the
AFRIZA REVIEW Edition 003, August 2013
The Review Mengulas Faradina Izdihari Setelah berkubang memikirkan konsep, sampai mengajak kolaborasi seorang editor kondang kenalan saya, akhirnya kompromi harus dibuat (untuk membayar hutang janji dan mengadaptasi keterbatasan waktu fokus) hingga saya memutuskan untuk membuat revue kumpulan puisi 'Tuhan, Aku Malu' (TAK) karya sahabat saya, Faradina Izdihari, dalam bentuk ulasan ringkas. Semoga berkenan. Setiap puisi dalam kumpulan TAK karya Faradina, dengan sebisa mungkin mengurangi subyektivitas pengamat, dapat dengan lazim dikatakan sebagai 'puisi-puisi yang telah menjadi'. Dari segi pemilihan diksi, terdapat kekayaan kata yg dimiliki oleh si penyair. Buktinya dapat dilihat pada beberapa kali tema Kematian/Maut disampaikan dengan beberapa tilikan dan gaya yg beragam dan terus mengena. Saya juga terpukau pada penyusunan rima pada larik yang tertata dengan pola non-standart; kesamaan bunyi yg tidak dijejalkan pada semata akhir larik atau awalan, seringkali menguntai di pertengahan dan tetap terasa dayanya ketika pembacaan menuju pada larik berikutnya. Ada pula keterharuan saat si penyair mencoba menangkap konsep renungan makrotis mengenai perjalanan hidup melalui jagad mungil (mikrotik) sehelai daun kering. Singkat kata (waktu 5 menit hampir habis, saudara), secara kualitas puisi, tiada yg terlalu perlu utk saya persoalkan. Jika pun ada yg terasa mengganggu, hemat saya, adalah layout bukunya yg terasa mirip buku paket keluaran P&K jaman kiwari. Mungkin utk kedepannya, Fara bisa meminta bantuan kawan-kawan yg sudah grafis akut utk menata setting & layout halaman serta isi. Intipati: don't judge the book by it's cover (or in this case, its layout). Buat penggemar puisi, terutama yg pepat oleh renungan dan penegur hati, buku ini jelas layak dipertimbangkan utk mengisi perpustakan pribadi di rumah, dan izinkanlah puisi-puisi dalam buku ini utk mengisi relung terdalam dari hati yang senantiasa mencari. Mencari jawab atas pertanyaan abadi: 'Siapa Kau?' darimana kesejatian berdiri. Kukuh tak terbantah, meluluh segala keangkuhan diri. Dan buku ini, layak dijadikan pilihan sebagai kawan perjalanan dalam masa-masa pencarian.
The Interview On Tunes and Poetry: an Interview with ARI KPiN Once, on a very cool and pleasant day at a Cafe in high Bandung area, Udo from Afriza Review sat together with Mr. Ari KPiN, sipping coffee and hot milky Bandrek. "I always idolize the Sage Bhisma," Said Mr. Ari in a deep contemplating tones. Besides the fact that Bhisma is a high priest in the Hindi myth, so naturally he's been an idol for a large group of worshipper, this new fact is rather intriguing. "And why is that?" ask Udo after a sip of that divine taste Bandrek. Mr. Ari made straight curve on his eyebrows, looking at the sky, and said: "Well, for one, he's a man Who Always Keep His Promises, at Any Cost Whatsoever..."
AR Kenapa senang betul menyatukan puisi dengan musik? Ada sejarah tertentu atau cerita khusus mengenai pilihan tersebut? ARI KPiN Saya sendiri sebenarnya bingung setiap ada yang bertanya demikian. Karena bagi saya, berkecimpung dalam persentuhan puisi dan musik sudah seperti aktivitas keseharian lainnya, semisal kebutuhan kita akan udara yang harus dihirup, air yang mesti diminum, makanan yang seyogyanya dilahap, dan lain sebagainya. Adapun yang melatarbelakanginya, mungkin karena semenjak kecil saya sudah punya kebiasaan senang membaca dan mendengarkan lagu serta mendendangkannya. Bacaan-bacaan yang kebetulan tersedia di rumah orang tua saya sebagian besar berada di wilayah sastra dan itu beragam jenisnya. Adapun menyeleraskannya dengan musik, ini bermula dari saat saya mulai belajar alat musik gitar dari paman saya. Dari hari ke hari saat saya mulai mencoba mengasah penguasaan akor-akor baru sementara daftar lagu-lagu saat itu karena kekurangtahuan saya akan lagu-lagu yang beredar di pasaran, ini membuat saya sedikit terkendala manakala ada perjalanan akor yang tidak bisa diwadahi oleh lagulagu yang saya simak dari media (radio pun televisi). Akhirnya saya berinisiatif menciptakan nada-nada sendiri untuk menunjang penguasaan keterampilan saya dalam memainkan alat musik itu, dan pilihannya karena ada latarbelakang bacaan pada buku-buku yang tersedia di rumah, dalam hal ini terutama bacaan puisi-puisi yang bisa saya simak akhirnya saya pilih menjadi media bagi lirik langgam melodi lantunan yang saya dendangkan pada akor-akor yang saya latihkan. Dan itu saya lakukan tanpa ada target untuk membuat suatu musikalisasi puisi, apalagi era itu memang belum muncul istilah tesebut.
AR seiring demam jejaring sosial media (sosmed), banyak pula bermunculan "penyair-penyair" baru di jagad maya. Beberapa membuktikan kualitasnya, sebagian lain, ummhh.. kurang begitu mengesankan. pendapat anda (yg juga aktif di sosmed) mengenai itu? ARI KPiN Sosial media di mata saya tak ubahnya sebilah mata pedang. Di satu sisi ia laksana alat yang bisa memangkas kendala, namun di sisi lain bila tidak digunakan dengan bijak dan keterampilan yang baik, pedang itu akan menghujam dada kita sendiri. Jadi, dengan banyaknya karya-karya yang muncul di jejaring sosial entah itu lahir dari orang yang kesehariannya berkecimpung di bidang kepenulisan ataupun hanya pelepas perasaan sepribadi-pribadi yang asal lalu berkreasi, bagi hemat saya sendiri tidaklah lantas akan menjadikan dirinya seorang dengan predikat penyair. Mengapa? Anda mungkin lebih paham tentang makna yang dalam dari apa yang disebut penyair bukan? Jadi, secara lalu bisa saya katakan, biarlah jejaring sosial itu seperti itu adanya, biarkan ia laksana bumi, menerima siapapun yang membasahinya entah dengan ludah atau kencing, tanpa membedakan si pembasah itu seorang alim ataupun durjana laknat. Toh, setiap kucurannya akan berguna banyak bagi aneka rumput untuk tumbuh. AR ada aturan yang ketat dalam dunia musik (birama, nada dasar, tempo...), bagaimana menerapkan aturan tersebut dalam rangka menyatukannya dengan sebuah puisi? ARI KPiN Penerapan aturan itu bisa dikatakan gampang-gampang susah. Gampang, berlaku bagi yang paham dan menguasai aturan itu dengan baik, susah, bagi yang sebaliknya. Namun, secara umum bisa saya katakan bahwa YA, aturan itu harus diterapkan dengan benar, karena baik dari segi puisi maupun musik, itu memiliki disiplin ilmunya masing-masing. Dan bagaimana cara menerapkannya? Saya kira kalau dijelaskan di sini akan lumayan panjang, toh buku yang saya tulis mengenai musikalisasi puisi itu pada intinya adalah dari poin yang ini. Namun begitu, demi Anda para pecinta musikalisasi puisi, berikut saya sisipkan sedikit saja, mudah-mudahan sedikit mengobati kepenasaranan akan hal di atas. Yakni: a) tiap kali kalau kata-kata dalam puisi menawarkan diri untuk dinyanyikan dalam tempo yang hampir sama seperti kalau dibacakan, maka bacalah teks itu dengan seksama dan wajar. Baru kemudian mulai memperhatikan lagunya; b) sebaliknya setiap kali kalau musik nampak lebih penting daripada teks (misalnya temponya agak lambat atau agak cepat, atau kalau satu huruf hidup dipakai untuk banyak nada), maka nyanyikanlah lagu dulu tanpa banyak perhatian terhadap teks, misalnya: "do, re, mi" atau "la, la, la"; baru kemudian gantilah dengan kata-kata dari puisinya; c) setiap kali kalau teks dan lagu nampak sama penting, maka ada baiknya mempelajari nyanyian ini
dengan: sekali lebih memperhatikan teksnya, dan sekali dengan lebih memperhatikan musiknya; d) untuk menonjolkan suatu suku kata, entah waktu sedang menyanyi dengan keras atau dengan lembut, maka kita dapat melakukan sedikit penundaan ucapannya. Untuk lagu-lagu tertentu dapat juga dibenarkan kalau suatu nada malahan dibunyikan sebelum waktunya. Teknik ini disebut "swing" terutama dipakai kalau kita mengarahkan musiknya pada jenis musik orang kulit hitam (lagu-lagu negro spiritual); e) menyambung kalimat dapat terjadi jika pada akhir dari suatu tema/motif musik, kalimat bahasanya belum selesai. Untuk menjaga kesatuan kalimat bahasa, maka nada terakhir dari motif pertama harus dihidupkan dengan crescendo yang khusus; f) seringkali kita tidak menyadari kalau nyanyian yang kita lantunkan sama sekali tidak jelas artikulasi dan pesannya, maka bukalah hati kita untuk menerima masukan dari orang lain AR siapa penyair favorit yang karyanya sering betul anda buatkan musiknya? *dan kenapa* ARI KPiN Pada prinsipnya tidak ada yang menjadi penyair favorit bagi saya, karena saya lebih memperhatikan segi karya bukan segi si penyairnya. Jadi, siapapun dia, entah sudah mempunyai nama besar ataupun belum dikenal luas sebagai penyair, sepanjang karya puisinya bagus, pasti saya ekspresikan dalam musikalisasi saya. AR apa kesulitan utama saat membuat musikalisasi sebuah puisi? ARI KPiN Sejauh ini saya pribadi tidak menemukan kendala dalam membuat musikalisasi puisi, baik itu dari puisi yang pendek maupun yang panjangnya minta ampun, jadi saya tidak bisa berbagi secara gamblang tentang persoalan ini. Yang bisa saya utarakan di sini mungkin sedikit pengalaman orang lain dari beberapa peserta di beberapa workshop ataupun diklat maupun seminar yang saya ikuti. Mereka kebanyakan pada intinya terkendala pada format musik yang terkadang memenjara kreativitas mereka, dan itu bisa saya maklumi karena dasar pengetahuan serta keterampilan bermusik mereka masih perlu didalami dan dilatih lagi hingga terkuasai dengan baik. Dan itu modal utama sebenarnya. Semisal memasak, bagaimana bisa memasak yang lezat bila alat-alat masaknya tidak diketahui, dan setelah tahu tentu saja harus dikuasai penggunaannya bukan? Baru setelah itu kita bisa memilah tiap bahan masakan sesuai karakter bahan masakan itu. Dan ini penting agar bumbu yang kita racik bisa selaras dan merangsang selera makan hingga menu hidangan itu selain enak dan bergizi juga bisa tersaji dengan menarik.
AR unsur apa saja yang memengaruhi anda saat memilih sebuah puisi untuk dibuatkan musiknya? apa yang bisa membuat anda berseru: "wah, ni puisi keren nih, bagus banget buat musikalisasi puisi!" ARI KPiN Unsur yang utama bagi saya tentu saja tema serta pokok pikiran yang dikandung si puisi itu. Dan bila ada beberapa puisi yang sejenis, baru saya perhatikan daya ungkapnya, mencakup segi diksi, penggunaan gaya bahasa, perlambang, dan lain sebagainya. Bila masih bersetara si puisi-puisi itu, pilihan terakhir ya mentok di si penyairnya, biasanya saya akan mengutamakan penyair yang lebih banyak berkonstribusi untuk bangsa ini dari pada mereka yang mengejar eksistensi bagi dirinya sendiri. AR Apa pendekatan terbaik kepada generasi muda untuk mencintai (dan turut pula melakukan proses kreatif) dunia seni dan susastra menurut anda? ARI KPiN Pendekatan terbaik dan setahu saya berdasarkan kenyataan yang saya alami di lapangan, untuk menarik minat generasi muda pada sastra khususnya puisi, ya musikalisasi puisi. Itu sangat efektif merangsang minat dan bentuk nyata mereka berproses kreatif. Dengannya, mereka bisa sedayung dua-tiga pulau terlampaui, ya minat dan proses dalam sastra (puisi) ya dalam musik. AR apakah musikalisasi puisi bisa dijadikan sebuah profesi? ARI KPiN Tentu saja bisa. Saya salah satu buktinya. Bukankah begitu?
The Poems Kenang-Kenangan Karya: Cecep Syamsul Hari Bagaimana harus kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta berulang kali pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Berabad-abad yang lalu, kuucapkan selamat tinggal pada apa pun yang berbau dongeng, atau masa silam. Tetapi cinta, bukan sebotol coca-cola. Atau film Disney; di sana tokoh apa pun tak pernah mati. Juga bukan Rumi yang menari. Sebab pada matamu bertemu semua musim, sejarah, dan sesuatu yang mengingatkan aku pada suatu hari ketika waktu berhenti, dan kusapa engkau mesra sekali. kini, bahkan wajahmu samar kuingat kembali. Haruskah kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta berulang kali pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib yang jatuh menyelusup dalam ingatan itu. Tetapi cinta, bukan sekotak popok kertas. Atau sayap sembilan puluh sembilan burung Attar yang terbakar. Cinta, barangkali, kegagapanku mengecup sepasang alismu. 1994-2006 ================================
translation in English by Harry Aveling & Dr. Dewi Candraningrum REMEMBRANCE How can I tell you : I fell in love in your eyes, over and over again They were like lakes in a forrest in some distance wonderland that flowed through my mind Centuries ago I renounced everything that seemed like a fairytale, or even history But love is not a bottle of coca-cola, or a Disney movie, in which no one ever die It is not Rumi, endlessly whirling In your eyes, the season met, history, together with something that remainds me how time stopped and we greeted each other like lovers Now I can’t even remember your face I must tell you : I fell in love with your eyes, again and again. They were like lakes in forest in some distant wonderland, that flowed through my mind But love is not a box of disposable diapers. Or the wings of the ninety-nine birds that burned in Attar's poem. Love is, perhaps, the way I stuttered When I kiss your eyebrows.