TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM NARAPIDANA WANITA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN
NI WAYAN ARMASANTHI
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
i
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM NARAPIDANA WANITA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN
NI WAYAN ARMASANTHI NIM. 0890561008
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
ii
ii
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM NARAPIDANA WANITA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN
Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI WAYAN ARMASANTHI NIM. 0890561008
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
ii
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 16 JUNI 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. I Ketut Rai Setiabudi, SH. MS. NIP. 19530914197903 1002
Gde Made Swardhana, SH. MH. NIP. 19590325198403 1002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH. SU. NIP. 19560419198303 1003
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195902151985102001
iii
iv
Tesis Ini Diuji Pada Tanggal 16 Juni 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No.: 1136 /UN 14.4/HK/2011 Tanggal 15 Juni 2011
Ketua
:
Dr. I Ketut Rai Setiabudi, SH. MS.
Sekretaris
:
Gde Made Swardhana, SH. MH.
Anggota
:
Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH. M.Hum.
I Made Tjatrayasa, SH. MH.
I Gede Artha, SH. MH.
iv
v
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama
: Ni Wayan Armasanthi
NIM
: 0890561008
Tempat dan Tanggal Lahir
: Denpasar, 1 Nopember 1974
Alamat
: Br. Delodtangluk, Sukawati, Gianyar
Telepon/ Hp
: 0361- 7942275
Menyatakan Dengan Sebenarnya Bahwa Tidak Menjiplak Setengah Atau Sepenuhnya Tesis Orang Lain,
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, dan apabila di kemudian hari ternyata tidak benar, maka saya bersedia dituntut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Denpasar, 23 Juni 2011 Hormat Saya,
( Ni Wayan Armasanthi) NIM. 0890561008
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, (Ida Sanghyang Widhi ), karena atas berkat dan Rachmat-Nyalah tesis yang berjudul ‖ PERLINDUNGAN HUKUM NARAPIDANA WANITA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN ‖
terselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka
memenuhi kewajiban penulis untuk meraih gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan, arahan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang berbahagia ini izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan
yang
diberikan
kepada
penulis
untuk
mengikuti
dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister di Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. 4. Putu Gede Arya Sumertayasa, SH.,MH., selaku sekretaris Program Studi Magistes Ilmu Hukum Universitas Udayana;
vi
vii
5. Dr. I Ketut Rai Setiabudi, SH.MS. selaku Pembimbing I, yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, saran-saran maupun konsultasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan tesis ini; 6. Bapak Gde Made Swardhana, SH.MH., sebagai pembimbing II yang dengan penuh kesabaran memberikan masukan serta arahan dalam penyusunan tesis sehingga dapat terselesaikan pada waktu yang diinginkan; 7. Bapak Prof.Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum., Bapak I Made Tjatrayasa, SH., MH., dan I Gede Artha, SH., MH. Selaku panitia penguji Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas segala saran dan petunjuknya yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan tesis ini. 8. Menteri Hukum dan HAM RI, Khususnya Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Bali, yang telah memberikan kesempatan belajar baik dari segi waktu maupun berupa pemberian beasiswa; 9. Para Dosen yang mengajar di Program Pasca Sarjana fakultas Hukum Universitas Udayana yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan banyak materi sebagai bahan penyusunan karya tulis ini; 10. Bapak Drs. I Made Madja dan Almarhumah Ni Ketut Arini selaku orang tua yang telah menghidupi penulis sejak dalam janin dan membimbing penulis sampai terbentuk karakter sekarang ini, serta saudara-saudara penulis Ni Made Yuliawathi, SE., Ni Komang Sri PurnamaWathi, W.G. Hardhi Kusuma, SH., yang telah memberikan semangat , doa, serta dukungan besar; 11. I Wayan Sadra (suami) dan anak-anak tersayang dan tercinta, Ni Putu Ika Martina Dewiyanti, I Kadek Dwi Sapta Rendrahadi dan I Komang Andika
vii
viii
Dananjaya yang menjadi motivator yang telah memberikan doa, semangat dan pengorbanan untuk kesuksesan penulis; 12. Teman-teman pegawai di Jajaran Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Daerah Bali yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam penyusunan karya tulis ini; 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala bantuan serta dukungan yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Ida Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Penulis juga menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Besar harapan kami semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi setiap orang yang membacanya. Terima Kasih.
Denpasar,
Juni 2011
Penulis
Ni Wayan Armasanthi NIM. 0890561008
viii
ix
RINGKASAN
Wanita Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan dan menempati posisi yang sangat signifikan dalam kehidupan dan pembangunan di Indonesia. Wanita Indonesia apakah sebagai ibu, istri, anak, nenek, pekerja kantoran, orang rumahan, hingga profesional, semuanya memberikan kontribusi yang tak dapat disepelekan. Sayangnya penghargaan terhadap Wanita Indonesia sering sekali tidak sepadan dengan pengorbanannya. Kedudukan wanita dalam sistem sosial, budaya, politik, hingga hukum pun seringkali tidak sepadan dan tidak setara dengan laki-laki. Kesetaraan wanita dan laki-laki di Indonesia selalu menjadi pertanyaan yang tak habis-habisnya diajukan. Karena secara sosial dan budaya, telah berpuluh tahun lamanya, bahkan sebelum Indonesia merdeka, wanita Indonesia menjadi obyek diskriminasi dan ketidak adilan. Ketidak adilan ini adalah apabila dibandingkan dengan kedudukan dan perlakuan yang diterima oleh laki-laki. Sejarah ketidakadilan yang dialami wanita Indonesia ini tentunya harus diakhiri. Kedudukan wanita dalam hukum Indonesia sudah dijelaskan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 27 UUDNRI Tahun 1945 telah ditentukan bahwa semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan bahwa setiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tetapi sebenarnya kaum wanita masih banyak tertinggal dalam berbagai bidang yang perlu mendapat perhatian serius. Masih maraknya kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap wanita, dalam ranah publik dan domestik, sampai saat ini, sering kali menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana hukum Indonesia telah melindungi wanita. Dewasa ini peluang wanita dalam hal mensejajarkan dirinya dengan laki-laki sudah terbuka. Diharapkan wanita mampu meraih kesempatan dan menunjukkan kemampuannya. Dengan adanya peluang wanita mensejajarkan diri dengan laki-laki menyebabkan wanita lebih bebas melakukan kegiatan di luar rumah sehingga lebih terbuka kesempatan untuk melakukan kejahatan. Keterlibatan wanita sebagai pelaku kriminalitas bukan merupakan sesuatu yang baru, walaupun keterlibatan ini relative lebih kecil dibandingkan pria. Narapidana mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diayomi. Hak antara narapidana pria, narapidana wanita dan narapidana anak berbeda-beda. Dalam hal ini masing-masing narapidana harus ada yang dikedepankan. Sudah menjadi kodrat wanita mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak dipunyai oleh narapidana lain, sehingga sudah menjadi suatu kewajaran bahwa narapidana wanita mempunyai hak-hak khusus dibandingkan dengan narapidana lain. Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas maka terdapat dua permasalahan pokok yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita dalam sistem pemasyarakatan. Apakah perlindungan narapidana wanita sudah sesuai dengan sistem pemasyarakatan.
ix
x
Perlindungan Hukum adalah Memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Perlindungan hukum adalah melindungi harkat dan martabat manusia dari pemerkosaan yang pada dasarnya serangan hak pada orang lain telah melanggar aturan norma hukum dan undang-undang. Perlindungan hukum pada wanita pun seyogyanya berangkat dari analisis gender, diskriminasi gender, dan ketidakadilan gender. Banyak sekali rumusan dalam undang-undang kita yang sudah adil dari segi gender, namun dalam kenyataan masih belum terwujud. Masyarakat masih tertinggal dalam sikap, dan pemikiran, tentang konsep gender. Beranjak dari teori hukum feminis sebagai sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap wanita dan diskriminasi yang didapat wanita dari hukum. Sebelum memasuki area hukum, beberapa pemikiran feminis telah mulai membicarakan dan menyoroti fenomenafenomena yang terjadi berkaitan dengan peranan dan status sosial wanita di dalam masyarakat, termasuk di antaranya bagaimana masyarakat dan politik berperan dalarn menempatkan wanita dalam wacana pemikirannya. Kajian tentang bagaimana hukum mengatur mengenai masalah-masalah wanita juga kemudian tidak luput dari kajian pemikiran feminis. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif karena ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap narapidana wanita belum diatur secara jelas. Ditunjang pula dengan penelitian Empiris yaitu penerapan perlindungan hukum terhadap narapidana wanita di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar dengan sistem pemasyarakatan. Berdasarkan pengkajian sesuai dengan rumusan masalah, maka dapat disimpulkan bahwa, dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ternyata masalah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita belum diatur. karena dalam undang-undang tersebut semua narapidana diperlakukan sama, baik laki-laki maupun wanita. Dalam kenyataannya narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Denpasar belum diperlakukan secara memadai, sehingga ke depan diperlukan peraturan yang mengatur secara khusus narapidana wanita serta penempatan arealnya harus dipisahkan dengan narapidana laki-laki. Seperti halnya Lembaga Pemasyarakatan wanita di Semarang. Diharapkan agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atau untuk sementara agar Menteri Hukum dan HAM RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah melalui Dirjen Pemasyarakatan untuk menerbitkan Juklak atau Juknis yang mengatur secara khusus Hak-hak Narapidana wanita.
x
xi
ABSTRAK
Perlindungan hukum narapidana wanita dengan sistem pemasyarakatan dalam peraturan perundang-undangan belum diatur. Padahal secara kodrati ada hal-hal khusus yang mestinya mendapat perhatian terhadap narapidana wanita. Oleh karena itu permasalahan yang muncul adalah, bagaimana perlindungan hukum terhadap narapidana wanita dalam peraturan perundang-undangan tentang lembaga pemasyarakatan, dan apakah pelaksanaan perlindungan tersebut sudah sesuai dengan sistem pemasyarakatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang ditunjang dengan penelitian hukum empiris, dan menggunakan pendekatan undang-undang sebagai bahan hukum primer. Disamping itu juga menggunakan bahan hukum sekunder yang bersumber dari buku-buku, artikel, rancangan undang-undang, bahan dari internet, serta secara empiris dilakukan penelitian di lapangan yaitu di lembaga pemasyarakatan Kelas II A Denpasar. Selanjutnya dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam peraturan perundangundangan khususnya dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ternyata masalah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita belum diatur. Karena dalam undang-undang tersebut hanya disebutkan narapidana, tidak dibedakan antara laki-laki maupun wanita. Demikian pula dalam kenyataannya narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Denpasar belum diperlakukan secara memadai, sehingga ke depan diperlukan peraturan yang mengatur secara khusus narapidana wanita serta penempatan arealnya harus dipisahkan dengan narapidana laki-laki. Seperti halnya Lembaga Pemasyarakatan wanita di Semarang.
Kata Kunci : Perlindungan hukum, Narapidana wanita, Sistem pemasyarakatan.
xi
xii
ABSTRACT
Legal protection of women inmates by the prison system in the legislation has not been set explicitly. But naturally there are specific things that should get the attention of women inmates. Therefore the problem that aises is how the legal protection of women inmates in legislation is regarding prisons, and whether the implementation of such protection is in conformity with the prison system. This
research is a normative legal research that is supported with
empirical legal research, and uses the approach to law as the primary legal materials. In addition, it also uses secondary legal materials sourced from books, articles, law arrangement, the material from the internet, as well as empirical research in the field that is at the Penitentiary Class II A in Denpasar. Then all the data were descriptively analyzed. The results showed that in the statutory laws and regulations, especially in Act No. 12 of 1995 regarding Correctional, it was found out that the case of legal protection of women prisoners has not been specifically regulated, because the law treated the same inmates, both men and women. Similarly, in practice women inmates in Penitentiary Class II A Denpasar, they have not been adequately treated; so that in the future some policy is needed in particular the rules governing female inmates and the placement of their area should be separated by male inmates, as the Women’s Correctional Institute in Semarang practices.
Keywords : Legal protection, women inmates, the prison system.
xii
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN HALAMAN SAMPUL DALAM ...................................................................
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
HALAMAN PENETAPAN TESIS TELAH DIUJI .......................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
v
RINGKASAN .................................................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................................
vii
ABSTRACT ....................................................................................................
viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .....................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................
16
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................
16
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................
16
1.5. Originalitas Penelitian............................................................
17
1.6. Landasan Teoritis .................................................................
19
1.6.1. Teori Perlindungan ...................................................
19
1.6.2. Teori hukum feminis .................................................
23
1.6.3. Teori Pemasyarakatan ..............................................
28
1.6.4. Teori Kebijakan hukum.............................................
33
1.6.5. Teori Keadilan ...........................................................
40
1.7. Metode Penelitian..................................................................
48
1.7.1. Jenis Penelitian..........................................................
48
1.7.2. Metode Pendekatan...................................................
49
1.7.3. Sumber Bahan Hukum ..............................................
50
1.7.4. Teknis Pengumpulan Bahan Hukum .........................
52
1.7.5. Tehnis Analisis .........................................................
52
xiii
xiv
BAB II
TINJAUAN UMUM 2.1. Perlindungan Hukum Terhadap Narapidana Wanita ...........
54
2.2. Pembinaan Narapidana dan Konsep Sistem Pemasyarakatan ..................................................................... BAB III
72
BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM NARAPIDANA WANITA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN SISTEM PEMASYARAKATAN 3.1. Perlindungan Hukum Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan .....................................................................
79
3.2. Proses Pembinaan Narapidana Wanita dalam Sistem Pemasyarakatan ..................................................................... BAB IV
PERLINDUNGAN
HUKUM
DALAM
PEMASYARAKATAN
SISTEM
NARAPIDANA DI
86
WANITA LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS II A DENPASAR 4.1. Hak Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan ........ 113 4.2. Upaya-Upaya Perlindungan Yang Telah Dilakukan ............ 132 BAB V
PENUTUP 5.1. Simpulan .............................................................................. 136 5.2. Saran ...................................................................................... 137
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN
xiv
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wanita sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapat jaminan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia kelompok wanita sama seperti jaminan kepada kelompok lainnya.1 Prinsip non diskriminasi menjadi jiwa dari seluruh Konvensi Internasional terhadap wanita, dalam Pasal 4 ayat 2 Konvensi Perempuan secara tegas menyebutkan ‖pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta termasuk peraturan yang dimuat dalam konvensi ini yang ditujukan untuk melindungi kehamilan maupun kepentingan wanita lainnya harus menjadi perhatian‖2 Wanita Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan dan menempati posisi yang sangat signifikan dalam kehidupan dan pembangunan di Indonesia. Wanita Indonesia apakah sebagai ibu, istri, anak, nenek, pekerja kantoran, orang rumahan, hingga profesional, semuanya memberikan kontribusi yang tak dapat disepelekan. Sayangnya penghargaan terhadap Wanita Indonesia sering sekali tidak sepadan dengan pengorbanannya.
1
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan, PT. Revika Aditama, cet. I, Bandung, hal. 2. Sri Wiyanti Eddyono, 2004, Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal.7. 2
1
2
Kedudukan wanita dalam sistem sosial, budaya, politik, hingga hukum pun seringkali tidak sepadan dan tidak setara dengan laki-laki.3 Menurut Charlote Bunch seorang aktivis HAM perempuan, menyatakan bahwa sebetulnya selama ini hak-hak perempuan telah dilanggar dengan berbagai cara. Dalam kondisi politik tertentu sebenarnya baik perempuan maupun laki-laki mengalami atau menjadi korban kekerasan, namun karena aktor-aktor politik selama ini didominasi oleh laki-laki, masalah perempuan sebagai korban kekerasan yang terlanggar HAM-nya berkaitan dengan keperempuanannya menjadi tidak kelihatan (invisible).4 Lebih lanjut Bunch menyatakan bahwa saat ini, isu perempuan secara konkrit harus menjadi fokus perhatian negara di tingkat nasional, regional maupun internasional. Hanya dengan cara tersebut, isu perempuan dapat dianggap sebagai masalah negara dan bangsa, dan bukan masalah golongan perempuan saja.5 Masih maraknya kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap wanita, dalam ranah publik dan domestik, sampai saat ini, sering kali menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana hukum Indonesia telah melindungi wanita. Kaum wanita sering kali menjadi korban dalam segala hal seperti : “ Victim of rape, Wife beating, Street harassment, Sexual harassment at work, ect”.6 3
Jurnal Legislasi Indonesia, 2010, Kedudukan Hukum Perempuan di Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, CV. Ami Global Indonesia, hal. 212. 4 Saparinah Sadli, 2000, Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, dalam Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 1 5 Ibid., hal. 2 6 Andrew Karmen, 1984, Crime Victims An Introduction to Victimology, Book /Cole Publishing Company, USA. Hlm. 17.
3
Kesetaraan wanita dan laki-laki di Indonesia selalu menjadi pertanyaan yang tak habis-habisnya diajukan. Karena secara sosial dan budaya, telah berpuluh tahun lamanya, bahkan sebelum Indonesia merdeka, wanita Indonesia menjadi obyek diskriminasi dan ketidak adilan. Ketidak adilan ini adalah apabila dibandingkan dengan kedudukan dan perlakuan yang diterima oleh laki-laki. Sejarah ketidakadilan yang dialami wanita Indonesia ini tentunya harus diakhiri. Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan sudah menjamin kesetaraan dan hak-hak wanita. Namun tak dipungkiri ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap wanita. Kedudukan wanita dalam hukum Indonesia sudah dijelaskan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 27 UUDN RI Tahun 1945 telah ditentukan bahwa semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan bahwa setiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tetapi sebenarnya kaum wanita masih banyak tertinggal dalam berbagai bidang yang perlu mendapat perhatian serius. Di bidang pendidikan, wanita terbelakang dengan pria. Di kantor-kantor pemerintah, perusahaan dan industri, wanita biasanya menduduki posisi lebih rendah dan jarang sekali mendapat posisi pimpinan.7 Pasal 28 D Ayat 1 UUDNRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa : Setiap orang berhak atas pengakuan, 7
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, 1983, Anak dan Wanita dalam Hukum, LP 3 ES, Jakarta, hlm.63.
4
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Frase setiap orang di sini menegaskan bahwa baik wanita maupun laki-laki adalah memiliki hak-hak yang sama dihadapan hukum. Kesetaraan kedudukan wanita ini dipertegas lagi dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan sebagai berikut : (1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan. (2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum. (3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi. Berbeda dengan Pasal 28 UUDNRI Tahun 1945 yang berisikan kaidahkaidah umum tentang kesetaraan antara laki-laki dan wanita. UndangUndang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) secara eksplisif mengatur hak-hak wanita yaitu bagian kesembilan pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 51. Muatan perlindungan hak-hak tersebut antara lain : hak wanita adalah bagian dari HAM (Pasal 45), pengakuan hak politik wanita (Pasal 46), Hak wanita atas kewarganegaraan (pasal 47), hak wanita atas pendidikan dan pengajaran (Pasal 48), hak wanita atas pekerjaan (pasal 49), hak wanita atas kesehatan reproduksi (pasal 49), hak wanita atas perbuatan hukum yang mandiri (pasal 50), dan hak wanita dalam perkawinan, perceraian dan pengasuhan anak (pasal 51). Sementara ini tengah hadir produk hukum lain yang secara jelas melindungi kedudukan
5
wanita dan merupakan buah perjuangan dari gerakan-gerakan wanita Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT).8 Perlindungan hukum terhadap wanita yang lebih lengkap dan komprehensif hadir jauh hari sebelumnya, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 yang merupakan ratifikasi terhadap CEDAW (Comvention on Elimination of Discrimination of All Form Against Women), hal ini dimaksudkan menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita. Negara akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. Pasal 1 CEDAW menegaskan istilah ―diskriminasi‖ berarti setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang apapun berdasarkan persamaan antara pria dan wanita.9 Khusus terhadap wanita yang berstatus tahanan/narapidana harus mendapat perhatian yang sewajarnya dari para pembentuk Undang-undang. Dewasa ini peluang wanita dalam hal mensejajarkan dirinya dengan laki-laki sudah terbuka. Diharapkan wanita mampu meraih kesempatan dan menunjukkan
kemampuannya.
Dengan
adanya
peluang
wanita
mensejajarkan diri dengan laki-laki menyebabkan besarnya peluang wanita
8
Ibid., hal. 215. Kelompok Kerja Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Asasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta, Obor, 2004, hlm . 5-6. 9
6
melakukan kejahatan. Keterlibatan wanita sebagai pelaku kriminalitas bukan merupakan sesuatu yang baru, walaupun keterlibatan ini relative lebih kecil dibandingkan pria. Kriminalitas dilakukan kaum wanita dengan segala aspek yang melingkupi antara lain kondisi yang memaksa untuk melakukan kriminalitas dan faktor ekonomi yang tidak dapat dihindarinya. Di mata hukum yang berbuat kriminal dianggap bersalah dan harus dipidana sesuai dengan tingkat kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan, sehingga harus menjalani proses hukum di suatu tempat khusus yaitu Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir di dalam sistem peradilan pidana merupakan lembaga yang tidak mempersoalkan apakah seseorang yang hendak direhabilitasi ini adalah seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak. Tujuan lembaga pemasyarakatan adalah pembinaan pelanggar hukum, jadi tidak semata-mata melakukan pembalasan melainkan
untuk
pemasyarakatan
dengan
berupaya
memperbaiki
(merehabilitasi) dan mengembalikan (mengintegrasikan) narapidana ke dalam
masyarakat
ini
merupakan
landasan
filosofi
dari
sistem
pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang
terkandung
dalam
pancasila.
Untuk
melaksanakan
sistem
7
pemasyarakatan tersebut diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya. Menurut
Undang-Undang
No.
12
tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan Pasal 1 ayat ( 1 ) yang dimaksud dengan Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Maksud yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan itu adalah bahwa pembinaan narapidana itu berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi narapidana itu. Walaupun istilah pemasyarakatan itu sudah muncul pada tanggal 5 Juli 1963, namun prinsip-prinsip mengenai pemasyarakatan itu sendiri baru dikembangkan setelah berlangsungnya Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat tanggal 27 April 1964. Konferensi Lembang tersebut di rumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana dan anak didik sebagai berikut : 1. ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna; 2. penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh Negara. Ini berarti bahwa tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik, baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh narapidana dan anak didik hendaknya hanyalah
8
dihilangkannya kemerdekaannya untuk bergerak dalam masyarakat bebas; 3. berikan bimbingan, bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat. Berikan kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya; 4. negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelumnya dijatuhi pidana, misalnya dengan mencampurbaurkan narapidana dan anak didik, yang melakukan tindak pidana berat dengan yang ringan, dan sebagainya; 5. selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain kontak dengan masyarakat dapat terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan kedalam Lembaga Pemasyarakatan dari anggota-anggota masyarakat bebas, dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga; 6. pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan negara pada waktu-waktu tertentu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang terdapat di masyarakat, dan yang menunjang pembangunan, umpamanya menunjang usaha meningkatkan produksi pangan; 7. bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila. Antara lain ini berarti bahwa kepada mereka harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, disamping pendidikan kerokhanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan spiritual; 8. narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia. Martabatnya dan perasaannya sebagai manusia harus dihormati; 9. narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialaminya; 10. disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.10
10
Departemen Kehakiman, Dari Sangkar ke Sangkar Suatu Komitmen Pengayoman, Jakarta,1979, halaman 9-10.
9
Sebagai manusia ciptaan Tuhan, walaupun menjadi terpidana hakhak yang melekat pada dirinya tetap harus dihargai. Hak itu harus diakui dan dilindungi oleh hukum, baik yang berasal dari hukum nasional maupun sistem pemasyarakatan Indonesia yang jelas-jelas berdasarkan Pancasila. Secara umum Hak – hak narapidana ini telah tertuang dalam UndangUndang Nomor : 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yaitu:
1. 2. 3. 4. 5. 6.
melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani mendapatkan pendidikan dan pengajaran mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak menyampaikan keluhan mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang 7. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan 8. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya 9. mendapatkan pengurangan masa pidana 10. mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi keluarga 11. mendapatkan pembebasan bersyarat 12. mendapatkan cuti menjelang bebas 13. mendapatkan hak-hak Narapidana sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 11
Narapidana mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diayomi. Hak antara narapidana pria, narapidana wanita dan narapidana anak berbedabeda. Dalam hal ini masing-masing narapidana harus ada yang dikedepankan. Sudah menjadi kodrat wanita mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak dipunyai oleh narapidana lain, sehingga sudah menjadi suatu kewajaran bahwa narapidana wanita mempunyai hak-hak khusus dibandingkan dengan narapidana lain. Bila melihat ketentuan yang diatur dalam 11
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan, Jakarta, 2003, hlm . 247.
10
Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ternyata masalah narapidana wanita tidak ada pengaturannya. Karena yang disebutkan hanya narapidana tidak dibedakan antara narapidana laki-laki maupun wanita, ini berarti telah terjadi kekosongan norma, sehingga kedepan hal ini perlu mendapat pengaturan norma antara narapidana lakilaki dan wanita tidak bisa diperlakukan sama, mengingat perbedaan pisik dan psikologis laki-laki dan wanita. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang
syarat
dan
Tata
Cara
Pelaksanaan
Hak
Warga
Binaan
Pemasyarakatan. Pengaturan mengenai pelaksanaan hak narapidana wanita tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1999, tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1999, memuat perlindungan terhadap narapidana wanita yaitu: (1)
(2) (3)
(4)
narapidana dan Anak didik pemasyarakatan yang sakit, hamil dan menyusui berhak mendapat makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter. makanan tambahan juga diberikan kepada narapidana yang melakukan jenis pekerjaan tertentu anak dari narapidana wanita yang dibawa ke dalam LAPAS ataupun yang lahir di LAPAS dapat diberi makanan tambahan atas petunjuk dokter, paling lama sampai berumur 2 (dua) tahun. dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 telah mencapai umur 2 (dua) tahun, harus diserahkan kepada bapaknya atau sanak keluarga, atau pihak lain atas persetujuan ibunya dan dibuat dalam satu berita acara.
11
(5)
untuk kepentingan kesehatan anak, Kepala LAPAS dapat menentukan makanan tambahan selain sebagaimana di maksud dalam ayat 3 berdasarkan pertimbangan.12
Pengaturan mengenai perlindungan terhadap narapidana secara umum telah tertuang dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1995, sedangkan secara khusus perlindungan terhadap narapidana wanita terbatas hanya tertuang dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1999. Narapidana wanita dibina dan dididik untuk menjadi warga negara yang baik dalam Lembaga Pemasyarakatan, di mana mereka juga mempunyai hakhak sebagai narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan yang hak-haknya
harus dipenuhi oleh Lembaga Pemasyarakatan, yang pada akhirnya mereka akan dikembalikan kepada masyarakat. Melihat lebih jauh kondisi Lembaga Pemasyarakatan, penulis mengambil bahan hukum di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar. Di Bali ada 5 Lembaga Pemasyarakatan yaitu Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar terletak di Denpasar, Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tabanan terletak di Kabupaten Tabanan, Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Singaraja terletak di Kabupaten Singaraja, Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Karangasem terletak di Kabupaten Karangasem dan Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIB Karangasem di Kabupaten Karangasem. Di samping itu di Bali ada 4 Rumah tahanan Negara (RUTAN) yaitu RUTAN Gianyar terletak di Kabupaten Gianyar, RUTAN Bangli terletak di Kabupaten Bangli, RUTAN Klungkung terletak di Kabupaten Klungkung
12
Ibid., hlm . 597
12
dan RUTAN Negara terletak di Kabupaten Jembrana. Keseluruh Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara merupakan Unit pelaksanaan Teknis (UPT) Pemasyarakatan di bawah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Propinsi Bali. Lembaga Pemasyarakatan yang terbesar di Bali adalah Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar, Lembaga Pemasyarakatan ini yang berlokasi di Desa Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, yang mulai dibangun tahun 1977 dan mulai difungsikan tahun 1983. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar saat ini, di lihat dari Kapasitas ideal isi Lapas sebanyak 323 orang, sedangkan keadaan isi sebenarnya per akhir tahun 2010 sebesar 521 orang sehingga terjadi over kapasitas. Dalam kondisi over kapasitas tersebut masih juga harus dilakukan pemisahan atas kualifikasi antara lain : Blok Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) pidana mati dan seumur hidup, Blok WBP tindak Pidana terorisme, Blok WBP Khusus narkoba. Pada kenyataannya, selain melaksanakan fungsi Lapas, Lapas Klas II A Denpasar juga memiliki fungsi yaitu : - sebagai Rumah tahanan Negara (RUTAN) - sebagai Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) - sebagai Lembaga Pemasyarakatan Wanita - sebagai Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Keadaan demikian menyebabkan tingkat perhatian petugas terhadap pembinaan kurang optimal terhadap narapidana wanita karena digabung
13
dalam satu areal apalagi terdapat ketidak seimbangan rasio jumlah petugas pembina dengan jumlah isi Lapas. Keadaan sosio kultural yang kompleks dari isi Lapas dikarenakan Pulau Bali sebagai daerah kunjungan pariwisata, sehingga penanganan pembinaan WBP bersifat heterogen diantaranya : WBP WNI, WBP Asing, WBP WNI Penduduk Bali dan Luar Bali. Melihat fungsi LAPAS Klas II A Denpasar tersebut begitu komplek perlu dilakukan kebijakan dengan pembentukan Lapas Khusus Narkotika tingkat propinsi dan Lapas Khusus Wanita yang sampai saat ini di Bali belum ada. Khusus terhadap narapidana wanita yang selama ini berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar masih satu areal dengan Narapidana laki-laki tetapi ditempatkan pada blok khusus wanita. Berikut ini akan diuraikan jumlah narapidana wanita lima tahun terakhir dengan jenis tindak pidananya. Tabel I. Narapidana Wanita dan Jenis Kejahatannya NO.
Jenis Tindak Pidana
Th.
Th.
Th.
Th.
Th.
2006
2007
2008
2009
2010
1.
Pencurian
10
13
20
10
19
2.
Psikotropika
15
12
8
10
9
3.
Narkotika/narkoba
12
14
12
12
11
4.
Penggelapan
12
14
7
6
5
5.
Penipuan
12
10
6
5
2
6.
Judi
4
12
47
58
TOTAL
61
63
Sumber : Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar
53
14
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa, jumlah narapidana wanita dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 berpariasi, mulai tahun 2006 terjadi peningkatan dan pada tahun terakhir terjadi penurunan. Dilihat dari jenis tindak pidana Tahun 2006, tindak pidana Psikotropika memegang urutan tertinggi, Tahun 2006
tindak pidana Psikotropika jumlah yang
tertinggi, Tahun 2007 tindak pidana narkotika/narkoba dan penggelapan sama- sama tinggi, tahun 2008 tindak pidana pencurian jumlahnya paling tinggi, tahun 2009 tindak pidana narkotika paling tinggi, tahun 2010 tindak pidana pencurian paling tinggi. Perkembangan tindak pidana yang dilakukan narapidana wanita dari tahun ketahun berpariasi jumlahnya untuk mengatasinya disinilah dituntut kesadaran hukum masyarakat khususnya bagi wanita, artinya ketiga unsur dalam proses pemasyarakatan antara narapidana,
petugas
pemasyarakatan
dan
masyarakat
harus
saling
mendukung. Permasalahan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang sebagian besar kita jumpai adalah adanya over kapasitas (kelebihan kapasitas hunian), tidak adanya
pengkhususan
lembaga
pemasyarakatan
seperti
lembaga
pemasyarakatan khusus wanita atau lembaga pemasyarakatan khusus narkotika hal ini sangat berpengaruh sekali
dalam pelaksanaan proses
pembinaan yang didalamnya sangat berkaitan erat dengan perlindungan terhadap
hak-hak
narapidana.
Sering
dijumpai
dalam
lembaga
pemasyarakatan bahwa hak-hak narapidana belum diberikan sesuai dengan hak mereka sebagai warga negara. Hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor,
15
selain faktor di atas juga perlu adanya pemahaman oleh petugas lembaga pemasyarakatan dan oleh narapidana itu sendiri terhadap peraturan hak-hak narapidana yang tertuang dalam Undang-Undang. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas maka terdapat dua permasalahan pokok yang akan dibahas yaitu : 1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita dalam sistem pemasyarakatan. 2. Apakah perlindungan narapidana wanita sudah sesuai dengan sistem pemasyarakatan 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Mengetahui dan menganalisis masalah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita dalam Sistem Pemasyarakatan. Tujuan Khusus : 1. Mengetahui, mengkaji dan menganalisis perlindungan yang diberikan narapidana wanita dalam sistem pemasyarakatan. 2. Mengetahui, mengkaji dan menganalisis perlindungan narapidana wanita sudah sesuai dengan sistim Pemasyarakatan. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat : 1. Manfaat Teoritis
16
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengisi dan memperluas khasanah teori di bidang hukum pidana. Khususnya, pengembangan sistem pidana dan pemidanaan yang mencakup pemahaman secara mendalam terhadap sistem pemasyarakatan dan perlindungan hukum terhadap narapidana wanita. 2. Manfaat Khusus Diharapkan
dapat
memberikan
bentuk
pola
perlindungan
bagi
pembentuk undang-undang, akademisi, hakim, polisi, jaksa, advokat dan masyarakat luas. Sehingga buah pikiran tesis ini dapat dijadikan acuan dalam melindungi narapidana wanita dalam sistem pemasyarakatan. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan pengembangannya lebih lanjut melalui pengkajian dan penelitian yang komprehensif. 1.5. Originalitas Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Pascasarjana Universitas Udayana dan beberapa Universitas maka penelitian dengan judul Perlindungan Hukum Narapidana Wanita dalam Sistem Pemasyarakatan, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi, pernah ada yang meneliti tentang Sistem pemasyarakatan
yang dilakukan oleh saudara Ketut Sandiyasa
mahasiswa sekolah Pascasarjana Universitas Udayana NIM. 9913056124 dengan judul Sub-Kultur Narapidana Dalam Proses Pembinaan Narapidana Dengan Sistem Pemasyarakatan (Penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II a Denpasar), Rumusan Masalah: (1) apakah transformasi kebiasaan-
17
kebiasaan serta budaya dalam kehidupan penjara dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pembinaan narapidana, (2) apakah dalam sistem pembinaan narapidana, klasifikasi sistem kepenjaraan masih dipergunakan sebagian pedoman dasar dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana. Tentang Sistem Pemasyarakatan penelitian pernah juga dilakukan oleh saudara I Made Rai Mardingga NIM. 0590561008 dengan judul Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan (Suatu Studi di Lembaga Pemasyarakatan
Denpasar)
Rumusan
Masalah:
(1)
Bagaimanakah
pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar, (2) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Denpasar. Selain di Universitas Udayana, di Universitas lainnya di Medan pernah ada yang meneliti tentang Narapidana Wanita yang dilakukan oleh Rita Ristiwati NIM : 077005020 yang berjudul Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan dengan rumusan masalah : (1) Bagaimanakah pola pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan terhadap Narapidana, (2)
Faktor-faktor apa saja yang menjadi
penghambat dalam pelaksanaan pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan, (3) Upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita
18
Tanjung Gusta Medan dalam mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi menuju Sistem Pemasyarakatan yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan di Universitas Negeri Semarang oleh Tiwan Setiawan, 3401401026 (2006) dengan judul Model Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Semarang. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Semarang, (2) Bagaimanakah efektifitas pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Semarang, (3) Faktor apa saja yang menghambat proses pembinaan terhadap narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Semarang. Penelitian
yang
dilakukan
di
Universitas
Tangerang
oleh
Hardaningsih (2004) dengan judul Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
di
Lembaga
Pemasyarakatan
Wanita
Tangerang.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tangerang, (2) Faktor apa saja yang menghambat proses pembinaan terhadap narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tangerang. Dengan melihat beberapa judul penelitian di beberapa Universitas, bahwa judul penelitian ini berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi isinya.
19
1.6. Landasan Teoritis Pengkajian mengenai perlindungan hukum terhadap narapidana wanita di dalam lembaga pemasyarakatan, ada beberapa konsep atau teori yang nanti digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis masalah ini. Asas- asas perlindungan hukum bersumber dari Pancasila sebagai landasan Idiil, UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), dan Undang-Undang sebagai asas operasional. Dalam Pancasila konsep perlindungan hukum mempunyai landasan idiil (filosofis) hukumnya pada sila ke -5 yaitu ―Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia‖. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di dalamnya terkandung suatu ―hak‖ seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum maka pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguan /ancaman dari pihak manapun juga.13 Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan/tuntutan hukum dari si pemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum.14 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali berhak memperoleh keadilan, baik itu laki-laki atau wanita meskipun dia sebagai narapidana atau
13
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan Raisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, hlm. 152 14 Ibid.
20
tidak berhak memperoleh perlakuan yang adil dalam konteks perlindungan hukum tersebut. Konsep
perlindungan
hukum
juga
memperoleh
landasan
konstitusional (struktural) dalam pembukaan UUD 1945 pada alenia ke-4 yang menyatakan sebagai berikut : ― Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi atau keadilan sosial ......... ― Dari kutipan di atas, ada dua kata yang menjadi landasan konstitusional bagi lahirnya konsep perlindungan hukum yaitu kata ―segenap bangsa‖ dan kata ―melindungi‖. Dari dua kata ini terkandung asas perlindungan hukum pada segenap bangsa tanpa kecuali, baik laki-laki ataupun wanita, orang kaya atau miskin, orang kota atau desa, orang Indonesia asli atau keturunan, anggota TNI/Polri, Jaksa, Hakim, Pengacara dalam melaksanakan kegiatan/pekerjaan/tugas sehari-hari.15 Perlindungan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat terdiri dari dua bagian besar yaitu 16: a. perlindungan hukum aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar b. perlindungan hukum pasif yang dimaksudkan mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Usaha mewujudkan perlindungan hukum ini termasuk di dalamnya adalah : 15
AZ Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media, hal. 31. 16 Abdul Manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenede Media, hal. 23.
21
1. 2. 3. 4.
mewujudkan ketertiban dan ketentraman mewujudkan kedamaian sejati mewujudkan keadilan bagi seluruh warga masyarakat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan baik lahir maupun batin penerapan perlindungan hukum yang berkeadilan sosial. Begitu juga dengan ketentraman dianggap sudah ada jika warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka. 17 Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep perlindungan hukum mempunyai makna yaitu ―Segala daya upaya yang menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali‖.18 M. Yahya Harahap menulis bahwa setiap manusia, apakah itu tersangka atau terdakwa harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai harkat martabat dan harga diri. Mereka bukan barang dagangan yang dapat diperas dan dieksploitasi untuk memperkaya dan mencari keuntungan bagi pejabat penegak hukum. Mereka harus diperlakukan bukan binatang dan bukan sampah masyarakat yang dapat diperlakukan dengan kasar, kejam dan bengis.19 Mereka adalah manusia yang harus diakui dan dihargai :
17
Dudu Dusuna, Mahjudin, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Bandung, Renika Aditama, hlm .26-27. 18 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali Grafindo Persada, hlm. 23. (Selanjutnya disebut Soerjono I) 19 M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm . 122-123.
22
1. sebagai manusia yang mempunyai derajat yang sama dengan manusia selebihnya; 2. mempunyai hak perlindungan hukum yang sama dengan manusia selebihnya; 3. mempunyai hak sama dihadapan hukum, serta perlakuan keadilan yang sama di bawah hukum. Berbagai
kebijakan
dan
program
telah
dilakukan
untuk
memperjuangkan hak-hak wanita tersebut, dan hasilnya masih harus dan perlu terus ditingkatkan. Salah satu kebijakan melalui perangkat perundangundangan adalah dengan dirativikasinya Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. Konvensi ini merupakan salah satu indikasi telah adanya perlindungan perbedaan perlakuan terhadap seseorang atas dasar perbedaan jenis kelamin. Dengan adanya ketentuan tersebut, artinya wanita secara khusus diberikan jaminan perlindungan hak dalam berbagai hal. Meski demikian, posisi hak mereka masih juga rentan terhadap berbagai pelanggaran, sehingga dalam berbagai aspek kehidupan, kaum wanita belum dapat meraih hak-haknya secara nyata. Kesetaraan antara kaum wanita dengan laki-laki adalah suatu perjuangan yang cukup panjang dan hingga kini masih terus diperjuangkan. Menurut
Satjipto
Rahardjo,
Perlindungan
Hukum
adalah
‖ Memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
23
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum‖.20 Sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menghubungkan perlindungan terhadap hak asasi manusia menurut Adnan Buyung Nasution, perlindungan hukum adalah ― melindungi harkat dan martabat manusia dari pemerkosaan yang pada dasarnya serangan hak pada orang lain telah melanggar aturan norma hukum dan undang-undang.21 Dari pendapat tersebut di atas, perlindungan hukum terhadap wanita yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah melindungi harkat dan martabat wanita yang berbeda secara psikologis dengan laki-laki yang pada dasarnya serangan hak pada orang lain telah melanggar aturan norma hukum dan undang-undang serta memberikan perlindungan kepada wanita agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Telah banyak teori hukum yang dihadirkan karena adanya fenomena ketidakadilan di dalarn masyarakat. Salah satunya yang menyoroti peranan hukum yang dirasakan terlalu banyak memberikan keberpihakan, kepada sebagian golongan saja, karena hukum disusun oleh golongan tersebut. Salah satu yang menyoroti adanya ketidakadilan dalarn implementasi hukum dan mempertanyakan netralitas hukum, adalah Teori Hukum Feminis. Teori Hukum Feminis sebagai sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap wanita dan diskriminasi yang didapat wanita dari hukum. Sebelum memasuki area hukum, beberapa pemikiran feminis telah mulai membicarakan dan menyoroti fenomena20
Satjipto Rahardjo, 2007, Penyelenggaraan Keadilan dalam masyarakat yang sedang Berubah (Masalah-Masalah Hukum) Nomor : 16. 21 Adnan Buyung Nasution, 1996, Hukum dan Keadilan, Nomor 1.
24
fenomena yang terjadi berkaitan dengan peranan dan status sosial wanita di dalam masyarakat, termasuk di antaranya bagaimana masyarakat dan politik berperan dalarn menempatkan wanita dalam wacana pemikirannya. Kajian tentang bagaimana hukum mengatur mengenai masalah-masalah wanita juga kemudian tidak luput dari kajian pemikiran feminis. Feminist Jurisprudence adalah filsafat hukum yang didasarkan pada kesetaraan dalam biding politik, ekonomi, dan sosial. Melalui beberapa pendekatan, feminis telah mengidentifikasi unsur-unsur gender dan akibatnya pada hukum yang netral serta pelaksanaanya. Hukum akan mempengaruhi masalah-masalah perkawinan, perceraian, hak reproduksi, perkosaan, dan kekerasan terhadap wanita.22 Walaupun feminis memiliki komitmen umum untuk kesetaraan, feminist jurisprudence terpisah ke dalam tiga aliran besar yaitu : a. Feminis traditional menyatakan bahwa wanita sama rasionalnya dengan laki-laki dan karenanya harus memiliki kesempatan yang sama dalam memilih. b. Feminis liberal menentang asumsi adanya kewenangan kaum laki-laki dan berusaha menghapus perbedaan gender yang disebabkan oleh hukum yang sekaligus membuat wanita mampu bersaing di dalam pasar bebas. c. Feminis kultural memfokuskan diri pada perbedaan antara lakilaki dan wanita. Kelompok ini menekankan pentingnya relasi
22
Niken Savitri, Op.Cit., hlm. 27.
25
antara dua golongan tersebut dan tujuannya adalah memberikan pengakuan setara kepada wanita bahwa wanita memiliki nilainilai moral untuk komunitasnya dalam hal pemberian kasih sayang.23 Perlindungan hukum pada wanita seyogyanya berangkat dari analisis gender, diskriminasi gender, dan ketidakadilan gender. Apalagi, menurut Tapi Omas Ihromi, telah banyak sekali rumusan dalam Undang-Undang kita yang sudah adil dari segi gender, namun dalam kenyataan masih belum terwujud. Masyarakat masih tertinggal dalam sikap, dalam pemikiran, dalam konsep gender.24 Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun wanita yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa wanita itu dikenal sebagai lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat yang lain. Juga perubahan bisa terjadi dari kelas kekelas masyarakat yang berbeda. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat wanita dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda dari tempat ketempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain itulah yang dikenal dengan konsep gender.
23
Ibid, hlm. 28. Tapi Omas Ihromi, 1997, Mengupayakan Kepekaan Jender Dalam Hukum : Contohcontoh dari Berbagai Kelompok Masyarakat dalam Perempuan dan Pemberdayaan, Obor, Jakarta, hlm . 191. 24
26
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan wanita. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum wanita. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan wanita menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan yakni : diskriminasi, proses pemiskinan ekonomi, anggapan tidak penting dalam keputusan politik, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.
25
Sistem nilai seperti itu perlu diperbaiki agar masyarakat baik lakilaki maupun wanita, dapat menjadi pelaku aktif pembangunan di segala bidang kehidupan demi kesejahteraan manusia. Terutama karena pada
25
Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit., hlm . 227-229.
27
kenyataannya masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan hukum dan kebijakaan yang memberi peluang terjadinya ketimpangan gender (terutama ketimpangan wanita). Untuk menghindari agar kaum marginal tidak menjadi korban hukum, termasuk dalam hal ini adalah narapidana wanita, maka fungsi pemberdayaan masyarakat sipil, grup penekan dan mass media merupakan faktor yang sangat menentukan ” highligted the growing role of journalists and lawyers in monitoring ang preventing illegal police activity/ law enforcement” .26 Terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan laki-laki wanita dan menghapusnya ketimpangan gender melalui upaya-upaya pemberian hak, kesempatan, peluang, kedudukan dan peranan yang sama kepada kedua jenis kelamin manusia demi menegakkan keadilan bagi kedua gender tersebut dengan menghapuskan nilai-nilai yang tidak demokratis dalam pembagian tugas dan peran mereka. Secara akademis sistem pemasyarakatan lahir sebagai gagasan Sahardjo Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada tahun enam puluhan. Gagasan ini secara ilmiah tertuang dalam orasi ilmiahnya pada waktu penerimaan penganugrahan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia di Istana Negara Jakarta tanggal 5 Juli 1963, dengan judul ―Pohon Beringin Pengayoman‖. Tujuan dari pidana penjara menurut Sahardjo :
26
Penny Green and Tony Ward, 2004, State Crime, Governments, Violence and Corruption”, Pluto Press, First Published, London, hlm. 85.
28
―Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosial Indonesia yang berguna.‖27 Secara singkat menurut pandangan Sahardjo tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan. Selanjutnya Komariah Emong mengemukakan bahwa pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut, dijadikan prinsip-prinsip pokok dari konsepsi pemasyarakatan, sehingga bukan lagi semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan sistem pembinaan narapidana, yang sekaligus merupakan suatu methodelogi di bidang “Treatment of offenders.28 Secara
konseptual
pembinaan
narapidana
dan
anak
didik
pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan berbeda dengan perlakuan narapidana
berdasarkan
sistem
pemasyarakatan.
Di
dalam
sistem
pemasyarakatan, terdapat proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu proses sejak seseorang narapidana atau anak didik masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai lepas kembali ke tengah-tengah masyarakat. Pemikiran-pemikiran baru mengenai pembinaan tidak lagi mengenai penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi sosial warga binaan, maka Pemasyarakatan melahirkan suatu pembinaan yang di kenal dan dinamakan Sistem Pemasyarakatan.
27
Sistem
Pemasyarakatan
menurut
Sejarah Pembentukan UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, 1997, Direktorat Jenderal Hukum dan perundang-Undangan Departemen Kehakiman, Jakarta, hlm.51. 28 R.Achmad S. Soemadipraja dan Romli Atmasasmita, 1979, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung, Bina Cipta hal.13.
29
Bambang Poernomo adalah sebagai berikut : ―Suatu elemen yang berinteraksi yang membentuk satu kesatuan yang integral, berbentuk konsepsi tentang perlakuan terhadap orang yang melanggar hukum pidana di atas dasar pemikiran rehabilitasi, resosialisasi yang berisi unsur edukatif, korelatif, defensif yang beraspek pada individu dan sosial‖ 29 Pemasyarakatan yang berarti memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga negara yang baik dan berguna, pada hakekatnya adalah
resosialisasi.
Namun
resosialisasi
dalam
kontek
strategi
pemasyarakatan menurut Romli Atmasasmita, perlu diperjelas.30 Berbicara masalah konsep resosialisasi, maka terlebih dahulu harus mengerti tentang konsep sosialisasi, jika tidak maka tidak akan mengerti sepenuhnya apa yang diinginkan dengan konsep resosialisasi ataupun kaitan kedua konsep tersebut. Selain konsep resosialisasi ada istilah prisonization secara essensial adalah proses sosialisasi di dalam penjara. Istilah prisonization dan socialization pada hakekatnya memiliki arti yang sama dengan sifat tujuan yang berbeda. Sosialisasi adalah suatu proses interaksi bagi seseorang narapidana untuk menjadi warga yang baik dan patuh pada hukum, sedangkan prisonization adalah suatu proses interaksi antara narapidana di lembaga untuk menjadi lebih baik daripada sebelum seseorang masuk penjara.
29
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta; Liberty, hlm.183. (Selanjutnya disebut Bambang I) 30 Romli Atmasasmita, 1982, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Bandung, Armico, hal 44. (Selanjutnya disebut Romli I)
30
Dari uraian tentang konsep resosialisasi dan konsep pemasyarakatan yang dicetuskan oleh Sahardjo, belum terdapat penjelasan secara tuntas perihal pemasyarakatan dalam kontek resiosialisasi tersebut. Untuk mempertegas batas-batasnya, maka harus diperhatikan ketiga arti dari resosialisasi sebagai berikut : 1) Menimba kembali pengetahuan narapidana, kemampuannya dan motivasinya. 2) merubah sistem nilai yang dianut oleh narapidana. 3) readaptasi sistem nilai-nilai yang berlaku di masyarakat bebas. Hal lain perlu diperhatikan adalah tiga subyek yang sangat penting dalam
sistem
pemasyarakatan,
yaitu
narapidana,
petugas
lembaga
pemasyarakatan, dan masyarakat. Dengan mengikutsertakan ketiga subyek ke dalam suatu proses interaksi dan menempatkan arti resosialisasi yang kedua dan ketiga tersebut diatas, maka dapat diberikan batasan yang dapat mendekati dan sesuai dengan strategi pemasyarakatan. Jadi resosialisasi adalah suatu proses interaksi antara narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan, dan masyarakat, dan kedalam proses interaksi mana termasuk merubah sistem nilai-nilai dari narapidana, sehingga ia akan dapat dengan baik dan efektif mereadaptasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.31 Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas asas Pancasila yaitu memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu, dan sekaligus sebagai anggota masyarakat dan
31
Romli Atmasasmita I, Op.Cit, hlm .53.
31
sistem pemasyarakaat ini tetap mengedepankan hak-hak narapidana dan anak didik pemasyarakatan.32 Sehubungan dengan pengertian pembinaan Sahardjo yang dikutip oleh Petrus dan Pandapotan melontarkan pendapatnya sebagai berikut : ― Narapidana bukan orang hukuman melainkan orang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan‖.33 Sistem Pemasyarakatan (narapidana) itu sendiri dilaksanakan berdasarkan asas: 1. pengayoman 2. persamaan perlakuan dan pelayanan 3. pendidikan 4. pembimbingan 5. penghormatan harkat dan martabat manusia 6. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan 7. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Pembinaan narapidana menurut sistem pemasyarakatan terdiri dari pembinaan didalam lembaga, yang meliputi pendidikan agama, pendidikan umum, kursus ketrampilan, rekreasi, olah raga, kesenian, kepramukaan, latihan kerja asimilasi, sedangkan pembinaan diluar lembaga antara lain bimbingan selama terpidana, mendapat bebas bersyarat, cuti menjelang bebas. 32
Sejarah Pembentukan UU No. 12 Tahun 1995, Op.Cit, hlm.51. Panjaitan, Irwan, Petrus dan Simorangkir,1995, Lembaga Pemasyarakatan dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar harapan, cet. 1, Jakarta. hal. 50. 33
32
Di dalam sistem pemasyarakatan dapat dilihat mengenai hak-hak narapidana, karena sebagai negara hukum hak-hak narapidana itu dilindungi dan diakui oleh penegak hukum, khususnya para staf di lembaga pemasyarakatan. Narapidana juga harus diayomi hak-haknya walaupun telah melanggar hukum. Tindakan apapun yang dilakukan terhadap narapidana, baik yang berupa pembinaan ataupun tindakan lainnya harus bersifat mengayomi dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan sistem pemasyarakatan itu sendiri. Mengenai hal ini Baharudin Suryobroto menyatakan : Dengan menerapkan sistem pemasyarakatan, Narapidana harus diayomi dengan cara memberinya bekal hidup supaya ia menjadi warga yang berguna dalam masyarakat. Dengan memberikan pengayoman tersebut jelas bahwa, penjatuhan pidana penjara bukanlah dimaksudkan sebagai tindakan balas dendam dari Negara.34 Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa, dengan pelaksanaan sistem pemasyarakatan bukan berarti negara memberikan pembalasan terhadap pelaku tindak pidana/kejahatan, melainkan untuk mengayomi dengan memberikan pembinaan dan bimbingan sebagai bekal hidupnya setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
34
Baharudin Surjobroto, 1991, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Pemasyarakatan, Dep. Kehakiman RI, Jakarta, hal. 5.
33
Ketujuh asas pembinaan tersebut pada prinsipnya mencakup tiga pokok pikiran pemasyarakatan, yaitu sebagai tujuan, proses dan metode.35 Sebagai tujuan dimaksudkan bahwa, dengan pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan diharapkan narapidana dapat menyadari perbuatannya dan kembali menjadi warga yang patuh dan taat pada hukum yang berlaku. Sebagai proses adalah berbagai kegiatan yang harus dilakukan selama pembinaan dan bimbingan berlangsung, dan sebagai metode merupakan cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pembinaan dan bimbingan dengan sistem pemasyarakatan. Menurut R. Apik Noto Subroto, pengertian pemasyarakatan adalah sebagai proses pembinaan terhadap terpidana dengan cara menjalani pidananya dalam Lembaga Pemasyarakatan.36 Berdasarkan pengertian diatas dapat diketahui bahwa, pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan dan bimbingan terhadap Narapidana, dan proses itu harus dilakukan di lembaga pemasyarakatan. Hal itu menunjukkan bahwa, perhatian dan pemikiran terhadap masalah pembinaan dan bimbingan Narapidana di lembaga pemasyarakatan sangat besar karena, hal itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses penegakan hukum dan keadilan. Pembinaan terhadap narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian proses dalam upaya mempersiapkan narapidana
35
Romli Atmasasmita, 1996, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan, Rineka, Bandung, hal. 12.( (Selanjutnya disebut Romli II) 36 R.Apik Noto Subroto, 1985, Pidana dan Pemasyarakatan Dalam Konsep Revolusi, Jambatan, Jakarta, hlm.75.
34
kembali atau berintegrasi ke dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal ini Djisman Samosir mengatakan : Seluruh
proses
pembinaan
Narapidana
dengan
sistem
pemasyarakatan merupakan suatu kesatuan yang integral untuk mengembalikan Narapidana kepada masyarakat dengan bekal kemampuan (mental, pisik, keahlian, keterampilan, sedapat mungkin pula finansial dan materiil) yang dibutuhkan untuk menjadi warga yang baik dan berguna.37 Pengembalian narapidana ke dalam masyarakat diharapkan agar yang bersangkutan kelak dapat hidup dengan wajar/semestinya, sehingga tidak kembali
melakukan
perbuatan
yang
bertentangan
dengan
hukum.
Berdasarkan pemikiran Djisman Samosir diatas dapat diketahui bahwa tujuan pembinaan dan bimbingan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan adalah disamping untuk memperbaiki, juga untuk mencegah dilakukannya tindak pidana. Ini berarti bahwa, sistem pemasyarakatan disamping mengandung prinsip-prinsip pembinaan (the treatment of prisoners), juga mengandung unsur-unsur perlindungan masyarakat (defence sociale). Kebijakan berupa perlakuan yang lebih baik terhadap narapidana merupakan pemikiran yang lebih jauh ke depan, karena dengan perlakuan yang lebih baik itu yang bersangkutan diharapkan dapat menyadari kekeliruannya dan sekaligus memberikan perlindungan kepada
37
Djisman Samosir, 1982, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pembinaan Narapidana di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm . 13.
35
masyarakat. Dalam hubungannya dengan hal ini maka, kebijakan tersebut harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. melindungi masyarakat terhadap kejahatan; 2. memperoleh efek untuk membuat seseorang tidak melakukan kejahatan lagi dengan cara memperbaiki atau mendidiknya; 3. berusaha mencegah dan menyembuhkan pelanggar hukum dengan menekankan sistem resosialisasi; 4. melindungi hak asasi manusia termasuk si pelaku kejahatan 5. pandangan hukum menghadapi kejahatan dan penjahat ditempuh berdasarkan falsafat yang mengakui manusia sebagai mahluk individu dan sosial.38 Kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda) yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengaplikasikan hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). (― Policy is The general principles by which a goverment is guided in its management of publik affairs, or the legislature in measures ... this term, as applied to a alaw, ordinance, or the rule of law, denotes its general purpose or tendency
38
Bambang I, Op.Cit., hlm . 177.
36
considered as directed to the welfare or prosperty of the state community”).39 Berdasarkan pada kedua istilah asing ini, maka istilah ― kebijakan Hukum Pidana ― dapat pula disebut dengan istilah ―Politik Hukum Pidana‖. Dalam kepustakaan asing istilah ―Politik Hukum Pidana‖ tersebut sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy,
atau
strafrechtpolitiek.40
Selanjutnya
politik
hukum
(law
policy/rechtpolitiek) dapat diartikan sebagai : 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.41 Menurut A. Mulder, strafrechtpolitiek adalah garis-garis kebijakan untuk menentukan : a. In welk opzich de bestaande strafbepalingen herzien dienen te worden (Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaharui);
39
Black, Henry Camphell, et.al., 1979, Black’s Law Dictionary, Fith Edition, St. Paulminn West Publishing C.O., h. 1041. 40 Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 24 (Selanjutnya disebut Barda I). 41 Sudarto, 1987, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 159 dan Sudarto, 1977, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Jakarta, h. 20. (Selanjut disebut Sudarto I).
37
b. Wat gedaan kan worden om strafrechtelijk gedrad te voorkomen (Apa yang dapat diperbaharui untuk mencegah terjadinya tindak pidana); c. Hoe de upspring, vervolging, berechting en tenuitvoerlegging van straffen dient te verlopen (Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan).42 Dengan demikian kebijakan Hukum Pidana dapat didefinisikan sebagai ―usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang‖. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung makna ―baik‖ dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.43 Ruang lingkup kebijakan Hukum Pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan Hukum Pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan Hukum Pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/oprasional/ /fungsionalisasi Hukum Pidana yang terdiri dari : 1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto untuk badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif 2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
42
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Baktyi, Bandung, h. 28-29. (Selanjutnya disebut Barda II) 43 Ibid., h.28.
38
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan Hukum Pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.44 Kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak lepas dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.45 Dalam praktek selama ini menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan (politik hukum) yang diatur di Indonesia. Atas keterkaitan tahap-tahap dalam kebijakan Hukum Pidana dengan hakekat kebijakan Hukum Pidana dengan tujuan penanggulangan kejahatan, sebagaimana pendapat Barda bahwa upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang ―kebijakan kriminal‖ (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu ―kebijakan sosial‖ (“social welfare policy”) dan ―kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat’ (“social defence policy”) sebagai salah satu bentuk ide monodualistik. Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka ―kebijakan hukum pidana‖ (“penal policy”), khususnya pada tahap
44
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, Semarang, h. 13. 45 Soetoprawiro Korniatma, 1999, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Gramedia, Jakarta, h. 83.
39
kebijakan yudikatif/ (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan social defence’.46 Selanjutnya kebijakan Hukum Pidana dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan : 1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan Hukum Pidana 2. Bagaimana merumuskan Hukum Pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat 3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan Hukum Pidana 4. Bagaimana mengenakan Hukum Pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.47 Pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan merupakan upaya dalam penanggulangan kejahatan dalam arti luas yang merupakan bagian dari politik kriminal “ Criminal policy as a science of policy is pant of langer policy; the law in farcement policy is in turn part of social policy “ 48 Menegakkan keadilan untuk menciptakan ketertiban merupakan tujuan
dari
setiap
mempertahankan
peraturan,
karena
dalam
menciptakan
dan
ketertiban tersebut hukum harus secara seimbang
melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Keadilan menurut Ulpianus adalah suatu keinginan yang terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi 46
Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 73. (Selanjutnya disebut Barda III) 47 Wisnubroto, Al., 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.12. 48 G. Peter Hoefnagels, 1969, The Order Side Criminology, Kluwer Devender, Amstelventer, h. 57.
40
haknya. Ini berarti bahwa keadilan harus senantiasa mempertimbangkan kepentingan yang terlibat didalamnya. Keadilan dalam hal ini harus didasarkan ketentuan hukum yang berlaku bukan keadilan diluar ketentuan hukum.49 Ada beberapa Teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice. a. Teori keadilan Aristoteles Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, ―karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan‖. 50 Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita 49
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 59-60. Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, hal 25. 50
41
maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah
bahwa
ketidaksetaraan
yang
disebabkan
oleh,
misalnya,
pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan ―pembuktian‖ matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka
42
keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun,
ketidakadilan
akan
mengakibatkan
terganggunya
―kesetaraan‖ yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.51 Dalam
membangun
argumennya,
Aristoteles
menekankan
perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undangundang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia. b. Keadilan sosial ala John Rawls dalam bukunya a Theory of Justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle,
51
Ibid , hlm.,. 26-27
43
adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling
kurang
mempunyai
peluang
untuk
mencapai
prospek
kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orangorang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang
44
yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. 52 Dengan demikian, prinsip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat
hal-hal
utama
kesejahteraan,
pendapatan,
otoritas
diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama,
melakukan
koreksi
dan
perbaikan
terhadap
kondisi
ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi52 John Rawls, 1973, A Theory of Justice, London: Oxford University press, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
45
institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah. Prinsip yang dianut oleh KUHP, pada saat ini masih sangat relevan untuk menjamin tegaknya hukum pidana dan kepastian hukum yang diinginkan setiap pihak yang terkait. Namun di dalam kepastian hukum yang ingin ditegakkan tersebut seyogianya terkandung pula keadilan bagi setiap pihak yang berperkara. Keadilan yang diinginkan oleh kelompok wanita untuk penerapan suatu pengaturan atas tindakan yang berdampak kepadanya, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan kepastian hukum. Mengenai rasa keadilan wanita ini, Boediono mengatakan bahwa rasa keadilan tidak sama bagi setiap orang dan senantiasa relatif sifatnya.53 Karena relatif tersebut maka rasa keadilan tidak dapat diterapkan dan diberlakukan secara umum, dan setiap orang memiliki perasaan subjektif yang membedakan adil dan tidak adil. Dibutuhkan adanya suatu media untuk mewujudkan pengertian tentang rasa keadilan yang diterima secara objektif oleh setiap orang. Keadilan yang memenuhi tuntutan kaum wanita akan berdampak terpenuhinya tertib hukum oleh kelompok tersebut yang merasakan adanya keterikatan antara terpenuhinya keadilan dengan ditaatinya 53
Boediono Kusumohamidjojo, , 2004, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil, Grasindo , Jakarta, hlm. 196.
46
hukum. Boediono mengatakan, bahwa suatu tertib hukum bukanlah tertib hukum apabila tidak mengandung keadilan sehingga dia didukung oleh masyarakat sebagai subjek hukum umum. Kelompok wanita sebagai bagian dari masyarakat sebagai subjek hukum tidak dapat mendukung suatu tertib hukum yang ternyata tidak mendatangkan keadilan baginya atau sebaliknya. Karenanya agar kepastian hukum dapat berwujud sebagai suatu tertib hukum, maka keadilan harus dapat dirasakan oleh setiap kelompok masyarakat. Lebih lanjut menurut Boediono, mengatakan: "... keadilan niscaya juga mengimplikasikan tertib hukum, jika ketertiban umum harus merupakan tertib hukum, ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil. Jadi keadilan adalah substansi dari tertib hukum maupun, ketertiban umum, sehingga fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk menegakkan keadilan.‖54 Apabila tertib hukum tersebut dianalogikan kepada suatu kerangka kaidah yang memberikan hubungan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak, maka kerangka kaidah yang tidak seimbang yang mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak (dalam hal ini ketidakadilan bagi kelompok wanita) akan menyebabkan kelompok yang dirugikan mengambil jarak dan melepaskan diri dari kerangka aturan yang semula dipatuhinya.
54
Ibid., hlm. 171.
47
Rasa keadilan yang relatif dan diobjektifkan dalam rumusan hukum akan bermakna keadilan pada saat rumusan tersebut diterapkan. Penerapan rasa keadilan yang bersumber pada peraturan yang sudah dirumuskan sebelumnya tersebut dapat tercermin dalam putusan hakim. Bagi kelompok wanita putusan hakim yang dapat diterima setiap masyarakat termasuk kelompok wanita, berarti wanita dapat ikut menghayati rasa keadilan dan dengan demikian akan mendukung kepastian hukum tersebut. Keadilan yang diinginkan dapat diwujudkan apabila penerapan aturan oleh hakim dilakukan dengan memberikan penafsiran yang lebih koritekstual, yang justru akan menciptakan suatu tertib umum yang terwujud dalam tertib hukum sehingga mendatangkan kepastian melalui proses pencarian atas situasi berkeadilan yang memberi keseimbangan bagi setiap pihak. Jadi dalam hal ini yang perlu dicari adalah adanya keseimbangan bagi kelompok yang selama ini telah tersubordinasi untuk mewujudkan rasa keadilan yang objektif, tanpa merenggut keadilan pihak lain melalui pengorbanan atas adanya kepastian hukum. Dengan demikian, keadilan yang diharapkan dipenuhi oleh putusan hakim dapat dijalankan dengan menerapkan rumusan yang memenuhi kepastian hukum, namun juga berkeadilan tersebut.
48
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang ditunjang oleh bahan hukum empiris. Dalam kaitannya dengan jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif karena beranjak dari adanya kesenjangan asas/norma hukum yang kabur dan kekosongan norma dalam pengaturan perlindungan hukum narapidana wanita sehingga batasan Peraturan Perundang- Undangan tersebut menjadi samar. Penelitian hukum normatif adalah merupakan penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan dan implementasinya. Penelitian hukum normatif sering juga disebut penelitian hukum dogmatik atau penelitian hukum teoritis (dogmatic or theoretical law research).
55
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian hukum normatif karena meneliti ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap narapidana wanita, disamping itu penelitian ini ditunjang pula dengan penelitian hukum empiris.
55
Abdul Kadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm . 101.
49
1.7.2. Metode Pendekatan Terdapat beberapa metode pendekatan dalam penelitian hukum normatif, yaitu : Pendekatan perundang-undangan (Statute approach), pendekatan konsep (Conceptual approach), pendekatan analisis
(Analytical
approach),
pendekatan
perbandingan
(Comparatif approach), pendekatan historis (Historis approach), pendekatan filsafat (Philosophical approach), dan pendekatan kasus (Case approach).56 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Pendekatan Perundang-Undangan (The Statue Approach) yaitu dengan
mengkaji
peraturan
perundang-undangan
dengan
mengadakan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan mengadakan inventarisasi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap narapidana wanita di dalam Lembaga pemasyarakatan. b. The analitical and conseptual approach Pendekatan analisis konsep yang konstektual antara peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hukum narapidana wanita dalam sistem pemasyarakatan. 1.7.3. Sumber Bahan hukum Sesuai dengan jenisnya yang normatif maka penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum primer maupun sekunder. Bahan 56
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, hlm ., 93-137.
50
hukum
Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, cartatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.57 Dalam hal ini Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor : 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1999,
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.58 Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari bahan-bahan yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahanbahan hukum. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diperoleh
57
Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.118. 58 Soerjono Soekanto dan Sri mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm . 13. (Selanjutnya disebut Soerjono II)
51
dari buku (text book), artikel, dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum primer yang bersumber dari perundang-undangan dan dokumen-dokumen hukum, sedangkan bahan hukum sekunder yang bersumber dari buku-buku ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum.59 Sedangkan bahan hukum sekunder adalah suatu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamuskamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan-bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diambil atau diperoleh dari buku-buku (text book), artikel, hasilhasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. 1.7.4. Teknis Pengumpulan Bahan Hukum Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah metode sistematis dimana menggunakan kartu sebagai alat pencatat secara rinci dan sistimatis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian. Dengan pengklasifikasian tersebut diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian.60 Sebagai penunjang
59
Program Studi Magister Hukum Unud, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Denpasar, hal. 39. 60 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm .,205-236.
52
dipergunakan juga penellitian hukum empiris dengan lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar. 1.7.5. Tehnis Analisis Bahan-bahan yang telah disusun secara sitematis, selanjutnya dianalisis dengan tehnis-tehnis sebagai berikut : a. Deskriptif, yaitu uraian-uraian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum. b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum terhadap norma yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa mendatang.
Metode
interpretatif yang digunakan diantaranya adalah gramatical interpretatie yaitu penafsiran menurut arti kata dan sistematische interpretatie yaitu penafsiran dengan mencari penjelasan pasapasal dalam undang-undang . c. Evaluatif yaitu melakukan penilaian terhadap suatu pandangan, pernyataan rumusan norma dalam hukum primer maupun sekunder. d. Argumentatif yaitu penelitian yang didasarkan pada alasanalasan yang bersifat penalaran hukum, hal ini tidak dapat dilepaskan
dari
tehnis
evaluatif.
Dalam
permasalahan-
permasalahan hukum makin dalam argumennya berarti makin dalam penalaran hukumnya.
53
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1. Perlindungan Hukum Terhadap Narapidana Wanita Perlindungan terhadap wanita merupakan perwujudan keadilan masyarakat, dengan demikian perlindungan wanita diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pengertian perlindungan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti : (1)
Tempat
Berlindung,
(2)
Hal
(perbuatan
dan
sebagainya)
memperlindungi. Perlindungan kata dasarnya adalah lindung diartikan sebagai : (1) Menempatkan dirinya dibawah (dibalik, dibelakang) sesuatu supaya tidak terlihat atau tidak kena angin, panas dan sebagainya; (2) Bersembunyi (berada) di tempat yang aman supaya terlindungi; (3) Minta pertolongan kepada yang kuasa supaya selamat atau terhindar dari bencana. 61 Terkait
dengan
perlindungan
hukum,
Philipus
M.
Hadjon
menyatakan sarana perlindungan hukum ada dua, yaitu : sarana perlindungan hukum preventif dan sarana perlindungan hukum represif. Sarana perlindungan hukum preventif terutama erat kaitannya dengan asas freis ermessen sebagai bentuk perlindungan
hukum secara umum.
Sedangkan sarana perlindungan hukum represif di Indonesia ditangani oleh
61
Tim Penyusunan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, h. 595.
53
54
badan-badan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, Instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi dan badan-badan khusus.62 Sarana perlindungan hukum represif yang dilakukan oleh pengadilan dalam bentuk penjatuhan pidana kepada pelaku. Salah satu tujuan penjatuhan pidana menurut Andi Hamzah dan Sumangelipu adalah perlindungan terhadap umum (protection of public). 63 Pendapat Wirjono Prodjodikoro, bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan, untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik dengan menakut-nakuti orang banyak (general preventie), maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie), atau untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 64 Jika dilihat dari tujuan hukum pidana menurut pendapat para ahli pada
intinya
adalah
bersifat
pengayoman
pada
masyarakat
dan
mengembalikan (menyembuhkan pelaku pelanggaran atau penjahat) pada jalan yang benar (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku). Sejarah perlindungan hukum wanita bermula sejak tahun 1967, di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi mengenai
62
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Bina Ilmu, Surabaya,
h.10. 63
Andi Hamzah dan Sumangelipu, 1985, Hukum Pidana Mati di Indonesia, di Masa lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15. 64 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, h. 99.
55
Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita yaitu CEDAW (Convention on Elimination of Discrimination of All Form Against Women) atau Konvensi Diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya, karena ketentuan konvensi pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945. Atas dasar itu Republik Indonesia menandatangani konvensi tersebut. Ratifikasi CEDAW dimaksudkan menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita. Pasal 1 CEDAW menegaskan istilah ―diskriminasi‖ berarti setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi dan menghapuskan pengakuan,
penikmatan
atau
penggunaan
HAM
dibidang
apapun
berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Namun demikian, Pasal 4 menetapkan ―diskriminasi‖ tersebut dianggap tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara pria dan wanita (affirmative action). Selanjutnya Pasal 2 CEDAW memuat ketentuan umum yang akan dilaksanakan oleh Negara-negara peserta CEDAW. Pasal 2 butir a menetapkan kaidah persamaan wanita dengan pria wajib dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan negara-negara peserta, kecuali kalau itu sudah dilaksanakan. Pasal 2 butir b menyebutkan undangundang dan peraturan perundangan lain yang melarang diskriminasi terhadap wanita akan diundangkan. Jika dianggap perlu, peraturan perundang-undangan tersebut akan menetapkan hukuman untuk diskriminasi
56
terhadap wanita. Selain itu, pasal 2 butir e menyebutkan negara-negara peserta untuk menjamin diskriminasi terhadap wanita tidak dilakukan oleh seorang, badan hukum perdata atau sekelompok dimanapun. Dengan demikian perlindungan merupakan segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman dan jaminan terhadap hak wanita dalam segala aspek kehidupan. Secara Nasional Perlindungan hukum terhadap wanita telah diatur dalam perundang-undangan Republik Indonesia yaitu: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. pasal 28 D menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 2. Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pasal 4 menetapkan ―diskriminasi‖ tersebut dianggap tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara pria dan wanita (affirmative action). 3. Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 3 yaitu ; a. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan. b. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum.
57
c. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi.
Muatan perlindungan hak-hak tersebut antara lain : Pasal 45 hak wanita adalah bagian dari HAM ; Pasal 46 pengakuan hak politik wanita ; Pasal 47 hak wanita atas kewarganegaraan; Pasal 48 hak wanita atas pendidikan dan pengajaran; Pasal 49 hak wanita atas pekerjaan; Pasal 49 hak wanita atas kesehatan reproduksi; Pasal 50 hak wanita atas perbuatan hukum yang mandiri; Pasal 51 hak wanita dalam perkawinan, perceraian dan pengasuhan anak; 4. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). UU PKDRT ini tidak secara spesifik mengatur wanita saja, karena sejatinya KDRT bisa terjadi juga pada laki-laki (suami atau anak) ataupun orang lain yang tinggal ataupun bekerja dalam rumah tangga tersebut. Namun, kasus- kasus selama ini menunjukkan bahwa wanita, utama para istri, memang lebih banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Apakah kekerasan fisik, seksual, psikis maupun ekonomi. 5. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang
Pengesahan
protokol
untuk
mencegah,
menindak
dan
menghukum Perdagangan Orang, terutama wanita dan Anak-Anak (women and children trafficking).
58
Di samping adanya produk hukum yang memberi perlindungan terhadap wanita ada juga produk hukum yang dianggap diskriminatif terhadap wanita. Beberapa peraturan perundang-undangan yang sering dikritisi oleh aktifis dan gerakan wanita antara lain : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ; (1) Pada Azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami; (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan; Pasal 4; (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya; (2) Pengadilan dimaksud pada ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan 2. Kitab
Undang-Undang
mengkriminalisasikan
Hukum
dan
Pidana
mem-viktimisasi
juga
dianggap
seorang
ibu
telah yang
mnghilangkan nyawa bayi nya dan juga wanita pelaku aborsi, namun luput untuk juga menjangkau sang ayah dari bayi. Pasal 341 yaitu
59
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat melahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara selama tujuh tahun. Pasal 342 yaitu seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 346 yaitu Seorang wanita yang sengaja menggugurkan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pada banyak kasus pihak laki-laki ataupun ayah dari jabang bayi yang kemudian dibunuh atau diaborsi seringkali lepas dari pertanggungjawaban pidana. Apalagi ketika ia tidak turut serta melakukan pembunuhan dan aborsi tersebut. Padahal, sebagaian besar kasus pembunuhan anak dan aborsi terjadi akibat hubungan seksual diluar pernikahan.65 Perlindungan hukum pada wanita pun seyogyanya berangkat dari analisis gender, diskriminasi gender, dan ketidakadilan gender. Apalagi menurut Tapi Omas Ihromi telah banyak sekali rumusan dalam undangundang kita yang sudah adil dari segi gender, namun dalam kenyataan masih
65
Jurnal Legislasi Indonesia,Op.Cit., hlm. 232
60
belum terwujud. Masyarakat masih tertinggal dalam sikap, dan pemikiran, tentang konsep gender.66 Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun wanita yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa wanita itu dikenal sebagai lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat yang lain. Juga, perubahan bisa terjadi dari kelas kekelas masyarakat yang berbeda. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat wanita dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain itulah yang dikenal dengan konsep gender.67 Dapat dikatakan Gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara wanita dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kontruksi sosial dalam kaitan dengan ini adalah status dan peran dalam suatu sistem sosial yang terstruktur sehingga dapat berjalan dalam suatu keharmonisan.68 Sek atau jenis kelamin dalam ilmu-ilmu sosial dan biologi adalah suatu kategori biologis, wanita atau lelaki. Menyangkut hitungan kromosom, pola genetic dan struktur genital. Penentuan kategori seks secara relatif tidak 66
Tapi Omas Ihromi, 1997, Mengupayakan Kepekaan Jender Dalam Hukum, Penerbit Obor, Jakarta, hal. 191. 67 Mansour Fakih, 1996, Analisis Gender dan Transpormasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 8-9. 68 Munir Fuady, 2011, Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum, Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta, hal.202.
61
kompleks bila dibandingkan dengan konsep-konsep lainnya. Gender sebaliknya merupakan konsep sosial. Istilah feminitas dan maskulinitas yang berkaitan dengan istilah gender berkaitan dengan sejumlah karakteristik psikologis dan prilaku yang secara komplek telah dipelajari seseorang melalui pengalaman sosialisasinya.69 Gender perlu diketahui karena perbedaan seks secara sosial telah mengakibatkan perbedaan gender yang kemudian melahirkan perbedaan hak, tanggung jawab, peran, fungsi bahkan perbedaan ruang aktivitas lakilaki dan wanita dalam masyarakat. Mengenal gender berarti memahami perbedaan laki-laki dan wanita dari sudut pandang non kodrat dan bukan dari sudut pandang kodrat (seks atau biologis). Selama ini perbedaan kedua sudut pandang ini sering dicampur adukkan. Ciri-ciri manusia yang bersifat kodrat dan tidak berubah dengan ciri-ciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya bisa berubah atau diubah. Perbedaan peran, fungsi hak dan tanggung jawab laki-laki dan wanita bersifat tidak abadi, tidak kekal dan tidak berlaku secara universal. Perbedaan peran, fungsi hak dan tanggung jawab laki-laki dan wanita merupakan ciri-ciri non kodrat yang dibangun dan dibentuk oleh manusia. Ciri-ciri tersebut berbeda dari masa kemasa, dari suatu tempat dengan tempat yang lain, bahkan berbeda dari suatu lapisan masyarakat dengan lapisan masyarakat lainnya.
69
Saparinah Saldi, 1995, Identitas Gender dan Peranan Gender dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h.69-70. (Selanjutnya disebut Saparinah I)
62
Peran gender adalah peran sosial yang dikenakan terhadap laki-laki dan wanita yang tidak ditentukan oleh perbedaan jenis kelamin mereka. Perbedaan dan pembagian peran serta tanggung jawab secara gender itu telah berjalan bertahun-tahun bahkan berabad-abad lamanya, sehingga lama kelamaan masyarakat tidak dapat mengenali lagi mana yang seks dan mana yang gender. Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia wanita dan laki-laki. Dengan mengenali perbedaan gender sebagai suatu yang tidak tetap, tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi wanita dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat dimana manusia beraktivitas. Menurut Mansour Fakih Gender sebagai konstruksi sosial, sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan kalau itu tidak menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap salah satu jenis kelamin manusia, namun pada kenyataannya sering perbedaan terhadap laki-laki dan wanita melahirkan peran gender, yaitu pembagian tugas yang lebih banyak merugikan wanita di dalam masyarakat. Pembatasan dan pembagian peran gender tidak menunjukkan suatu kejelasan yang pasti tentang manakah yang seharusnya menjadi peran dan tugas wanita dan mana pula yang menjadi peran dan tugas laki-laki, karena sebenarnya pembagian peran dan tugas itu dapat dilakukan oleh keduanya. Adanya pembagian peran gender akan berakibat : Relasi yang tidak seimbang atau berat sebelah
63
Kekeliruan mempersepsikan diri sendiri Kekeliruan penilaian Menghambat tataran setara Menghambat aktualisasi diri Menghambat potensi Menghambat kerjasama Merongrong HAM Mengikis martabat manusia70 Permasalahan atau ketidakadilan gender menyebabkan gender sering dipermasalahkan antara lain :
Wanita hanya diberi peran dalam rumah tangga dan tidak diberi kesempatan serta peluang untuk menjadi produktif.
Laki-laki dibebani pekerjaan dan tanggung jawab yang berat dan dituntut lebih mampu dan kuat dalam banyak hal.
Anak wanita tidak mendapat pendidikan formal yang sama tingginya dengan anak laki-laki dengan bermacam alasan, terutama karena faktor kemiskinan.
Perempuan menjadi sangat tergantung kepada suami sehingga tidak memiliki ketrampilan dan pengalaman yang sebanding dengan laki-laki.
Dalam keluarga yang kurang mampu, wanita melakukan pekerjaan ganda mengurus rumah tangganya dan mencari nafkah, dengan ketrampilan dan pengetahuan yang terbatas.
70
Mansour Fakih, Op. Cit, hlm. 28.
64
Potensi dan bakat yang dimiliki wanita kurang mendapatkan wadahnya.
Menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi baik terhadap wanita, kesetaraan dan keadilan gender.
Masih mendapat kebijakan perangkat hukum dan peraturan perundangundangan yang bias gender.71
Kondisi di atas telah menimbulkan diskriminasi baik terhadap wanita dan laki-laki sehingga mengakibatkan terjadinyan pembakuan peran gender di dalam masyarakat serta terjadinya ketidakadilan yang berbentuk : Marjinalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan dan beban kerja yang dialami wanita dan laki-laki. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki maupun wanita menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai perbedaan peran dan kedudukan antara laki-laki dan wanita baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada dalam masyarakat. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang tidak hanya menimpa kaum wanita tetapi juga dialami kaum laki-laki. Meskipun secara agresip ketidakadilan gender dalam berbagai 71
Ibid, hlm. 29.
65
kehidupan lebih banyak dialami wanita, namun ketidakadilan gender yang menimpa wanita berdampak pula terhadap laki-laki. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi: a. Marjinalisasi (pemiskinan ekonomi) wanita Proses marjinalisasi (pemiskinan ekonomi) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halamannya, eksploitasi dan lain sebagainya. Namun pemiskinan atas wanita maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja wanita tersingkir dan menjadi miskin akibat program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Wanita dipinggirkan dari beberapa jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan ketrampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang ada semula dikerjakan secara manual oleh wanita diambil oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Sebaliknya, banyak pula lapangan pekerjaan yang menutup pintu bagi laki-laki karena anggapan bahwa kurang teliti melakukan pekerjaan yang memerlukan kecermatan dan kesabaran. Contoh-contoh marjinalisasi:
66
Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki.
Pemotongan padi dengan peralatan mesin yang membutuhkan tenaga dan ketrampilan laki-laki, menggantikan tangan-tangan wanita.
Usaha konveksi yang lebih suka menyerap tenaga wanita.
Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak diberikan kepada wanita.
Demikian juga banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan wanita seperti guru taman kanak-kanak, sekretaris atau perawat dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan laki-laki dan itu berpengaruh pada perbedaan gaji yang diterima oleh wanita. b. Subordinasi Subornisasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran wanita lebih rendah dari pada lakilaki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran keadaan maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum wanita pada tataran subordinate. Kenyataan memperlihatkan pula masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama wanita diberbagai kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mngikuti tugas belajar atau hendak bepergian ke luar negeri, ia harus mendapatkan izin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan pergi, ia harus mengambil keputusan
67
sendiri tanpa harus mendapat izin dari isteri. Kondisi semacam itu telah menempatkan wanita pada posisi yang tidak penting sehingga jika karena kemampuan ia bisa menempatkan posisi penting sebagai pimpinan, bawahannya yang berjenis lelaki seringkali merasa tertekan. Menjadi bawahan seorang wanita yang ada pola pikirnya merupakan mahluk lemah dan lebih rendah membuat laki-laki merasa kurang lakilaki. Inilah bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh wanita namun yang dampaknya mengenai laki-laki. c. Pandangan Stereotype Pelabelan atau penandaan (stereptype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotype yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender, karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap wanita bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik dan sebagai akibat ketika ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan tingkat pemerintahan dan negara hanyalah merupakan perpanjangan peran domestiknya. Standar penilaian terhadap perilaku wanita dan lelaki berbeda namun standar nilai tersebut lebih banyak merugikan wanita contoh lain:
68
Label kaum wanita sebagai ibu rumah tangga sangat merugikan mereka jika hendak aktif dalam kegiatan lelaki seperti kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi.
Sementara label lelaki sebagai pencari nafkah mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh wanita dianggap sambilan atau tambahan sehingga kurang dihargai.
Keramahtamahan laki-laki dianggap merayu dan keramahtamahan wanita dinilai genit.
d. Kekerasan Berbagai kekerasan terhadap wanita sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan. Pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional wanita atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada bersifat individu seperti di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat, misalnya : suami membatasi uang belanja dan mengawasi pengeluarannya secara ketat, isteri menghina atau mencela kemampuan seksual atau kegagalan karisma suami.
69
e. Beban Kerja Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki. Dan beberapa yang dilakukan oleh wanita. Berbagai observasi menunjukan wanita mengerjakan hampir 90 % (sembilan puluh perseratus) dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja diluar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. Contohnya seorang ibu dan anak wanitanya mempunyai tugas untuk menyiapkan makanan dan menyediakannya diatas meja, kemudian merapihkan kembali sampai mencuci piring-piring yang kotor. Seorang bapak dan anak-anak lelakinya, setelah selesai makan yang sudah tersedia mereka akan meninggalkan meja makan tanpa merasa berkewajiban untuk mengangkat piring kotor bekas mereka pakai. Apabila mencucinya, seorang isteri walaupun bekerja membantu mencari nafkah keluarga, ia tetap menjalankan tugas pelayanan yang dianggap sebagai kewajibannya. Beban kerja semacam itu juga menimpa laki-laki, misalnya saja sepulang dari kantor pada petang hari pada malam harinya ia masih harus siskamling untuk memenuhi tugasnya sebagai warga masyarakat setempat.72
72
Ibid, hal. 55.
70
Terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan laki-laki dan wanita dan menghapusnya ketimpangan gender melalui upaya-upaya pemberian hak, kesempatan, peluang, kedudukan dan peranan yang sama kedua jenis kelamin manusia demi menegakkan keadilan bagi kedua gender tersebut dengan menghapuskan nilai-nilai yang tidak demokratis dalam pembagian tugas dan peran mereka. Kesetaraan gender diperjuangkan bukan oleh wanita terhadap laki-laki, melainkan oleh wanita dan laki-laki terhadap sistem masyarakat dengan tradisi yang memberi pengaturan dan nilai-nilai gender yang timpang. Sistem nilai seperti itu perlu diperbaiki agar masyarakat baik laki-laki maupun wanita, dapat menjadi pelaku aktif pembangunan di segala bidang kehidupan demi kesejahteraan manusia. Terutama karena pada kenyataannya masih banyak terdapat kelemahankelemahan hukum dan kebijakan yang memberi peluang terjadinya ketimpangan
gender
(terutama
ketimpangan
wanita).
Nilai-nilai
masyarakat yang membatasi ruang gerak wanita masih tetap kuat. Di berbagai bidang kehidupan seperti pendidikan, kesehatan gizi, keluarga berencana, ekonomi, ketenagakerjaan, politik, peran serta masyarakat, lingkungan hidup, informasi dan komunikasi, pertahanan keamanan dan kelembagaan, wanita masih tetap jauh ketinggalan dari laki-laki. Dibidang pendidikan dan pekerjaan produktif maupun profesinya, wanita juga masih menempati bidang-bidang yang dianggap cocok karena dia berjenis wanita seperti misalnya perawat, sekretaris,
71
guru, sebagai perpanjangan peran domestinya pekerja sosial dan lain sebagainya. Sedangkan di dalam program-program pembangunan, wanita masih kurang mendapat kesempatan, kedudukan maupun sebagai partisipan aktif. Wanita perlu meningkatkan kemandiriannya melalui berbagai upaya agar kedudukan dan perannya bersama-sama tokoh agama, tokoh masyarakat, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi wanita
serta
menyelenggarakan
organisasi
kemasyarakatan
program-program
atau
lain
diharapkan
kegiatan
wanita,
mensosialisasikan kesetaraan dan keadilan gender, menghapus tindak kekerasan, menegakkan hak asasi manusia dan memperkuat lembaga yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.73 Berbagai ketentuan peraturan yang memuat perlindungan hukum terhadap
wanita
merupakan
salah
satu
indikasi
telah
adanya
perlindungan perbedaan perlakuan terhadap seseorang atas dasar perbedaan jenis kelamin. Dengan adanya ketentuan tersebut, artinya wanita secara khusus diberikan jaminan perlindungan hak dalam berbagai hal.74 Demikian halnya posisi seseorang sebagai Narapidana mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diayomi. Hak antara narapidana pria, narapidana wanita dan narapidana anak berbeda-beda. Dalam hal ini masing-masing narapidana harus ada yang dikedepankan. 73
Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 16-17 74 Departemen Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2005, Suplemen Modul Hak Perempuan ditinjau dari Instrumen HAM Internasional, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, Jakarta. Hlm. 2.
72
Sudah menjadi kodrat wanita mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak dipunyai oleh narapidana lain, sehingga sudah menjadi suatu kewajaran bahwa narapidana wanita mempunyai hak-hak khusus dibandingkan dengan narapidana lain. 2.2. Pembinaan Narapidana dan Konsep Sistem Pemasyarakatan a. Pembinaan Narapidana Dengan
lahirnya
Sistem
pemasyarakatan,
maka
proses
pembinaan narapidana dan anak didik tidak lagi dilakukan di dalam rumah-rumah
penjara,
akan
tetapi
di
dalam
lembaga-lembaga
pemasyarakatan. Begitu pula perlakuan terhadap narapidana dan anak didik dalam sistem kepenjaraan lebih menekankan pada kegiatankegiatan yang dapat mendukung tercapainya tujuan agar narapidana dan anak didik benar-benar jera, sehingga tidak mengulangi melakukan tindak pidana. Sedangkan perlakuan terhadap narapidana dan anak didik dalam sistem pemasyarakatan lebih menekankan pada program pembinaan, pendidikan, dan pelatihan sehingga narapidana dan anak didik
yang
telah
selesai
menjalani
pidana
dalam
lembaga
pemasyarakatan dapat benar-benar sadar dan insyaf untuk kemudian dapat berintegrasi kembali dalam masyarakat sebagai warga negara dan warga masyarakat yang berguna dan bertanggungjawab, taat hukum,
73
menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan sosial demi tercapainya kehidupan masyarakat yang aman dan tentram.75 b. Konsep Sistem Pemasyarakatan Perlakuan terhadap narapidana merupakan hal yang sangat penting melakukan pembinaan terhadap seseorang. Situasi (lingkungan sekitar) menjadi faktor penentu keberhasilan. “ The Person and the Situation in the treatment of prisoners”.76 Secara akademis sistem pemasyarakatan lahir dari gagasan Sahardjo, Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada tahun 1960-an, Gagasan ini
secara ilmiah
tertuang dalam orasi ilmiahnya pada waktu menerima penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia di Istana Negara Jakarta, tanggal 5 Juli 1963, dengan judul ―Pohon Beringin Pengayoman‖. Dalam kesempatan tersebut Sahardjo memberikan uraian tentang pohon beringin sebagai lambang hukum di Indonesia. Hukum bertugas untuk memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa dapat tercapai dan terpelihara. Khusus mengenai perlakuan terhadap narapidana, Sahardjo menghendaki agar di bawah Pohon Beringin Pengayoman, tidak saja masyarakat diayomi dari pengulangan perbuatan jahat oleh terpidana tetapi juga agar orang yang telah tersesat tersebut juga mendapatkan pengayoman melalui pembinaan dan bimbingan, baik
75
A. Widiana Gunakarya S.A, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung, hal.25. 76 Edwin Sutherland ― On Analyzing Crime‖, 1973, The University of Chicago Press, Ltd. London, hlm. 160.
74
jasmani maupun rohani, sehingga dapat kembali ke masyarakat sebagai warga masyarakat yang berguna dan bertanggungjawab bagi masyarakat dan negara. Berdasarkan gagasan tersebut kemudian dirumuskan menjadi prinsip pemasyarakatan yaitu : 1. Pemberian pengayoman kepada warga binaan agar mereka kembali ke masyarakat menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. 2. Pemberian bimbingan dan bukan penyiksaan agar mereka bertobat dan bertakwa. 3. Penjatuhan pidana bukan balas dendam oleh negara. 4. Negara tidak boleh membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana. 5. Selama kehilangan kemerdekaan, mereka tidak dijauhkan dan dikesampingkan dari pergaulan dan kegiatan masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada mereka tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu. 7. Perawatan, pembinaan, pendidikan dan bimbingan yang diberikan kepada mereka harus berdasarkan Pancasila. 8. Sebagai manusia yang tersesat, mereka harus diperlakukan sebagai manusia. 9. Satu-satu derita yang dialami adalah dijatuhi pidana hilangnya kemerdekaan, dalam arti kepada narapidana yang bersangkutan tidak boleh dikenakan penderitaan tambahan, misalnya penyiksaan fisik.
75
10. Penyediaan sarana untuk dapat mendukung fungsi preventif, kuratif, rehabilitatif dan edukatif.77 Konsep sistem pemasyarakatan sebagaimana dikemukakan di atas sejalan pula dengan pandangan yang diajukan oleh Frank E. Hagan (Introduktion
to
pendekatan
―retaliation‖ (pembalasan) terhadap narapidana sebagai
tujuan
Criminology)
pemidanaan,
tetapi
yang
tidak
mencantumkan
sebaliknya
lagi
mengutamakan
“rehabilitation”(rehabilitasi) dan ―protection of society” (perlindungan terhadap masyarakat). Terkait dengan tujuan pemidanaan Herbert L. Packer menulis : ― punishment is a necessary but lamentable form of social. It is lamentable because itinflicts sufferingin the name of goals whose acheievement is amatter of chanche‖.78 Bahwa pidana sebagai hal yang perlu , namun bagaimanapun juga pidana tetap disesalkan sebagai salah satu bentuk control sosial karena pidana mengadung penderitaan. Jadi menurut packer, pidana tetap diperlukan asal jangan pidana itu berorientasi pada pembalasan. Jadi tujuan pembalasan dan penjeraan yang umumnya dianut pada abad ke 18 dan 19 seperti dikemukakan oleh Robert J. Wright (Encyclopaedia Americana) sudah ditinggalkan. Kini semua mengarah kepada usaha-usaha membina narapidana agar mereka dapat dipulihkan kepribadiannya dan dibekali baik mental maupun fisik guna
77
Ditjen Pemasyarakatan, 2002, Bunga Rampai Pemasyarakatan, Kumpulan Tulisan Bahrudin Surjobroto, Mantan Direktorat Pemasyarakatan, Jakarta, hal. 45. 78 Herbert L. Packer, 1969, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University Press, California, hlm.62.
76
dapat
hidup
mandiri
kelak
setelah
mereka
selesai
menjalani
pidananya. 79 Sepuluh prinsip pemasyarakatan yang lazim dikenal dengan konsep pemasyarakatan tersebut, kemudian dibahas dalam Konperensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung pada tanggal 27 April 1964 sampai dengan 7 Mei 1964. Salah satu keputusan yang berhasil
dirumuskan
dalam
konferensi
tersebut,
adalah
bahwa
pemasyarakatan tidak hanya semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan juga merupakan suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang disebut ―Sistem Pemasyarakatan‖. c. Landasan Hukum Sistem Pemasyarakatan Pembinaan narapidana dan anak didik berdasarkan sistem pemasyarakatan pembinaannya didasarkan pada falsafah Pancasila. Narapidana dan anak didik bukanlah objek, tetapi sebagai subjek yang tidak berbeda dari manusia yang lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kejahatan atau kekhilafan yang dapat dikenai pidana. Narapidana bukanlah penjahat yang harus diberantas atau dimusnahkan. Tetapi yang harus diberantas dan dimusnahkan dari narapidana adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan
hukum.
Pemidanaan
adalah
upaya
untuk
mengembalikan narapidana menjadi warga masyarakat yang berguna dan 79
A. Sanusi Has, 1977, Dasar-Dasar Penologi, Rasanta, Jakarta, hal. 72
77
bertanggungjawab, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, dan sosial demi tercapainya kehidupan masyarakat yang aman dan damai. Sistem
dan
upaya
pemasyarakatan
untuk
mengembalikan
narapidana sebagai warga masyarakat yang baik, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Menyadari keterkaitan perkembangan pembinaan pemidanaan dan pemasyarakatan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu, maka telah sejak lama sistem pemasyarakatan lebih ditekankan pada aspek pembinaan narapidana dan anak didik yang mempunyai ciri-ciri prepentif, kuratif dan edukatif. Telah dikemukakan bahwa sistem kepenjaraan kolonial yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda antara lain bersifat penjeraan. Konsep penjeraan ini tidak sama sekali ditolak oleh sistem pemasyarakatan sepanjang hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan, dan bukan dalam rangka balas dendam. Peraturan
perundang-undangan
yang
dipergunakan
sebagai
landasan hukum untuk melakukan pembinaan narapidana adalah UndangUndang Nomor : 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, PeraturanPemerintah Nomor : 32 Tahun 1999, tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, P.P. Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan,
Keputusan
Menteri
Kehakiman
Republik
78
Indonesia nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan. Dari peraturan-peraturan tersebut lebih banyak mengatur mengenai perlindungan hukum narapidana secara keseluruhan secara umum, sedangkan ketentuan yang mengatur perlindungan hukum terhadap narapidana wanita seca ra khusus terbatas hanya memuat beberapa pasal saja.
79
BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM NARAPIDANA WANITA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN SISTEM PEMASYARAKATAN
3.1. Perlindungan Hukum Narapidana Dalam Sistem Pemasyarakatan Lahirnya sistem pemasyarakatan dan cara-cara pelaksanaan pidana penjara dengan ide-ide pemasyarakatan telah membuat suasana baru di bidang kepenjaraan. Pelaksanaan pidana penjara mulai memperhatikan hakhak asasi Narapidana dan proses pemasyarakatan tidak dianggap hanya sebagai tindakan pembalasan tetapi untuk membina dan membimbing narapidana. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.80 Adanya hubungan keterkaitan dan saling mempengaruhi antara berbagai komponen narapidana, alat penegak hukum (pembina) dan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan sistem
80
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
79
80
pemasyarakatan tersebut. Adapun komponen-komponen yang saling mempengaruhi dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan meliputi : 1. Narapidana ; 2. Alat Negara penegak hukum beserta masyarakat; 3. Lingkungan hidup sosial dengan segala aspeknya.81 Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, ketiga komponen tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Narapidana sebagai pihak (subyek) yang dibina, selain harus memiliki keinginan untuk memperbaiki diri, dalam pembinaannya juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya seperti pendidikan masyarakat, adat istiadat dan budaya setempat, serta faktor sosial lainnya yang terkait dengan pemasyarakatan. Demikian halnya dengan penegak hukum dengan seperangkat undang-undang hukum pidana dan peraturan-peraturan lainnya, bekerja secara integral
beserta masyarakat berperan sebagai alat untuk
berproses dalam mencapai pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh ditunjukkan pada Narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya, ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.82 Istilah pemasyarakatan dimaksudkan bahwa pembinaan terhadap Narapidana hendaknya berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi dan sesuai dengan kondisi narapidana itu.
81
Bambang Poernomo I, Op.Cit. hal.94. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2004, 40 Tahun Pemasyarakatan Mengukir Citra Profesionalisme, Jakarta, 34. 82
81
Dalam Konferensi Lembang dirumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap para Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Kesepuluh prinsip pemasyarakatan yang disepakati sebagai pedoman, pembinaan terhadap Narapidana di Indonesia sebagai berikut: 1. ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna; 2. penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh Negara. Ini berarti bahwa tidak boleh ada penyiksaan terhadap Narapidana dan anak didik, baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan taupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh Narapidana dan anak didik hendaknya hanyalah dihilangkannya kemerdekaannya untuk bergerak dalam masyarakat bebas; 3. berikan bimbingan, bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat. Berikan kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya; 4. negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelumnya dijatuhi pidana, misalnya dengan mencampurbaurkan Narapidana dan anak didik, yang melakukan tindak pidana berat dengan yang ringan, dan sebagainya; 5. selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para Narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain kontak dengan masyarakat dapat terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan kedalam lembaga pemasyarakatan dari anggota-anggota masyarakat bebas, dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga; 6. pekerjaan yang diberikan kepada Narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan Negara pada waktu-waktu tertentu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang terdapat di masyarakat, dan yang menunjang pembangunan, umpamanya menunjang usaha meningkatkan produksi pangan; 7. bimbingan dan didikan yang diberikan kepada Narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila. Antara lain ini berarti bahwa kepada mereka harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, disamping pendidikan kerokhanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan spiritual; 8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia. Martabatnya dan perasaannya sebagai manusia harus dihormati;
82
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialaminya; 10. disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.83
Prinsip pelaksanaan pemasyarakatan di Indonesia berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor : 12 tahun 1995 terdiri dari : a. Pengayoman ; Dimaksudkan sebagai perlakuan kepada warga binaan pemasyarakaatn dalam kerangka melindungi masyarakat dari pengulangan perbuatan pidana oleh warga binaan dengan cara memberikan bekal hidup berupa pemberian ketrampilan, pendidikan, pembinaan jasmani, rohani dan keagamaan selama menjalani proses pemasyarakatan. b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; Seluruh warga binaan diperlakukan dan dilayani sama tanpa membedabedakan latar belakang orang (Non Diskriminasi). c. Pendidikan dan bimbingan; Pelayanan ini dilandasi dengan penanaman jiwa kekeluargaan, budi pekerti, pendidikan rohani, kesempatan menunaikan ibadah dan ketrampilan dengan berlandaskan Pancasila. d. Penghormatan harkat dan martabat manusia; Asas ini dijelaskan sebagai bentuk perlakuan kepada warga binaan yang dianggap orang ―tersesat‖ tetapi harus diperlakukan sebagai manusia. e. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; Memiliki maksud, bahwa warga binaan hanya ditempatkan sementara waktu di dalam lembaga pemasyarakatan untuk mendapat rehabilitasi dari negara. Seorang Narapidana hanya kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi hak-hak perdatanya seperti perawatan kesehatan, makan dan minum, pakaian, olah raga, rekreasi, istirahat dan hak untuk tidak disiksa/dianiaya tetap dilindungi dan dipenuhi. f. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu.
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas asas Pancasila, yaitu memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dalam membina terpidana dikembangkan hidup kejiwaan, jasmaniahnya, pribadi 83
Departemen Kehakiman, Op. Cit. , halaman 9-10.
83
serta
kemasyarakatannya
dan
didalam
penyelenggaraannya
mengikutsertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungan dengan masyarakat. Perlakuan terhadap Narapidana merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan pembinaan pada seseorang. Situasi (lingkungan sekitar) menjadi faktor penentu keberhasilan, “ The Person and the Situation in the treatment of prisioners”.
84
Wujud serta cara pembinaan terpidana
dalam semua aspek kehidupannya, dan pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya dengan masyarakat di luar lembaga disesuaikan dengan kemajuan sikap dan tingkah lakunya serta lama pidana yang wajib dijalankan. Dengan demikian diharapkan terpidana pada waktu lepas dari lembaga benar-benar telah siap hidup bermasyarakat kembali dengan baik.85 Pemasyarakatan sebagai sebuah sistem dan merupakan sub sistem terakhir dari sistem peradilan pidana adalah merupakan serangkaian penegakan hukum yang bertujuan : 1. Agar narapidana pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi lagi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakatnya dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (mengembalikan bekas narapidana ke dalam masyarakat sebagai warga masyarakat yang baik);
84
Edwin H. Sutherland, 1973, On Analyzing by Karl Schuessler, The University of Chicago Press, Ltd, London, h. 160. 85 Bambang Poernomo, 1992, Aspek Kekeluargaan Dalam Pembinaan Terpidana (seminar nasional pemasyarakatan terpidana I tanggal 20-21 Oktober 1992) Universitas Indonesia, Jakarta. (Selanjutnya disebut Bambang II)
84
2. Untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana (kambuhnya kejahatan), oleh bekas Narapidana atau warga binaan pemasyarakatan dalam masyarakat karena tidak mendapatkan pekerjaan dan perlakuan yang tidak mendukung proses pembinaan. Dengan adanya tujuan yang baik dari sistem pemasyarakatan, maka semua sub sistem dari sistem pemasyarakatan haruslah bekerjasama dan saling mendukung untuk mencapai satu tujuan. Konsepsi pemasyarakatan telah diakui secara resmi sebagai suatu keberhasilan dalam memperlakukan narapidana yang sedang berada dalam proses pembinaan. Dalam sistem kepenjaraan, narapidana diposisikan sebagai obyek semata-mata. Sebagai obyek, dalam artian perlakuan terhadap narapidana sering kurang mengarah pada pembinaan. Berbeda
halnya
dengan
sistem
pemasyarakatan
yang
telah
memposisikan narapidana sebagai subjek, eksistensi manusia penghuni lembaga pemasyarakatan telah bergeser.86 Perlakuan terhadap narapidana telah mengarah pada pembinaan agar kelak setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan menjadi manusia yang berguna serta mampu beradaptasi dengan lingkungan masyarakatnya. Dalam sistem baru pembinaan Narapidana dengan sistem pemasyarakatan, Narapidana diperlakukan sebagai subyek dan juga sekaligus obyek. Jadi perlakuan terhadap Narapidana, dalam dua bentuk perlakuan. Yang menjadi satu adalah kemampuan manusia
86
Romli I, 1982, Op. Cit., hal 53.
85
untuk tetap memberlakukan manusia sebagai manusia yang mempunyai keberadaan sejajar dengan manusia lain. Jadi subyek di sini mempunyai
kesamanaan,
kesejajaran,
dalam
arti
sama-sama
sebagai makhluk yang spesifik yang mampu berpikir dan mampu membuat keputusan. Selain itu, Narapidana sebagai subyek, juga diberikan dan dilindungi hak-haknya secara hukum, yakni hak-hak untuk Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Pembebasan Bersyarat (PB), Asimilasi, hak untuk mendapat remisi dan hak-hak lain, meskipun dalam prakteknya tidak semua hak-hak tersebut dapat diterima oleh seorang Narapidana karena berbagai sebab. Dalam hal perlakuan Narapidana sebagai subyek, adalah tidak adanya perbedaan perlakuan (dalam masalah pembinaan) antara Narapidana pemula dengan narapidana residivist. Ini adalah sebagai akibat tahapan proses pembinaan yang telah ditentukan secara baku. Namun demikian, perlakuan terhadap Narapidana pemula dengan narapidana residivist, ada perbedaan dalam masalah pengawasan (keamanannya). 87 Dalam proses pembinaan disamping ada ketenuan proses pembinaan yang ditentukan secara baku untuk narapidana pada umumnya perlu juga dibuat ketentuan yang baku berkaitan dengan proses pembinaan narapidana wanita.
87
R.Achmad Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, 1979, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung, Bina Cipta hal. 67.
86
3.2. Proses Pembinaan Narapidana Wanita dalam Sistem Pemasyarakatan Narapidana dalam proses hukumnya akan menjalani proses pembinaan
yang
dibagi
dalam
tahap-tahap
pembinaan
dan
pembimbingan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan) maupun pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang beralih dari satu tahap ketahap berikutnya sesuai dengan waktu yang dijalani dan hasil dari pembinaan yang ditunjukkan. Sebelum dimulainya pembinaan atau proses pemasyarakatan, narapidana terlebih dahulu menjalani proses penerimaan, pendaftaran dan penempatan. Proses ini selain dilaksanakan untuk kepentingan administrasi dan kelancaran proses pemasyarakatan, hal ini menyangkut juga usaha untuk perlindungan dan penegakan hak asasi Narapidana, karena proses ini sangat berpengaruh dalam perlakuan dan pembinaan yang
dijalankan
serta
pemenuhan
hak-hak
Narapidana.
Proses ini dilakukan sebelum Narapidana menjalani tahap-tahap pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara. Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, proses ini meliputi : a. Penerimaan. Pada tahap ini narapidana yang telah diputus untuk menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara, diterima oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau
87
Rumah Tahanan Negara (Rutan), penerimaan dilakukan oleh anggota regu jaga yang sedang bertugas di pintu gerbang untuk selanjutnya mengantarkan kepada kepala regu jaga. Kemudian dilakukan penelitian surat-surat kelengkapan terpidana, barang-barang bawaan. Pada proses ini juga dilaksanakan penggeledahan terhadap barang-barang bawaan maupun badan terpidana untuk memastikan tidak ditemukan barangbarang terlarang dan tidak diijinkan dibawa ke dalam blok hunian (sel). Setelah proses ini
selesai, terpidana diantarkan ke petugas
pendaftaran atau registrasi untuk didaftar. Namun kenyataannya di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar petugas yang menerima Narapidana laki-laki dan wanita, petugasnya sama tidak dibedakan, sebaiknya yang menerima narapidana wanita itu adalah petugas wanita. b. P endaft ar an. Pada proses ini dilakukan pendaftaran yang meliputi : 1) Pencatatan meliputi : a) putusan Pengadilan b ) j a t i di r i c) barang dan uang bawaan 2) Pemeriksaan kesehatan 3) Pembuatan pas foto 4) Pengambilan sidik jari 5) Pembuatan berita acara serah terima terpidana c. Penempatan
88
Pada proses ini terpidana ditentukan penempatannya baik blok maupun
selnya.
Penempatan
dilakukan
dengan
memperhatikan
penggolongan terpidana. Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara dilakukan penggolongan atas dasar ; Jenis kelamin, umur, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Proses penerimaan, pendaftaran dan penempatan sangat penting dalam rangka pembinaan narapidana dan keberhasilan pembinaan yang akan dijalankan di dalam Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara. Dalam proses ini dapat terjadi pelanggaran terhadap kepentingan dan kesusilaan yang sangat berpengaruh pada proses pembinaan selanjutnya. Seperti misalnya pada proses penerimaan dan pendaftaran dapat terjadi pelecehan terutama kepada terpidana wanita, khususnya pada saat penggeledahan, oleh karena itu ditentukan bahwa penggeledahan terhadap terpidana wanita dilakukan oleh petugas wanita dan terhadap terpidana pria, penggeledahan dilaksanakan oleh petugas pria. Demikian
juga
pada
proses
penempatan,
harus
benar-benar
diperhatikan ketentuan-ketentuan dan kriteria atau penggolongan dalam penempatannya. Kesalahan atau penyimpangan pada proses ini dapat mengakibatkan terganggu atau tidak lancarnya proses pembinaan. Oleh karena itu dalam proses ini harus dibuat pemisahan dan pembedaan yang berpengaruh pada pelaksanaan pembinaan maupun pemenuhan hak-hak narapidana sesuai dengan kondisi dan keadaannya.
89
Pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan merupakan suatu proses yang dijalankan berdasarkan tahapan-tahapan
yang
didasarkan pada waktu dan hasil pembinaan yang dijalani. Secara umum tahapan dalam proses pembinaan antara narapidana wanita dengan narapidana laki-laki tidak dibedakan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pentahapan ini sangat berguna dalam rangka usaha pembinaan narapidana untuk proses perbaikan, dimana dengan proses ini narapidana akan mendapat suatu perlakuan dan kondisi sesuai dengan keadaan dan hasil positif yang diperoleh disetiap tahap. Tahap-tahap pembinaan yang akan dijalani oleh narapidana dibagi dalam tiga tahap yaitu : (pasal 9 dan pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor : 31 Tahun 1999) a. Pembinaan Tahap awal : Pembinaan tahap awal dimulai sejak seseorang berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidana (maximum security), dimana pembinaan tahap awal meliputi : 1. Masa Admisi dan Orientasi atau masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan yang dilaksanakan paling lama 1 bulan. 2. Pembinaan kepribadian yang meliputi : a. Pembinaan kesadaran beragama b. Pembinaan kesadaran berbengsa dan bernegara c. Pembinaan kemampuan intelectual d. Pembinaan kesadaran hukum
3. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
90
Pada tahap ini narapidana diperkenalkan dengan kondisi embaga pemasyarakatan, proses pembinaan yang akan dijalankan, hak-hak yang diperoleh, kegiatan-kegiatan yang harus dijalankan dan dapat dijalankan bila diinginkan. Pada akhir tahapan akan diadakan penilaian untuk memperoleh gambaran tentang hasil pembinaan yang ditunjukkan pada tahap ini, serta menentukan juga untuk penetapan tahap pembinaan selanjutnya.
b. Pembinaa Tahap lanjutan : Setelah menjalani masa tahap awal dan berdasarkan hasil Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) lembaga pemasyarakatan, maka narapidana akan dialihkan pembinaannya ketahap lanjutan. Dalam pembinaan tahap lanjutan ini pembinaannya dibagi dalam dua tahap yang meliputi :
1. Tahap lanjutan pertama (medium security), yang dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal atau 1/3 sampai dengan setengah (1/2) dari masa pidana, yang meliputi : a. Pembinaan kepribadian lanjutan b. Pembinaan
kemandirian
seperti
ketrampilan
yang
mendukung usaha-usaha mandiri, industri kecil, pengembangan sesuai bakat masing-masing, pertanian, industri dengan teknologi madya/tinggi. 2. Tahap
lanjutan
kedua
(medium
security)
dimulai
sejak
berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidana (1/2 sampai 2/3 masa pidana). Pembinaan tahap lanjutan meliputi perencanaan program program tahap lanjutan,
91
pelaksanaan
program
pembinaan
tahap
lanjutan,
penilaian
pelaksanaan program pembinaan pelaksanaan program asimilasi, baik Asimilasi dalam Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (Open camp) maupun asimilasi dalam Lembaga Pemasyarakatan (Half way house/work) seperti ; melanjutkan sekolah, kerja mandiri, kerja pada pihak ketiga/pihak luar, menjalankan ibadah, olah raga serta Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK). c. Pembinaan Tahap Akhir : Pembinaan tahap akhir dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan (+ 2/3 masa pidana) narapidana telah memenuhi syarat-syarat
pembebasan
(pengembalian
ke
tengah-tengah
masyarakat), yang meliputi : program integrasi seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB). Dimana bimbingannya dilaksanakan oleh
Balai Pemasyarakatan
dan pengawasannya dari Kejaksaan Negeri. Pembinaan terhadap narapidana disesuaikan dengan hak-hak yang terkandung dalam Pancasila Undang-Undang Dasar 1945 dan Standar Minimum Rules (SMR) yang tercemin dalam 10 prinsip pemasyarakatan. Pada dasarnya arah pelayanan pembinaan dan bimbingan yang perlu di lakukan oleh petugas adalah memperbaiki tingkah laku narapidana agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
92
tentang Pemasyarakatan, dalam Pasal 14 Dimana di dalamnya secara eksplisit disebutkan beberapa hak narapidana yaitu : a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak di larang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) ; k. mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB); l. mendapatkan Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Hak untuk mendapatkan Cuti Bersyarat (CB); m. mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Pelaksanaan hak-hak narapidana ini diatur lebih jelas dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan serta peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan pelaksanaan proses pemasyarakatan, baik yang ditetapkan sesudah undang-undang ini maupun peraturan yang ada sebelum undang-undang ini ditetapkan dan tidak dicabut.
Hak-hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis, akan tetapi dengan syarat atau kriteria tertentu seperti halnya untuk mendapatkan remisi, asimilasi harus memenuhi syarat yang telah ditentukan. Menurut Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) syarat atau kriteria untuk mendapatkan remisi
93
adalah : setiap narapidana selama menjalani masa pidana berkelakuan baik; dan remisi tersebut dapat ditambah apabila narapidana selama menjalani pidana berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, atau melakukan kegiatan yang membantu kegiatan lembaga. Untuk mendapatkan asimilasi dan cuti mengunjungi keluarga (CMK), syarat dan kriterianya sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) yaitu : setiap narapidana yang telah menjalani pembinaan 1/2 (satu per dua) masa pidana, berkelakuan baik dan mengikuti program pembinaan dengan baik. Peraturan lain yang menjamin hak-hak narapidana khususnya hak asasinya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Pasal 1 butir kesatu Undang-Undang Hak Asasi Manusia mendifinisikan Hak Asasi Manusia adalah ―seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia". 88 Sifat hak asasi manusia adalah merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan dan 88
Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
94
dirampas oleh siapapun, jadi hak asasi manusia merupakan hak mutlak yang selalu melekat pada diri manusia. Ketentuan ini juga berlaku bagi narapidana, karena mereka juga manusia, hanya keadaannya berbeda yaitu menjalankan pidana penjara (pembatasan kemerdekaan) karena melanggar peraturan yang berlaku. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 diatur secara tegas dan jelas tentang hak-hak asasi manusia serta perlindungannya, yang terutama ialah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di depan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Undang-undang ini mengatur tentang pelaksanaan hak asasi tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh apapun. Ketentuan ini sama seperti ketentuan tentang hak asasi manusia yang terdapat dalam konstitusi dasar Negara Republik Indonesia yaitu Undang- undang Dasar 1945 (Amandemen ke-4) baik dalam isi pembukaan maupun batang tubuhnya. Pengaturan secara tegas dan khusus terhadap hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini terdapat dalam Pasal 28a — 28j yang isinya sama dengan jenis-jenis hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang tentang hak asasi manusia tahun 1999. Berdasarkan
ketentuan-ketentuan
di
atas,
dalam
praktek
pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan maka dapat dijumpai aspek-aspek yang merupakan hak-hak narapidana serta hak
95
asasinya. Melihat pada ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 28a — 28j maka seorang narapidana "yang hilang kemerdekaannya" karena pidana yang dijatuhkan kepadanya berupa pidana penjara tetap mempunyai hak-hak yang selalu melekat padanya terutama hak asasinya. Pasal
14
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
1995
t e n t a n g Pemasyarakatan yang mengatur tentang hak-hak narapidana sejalan dengan ketentuan tentang hak asasi seperti yang telah diuraikan di atas. Narapidana yang hilang kemerdekaannya juga adalah manusia tetap mempunyai hak untuk hidup, hal ini dapat dilihat dengan diaturnya hak narapidana atas pelayanan kesehatan dan makanan yang layak (Pasal 14 butir d), hak untuk mempertahankan hidup yaitu dengan diberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan dengan upah atau premi serta pemberian keterampilan (Pasal 14 butir g), hak beragama serta menjalankan ibadah dengan bebas (Pasal 14 butir a), hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani yaitu diberikannya perawatan rohani dan jasmani, pendidikan dan pengajaran, mendapat informasi melalui bahan bacaan dan media masa (Pasal 14 butir b,c,f), narapidana juga diberikan hak hukum dan hak untuk mendapat perlakuan yang sama baik dalam mendapat bantuan hukum/penasehat hukum, remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas (Pasal 14 butir h,i,k,1), narapidana juga mempunyai hak
untuk
tidak
dihilangkan
kesempatan
berhubungan
dan
berkomunikasi dengan masyarakat lainnya baik sesama narapidana
96
maupun masyarakat diluar narapidana yakni melalui hak narapidana untuk dikunjungi keluarga, saudara, teman, kesempatan berasimilasi dan berintegrasi dengan masyarakat termasuk cuti mengunjungi keluarga dan cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat, serta hak-hak lainnya yang menyangkut hak-hak dasar narapidana tetap dilindungi dan dijalankan. Salah satu wujud perlindungan hak asasi narapidana adalah diberi hak kepada narapidana untuk menyampaikan keluhan (Pasal 14 butir e), dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa, "yang dimaksud dengan menyampaikan keluhan apabila terhadap narapidana yang bersangkutan terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh aparat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara Rutan (Rutan) atau sesama penghuni Lapas atau Rutan, yang bersangkutan dapat menyampaikan keluhannya kepada Kepala Lapas atau Rutan". Oleh karena itu, seorang narapidana yang benar-benar merasa bahwa telah terjadi pelanggaran atau tidak dipenuhinya hak-hak asasinya maka ia punya hak untuk menuntut yaitu dengan menyampaikan keluhan agar dilakukan tindakan atau ditegakkannya hak asasinya. Keluhan ini dapat disampaikan oleh narapidana langsung kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Rumah Tahanan Negara ataupun kepada Tim
Pengamat
Pemasyarakatan
yaitu
pejabat-pejabat
Lembaga
Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara serta pejabat lainnya yang terkait.
97
Harus diakui narapidana adalah pelanggar hukum yang merugikan orang lain, bahkan mengorbankan keluarganya sendiri hanya untuk kepentingan dan alasan-alasan tertentu. Sebagai manusia ciptaan Tuhan, walaupun menjadi terpidana hak-hak yang melekat pada dirinya tetap harus dihargai. Hak itu harus diakui dan dilindungi oleh hukum, baik yang berasal dari hukum nasional maupun sistem pemasyarakatan Indonesia yang jelas-jelas berdasarkan Pancasila. Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk mendidik narapidana untuk menjadi warga negara yang baik yang kemudian dikembalikan
kepada
masyarakat.
Tuntutan
terhadap
lembaga
pemasyarakatan oleh masyarakat adalah bahwa bekas narapidana tidak akan mengulangi pelanggaran. 89 Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari beberapa jenis yaitu Lembaga Pemasyarakatan Umum, Lembaga Pemasyarakatan Wanita dan Lembaga Pemasyarakatan Anak. Ketiga Lembaga Pemasyarakatan itu berbeda-beda baik kegiatan ataupun program yang ada. Narapidana mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diayomi. Hak antara narapidana pria, narapidana wanita dan narapidana anak berbeda-beda. Dalam
hal
ini
masing-masing
narapidana
harus
ada
yang
dikedepankan. Sudah menjadi kodrat wanita mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak dipunyai oleh narapidana lain, sehingga sudah menjadi suatu kewajaran bahwa narapidana wanita
89
Muhammad Mustofo, 2005, Memikirkan Sistem Pemasyarakatan Yang Pas, Administrasi Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, hal. 119.
98
mempunyai hak-hak istimewa dibandingkan dengan narapidana lain. Yang jadi pertanyaan adalah apakah hak-hak narapidana wanita itu dilindungi sebagai mana mestinya seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1995. Dalam Undang-undang pemasyarakatan tidak diatur tentang perlindungan hukum terhadap narapidana wanita padahal karakter narapidana wanita dan laki-laki sungguh berbeda baik dari segi psikologis maupun dari segi pisik idealnya penempatan antara narapidana laki-laki dan wanita harus dipisahkan, seperti Lembaga Pemasyarakatan khusus narapidana wanita di Semarang. Lembaga Pemasyarakatan wanita di Semarang ini atau Lembaga Pemasyarakatan termasuk kategori Lembaga Pemasyarakatan Klas II A, hal ini disesuaikan dengan kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang dibagi menjadi 8 blok, setiap blok terdiri dari beberapa kamar dan setiap kamar tidur terdapat kamar mandi. Setiap kamar tidur dihuni oleh tiga, empat orang atau lebih yang dikelompokkan berdasarkan tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing narapidana wanita. Ada ruang kunjungan, ruang karantina, ruang ketrampilan, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang makan WBP, Balai pertemuan, gereja, Mushola, dapur, pos jaga dimana ruangan-ruangan ini diatur sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan wanita. Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar, yang berlokasi di Desa Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, yang mulai dibangun tahun 1977 dan mulai difungsikan tahun
99
1983. Memiliki luas tanah + 43.220 meter per-segi dan luas bangunan + 7485 meter per-segi, dengan panjang tembok luar LAPAS + 3280 meter, sedangkan sebagian besar bentuk bangunan berupa ―Pavillion system‖ terdiri dari :14 unit blok hunian, 1 unit ruang pendidikan, 1 unit ruang serba guna (aula), 3 unit sarana ibadah, 1 unit dapur, 1 unit gedung kantor, sarana olahraga, fasilitas air LAPAS Denpasar menggunakan sumur pompa. Dari 14 unit blok, satu blok untuk narapidana wanita dan tahanan wanita yang terdiri dari 10 kamar yaitu 6 kamar untuk narapidana wanita dan 4 kamar untuk tahanan. Tujuan didirikan lembaga pemasyarakatan wanita adalah untuk memisahkan antara narapidana wanita dengan narapidana laki-laki demi faktor keamanan dan faktor psikologis. Cara pembinaan narapidana wanita tidak jauh berbeda dengan lembaga pemasyarakatan pada umumnya, hanya sedikit kekhususan dimana di LP Wanita diberikan pembinaan ketrampilan seperti menjahit, menyulam, mengkristik, dan memasak bahkan dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita diberikan cuti haid yang merupakan salah satu pelaksanaan pembinaan dan dalam hal pekerjaan terdapat kekhususan yaitu pada narapidana wanita sifat pekerjaannya tidak begitu berat, sedangkan pada narapidana laki-laki sifat pekerjaannya agak berat. Pada dasarnya hak antara narapidana wanita dan narapidana pria adalah sama, hanya dalam hal ini karena narapidananya adalah wanita maka ada beberapa hak yang mendapat perlakuan khusus dari narapidana pria yang berbeda dalam
beberapa hal, diantaranya karena wanita
100
mempunyai kodrat yang tidak dipunyai oleh narapidana pria yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui maka dalam hal ini hak-hak narapidana wanita perlu mendapat perhatian yang khusus baik menurut Undang-Undang maupun oleh petugas lembaga pemasyarakatan. Pengaturan mengenai pelaksanaan hak narapidana wanita tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1999, tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dimana Pasal 20 mengatur perlindungan terhadap narapidana wanita yaitu 1. narapidana dan Anak didik pemasyarakatan yang sakit, hamil dan menyusui berhak mendapat makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter. 2. makanan tambahan juga diberikan kepada narapidana yang melakukan jenis pekerjaan tertentu 3. anak dari narapidana wanita yang dibawa kedalam LAPAS ataupun yang lahir di LAPAS dapat diberi makanan tambahan atas petunjuk dokter, paling lama sampai berumur 2 (dua) tahun. 4. dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 telah mencapai umur 2 (dua) tahun, harus diserahkan kepada bapaknya atau sanak keluarga, atau pihak lain atas persetujuan ibunya dan dibuat dalam satu berita acara. 5. untuk kepentingan kesehatan anak, Kepala LAPAS dapat menentukan makanan tambahan selain sebagaimana di maksud dalam ayat 3 berdasarkan pertimbangan.
Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1999 disebutkan bahwa narapidana dan Anak didik pemasyarakatan yang sakit, hamil dan menyusui berhak mendapat makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter, yang dimaksud makanan tambahan adalah penambahan jumlah kalori diatas rata-rata jumlah kalori yang ditetapkan. Bagi wanita yang sedang hamil ditambah 300 (tiga ratus) kalori seorang sehari. Bagi wanita yang sedang menyusui dapat ditambah antara 800 (delapan ratus)
101
sampai dengan 1000 (seribu) sehari seorang sehari. Untuk menjaga terpeliharanya kesehatan Narapidana yang bekerja pada ―jenis pekerjaan tertentu‖ antara lain bekerja di bengkel kerja, pertanian, perikanan, dapur, peternakan, perkebunan. Pemberian makanan tambahan dimaksudkan untuk menjaga terpeliharanya pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak yang lahir di Lembaga Pemasyarakatan telah mencapai 2 tahun harus diserahkan kepada bapaknya atau sanak keluarga atau pihak lain atas persetujuan ibunya. Kenyataannya di lembaga pemasyarakatan belum sampai mencapai usia 2 tahun sudah di ambil oleh pihak keluarga. Dalam
Undang-Undang
No.12
tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan Pasal (14) disebutkan hak-hak narapidana, di samping hak-hak narapidana juga ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh narapidana seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Pasal (15) yaitu: 1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu. 2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Hak dan kewajiban merupakan tolak ukur berhasil tidaknya pola pembinaan yang dilakukan oleh para petugas kepada narapidana. Dalam hal ini dapat dilihat apakah petugas benar-benar memperhatikan hak-hak narapidana, dan apakah narapidana juga sadar selain hak narapidana juga mempunyai kewajiban yang harus dilakukan dengan
102
baik dan penuh kesadaran. Dalam hal ini dituntut adanya kerjasama yang baik antara petugas dan para narapidana. Metode
penyelenggaraan
pembinaan
dengan
sistem
pemasyarakatan merupakan hal penting yang berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pemasyarakatan. Bambang Poernomo menyatakan bahwa : ―Segala upaya berpikir dalam pemasyarakatan merupakan metodologi penyelenggaraan bimbingan dan pembinaan dengan cara tertentu bagi kepentingan masyarakat dan individu yang bersangkutan, serta mempergunakan akal kritis melalui upayaupaya tertentu, misalnya asimilasi, integrasi, pendidikan, latihan kerja, ketrampilan dan lainlainnya‖90 Dalam upaya pelaksanaan pembinaan narapidana yang bertujuan untuk memperbaiki, menimbulkan rasa tobat berdasarkan keinsafan atau kesadaran dan sekaligus melindungi kepentingan masyarakat, yang berdasarkan
Pancasila,
prinsip
Pemasyarakatan
dan
nilai-nilai
kemanusiaan, maka perlu dibuat suatu metode atau cara pelaksanaan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara. Dalam pemasyarakatan
pelaksanaan ditetapkan
pembinaan suatu
metode
dengan pembinaan
sistem dan
pembimbingan yang ditetapkan dalam Bab VI Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02- PK.04.10 Tahun 1990
90
Bambang Poernomo II, Op.Cit., hal. 143.
103
tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan. Berdasarkan metode tersebut,
diharapkan
dalam
pelaksanaan
pembinaan
terhadap
narapidana tetap mengakui dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki oleh narapidana. Pembinaan yang diberikan sifanya adalah mendidik dan berupaya merubah narapidana agar mampu memperbaiki diri dan menginsyafi perbuatan yang telah dilakukannya. Oleh karena itu dalam pembinaan diberikan teladan yang baik, pendidikan yang mendukung perbaikan serta perlakuan yang adil terhadap sesama narapidana. Dalam rangka pembinaan untuk tujuan perbaikan narapidana dan usaha mengembalikan narapidana ke lingkungan masyarakat, maka selama menjalani pembinaan ditentukan arah pembinaan yaitu penentuan ruang
lingkup
pembinaan
yang
akan
diberikan
di
lembaga
pemasyarakatan. Penentuan ruang lingkup pembinaan adalah agar tujuan, proses dan metode pembinaan dapat dijalankan secara sistematis serta disesuaikan dengan kebutuhan narapidana dan tetap melindungi harkat dan martabatnya. Proses pemasyarakatan Narapidana yang dilaksanakan melalui beberapa macam serta program pembinaan dan bimbingan terdapat banyak faktor
yang
mempengaruhinya.
Faktor-faktor
yang
mernpengaruhi
pelaksanaan pembinaan dan bimbingan (proses pemasyarakatan) tersebut dapat dibedakan menjadi:
104
- faktor penunjang/pendukung dan - faktor penghambat/kendala. a. Faktor penunjang/pendukung, Faktor penunjang/pendukung adalah setiap upaya keadaan
yang
dapat
membantu
pelaksanaan
ataupun proses
pemasyarakatan bagi Narapidana. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Peraturan Perundang-undangan Salah satu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan proses pemasyarakatan (pembinaan dan bimbingan) terhadap Narapidana adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan atau dasar hukumnya yang merupakan payung hukum. Peraturan perundang-undangan yang paling utama adalah
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 (Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan) beserta peraturan pelaksanaannya, baik Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), dan lain-lain. Peraturan Perundang-undangan tersebut, meskipun masih terdapat berbagai kekurangan atau kelemahan dalam mengatur pelaksanaan proses pemasyarakatan (pembinaan dan bimbingan) terhadap Narapidana, namun sangat membantu/menunjang dalam proses pelaksanaannya, baik di dalam maupun di luar lembaga. Peraturan Perundang-undangan yang berfungsi sebagai pedoman dalam
pelaksanaan
sistem
pemasyarakatan
(pembinaan
dan
105
bimbingan) sangat membantu dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini karena, hal-hal atau prinsip-prinsip pokok yang berkaitan dengan pelaksanaan proses pemasyarakatan telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga dapat memudahkan dalam pelaksanaannya. 2. Letak lokasi Lembaga Pemasyarakatan Dengan berlakunya sistem pemasyarakatan maka, pola dan tata-letak bangunan tersebut disesuaikan dengan persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI. No.01-PL-01 Tahun 1985 (Tentang Pola dan tata letak bangunan Lembaga Pemasyarakatan) yaitu: berlokasi di pinggir kota, mudah terjangkau dengan sarana transportasi dan komunikasi (telepon), fasilitas penerangan harus cukup (listrik), mudah mendapatkan air bersih,
sedapat-dapatnya
dekat
dengan
kantor
Kepolisian,
Kejaksaaan, dan Pengadilan. Khususnya mengenai sarana fisik, seperti letak, luas tanah, luas tembok keliling, luas lantai kamar hunian dan komponen-komponen gedung lembaga berpengaruh terhadap pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan. Kondisi obyektif gedung-gedung lembaga pemasyarakatan sekarang ini sangat tidak kondusif, bangunan yang sudah tua akan memudahkan pelarian narapidana. Oleh karena itu perlu dilakukan renovasi
106
maupun pembangunan gedung yang baru dalam jumlah yang memadai.91 3. Manajemen dan Mekanisme Kerja Yang Diterapkan Unsur manajemen merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan proses pemasyarakatan. Pengelolaan manajemen yang baik mencerminkan kemampuan dan keterampilan pengelolaan (managerial skill) dari pimpinan maupun staf dalam melaksanakan tugasnya. Demikian pula dengan mekanisme kerja yang merupakan hubungan tugas antara pimpinan dan staf hendaknya mampu dilaksanakan secara berdaya
guna agar
pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan baik dan lancar, serta disipli n dan kem am puan yang perl u dim il iki sem ua pet ugas p emasyarakatan, kemauan, ketaladanan dan sikap terpuji dari para petugas dalam meningkatkan kualitas bagi warga binaan pemasyarakatan. 4. Bantuan/kerjasama dengan instansi lain Pembinaan dan bimbingan terhadap Narapidana merupakan faktor
utama
dalam
pelaksanaan
proses
pemasyarakatan.
Bantuan/kerjasama dengan instansi lain tersebut antara lain, seperti Departemen Tenaga Kerja, Departernen Kesehatan, Departemen Sosial, dan Departemen Agama. Dengan adanya bantuan/kerjasama dengan instansi-instansi tersebut sangat membantu atau menunjang
91
Muhammad Mustofo, Op.Cit., hlm. 118.
107
dalam
pelaksanaan
tugas
pemasyarakatan
(pembinaan
dan
bimbingan) bagi Narapidana. b. Faktor penghambat Maksud
faktor penghambat adalah setiap upaya ataupun keadaan
yang dapat
menghalangi atau menghambat jalannya pelaksanaan
proscs pemasyarakatan bagi Narapidana, sehingga hal tersebut sekaligus juga merupakan faktor kendala. Mengenai faktor kendala ini akan diuraikan dalam pembahasan berikutnya. 1. Kurangnya kualitas dan kuantitas pembina/pembimbing Proses pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan pembinaan dan bimbingan Narapidana tidak dapat berhasil dengan baik tanpa didukung oleh petugas pembina/pembimbing yang memadai, baik dan segi kualitas maupun kuantitas. Kurangnya kualitas maupun kuantitas petugas pembina/pembimbing menyebabkan pelaksanaan tugas pembinaan dan bimbingan (proses pemasyarakatan) kurang berjalan dengan baik dan optimal. Mengenai kualitas para petugas pembina dan pembimbing, erat kaitannya atau bahkan sangat tergantung dari jenis serta tingkat pendidikan yang dimilikinya, baik pendidikan formal maupun non formal. Agar pelaksanaan proses pemasyarakatan dapat berjalan dengan baik dan optimal maka, perlu meningkatkan
kualitas
pembina/pembimbingnya,
maupun sehingga
kuantitas
hasil/manfaatnya
menunjang ide dan tujuan sistem pemasyarakatan
para dapat
108
2. Sarana dan prasarana yang masih kurang Sarana dan prasarana merupakan salah-satu faktor yang memegang peranan dan tidak dapat diabaikan dalam melaksanaan proses
pemasyarakatan
(pembinaan
dan
bimbingan)
bagi
Narapidana. Sarana dan prasarana yang masih kurang tidak saja menghambat jalannya pelaksanaan proses pemasyarakatan tersebut, tetapi akibatnya juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan atau efektifitasnya. 3. Anggaran/dana yang masih kurang Anggaran/dana dalam pelaksanaan proscs pemasyarakatan merupakan
faktor
yang
mutlak
sangat
diperlukan.
Proses
pemasyarakatan yang diwujudkan melalui pembinaan dan bimbingan Narapidana tidak dapat berjalan tanpa didukung oleh anggaran/dana. Di sisi lain, masalah anggaran/dana yang kurang mencukupi selalu menjadi
kendala
(hambatan),
sehingga
pelaksanaan
proses
pemasyarakatan tidak bisa berjalan dengan baik dan optimal. Tidak optimalnya pelaksanaan proses pemasyarakatan (pembinaan dan bimbingan), selain akan merugikan para Narapidana, dapat juga menurunkan
citra
lembaga
pemasyarakatan
sebagai
tempat
memperbaiki/merehabilitasi Narapidana. Hal ini membuktikan bahwa, dalam pelaksanaan proses pemasyarakatan (pembinaan dan bimbingan) bagi Narapidana, anggaran/dana yang memadai mutlak sangat dibutuhkan. Oleh
109
karena itu, apabila hal ini tidak mendapat perhatian maka selain menghambat pelaksanaan proses pemasyarakatan, juga hasil atau manfaatnya tidak dapat menunjang ide dan mewujudkan
tujuan
sistem pemasyarakatan sebagaimana diharapkan. 4. Kurangnya partisipasi atau dukungan masyarakat Pengembalian Narapidana ke dalam masyarakat merupakan akhir dari proses pemasyarakatan. Untuk melaksanakan hal tersebut sangat
memerlukan
partisipasi
atau
dukungan
masyarakat
lingkungannya, terutama sekali masyarakat di tempat tinggalnya karena, tanpa partisipasi/dukungan tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan. Menyadari pentingnya partisipasi atau dukungan masyarakat dalam upaya mengembalikan Narapidana maka, perlu hal ini disosialisasikan kepada masyarakat karena, meskipun Narapidana benar-benar telah bertobat dan menyesali perbuatannya, namun tidak dapat
dihindari
masih
ada
masyarakat
yang
memandang
/menganggap mereka sebagai orang yang tidak baik (jahat), sehingga sulit menerimanya dalam kehidupan masyarakat. Dengan sosialisasi tersebut diharapkan masyarakat dapat melupakan label/cap jahat yang telah terlanjur diberikan terhadap mereka. Pada umumnya masyarakat masih cukup banyak yang memandang atau menganggap bekas Narapidana sebagai orang yang tidak baik/jahat. Hal ini disebabkan karena, pada umumnya masyarakat masih kurang
110
memahami tentang keberadaan mereka (bekas Narapidana) selama menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan, sehingga sulit menerimanya kembali sebagai orang yang baik dan bertanggungjawab. Kesulitan bagi masyarakat untuk menerima bekas Narapidana menyebabkan mereka merasa semakin tersisih dan dijauhkan dari lingkungannya. Dalam situasi demikian mereka semakin sulit bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan masyarakat, sehingga pembinaan dan bimbingan yang diperolehnya selama di dalam lembaga tidak banyak bermanfaat bagi dirinya. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala atau hambatan tersebut adalah: Berkaitan
dengan
petugas/pembina yang upaya
kualitas
masih
dan
kurang,
kuantitas dilakukan
para dengan
meningkatkan kemampuan/keterampilan mereka melalui
pendidikan dan pelatihan-pelatihan (diklat).
Selain itu pula
menganjurkan dan memberikankesempatan seluas-luasnya kepada para petugas pembina maupun para pegawai lembaga pada umumnya untuk meningkatkan pendidikannya, terutama ke Perguruan Tinggi. Dengan pendidikan yang lebih memadai itu pengetahuan
dan
keterampilan
mereka
diharapkan
semakin bertambah,
sehingga dengan sendirinya kualitasnya semakin baik pula. Berkaitan dengan anggaran/dana yang relatif kurang, selain
111
berupaya melakukan penghematan dan mengharapkan tambahan dari Pemerintah, juga berupaya mendapat tambahan dengan menjual hasil keterampilan kerja para narapidana meskipun nilainya tidak seberapa (kecil), namun dapat membantu atau mengurangi kekurangan anggaran dana yang ada. Berkaitan
dengan
kurangnya
dukungan/partisipasi
masyarakat, satu-satunya upaya yang dapai dilakukan adalah melakukan sosialisasi dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan lembaga pemasyarakatan, khususnya mengenai keberadaan bekas narapidana dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan, baik oleh pihak lembaga sendiri maupun oleh instansi-instansi terkait lainnya. Melalui penyuluhan tersebut masyarakat diharapkan memahami keberadaan para Narapidana, sehingga dapat menerimanya kembali dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan sarana dan prasarana yang masih kurang selain mengusahakan sendiri oleh pihak lembaga sesuai dengan kemampuan yang ada, juga satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah melaporkannya serta mengharapkan kepada Pemerintah agar masalah tersebut mendapat perhatian. Hal ini dilakukan karena fungsi dan wewenang yang dibebankan kepada pihak lembaga hanya terbatas untuk melaksanakan proses pemasyarakatan (pembinaan dan bimbingan) terhadap Narapidana sebagaimana ditentukan dalam
112
Undang-undang No. 12 Tahun 1995. Umumnya masalah-masalah yang sering menjadi kendala dalam pembinaan antara lain : 1) Sikap acuh tak acuh keluarga narapidana. 2) Partisipasi masyarakat yang masih perlu ditingkatkan, karena masih didapati kenyataan sebagian anggota masyarakat masih enggan menerima kembali bekas Narapidana. 3) Kerja sama dengan instansi (badan) tertentu baik yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung masih perlu ditingkatkan, karena masih ada diantaranya yang belum terpanggil untuk melakukan kerja sama. 4) Informasi-informasi dan pemberitaan-pemberitaan yang tidak seimbang, bahkan cenderung selalu mendiskreditkan lembaga pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara sehingga dapat merusak citra Pemasyarakatan di mata masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut sejak awal perencanaan terhadap pembinaan narapidana wanita sudah disesuaikan dengan kebutuhan wanita pada umumnya, sehingga hak-hak narapidana wanita dibedakan dengan narapidana laki-laki pada umumnya.
113
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM NARAPIDANA WANITA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR
4.1. Hak Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Pelaksanaan masalah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita, penelitiannya dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar, karena pengamatan penulis di Lembaga Pemasyarakatan narapidana wanita ditempatkan dalam satu areal dengan narapidana lakilaki. Pada hakekatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi oleh sebab itu sistem pemasyarakatan menitik beratkan pada usaha perawatan, pembinaan, pendidikan dan bimbingan bagi warga binaan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan hak asasi antara individu warga binaan dan masyarakat. Narapidana saat ini diperlakukan secara manusiawi seperti yang tersirat dalam pasal 5 dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa dalam pembinanaan Narapidana diberlakukan asas persamaan perlakuan dan pelayanan artinya baik narapidana wanita dan narapidana laki-laki mendapat persamaan perlakuan. Warga binaan dalam sistem pemasyarakatan mempunyai hak seperti dituangkan dalam pasal 14 ayat 1 Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan adalah sebagai berikut : 113
114
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Menyampaikan keluhan Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga. Mendapat pembebasan bersyarat. Mendapat cuti menjelang bebas Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak-hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis tapi dengan syarat atau kriteria tertentu seperti halnya untuk mendapatkan remisi, asimilasi harus memenuhi syarat yang sudah dapat ditentukan. Agar hak dari warga binaan pemasyarakatan sebagaimana tercantum dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terselenggara dengan baik, maka untuk setiap golongan warga binaan ditentukan syarat dan tata cara yang berbeda karena masing-masing golongan mempunyai hak yang berbeda, seperti halnya Anak Pidana tidak mempunyai hak mendapatkan upah atau premi, Anak Negara tidak mempunyai hak untuk mendapatkan upah atau remisi dan anak Sipil tidak mendapatkan upah, remisi, pembebasan bersyarat ataupun cuti menjelang bebas. Pelaksanaan dari pasal 14 UU No 12 Tahun 1995 di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, antara lain :
115
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar diberikan kebebasan dalam melaksanakan ibadah. Ada berbagai kegiatan bagi narapidana yang beragama Islam antara lain : pengajian, ceramah baca tulis Al Qur'an dan shalat berjamaah. Bagi narapidana yang beragama Nasrani ada kegiatan kebaktian, doa bersama, dan yang beragarna Hindu
ada
kegiatan sembahyang
dan
Dharma
Shanti,
yang
dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, pihak Lapas bekerjasama dengan berbagai instansi antara lain : yayasan adzikro, Departemen agama, gereja Bethel dan gereja Pantekosta. Untuk bulan puasa narapidana dalarn rnelaksanakan shalat taraweh mengingat tempat terbatas, maka mereka diberi jadwal dan lainnya yang tidak mendapat jadwal, melaksanakan shalat di blok masing-masing. Berikut tabel jumlah peserta kegiatan agama di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar : Tabel II Jumlah Peserta Kegiatan Agama di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
No
Agama
Mata Pelajaran
Napi
Tahanan
Guru /
L
W
L
W
Penceramah
Instansi
1
Islam
Iman
206
25
93
28
Mahmudi
Depag
2
Kristen
108
12
64
18
Stenly
Depag
3
Katolik Hindu
Anugrah di dalam Tuhan Tata Upacara Persembah ya ngan
138
21
123
32
I Wayan Suniakerta
Lapas , I
I
116
Perjalan 11 16 1 Hidup Sang Budha Persembah 463 Jumlah 58 296 79 ya Sumber : Seksi Pembinaan Narapidana n per Tanggal 15 Desember 2010 4
Budha
Depag
g peserta kegiatan agarna di atas, dapat dijelaskan Dilihat dari tabel a bahwa WBP yang beragama Islam diberikan mata pelajaran Iman yang n diikuti oleh 231 orang narapidana dan 121 tahanan yang diberikan oleh p Mahmudi sebagai penceramah yang berasal dari Departemen agama, e untuk WBP yang beragama Kristen diberikan pelajaran Anugrah di r dalam Tuhan yang diikuti oleh 120 orang narapidana dan 82 orang j tahanan yang diberikan oleh Stenly sebagai penceramah yang berasal dari Departemen Agama, untuk WBP yang beragama Hindu diberikan pelajaran Tata Upacara Persembahyangan yang diikuti oleh 159 orang narapidana dan 155 orang tahanan yang diberikan atau diajarkan oleh I Wayan Suniakerta yang berasal dari petugas Lapas sendiri, sedangkan untuk Agama Budha yang diikuti oleh 11 orang narapidana dan 17 orang tahanan diberikan pelajaran perjalanan hidup Sang Budha yang diberikan oleh penceramah yang berasal dari Departemen Agama. b. Mendapat Perawatan Jasmani maupun Rohani Narapidana disediakan sarana untuk olahraga dan kesenian, yang bertujuan sebagai sarana rekreasi, adapun kegiatan olah raga yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar adalah bola volley, bulutangkis, tennis meja, senam pagi. Sedangkan di bidang kesenian berupa latihan musik band,
117
dan seni tabuh. Untuk mengurangi kejenuhan penghuni, petugas kadang kala mengadakan pertandingan antar blok, atau mengundang masyarakat luar untuk bertanding melawan penghuni untuk kegiatan rohani, penghuni diberikan penyuluhan dan pembimbingan agama. Penghuni yang beragama Islam diberi penyuluhan oleh petugas ataupun pegawai yang berasal dari Departemen Agama, bahkan dibantu juga dari yayasan An-Nur dan yang beragama Nasrani diberi penyuluhan dari Gereja Maranata, Gereja Adven, dan Departemen Agama setempat. Adapun kegiatan olahraga dan kesenian sebagai berikut : Tabel III Peserta Kegiatan Olah raga dan Seni di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
TAHANAN No
Kegiatan
Hari L
1.
Olah Raga a. Bulu Tangkis
b. Bola Volly
c. Senam
2.
W
NARAPIDANA Alat yang Waktu Dewasa Pemuda Anak Jumlah digunakan L W L W L W
Jumat
20
20
Setiap Hari
14
14
Rabu s/d jumat
15
Kesenian a. Music Band Menyesuaikan b. Seni Tabuh
Menyesuaikan
20
35
Raket, Net, 09.00 Cook s/d 11.00 Aula LP Bola, Net 15.00 s/d 17.00 Tape, Kaset 08.00 s/d 09.00 1 set alat Music Band 1 set Gambelan
Sumber: Seksi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik 15 Desember 2010
118
Dilihat dari tabel peserta kegiatan olahraga dan seni di atas, dapat dijelaskan bahwa terdapat berbagai kegiatan olahraga dan seni diantaranya yaitu pada kegiatan olahraga bulutangkis yang diikuti oleh 20 orang narapidana laki-laki adapun peralatan yang digunakan antaralain berupa raket, net, dan cook yang dilaksanakan setiap hari jumat dari pukul 09.00 wita sampai dengan pukul 11.00 wita. Untuk bola volly dilaksanakan setiap hari yang diikuti oleh 14 orang narapidana laki-laki, adapun peralatan yang digunakan antara lain berupa bola volley dan net yang dilaksanakan dari pukul 15.00 wita sampai dengan 17.00 wita. Untuk senam pagi dilaksanakan pada setiap hari rabu sampai jumat yang diikuti oleh 15 orang narapidana laki-laki dan 20 orang narapidana wanita adapun peralatan yang dipergunakan adalah tape dan kaset yang dilaksanakan pada pukul 08.00 sampai pukul 09.00 wita. Sedangkan dalam bidang music band dan seni tabuh menyesuaikan, maksudnya adalah pada saat akan ada acara seperti acara 17 agustus band music band dan seni tabuh dilatih kembali oleh pihak petugas lapas, adapun alat-alat yang disediakan yaitu untuk kesenian music band diberikan 1 set alat music band dan untuk seni tabuh diberikan 1 set gambelan. c. Mendapat Pendidikan dan Pengajaran. Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar terdapat program kejar paket A yang dilaksanakan setiap hari kerja dengan mendatangkan guru dari Departemen Pendidikan Nasional. Petugas
119
menyeleksi narapidana yang wajib mengikuti dan melihat latar belakang pendidikan narapidana tersebut. Narapidana yang mengikuti program kejar paket A ada 13 orang, yang rata-rata masih buta huruf. Kegiatan lain yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran adalah pemberian
pelatihan
ketrampilan
sebagai
bekal
yang
dapat
dikembangkan setelah narapidana tersebut bebas. Pelatihan ketrampilan tersebut meliputi : pertukangan kayu, batik kayu, sablon dan menjahit. d. Mendapat Pelayanan Kesehatan dan Makanan yang Layak. Pemberian pelayanan kesehatan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar meliputi : pemeriksaan kesehatan dan pengobatan. Narapidana yang sakit diberikan pelayanan kesehatan oleh petugas Lapas. Mereka datang ke poliklinik yang telah disediakan dengan membawa kartu kesehatan. Di Lapas Klas IIA Denpasar ada 3 orang dokter dan 4 tenaga medis. Apabila ada narapidana yang sakit dan perlu dirawat inap di rumah sakit, maka segera di bawa ke Rumah Sakit dengan kawalan oleh petugas pernasyarakatan atas perintah dan Kalapas dan atas rekomendasi dari dokter Lapas. Sedangkan biaya perawatan ditanggung yang bersangkutan dan pihak lapas hanya dapat membantu sebagian saja karena keterbatasan anggaran kesehatan. Pemberian makanan yang layak kepada narapidana ini mengacu kepada Surat Edaran Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman Nomor. M. 02. UM. 01. 08 Tahun 1989. untuk makanan yang diberikan kepada WBP setiap harinya sebesar 2250 kalori, dengan menu
120
yang bervariasi sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan dirnasak oleh tamping dapur, kemudian Kalapas dan dokter lapas diberikan sample untuk diperiksa kelayakan dan kesehatan dari makanan tersebut Khusus bulan puasa, narapidana diberikan makanan tambahan, seperti kolak, bubur kacang ijo atau roti. Adapun menu makanan bagi penghuni adalah sebagai berikut : Tabel IV Daftar Menu Makanan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar Senin Pagi Nasi putih Urap Kelapa Ubi jalar/ singkong rebus
Air panas Siang Nasi putih Sayur sop kaldu Daging lapis/dagin g bumbu kecap Air panas
Selasa Pagi Nasi putih Urap Kelapa Ubi jalar/ singkong rebus
Rabu Pagi Nasi putih
Air panas Siang Nasi putih Sayur asem
Air panas
Urap Kelapa Ubi jalar/ singkong rebus
Siang Nasi putih
Sayur lodeh/sant an Ikan asin Telor goreng itik/ayam rebus
Air panas 1 buah pisang
Air panas
Kamis Pagi Nasi putih Urap Kelapa Ubi jalar/ singkong rebus Air panas Siang Nasi putih Sayur sop kaldu Daging goreng
Air panas
Jumat Pagi Nasi putih Urap Kelapa Ubi jalar/ singko ng rebus Air panas Siang Nasi putih Urap Kelapa Ubi jalar / singko ng rebus Air panas 1 buah pisang
Sabtu Pagi Nasi putih
Minggu Pagi Nasi putih
Urap Kelapa Ubi jalar/ singkong rebus
Urap Kelapa Ubi jalar/ singkong rebus
Air panas
Air panas
Siang Nasi putih
Siang Nasi putih
Sayur lodeh/sant an Telor itik/ayam rebus
Sayur bening
Air panas
Sambal bajak/ goreng 1 buah pisang
Ikan asin goreng
121
Sore Nasi putih Sayur pecel / bumbu kacang Ikan asin goreng
Tempe goreng Air panas
Sore Nasi putih Sayur tumis
Tempe rebus masak santan (terik) Air panas
Sore Nasi putih Sayur pecel (bumbu kacang) Tempe rebus masak santan (terik) Air panas
Sore Nasi putih Sayur pecel / bumbu kacang Tempe rebus masak santan (terik) Air panas
Sore Nasi putih Sayur tumis
Sore Nasi putih Sayur tumis
Sore Nasi putih Sayur tumis
Tempe rebus masak santan (terik) Air panas Bubur kacang ijo
Tempe rebus masak santan (terik) Air panas
Tempe rebus masak santan (terik) Air panas
Sumber : Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan, 15 Desember 2010 Seorang sehari diberikan 450 gram beras, dengan pembagian sebagai berikut: pagi : 50 gram, siang : 200 gram, sore : 200 gram sehingga jumlahnya 450 gram. Dilihat dari tabel menu makanan di atas, dapat dijelaskan bahwa narapidana setiap paginya diberikan makanan berupa nasi putih urap kelapa, ubi jalar, singkong, rebus, dan air panas yang diberikan sesuai dengan jadwal yaitu pada pukul 06.30 wita. Untuk menu makanan pada saat siang hari setiap harinya berfariasi sesuai dengan yang ditetapkan pada jadwal diatas yaitu nasi putih, sayur, daging, ikan asin, telor, dan air panas yang diberikan pada pukul 11.00 wita. Untuk sore hari narapidana setiap harinya diberikan makanan yang berfariasi pula sesuai dengan yang ditetapkan pada jadwal diatas yaitu berupa nasi putih, sayur, tempe, ikan asin, bubur kacang ijo, dan air panas. Pada kenyataannya penulis melihat bahwa makanan yang
122
dimasak oleh tamping dapur masih kurang layak untuk dikonsumsi, hal tersebut dapat dilihat dari cara memasak dan penyajiannya yang kurang higienis selain itu nasi yang diberikan kepada narapidana juga masih keras akibat dari proses pematangannya yang belum merata halhal tersebut diakibatkan karena begitu banyaknya bahan makanan yang harus dimasak untuk keperluan sekian banyak para narapidana sehingga para tamping dapur juga kewalahan menghadapi hal-hal seperti itu. Selain itu masih kurangnya ruang pasien di poliklinik lapas yang menujang proses pengobatan. e. Menyampaikan Keluhan. Apabila ada narapidana yang mempunyai keluhan masalah, petugas siap dan selalu terbuka dalam rnenerima keluh-kesah dan membantu mencari solusinya. Seperti napi mempunyai masalah keluarga, masalah dengan sesama penghuni ataupun masalah dengan petugas. Narapidana dapat rnenyampaikan semua keluhannya kepada petugas yang kemudian segera menyampaikan kepada Kalapas. Kalapas wajib menerima dan menanggapi keluhan dimaksud, serta memberikan petunjuk dan jalan keluarnya. f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar tersedia layanan perpustakaan, narapidana di berikan kesempatan untuk mengunjungi dan meminjam buku yang ada di perpustakaan, meskipun masih sangat sederhana dan terbatas pada buku yang didapat atau diterima dari Direktorat Jenderal
123
Pemasyarakatan. Disamping buku perpuskaan, narapidana juga dapat membaca surat kabar atau majalah yang dibawa atau dikirim oleh keluarga. Selain narapidana mendapatkan kesempatan untuk membaca media cetak, narapidana juga diperbolehkan melihat dan mendengar media elektronik, seperti radio dan televisi. Setiap blok di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar tersedia satu buah televisi. Mereka dapat menikmati hal tersebut pada saat siang hari atau pada saat mereka sedang tidak ada kegiatan.
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. Kegiatan kerja yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar antara lain : perkayuan, menjahit. Prakarya, sablon, percetakan dan kursus salon kecantikan bagi narapidana wanita. Narapidana yang bekerja pada kegiatan-kegiatan tersebut mendapatkan upah atau premi setelah
barang-barang
hasil
kerjanya
laku
terjual.
Di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, narapidana yang bekerja di perkayuan mendapat premi antara 15-25% dari harga produk yang dibuat, narapidana yang bekerja di bidang prakarya mendapat premi 1030% dari harga hasil produksi, menjahit narapidana mendapat premi 10-15% dan percetakan 10-15%. Upah kalau premi yang diterirna harus dititipkan dan dicatat oleh petugas yang ditunjuk pada seksi kegiatan kerja dan apabila diperlukan untuk memenuhi hal yang penting dan mendesak dapat diberikan kepada yang bersangkutan. Khusus
bagi
narapidana
wanita
yang
mendapatkan
pembinaan kursus salon kecantikan diberikan pembinaan oleh petugas khusus wanita yang merniliki keahlian dibidang tersebut dimana para
124
pengajarnya berjumlah dua orang. Program pembinaan keterampilan kerja tidak ada paksaan bagi narapidana, siapa saja boleh mengikuti pembinaan
keterampilan
yang
diberikan
oleh
petugas
pemasyarakatan asalkan mereka mau untuk dididik maka para petugas pemasyarakatan akan dengan
senang hati untuk mengajarkan
keterampilan kepada mereka sesuai dengan keahlian para petugas pemasyarakatan. Dari kegiatan pembinaan tersebut terdapat 47 orang narapi dana yan g m engi kuti program kerj a yang di berikan ol eh l em baga pemasyarakatan. Yaitu terdiri dari 4 orang dibidang perkayuan, 9 orang di bidang menjahit, 10 orang di bidang prakarya, 12 orang dibidang penyablonan, 6 orang dibidang percetakan dan 6 orang narapidana wanita yang mengikuti kursus salon kecantikan. Dari sekian banyak orang yang mengikuti program tersebut ada beberapa yang memang sudah merniliki keahlian di bidang masing-masing, seperti misalnya dibidang perkayuan ada 2 orang yang mernang sudah memiliki keahlian tersebut, bidang prakraya ada 4 orang yang memang sudah memiliki keahlian di bidang tersebut, di bidang menjahit terdapat 6 orang yang sudah memiliki keahlian di bidang tersebut, dibidang penyablonan ada 8 orang yang telah memiliki keahlian di bidang tersebut, dan dibidang percetakan ada 4 orang yang memiliki keahlian di bidang tersebut. Dengan adanya orang-orang yang telah memiliki keahlian dibidangmya, pembinaan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan
125
dapat sedikit lebih ringan karena mereka bisa saling mengisi dengan teman-teman yang lainnya. Tetapi disini petugas pemasyarakatan tetap memantau, membina dan memberikan sarana-sarana yang dibutuhkan dalarn proses pembinaan kerja tersebut. Didalam proses pembinaan kerja itu petugas pemasyarakatan tetap mengutamakan keamanan didalam pembinaan. Berikut ini adalah tabel kegiatan kerja narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar : Tabel V
Daftar Kegiatan Bimbingan Kerja Pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar
No
HARI JENIS PEKERJAAN DAN PERKAYU- MENJAHIT PRAKARYA SABLON PERCETAKAN TANGAN (pembuatan (pernbuatan (penyablonan GAL (pembuatan dompet) gantungan baju) patung) kunci)
1 Selasa, 21 Desember 2O10 2 Rabu, 22 Desember 2O10 3 Kamis, 23 Desember 2010 2O10 4 Jurnat, 24 Desember 2O10 Jumlah
JUMLAH BARANG YANG DIHASIL KAN
3 buah
5 buah
8 buah
6 buah
4 buah
26 buah
2 buah
8 buah
10 buah
5 buah
6 buah
31 buah
4 buah
6 bush
5 buah
8 buah
7 bush
30 buah
3 buah
5 buah
7 buah
9 buah
8 buah
32 buah
12 buah
24 buah
30 buah
28 buah
25 buah
119 buah
Sumber: Sub Seksi Bimbingan Kerja, Desember 2010 Dilihat dari tabel kegiatan bimbingan kerja diatas, maka dapat dijelaskan bahwa pada tanggal 21 Desember 2010 narapidana yang
126
bekerja pada bidang perkayuan (pembuatan patung) menghasilkan 3 buah patung, untuk narapidana yang bekerja pada bidang menjahit (pembuatan dompet) menghasilkan 5 buah dompet, untuk narapidana yang bekerja pada bidang prakarya (pernbuatan gantungan kunci) menghasilkan 8 buah gantungan kunci, pada jenis pekerjaan sablon (penyablonan baju) dihasilkan 6 buah baju yang disablon, pada percetakan menghasilkan 4 buah buku tulis. Dimana jumlah barang yang dihasilkan pada tanggal 21 Desember 2010 Sebanyak 26 buah. Pada tanggal 22 Desember 2010 narapidana yang bekerja ada yang perkayuan (pembuatan patung) menghasilkan 2 buah patung, untuk narapidana yang bekerja pada bidang menjahit (pembuatan dompet) menghasilkan 8 buah dompet, untuk narapidana yang bekerja pada bidang prakarya (pembuatan gantungan kunci) menghasilkan 10 buah gantungan kunci, pada jenis pekerjaan sablon (penyablonan baju) dihasilkan 5 buah baju yang disablon, pada percetakan menghasilkan 6 buah buku tulis Dimana jumlah barang yang dihasilkan pada tanggal 22 Desember 2010 sebanyak 31 buah. Pada tanggal 23 Desember 2010 narapidana yang bekerja pada bidang perkayuan (pembuatan patung) menghasilkan 4 buah patung, untuk narapidana yang bekerja pada bidang menjahit (pembuatan dompet) menghasilkan 6 buah dompet, untuk narapidana yang bekerja pada bidang prakarya (pembuatan gantungan kunci) menghasilkan 5 buah gantungan kunci, pada jenis pekerjaan sablon
127
(penyablonan baju) dihasilkan 8 buah baju yang disablon, pada percetakan menghasilkan 7 buah buku tulis. Dimana jumlah barang yang dihasilkan pada tanggal 23 Desember 2010 sebanyak 30 buah. Pada tanggal 24 Desember 2010 narapidana yang bekerja pada bidang perkayuan (pemahatan patung) menghasilkan 3 buah patung, untuk narapidana yang bekerja pada bidang menjahit (pembuatan dompet) menghasilkan 5 buah dompet, untuk narapidana yang bekerja pada bidang prakarya (peinbuatan gantungan kunci) menghasilkan 7 buah gantungan kunci, pada jenis pekerjaan sablon (penyablonan baju) dihasilkan 9 buah baju yang disablon, pada percetakan menghasilkan 8 buah buku tulis. Dimana jumlah barang yang dihasilkan pada tanggal 24 Desember 2010 sebanyak 32 buah. Dari jenis pekerjaan tersebut maka jumlah barang yang dihasilkan dari tanggal 22 Desember 2010 sampai tanggal 24 Desember 2010 adalah dibidang perkayuan menghasilkan 12 buah patung, dibidang menjahit menghasilkan 24 buah dompet, dibidang prakarya menghasilkan 30 buah gantungan kunci, dibidang sablon menghasilkan 28 baju, dan dibidang percetakan menghasilkan 25 buah buku tulis. Jumlah keseluruhan barang yang dihasilkan sebanyak 119 buah. h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya. Narapidana dan tahanan diberikan kesempatan untuk mendapatkan
128
kunjungan baik keluarga, teman, maupun penasihat hukumnya. Jadval kunjungan tahanan dan narapidana sama yaitu setiap hari kecuali hari senin tidak ada kunjungan, untuk jadwal tahap pertama dan pukul 09.00 Wita sampai dengan 12.00 Wita dan tahap ke dua pukul 13.30 sampai dengan pukul 15.00 Wita. Kecuali hari jumat, sabtu, dan minggu jadwal kunjungan hanya pada tahap pertama saja yaitu dari pukul 09.00 Wita sampai dengan pukul 12.00 Wita. Berikut ini daftar jumlah pengunjung yang mengunjungi narapidana maupun tahanan : Tabel VI Jumlah Kunjungan Untuk Narapidana dan Tahanan di
Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar Kunjungan
Status No
Jumlah Penghuni
Keluarga
Pemerintah
Organisasi
1
Tahanan
1.305
-
-
1.305
2
Nara Pidana
1.128
-
-
1.128
605
-
-
605
24
-
-
24
Dewasa 3
Nara Pidana Muda
4
Napi Anak-anak
5
Anak Negara
-
-
-
-
6
Anak Sipil
-
-
-
-
3.042
-
-
3.042
Jumlah
Sumber : Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan, Desember 2010 Dilihat dari tabel untuk kunjungan narapidana dan tahanan diatas, maka dapat dijelaskan bahwa pada bulan juni 2
tahanan yang
terdapat di lapas denpasar dikunjugi oleh 1.305 orang keluarganya,
129
untuk narapidana dewasa atau yang sudah berkeluarga dikunjungi oleh 1.128 orang keluarganya, untuk narapidana pemuda dikunjungi oleh 605 orang keluarganya, dan untuk narapidana anak-anak dikunjungi oleh 24 orang keluarganya. Sedangkan untuk anak Negara dan anak sipil tidak terdapat pada lembaga pemasyarakatan Denpasar. Sehingga dengan demikian jumlah keseluruhan pengunjung yang berkunjung ke lapas Denpasar adalah sebanyak 3.042 orang. i. Mendapat remisi. Pengurangan masa pidana atau remisi hanya diberikan kepada narapidana yang telah mernenuhi persyaratan sebagaimana yang telah diatur dalam keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999, yang antara lain bahwa narapidana harus berkelakuan baik selama menjalani masa pidana dan sudah diputuskan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Narapidana mendapatkan remisi setiap tahunnya sebanyak 2 kali yaitu, remisi khusus dan remisi umum. Remisi umum diberikan setiap tanggal 17 Agustus dan remisi khusus setiap hari raya. Selain itu ada remisi tambahan yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak didik yang telah berbuat jasa kepada negara. Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang mendapat remisi pada tanggal 17 Agustus 2010 sebanyak 220 dari jumlah narapidana yang ada sekarang 521 orang. j. Mendapatkan asimilasi dan cuti mengunjungi keluarga. Narapidana yang memenuhi syarat dan sudah dirapatkan
130
melalui sidang berhak mendapatkan asimilasi dan cuti mengunjungi keluarga. Hal ini sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PK 04-10 Tahun 1999 Tentang asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. Wujud dan asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan
Klas
IIA
Denpasar
belum
ada
realisasinya
dikarenakan factor lingkungan sekitar yang kurang mendukung, dan narapidana yang mendapatkan cuti mengunjungi keluarga berupa kesempatan mengunjungi keluarga selama 2 x 24 jam. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.03-PK.04.02 Tahun 1991. namun pada kenyataannya kesempatan mengunjungi keluarga bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar kurang berjalan dengan baik disebabkan oleh faktor keamanan yaitu, status penghuni prioritas tahanan dan jurnlah pegawai yang kurang untuk mengawasi narapidana yang akan cuti mengunjungi keluarga. k. Mendapatkan pembebasan bersyarat. Narapidana yang telah rnencapai 2/3 masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan rernisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 bulan diberi kesempatan untuk mendapat pembebasan bersyarat dengan memenuhi persyaratan antara lain, sudah dirapatkan dalam sidang TPP, ada Litmas dan bapas dan surat jaminan dari
keluarga,
lurah
ataupun
camat.
Narapidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang telah mendapatkan pembebasan
131
bersyarat dari bulan januari sampai tanggal l Desember 2010 berjumlah 26 orang. l. Mendapat cuti menjelang bebas. Narapidana yang telah mendapat cuti menjelang bebas dari bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 berjumlah 12 orang. Untuk syarat yang harus dipenuhi hampir sama dengan pembebasan bersyarat dimana narapidana tersebut telah rnenjalani 2/3 dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir, paling lama 6 bulan. m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hak-hak lain yang dimaksud adalah hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya. Baik politik dan hak memilih di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar sangat dijamin, ini dapat terlihat pada saat pemilihan umum (Pemilu) Tahun 2009 yang lalu, mereka diberikan kebebasan untuk memilih dan tanpa ada paksaan. Sedangkan hak keperdataan lainnya, contohnya diberikan ijin keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar terhadap narapidana untuk keperluan khusus, seperti keperluan menghadiri perkawinan anak lakilakinya, menjenguk keluarga yang sakit keras di rumah sakit, dan menghadiri pemakaman keluarga dekat yang meninggal. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa pemberian hak-hak narapidana di
132
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, sudah berjalan sesuai dengan prosedur namun pasilitas pendukung masih belum memeadai, seperti hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Andi Yudho Sutijono sebagai Kepala Keamanan LP Klas IIA Denpasar, beliau mengatakan bahwa hak- hak narapidana di LP Klas IIA Denpasar sudah diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi masih ada kendala mengenai penempatan narapidana laki-laki masih satu areal dengan narapidana wanita dan terbatasnya petugas untuk melayani narapidana tersebut. Demikian juga menurut penjelasan I Wayan Landriana yang menjabat sebagai Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik bahwa Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan di LP Klas IIA Denpasar sudah terlihat adanya indikator keberhasilan hal ini dapat dilihat dari Menurunnya secara bertahap dari tahun ketahun angka pelarian dan gangguan Keamanan dan Ketertiban, meningkatnya secara bertahap jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya melalui proses Asimilasi dan pemberian Remisi, semakin menurunnya dari tahun ketahun angka residivis (wawancara tanggal 27 Desember 2010 di LP Denpasar). 4.2. Upaya-Upaya Perlindungan yang Telah Dilakukan Pengaturan mengenai pelaksanaan hak narapidana wanita tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Pasal 20 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
133
Perlindungan hak-hak terhadap narapidana wanita di dalam lembaga pemasyarakatan substansinya terdiri atas penambahan makanan yang mendukung asupan kalori bagi wanita yang sedang megandung dan masa sesudah melahirkan sekaligus terhadap bayi yang dilahirkan. Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut: (1)
(2) (3)
(4)
(5)
Narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang sakit, hamil atau menyusui berhak mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter. Makanan tambahan juga diberikan kepada narapidana yang melakukan jenis pekerjaan tertentu. Anak dari narapidana wanita yang dibawa kedalam LAPAS ataupun yang lahir di LAPAS dapat diberi makanan tambahan atas petunjuk dokter, paling lama sampai berumur 2 (dua) tahun. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) telah mencapai urnur 2 (dua) tahun, harus diserahkan kepada bapaknya atau sanak keluarga, atau pihak lain atas persetujuan ibunya dan dibuat dalam satu berita acara. Untuk kepentingan kesehatan anak, Kepala LAPAS dapat menetukan makanan tambahan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berdasarkan pertimbangan. Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor : 32 tahun 1999 di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar masih belum sepenuhnya dapat berjalan dengan baik. Bagi narapidana dan Anak didik pemasyarakatan yang sakit, yang sakit tersedia poliklinik dibawah pengawasan dokter, tapi belum lengkapnya sarana yang tersedia dipoliklinik lapas seperti masih kurangnya ruangan pasien dalam proses pengobatan, sehingga apabila ada narapidana yang sakit dan perlu dirawat inap maka di rujuk ke rumah sakit dengan biaya perawatan ditanggung yang bersangkutan karena keterbatasan anggaran kesehatan. Bagi wanita yang sedang hamil ditambah
134
300 (tiga ratus) kalori seorang sehari. Bagi wanita yang sedang menyusui dapat ditambah antara 800 (delapan ratus) kalori sehari seorang sehari. Tidak ada pemberian makanan tambahan untuk narapidana yang melakukan pekerjaan tertentu. Anak dari narapidana wanita yang dibawa kedalam LAPAS ataupun yang lahir di di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar paling lama bayi yang lahir tersebut maksimal berumur 1 (satu) tahun sudah diambil pihak keluarganya. Berikut ini daftar jumlah narapidana Wanita yang Hamil dan Melahirkan dalam waktu 5 (lima tahun) terakhir. Tabel VII Narapidana Wanita yang Hamil dan Melahirkan NO.
Kondisi wanita
TH.
TH.
TH.
TH.
TH.
2006
2007
2008
2009
2010
JMH
1.
Hamil
2
2
9
3
2
18
2.
Melahirkan
2
2
9
3
2
18
Sumber : Poliklinik Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar Pelaksanaan hak-hak lain narapidana wanita dilaksanakan berdasarkan kebijakan-kebijakan masing-masing lembaga pemasyarakatan, seperti: (1) Memberikan dispensasi untuk tidak mengikuti kegiatan olah raga; (2) Memberikan dispensasi
untuk tidak mengikuti
kegiatan kerja
bakti; dan (3) Memberikan dispensasi terhadap kegiatan-kegiatan yang membahayakan kesehatan si ibu maupun kandungannya. Berkaitan dengan perlindungan terhadap hak-hak bagi narapidana wanita di dalam lembaga pemasyarakatan, belum ada sarana dan prasarana yang
135
mendukung peluang perlindungan hak-haknya seperti mendapatkan rasa aman dari gangguan sesama narapidana, maka perlu ditempatkan dalam ruangan tersendiri, sacara medis dan tenaga medis tersedia lengkap di dalam lembaga pemasyarakatan dan sarana lain seperti: (1) ruang persalinan (2) alat perlengkapan mandi, seperti handuk, sabun mandi, dan sikat gigi yang tidak dipakai secara bergantian. (3) closet yang dipergunakan dapat mendukung keamanan bagi perempuan yang sedang mengandung. (4) konseling. Berdasarkan ketentuan tersebut, pengaturan hak-hak narapidana wanita pada lembaga pemasyarakatan belum menunjukkan pengaturan yang lebih mengkhusus sehingga diperlukan Peraturan Menteri yang mengatur secara khusus hak-hak daripada narapidana wanita. Sehingga perlindungan hukum terhadap hak-hak narapidana wanita dapat dituangkan dalam sebuah kebijakan-kebijakan yang tetap mengacu pada peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan lain yang berlaku, dan seharusnya ketentuan penjelasan pasal 14 huruf m Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang berbunyi ―mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan-peraturan Undang-undang yang berlaku‖ dihapus atau diubah.
136
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ternyata masalah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita belum diatur. Karena dalam undang-undang tersebut hanya disebutkan narapidana saja, tidak dibedakan antara narapidana laki-laki maupun wanita. Akan tetapi Pasal 20 PP. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan ada perhatian khusus
terhadap
narapidana wanita yaitu dalam hal-hal: a. narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang sakit, hamil dan menyusui berhak mendapat makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter. b. makanan tambahan juga diberikan kepada narapidana yang melakukan jenis pekerjaan tertentu c. anak dari narapidana wanita yang dibawa ke dalam LAPAS ataupun yang lahir di LAPAS dapat diberi makanan tambahan atas petunjuk dokter, paling lama sampai berumur 2 (dua) tahun. d. dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 telah mencapai umur 2 (dua) tahun, harus diserahkan kepada bapaknya atau sanak
136
137
keluarga, atau pihak lain atas persetujuan ibunya dan dibuat dalam satu berita acara. e. untuk
kepentingan
kesehatan
anak,
Kepala
LAPAS
dapat
menentukan makanan tambahan selain sebagaimana di maksud dalam ayat 3 berdasarkan pertimbangan tertentu atas kepentingan kesehatan. 2.
Dalam kenyataannya narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Denpasar belum diperlakukan secara memadai, karena antara narapidana wanita dengan laki-laki masih dijadikan satu areal. Demikian juga terhadap pelaksanaan dari ketentuan Pasal 20 PP. Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan belum terpenuhi secara memadai terutama bagi narapidana yang hamil dan menyusui demikian pula terhadap anak yang lahir di Lembaga Pemasyarakatan dan di bawa ke Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan karena masih bergabung alat-alat maupun kelengkapan ataupun fasilitas lainnya antara narapidana wanita maupun laki-laki. Sehingga ke depan diperlukan peraturan yang mengatur secara khusus narapidana wanita serta penempatan arealnya harus dipisahkan dengan narapidana laki-laki. Seperti halnya Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Semarang.
5.2. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut :
138
1. Diharapkan agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atau untuk sementara agar Menteri Hukum dan HAM RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah melalui Dirjen Pemasyarakatan untuk menerbitkan Juklak atau Juknis yang mengatur secara khusus Hak-hak Narapidana wanita. 2. Dalam upaya perlindungan terhadap narapidana wanita, dihimbau kepada
pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia agar memberikan perhatian khusus dalam hal biaya demi memenuhi
kebutuhan
narapidana
wanita
di
dalam
lembaga
pemasyarakatan. Demikian pula meningkatkan kompetensi petugas lembaga pemasyarakatan yang berkaitan dengan kesehatan terhadap kepentingan
wanita,
kesetaraan
dan
keadilan
gender.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
:
Andi Yudho Sutijono, S.Sos., M. Si.
NIP
:
19601231 199203 1001
Pangkat
:
Penata (III/c)
Umur
:
51 Tahun
Pendidikan
:
Sarjana
Pekerjaan
:
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Agama
:
Islam
Jabatan
:
Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP)
Alamat
:
Rumah Dinas Lapas, Jl. Gunung Tangkuban Perahu No. 2 Kerobokan
2. Nama
:
I Wayan Landriana, SH.
NIP
:
19551231197802 1001
Pangkat
:
Penata Tk. I (III/d)
Umur
:
55 Tahun
Pendidikan
:
Sarjana
Pekerjaan
:
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Agama
:
Hindu
Jabatan
:
Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik
Alamat
:
Jl. Sekar Jepun No. 10 Denpasar
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita Romli , 1996, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan, Rineka, Bandung. --------------------------, 1982, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung. Arief , Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Baktyi, Bandung --------------------------, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung. --------------------------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Buyung Nasution, 1996, Hukum dan Keadilan, Nomor 1 Dusuna, Dudu, Mahjudin, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Bandung, Renika Aditama. Eddyono, Sri Wiyanti, 2004, Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta Friedrich, Carl Joachim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia. Fakih, Mansour, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Green, Penny and Ward,Tony, State Crime, Governments, Violence and Corruption”, 2004, Pluto Press, First Published, London Gunakarya S.A , A. Widiana, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung,. Garabedien, Peter G., 1970, Social Roles and Processes of Socialization in The Prison Community, Jhon Willey.
Harahap, M. Yahya, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika. Hamzah , Andi dan Sumangelipu, 1985, Hukum Pidana Mati di Indonesia, di Masa lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Bina Ilmu, Surabaya. Has, Sanusi, 1977, Dasar - Dasar Penologi, Rasanta, Jakarta. Hoefnagels,G. Peter, 1969, The Order Side Criminology, Kluwer Devender, Amstelventer Ihromi, Tapi Omas, 1997, Mengupayakan Kepekaan Jender Dalam Hukum : Contoh-contoh dari Berbagai Kelompok Masyarakat dalam Perempuan dan Pemberdayaan, Obor, Jakarta. Karmen, Andrew, Crime Victims An Introduction to Victimology, 1984, Book /Cole Publishing Company, USA Kelsen, Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan Raisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media. Korniatma, Soetoprawiro, 1999, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Gramedia, Jakarta. Kusumohamidjojo, Boediono, 2004, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil, Grasindo , Jakarta. Manan, Abdul, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenede Media. Muhamad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra aditya Bakti, Bandung. Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, Semarang. Mustofo, Muhammad, 2005, Memikirkan Sistem Pemasyarakatan Yang Pas, Administrasi Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Fajar Interpratama Offset, Jakarta.
Nasution , AZ. 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media. Poernomo, Bambang, 1992, Aspek Kekeluargaan Dalam Pembinaan Terpidana (seminar nasional pemasyarakatan terpidana I tanggal 20-21 Oktober 1992) Universitas Indonesia, Jakarta. ------------------------------, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan sistim Pemasyarakatan, Cet. Pertama, Liberty, Yogyakarta. ------------------------------, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Pemasyara Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta; Liberty.
Sistem
Panjaitan, Petrus Irwan, Simorangkir, Pandapotan, 1995, Lembaga Pemasyarakatan dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan. Packer, Herbert L., 1969, The Limits of The Criminal Sanction, California, Stanford University Press. Rahardjo Satjipto , 2007, Penyelenggaraan Keadilan dalam masyarakat yang sedang Berubah (Masalah-Masalah Hukum) Nomor : 16. Rawls, John, 1973, A Theory of Justice, London: Oxford University press, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, 2006, Pustaka Pelajar. Sadli, Saparinah, 2000, Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, dalam Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta. ------------------------------, 1995, Identitas Gender dan Peranan Gender dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sutherland, Edwin H., 1973, On Analyzing by Karl Schuessler, The University of Chicago Press, Ltd, London Soekito, Sri Widoyati Wiratmo, 1983, Anak dan Wanita dalam Hukum, LP 3 ES, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali Grafindo Persada. ------------------------------, dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
------------------------------, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Pres, Jakarta. Surjobroto, Baharudin, 1991, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Pemasyarakatan, Dep. Kehakiman RI, Jakarta. Subroto, R.Apik Noto, 1985, Pidana dan Pemasyarakatan Dalam Konsep Revolusi, Jambatan, Jakarta. Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pembinaan Narapidana di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta. Savitri, Niken, 2008, HAM Perempuan, PT. Revika Aditama, cet. I, Bandung, Soemadipradja, R.Achmad, dan Romli Atmasasmita, Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung, Bina Cipta.
1979,
Sistem
Sudarto, 1987, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. ------------------------------, 1977, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Jakarta. Saraswati, Rika, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, Wahid,
Abdul dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung.
Wisnubroto,Al 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta. Kelompok Kerja Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, 2004, Hak Asasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Obor, Jakarta.