EKONOMI ISLAM Bila Islam merupakan tuntunan hidup yang benar, berarti Islam juga merupakan petunjuk dalam mengatur sumber daya (kerja, alam dan kapital). Singkatnya, petunjuk bagi perekonomian yang benar. Akan tetapi - seperti juga teori negara Islam (lihat bab Integrisme: Negara Islam) - dalam al-Quran terdapat sedikit sekali hal yang bisa dijadikan patokan untuk itu. Al-Quran banyak menyinggung muslim sebagai pelaku ekonomi, sementara sistem ekonominya sendiri jarang disinggung. Seperti juga dalam sistem masyarakat pada umumnya, dalam bidang ekonomi, Islam juga lebih menekankan aspek-aspek moralnya. Moral para pelaku ekonomi itu (produsen, penyalur, konsumen) yang diutamakan oleh Islam. Tetapi, dengan berpatokan pada al-Qur’an dapat dibangun kerangka ekonomi yang islami: 1.Al-Qur’an menjamin hak milik kebendaan, termasuk alat-alat produksi. Secara teoritis, tidak sama dengan hak milik dalam pandangan hukum romawi yang absolut sifatnya, melainkan lebih menyerupai hak guna -- karena semua ciptaan hanyalah kepunyaan Tuhan semata. 1 Hak milik ini lebih utama dari hak milik negara dan yayasan swasta. 2 Pribadi tidak berhak menguasai kekayaan alam seperti udara, air, hutan, padang rumput, dan kekayaan alam lainnya. Akan tetapi negara dapat memberikan lisensi untuk mengelolanya. 3 2.Setiap muslim diwajibkan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Termasuk melakukan perdagangan yang menguntungkan dalam sistem pasar bebas, termasuk bebas monopoli. (Nabi Muhammad di Mekkah sempat bekerja sebagai pimpinan perusahaan ekspor-impor milik istrinya, Khadijah). Laba yang didapat dari hasil spekulasi yang tidak melibatkan kerja haram hukumnya (misalnya pasar bursa, dan juga bunga modal -- keterangan lebih lanjut lihat bagian bawah) 3.Negara bertugas mengawasi pelaksanaan aturan main di pasar (untuk menghindari monopoli, timbangan yang curang, dan bentukbentuk kejahatan kerah putih lainnya). Selain itu, menciptakan keadilan sosial melaului peraturan-peraturan, terutama 1
Pernyataan yang mewakili dari ‘kepemilikan ganda’ masih diragukan; bandingkan pada Akhtar A. Awan, Quality, Effeciebcy and Property Ownership in Islamic Economic System, Boston 1983. 2 Penekanan ini sangat penting melihat penyelewengan yang dilakukan pemilik Yayasan swasta dan negara. Pada abad ke 18 rakyat kekhalifahan Otsmani merubah 2/3 sampai 3/4 kepemilikan tanah menjadi bentuk Yayasan; Yayasan -yayasan keluarga menanggung runtuhnya keuangan kekhalifan Otsman, lihat J. R. Barnes, An Introduction to Religious Foundations in the Ottoman Empire, Leiden 1986. 3 Sebagaimana orang dengan mudah menebak, ini karena perhatian terhadap peranan persahaan-perusahaan minyak Barat yang menuntut. 76
dibidang perpajakan dan cukai. Untuk itu ada hukum pajak dan warisan dalam al-Qur’an - meskipun pajak kekayaan dalam alQuran tidak progresif -,juga larangan penimbunan kekayaan dan kemewahan. Tetapi bukan pemerataan kekayaan dan pendapatan yang jadi tujuan sosial politiknya. 4.Orang Islam tidak boleh kikir atau boros dengan harta kekayaannya. Seperti dalam urusan lain, sebagai konsumen ia harus mampu menahan diri, namun begitu bukan berarti harus menjadi penganut Asketis (anti kesenangan). Kerangka di atas – dengannya sistem ekonomi yang konkrit dapat dibentuk - yang sangat fleksibel menunjukkan kearifan al-Qur’an. Sementara, problematika ekonomi yang berubah terus-menerus, membuat sejarah ilmu ekonomi - dari Adam Smith, David Ricardo, thomas Malthus, Karl Marx, John Maynard Keynes sampai kepada Paul A. Samuelson - tampak seperti sejarah keteledoran para pakar ekonomi, meskipun teori tersebut kelihatan cocok pada zamannya. Ilmu Ekonomi Islam pada zaman modern telah berusaha keras membuat suatu konsep ekonomi yang spesifik meskipun dengan hasil yang tak memuaskan. 4 Ini merupakan sebuah alternatif, baik bagi kapitalisme Barat yang sangat memuja otonomi individu yang semu, maupun sosialisme terpimpin, yang secara kolektif mempertuhankan negara. Menurut Max Weber dan Mueller-Armack 5 kedua sistem materialisme itu bukannya tidak religius, tetapi merupakan ideologi dengan aturan nilai religius yang menyimpang. Kedua sistem tersebut tak dapat menandingi Islam, yang mampu menciptakan hubungan harmonis antara individu dengan negara. Di Madinah 1400 tahun yang lalu, Islam bahkan telah berhasil merealisasikan suatu standar keadilan sosial dan ekonomi, yang hanya dapat diimpikan Marx. 6 Di satu sisi, tampak adanya suatu romantisme yang jauh dari realitas di dalam kitab orang Islam ini. Tidak semua orang yang menguasai al-Qur’an, juga menguasai ekonomi. Karena ekonomi mempunyai aturan main tersendiri; Laba misalnya, tidak bisa datang begitu saja dengan perintah. Bahwa moral dan ekonomi seharusnya tidak terpisah, bukan berarti bahwa kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Seperti yang diilustrasikan dalam kebangkrutan sistem ekonomi komunis, jelas bahwa fakta ekonomi tidak bisa dihasilkan dengan sulap. Semua pakar ekonomi Islam harus sadari, bahwa Umat yang ideal merupakan syarat terciptanya suatu aturan ekonomi islam yang ideal. 4
Sebagaimana Index of Islamic Literature der Islamic Foundation di Leicester yang menerbitkan cetakan tiga bulanan membuktikan, bahwa produksi di bidang Ekonomi Islam sama sekali belum bisa diperhitungkan. Sebagai penjelasan lebih lanjut berbahasa Inggris M. A. Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice, London 1986, dan karyanya yang lain Abstracs of Researches in Islamic Economics, Jeddah 1984. 5 Bandingkan Mueller-Armack, Religion und Wirtschaft (Agama dan Ekonomi), cetakan ke2, Bern1968 6 Ziauddin Ahmad, Concept and Models of Islamic Banking: An Assesment, dalam: The Muslim World. 77
Di lain pihak tampak, banyak penulis muslim lebih menyukai pandangan-pandangan kolektifisme dan karena itu membayangkan negara Islam sebagai suatu warfare state – 7 tidak aneh bagi penulis-penulis dengan latar belakang Marxis. 8 Menurut saya, lebih tepat kalau kita menyimpulkan dari kerangka yang diberikan al-Qur’an sebuah sistem ekonomi yang mirip dengan ‘soziale Marktwirtschaft’ (ekonomi pasar yang tidak kehilangan karakter sosialnya) di Barat. Tentu saja tanpa elemen-elemen buruknya, seperti diizinkannya jual-beli barang-barang yang merusak kesehatan seperti alkohol, tembakau, dan obat-obat terlarang -- hanya karena tak mau kehilangan pendapatan pajak, dan kemerosotan pasar modal dan suku bunga, yang disebabkan oleh adanya anonimitas perseroan dalam hukum ekonomi. Dalam hal ini perekonomian Islam tidak mengenal adanya bursa saham dan PT, dan mengharamkan bunga uang; keduanya - meskipun tidak harus - saling berhubungan. Hukum Islam tidak mengenal suatu badan hukum - seperti termaktub dalam pasal 21 dan seterusnya dalam Kitab Perundang-Undangan Sipil Jerman – atau oknum yang mempunyai kapasitas hukum di luar manusia. Hal ini tidak ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah, tapi merupakan hasil yurisprudensi Islam, yang bisa berbeda. Negaranegara muslim sekarang juga memandang dirinya sebagai badan hukum, mengacu pada hukum negara, hukum perdata dan hukum internasional. Selain itu, dengan wakaf telah terbentuk sebuah instrumen yang dapat disamakan dengan badan hukum. Jadi hal ini bukan merupakan rintangan bagi modernisasi pasar modal Islam. Beda halnya dengan bunga, yang tidak hanya dicela dalam alQur’an (QS. 30:39 dan 31:130), tapi juga dilarang oleh Nabi dan tersurat di dalam wahyu terakhir, ayat al-riba, beberapa minggu sebelum Rasulullah wafat. “Orang-orang yang mengambil Riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran ( tekanaan ) penyakit (gila ). Keadaan yang demikian itu adalah disebabakan mereka berkata (berpendapat )sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba , padahal Allah tellah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “ (QS. 2:275 dan seterusnya) Setiap mahasiswa semester kedua mengetahui, peran penting apa yang dimainkan oleh bungan uang dalam pengumpulan dan pengendalian modal, kontrol laba, pengumpulan kekayaan dan 7 8
Ziauddin Ahmad, ibid, tertanggal 14 September 1985, halaman 2 Roger Garaudy, L’Islam vivant, Aljazair 1986, hal. 93, menerima Profit hanya untuk efisiensi pemeriksaan
78
kebijaksanaan ekonomi negara pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi. Karena itu meskipun diharamkan oleh Yahudi, 9 Kristen dan Islam, tidak pernah ada dunia yang bebas bunga. Bahkan sekarang ini negara-negara kaya arab lebih senang menginvestasikan kekayaannya di negara-negara Barat yang memberikan bunga yang menguntungkan; Kerajaan Marokko, seperti negara-negara muslim lainnya mempraktekkan pinjaman berbunga tinggi. Mengingat fungsi bunga yang penting -- di dunia yang sama sekali tidak memperdulikan lingkungan sekelilingnya, dan malah serakah -- para ahli hukum Islam mencoba untuk memperlunak larangan bunga yang tersurat dalam Alquran, dan membuatnya kompatibel dengan sistem yang berlaku. Di Mekkah pada masa turunnya wahyu dipraktekkan bunga sebesar 50% atas kredit, yang padahal dipakai untuk menyambung hidup akibat panen yang gagal. Setiap penunggakan dikenai bunga 100%. Dari latar belakang ini tampaknya riba dalam pandangan QS. 2: 275 bukan berarti bunga biasa tapi bunga yang mencekik – dan kemungkinan hanya dalam kaitannya dengan kredit untuk kebutuhan primer. 10 Tapi, uraian ini bertentangan, antara lain, dengan kenyataan, bahwa dahulu di Mekkah pun sudah dikenal kredit Niaga dan QS 2:275 tidak membicarakan bunga yang mencekik -- baru di ayat yang lain al-Qur’an menggunakan istilah bunga yang mencekik (QS 3:130). Secara bersamaan, ada yang mencoba menyelesaikan permasalahan ini dengan menggunakan istilah opportunity costs. Menurutnya, bunga tidak hanya imbalan modal yang diberikan, tapi juga untuk pengganti hasil yang bisa diperoleh oleh penanam modal, seandainya ia menggunakannya untuk mencari keuntungan dengan cara lain. Mayoritas mazhab Islam memegang teguh pengharaman bunga, dan hanya memperbolehkan laba yang berasal dari modal, bila ada keterlibatan aktif dalam perusahaan atau jika resikonya ditanggung bersama. Ini bisa dalam bentuk keterlibatan dalam pengelolaannya (musyarakah), atau pasif tetapi ikut bertanggungjawab (mudarabah). Yang penting, dalam kedua alternatif tadi, penanam modal tidak hanya terlibat dalam pembagian keuntungan, tapi juga kerugian. Ini prinsip perbankan
9
Musa ke 5 (23), 20 dan seterusnya: Haram, mengambil bunga (uang) diantara sesama Yahudi. Bunga terbatas, paling tidak sampai batas nilai tahan, sekitar pada tingkat hilangnya pengaruh Inflasi, dengannya dibolehkan antara lain oleh Abd. Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Brentwood 1983, catatan kaki 324 terhadap QS. 2:275; Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, Gibraltar 1980, catatan kaki 35 terhadap QS. 30:39; A. G. Ghaussy, Das Wirtschaftsdenken im Islam, Bern 1989, hal. 61-68 10
79
yang dicoba dipraktekkan terutama di Pakistan sejak tahun 1985, ketika surat-surat berharga dan bunga tabungan dihapuskan. 11 Apakah eksperimen yang diamati oleh Volker Nienhaus dan Traute Wohlerscharf ini berhasil, masih harus dibuktikan. 12 Syaratnya, pasar modal bebas bunga dalam keterbatasan sumber daya harus mampu mengkonsentrasikan modal dan menginvestasinya pada proyekproyek yang menguntungkan. Siapa yang mempraktekkan ini tanpa bunga, menghadapi masalah yang telah menyebabkan runtuhnya ekonomi sosialis terpimpin -meskipun ada sebab-sebab lain. Karenanya umat Islam makin memperhatikan Islamabad, Riyadh, Khartoum dan Taheran. Tidakkah harus ada yang berhasil mengoperasikan ekonomi yang sehat, yang berkarakter manusiawi – sebuah sistem ekonomi untuk umat manusia.
11
Meskipun demikian ini adalah suatu usaha yang bersih dan baik, menerapkan pelarangan bunga dengan benar, dengan mengikuti jurisprudensi Islam mengatur dalam arus perdagangan, dimana pinjamannya diketahui dalam bentuk Jual atau Penukaran. Lihat juga Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford 1964, halaman 79. 12 Arab dan Bank Islam, Koeln 1984. 80