ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
TESIS
PPh DAN BPHTB TERUTANG ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN
OLEH: WIDYAWATI, S.H. NIM. 030810662 N
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2010
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
PPh DAN BPHTB TERUTANG ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN
TESIS
Diajukan untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga
OLEH: WIDYAWATI, S.H. NIM. 030810662 N
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2010
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
LEMBAR PENGESAHANAN
Tesis ini telah disetujui, Tanggal 19 Juli 2010
Oleh Dosen Pembimbing :
Dr. Sarwirini, S.H., MS. NIP. 196009291985022001
Mengetahui : a.n. Dekan Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Prof. Dr. Eman Ramelan, S.H., MS. NIP. 19590725198303001
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan Panitia Penguji. Pada tanggal 28 Juni 2010
PANITIA PENGUJI TESIS :
Tesis
Ketua
:
Rr. Herini Siti Aisyah, S.H., MH.
Anggota
:
1.
Dr. Sarwirini, S.H., MS.
2.
Dedy Sutrisno, S.H., MH.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRAKSI Penentuan pajak terutang adalah penting, karena menjadi dasar bagi ketetapan yang lain seperti berakhirnya masa pembayaran pajak, sanksi dan lainlain. Timbulnya pajak terutang merupakan timbulnya hubungan hukum antara negara dengan wajib pajak. Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan, maka dikenakan PPh bagi pihak yang menerima penghasilan dan BPHTB bagi pihak menerima hak. PPh terutang atas tanah dan bangunan diatur dalam Pasal 4 (2) UndangUndang Nomor 36/2008 Tentang Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa pajak tersebut bersifat final dan diatur secara tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga dari Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Peraturan Pemerintah tersebut tidak menyebutkan secara jelas saat timbulnya PPh terutang dalam Pasal-pasalnya hanya menyebutkan bahwa PPh terutang harus dibayarkan sebelum akta, risalah lelang atau surat keputusan tersebut ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Tidak adanya pengaturan timbulnya PPh terutang dalam Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan prinsip pemungutan pajak yaitu asas certainty (kepastian hukum). BPHTB terutang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, yang menyebutkan bahwa BPHTB terutang timbul saat akta, risalah lelang atau surat keputusan ditandatangani. Tetapi dalam Pasal 24 undang-undang tersebut mengatur bahwa sebelum BPHTB dibayarkan oleh wajib pajak maka Pejabat yang berwenang dilarang menandatangani akta, risalah lelang atau surat keputusan tersebut. Adanya ketidaksesuaian dalam Pengaturan BPHTB terutang tersebut bertentangan dengan prinsip pemungutan pajak yaitu asas certainty dan asas simplicity (kesederhanaan). Pengaturan PPh dan BPHTB terutang yang mengharuskan wajib pajak melakukan pembayaran sebelum akta, risalah lelang atau surat keputusan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, sehingga PPh terutang harus dibayar sebelum wajib pajak menerima penghasilan dan BPHTB terutang harus dibayar sebelum hak atau tanah dan atau bangunan dialihkan. Pengaturan ini bertentangan dengan prinsip pemungutan pajak yaitu asas convenience (kenyamanan).
Kata kunci : pajak terutang, PPh, BPHTB, prinsip pemungutan pajak
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRACT
A determination of tax liability is essential since it will serve as basis for settling other arrangement, such as deadline of tax payment, sanction and others issues. An arousal of tax liability represents a legal relationship between the state and taxpayer. In case of transfer of land and building titleship, the party receiving payment is subject to income tax (PPh) while the one receiving titleship is subject to land and building procurement tax (BPHTB). The income tax payable is set forth in Article 4 (2) of Act Number 36/2008 about Income Tax where it is stated that such a tax is characteristically final and separately arranged in the State Regulation Number 71 Year 2008 about 3rd Amendment to State Regulation Number 48 Year 1994 about payment of Land and Building Procurement Tax (BPHTB). This state regulation does not explicitly state arousel of Income Tax (PPh) as the articles therein only provide that income tax (PPh) payable is to be paid prior to the signing of a relevant certificate, auction proceeding or deed by an authorized officer. The absence of clear provisions on the arousal of Income Tax (PPh) payable in the State Regulation is conflicting with the principle of certainty on tax impose. The Land and Building Procurement Tax (BPHTB) payable is set forth in Article 9 of Act Number 20 Year 2000 providing that the Land and Building Procurement Tax (BPHTB) is payable when a certificate, auction proceeding or deed is duly signed by an authorized officer. On the other hand, it is stated in Article 24 of the same Act that in case the Land and Building Procurement Tax (BPHTB) is not yet settleed the the tax payer, an authorized officer is prohibited to sign the relevant certificate, auction proceeding or deed. The inconsistency in provision of Land and Building Procurement Tax (BPHTB) is conflicting with the principle of legal certainty and simplicity on tax impose. The provisions on Income Tax (PPh) and Land and Building Procurement Tax (BPHTB) payable require that a taxpayer is to first settle them when a relevant certificate, auction proceeding or deed is duly signed by an authorized officer. Accordingly, the Income Tax (PPh) payable is to be first settled by an income taxpayer before he/she receives an income payment while the Building Procurement Tax (BPHTB) payable is to be first settled prior to the transfer of land and or building titleship. These provisions certainly are conflicting with the principle of convenience on tax impose.
Keywords: Tax Payable, Income tax (PPh), Land and Building Procurement Tax (BPHTB), Principle of Tax Impose.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas ridho serta kuasanya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 2. Bapak Prof. Dr. Eman Ramelan, S.H., MS. Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 3. Ibu Rr. Herini Siti Aisyah, S.H., MH. Selaku Ketua Tim Penguji Tesis. 4. Ibu Dr. Sarwirini, S.H., MS. selaku pembimbing penulisan dan anggota tim penguji tesis. 5. Bapak Dedy Sutrisno, S.H., MH. anggota tim penguji tesis. 6. Para Bapak dan Ibu dosen pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan. 7. Bapak saya (Alm) Kol.(Purn). Suharto serta Ibu saya Hj. Ruhijati yang telah banyak membantu baik sumbang saran maupun material. 8. Suami saya Djunatrio S Luhung, anak-anakku Zeinhart Zyuhartaqi dan Zeinhart Malik Mattalievi yang juga membantu dan mendoakan penyelesaian tesis dan studi ini. 9. Kakak saya (Alm) Purwadi Harjato dan Letkol (Art.) Priyanto beserta keluarga yang banyak mendoakan saya. 10. Rekan-rekan satu angkatan 2009, yang kompak dan saling mendukung. 11. Semua rekan dan kolega, serta siapa saja yang membantu secara langsung mapun tidak langsung ikut mendukung dan memberikan doa restunya selama kuliah dan tahap penyelesaian tesis ini. Semoga amal dan budi baiknya mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Semoga pula penulisan tesis ini berguna bagi siapa saja yang membacanya.
Surabaya, 20 Juli 2010 Penyusun
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii ABSTRAKSI ............................................................................................ iv KATA PENGANTAR .............................................................................. vi DAFTAR ISI............................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah............................................... 1 2. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5 3. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6 4. Kajian Pustaka .................................................................................... 6 5. Metode Penelitian ............................................................................... 14 5.1
Tipe Penelitian Hukum ............................................................ 14
5.2
Pendekatan ............................................................................... 15
5.3
Sumber Bahan Hukum ............................................................. 16 5.3.1
Bahan Hukum Primer ................................................... 16
5.3.2
Bahan Hukum Sekunder ................................................ 17
6. Sistematika Penulisan ........................................................................ 17 BAB II PENGATURAN PPh DAN BPHTB TERUTANG ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN ............................................................. 18 1. PPh Terutang ..................................................................................... 18 1.1
Tesis
Timbulnya PPh Terutang ...................................................... 21
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.2
Cara Memungut PPh Terutang............................................. 24
2. BPHTB Terutang .............................................................................. 25 2.1
Timbulnya BPHTB Terutang............................................... 25
2.2
Cara Memungut BPHTB Terutang ..................................... 28
BAB III KETERKAITAN PENGATURAN PPh DAN BPHTB TERUTANG DENGAN PRINSIP-PRINSIP PEMUNGUTAN PAJAK....................................................................................... 36 1. Pemungutan Pajak .............................................................................. 36 1.1
Pajak Terutang ...................................................................... 36
1.2
Teknik Pemungutan Pajak .................................................... 37
1.3
Prinsip Prinsip Pemungutan Pajak Terutang........................ 42
2. Sinkronisasi Pengaturan PPh Dan BPHTB Terutang Dengan Prinsip Prinsip Pemungutan Pajak ................................................................. 57 2.1
Sinkronisasi Pengaturan PPh Terutang Dengan Prinsip Prinsip Pemungutan Pajak ................................................... 57
2.2
Sinkronisasi Pengaturan BPHTB Terutang Dengan Prinsip Prinsip Pemungutan Pajak .................................................. 61
BAB IV PENUTUP........................................... ...................................... 67 1. Kesimpulan..........................................................................................67 2.
Saran.................................................................................................. 68
DAFTAR BACAAN.................................................................................70 LAMPIRAN
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah Tanah dan bangunan menjadi lebih bernilai karena ia dapat beralih dari pemiliknya
kepada
pihak
lain
yang
menginginkannya.
Umumnya
ada
pengorbanan yang harus dikeluarkan oleh pihak yang menginginkan tanah dan bangunan tersebut. Peralihan pemilikan tanah dan bangunan berhubungan erat dengan ketentuan hukum untuk memberikan kepastian hak bagi seseorang yang memperoleh tanah dan bangunan. Beralih maksudnya adalah suatu peralihan hak yang terjadi karena seorang pemilik tanah dan bangunan meninggal dunia sehingga pemilikan tanah dan bangunan tersebut dengan sendirinya beralih menjadi milik ahli warisnya. “Peralihan hak” terjadi dengan tidak sengaja, bukan dengan suatu perbuatan hukum melainkan “karena hukum” (karena adanya peristiwa hukum, yaitu meninggalnya pemilik tanah dan bangunan). Sedangkan sebaliknya, yakni pemilikan yang dialihkan adalah suatu peralihan pemilikan tanah dan bangunan yang dilakukan dengan sengaja supaya pemilikan tanah dan bangunan tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi millik pihak lain. Dengan kata lain bahwa peralihan pemilikan terjadi melalui suatu “perbuatan hukum” tertentu, misalnya : jual beli, tukar menukar, hibah, dan hadiah. 1 Peralihan hak atas tanah dan bangunan berkaitan dengan 2 aspek, yaitu 1
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 4.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima peralihan hak. Kedua belah pihak dihadapkan pada ketentuan, hak dan kewajiban sehubungan dengan peralihan hak tersebut. Pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dapat berupa orang pribadi maupun badan yang sesuai dengan ketentuan undangundang yang berlaku dapat memiliki suatu hak atas tanah dan bangunan 2 . Dengan demikian secara umum dapat dipahami bahwa dalam kegiatan pengalihan hak kepemilikan atas tanah dan bangunan akan melibatkan dua pihak, dengan demikian maka kedua pihak itu lah yang dikenai pajak peralihan hak. Pihak yang mengalihkan yang berarti telah menerima penghasilan maka sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf (d) dari Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan maka penghasilan tersebut dapat dikenai pajak bersifat final. Oleh karena itu pengenaan pajak penghasilan termasuk sifat, besarnya dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut
diatur tersendiri dengan Peraturan
Pemerintah 3 , yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994, yang telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) mengatur bahwa pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dilaksanakan sendiri oleh wajib pajak sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dan dalam ayat (2) dikuatkan lagi bahwa pejabat yang berwenang hanya akan 2 3
Tesis
Ibid. h.5 Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, Salemba Empat, Jakarta, 2002, h. 57.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menandatangani akta atau surat-surat tersebut bila kepadanya telah ditunjukan bukti Surat Setoran Pajak. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tersebut sejalan dengan apa yang berlaku pada pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (selanjutnya disebut Undang-Undang BPHTB), yang mewajibkan pihak yang menerima pengalihan hak wajib untuk membayar terlebih dahulu BPHTB tersebut sebelum Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris menandatangani akta pemindahan hak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebelum peralihan hak terjadi maka para pihak yang akan melakukan pengalihan hak haruslah terlebih dahulu membayar semua pajak yang akan timbul dari peralihan hak tersebut. Ketentuan yang mengatur untuk melakukan pembayaran pajak sebelum peralihan hak dilaksanakan adalah dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan para wajib pajak sehingga pendapatan negara dari sektor pajak dapat meningkat, akan tetapi dalam pelaksanaannya, ketentuan pembayaran pajak tersebut mendorong timbulnya beberapa hal yaitu : a. Terjadi manipulasi tanggal penandatangan dan nomor akta peralihan hak. Sebagian besar penulisan tanggal dan nomor dalam akta menunggu pajakpajak tersebut dibayarkan oleh pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris, hal ini dilakukan
semata-mata untuk memberi kemudahan para pihak dan
memenuhi ketentuan bahwa para pihak (wajib pajak) telah memenuhi kewajiban pembayaran pajak.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
b. Pembayaran pajak yang dilakukan sebelum transaksi peralihan hak di lakukan, mengandung resiko apabila ternyata karena satu dan lain hal, penandatangan akta peralihan hak tersebut tidak dapat dilaksanakan atau bahkan dibatalkan, walaupun pajak yang telah dibayarkan dapat ditarik kembali, akan tetapi prosedurnya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama, dalam beberapa kasus pengembalian pajak (restitusi) dapat diterima kembali oleh wajib pajak membutuhkan waktu sedikitnya 4 (empat) bulan dari tanggal diterimanya permohonan pengembalian pajak oleh kantor pajak, bagi para pelaku usaha waktu yang begitu lama untuk mendapat pengembalian pajak tersebut tentu sangat merugikan. c. Tanah dan atau bangunan merupakan salah satu bentuk tabungan yang dimiliki oleh masyarakat, manakala mereka membutuhkan uang, maka tanah dan atau bangunan tersebut akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain yang bersedia membayar sesuai harga yang disepakati. Terkadang pembayaran dilakukan bersamaan dengan hari penandatangan akta peralihan hak sehingga kewajiban pembayaran pajak penghasilan sebelum ditandatanganinya akta peralihan hak tentu akan memberatkan pemilik tanah atau bangunan selaku wajib pajak. Pajak terutang memiliki kekhasan yang berbeda dengan pengertian utang menurut hukum perdata yang menyebutkan bahwa utang adalah timbul dari perjanjian (kontrak), dan memiliki konstruksi berupa prestasi dan kontraprestasi secara langsung. Keberlakuan pajak terutang didasarkan pada keberlakuan undang-undang yakni undang-undang perpajakan sehingga dapat dipaksakan
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pelaksanaannya kepada masyarakat. Ketidakbebasan untuk menghindar dari perikatan berupa pajak terutang ini membedakannya dari unsur sekaligus asas perikatan yaitu asas kebebasan berkontrak. Timbulnya pajak terutang memiliki peranan yang menentukan dalam : a. Pembayaran/penagihan pajak b. Memasukan surat keberatan c. Penentuan bermula dan berakhirnya jangka waktu daluarsa d. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Penentuan saat pembayaran bagi wajib pajak sangat menentukan suatu kewajiban dapat mulai untuk dilaksanakan. Tujuan dari pelaksanaan kewajiban ini adalah untuk mengakhiri atau menghapuskan perikatan pajak (pajak terutang). Saat timbulnya pajak terutang merupakan saat timbulnya hubungan hukum antara kedua belah pihak yang terikat yaitu pemerintah dan wajib pajak. 4 Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah pengaturan timbulnya pajak terutang di bidang PPh dan BPHTB dalam peralihan hak atas tanah dan bangunan ? b. Apakah pengaturan timbulnya utang PPh dan BPHTB tersebut telah memenuhi persyaratan prinsip-prinsip pemungutan pajak ?
2. Tujuan Penelitian a. Untuk menganalisa pengaturan PPh dan BPHTB terutang dalam peralihan hak 4
Ahmad Rizki Sridadi,”Utang Pajak Menurut Perspektif Hukum Perdata Indonesia”, Yuridika Vol.20 No.1, Januari-Februari 2005,h.15.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
atas tanah dan bangunan b. Untuk menganalisa keterkaitan timbulnya utang PPh dan BPHTB tersebut apakah telah memenuhi persyaratan prinsip-prinsip pemungutan pajak
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Penelitian ini bermanfaat untuk menggali kembali norma dari timbulnya suatu pajak terutang, dan bagaimana
dengan undang-undang dan peraturan
pelaksananya yang mengatur apakah pemungutannya telah sesuai dengan dasar dari pajak terutang. b. Manfaat praktis Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi dasar pertimbangan bagi para pembentuk perundang-undangan beserta dengan peraturan pelaksananya serta para pejabat yang berkaitan dan berwenang sehingga peraturan perundangundangan berikut peraturan pelaksananya yang telah ada dapat disempurnakan karenanya efek negatif yang timbul karena peraturan tersebut dapat dihilangkan, sehingga wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban pembayaran pajaknya dengan baik.
4. Kajian Pustaka Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciriciri sebagai berikut : a. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. b. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapai peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja. c. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. 5 Paul Scholten seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa hukum perundang-undangan sebagai suatu sistem terbuka, dengan pertimbangan, pertama konsep tersebut merupakan reaksi terhadap pendapat bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan yang tertutup secara logis. Sistem itu tidak boleh berubah dan diubah selama pembuat undang-undang tidak mengubahnya. Segi positif dari ajaran yang demikian itu terletak pada nilai kepastiannya yang besar, sekalipun cenderung kepada ketegaran. Adapun segi negatifnya terletak pada sifatnya yang statis. 6 Alasan lain yang menjadi dasar dari konsep Scholten adalah, bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan norma-norma. Norma-norma itu merupakan peristiwa sejarah, oleh karena ditetapkan oleh badan-badan dan kekuatankekuatan yang konkrit terdapat di dalam masyarakat pada suatu waktu tertentu, seperti pembuat undang-undang, kebiasaan, bahkan juga tingkah laku hukum dari masyarakat.
Berdasarkan
alasan-alasan
itulah
Scholten
mengemukakan
pendapatnya, bahwa hukum itu merupakan sistem yang terbuka, yang melihat ke 5
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,
6
Ibid. h. 106.
h. 83.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
belakang kepada perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang kedepan dengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi
suatu keputusan hukum bagi
masyarakat yang diaturnya. 7 Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). 8 Norma Dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma dasar itu dikatakan presupposed. 9 Benyamin Akzin mengemukakan bahwa pembentukan norma-norma hukum Publik itu berbeda dengan pembentukan norma-norma Privat. Apabila dilihat pada struktur norma (Norm Structure), hukum Publik itu berada di atas hukum privat, sedangkan apabila dilihat dari structure lembaga (Institusional Structure) maka lembaga-lembaga negara (Public Authorities) terletak di atas 7
Ibid. Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan, Cetakan kelima, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h.41. 9 Ibid. 8
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
masyarakat (Population). Dalam hal pembentukannya, norma-norma hukum Publik itu dibentuk oleh lembaga-lembaga negara (penguasa negara, wakil-wakil rakyat) atau disebut juga supra struktur. Oleh karena norma hukum Publik itu dibentuk oleh lembaga-lembaga negara, maka sebenarnya dalam pembentukannya harus dilakukan secara lebih berhati-hati, sebab norma-norma hukum Publik ini harus dapat memenuhi kehendak serta keinginan masyarakat. 10 Definisi tentang pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 11 Sistem Perpajakan yang baik harus ditopang oleh dua hal berikut ini : 1.
Kebijakan Pajak (Tax Policy) Kebijakan pajak adalah kebijakan fiskal dalam arti yang sempit. Kebijakan fiskal dalam arti yang luas adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. 12
2.
Undang-Undang Pajak (Tax Law) Hukum pajak merupakan keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan sesorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Oleh karena itu, hukum pajak
10
Ibid Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama, Bandung, 2003, h. 6 12 R.Mansury, Kebijakan Fiskal, YP4, Jakarta, 1999, h. 1. 11
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak. Mansury mendefinisikan hukum pajak sebagai ‘keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara’. 13 Menurut Adam Smith pedoman bahwa supaya peraturan pajak itu adil harus memenuhi empat syarat, yaitu : a.
Equality and equity Equality atau kesamaan mengandung arti, bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Bukan berarti orang yang mempunyai penghasilan sama dikenakan pajak yang sama, melainkan orang yang mempunyai penghasilan kena pajak sama akan dikenakan pajak yang sama. Equity secara umum diterjemahkan sebagai keadilan, sehingga untuk pajak jika oleh wajib pajak dirasa tidak adil, ada saluran untuk menyatakan ketidak adilan tersebut.
b.
Certainly Certainly atau kepastian hukum adalah tujuan setiap undang-undang, sehingga harus diusahakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undangundang adalah jelas, tegas dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain.
13
Tesis
Ibid.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
c. Convencience of Payment Pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang; ini akan mengenakan wajib pajak (convenient). d. Economics of Collection Syarat keempat adalah bertalian dengan biaya pemungutan. Dalam membuat undang-undang pajak yang baru, para konseptor wajib mempertimbangkan, bahwa biaya pemungutan harus relatif kecil dibandingkan uang pajak yang masuk. 14 Hukum pajak dibedakan menjadi dua, yaitu Hukum pajak material dan Hukum Pajak Formal. Hukum Pajak Material mengatur ketentuan-ketentuan mengenai siapa-siapa saja yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apa-apa saja yang dikenakan pajak dan apa-apa saja yang dikecualikan serta berapa besarnya pajak yang terutang. Dengan demikian, dalam hukum pajak material diatur mengenai: a.
Obyek pajak, keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa hukum yang dapat dikenakan pajak (obyek pajak).
b.
Subyek pajak, yaitu siapa saja yang dapat dikenakan pajak atau diwajibkan melaksanakan kewajiban perpajakan (subyek pajak).
c.
Besarnya pajak terutang (dasar pengenaan pajak dan tarif pajak). Hukum formal mengatur bagaimana mengimplementasikan hukum pajak
material, oleh karena itu dalam hukum pajak formal diatur mengenai prosedur (tata cara) pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan. Hukum pajak formal 14
Tesis
Rochmat, Soemitro, Asas Dan Dasar Perpajakan 1, Eresco, Bandung, 1990. h.15-29
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
memuat bentuk dan cara-cara dalam melaksanakan hukum pajak material, antara lain berupa: 1.
Tata cara pendaftaran wajib pajak.
2.
Kewajiban pembukuan, tata cara penyetoran pajak, tata cara pelaporan dan lain lain.
3.
Tata cara penetapan utang pajak, hapusnya utang pajak, cara penagihan utang pajak.
4.
Prosedur pengajuan keberatan pajak, dan lain lain.
5.
Sanksi dan hak serta kewajiban wajib pajak maupun pihak fiskus. Hukum pajak formal yang jelas dan tegas sangat diperlukan untuk
memberikan kepastian, baik bagi wajib pajak maupun fiskus. Tanpa didukung dengan hukum formal yang jelas dan tegas, hukum pajak material tidak dapat dilaksanakan oleh wajib pajak dan fiskus tidak dapat melaksanakan pengawasan atau law enforcement. 15 Dalam praktik di lapangan, seringkali peraturan yang paling rendah, misalnya Surat Edaran Dirjen Pajak, justru lebih powerful dibandingkan dengan Undang-Undangnya sendiri. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, tentu akan menjadi preseden yang buruk, apalagi Surat Edaran dibuat tanpa harus mendapat persetujuan dari DPR (lihat definisi pajak). 16 Pajak selain mempunyai fungsi mengatur (regulerend) juga mempunyai fungsi budgetair yaitu pajak sebagai sumber dana pemerintah untuk membiayai pengeluarannya-pengeluarannya, agar pemungutan pajak tidak menimbulkan 15
Haula Rosdiana, Rasin Tarigan, Perpajakan: Teori dan Aplikasi, Edisi 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.h.96-97 16 Mardiasmo, Perpajakan, Edisi XIII, Andi Offset, Yogyakarta, 2005, h. 1.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan ketentuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun, perdagangan,
sehingga
tidak
menimbulkan
kelesuan
perekonomian
masyarakat. d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil) Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sistem pemungutan yang sederhana yang memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 17
5. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian terhadap asas-asas hukum mungkin bertitik tolak dari bidang-bidang tata hukum (tertulis) tertentu, dengan cara mengadakan indentifikasi terlebih dahulu terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan (umpamanya) di dalam perundang-undangan tertentu. Mempelajari norma-norma hukum merupakan bagian yang esensial didalam ilmu hukum. Oleh karena hal tersebut sering dikatakan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang normatif, dengan demikian penelitiannya adalah penelitian hukum normatif. Penelitian terhadap sistematik hukum dapat dilakukan pada perundang-undangan tertentu
ataupun hukum tercatat. Tujuan pokok adalah untuk mengadakan
indentifikasi terhadap pengertian pokok/dasar dalam hukum. Penelitian tersebut sangat penting, oleh karena masing-masing pengertian pokok/dasar mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum 18 .
5.1.
Tipe Penelitian Hukum Penelitian ini memilih tipe penelitian yaitu Reform-Oriented Research
dikarenakan arah dari penelitian ini ditujukan untuk menyempurnakan peraturan 17 18
Tesis
Ibid. h. 3. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, h. 15-24
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perundang-undangan yang telah ada, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hutchinson yaitu : Reform-Oriented Research : Research which intensively evaluates the adequacy of existing rules and which recommends changes to any rules found wanting. 19
5.2.
Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan Perundang-undangan (Statute
Approach). Pendekatan
undang-undang dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti sebenarnya mampu menangkap kandungan filosofi yang ada dibelakang undang-undang itu. Memahami kandungan filosofi yang ada dibelakang undangundang itu, peneliti tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi. 19
Tesis
Ibid. h. 32-35.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pendekatan konsep (Conceptual Approach) juga dilakukan dalam penelitian ini. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsepkonsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi
20
.
Karena itu dilakukan pendekatan pada konsep hukum dari pajak, pajak terutang, perjanjian dan peralihan hak atas tanah dan atau bangunan, sehingga dapat membangun suatu argumentasi untuk mendapatkan pemecahan dari rumusan masalah yang ada.
5.3.
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan yang
didalamnya dapat ditemukan ketentuan mengenai perpajakan, perjanjian serta pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, sedangan sumber bahan hukum sekunder, adalah buku, jurnal, makalah, kamus dan artikel dalam berbagai media termasuk media elektronik yang berkaitan dengan rumusan masalah.
5.3.1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer berupa norma-norma hukum yang mengatur tentang perpajakan, pajak penghasilan, perjanjian serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. 20
Tesis
Ibid. h. 93-95.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
5.3.2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa pendapat-pendapat ahli hukum mengenai tata urutan perundang-undangan, perjanjian dan ketentuan pajak terutang.
6. Sistematika Penulisan Dengan harapan agar tesis ini mudah untuk dipahami, maka penulisan dari penelitian ini dilakukan dengan membagi bab-bab yang meliputi sebagai berikut. Dalam Bab I dibahas tentang isi pendahuluan yang berintikan latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika Bab II dibahas mengenai dasar hukum tentang pajak terutang, yaitu bagaimana dan kapan timbulnya pajak terutang dibidang PPh dan BPHTB dalam kaitan dengan adanya suatu peristiwa atau perbuatan hukum. Selanjutnya dalam Bab III dibahas tentang kesesuaian pengaturan pajak terutang di bidang PPh dan BPHTB tersebut dengan prinsip-prinsip pemungutan pajak. Bab IV sebagai Bab Penutup
diberikan kesimpulan serta saran yang
berguna untuk menjadi masukan dalam undang-undang pajak penghasilan serta bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, berikut peraturan pelaksananya di Indonesia, sehingga tidak saja dapat meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, tapi juga apresiasi dari wajib pajak.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II PENGATURAN PPh DAN BPHTB TERUTANG ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN
1. PPh Terutang Pajak Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa pajak penghasilan tersebut bersifat final, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Menurut Gunadi, ada pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri pada pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu, pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah 21 . Prinsip pemajakan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah unitary (global) taxation. Maksudnya adalah bahwa semua penghasilan dari berbagai kategori dan sumber dikonsolidasikan menjadi satu kesatuan (unaitary) basis pemajakan. Untuk mencapai keadilan (horisontal dan vertikal) atas satuan 21
Tesis
Gunadi, op cit. h. 57.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
basis pemajakan tersebut dikenakan tarif umum (progresif). Namun disadari bahwa kultur, dan kondisi sosial, ekonomi dan politik masyarakat belum mendukung pelaksanaan sistem ideal tersebut (unitary dengan vertical dan horizontal equity). Sementara menuju ke sana, dicari jembatan penyeberangan berupa sistem pemajakan yang sederhana (simple tax system). Sistem tersebut adalah pemotongan pajak final dengan tarif sepadan (final flat tax system). Dalam sistem pemajakan, agar sederhana pengenaan pajak dilakukan dengan pemotongan (withholding) pada sumbernya, berdasar penghasilan bruto (gross base), dengan tarif sepadan (flat rate) dan bersifat final. Gross base artinya bahwa pajak dihitung berdasar penerimaan bruto (proceeds) tanpa memperhatikan jumlah biaya dan keadaan diri pembayar pajak. Tarif sepadan dimaksudkan untuk mengimplementasikan prinsip pengenaan pajak sama rata (horizontal equity) kepada semua Wajib Pajak. Sedangkan, final bertujuan untuk menyederhanakan pengenaan pajak dengan memperlakukan pembayaran pajak tersebut sebagai pelunasan keseluruhan kewajiban pajak atas Objek Pajak tersebut tidak ada kewajiban tambahan lainnya (sepanjang telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku). Penghasilan yang telah dikenakan pajak final tidak lagi digabungkan dengan penghasilan lainnya (dalam rangka unitary system) dan pajaknya tidak merupakan kredit pajak. Baik penghasilan maupun pajaknya, tidak perlu lagi digunggungkan (dilaporkan) dalam SPT Tahunan. 22 Guna melaksanakan ketentuan undang-undang tersebut, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang 22
Tesis
Ibid. h.59.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan, yang telah berubah beberapa kali yaitu : a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan ; b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan ; c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan ; (untuk selanjutnya kesemua itu cukup disebut Peraturan Pemerintah), sesuai Pasal 1 Ayat (2) dari Peraturan Pemerintah tersebut maka yang dimaksud dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah : a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah. b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
persyaratan khusus. c. Penjualan, tukar menukar , pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. Pajak penghasilan termasuk dalam ketegori pajak subjektif, artinya, pajak dikenakan karena ada subjeknya, yakni mereka yang telah memenuhi kriteria pemajakan seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan perpajakan. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (1) nya disebutkan secara jelas siapa-siapa yang dapat menjadi Subjek Pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Menurut Gunadi, yang dimaksud dengan orang pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal (domisili) atau berada di Indonesia (residensi) ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak tidak melihat batasan umur, jenjang sosial ekonomi dan kebangsaan atau kewarganegaraan. Dengan kata lain istilah orang pribadi yang dapat menjadi Subjek Pajak PPh Indonesia berlaku sama untuk semua orang (comprehensive, all inclusive) 23 . Sedangkan yang dimasud dengan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, lebih lanjut diuraikan dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Huruf (b) Undang-Undang Pajak Penghasilan. 1.1 Timbulnya PPh Terutang Definisi Pajak yang terutang dalam Pasal 1 Angka (10) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 23
Tesis
Ibid. h..17.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena adanya sifat final pada Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, maka ketentuan timbulnya pajak terutang adalah berdasarkan ketentuan tersendiri yaitu Peraturan Pemerintah, akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud tidaklah tertulis secara jelas kapan Pajak Penghasilan menjadi terutang, dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut hanya menyebutkan bahwa Pajak Penghasilan yang terutang haruslah dibayar sebelum akta, keputusan, kesepakatan, risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Besarnya pajak terutang adalah 5 % dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali pengalihan hak atas rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan kegiatan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenakan pajak penghasilan sebesar 1 % dari bruto nilai pengalihan hak. Rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dimaksud adalah yang sesuai ketentuan undang-undang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai. Dasar perhitungan jumlah bruto penghasilan adalah nilai yang tertinggi antara nilai yang berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimuat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi Dan Bangunan tahun yang bersangkutan, apabila belum terbit maka yang digunakan adalah Nilai Jual Objek
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi Dan Bangunan tahun sebelumnya, jika objek peralihan tersebut belum terdaftar, maka yang digunakan adalah Surat Keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor Wilayah yang meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan berada, dengan pengecualian yaitu : a. Dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan ; b. Dalam hal pengalihan adalah sesuai Peraturan Lelang, adalah nilai berdasarkan risalah lelang. Pengecualian kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan adalah : a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak, yang melakukan pengalihan dengan
jumlah
bruto kurang dari
Rp. 60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah), yang bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah. b. Orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah. c. Orang pribadi yang melakukan hibah pada keluarga sedarah yang lurus satu derajat, atau untuk keperluan sosial, keagamaan dan pendidikan dengan tidak terkait pada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan atas penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. d.
Badan yang melakukan
hibah untuk kegiatan sosial, keagamaan dan
pendidikan, pengusaha kecil, dengan tidak terkait dalam hubungan dengan usaha, pekerjaan atau pengusaan dari pihak-pihak yang bersangkutan. e.
Tesis
Pengalihan hak karena warisan.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Dengan mengenakan pajak berdasar tarif terpisah untuk beberapa jenis penghasilan tertentu, selain tarif umum, Pasal 4 ayat (2) sepertinya memperkenalkan schedular tax system (pengenaan pajak dengan skedul tersendiri untuk suatu kategori penghasilan). Karena dikenakan berdasar penghasilan bruto dan tarif sepadan tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak, untuk keperluan vertical equity, dalam jangka panjang, pendekatan ini harus dikembalikan ke jalur dasarnya (unitary system). Apabila kepatuhan perpajakan masyarakat cukup baik, unitary system (dengan tarif umum), dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari ketentuan Pasal 4 ayat (2), selain lebih adil sama rasa (dan sama rata). 24
1.2 Cara Memungut PPh Terutang Tata Cara Pelunasan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan : a. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari pihak selain pemerintah wajib membayar sendiri Pajak. b. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari pihak selain pemerintah yang tidak memerlukan persyaratan khusus dipungut Pajak Penghasilan oleh Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar.
24
Tesis
Ibid. h..59.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan bahwa Pajak Penghasilan terutang telah dibayar dengan menyerahkan fotocopi Surat Setoran Pajak (SSP) dengan menunjukkan aslinya. 25
2. BPHTB Terutang 2.1 Timbulnya BPHTB Terutang Dasar hukum pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang BPHTB). 2. Peraturan Pemerintah Nomor 111 tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 112 tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 113 tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
25
Alsah Sjarifuddin A, Pemotongan-Pemungutan Pajak Penghasilan, Cetakan Kedua, Kharisma Bintang Kreativitas Prima, Jakarta, 2003.h. 170.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Selanjutnya yang menjadi obyek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, sedangkan yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan menurut Pasal 2 Ayat (2) nya meliputi: a. Pemindahan hak karena: (1) Jual beli; (2) Tukar menukar; (3) Hibah (4) Hibah wasiat; (5) Waris (6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; (7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; (8) Penunjukan pembeli dalam lelang; (9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; (10) Penggabungan usaha; (11) Peleburan usaha; (12) Pemekaran usaha; (13) Hadiah; b.
Pemberian hak baru, karena: (1)Kelanjutan pelepasan hak; (2)Diluar pelepasan hak.
Hak atas tanah sebagaimana disebutkan diatas adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pengelolaan 26 . Pengecualian terhadap Obyek Pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut Pasal 3 Ayat (1), adalah Obyek Pajak yang diperoleh : a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. c. Badan aatau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut. d. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. e. Orang pribadi atau badan karena wakaf. f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Sedangkan yang dimaksud dengan Subyek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut Pasal 4 ayat (1) adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang BPHTB menetapkan dengan jelas saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yaitu : a. Pada saat tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk jenis peralihan sebagai berikut : - Jual beli 26
Achmad Tjahyono Triyono Wahyudi, Perpajakan Indonesia, Pendekatan Soal Jawab dan Kasus, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.h. 437.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
- Tukar menukar - Hibah - Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya - Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan - Penggabungan usaha - Peleburan usaha - Pemekaran usaha - Hadiah b. Waris dan Hibah Wasiat
adalah sejak tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan. c. Lelang adalah saat tanggal penunjukan pemenang lelang d. Putusan hakim adalah saat putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. e. Pada saat di tandatangani dan diterbitkankannya Surat Keputusan pemberian hak, untuk : - Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak - Pemberian hak baru diluar pelepasan hak.
2.2 Cara Memungut BPHTB Terutang Dasar pengenaan pajak BPHTB adalah Besarnya Nilai Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2), (3), dan (4) Undang-Undang BPHTB diatur sebagai berikut: 1. Nilai Perolehan Obyek Pajak dalam hal :
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
a.
Jual beli adalah harga transaksi.
b.
Tukar- menukar adalah harga pasar.
c.
Hibah adalah nilai pasar.
d.
Hibah wasiat adalah nilai pasar.
e.
Waris adalah nilai pasar.
f.
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar.
g.
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar.
h.
Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunya kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar.
i.
Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar.
j.
Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar.
k.
Penggabungan usaha adalah nilai pasar.
l.
Peleburan usaha adalah nilai pasar.
m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar. n.
Hadiah adalah nilai pasar.
o.
Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
2. Apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan. 3. Apabila Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan belum ditetapkan,
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Menteri dapat menetapkan besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka Nilai Perolehan Obyek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan didasarkan 3 jenis, yaitu: 1. Harga transaksi. Harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Harga transaksi ditetapkan dalam hal : a. Jual beli; b. Penunjukan pembeli dalam lelang. 2. Nilai Pasar. Nilai Pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak Tanah dan Bangunan. Dalam hal tukar-menukar kedua belah pihak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Nilai pasar dipakai dalam hal: a.
Tukar- menukar.
b.
Hibah.
c.
Hibah wasiat.
d.
Waris
e.
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
f.
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
g.
Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunya kekuatan hukum tetap.
h.
Tesis
Pemberian hak baru.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
i.
Penggabungan usaha.
j.
Peleburan usaha.
k.
Pemekaran usaha.
l.
Hadiah.
3. Nilai Jual Obyek Pajak PBB (NJOP PBB) digunakan apabila Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak PBB. Dengan dasar pengenaan pajak BPHTB selanjutnya ditetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang ditetapkan secara regional yang berarti ditetapkan berdasarkan keputusan dari Pemerintah Daerah, sesuai ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang BPHTB maka tidak lebih dari Rp. 60.000.000,00 (Enampuluh Juta Rupiah) kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah waris, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah).27 Khusus mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 . Yang dimaksud dengan Perolehan Hak karena Waris adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Sedangkan yang dimaksud dengan Perolehan 27
Tesis
Ibid.h. 440-441.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai pasar pada saat didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Namun dalam hal ini nilai pasar lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Obyek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. Besar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang. Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Ketentuan untuk Pejabat yang berkaitan dengan BPHTB diatur lebih lanjut dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang BPHTB adalah sebagai berikut : a.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan.
b.
Pejabat Lelang Negara hanya
dapat menandatangani Risalah Lelang
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
c.
Pejabat
berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan
pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan. d.
Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan.
e.
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
Bilamana pejabat yang berkaitan dengan BPHTB tidak melaksanakan ketentuanketentuan tersebut maka pejabat tersebut dapat dikenai sanksi seperti dinyatakan dalam Pasal 26 Undang-Undang BPHTB adalah sebagai berikut: a. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). b. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana c. dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
d. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2a), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 28 Pengaturan pajak terutang dibidang PPh dalam peralihan hak atas tanah dan atau bangunan sifatnya adalah pajak final sehingga diatur secara tersendiri dalam suatu Peraturan Pemerintah yang tidak secara nyata menjelaskan waktu timbulnya PPh terutang dalam pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, hanya menentukan bahwa kewajiban pembayaran pajak harus dilakukan sebelum akta, risalah lelang atau surat keputusan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Bagi pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, diatur juga untuk tidak menandatangani akta, risalah lelang atau surat keputusan sebelum orang pribadi atau badan yang mengalihkan haknya menunjukan asli Surat Setoran Pajak serta menyerahkan foto kopinya. Dalam pertimbangan dari Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan 28
Tesis
Ibid. h. 454.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
bahwa dasar dari ketentuan ini adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Dan karena hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah maka tidak ada muatan sanksi bagi wajib pajak dan Pejabat yang berwenang jika melanggar ketentuan tersebut. Pengaturan pajak terutang dibidang BPHTB dalam peralihan hak atas tanah dan atau bangunan, diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang BPHTB yang kesemuanya menyebutkan bahwa saat terutang pajak adalah setelah ada suatu peralihan hak yaitu akta telah ditandatangani, lelang telah ditentukan pemenangnya, atau sejak ditandatangani dan diterbitkannya Pasal 24 Undang-Undang BPHTB yang mengatur
surat keputusan.
ketentuan bagi pejabat
menyebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris, Pejabat Lelang Negara dan Pejabat yang berwenang menandatangani surat keputusan dilarang menandatangani akta, risalah lelang atau surat keputusan sebelum wajib pajak menunjukan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Bagi Pejabat yang melanggar maka akan dikenai sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang BPHTB.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III KETERKAITAN PENGATURAN PPh DAN BPHTB TERUTANG DENGAN PRINSIP-PRINSIP PEMUNGUTAN PAJAK
1.
Pemungutan Pajak
1.1 Pajak Terutang Perdebatan mengenai timbulnya utang pajak hingga saat ini masih belum memperoleh titik temu, menurut ajaran material, timbulnya utang pajak adalah karena bunyi undang-undang saja, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia (jadi sekalipun tidak dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh Fiskus) asalkan dipenuhi syarat: terdapatnya suatu Tatbestand karena oleh undang-undang timbulnya utang pajak dihubungkan dengan adanya suatu Tatbestand yang terdiri dari keadaankeadaan tertentu dan atau juga peristiwa ataupun perbatasan tertentu. Yang dimaksud dengan Tatbestand adalah rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatanperbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang fietelijk, yuridis, persoonlijk, maupun zakelijk ), yang dapat menimbulkan utang pajak. Pada beberapa macam pajak, utang pajak itu pertama-tama dihubungkan dengan orang, misalnya pendapatan, perseroan, yang termasuk ke dalam pajak-pajak subjektif, pertama melihat kepada subjeknya sebagai titik taut yang dipentingkan, kemudian memperhatikan selebihnya dari Tatbestand-nya. Pajak-pajak selebihnya, yang termasuk dalam pajak objektif, melihat dulu pada titik taut utama yang dapat berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa; kemudian diperhatikan orang
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
yang bersangkutan yaitu subjek pajaknya. Maka pada pajak subjektif timbul suatu utang pajak jikalau telah terpenuhi, selain syarat mutlak mengenai orangnya sebagai titik taut utama, juga mengenai keadaan objektifnya; dan sebaliknya pada pajak objektif diperlukan
pula syarat-syarat tertentu
mengenai
keadaan
subjektif. 29 Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan menyebutkan bahwa timbulnya utang pajak dibedakan berdasarkan dua paham/aliran berikut : a. Menurut paham formal, utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yaitu menerbitkan surat ketetapan pajak. b. Menurut paham material, utang pajak timbul karena terpenuhinya tatbestand. Artinya jika ketentuan dalam undang-undang terpenuhi, tanpa harus menunggu fiskus menerbitkan surat ketetapan pajak, wajib pajak harus membayar pajak yang terutang. 30
1.2 Teknik Pemungutan Pajak Pembenaran pungutan pajak adalah berdasarkan beberapa teori yaitu : a.
Teori Asuransi Teori ini tergolong salah satu teori yang tertua, yang mengatakan bahwa pajak itu diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini tidak mempunyai banyak pendukung karena tidak
29
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama, Bandung, 2003. h. 116-117. 30 Haula Rosdiana, Rasin Tarigan, Perpajakan: Teori dan Aplikasi, Edisi 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.h.109.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sesuai dengan kenyataan, dan pula tidak sesuai dengan sifat-sifat pajak. Jika hak seseorang dilanggar oleh orang lain, maka pemerintah sebagai “asuradur” tidak akan membayar ganti rugi kepada orang yang dirugikan. Kelemahan teori ini adalah, bahwa premi yang dibayar wajib pajak adalah sebagai imbalan dari perlindungan yang diberikan kepadanya, yang sebenarnya bertentangan dengan sifat pajak, yaitu pajak tidak memberikan imbalan secara langsung. b.
Teori Daya Pikul Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing. Daya pikul, menurut Prof. De Langen, adalah kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran mutlak untuk kehidupan primer diri-sendiri beserta keluarganya. Sedangkan Mr. Ir. Cohen Stuart menggambarkan daya pikul seseorang sebagai daya pikul suatu jembatan. Ini berarti bahwa daya pikul adalah sama dengan kekuatan memikul beban yang melewati jembatan tersebut.
c.
Teori Kepentingan Teori ini mengukur besarnya suatu pajak dengan besarnya kepentingan wajib pajak dilindungi. Jadi lebih besar kepentingan yang dilindungi, maka lebih besar pajak yang harus dibayar.
d.
Teori Daya Beli Menurut teori ini pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
masyarakat. Jadi sebenarnya uang yang berasal dari rakyat kembali kepada masyarakat melalui saluran lain. e.
Teori Kewajiban Pajak Mutlak Teori ini berdasarkan pada “Organtheorie” dari Otto von Gierke, yang mengatakan bahwa negara itu merupakan satu kesatuan, yang didalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa adanya “organ” atau lembaga itu individu tidak mungkin dapat hidup. Lembaga tersebut, oleh karena memberi hidup pada warganya, dapat membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban, antara lain kewajiban membayar pajak, kewajiban ikut mempertahankan hidup masyarakat/negara dengan milisi dan wajib militer. Lembaga selaku organ mempunyai kekuasaan terhadap anggota masyarakat yang mutlak, dan sebaliknya anggota masyarakat mempunyai kewajiban mutlak, antara lain pajak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Berdasarkan pemikiran demikian, maka pungutan, walaupun membebani individu dapat dibenarkan. 31 Dalam hukum pajak dikenal tiga macam sistem memungut pajak atas suatu
penghasilan atau kekayaan, yaitu yang dinamakan : a.
Sistem Nyata Sistem nyata, berdasarkan pengenaan pajak pada penghasilan yanng sungguhsungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak. Berapa besarnya penghasilan sesungguhnya ini diketahui pada akhir tahun itu. Oleh karenanya maka
31
Tesis
Rochmat, Soemitro, op.cit., h. 29-31
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pengenaan pajak dengan memakai cara ini merupakan suatu pungutan kemudian. b.
Sistem fiktif (anggapan) Sistem fiktif, bekerja dengan suatu anggapan. Anggapan ini bermacammacam jalan pikirannya, tergantung pada bunyi kata undang-undang yang bersangkutan. Adakalanya penghasilan si wajib pajak dianggap sama besarnya dengan penghasilan sesungguhnya dalam tahun yang baru lalu, dengan sama sekali tidak terpengaruh oleh besarnya penghasilan yang sungguh-sungguh diperoleh pada tahun berjalan itu.
c.
Sistem campuran Sistem campuran, umumnya mendasarkan pengenaan pajaknya atas kedua stelsel tersebut dimuka, bahwa penghasilan seseorang dalam tahun pajak dianggap sama besarnya dengan penghasilan sesungguhnya dalam tahun yang baru saja lampau. Kemudian setelah tahun pajak itu berakhir, maka anggapan yang semula dipakai oleh Fiskus disesuaikan dengan kenyataan dengan mengadakan pembetulan-pembetulan.
Kesemua sistem tersebut harus dengan nyata-nyata disebutkan dalam undangundang masing-masing. Sekali termuat didalamnya Fiskus harus mentaatinya. 32 Sedangkan Prof.Dr. AJ. Adrian membagi teknik pemungutan pajak menjadi tiga, yaitu sebagai berikut: 33 a.
Wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang.
32 33
Tesis
Santoso Brotodihardjo, op.cit., h.116-127. Haula Rosdiana, Rasin Tarigan, op.cit., hal.107.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
b.
Ada kerjasama antara wajib pajak dengan fiskus.
c.
Fiskus menentukan jumlah pajak yang terutang.
Menurut Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan dalam literatur terbaru, sistem/teknik pemungutan pajak dibedakan menjadi sebagai berikut: a.
Sistem Self Assessment Dalam sistem self assessment, wajib pajak sendiri yang menghitung, menetapkan, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang. Definisi self assessment yang ada dalam International Tax Glossary adalah sebagai berikut. Under self assessment is meant the system which the taxpayer is required not only to declare his basis of assessment (e.g. taxable income) but also to submit a calculation of the tax due from him and, usally, to accompany his calculation with payment of the amount he regard as due. Dalam sistem ini, fiskus hanya berperan untuk mengawasi, seperti misalnya melakukan penelitian apakah Surat Pemberitahuan (SPT) telah diisi dengan lengkap dan semua lampiran sudah disertakan, juga meneliti kebenaran penghitungan dan penulisan. Meskipun demikian, untuk mengetahui kebenaran (material) data yang ada dalam SPT, fiskus akan melakukan pemeriksaan. Di Indonesia, Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Badan serta Pajak Pertambahan Nilai menggunakan sistem ini. 34
b.
Sistem Official Assessment Berbeda dengan sistem Self Assessment, dalam sistem Official Assessment,
34
Tesis
Ibid., h.108.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
fiskus berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang terutang. Berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan fiskus, wajib pajak membayar pajak yang terutang tersebut. Di Indonesia Pajak Bumi dan Bangunan bisa dikatakan menganut sistem ini karena besarnya pajak yang terutang dihitung dan ditetapkan oleh fiskus melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). c.
Sistem Withholding Ide pemungutan pajak dengan cara withholding pertama kali diintroduksi di Amerika
Serikat
pada
tahun
1943
dalam
rangka
mengakselerasi
pengumpulan/pemungutan pajak selama Perang Dunia II. Karena terbukti efisien dan efektif, sistem withholding dengan cepat diadopsi oleh negaranegara lainnya. Dalam withholding system, pihak ketiga (yang “dekat” dengan wajib pajak) yang wajib menghitung, menetapkan, menyetorkan dan melaporkan pajak yang sudah dipotong/dipungut tersebut. Misalnya, pemberi kerja wajib menghitung dan menetapkan berapa Pajak Penghasilan (PPh) yang harus dipotong atas penghasilan (gaji, upah, dan sebagainya) yang diterima oleh pegawainya. Lalu ia juga harus menyetorkan PPh yang telah dipotong tersebut, kemudian melaporkannya kepada Kantor Pelayanan Pajak.
1.3 Prinsip-Prinsip Pemungutan Pajak Terutang Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, menyebutkan bahwa yang menjadi prinsip-prinsip dalam pemungutan pajak adalah :
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
a.
Dapat Dipaksakan Salah satu hal yang membedakan pajak dengan pungutan/iuran lainnya adalah sifat ‘memaksa’ yang melekat didalamnya. Kata “compulsory” digunakan untuk membedakan pajak dengan sumbangan atau hadiah karena pajak merupakan kontribusi yang dapat dipaksakan, sementara sumbangan atau hadiah merupakan kontribusi yang bersifat sukarela. Dalam memungut pajak, pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pemaksaan agar wajib pajak/pembayar pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan selalu dapat dipaksakan. Di Indonesia, salah satu instrumen “paksaan” (compulsory) dalam pemungutan pajak adalah Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.35
b.
Dipungut Berdasarkan Undang-Undang Unsur definisi pajak yang juga sangat penting adalah bahwa pajak harus ditetapkan berdasarkan undang-undang. Kalimat predetermined criteria secara implisit menunjukkan bahwa pemungutan pajak tidak dapat dilakukan secara serampangan, namun harus ada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tentunya kriteria-kriteria ditetapkan oleh otoritas publik (made by public authorities) dalam bentuk peraturan (perundang-undangan).
c.
Tidak Mendapatkan Manfaat Langsung Pajak dipungut bukan untuk special benefit. Artinya si pembayar pajak tidak menerima langsung manfaat atas kontribusi pembayaran pajaknya. Kriteria inilah yang membedakan pajak dengan pungutan lainnya seperti retribusi.
35
Ibid., h.44.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Lebih jauh lagi, hal ini terkait dengan penentuan jenis barang dan jasa dan bagaimana cara membiayai pengadaan barang dan jasa tersebut. Meskipun pembayar pajak tidak mendapatkan manfaat yang secara langsung bisa dirasakan, bukan berarti uang pajak bisa semena-mena digunakan oleh pemerintah, apalagi saat ini tuntutan akan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik (good governance) bukan sekedar wacana. Karena itu akuntabilitas dan transparansi penggunaan penerimaan pajak mutlak harus dilakukan jika pemerintah sungguh-sungguh menginginkan adanya social trust yang pada akhirnya akan membentuk voluntary tax compliance (dorongan dalam diri wajib pajak sendiri untuk patuh pada ketentuan perpajakan). d.
Digunakan untuk Menjalankan Fungsi Negara Salah satu instrumen yang digunakan negara untuk menjalankan fungsinya adalah pajak. Pajak dipungut dengan tujuan untuk membiayai pengadaan public goods, namun bisa juga pajak dipungut untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana telah dijelaskan dalam fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Pemanfaatan pajak untuk menjalankan fungsi negara (pemerintah) hendaknya berpegang pada prinsipprinsip good governance, yaitu penegakan hukum, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, profesionalisme dan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Menurut Mansury dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas atau
prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam sistem pemungutan pajak tersebut. Dari pengalaman ternyata apabila tidak setiap ketentuan rancangan undangundang pada saat penyusunannya selalu diuji apakah sejalan tidaknya dengan
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
tujuan dan asas yang harus dipegang teguh, ketentuan tersebut mudah sekali mengatur sesuatu yang sebenarnya tidak sejalan dengan asas yang harus dipegang teguh 36 . Banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan yang harus ditegakkan dalam membangun suatu sistem perpajakan di antara pendapat para ahli tersebut, yang paling terkenal adalah four maxims dari Adam Smith. Menurut Adam Smith, pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu equity, certainty, convenience dan economy, sedangkan Dora Hancock dalam bukunya Taxation : Policy and Practice, mengutip pendapat Stiglitz Pemenang Nobel Ekonomi, menyatakan bahwa lima karakteristik yang diharapkan ada dalam sistem perpajakan, yaitu sebagai berikut : 1.
Economically efficient: it should not have an impact on allocation of resources.
2. Administratively simple : it should be easy and inexpensive to administer. 3.
Flexible : it should be easy for the system to respond to changing economic circumtances.
4.
Politically accountable : taxpayer should be able to determine what they are actually paying so that the political system can more accurately reflect the preferences of individuals.
5.
Fair : it should be seen to be fair in its impact on all individuals. Dalam reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah Indonesia pada
tahun 1984, ditetapkan enam sasaran utama, yaitu:
36
Tesis
Ibid., h. 66-67.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
(1) Penerimaan negara dari sektor perpajakan menjadi bagian dari penerimaan negara yang mandiri dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional. (2) Pemerataan dalam pengenaan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. (3) Menjamin adanya kepastian. (4) Sederhana (5) Menutup peluang penghindaran pajak dan/atau penyelundupan pajak oleh wajib pajak dan penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak. (6) Memberikan dampak yang positif dalam bidang ekonomi. 37 Dasar pijakan penentuan sasaran-sasaran reformasi tersebut tidak lain adalah asasasas perpajakan, yaitu revenue productivity, equity/equality dan ease of administration. Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya ketiga asas perpajakan ini dipegang teguh dan dijaga keseimbangannya agar tercapai sistem perpajakan yang baik, Mansury juga menyatakan : “Itulah tiga asas yang seharusnya dipegang teguh sistem PPh kita yang seimbang memerhatikan semua kepentingan. The Revenue Adequacy Principle adalah kepentingan pemerintah, The Equity Principle adalah kepentingan masyarakat dan The Certainty Principle adalah untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat.” 38 Dengan demikian, bila digambarkan secara sederhana sistem perpajakan yang baik (ideal) adalah seperti segitiga sama sisi. Pada perkembangan di tingkat implementasi, tampaknya keseimbangan tersebut tidak lagi terjaga, seringkali 37
Ibid., h.118. R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Ind Hill-Co, Jakarta, 1996,hal 16 dalam Haula Rosdiana, Rasin Tarigan, Perpajakan: Teori dan Aplikasi, Edisi 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.hal.119. 38
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
karena alasan kepentingan (penerimaan) negara. Berikut ini akan dijelaskan beberapa asas yang penting untuk diperhatikan dalam mendesain sistem pemungutan pajak: a.
Asas Equity/Equality Keadilan merupakan salah satu asas yang sering kali menjadi pertimbangan penting dalam memilih policy option yang ada dalam membangun sistem perpajakan. Suatu sistem perpajakan dapat berhasil apabila masyarakatnya merasa yakin bahwa pajak-pajaknya dipungut pemerintah telah dikenakan secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan bagiannya. Jika timbul persepsi umum bahwa pajak hanya merupakan upaya-upaya law enforcement untuk mereka yang berusaha untuk menghindarinya, sementara di sisi lain terlihat jelas bahwa golongan masyarakat yang kaya justru membayar pajak lebih sedikit dari berapa yang seharusnya mereka bayar atau bahkan justru mereka yang menikmati fasilitas-fasilitas perpajakan, sulit diharapkan terciptanya kesadaran dan kepatuhan membayar pajak dari para wajib pajak. Dalam bukunya yang berjudul Public Finance, Otto Eickstein menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa tingkat tax consciousness (kesadaran membayar pajak) di negara-negara maju relatif sangat tinggi adalah karena mereka sangat yakin bahwa pajak yang dipungut pemerintah sudah adil 39 . Sejarah juga membuktikan bahwa pajak yang dipungut dengan tidak adil dapat menyebabkan timbulnya revolusi sosial, sebagaimanan yang terjadi di
39
Tesis
Ibid., h. 121-122.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Perancis dan Inggris. Oleh karena itu, kebutuhan akan ditegakkannya asas keadilan dalam pemungutan pajak merupakan suatu hal yang mutlak. (1) Pendekatan Keadilan Asas equity (keadilan) mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak
dikenakan
kepada
orang-orang
pribadi
sebanding
dengan
kemampuannya ntuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara. Namun, meskipun diakui bahwa prinsip keadilan merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan, terdapat berbagai pendapat dalam upaya mengimplementasikannya. Unfair tax are morally repulse. One must nonetheless admit that the concept of tax equity is elusive and value-laden and owes more to ethical consideration and political judgement than to unassailable scientific guidelines. Dalam tulisan Howell H. Zee mengenai Taxation and Equity dapat diketahui bahwa ada berbagai permasalahan dalam konsep keadilan, yaitu apakah perbedaan-perbedaan
yang paling mendasar dalam berbagai
konsep keadilan yang ada selama ini dan bagaimana konsep tersebut diterjemahkan ke dalam prinsip-prinsip pemungutan pajak yang berbedabeda. Selain itu masalah keadilan lainnya adalah bagaiman mengukur besarnya penghasilan dan bagaimana keadilan harus didistribusikan serta apa implikasinya terhadap keadilan dalam pemungutan pajak. Ketiga masalah keadilan tersebut dapat dilihat dari pendapat berikut ini.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
a.
What are the different concept of equity, and how are do they translate into different principles of taxation ?
b.
What are the alternative measures of income inequality and their implications for tax equity ?
c.
What are the alternative theories of distributive justice and their implications for tax equity ?
Permasalahan tersebut timbul karena dalam mengimplementasikan asas equity, terdapat dua pendekatan, yaitu Benefits Received Principles dan Ability to Pay Principles. Karena ada keterbatasan dalam penerapan Benefits Received Principles, konsep Ability to Pay Principles menjadi alternatif yang terus-menerus dikembangkan. Pengkajian konsep The Ability to Pay Principles tidak terlepas dari kajian tentang pajak langsung, karena pajak langsung merupakan konsekuensi logis dari dipilihnya The Ability to Pay Principles dalam kerangka Tax Policy. Namun, masalahnya konsep The Ability to Pay Principles itu sendiri masih mempunyai tiga alternatif dalam penerapannya, yaitu sebagai berikut. a. Kemampuan yang dimiliki pada suatu saat yang disebut kekayaan, apabila alternatif ini yang dipilih pajak yang dipungut disebut Pajak Kekayaan atau Nett Wealth Tax. b. Tambahan kemampuan yang didapat orang tersebut selama jangka waktu tertentu, misalnya selama satu tahun, apabila alternatif ini yang dipilih, maka disebut PPh = Pajak Penghasilan atau Income Tax.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
c. Kemampuan yang benar-benar dipakai untuk membeli barang dan jasa untuk pemenuhan hidupnya: apabila alternatif ini yang dipakai, pajak itu disebut Pajak Konsumsi Pribadi atau Personal Consumption Tax ataupun dapat disebut juga sebagaimana disarankan Nicholas Kaldor sebagai Pajak Pengeluaran atau Expenditure Tax. 40 Apa pun yang dipilih dalam Policy Option untuk menentukan dasar pengenaan pajak (tax base) berdasarkan ability to pay approach, baik Consumption/expenditure bases, income bases maupun wealth bases, tidak akan
pernah
lepas
dari
konteks
asas-asas
perpajakan
dalam
memperdebatkan mana yang sebaiknya (terbaik) dari ketiga hal tersebut untuk diterapkan dalam suatu desain sistem perpajakan. (2) Keadilan dalam Pajak Penghasilan Keadilan dalam Pajak Penghasilan terdiri dari keadilan horizontal dan keadilan vertikal. a.
Horizontal Equity Suatu pungutan pajak dikatakan memenuhi keadilan horizontal apabila wajib pajak yang berada dalam “kondisi” yang sama diperlakukan sama (equal treatment for the equals). Pengertian sama (equal) adalah besarnya “seluruh tambahan kemampuan ekonomi netto.”
b. Vertical Equity Asas keadilan vertikal terpenuhi apabila wajib pajak yng mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak sama 40
Tesis
Ibid., h. 123 .
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Term used to describe the equitable differential of tax payer who have different level of income and/or capital who. Prinsip dari Vertical Equity (Unequals Treatment for the Unequals) adalah: i. Beban pajak bersifat progresif (semakin besar ability to pay, semakin besar beban pajak (tax burden) yang harus dipikul). ii. Pembedaan tax burden semata-mata berdasarkan karena perbedaan tingkat
ability-
-to-
pay,
bukan
berdasarkan
jenis/sumber
penghasilan. Kedua penjelasan diatas menunjukkan bahwa asas keadilan bukanlah sesuatu hal yang tidak bisa diimplementasikan atau hanya sekedar jargon bahkan tidak sedikit orang yang menganggap bahwa keadilan adalah sesuatu yang ada nun jauh di sana. Sebaliknya, keadilan merupakan asas yang bisa dimplementasikan juga bisa diukur. 41 b. Asas Revenue Productivity Revenue Productivity principle merupakan asas yang lebih menyangkut kepentingan pemerintah sehingga asas ini oleh pemerintah yang bersangkutan sering dianggap sebagai asas yang terpenting.Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pajak mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dana dari masyarakat untuk membiayai kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan (fungsi budgetair). Karena itu dalam pemungutan pajak, harus selalu dipegang teguh asas produktivitas 41
Tesis
Ibid., h. 124-125.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pembiayaan. Upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi sistem perpajakan nasional serta penegakan law enforcement, tidak akan berarti bila hasil yang diperoleh tidak memadai. Di berbagai negara berkembang reformasi perpajakan pada umumnya masih menekankan pada aspek penerimaan, sehubungan dengan kebutuhan untuk menutupi anggaran belanja pemerintah, padahal seharusnya Revenue Productivity dan equity seharusnya bukan merupakan dua hal yang dipertentangkan, melainkan melengkapi satu dengan yang lainnya. c.
Asas Ease of Administration Dalam The Encyclopedia Americana, asas certainty, convenience, dan economy dimasukkan dalam satu asas, yaitu the administrative principles, sebagaimana dikutip berikut ini: “The administrative principles of taxation are those of certainty, of convenience, and of economy.” The Encyclopedia Britannica juga memasukkan asas-asas tersebut sebagai criteria of ease administration and compliance (kriteria kemudahan administrasi dan kepatuhan). Dalam buku tersebut kriteria kemudahan administrasi dan kepatuhan diperluas menjadi clarity, continuity, cost effectiveness dan convenience, sebagaimana dikutip berikut ini. In discussing these general principles one must lose sight of the fact that taxes have to administered. This imposes certain limitation on the fiscal process. There are four general requirements for the efficient administration of tax laws: clarity, continuity, cost effectiveness and convenience.
d.
Tesis
Asas Certainty
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Asas Certainty (kepastian) menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat, sebagaimana pendapat berikut ini. Tax laws and regulations must be comprehensible to the taxpayer, they must be unambiguous and certain, both to the taxpayer and to the tax administrator. Asas kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan obyek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar. Artinya, kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subyek pajak (dan pengecualiannya), obyek pajak (dan pengecualiannya), dasar pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga mengenai
prosedur
pemenuhan
kewajibannya,
antara
lain
prosedur
pembayaran dan pelaporan, serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya. Tanpa ada prosedur yang jelas, wajib pajak akan sulit untuk menjalankan kewajiban serta haknya, dan bagi fiskus, akan kesulitan untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak juga dalam melayani hak-hak wajib pajak. e.
Asas Convenience Asas Convenience (kemudahan/kenyamanan) pembayaran
pajak
hendaklah
menyatakan
dimungkinkan
pada
bahwa saat saat
yang
menyenangkan/memudahkan wajib pajak, misalnya pada saat menerima gaji atau menerima penghasilan lain seperti pada saat menerima bunga deposito.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Asas Convenience bisa juga dilakukan dengan cara membayar terlebih dulu pajak yang terutang selama satu tahun pajak secara berangsur-angsur setiap bulan (seperti PPh Pasal 25). Dengan demikian pada akhir tahun pajak, wajib pajak tidak perlu terlalu berat dalam membayar pajaknya dibandingkan dengan jika pajak yang terutang selama satu tahun pajak tersebut dibayar sekaligus pada akhir tahun. Sommerfield juga mengaitkan asas convenience dengan masalah kesederhanaan administrasi (simplicity). Both taxpayers and tax administrators place great stock in administrative simplicity. And in practice this tax criterion is often controlling. Any tax that can be easily assessed, collected, and administered seems to encounter the last opposition. f.
Asas Efficiency Asas efisiensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi fiskus pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya penungutan pajak yang dilakukan oleh kantor pemungut pajak (antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban wajib pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin. Dengan kata lain, pemungutan pajak dikatakan efisien jika cost of compliance-nya rendah. Compliance cost tidak selalu biaya yang tangible, yang dapat dinilai dengan uang, tetapi juga dengan biaya yang intangible. Dari sisi wajib pajak, compliance cost, biaya yang dikeluarkan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dibedakan
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menjadi tiga kelompok, yaitu sebagai berikut: (1) Direct Money Cost Yaitu biaya atau beban yang dapat diukur dengan nilai uang yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak berkaitan dengan proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. (2) Time cost Yaitu biaya berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. (3) Psychic cost Yaitu biaya psikis/psikologis, antara lain berupa stres dan atau ketidaktenangan, kegamangan, kegelisahan, ketidakpastian, yang terjadi dalam proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan, misalnya stres yang terjadi saat pemeriksaan pajak, saat pengajuan keberatan, dan atau banding. Dari sisi fiskus, istilah yang lebih tepat digunakan untuk mengukur efisiensi adalah administrative cost dan enforcement cost. Administrative cost merupakan biaya yang harus dikeluarkan
pemerintah
untuk
menjalankan
sistem
administrasi
perpajakan. Jadi administrative cost, yang termasuk dalam biaya ini bukan hanya gaji pegawai pajak, tetapi juga biaya operasional lainnya. g. Asas Simplicity Pada umumnya peraturan yang sederhana akan lebih pasti, jelas, dan mudah dimengerti oleh wajib pajak. Oleh karena itu, dalam menyusun suatu undangundang perpajakan, harus diperhatikan juga asas kesederhanaan, sebagaimana
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dikemukakan oleh C.V Brown dan P.M. Jackson berikut ini. “Taxes should be sufficiently simple so that those affected can be understand them.” 42 Dalam sistem pajak penghasilan, terdapat suatu metode penghitungan pajak yang disebut presumptive tax atau deemed taxable income, dimana dalam menghitung pajak penghasilan yang terutang, wajib pajak diberi kemudahan untuk menghitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto yang sifatnya hanya merupakan asumsi atau perkiraan. Metode penghitungan semacam ini jauh lebih sederhana dibandingkan dengan ketentuan
penghitungan
Pajak
Penghasilan
pada
umumnya,
yang
membutuhkan pembukuan yang lengkap dan akurat. h.
Asas Neutrality Asas Neutrality mengatakan bahwa pajak itu harus bebas dari distorsi, baik distorsi terhadap konsumsi maupun distorsi terhadap produksi serta faktorfaktor ekonomi lainnya. Artinya pajak seharusnya tidak mempengaruhi pilihan masyarakat untuk melakukan konsumsi dan juga tidak mempengaruhi pilihan produsen untuk menghasilkan barang dan jasa serta tidak mengurangi semangat orang dalam bekerja. Oleh karena itu, dalam menentukan tarif, hendaknya jangan dipilih tarif yang termasuk dalam prohibited area. Menaikkan tarif pajak belum tentu akan meningkatkan penerimaan pajak, bahkan sebaliknya mungkin akan menyebabkan penerimaan menurun. Bahkan juga dalam memberikan insentif perpajakan. Kebijakan untuk memberikan
42
Tesis
Ibid., h.131-140.
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
insentif perpajakan tetap harus menjamin adanya level playing field yang fair sehingga tidak menyebabkan entry barrier. Apabila terjadi dispute (perselisihan atau perbedaan pendapat) antara wajib pajak dan fiskus dalam menafsirkan suatu undang-undang, pendapat Prof.Dr. J.H.A. Logemann dapat dijadikan sebagai pedoman. Urutan tentang cara-cara penafsiran itu adalah: a.
Penafsiran menurut Ilmu Tata Bahasa.
b.
Penafsiran menurut sejarah terjadinya hukum.
c.
Penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang.
d.
Penafsiran secara sistematis.
e.
Penafsiran secara sosiologis.
f.
Penafsiran menurut analogi.
Secara spesifik khusus untuk penafsiran undang-undang pajak, Prof. Santoso Brotodihardjo sendiri menyebutkan bahwa yang digunakan adalah penafsiran umum, analogi, autentik, penafsiran secara ketat dan ajaran peradilan (yurisprudensi). 43
2. Sinkronisasi Pengaturan PPh Dan BPHTB Terutang Dengan Prinsip-Prinsip Pemungutan Pajak 2.1 Sinkronisasi Pengaturan PPh Terutang Dengan Prinsip-Prinsip Pemungutan Pajak. Pajak Penghasilan yang terutang dalam peralihan hak atas tanah dan 43
Ibid., h. 98.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
bangunan merupakan pajak yang bersifat final, berarti pula bahwa pajak tersebut diatur secara tersendiri, sesuai ketentuan undang-undang maka Pajak Penghasilan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Richard Burton berpendapat secara konstitusional, pengaturan pajak mempunyai landasan konstitusional yang amat jelas
“Segala pajak untuk
keperluan negara ditetapkan dengan undang-undang”, demikian Pasal 23 UUD 1945 menyebutkan. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 juga jelas menyebutkan presiden menetapkan
Peraturan
Pemerintah
untuk
menjalankan
undang-undang.
Ditegaskan lagi, karena presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif negara, maka Presiden mempunyai kekuasaan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah (pouvoir reglemantair). Jadi Peraturan Pemerintah merupakan peraturan yang diciptakan semata-mata untuk menjalankan atau menyelenggarakan undang-undang. Dengan demikian materi muatan Peraturan Pemerintah ialah semua materi undang-undang yang perlu dijalankan atau diselenggarakan lebih lanjut. Dengan kata lain, yang perlu diatur lebih lanjut. Ketika Pemerintah menerbitkan ketentuan diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994,
cukup banyak pengamat yang
mempersoalkan karena ketentuan tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan undang-undang perpajakan. Misalnya soal tarif pajak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah seharusnya tidak dibolehkan. Besaran tarif pajak harus diatur dalam undang-undang bukan dalam Peraturan Pemerintah. Selain itu materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah seringkali melebihi materi muatan yang diatur dalam undang-undang pajak, baik dalam soal penjabaran atau penguraianya. Guna mengkaji persoalan materi muatan Peraturan Pemerintah terhadap undang-undang
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pajak, kiranya perlu melihat suatu persoalan secara jernih dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku serta bagaimana filosofi muatan Peraturan Pemerintah seharusnya mengatur agar tidak bertentangan dengan undang-undang. Beberapa catatan dapat dikemukakan mengenai Peraturan Pemerintah, yaitu : pertama Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski undangundang yang bersangkutan tidak tegas-tegas memintanya. Ini perlu dijelaskan karena masih banyak diantara kita yang meragukan bila undang-undang yang bersangkutan tidak tegas tegas memintanya. Kedua, muatan Peraturan Pemerintah tidak boleh lebih luas dari pada atau menambah materi undang-undang. Ketiga, batas-batas hukuman (sanksi pidana) yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah harus diatur dengan undang-undang. Maksud undang-undang disini ialah undangundang yang menjadi induknya atau satu undang-undang tersendiri yang khusus mengatur sanksi umum bagi pelanggaran ketentuan Peraturan Pemerintah yang undang-undang induknya tidak menetapkan sanksi pidana. Undang-undang dapat menyerahkan kepada Peraturan Pemerintah untuk menentukan besarnya tarif pajak sepanjang tarif yang ditentukan tidak melebihi tarif umum pajak yang berlaku dalam undang-undang itu sendiri. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kesederhanaan, keadilan, pemerataan dan efektivitas dalam pengenaan pajak. Alasan itu sangat tepat bila mengingat kembali materi muatan dalam undang-undang hanya terbatas pada pokokpokoknya saja, sedangkan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dimaksud tidak melanggar undang-undang, karena undang-undang itu sendiri telah memberikan pelimpahan agar diatur Peraturan Pemerintah dengan suatu
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
batasan yang ditentukan. 44 Pembentukan Peraturan Pemerintah sebagai pengaturan lebih lanjut dari undang-undang adalah hal yang sesuai dengan tata perundang-undangan di Indonesia, karena undang-undang hanya berisi hal-hal yang pokok, sedangkan penjabarannya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dengan pertimbangan agar lebih sederhana, dan mudah manakala akan dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan keadaan masyarakat. Demikian halnya PPh dalam pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat dikatakan semua aturannya ada dalam PP karena sifatnya sebagai pajak final. Hal ini menjadi kendala karena dalam proses peralihan hak tersebut, tidak hanya melibatkan wajib pajak dan pemerintah tetapi ada pejabat-pe6jabat lain yang berkaitan dengan peralihan hak tersebut seperti Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai peraturan yang berlaku. Dalam PP tidak memungkinkan untuk dibuat ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuanketentuan dalam PP tersebut hanya berupa larangan saja tanpa sanksi. Kelemahan lain yang ada dalam Peraturan Pemerintah adalah ketentuan mengenai timbulnya pajak terutang yang tidak dinyatakan secara jelas. Dalam Pasal 2
hanya menyebutkan bahwa PPh harus telah dibayarkan sebelum
dilakukan penandatanganan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas peralihan hak. Menurut uraian sebelumnya bahwa utang pajak menurut ajaran material adalah terdapatnya suatu Tatbestand karena oleh undang-undang timbulnya utang pajak dihubungkan dengan adanya suatu Tatbestand yang terdiri 44
Tesis
Richard Burton, Kajian Aktual Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta, 2009, h. 176-178
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dari keadaan-keadaan tertentu dan atau juga peristiwa ataupun perbatasan tertentu. Yang dimaksud dengan Tatbestand adalah rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang fietelijk, yuridis, persoonlijk, maupun zakelijk), yang dapat menimbulkan utang pajak. Dengan belum ditandatanganinya bukti peralihan hak, sebenarnya
belum ada suatu
peristiwa peralihan hak. Sebagai contoh pada suatu peralihan hak karena lelang, sebelum kegiatan lelang dilakukan maka belum terjadi suatu peristiwa peralihan hak, dan harga lelang yang menjadi dasar perhitungan pajak belum diketahui. Dengan situasi seperti itu sebenarnya pajak terutang belum timbul (Tatbestand belum terpenuhi) dan tentu tidak mungkin dilakukan pembayaran PPh. Akan tetapi Peraturan Pemerintah melarang pejabat lelang menandatangani risalah lelang bilamana belum ditunjukan bukti pembayaran PPh. Pengaturan pajak terutang dalam Peraturan Pemerintah tampak tidak sesuai dengan asas certainty yang artinya, kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subyek pajak (dan pengecualiannya), obyek pajak (dan pengecualiannya), dasar pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga mengenai prosedur pemenuhan kewajibannya, antara lain prosedur pembayaran dan pelaporan, serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya. Tanpa ada prosedur yang jelas, wajib pajak akan sulit untuk menjalankan kewajibannya.
2.2 Sinkronisasi
Pengaturan
BPHTB
Terutang
Dengan
Prinsip-Prinsip
Pemungutan Pajak.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pasal 9 dari Undang-undang BPHTB dalam telah mengatur secara rinci mengenai waktu pajak terutang atas peralihan hak atas tanah dan bangunan, yaitu : a.
sejak ditandatanganinya akta, dalam penjelasan diuraikan bahwa yang dimaksud dengan ditandatanganinya akta adalah tanggal dibuatnya akta pemindahan hak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.
b.
untuk lelang, adalah saat risalah lelang yang memuat nama pemenang ditandatangani oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainnya.
c.
Untuk pemberian hak baru adalah saat surat keputusan ditandatangani dan diterbitkan.
Sehingga dapat dipahami bahwa sebelum akta, risalah lelang atau surat keputusan dibuat maka belum timbul suatu pajak terutang, dengan demikian wajib pajak belum diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak. Akan tetapi ketentuan dalam Pasal 24 Undang-Undang BPHTB, dengan jelas mengatur bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris, Pejabat Lelang dan pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak baru dilarang untuk menandatangani akta, risalah lelang atau surat keputusan sebelum wajib pajak menunjukan bukti pembayaran BPHTBnya, dengan ancaman sanksi denda pada pejabat yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UndangUndang BPHTB. Adanya pertentangan dari pasal 9 dan Pasal 24, tentu akan membingungkan bagi wajib pajak juga para pejabat yang terkait, hal ini tidak sesuai dengan asas simplicity yang menyebutkan bahwa peraturan yang sederhana akan lebih pasti, jelas, dan mudah dimengerti oleh wajib pajak. Ketentuan tersebut
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
juga tidak sesuai dengan asas certainty sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, karena waktu pajak terutang dan kewajiban pembayaran adalah tidak sesuai dengan Tatbestand. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pendapatan Daerah Dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut Undang-Undang PDRD) mengatur bahwa BPHTB termasuk salah satu golongan Pajak Daerah Kota/Kabupaten, proses pengalihan ini menurut Pasal 183 Ayat (2) selambatlambatnya adalah 1 Januari 2011 yaitu setelah 1 (satu) tahun undang-undang diberlakukan. Pengaturan BPHTB terutang
Pasal 90 Undang-Undang PDRD
adalah sama dengan Pasal 9 Undang-Undang BPHTB, demikian juga pengaturan Pasal 91 tentang pejabat yang berwenang dan Pasal 93 mengenai sanksi dalam Undang-Undang PDRD adalah sama dengan Pengaturan Pasal 24 Ayat (1) dan Pasal 26 dalam Undang-Undang BPHTB. Dengan demikian maka Pengaturan BPHTB terutang dalam Undang-Undang PDRD juga bertentangan dengan asas simplicty dan certainty. Pengaturan pembayaran pajak diawal sebelum peralihan hak terjadi yaitu sebelum penandatanganan akta, risalah rapat atau surat keputusan baik untuk bidang PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah maupun dibidang BPHTB sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang BPHTB juga bertentangan dengan Asas Convenience (kemudahan/kenyamanan) yang menyatakan bahwa saat pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang menyenangkan/memudahkan wajib pajak. Pembayaran pajak diawal untuk PPh tentu tidak menyenangkan karena pada saat itu wajib pajak belum menerima
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
penghasilan dari pengalihan hak. Untuk BPHTB pembayaran diawal juga tidak menyenangkan karena wajib pajak belum menerima peralihan hak (belum memperoleh kenikmatan. Memperhatikan pertimbangan dari Peraturan Pemerintah bahwa peraturan tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, untuk masa sekarang adalah tidak tepat hal ini dikarenakan
proses
peralihan hak atas tanah dan atau bangunan, merupakan suatu kegiatan mengalihkan hak yang melibatkan selain pihak yang menyerahkan hak dan pihak yang menerima hak juga beberapa instansi terkait yaitu : a.
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris
b.
Kantor Pajak
c.
Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten.
Dalam tiap-tiap instansi tersebut dalam konteks kegiatan peralihan hak atas tanah dan bangunan telah dibuat aturan-aturan yang diupayakan untuk dapat melayani para pihak yang melakukan peralihan hak. Sebagai contoh adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki kewajiban dalah 7 hari kerja setelah akta peralihan hak ditandatangani, maka harus segera menyerahkan akta tersebut berikur data pendukungnya
untuk
dicatatkan
peralihan
hak
di
kantor
pertanahan
kota/kabupaten, salah satu data pendukung yang diperlukan adalah bukti pembayaran pajak baik PPh maupun BPHTB, yang sebelumnya terlebih dahulu harus di validasi oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama (selanjutnya disebut KPP Pratama) dimana obyek peralihan hak tersebut berada. Begitu juga halnya dengan
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kantor pertanahan dengan sistem informasi saat ini dikembangkan untuk juga dapat masuk dalam jalur antara KPP Pratama dengan bank persepsi sehingga Kantor Pertanahan pun dapat mengetahui dengan jelas pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak tersebut. Situasi tersebut berbeda sekali dengan keadaan pada sekitar tahun 1994 hingga 2000 saat ketentuan-ketentuan mengenai PPh dan BPHTB tersebut dibuat, saat ini data sistem pembayaran pajak telah dibuat dengan teknologi informasi yang baru, sehingga antara bank persepsi dengan KPP Pratama telah ada jalur informasi bersama, sehingga setiap kali pembayaran pajak dilakukan di bank persepsi maka KPP Pratama dapat segera mengakses pembayaran tersebut, perkembangan lebih lanjut dibidang perpajakan yang memungkinkan untuk membuat laporan pembayaran pajak dengan menggunakan fasilitas internet. Sistem perpajakan yang moderen ini dengan sendirinya akan memaksa wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban pajaknya, karena jika pembayaran pajak tidak dilakukan maka proses peralihan hak di Kantor Pertanahan tidak dapat dilaksanakan. Pada akhirnya akan merugikan wajib pajak (pihak yang menerima pengalihan hak),
karena jika tidak terpenuhinya asas
publikasi sehingga peralihan hak tersebut hanya akan mengikat para pihak saja tapi tidak pada pihak ketiga. Untuk pihak yang mengalihkan hak, maka jika pembayaran PPh tidak dilakukan maka proses validasi bagi BPHTB akan ditolak, ataupun jika pembayaran kurang maka kantor pajak memiliki waktu 5 tahun untuk melakukan penagihan atas pajak terutang banyaknya ketentuan-ketentuan
kurang bayar tersebut. Dengan
baru yang sifatnya teknis berkaitan
dengan
validasi bukti pembayaran pajak dan sistem-sistem baru dalam perpajakan
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
terutama fasilitas internet yang dapat dengan mudah diakses oleh Kantor Pajak, Bank Persepsi dan Kantor Pertanahan
telah memaksa wajib pajak untuk
melakukan kewajiban pembayaran PPh dan BPHTB.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan a. PPh untuk peralihan hak atas tanah dan atau bangunan merupakan PPh Final, yang diatur
tersendiri sebagaimana dimuat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak menyebutkan secara jelas waktu pajak terutang, hanya ditentukan bahwa sebelum akta, risalah lelang atau surat lain ditandatangani oleh pejabat yang berwenang maka haruslah ditunjukan terlebih dahulu bukti pembayaran PPh. Berbeda dengan pengaturan dalam BPHTB yang secara jelas telah menyatakan bahwa pajak terutang timbul saat akta, risalah lelang atau surat lain yang berkaitan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, tetapi dilain pihak pejabat yang berwenang tersebut dilarang menandatangani akta, risalah lelang atau surat lain yang terkait sebelum ditunjukan bukti pembayaran BPHTB. b. Ketentuan PPh terutang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut sehingga tidak diketahui secara pasti timbulnya pajak terutang hal tersebut tidak sesuai dengan asas certainty. Juga pengaturan timbulnya BPHTB terutang dalam Pasal 9 Undang-Undang BPHTB yang bertentangan dengan Pasal 24 Undang-Undang BPHTB yang
Tesis
PPh dan BPHTP ....
mengatur ketentuan bagi pejabat
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
terkait sehingga menimbulkan ketidak pastian di bidang hukum pajak, sehingga penerapannya tidak mudah, hal ini bertentangan dengan asas certainty dan asas simplicity. Ketentuan pembayaran diawal untuk PPh sebelum wajib pajak menerima penghasilan dari peralihan hak demikian juga
untuk BPHTB
adalah sebelum wajib pajak menerima peralihan hak tersebut tidak sesuai dengan asas convenience.
2. Saran a. Pengaturan pajak terutang PPh dan BPHTB hendaknya dibuat sesuai dengan prinsip-prinsip pemungutan pajak. Hal ini penting untuk karena pengaturan tersebut akan menjadi dasar dari pembuatan peraturan-peraturan yang ada dibawahnya, sehingga akan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip pemungutan pajak sebagai sandaran norma. Diharapkan pengaturan tentang pajak terutang akan mendorong kesadaran wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya. b. Peraturan PPh dan BPHTB terutang perlu memperhatikan juga perkembangan teknologi informasi baik yang ada di bidang perpajakan, bank persepsi dan kantor pertanahan kota/kabupaten, yang menuntut wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya, sebab jika hal tersebut tidak dilakukan maka proses selanjutnya yaitu proses di kantor pertanahan tidak akan berjalan, dan pada akhirnya akan merugikan wajib pajak sendiri. Untuk itu peraturan yang sederhana dan pasti sehingga mudah dipahami oleh wajib pajak sangat diperlukan didukung dengan kemajuan teknologi berupa sistem pembayaran pajak berbasis internet
Tesis
sehingga dapat dengan mudah untuk
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
diakses dimana saja sehingga diharapkan dapat menjadi pendorong bagi wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban pembayaran pajaknya.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR BACAAN 1. Buku Alsah, A. Sjarifuddin, Pemotongan-Pemungutan Pajak Penghasilan (Withholding Tax), Kharisma, Jakarta, 2003. Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama, Bandung, 2003. Burton, Richard, Kajian Aktual Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta, 2009. Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, Salemba Empat, Jakarta, 2002. Ilyas, Wirawan B., Richard Burton, Hukum Pajak Edisi 4, Salemba Empat, Jakarta, 2008. Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Cetakan Kelima, Kanisius, Yogyakarta, 2007. Mansury, R., Kebijakan Fiskal, YP4, Jakarta, 1999. Mardiasmo, Perpajakan Edisi XIII, Andi Offset, Yogyakarta, 2005. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Rahayu, Siti Kurnia, Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010. Rosdiana, Haula, Rasin Tarigan, Perpajakan, RajaGrafindo Persada, Jakara, 2005. Siahaan, Marihot Pahala, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, RajaGrafindo Persada, Jakara, 2003. Soemitro, Rochmat, Asas Dan Dasar Perpajakan 1, Eresco, Bandung, 1990. Tjahjono, Achmad, Triyono Wahyudi, Perpajakan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakara, 2003.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
2. Modul Laboratorium Pengembangan Akuntansi, “Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan”, Universitas Gunadarma, Jakarta. Surojo, Arief, “Pengantar Hukum Pajak”, Pusdiklat Pajak Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta. 3. Jurnal Ahmad Rizki Sridadi,”Utang Pajak Menurut Perspektif Hukum Perdata Indonesia”, Yuridika Vol.20 No.1, Januari-Februari 2005,h.15. Urip Santoso, “ Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pendaftaran Tanah”, Yuridika Vol.21 No.3, Mei-Juni 2006,h.262. 4. Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi UndangUndang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pendapatan Daerah Dan Retribusi Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 111 tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 112 tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 113 tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.
Tesis
PPh dan BPHTP ....
Widyawati