TEXTURA JURNAL ILMIAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ILMU LINGUISTIK DAN PENGAJARAN BAHASA POLITEKNIK PIKSI GANESHA BANDUNG Jurnal ini terbit dua kali setahun, yaitu pada bulan Juni dan Desember. Jurnal ini berisi artikel tulisan ilmiah dalam bentuk penelitian, kajian analisis, aplikasi teori, dan pembahasan tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan bidang ilmu-ilmu Linguistik, Sosial dan Humaniora. Jurnal ini mengambil nama TEXTURA, yang diambil dari bahasa Latin yang bermakna struktur, jaringan, dan bahasa, dengan pemahaman bahwa bahasa dalam arti luas adalah sangat beragam, berstruktur, tetapi juga saling terkait, saling terhubung, membentuk jaringan yang padu. Semangat inilah yang menjadi landasan terbitnya jurnal ilmiah ini, agar semua pihak, para cendekiawan, staf pengajar, mahasiswa, dan pemerhati kajian bidang ilmu Linguistik dan Pengajaran Bahasa, Sosial dan Humaniora dapat saling berbagi dan berinteraksi, agar dapat meningkatkan kuantitas, kualitas, dan penyebarluasan kajian-kajian diatas. PELINDUNG DR. H. K. Prihartono AH, Drs., S.Sos., S. Kom, MM. PEMIMPIN REDAKSI E. Wityasminingsih, S.Pd., M.Hum. DEWAN REDAKSI Kosasih, S.Pd., MM. Heri Heryono, SS., M.Hum. Ardi Taryanto, S.Si, MM. Fauzi Chaniago, S.Ag., M.Ag. MITRA BESTARI DR. Rita Zulbetti, MM. PENYUNTING BAHASA Santy Christinawati, SS., M.Hum. Novitasari, SS., M.Hum STAF REDAKSI Ferri Sutanto, S.St.
Alamat Redaksi/Penerbit: Politeknik Piksi Ganesha Jl. Jend. Gatot Subroto No.301 Bandung 40274 Telp. 022 87 3400 30 Fax. 022 87 3400 86 Email:
[email protected] Online Publication: www.scientific-journals.net
Harga langganan (Pengganti Biaya produksi) Pulau Jawa Luar Pulau Jawa Rp. 65.000,Rp. 75.000,Percetakan: Caraka Indonesia
DAFTAR ISI TEXTURA - Jurnal Ilmiah Penelitian dan Pengembangan
Ilmu-Ilmu Linguistik, Sosial dan Humaniora Volume IV, Nomor 1, Edisi Juli – Desember 2016
The Translation Shift of Verb ‘Come’ in Some of Sydney Sheldon’s Novel
1
Neneng Yuniarty
Comics, A Language in Signs: Semiotics Study
7
Yudhy Purwanto
Perbandingan Sintaksis dan Semantik dari “Wanting” dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang
14
E. Wityasminingsih
Hukum dalam Kaitan dengan Pluralisme dan Multikulturalisme
20
Andrias Nurkamil Albusthomi
Keefektifan Metode Engage – Explain – Evaluation dalam mengajar Reading
33
Wahyu Trimastuti
Transformasi Representasi Perempuan dalam penokohan “Amba”: Sebuah Kajian Intertekstualitas terhadap Kisah Mahabharata (2003) karya Nyoman S. Pendit dan Novel Amba (2012) Karya Laksmi Pamuntjak
41
Cut Novita Srikandi
Presupposition on A Talk Show Entitled Gains Through Governance: An Analysis of Presupposition in ‘Insight Talk Show’
47
Rima Homsa and Dwi Sloria Suharti
Usaha-Usaha Badan Amil Zakat Nasional Kota Bandung Dalam Mengurangi Tingkat Kemiskinan Fauzi Caniago
55
TEXTURA – Jurnal Ilmiah Vol. IV, No. 1, Ed. Juli – Desember 2016
TRANSFORMASI REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM PENOKOHAN “AMBA”: SEBUAH KAJIAN INTERTEKSTUALITAS TERHADAP KISAH MAHABHARATA (2003) KARYA NYOMAN S. PENDIT DAN NOVEL AMBA (2012) KARYA LAKSMI PAMUNTJAK Cut Novita Srikandi
[email protected] English Education Study Program Teachers Training and Education Faculty Muhammadiyah University of Tangerang ABSTRACT This paper is the study about literature intertextuality, which aims to reveal the transformation of women representation in the characterization of “Amba” in both of literature work which has two different authors. The primary sources of this study are “Mahabharata” (2003) by Nyoman S. Pendit and “Amba” (2012) by Laksmi Pamuntjak. The focus of this study is to observe how the Transformation of character “Amba” in women representasion. The concept about gender and patriarchal is used to observe how the characterization of Amba obtain the resistence of women representation in patriarchal culture which spread over the society in that story. In this study, the researcher used descriptive analysis method with feminist point of view. The result of this study shows in both of story, the discrepancy of gender, especially in characterization of Amba includes subornation and stereotype of the women. In both of these stories, the resistence of the women toward patriarchal culture was revealed in the different ways one another. Keywords: intertextuality, women representation, patriarchal, transformation 1.
Pendahuluan Salah satu topik yang paling hangat untuk dibicarakan dan menjadi agenda kemanusiaan yang mendesak untuk segera dilaksanakan adalah perwujudan kesetaraan lakilaki dan perempuan dalam masyarakat. Pergerakan perempuan di tahun 1960-an memiliki peranan penting dalam pembaharuan tradisi pemikiran masalah ketidaksetaraan posisi perempuan dalam masyarakat. Pergerakan ini bersifat sastrawi karena mengandung kesadaranakan signifikasi citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra, dan kesadaran untuk melakukan perlawanan untuk mempertanyakan otoritas dan koherensinya. Dengan demikian, pergerakan perempuan sejak dulu memiliki kepedulian krusial terhadap buku dan sastra, sehingga saat ini kita telah mengenal adanya kajian kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis sekarang ini mulai mengambil bahan dari temuan dan pendekatan dalam jenis-jenis kritik lain, fokusnya dialihkan menjadi penyelidikan melalui sudut pandang keperempuanan dan merekonstruksi pengalaman perempuan yang
ditekan, dan perhatian dialihkan untuk merekonstruksikan kanon tulisan perempuan yang baru dengan cara menulis ulang sejarah novel dan puisi sedemikian rupa hingga penulis perempuan sebelumnya terabaikan kini diutamakan. Poin inilah yang menjadi fokus penelitian dalam kajian yang berjudul Representasi Perempuan dalam Transformasi Tokoh Amba: Sebuah Kajian Intertekstualitas terhadap Kisah Mahabhara karya Nyoman S. Pendit dan Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak. Adaptasi bukanlah suatu fenomena baru dalam dunia seni. Kajian intertekstualitas telah menunjukkan bahwa suatu cerita tampaknya selalu berasal dari cerita lainnya. Julia Kristeva dalam Nurgiyantoro (1998:15) menjelaskan bahwa tiap teks itu merupakan mosaik kutipankutipan dan merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal menarik yang kemudian diolah kembali dalam karyanya, atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal 41
TEXTURA – Jurnal Ilmiah Vol. IV, No. 1, Ed. Juli – Desember 2016
yang menarik, baik sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiranpikirannya, kemudian mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan gagasan dan konsep estetik sendiri sehingga terjadi perpaduan yang baru. Konvensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang menjadi hipogramnya dengan teks baru, yakni teks transformasi. Pada dasarnya penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tataran penelitian diakronis, yang mencoba melakukan penelitian terhadap karya-karya lama yang dihubungkan dengan karya baru. Berkaitan dengan hal itu, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori intertekstual. Selain itu, penelitan ini juga akan menggunakan konsep gender dan patriarki untuk melihat bagaimana transformasi tokoh Amba berkaitan dengan representasi perempuan dan perlawannya terhadap budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. 1.
Interteks kisah Mahabharata karya Nyoman S. Pendit dan novel Amba karya Laksmi Pamuntjak Intertekstual dapat diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dan teks yang lain. Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dan novel, novel dengan puisi, novel dan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, tetapi juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi (Ratna, 2004:173). Penelitian di dalam makalah ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian sastra yang disebut metode intertekstualitas. Langkah-langkah dalam penelitian ini mengikuti metode kerja pendekatan intertekstual, yaitu dengan cara membandingkan, menjajarkan, dan
mengkontraskan sebuah teks sastra dengan teksteks lainnya. Amba dalam kisah Mahabharata digambarkan sebagai wanita yang patah hati dan dipenuhi dendam karena ditolak oleh laki-laki yang dia cintai dan kemudian bersumpah untuk membalas dendamnya dengan berubah bereinkarnasi menjadi Srikandi, wanita setengah laki-laki guna membalaskan dendamnya kepada Bhisma. Penokohan karakter Amba yang diusung oleh Laksmi Pamuntjak sedikit berbeda dengan dengan tokoh Amba di dalam kisah Mahabharata karya Nyoman S. Pendit terutama terhadap budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. Berbeda dengan kisah Amba dan Bhisma dalam Mahabharata, novel berlatarkan sejarah ini mengisahkan cinta dan hidup Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil di Jawa tengah yang tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua. Amba mendobrak budaya setempat yang mengharuskan seorang wanita hanya dapat menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga dengan pergi meninggalkan kota kecilnya untuk melanjutkan studi di Universitas Gajah mada. Ia dijodohkan dengan Salwa Munir, kemudian hamil dalam percintaannya dengan Bhisma Rashad, seorang dokter muda lulusan Universitas Karl Marx di Leipzig, jerman Timur yang bekerja di rumah sakit Kediri. Bhisma seorang anak menteng yang kemudian bersimpati dengan gerakan kiri (komunis) karena pengalamannya di eropa. Pada 1965 Bhisma ditangkap di Yogya, kemudian dibuang ke pulau Buru pada tahun 1971. Ia tinggal dan hidup sebagai ‘penyembuh’ di antara penduduk dan kemudian ia dikenal sebagai “resi dari Waepo”. Hampir semua nama-nama tokoh di dalam novel “Amba” ini diambil dari kisah Mahabharata, meskipun latar dan ide cerita yang disampaikan berbeda. Berkaitan dengan fokus penelitian pada kajian feminisme, maka aspek-aspek yang akan dikaji dalam intertekstualitas kedua novel ini akan difokuskan pada persamaan dan perbedaan yang menyangkut penokohan Amba, tema cerita dan latar. Persamaan dan perbedaan dalam intertekstualitas kisah Mahabharata karya Nyoman S. Pendit dan novel Amba dapat dilihat pada tabel berikut.
42
TEXTURA – Jurnal Ilmiah Vol. IV, No. 1, Ed. Juli – Desember 2016
Persama an dan Perbeda an Penokoha n Amba
Tema
Latar Waktu Latar Tempat
Mahabharata karya Nyoman S. Pendit Cantik jelita, anggun, patuh terhadap perintah ayahnya, teguh hati dalam menentukan pilihan, tegas, mudah putus asa, pendendam, tidak percaya diri. Dendam Amba kepada Bhisma Sekitar abad 5 SM Hastinapura yang terletak di kaki gunung Mahameru dan negeri Kasi (tampat Dewi Amba berasal)
Amba karya Laksmi Pamuntjak Cantik jelita, anggun, dewasa, cerdas, mandiri, tegas, percaya diri, suka tantangan, berani mendobrak halhal yang baku di masyarakat, tetapi plin-plan dalam urusan percintaan.
Percintaan Amba dengan Bhisma Tahun 1956 tahun 2006 Kediri, Yogyakar ta, Kadipura, dan Pulau Buru.
Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak ini merupakan versi modern dari cerita Mahabharata yang telah ada. Setiap peristiwa dalam hidup Amba dalam novel Amba karya Laksmi pamuntjak selalu memiliki keterkaitan dengan kisah hidup Dewi Amba pada cerita Mahabharata. Nama-nama semua tokoh dan karakter pada novel ini hampir sama dengan yang ada di cerita Mahabharata. Laksmi Pamuntjak sepertinya ingin membuat versi modern dari cerita Mahabharata khususnya berkaitan dengan kisah hidup Dewi Amba. Perhatikan segmen cerita berikut. Bagaimana mungkin ia tak menyukai namanya, apabila namanya memberi alasan untuk menampik lakilaki?mengapa keluarganya tak kunjung mengerti bahwa
ia kalem-kalem saja mendengarkan cerita mereka tentang Salwa justru karena ia tahu takkan pernah ada Amba dan Salwa dalam hidupnya? Mengapa mereka capek-capek menamainya Amba dan tiba-tiba saja mengharapkannya untuk meleceng dari sebuah kisah yang sudah ditorehkan berabad-abad lalu. (Pamuntjak, 2012: 124) Laksmi Pamuntjak selalu memasukkan unsurunsur cerita Mahabharata kemudian mengaitngaitkannya dengan tokoh-tokoh yang memiliki nama sama dengan cerita Mahabharata. Seperti yang terdapat pada penggalan novel Amba di bawah ini, dimana tokoh Amba merasa sangat yakin bahwa walaupun ibunya berniat sekali menjodohkan Amba dengan pemuda bernama Salwa namun ia sangat yakin bahwa itu semua tidak akan pernah berhasil, karena Amba mengacu kepada cerita Mahabharata bahwa Salwa tidak akan pernah memilikinya. Tapi ia tak hanya tenang, ia geli. Dan merasa bersyukur. Sekarang ia punya alasan untuk tidak jadi anak baikbaik. Yang tak selalu melakukan apa yang diharapkan dari dirinya. Sekarang ia punya alasan untuk melarikan diri, untuk menamatkan hasrat ibunya yang tak kesampaian, sebab nasibnya yang asali, telah ditorehkan di langit: Salwa bukan jodohnya, mereka takkan pernah bersatu. (Pamuntjak, 2012: 123) Dalam cerita Mahabharata karya Nyoman S. Pendit, diceritakan bahwa Raja Salwa yang merupakan tunangan Amba ditaklukan oleh Bhisma demi mendapatkan Amba beserta kedua saudara kembarnya, Ambika dan ambalika untuk dinikahkan dengan pangeran Wichitawirya. Dengan demikian, yang menjadi acuan Laksmi Pamuntjak dalam menulis novel Amba adalah epos Mahabharata. Hal tersebut berarti cerita
43
TEXTURA – Jurnal Ilmiah Vol. IV, No. 1, Ed. Juli – Desember 2016
Mahabharata merupakan hipogram dari novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. 2.
Representasi Perempuan Tokoh Amba kisah Mahabharata karya Nyoman S. Pendit dan novel Amba karya Laksmi Pamuntjak a. Bias Gender yang Dialami Amba Subordinasi termasuk ke dalam bias (ketidakadilan) gender yang sering sekali dialami perempuan. Menurut Faqih (2008:13), Subordinasi merupakan istilah yang mengacu pada peran dan posisi perempuan yang lebih rendah dibandingkan peran dan posisi laki-laki. Ada anggapan bahwa perempuan itu emosional dan irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi terhadap perempuan, khususnya pada tokoh Amba ternyata terdapat dalam kedua cerita, baik cerita Mahabharata karya Nyoman S. pendit, maupun novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Penokohan Amba di dalam kisah Mahabharata karya Nyoman S. Pendit sangat jauh berbeda dengan novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Dalam kisah Mahabharata karya Nyoman S. Pendit, tokoh Amba bukan digambarkan sebagai tokoh sentral dan tokoh utama di dalam cerita, namun hanya sebagai tokoh pendukung dalam sebuah segmentasi keseluruhan cerita. Sepenggal kisah hidup Amba dalam kisah Mahabharata yang ditulis oleh Nyoman S. Pendit hanya diceritakan pada segmen keempat dengan judul Amba, Ambika, dan Ambalika. Dalam cerita Mahabharata karya Nyoman S. Pendit ini, banyak ditemukan bias gender atau ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Tokoh Amba merupakan tokoh yang perempuan yang mengalami perlakuan yang memperlihatkan bias gender tersebut. Sayembara dalam memperebutkan seorang perempuan untuk dijadikan istri merupakan perbuatan yang menggambarkan betapa tidak adilnya perlakuan laki-laki terhadap perempuan. Amba yang telah menjatuhkan pilihan kepada Raja Salwa harus merelakan dirinya dibawa pergi oleh Bhisma karena Bhisma memenangkan sayembara. Perempuan, dalam hal ini Amba
tidak diberi hak menentukan siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya. Dengan kata lain, perempuan tidak diberi kuasa atas dirinya dan yang berhak menentukan kuasa atas diri perempuan itu sendiri adalah kaum laki-laki. Orang tua Amba, Raja Kasi juga memiliki kuasa penuh atas diri Amba. Raja Kasi mengadakan sayembara untuk mendapatkan ksatria dan bangsawan untuk dijadikan suami bagi anaknya. Dengan kata lain, kuasa diri perempuan yang belum menikah seperti Amba, dipegang dan ditentukan oleh ayahnya. Dengan demikian, budaya patriarkal masih sangat kental pada kisah Mahabharata karya Nyoman S. Pendit ini, khususnya tentang peran perempuan yang masih subordinat. Unsur-unsur budaya patriarki tersebut dapat kita lihat di dalam bias gender terutama dalam hal menentukan pilihan hidup. Berbeda dengan Mahabharata karya Nyoman S. Pendit, selain berkaitan dengan subordinasi, bias gender yang terdapat dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak berkaitan juga dengan steorotipe. Stereotipe dapat diartikan sebagai pelabelan negatif, selalu merugikan, dan menyebabkan ketidakadilan. Stereorotipe-steorotipe tersebut dihasilkan oleh masyarakat setempat. Dalam cerita Amba, diceritakan bahwa ibunya berniat menjodohkan dengan Salwa karena Amba sudah berusia delapan belas tahun. Umur delapan belas tahun bagi masyarakat Kadipura merupakan umur yang terlalu tua untuk menikah. Masyarakat Kadipura menganggap Amba sebagai “perawan tua”, karena perempuan berumaur delapan belas tahun harusnya sudah menikah dan memiliki anak. Ibu Amba semakin cemas ketika tahu bahwa Amba tidak ingin menikah dulu dan berniat untuk melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Berbeda dengan cerita Mahabharata yang ditulis oleh S. pendit, yang berniat menjodohkan Amba dengan pria yang tidak ia kenal bukanlah ayahnya melainkan ibunya sendiri. Hal tersebut dilakukan karena stereotipesterotipe yang berkembang di masyarakat, bahwa usia delapan belas tahun sudah mulai susah mendapatkan jodoh. Seperti yang ibunya katakan kepada ayah dalam pernyataan berikut ini. “Pak, bapak tahu pendapatku. Bagiku keinginannya ndak masuk 44
TEXTURA – Jurnal Ilmiah Vol. IV, No. 1, Ed. Juli – Desember 2016
akal, karena toh sekarang sudah ada nak Salwa. Lha wong cari suami lebih susah daripada sekolah, kok dia malah maunya ndak butuh keluarga, ndak butuh pendamping…”(Pamuntjak, 2012: 130) Ibu Amba menganggap pendidikan bukanlah hal yang penting bagi seorang perempuan. Mempunyai suami dan mengurus keluarga adalah tugas dan tujuan kaum perempuan sesungguhnya menurut ibunya. Disinilah ketidakadilan itu terjadi. Amba yang mempunyai keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan ke universitas menjadi terhambat karena steorotipe-stereotipe tersebut. b. Transformasi Tokoh Amba Amba dalam Mahabharata digambarkan sebagai wanita cantik dan jelita, cerdas dan berpendirian kuat. Ia menolak untuk dinikahkan dengan pangeran Wichitawirya (adik Bhisma) karena telah memilih Raja Salwa untuk menjadi calon suaminya. Di hadapan Bhisma yang telah memenangkan sayembara memperebutkan dirinya, Amba berani berkata dengan mencemooh, “Wahai putra Dewi Gangga yang masyhur, Tuan pasti tahu yang terkandung dalam kitabkitab suci yang kita hormati dan muliakan. Seharusnya Tuan juga tahu bahwa aku telah memilih Salwa, raja kerajaan saubala, untuk menjadi suamiku. Tuan memaksaku menerima pernikahan ini. Bila Tuan mengerti akan hal ini, bertindaklah sesuai kitab suci.” (S. Pendit, 2003:57) Amba berani mengatakan penolakan di hadapan ksatria menunjukkan ketegasan serta keberanian Amba dalam menentukan pilihan. Meskipun Bhisma telah memenangkan sayembara untuk mendapatkan ketiga putri raja Resi tersebut namun Amba telah menetapkan pilihan akan menikah dengan raja Salwa. Tetapi pada akhirnya Raja Salwa juga menolak menikahi Amba karena ia merasa terhina karena Bhisma telah menaklukannya dan berhasil melarikan Amba di depan umum. Penolakan Salwa berkali-
kali membuat Amba terpuruk dan putus asa. Ia tidak percaya dengan cinta dan pernikahan. Menurutnya, Bhismalah yang harus bertanggung jawab atas penderitaan dan keterpurukan yang dialaminya. Akhirnya Amba dalam kisah Mahabharata hidup untuk membalaskan dendam kepada Bhisma. Melalui pertolongan Batara Shiwa, Amba mendapat restu untuk berinkarnasi menjadi wanita tangguh bernama Srikandi, putri raja Drupada yang kelak akan membunuh Bhisma. Perlawanan yang dilakukan oleh Dewi Amba tersebut meruntuhkan bias gender yang menyatakan posisi perempuan menjadi subordinasi bagi laki-laki. ia menetapkan pilihan dan mampu berkata “tidak” di depan ksatria tangguh seperti Bhisma menunjukkan bahwa ia sebenarnya punya hak menentukan masa depan atas dirinya sendiri. Keberanian dan dan ketangguhan Dewi Amba sangat berbeda dengan tokoh-tokoh perempuan lainnya dalam cerita Mahabharata. Dapat kita katakann bahwa tokoh Amba merupakan cerminan dari semangat feminisme perempuan versi klasik. Melalui wujud tokoh Srikandi, Amba telah mampu memusnahkan Bhisma dan membalaskan dendam kepada Bhisma, yang dianggapnya sebagai laki-laki yang telah merampas dan menjajah kebahagiaannya di masa lalu. Semangat perlawanan tokoh Amba juga diwujudkan dalam alih wahananya ke dalam novel Amba karya laksmi Pamuntjak. Akan tetapi, perlawanan yang ditunjukkan tokoh Amba dalam novel ini cenderung lebih halus dibandingkan cerita Mahabharata. Ketika Amba dijodohkan dengan Salwa, ia sebenarnya menolak karena ia ingin melanjutkan pendidikan, namun ia tetap beritikad baik di depan Salwa dan orang tuanya. Hal ini dimaksudkan agar orang tuanya tidak bersedih dan Salwa, calon suaminya tersebut mengijinkannya untuk tetap melanjutkan pendidikan. Ide-ide perlawanan terhadap bias gender tersebut ia tunjukan dengan cara sopan dan berpendidikan. Ia menerima salwa dengan syarat Salwa harus mengizinkannya untuk melanjutkan kuliah terlebih dahulu yang disampaikannya ketika Salwa berkunjung ke rumah mereka. “Tapi saya gemar menulis dan membaca. Saya ingin 45
TEXTURA – Jurnal Ilmiah Vol. IV, No. 1, Ed. Juli – Desember 2016
sekali belajar Sastra. Rencananya saya akan mendaftar ke Gadjah Mada.” (Pamuntjak, 2012: 134) Sikap Amba tersebut sebenarnya adalah untuk melawan keinginan ibunya yang menghalangi ia untuk memperoleh pendidikan sarjana dan mengharuskannya untuk segera menikah. Namun karena jawaban Salwa juga mendukung keinginan Amba tersebut karena ia juga adalah seorang dosen di Universitas tersebut, ia langsung antusias. Melihat sikap Salwa yang sedemikian antusiasnya, ibunya kemudian menyetujui keinginan Amba untuk melanjutkan pendidikan terlebih dahulu. Sikap Amba yang dengan cerdas mengendalikan keadaan sesuai dengan keinginannya merupakan ciri-ciri perempuan mandiri yang mampu memperjuangkan posisinya. Ia tidak ingin menyerah pada keaadaan yang menuntutnya untuk segera menikah. Simpulan dan Saran Berdasarkan temuan penelitian dan analisis data suatu pembahasan dapat disimpulkan bahwa novel Amba karya Laksmi Pamuntjak merupakan teks transformasi dari cerita epos Mahabharata karena nama-nama tokoh dan keterkaitannya satu sama lain dalam novel Amba mengacu pada cerita Mahabharata, serta terdapat pula persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan terkait penokohan, tema cerita, dan juga latar. Persamaan yang terdapat di dalam kedua karya tersebut menandakan adanya teks hipogram ataupun teks transformasi diantara kedua teks tersebut. Sedangkan perbedaan yang terdapat di dalamnya menunjukkan bahwa pada karya sesudahnya terdapat pengembangan yang sifatnya berupa kreatifitas dari pengarang mengenai fenomenafenomena yang timbul dari karya sebelumnya. Dari paparan mengenai transformasi tokoh Amba dari cerita Mahabharata karya Nyoman S. Pendit ke dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, saya menemukan representasi perempuan yang berbeda yang disampaikan oleh masing-masing pengarang terkait dengan tokoh Amba. Representasi perempuan tersebut terkait dengan bagaimana tokoh Amba dalam menghadapi bias atau
ketidakadilan gender yang terjadi di dalam kedua cerita dengan latar yang berbeda tersebut. Bias gender termasuk ke dalam ciri-ciri budaya masyarakat patriarki. Di dalam kedua cerita ini, terdapat Bias gender yang meliputi subordinasi dan steorotipe yang dialami oleh tokoh Amba. Walaupun Ide-ide perlawanan perempuan tehadap budaya patriarki sama-sama diusung di dalam kedua cerita tersebut, namun cara dan sikap pengungkapannya berbeda satu sama lain. Sebagai penutup, bagaimanapun kajian ini masih mentah. Mudah-mudahan kajian yang lebih utuh dan menyeluruh, beberapa aspek yang perlu mendapat tekanan dan hal-hal yang masih merupakan pernyataan umum dapat diikuti/dilengkapi dengan analisis dan contoh/ilustrasi yang memadai. Daftar Pustaka Barry, Peter. 2010. Pengantar Komprehensif Teori sastra dan Budaya: Beginning Theory. Jalasustra: Yogyakarta. Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Ciputat: Editum. Damono, Sapardi Djoko. 2009. Kebudayaan (Populer) (di Sekitar) Kita. Ciputat: Editum. Faqih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gamble, Sarah. 2004. Pengantar Memahami Feminisme & Postfeminisme. Yogyakarta: Jalasutra. Nurgiyantoro, B. 1998. Transformasi Unsur Perwayangan dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. Pamuntjak, Laksmi. 2012. Amba. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian sastra: dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. S. Pendit, Nyoman. 2003. Mahabharata.Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.
46
FORMULIR BERLANGGANAN
1. Nama
2. Alamat
: ............................................................................................ : ............................................................................................
3. Telepon/HP : ............................................................................................ 4. e-mail
: ............................................................................................
Menyatakan bersedia untuk berlangganan Jurnal Ilmiah “TEXTURA” – Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Linguistik, Sosial dan Humaniora Politeknik Piksi Ganesha Bandung mulai edisi ..................................... dan bersedia membayar biaya cetak and ongkos kirim sebesar ........................................ per eksemplar. Pemohon, (....................................) Formulir berlangganan dapat dikirim lewat pos/fax/email ke:
● Jurnal Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Ilmu Linguistik dan Pengajaran Bahasa Politeknik Piksi Ganesha Bandung ● Alamat : Jl. Jend. Gatot Subroto No.301 Bandung 40274 ● Telepon : Telp. 022 87 3400 30 Fax. 022 87 3400 86 ● e-mail : Email:
[email protected] www.piksi-ganesha-online.ac.id