the
AFRIZA REVIEW Edition 004, September 2013
The Review Mengulas A.S. Laksana Ada seorang penulis yang belum terlalu tua (dia menolak disebut penulis muda) yang saya follow di Twitter dan, setelah beberapa waktu mengikuti ricauannya, kemudian saya golongkan sebagai 'Buzzer A.S. Laksana Garis Keras'. Betapa tidak, setiap kali dia mericau perihal yang berkaitan dengan kepenulisan (cerpen terutama), selalu saja dia menyebutkan nama A.S. Laksana. Bahkan dalam sepekan dia mericau, nama itu selalu saja tersangkut dalam ricauannya -selalu dalam nada memuji, bahkan setengah mendewakan. Meski si penulis yang saya 'follow' ini belumlah termasuk jajaran penulis ternama, tapi reputasinya sudah lumayan terdengar (di Twitter, setidaknya). Jadi penasaran: kharisma macam apa yang sudah dilekatkan oleh seorang A.S. Laksana ke dalam batok kepalanya? Tak pelak, bulu kuduk pun mengejat-ngejat seirama aransemen musik elektronika. Seorang teman yang lain, saat dikabari bahwa saya sedang mendapat pekerjaan untuk mengulas kumcer A.S. Laksana, mendadak tantrum lewat SMS. Pesan pertama berbunyi: "Waaaa gilaaaa.. udah dapet job yang sesuai dengan minat lu (ngulas buku), yang diulas penulis dahsyaatt pulaaaa.. waaaa..!" lalu disusul dengan pesan kedua: "Sulak itu buatku bagai seorang sosiolog. Menulis soal 'daleman'-nya manusia. Mencatat kekinian, tapi endapannya sangat daleeeemmmm..." kemudian mengalirlah beberapa pujian beragam macam yang agak risih jika harus dituliskan semua di sini. Teman saya ini seorang hantu sejati: belum pernah menulis buku barang sebiji, tapi dia dielu-elukan banyak penulis buku sebagai sahabat dekat. Orangnya kritis, agak sadis bahkan, tapi selalu memberi dukungan tulus pada dunia seni dan sastra. Dalam dunia Hantu (penulis tanpa nama), dia sudah nyaman di lapis ke-7, sementara saya masih terengah-engah di lapis ke-3. Saat para penulis berbuku partikelir mendadak kayang-koprol saat di undang ke Surabaya, dengan ongkos sendiri pula, untuk menghadiri pertemuan para "sastrawan"; teman saya ini sudah diongkosi oleh organisasi kelas dunia agar pergi menyambangi India untuk melakukan halhal yang dia suka --seperti membuat foto-foto narsis untuk diunggah ke FB, kemudian membuat tulisan fitur pendamping foto yang membuat kita bertanya-tanya: apakah hidup memang sedemikian indahnya? Dia salah seorang Hantu yang saya hormati. Jadi ketika dia memuji seorang penulis sedemikian menggeloranya, saya pun mulai bergoyang (eh?) Kali ini giliran bulu kaki saya yang bergelenyar. Persiapan membaca lekat berlanjut dengan menelusuri biografi A.S. Laksana, berjalan-jalan maya mengunjungi blog miliknya --saya selalu suka pada penulis yang rajin memelihara blog-nya. Mendapati bahwa dia menekuni dengan intens mengenai Ericksonian Hypnosis, serta tanpa ragu mengatakan bahwa dia menyematkan teknik hipnosis itu ke dalam karya-karya cerpennya. Saya jadi makin ngeri. Takut dihipnotis, atau... takut bahwa mungkin saya akan menemukan sisi-sisi terdalam diri ini terbawa resap dalam endapan pemikirannya, atau... Rasa takut ini pula yang membuat persiapan ulasan untuk kumcernya yang bertajuk 'Murjangkung
Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu' memakan waktu lebih lama dari biasanya. Oleh karena itu saya memutuskan untuk menggunakan pendekatan yang berbeda dari biasanya pula. Kali ini saya tak mau membaca sendirian. Takut kesepian. Takut. Karenanya saya mengundang beberapa teman yang biasa nongkrong di warung Afriza Review untuk turut serta membacanya. Ada empat orang yang bersedia (kebetulan pengunjung setia warung ini memang hanya empat orang itu). Saya serahkan buku 'Murjangkung...' kepada mereka untuk dibaca bergantian. Teriring ucapan flamboyan: selamat membaca, kawan.
Dua Hari Kemudian... Reaksi mereka setelah membaca lumayan menambah gerah suasana. Tiga orang langsung mengangkat sumpah setia untuk menjadi 'Buzzer A.S. Laksana Garda Depan' di Twitter, dengan semboyan: "Selalu mem-follow, tak harap di-FollBack"; sebuah semboyan yang menyiratkan ketulusan dan kekuatan --meski agak kacangan. Satu orang lagi langsung menanyakan di mana dia bisa membeli kumcer A.S. Laksana lainnya. Hal ini sungguh menakjubkan karena teman yang satu ini untuk soal buku, biasanya tak mengenal istilah 'beli' (hanya tahu pinjam, pinjam, dan "pinjam dunk, please..."). Situasi memang sedang di luar dari biasa tampaknya. Kemudian saya pun meminta mereka untuk menceritakan kesan dan pesan setelah membaca kumcer 'Murjangkung...' dalam gaya bahasa masing-masing. Catatan: sampai titik ini saya masih menahan diri untuk tidak ikut membaca bukunya. Berikut ini penuturan mereka. Catatan: nama para pembaca sengaja disamarkan untuk menghindari konflik.
1.
Surya Listez (sarjana FISIP, bekerja sebagai tukang kredit keliling)
Saya terutama tertarik pada kreativitas penulis dalam membuat judul untuk tiap cerpennya. Hal ini disebabkan sebuah judul itu adalah pintu utama yang akan kita temui dalam sebuah karya tulis. Jika judulnya saja sudah bisa menarik minat, maka tergapai sudah perhatian seorang pembaca. Dalam hal perjudulan ini, saya rasa A.S. Laksana berhasil menatahnya secara ampuh dan mujarab. Lihat saja deretan judul cerpen dalam kumpulan "Murjangkung...", semuanya langsung menggelitik mata dan minat untuk membaca. Piawai! Hanya kata itu yang bisa saya sematkan untuk keahlian si penulis buku ini dalam membuat judul. Tentu keampuhan sebuah judul tidak akan banyak berarti jika tidak dilanjutkan oleh isi tulisan yang juga ciamik. Namun saya belum bisa banyak komentar perihal isi, yang pasti saya suka betul dan betul-betul suka dengan cerpen-cerpen dalam buku ini, tapi saya tidak bisa menjelaskan kenapa bisa begitu. Pokoknya: piawai!
2.
Langgeng Butho (Sarjana Teknik Sipil; bekerja di penambangan lepas pantai, sebagai Satpam)
Soal isi, saya lebih bisa menjelaskan tinimbang Surya. Sebagai orang teknik, saya memang lebih teliti dalam menimbang soal perisian. Berapa jumlah volume, apa saja yang terkandung didalamnya, berapa ukuran masing-masing bahan pembentuk, semua itu jelas 'gue banget'. Sekadar info, saya juga banyak membaca karya filsafat terutama dari ranah Tiongkok kuno. Suka memancing, dan sesekali fitness. Bisa bernyanyi sambil bertepuk tangan... Eh, baiklah, kita kembali ke kumcer 'Murjangkung...'-nya A.S. Laksana. Mengenyangkan sekali menikmati bagaimana A.S. Laksana menyisipkan muatan falsafah dan psikologis dalam karya-karya cerpennya di buku ini. Semua muatan itu dia buat mengalir sebagai bagian dari cerita, tanpa dipaksa-paksa agar muat dan lalu sobek. Cara penyampaian yang setengah bercanda juga membuat pesan-pesan subliminal itu jadi mudah dipahami oleh pembaca --terutama yang mengerti soal teknik seperti saya. Contoh penyampaian semacam itu, tanpa perlu menunggu lama, bisa langsung dijumpai pada cerpen pertama. Simak misalnya contoh berikut yang saya kutip dari halaman 9. "... Atau kau bisa tetap menyandingi kebisingan sambil membayangkan dirimu berada di taman bunga. Ini sekadar bagaimana cara kita menata pikiran. Hantu ada, kau tahu, karena kita memikirkannya. Begitu pun taman bunga..." Membaca kalimat semacam itu, saya jadi teringat pada dongeng filsafat klasik soal pangeran yang bermimpi terbangun sebagai kupu-kupu. Karena senang berpikir, pangeran itu pun bertanya-tanya dalam hati: apakah dia benar-benar pangeran yang bermimpi jadi kupu-kupu, atau dia itu kupu-kupu yang selama ini bermimpi menjadi pangeran... lalu terbangun? Sungguh menggairahkan.
3.
Dabhor Puella (Sarjana Arsitektur; memiliki dan mengelola warung kelontong grosiran di
pasar Citeureup.) Sedikit tambahan soal isi untuk buku 'Murjangkung...'. Mungkin anda pernah membaca sebuah cerita di mana anda agak bingung siapa yang berbicara tentang apa, sampai kemudian anda harus membacanya beberapa kali sampai keluar suara puas, "Ooohh..." karena akhirnya mengerti apa dan siapa yang dimaksud oleh si penulis dan kenapa bisa begitu? Begitulah. Beberapa cerpen dalam buku ini kental diwarnai oleh moda seperti demikian. Efeknya bagus juga: bisa membuat pembaca terdorong untuk membaca berulang-ulang dan lekat-lekat sampai akhirnya bisa memahami teknik paparan si penulis untuk cerita yang bersangkutan. Berkelindan, mungkin begitu istilah asyiknya. Pada cerita-cerita semacam itu biasanya si penulis memberlakukan konvensi dengan menubruknubruk struktur dasar penceritaan --struktur yang secara umum sudah melekat sejak sekolah dasar bagi para pembaca awam. Proses tubrukan itu bisa diberlakukan dengan banyak cara; misalnya tokoh cerita yang sengaja diarahkan sebagai pria pada bagian awal di bagian selanjutnya ditunjukkan bahwa dia itu
sebenarnya seorang wanita, atau tokoh cerita yang dkisahkan seperti masih hidup ternyata sudah meninggal lalu diseling flashback agar suasana menjadi tambah buram sebelum akhirnya dibuat jelas pada
pertengahan
atau
bagian
akhir
cerita,
dan
semacamnya.
Lumayan
asyik,
bukan?
Dengan teknik seperti itu, para pembaca jadi didorong untuk membaca lebih teliti dan penuh perhatian agar tidak tertinggal informasi atau kejelasan ceritanya. Selain juga ada ajakan untuk lebih santai menerima bahwa si Murjangkung sekedar berkulit seperti bayi lalu turut manut diajak jalan-jalan sampai nyasar di Lapangan Banteng. Kumpulan cerita dalam buku 'Murjangkung...' banyak dihiasi oleh deskripsi nan berkelindan dan keakraban yang pasrah seperti itu. Asyik... deh.
4.
Andri Jangkung (Sarjana Teknik Komputer; aktif di politik praktis, mengaku sempat
mengantar Ibu Gubernur periksa ke Dokter Gigi pada masa kampanye.) Menurut saya tidak cukup jika hanya menilik soal judul dan isi. Itu bahan tilikan hanya untuk para teknisi dan akademisi yang sering sok tahu dan seringkali sensi. Padahal, bukan hanya untuk mereka buku ini dilempar ke pasar, dan bukankah pasar kita masih banyak yang becek? Buat saya, saat sebuah buku dilempar ke publik sebagai komoditas untuk dibeli, maka dia harus mengikuti derap roda industrial. Saat Steve Jobs (alm.) pertama mencetuskan ide mengenai Macintosh, yang dia bayangkan adalah revolusi sosial dalam penggunaan komputer; namun setelah produk itu selesai dan siap dipasarkan, maka dia mau tak mau harus tunduk pada beberapa klausa perdagangan: Harga, Promosi, juga hukum Permintaan dan Penawaran. Dalam pengertian itu maka, dalam dunia komoditas, buku yang berhasil adalah buku yang bisa menarik minat pembaca untuk membeli, lalu setelah dibeli pembaca tidak menyesal telah membelinya, Bahkan bersyukur dan merasa telah memilih keputusan yang tepat untuk menambahkan buku itu sebagai bagian dari perpustakaan pribadinya. Kemudian tertarik untuk menambahi koleksi dari penulis yang sama. Ada kepuasan konsumen yang terlibat di sini. Artinya: selain judul dan isi; ada juga kemasan, kualitas kertas, layanan setelah pembelian, promosi, distribusi, --ketersediaan/wilayah jual yang tidak pandang bulu dan menjagreg di banyak rak pajang dengan posisi yang semlohay. Terlalu eksklusif akan membuat buku dan penulisnya ideal sendiri, sementara terlalu murahan akan membuat si penulis terkesan tidak serius dan pingin saja berbuku-ria --biar dianggap sudah/masih eksis. Singkat dan padat saja, tangkap makna dari pertanyaan/pernyataan saya ini: dimana saya bisa membeli buku A.S. Laksana lainnya? **** Setelah mendengar pernyataan 'supertantrum' dari beberapa teman tersebut, saya pun ikut kebelet untuk turut serta membaca buku 'Murjangkung...'. Namun setelah membaca sampai beberapa cerita, ternyata tak jua bertemu kedahsyatan itu. Tentu hal ini tidak berarti bahwa selera saya lebih tinggi dari teman-teman, atau sebaliknya. Demikian pun bukan saya hendak mengatakan bahwa buku
'Murjangkung...' adalah buku yang buruk, atau sebaliknya. Semata-mata soal selera sahaja. Kembali ke falsafah 'marka jalan'; teman-teman tadi memasang marka penunjuk arah menuju tempat yang mereka anggap memukau lalu saya pun menuju arah tersebut dan singgah di sana, menemukan bahwa tempatnya tak sedahsyat yang dibicarakan --meski tak terlalu mengecewakan juga. Tentu tidak sahih jika saya hanya menyatakan reaksi tanpa menjabarkan posisi. Menurut saya, dalam buku 'Murjangkung...', A.S. Laksana terlalu asyik berkonvensi secara pribadi; seakan dia menyiapkan buku ini hanya untuk mereka yang telah akrab mengenalnya (gaya pun pribadinya), atau untuk para pembaca baru yang ingin dibebaskan ('ayo, menulis itu gampang lho!') tanpa menunjukkan pula perjuangan yang akan menyertai di perjalanan. Serangkaian konvensi tanpa reservasi. Mungkin naluri saya sebagai seorang pelajar kalem yang kurang nyaman bila ada yang memancing keliaran tanpa kendali dan preposisi yang mematangkan, sehingga sampai berpendapat seperti itu. Mungkin saya kolot, mungkin pragmatis, kemungkinan besar saya salah. Demikianlah, semoga berkenan adanya. Beberapa hari kemudian, Andri Jangkung meminta ditemani ke toko buku di TIM untuk mencari 'Bidadari yang Mengembara', sebuah kumcer lain karya A.S. Laksana --sayangnya buku itu tidak berhasil kami temukan. Sebagai upah menemani dia membelikan saya buku tentang teknik hipnotis; setelah membaca buku itu dengan tekun, kini saya sudah bisa membuat perempuan tertegun hanya dengan menepuk bahunya sambil menyapa: "Mbak mau kemana?" seraya mengembang senyum artik dan tatapan syahdu anak anjing. Lumayan.
The Poems Taklimat dari: Udo Indra. Dalam enam bulan terakhir, sudah ada sekitar 3 karya puisi saya yang berasal dari proses adaptasi bebas terhadap sebuah lagu; setelah kemarin saya membuat tafsir pribadi atas lagu 'We Were Young'' milik kelompok musikFUN, sekarang ini saya mendaras lagi sebuah adaptasi bebas atas sebuah lagu yang sudah jadi ikon rock and roll era 90-an, lagu 'Creep' milik kelompok rock eksperimental: Radioheads. Lagu ini benar-benar selalu melekat dalam benak semenjak pertama kali mendengarkannya diputar di radio pada saat remaja. Sebuah lagu abadi, dengan pesan klasik 'woe is me' yang ciamik pula. Karya adaptasi ini saya persembahkan sebagai penghargaan terhadapRadioheads dan karya-karya jeniusnya. Untuk puisi yang ke-2, ini dari koleksi lama. Sebuah persembahan untuk mantan pacar yang tinggal di Semarang.
Si Brengsek (sebuah adaptasi bebas atas lagu 'Creep' milik kelompok musikRadioheads) karya: Udo Indra
Saat kau tepat di hadapanku Aku menunduk, segenap tubuh kaku; Seperti menghadap sang malaikat maut Aku bisa menangis jika kulit kita bertaut. Kau ringan saja, melayang di udara Seringan bulu di taman nirwana.
Aku berharap diriku lebih adanya (Kau sudah melebihi semua cita);
Tapi aku hanya nyeleneh, Hanya orang aneh. Entah mengapa aku ada di sini, Tak pantas aku ada di sini.
Tak kuindahkan sakit dalam diri Aku hanya ingin miliki kendali. Kuinginkan tubuhku jadi sandaran sempurna. Kuinginkan jiwaku jadi cermin semua citra. Aku ingin kau kehilangan saat aku tiada.
Kau, puncak dari semua harapan; Aku, berharap jadi pribadi unggulan.
Tapi aku sekadar nyeleneh, Hanya orang aneh. Entah mengapa aku ada di sini Tak pantas aku ada di sini.
Dia kembali berlalu, aku masih kaku. tegur-sapaku sudah terlambat, dia berlalu begitu cepat. tengggorok ini tercekat, hanya bisa melihat dia lari, dia pergi! Lari! Lagi!
Dan aku masih diam di sini.
----Citeureup, 12-13 Sept. 2013.
Improvisasi Sonet Untuk Hari Valentine "Dari kanda buat dinda..."
Seperti bintang merah itu, yang Tandai cerahnya langit malam
Sependar cahaya, sekerjap bayang Mengait sisa harap di alur buram.
Langkahku, mencari tempat pulang Sepenggal damai di kalbu terdalam Irama musik bambu, tarian ilalang Serta senyum kasih iringi mata terpejam.
Dimana cinta dirayakan setiap hari Selayaknya menyambut hangat sinar mentari.
----Februari, 2005.----