yang dilakukan leluhurnya. Tentu masih lekat dalam sejarah bagaimana kejamnya Jengish Khan yang mencatat sejarah berdirinya imperium Mongolia sebagai kekaisaran terbesar kedua di dunia dan yang paling masyur di dataran Cina itu dengan tinta darah dan peperangan. Sejak kejadian berdarah yang menimpa istana itu Takudar, putra mahkota, melarikan diri ke arah Barat dan memulai hidupnya sebagai rakyat jelata. Bayangan masa lalu yang seakan terus mengejar, bahkan sampai ke dalam mimpi adalah sebuah siksaan berat yang harus ditanggungnya sepanjang hidup. Iapun berganti nama menjadi Baruji dan menyusun kekuatan di sebuah madrasah pimpinan putera Syaikh Jamaluddin dan memeluk keyakinan yang dianut Syaikh Jamaluddin dan keturunannya. Apakah yang akan terjadi selanjutnya? Mampukan Takudar atau Baruji merebut kembali tahta dan mengubah wajah Mongolia yang penuh ceceran darah dengan cahaya yang cemerlang?! Apakah Takudar akan bertemu dengan saudara-saudaranya kembali? Sanggupkan Takudar melawan adiknya sendiri, Arghun Khan, yang memimpin Monggol dengan tangan besi?! Apakah takudar akan menikah dengan Yan Chi, yang selalu setia bersamanya?! Semuanya akan terjawab dalam rentetan peristiwa yang seolah rententan pristiwa yang diolah secara indah oleh Sinta Yudisia dalam novel ini. Nuansa sejarah yang kaku dan membosankan berhasil ditepis oleh penulis paling prodkutif di jajaran aktivis FLP ini. Bahasa yang mengalir tajam adalah kekuatan utama novel ini. *** “Menguras perasaan!” Itulah kesan pertama saya usia membaca novel tebal ini. Cinta, penghianatan, persaudaraan, intrik, taktik perang dan segala hal seolah menyatu dalam novel ini. Hal ini semakin terasa karena Sinta Yudisia berhasil menggambarkan detail dan lattar Monggol dengan begitu indah. Membaca buku ini, kita seolah bisa merasakan nuansa oriental yang sangat kental dan hidup, khas Sinta. Yang saya perhatikan dari karya-karyanya, Sinta Yudisia memang adalah tipe penulis yang mau ‘bersusah payah’ melakukan riset untuk menghasilkan karya yang bermutu dan bernuansa. Dialog – dialog yang padat dan kalimat demi kalimat yang disusun dengan indah serta penuh nuansa semakin membuat kita merasa berat untuk tidak membuka halaman demi halaman novel ini sampai akhir. Lingkar Pena Publishing House, selaku penerbitpun betul – betul memperhatikan detail sampul yang sangat memikat dan epik banget. Nampaknya ini menjadi daya jual sendiri bagi novel ini. Bahkan Maman S. Mahayana, seorang guru besar UI yang telah malang melintang (jie….) di jagad sastra tanah air ikut mewarnai novel ini sebagi editor. Namun, sayangnya, ada banyak kesalahan ejaan kata dalam beberapa lembar buku ini. Kesalahan kecil memang, tapi betapa mengganggunya. Lebih – lebih ketika membaca tagline judul novel ini- Kisah Takudar Khan, Pangeran Muslim Pewaris Mongol. Padahal dalam novel ini, Takudar Khan adalah putra mahkota atau ahli waris, bukan pewaris (yang mewariskan). Aneh sekali, bukan?!. Saya juga termasuk ke dalam golongan pembaca yang merasa ‘diremehkan’ dengan penggunaan tagline di banyak novel belakangan ini. Padahal, saya pikir, tanpa tagline-pun, pembaca cukup memahami seperti apa isi sebuah novel. The Road To The Empire memang adalah judul yang cukup bagus. Namun, apakah tidak lebih baik jika diberi judul yang Indonesia saja?! Memang, belakangan ini, banyak penulis kita yang –maaf- merasa lebih pede memakai judul dengan bahasa asing, karena dianggap lebih mudah diserap pasar. Tapi jika tujuannya agar ide dalam tulisan kita bisa ditangkap, why not?! Namun, memakai judul dengan bahasa Indonesia yang membumi di masyarakat, saya pikir adalah sebuah langkah bijak yang juga harus dipikirkan oleh penulis. Terlepas dari itu, bagaimanapun, The Road To The Empire, adalah sebuah novel yang patut diapresiasikan dan
Terlepas dari itu, bagaimanapun, The Road To The Empire, adalah sebuah novel yang patut diapresiasikan dan layak menjadi koleksi yang akan dibaca oleh generasi – generasi muslim ke depan, sehingga inspirasi – inspirasi positif dalam novel ini, agar kita terus berjuang membela dien, bisa terus berkibar sepanjang abad. Lebih – lebih lagi, Sinta Yudisia dan para penulis perempuan FLP lainnya lahir di tengah euphoria penulis perempuan yang seolah berlomba ‘mengibarkan’ bendera sastra seputar kelamin. Dan hey, Sinta Yudisia! Mengapa tak kau tulis sejarah Indonesia yang gilang gemilang dalam novelmu?! Saya percaya, banyak yang menunggu goresan pena emasmu! Teruslah berkibar dan jangan padam!***
Bima, Juli 2009