PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN Studi Kasus Putusan Pengadilan Atas Gugatan Perwakilan Kelompok Korban Tabrakan Kereta Api Tanggal 25 Desember 2001 di Brebes (Perkara No. 1440 K/Pdt/2006. Jo. No. 87/PDT/2004/PT.DKI. Jo. No. 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst)
TESIS
MILIATER SIMALANGO NPM 0606006431
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA DESEMBER 2008
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh: Nama : NPM : Program Studi : Judul Tesis :
Miliater Simalango 0606006431 Ilmu Hukum Penggunaan Gugatan Class Action Dalam Rangka Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Putusan Pengadilan Atas Gugatan Perwakilan Kelompok Korban Tabrakan Kereta Api Tanggal 25 Desember 2001 di Brebes.)
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H.
(............................)
Penguji
: Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LLM (...........................)
Penguji
: Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H.
(............................)
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal
: .............. Januari 2009
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
KATA PENGANTAR Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat, kasih dan karuniaNya-lah, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini dapat terselesaikan berkat bantuan, dukungan, partisipasi dan bimbingan dari berbagai pihak.Oleh karena itu sudah pada tempatnya dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan sedalam-dalamnya terutama kepada Bapak Dr. Inosentius Samsul, SH.,MH., yang telah meluangkan waktu dan dengan sabar membimbing, mengarahkan dan mendorong penulis agar segera menyelesaikan tesis ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Sudaryatmo Public Interest Lawyer Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atas kesediaanya meluangkan waktu untuk memberikan informasi dan data kepada penulis berkaitan dengan pelaksanaan isi putusan pengadilan atas gugatan class action korban tabrakan kereta api tanggal 25 Desember 2001 di Brebes. Kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi mengenai perkara-perkara gugatan class action, penulis juga tak lupa menyampaikan terima kasih. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus kepada rekan-rekan kerja penulis di kantor Suyanto Simalango Patria & Partners, atas pengertian dan dorongan semangat serta fasilitas yang diberikan selama penulis mengikuti studi program fasca sarjana di Universitas Indonesia sampai dengan selesainya tesis ini. Secara khusus penulis juga menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada istri penulis Farini Dwiningsih yang senantiasa dan tiada henti-hentinya memberikan dorongan dan perhatian sehingga penulis tetap semangat dan terpacu untuk segera meneruskan dan menyelesaikan penulisan tesis ini. Demikian juga buat anak-anak penulis Rizky Falita Simalango dan Putra Permata Hasiholan Simalango yang secara tidak langsung memberikan semangat dan inspirasi kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana ini. Semoga hasil yang dicapai ini dapat berguna dan menjadi pendorong semangat di masa yang akan datang. Penulis menyadari bahwa keterbatasan kemampuan dan waktu jualah sehingga tesis ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahana hati, kritik dan saran dari berbagai pihak, senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan tesis ini.
ii
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis Karya
: Miliater Simalango : 0606006431 : Ilmu Hukum : Hukum : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exlusive Royaltry Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Penggunaan Gugatan Class Action Dalam Rangka Perlindungan Konsumen”. beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 5 Januari 2009 Yang menyatakan,
(Miliater Simalango)
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
ABSTRAK Dalam hukum positif Indonesia, gugatan class action baru diakui sejak tahun 1997 melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setelah undang-undang ini, tercatat ada 3 (tiga) UndangUndang yang secara eksplisit mengakui mengenai gugatan class action yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, dan UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Saat ini penerapan penggunaan mekanisme gugatan class action baru diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 diatur bahwa wakil kelas tidak memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok dalam mengajukan gugatan di pengadilan. Ketentuan ini pada umumnya menjadi salah satu peluang bagi tergugat untuk mengajukan keberatan terhadap penggunaan mekanisme gugatan class action, dengan alasan dalam hukum acara perdata yaitu HIR yang kedudukannya setingkat undang-undang ditentukan bahwa untuk bertindak di pengadilan mewakili orang/pihak lain, maka harus ada surat kuasa khusus dari pihak yang diwakilinya. Dalam gugatan class action yang diajukan oleh korban tabrakan kereta api di Brebes tanggal 25 Desember 2001, pengadilan dengan tegas telah mengakui kedudukan para penggugat selaku wakil kelas dan telah mengadili perkara dengan menggunakan mekanisme gugatan class action. ABSTRACT In positive law in Indonesia, class action is just admitted since 1997 through law No. 23 Year 1997 concerning Live Environment Management. After this law, there are three (3) laws explicitly acknowledge concerning class action, those are Law Number 8 Year 1999 concerning Customers Protection, Law Number 18 Year 1999 concerning Construction Service, and Law Number 41 Year 1999 concerning Forestry. This time, the application of class action mechanism is regulated through Supreme Court Regulation Number 1 Year 2002. In PERMA Number 1 Year 2002 regulated that class representative does not need power of attorney from group members applying law suit in court. This stipulation generally has become one of opportunities for defendant to apply objection for the use of class action mechanism, with the reason civil law is HIR has a position as a level as law determined that to act in court represent by other parties, so power of attorney from the represented parties should be existed. In class action, applied by train accident victim happened in Brebes Regency, on December 25,2001, the court explicitly has acknowledged that position from plaintiff as class representative and has adjudicated that case by using class action mechanism.
i
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
DAFTAR ISI Abstrak………………………………………….………………………………. i Kata Pengantar …………………………………………….…………………… ii BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Penelitian …...….…………………..……………..……… 1 B. Perumusan Masalah …………………………………………………...…. 4 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..……………… …………..……..……. 4 D. Kerangka Teoritis ………………………………………………………… 5 E. Metode Penelitian …………………………………………….…….….… 10 F. Sistematikan Penulisan……………………………………….…..…….… 11 BAB II PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION……………………… 13 A. Pengertian Class Action …...….…………………………….……….….. 13 B. Sejarah Perkembangan dan Pengaturan Class Action……………………. 18 1. Perkembangan Class Action di Beberapa Negara……………………. 18 2. Perkembangan dan Pengaturan Class Action Dalam Hukum Positif Indonesia……………………………………………………………... 24 C. Ketentuan Pengajuan Gugatan Class Action……………………………… 36 1. Hukum Acara Yang Berlaku Dalam Gugatan Class Action………….. 36 2. Persyaratan Mengajukan Gugatan Class Action……………………… 38 3. Persyartan Formal Gugatan Class Action…………………………….. 38 4. Prosedur Pengajuan dan Pemeriksaan Gugatan Class Action………… 44 5. Manfaat Penggunaan Gugatan Class Action ……………………….… 55 BAB III HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION……………………………………………………………..... 59 A. Beberapa Perkara Gugatan Yang Diajukan Dengan Menggunakan Mekanisme Class Action Sebelum Adanya Pengakuan dan Pengaturan Gugatan Class Action……………………………...................................... 59 B. Beberapa Perkara Gugatan Yang Diajukan Dengan Menggunakan Mekanisme Class Action Setelah Adanya Pengakuan dan Pengaturan Gugatan Class Action…………………………………………………….. 64 C. Hambatan-Hambatan Dalam Penggunaan Gugatan Class Action………... 81 1. Tentang Surat Kuasa Dari Anggota Kelompok Kepada Perwakilan Kelompok……. ……………………………………………………. 81 2. Tentang Surat Gugatan……………………………………………. 82 3. Mempersamakan Gugatan Class Action Dengan Gugatan Legal Standing….......................................................................................... 82 4. Tentang Prosedur Acara Pemeriksaan……..………………………. 84 5. Tentang Notifikasi Atau Pemberitahuan …………………………… 85 6. Tentang Implementasi Putusan Pengadilan ….……………………. 85 7. Kesulitan Dalam Mengelola………………………........................... 87 8. Dapat Menyebabkan Ketidakadilan…………………………….…... 88 9. Dapat Menyebabkan Kebangkrutan Pada Tergugat………………… 88 10. Publikasi Gugatan Class Action Dapat Menyudutkan Pihak Tergugat….......................................................................................... 88
iii
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
BAB IV IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION OLEH KONSUMEN PENGGUNA JASA KERETA API……. ………………. 92 A. Posisi Kasus……………………………………………………...……….. 92 B. Putusan Pengadilan……………………………………………………….. 97 C. Analisis Kasus……………………………………………………………. 98 1. Mengenai Keberatan Para Tergugat Terhadap Penggunaan Mekanisme Gugatan Class Action……..…………………………… 98 2. Mengenai Pembukitan PerbuatanMelawan Hukum ………………. 101 3. Mengenai Ganti Rugi…………………………………………….... 107 BAB V PENUTUP .…………………………..……………………………..... 109 A. Kesimpulan ………………………………………………………..……. 109 B. Saran …………………………………………………………………….. 111 Daftar Pustaka ………………………………………………………………… 113
iv
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Penelitian. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian,
pada bagian Menimbang huruf b disebutkan bahwa perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang ditata dalam sistem transportasi nasional, mempunyai karakteristik pengangkutan secara massal dan keunggulan tersendiri, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.1 Dengan karakteristik dari sistem pengangkutan kereta api yang dapat melakukan pengangkutan secara massal, relatif lebih cepat dan murah dibanding dengan transportasi (darat) lainnya, membuat transportasi ini menjadi pilihan utama bagi pengguna jasa transportasi umum. Meningkatnya minat dari pengguna jasa kereta api tidak diikuti atau tidak sebanding dengan peningkatan sarana dan prasarana termasuk fasilitas yang diperlukan agar sarana kereta api dapat dioperasikan dengan baik. Fasilitas sarana dan prasarana kereta api sering mempengaruhi kinerja pelayanan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang menyebabkan sering terjadi ketidaknyamanan dalam menggunakan jasa kereta api, seperti kecelakaan kereta api. Pada tanggal 25 Desember 2001 telah terjadi tabrakan hebat di Stasiun Ketanggungan Barat, Kabupaten Brebes antara Kereta Api Empu Jaya dengan Kereta Api Gaya Baru Malam yang mengakibatkan sekurang-kurangnya 31 (tiga puluh satu) orang meninggal dunia, 5 (lima) orang harus masuk ICU, 44 (empat
1
Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian.
1 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
puluh empat) orang menjalani rawat inap, dan 20 (dua puluh) orang menjalani rawat jalan. Pada tanggal 28 Maret 2002, perwakilan kelompok korban tabrakan antara Kereta Api Empu Jaya
dengan Kereta Api Gaya Baru Malam, mengajukan
gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana terdaftar dalam register perkara nomor 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst. Gugatan diajukan oleh 5 (lima) orang penggugat yang masing-masing mewakili : (1) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Empu Jaya yang meninggal dunia yang diwakili oleh Agus Yustianingsih selaku penggugat I, (2) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Gaya Baru Malam yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jakarta/Bekasi sekitarnya yang diwakili oleh Eko Suyanto selaku penggugat II, (3) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Empu Jaya yang mengalami rawat inap/rawat
jalan/luka/cacat
tetap
yang
berdomisili
di
Jawa
Tengah/
D.I,Yogyakarta dan sekitarnya yang diwakili oleh Kholil Rahman selaku penggugat III, (4) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Gaya Baru Malam, yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jawa Timur dan sekitarnya yang diwakili oleh Hartoyo selaku penggugat IV, dan (5) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Empu Jaya yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jakarta/Bekasi dan sekitarnya yang diwakili oleh Mulyadi selaku penggugat V. Gugatan diajukan terhadap PT. Kereta Api selaku tergugat I, Menteri Perhubungan
Republik
Indonesia
selaku
tergugat
II,
Menteri
Negara
Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku tergugat III dan Menteri Keuangan Republik Indonesia selaku tergugat IV. Gugatan class action yang diajukan oleh para korban tabrakan kereta api tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 Januari 2003 yang pada intinya mengabulkan sebagian tuntutan antara lain menyatakan PT. Kereta Api Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum yang
2 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
menimbulkan kerugian bagi para penggugat. Terhadap putusan tersebut, baik penggugat maupun tergugat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang terdaftar dalam perkara nomor 87/PDT/2004/PT.DKI. Permohonan Banding tersebut telah diputus oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tanggal 3 September 2004 yang isinya menguatkan putusan pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst, tertanggal 6 Januari 2003. Kemudian terhadap putusan banding tersebut, PT. Kereta Api Indonesia mengajukan upaya hukum kasasi pada tanggal 6 April 2006. Permohonan Kasasi yang diajukan oleh PT. Kereta Api Indonesia ditolak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Putusan Nomor 1440 K/Pdt/2006 tertanggal 3 Januari 2007, sehingga dengan demikian putusan pengadilan atas gugatan class action yang diajukan oleh perwakilan kelompok korban tabrakan api tersebut, telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht) dan oleh karenanya secara hukum putusan tersebut telah dapat dilaksanakan (executable). Yang menarik, dalam putusan tersebut, selain menyatakan PT. Kereta Api telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, pengadilan juga memerintahkan para penggugat dan para tergugat untuk membentuk Komisi Pembayaran Ganti Rugi yang keanggotaannya terdiri dari 2 (dua) orang wakil dari penggugat, 2 (dua) orang wakil dari PT. Kereta Api Indonesia dan 1 (satu) orang wakil dari Menteri Perhubungan RI selaku tergugat II), yang tentunya dalam pelaksanaannya mungkin akan mengalami persoalan-persoalan baru. Selanjutnya penulis akan melakukan penelitian dan analisis hukum serta studi kasus terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) tersebut, untuk kemudian mencoba menemukan jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang telah penulis rumuskan sebagaimana diuraikan pada bagian B di bawah ini.
3 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
B.
Perumusan Permasalahan. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana pengaturan gugatan class action dalam rangka perlindungan konsumen ?
2.
Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat/kendala dalam proses
penggunaan
gugatan
class
action
dalam
rangka
perlindungan konsumen ? 3.
Bagaimana implementasi penggunaan gugatan class action korban tabrakan kereta api tanggal 25 Desember 2001 di Brebes ?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban tentang pengaturan
mengenai gugatan class action termasuk mengenai syarat-syarat dan prosedur pengajuan gugatan class action. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat/kendala dalam penggunaan gugatan class action serta bagaimana implementasi penggunaan gugatan class action perwakilan kelompok korban tabrakan kereta api antara Kereta Api Empu Jaya dengan Kereta Api Gaya Baru Malam yang terjadi di Brebes tanggal 25 Desember 2001. Penelitian ini diharapkan juga akan bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan perkeretaapian khususnya masyarakat pengguna jasa kereta api dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian. Bagi masyarakat pengguna jasa kereta api, diharapkan hasil penelitian ini dapat menimbulkan kesadaran akan hak dan kewajibannya selaku konsumen. Di sisi lain bagi Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat yang
pada
akhirnya
dapat
menunjang,
mendorong
dan
pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.
4 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
menggerakkan
D.
Kerangka Teoritis. Untuk pertama kalinya pada tahun 1997, melalui Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang Lingkungan Hidup) di Indonesia telah diperkenalkan mekanisme pengajuan sengketa lingkungan hidup ke pengadilan secara perwakilan, yakni pengajuan gugatan oleh sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah yang besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.2 Kemudian pada tahun 1999 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (“Undang-Undang Perlindungan Konsumen”). Pasal 46 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UndangUndang
Perlindungan
Kosumen
mengatur
mengenai
dimungkinkannya
sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama mengajukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada pasal 4 butir (a) dan butir (h) diatur mengenai hak konsumen atas kenyamanan, keamaman, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, dan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai hak dari setiap konsumen atau sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama yang merasa
dirugikan oleh pelaku usaha untuk
mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.3 Selain dan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UndangUndang Perlindungan Konsumen, gugatan perwakilan kelompok juga dikenal 2
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkunqan Hidup, Nomor 23 Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37. 3 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, ps. 46pasal 45 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (1) butir b
5 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UndangUndang Kehutanan) yaitu dalam pasal 71 ayat 1 yang mengatur pengajuan gugatan oleh masyarakat dalam bidang kehutanan secara perwakilan. Masalahnya sistem hukum acara untuk class action atau gugatan perwakilan belum dikenal bahkan berlainan dengan sistem hukum acara yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari isi pasal 123 ayat (1) HIR atau 147 ayat (1) RBg yang menentukan bahwa setiap orang yang menghadap ke pengadilan untuk mengajukan gugatan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain mempunyai surat kuasa khusus. Pasal ini menentukan pula tentang kemungkinan penunjukan sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan bilamana diajukan secara lisan.
Kasus yang melibatkan banyak pihak, baik
penggugat maupun tergugat, lazim disebut akumulasi subjektif, dimana setiap individu dari subjek-subjek ini berkapasitas sebagai pihak. Berbeda dengan class action dalam sistem itu semua individu atau subjek sebagai anggota kelas (class members) tidak perlu dipandang sebagai pihak, karena sudah ada wakil kelas yang mewakilinya. Dengan demikian anggota kelas tidak perlu memberikan kuasa kepada wakil kelas untuk mewakilkan dirinya di pengadilan.4 Dalam prakteknya class action ini terasa cukup penting ketika sejumlah besar manusia menjadi korban suatu perbuatan melanggar hukum, dan mereka berusaha menuntut hak-haknya melalui proses gugatan di pengadilan. Dengan melibatkan sejumlah besar orang yang menjadi korban dalam proses pengajuan gugatan, secara sosial akan lebih efektif dan efisien cara mengakses keadilan yang bersifat prosedural, daripada kalau dilakukan secara individual. Secara individual mungkin korban tidak berani menggugat. Keberanian individual untuk mengajukan gugatan sendiri-sendiri pun akan berbenturan dengan berbagai jenis kendala prosedural, diantaranya soal pembuktian dan kendala hukum lainnya.5
4
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk). Cet. I. Jakarta : Panta Rei, , hal. 244 5 Rhiti, Hyronimus. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Ed. I, 2006, hal. 92
6 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Pengaturan mekanisme pengajuan gugatan perwakilan kelompok (class action) dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Jasa Konstruksi, merupakan suatu kemajuan dalam sistem hukum acara perdata di Indonesia. Namun demikian dalam ketiga Undang-Undang tersebut, tidak mengatur secara tegas mengenai mekanisme dan tata cara pengajuan gugatan perwakilan kelompok (class action). Pada tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan suatu terobosan baru dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 yang mengatur mengenai acara gugatan perwakilan kelompok (class action). Meskipun hanya berbentuk sebuah PERMA, namun keberadaannya untuk sementara waktu dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi para praktisi hukum khususnya bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili gugatan perwakilan kelompok sambil terus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta menunggu diaturnya acara gugatan class action dalam bentuk Undang-Undang yang lebih mempunyai kekuatan mengikat dan lengkap. Dalam Pasal 1 huruf a PERMA Nomor 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atas dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Menurut Mas Achmad Santosa, class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injunction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya 1 atau 2 orang) sebagai perwakilan kelas (class reperesentatives) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban.6
6
Santosa, Mas Achmad. Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), Jakarta : ICEL, 1997.
7 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dari ketentuan Pasal 1 huruf a PERMA 1 Tahun 2002, persyaratan untuk gugatan perwakilan kelompok sama dengan persyaratan class action yang dimuat dalam US Federal of Civil Procedure, yaitu :7 a.
Numerosity, artinya jumlah penggugat sedemikian banyaknya (bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan orang), sehingga tidak praktis dan tidak efisien apabila gugatan diajukan sendiri-sendiri, dan oleh karenanya dipandang cukup apabila gugatan diajukan oleh satu orang atau beberapa orang selaku wakil kelompok (class representation) yang mewakili selaku anggota kelompok (class members).
b.
Commonality, artinya harus ada kesamaan fakta maupun peristiwa dan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili dalam pengajuan gugatan.
c.
Typicality, artinya harus terdapat kesamaan tuntutan maupun pembelaan dari seluruh anggota yang diwakili (class members).
d.
Adequacy of Representation, artinya harus ada kelayakan perwakilan yaitu mewajibkan perwakilan kelas (class of representatives) untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan mereka yang diwakilkan.
Lebih lanjut N.H.T Siahaan, dalam bukunya Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk), menyebutkan bahwa elemen-elemen penting yang patut diketahui dari class action adalah menyangkut jumlah penggugat, kesamaan fakta dan hukum di antara yang mewakili (representative party) dengan jumlah anggota korban, tuntutan kelompok dan adanya kelayakan (adequacy) termasuk kesungguhan dari mereka yang mewakilinya.8 Sesuai dengan ketentuan pasal 157 ayat 1 Undang-Undang Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api. Hal ini sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur 7
Abdullah, Ujang. Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi Dalam Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII Nomor 254 Januari 2007, hal. 51. 8 Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk). Cet. I. Jakarta : Panta Rei, hal. 239.
8 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Namun Undang-Undang Perkeretaapian tidak mengatur mengenai gugatan perwakilan kelompok (class action). Dengan demikian apakah seseorang atau sekelompok orang dapat mewakili kepentingan para pengguna jasa kereta api yang mengalami kerugian atau yang menjadi korban dalam pengoperasian kereta api, mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian. Dalam pasal 1 butir 2 dan 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lainnya, dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam penjelasannya, diatur bahwa di dalam kepustakaan ekonomi, dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Sedangkan yang dimaksud dengan Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama, melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasannya, disebutkan pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Dari ketentuan tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa pengguna jasa kereta api sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 12 Undang-Undang Perkeretaapian, masuk ke dalam pengertian konsumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Demikian juga halnya, dengan pengertian Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam
9 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
pasal 1 butir 17 Undang-Undang Perkeretapaian masuk ke dalam pengertian pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga dengan demikian seseorang atau sekelompok orang dapat mewakili kepentingan para pengguna jasa kereta api yang mengalami kerugian atau yang menjadi korban dalam pengoperasian kereta api, mengajukan gugatan class action terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
E.
Metodologi Penelitian. Dalam penelitian ini akan dilakukan pembahasan yang menyeluruh dari
suatu permasalahan yang ada sehingga dapat ditemukan kedalaman maknanya, untuk nantinya akan dapat ditarik suatu kesimpulan. a.
Jenis Yuridis Normatif. Dalam penelitian ini pendekatan masalah yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian serta peraturan perundangundangan terkait lainnya, dikaitkan dengan kondisi dan fakta di lapangan. b.
Data Yang Diperlukan. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan topik penelitian. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang diperoleh peneliti dari hasil riset di lapangan terhadap obyek penelitian dan bahan hukum yang menunjang pembahasan permasalahan yang berasal dari studi kepustakaan berupa putusan-putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht), buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, surat kabar, artikel di warta internet, makalah-makalah seminar, termasuk wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan topik di atas.
10 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
c.
Cara Pengumpulan Data. Dalam proses penelitian ini digunakan tehnik pengumpulan dari
bahan normatif yaitu peraturan perundang-undangan, yang selanjutnya digabungkan dengan data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Selanjutnya dilakukan pembahasan secara sistematis agar dapat diperoleh sesuai dengan tema penelitian dan perumusan masalah yang diangkat dalam Penelitian ini. d.
Metode Analisis Data. Analisis yang digunakan adalah dengan metode deskriptif-normatif
analisis, yang artinya memberikan penjelasan atas keadaan yang terjadi di lapangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tersedia kemudian membedahnya agar didapatkan sebuah pemahaman makna yang sesungguhnya terjadi. Kemudian menguraikan peraturan perundangundangan tersebut pada kasus yang diangkat pada penelitian ini dengan kriteria yang sesuai dengan materi penelitian. Selanjutnya dianalisis dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan melalui penguraian unsur-unsur dalam pasal dikaitkan dengan substansi permasalahan yang akan dibahas berdasarkan bahan yang ada kemudian hasil akhir ini akan dipaparkan secara deskriptif.
F.
Sistematika Penulisan. Guna memudahkan dalam memahami isi dari Tesis ini, berikut disajikan
Sistematika Penulisan yang dibagi ke dalam 5 Bab dan masing-masing Bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub Bab. BAB I
PENDAHULUAN Di dalam bab pertama sebagai bab pendahuluan diuraikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, kerangka teoritis dan sistematika penulisan.
11 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
BAB II
PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN. Di dalam Bab Kedua ini diuraikan mengenai sejarah, pengertian dan pengaturan gugatan class action, termasuk mengenai
pihak-pihak,
asas-asas,
syarat-syarat
dan
prosedur dalam pengajuan gugatan class action. BAB III
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT ATAU KENDALA DALAM PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION Di dalam bab ketiga ini akan disajikan beberapa putusan pengadilan mengenai yang diajukan dengan menggunakan mekanisme class action dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penggunaan gugatan class action.
BAB IV
IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION KORBAN TABRAKAN KERETA API Di dalam bab keempat ini akan diuraikan dan dibahas mengenai implementasi atau pelaksanaan gugatan class action dalam rangka tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh perwakilan kelompok korban tabrakan kereta api yang terjadi di Brebes tanggal 25 Desember 2001.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Di dalam bab ini akan disajikan kesimpulan yang merupakan pernyataan singkat yang diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Selain
itu
disajikan
pula
saran
yang
merupakan
rekomendasi dari penulis bagi penelitian lanjutan dan juga merupakan sumbangan pemikiran penulis tentang gugatan class action khususnya di bidang perlindungan konsumen.
12 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
BAB II PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION A.
Pengertian Class Action. Istilah class action atau disebut pula dengan action popularis diartikan
dalam bahasa Indonesia dengan gugatan perwakilan, gugatan kelompok atau ada juga yang menyebutkan dengan gugatan berwakil.9 Ada beberapa pengertian yang mencoba menjelaskan pengertian class action, baik menurut kamus hukum, pendapat para ahli hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Black’s Law Dictionary, definisi class action disebutkan sebagai berikut : “Class action, a lawsuit in which the court authorizes a single person or a small group of people to represent the interests of a larger group; specif, a lawsuit in which the convenience either of the public or of the interested parties requires that the case be settled through litigation by or against only a part of the group of similarly situated persons and in which a person whose interests are or may be affected does not have an opportunity to protect his or her interests by appearing personally or through a personally selected representative, or through a person specially appointed to act as a trustee or guardian.10
Mas Achmad Santosa, pakar hukum lingkungan menterjemahkan istilah class action sebagai gugatan perwakilan dan mendefinisikannya sebagai berikut : Class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injunction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang sebagai perwakilan kelas (class representatives) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan dengan class members. 11
Sementara
dalam
bukunya
yang
lain,
Mas
Achmad
Santosa
mendefinisikan class action sebagai berikut :
9
NHT Siahaan, Hukum Lingkungan. Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 214. Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Ed. West Publishing Co, 2004, hal. 267 11 Mas Achmad Santosa, et. al., Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Actions). Cet.I. Jakarta : ICEL, 1999, hal. 1 10
13 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Class action atau gugatan perwakilan (kelompok) merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan para penggugat itu sendiri, dan sekaligus mewakili kepentingan ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Orang (tunggal) atau orangorang (lebih dari satu/jamak) yang tampil sebagai penggugat disebut wakil kelas (class representative), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut sebagai class members.12
Stuart Sime dalam bukunya A Practical Approach to Civil Procedure, menyebutkan class action merupakan sinonim class suit atau representative action yang berarti :13 a.
gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class representative);
b.
perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang mereka wakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok;
c.
dalam pengajuan gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara individual satu persatu identitas anggota kelompok yang diwakili;
d.
yang penting asal kelompok yang diwakili dapat didefinisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik;
e.
selain itu, antara seluruh anggota kelompok dengan wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan : § § §
kesamaan kepentingan (common interest), kesamaan penderitaan (common grievance), dan apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menterjemahkan class action dengan gugatan perwakilan. UndangUndang ini tidak secara spesifik mengatur mengenai definisi dari gugatan perwakilan, yang diatur adalah definisi dari “mengajukan gugatan perwakilan” yaitu :
12
Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Actions). Cet.II. Jakarta : ICEL, 1998, hal. 10 13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Cet. I. Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hal. 139.
14 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.14
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menterjemahkan class action dengan gugatan kelompok. Undang-Undang ini tidak mengatur definisi dari class action atau gugatan kelompok, namun istilah class action secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang ini, yaitu dalam penjelasan pasal 46 ayat (2) huruf b. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, istilah class action diterjemahkan dengan “gugatan perwakilan”. UndangUndang ini hanya mengatur definisi dari “hak mengajukan gugatan perwakilan” sebagai berikut : Yang dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak sekelompok kecil masyarakat bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum, dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.15
Sementara dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, class action diterjemahkan dengan gugatan perwakilan kelompok, dan mendefinisikannya sebagai berikut : Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri, dan sekaligus mewakili sekelompok orang banyak yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.16
14
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23 Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37. 15 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833, ps. 38. 16 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, PERMA Nomor 1 Tahun 2002, ps. 1 huruf a.
15 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dari ketentuan pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung tersebut, dapat dilihat persyaratan untuk gugatan perwakilan kelompok sama dengan persyaratan class action yang dimuat dalam US Federal of Civil Procedure, yaitu :17 a.
Numerosity, artinya jumlah penggugat sedemikian banyaknya (bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan orang), sehingga tidak praktis dan tidak efisien apabila gugatan diajukan sendiri-sendiri, dan oleh karenanya dipandang cukup apabila gugatan diajukan oleh satu orang atau beberapa orang selaku wakil kelompok (class representation) yang mewakili selaku anggota kelompok (class members).
b.
Commonality, artinya harus ada kesamaan fakta maupun peristiwa dan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili dalam pengajuan gugatan. Amerika Serikat dan Inggris memiliki perbedaan konsep mengenai kesamaan hukum dan fakta. Inggris mengartikannya secara ketat dengan menentukan bahwa salah satu indikatornya adalah satu kontrak yang sama (absolute commonality). Dengan demikian konsumen yang mengajukan gugatan haruslah berdasarkan kontrak yang sama. Dengan dasar pemikiran yang demikian, maka representative action cocok untuk suatu pernyataan (declaration) atau injuction (atau sanksi melakukan sesuatu).18
c.
Typicality, artinya harus terdapat kesamaan tuntutan maupun pembelaan dari seluruh anggota yang diwakili (class members).
d.
Adequacy of Representation, artinya harus ada kelayakan perwakilan yaitu mewajibkan perwakilan kelas (class of representatives) untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan mereka yang diwakilkan.
Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa class action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang bertindak untuk dirinnya sendiri dan sekaligus mewakili kelompok tertentu untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan yang didasarkan atas adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok tersebut dengan kelompok yang diwakilinya.
17
Ujang Abdullah, Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi Dalam Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII Nomor 254 Januari 2007, hal. 51. 18 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Cet.I. Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal. 221
16 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dari beberapa pengertian class action, maka didapatkan unsur-unsur class action yang terdiri dari :19 1.
Gugatan secara perdata.
Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenrichting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hal yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah penggugat dan tergugat. Pihak di sini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang. 2.
Wakil Kelompok (Class Representative).
Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif. 3.
Anggota Kelompok (Class Members)
Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif. 4.
Adanya kerugian.
Untuk dapat mengajukan class action, baik pihak wakil kelompok (class representative) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete injured parties. 5.
Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum.
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members).
19
Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, Makalah Disampaikan Pada Kursus HAM Untuk Pengacara X, Jakarta, 2005, hal. 2
17 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
B.
Sejarah Perkembangan dan Pengaturan Class Action. 1.
Perkembangan Class Action di Beberapa Negara. Class action dikenal di banyak negara yang menganut sistem
hukum common law. Hal tersebut sesuai dengan sejarah diperkenalkannya lembaga class action untuk pertama kalinya, yakni di Inggris, Negara tempat lahirnya system common law sekitar tahun 1700-an. Kebanyakan Negara-negara bekas jajahan Inggris kemudian ikut menganutnya.20 a.
Inggris. Inggris memperkenalkan prosedur class action berdasarkan
judge made law dan khususnya untuk perkara-perkara berdasakan equity yang diperiksa oleh Court of Chancery. Saat itu Court of Chancery mengadili suatu perkara yang melibatkan pihak penggugat yang jumlahnya puluhan dan ratusan orang secara kumulasi. Pengadilan secara administrasi mengalami kesulitan untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap gugatan tersebut. Maka mulailah pengadilan menciptakan prosedur class action, dimana puluhan atau ratusan orang yang mempunyai kepentingan sama tersebut, tidak semuanya maju ke pengadilan melainkan cukup diwakili oleh satu atau beberapa orang.21 Ketentuan mengenai class action pertama kali dimulai tahun 1873 diatur dalam Supreme Court of Judiciatur Act 1873. Esensinya
memberi
kemungkinan
dan
kewenangan
bagi
pengadilan menjatuhkan putusan yang bersifat deklaratif atas pemulihan yang adil (equitable remedies), yaitu berupa pemulihan terhadap suatu hal yang diderita kelompok yang anggotanya berjumlah banyak (numerous). Kemudian tahun 1965 terjadi perubahan substansial dan diatur kembali dalam The English Rule 20
E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Jogjakarta: Universitas Atma Jaya, 2002, hal. 10 21 Emerson Yuntho, op. cit., hal. 10
18 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
of the Supreme Court (ERCS), 1965. Esensinya mengatur representative action, yaitu gugatan perwakilan kelompok yang berpatokan pada syarat : anggota kelompoknya banyak (numerous members), terdapat kesamaan kepentingan (same interest in one action), gugatan itu untuk kepentingan seluruh anggota (such action on behalf of benefit of all members).22 Amerika Serikat dan Inggris memiliki perbedaan konsep mengenai kesamaan hukum dan fakta. Inggris mengartikannya secara ketat, salah satu indikatornya
adalah
satu
kontrak
yang
sama
(absolute
commonality).23
b.
Kanada Kanada mulai mengenal prosedur class action pertama kali
di propinsi Ontario dengan dikeluarkannya the Ontario Judicatur Act 1881, yang kemudian diperbaharui dengan Supreme Court of Ontario Rules of Practice (SCORP), 1980. Ketentuan tentang class action kemudian diatur lebih lengkap dalam Ontario Class Proceedings Act (OCPA) tahun 1992. Di Ontario kemudian dibentuk Ontario Law Reform Commission yang salah satu tujuannya adalah mengembangkan model-model class action di Negara tersebut. Dalam rangka mewujudkan prosedur class action yang seragam untuk seluruh propinsi di Kanada, the Uniform Law Conference of Canada telah berhasil membuat class Proceeding Act pada tahun 1996 yang diharapkan dapat diberlakukan di seluruh propinsi di Kanada.24 Dalam OCPA 1992, pengaturan class action mencakup : adanya sejumlah orang yang mempunyai permasalahan hukum yang sama, permasalahan hukum itu timbul dari fakta atau 22
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 137. Inosentius Samsul, op. cit., hal. 221. 24 Yuntho, Emerson. op. cit. 23
19 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
peristiwa yang sama, dan dalam hal seperti itu satu atau lebih anggota kelompok, dapat tampil mengajukan gugatan mewakili seluruh anggota kelompok yang bersangkutan.25
c.
Amerika Serikat Negara Amerika Serikat, mengatur prosedur class action
untuk system peradilan federal, yakni di dalam the United State of Federal Rules of Civil Procedure (FRCP), 1938, yang kemudian direvisi pada tahun 1966. Pada awalnya (berdasarkan FRCP) tahun 1938) di peradilan Federal Amerika Serikat dikenal adanya tiga jenis class action, yakni true class action, hybrid class action serta spurious class action. Di dalam FRCP tahun 1966 ketiga jenis class action tersebut dihapuskan, sehingga hanya dikenal satu jenis class action, sebagaimana diatur dalam Rule 23 FRCP 1966. Ada tiga puluh dua Negara bagian yang mengikuti ketentuan Rule 23 FRCP 1966. Enam belas Negara bagian mengadopsinya secara murni tanpa mengadakan modifikasi, enam belas Negara bagian lainnya telah membuat modifikasinya26 Di Amerika Serikat, sejak awal tahun 1970-an jumlah gugatan class action semakin meningkat. Peningkatan tersebut sejalan dengan perubahan dalam hukum materiil yang membuka peluang mengajukan gugatan melalui class action, serta tuntutan pembayaran
biaya
perkara
yang
semakin
besar.
Dalam
perkembangannya, class action dapat digunakan untuk masalahmasalah sosial atau isu-isu lainnya yang sedang menjadi perhatian publik seperti masalah lingkungan, hak-hak perdata, dan gugatan di bidang ketenagakerjaan.27 25
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 138. Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindunan Konsumen, Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, Banjarmasin : Nusa Media, 2008, hal. 144 27 Inosentius Samsul, op. cit., hal. 221-222 26
20 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Kasus-kasus gugatan class action yang menarik perhatian publik di Amerika Serikat antara lain kasus Agent Orange (1987), kasus Dalkon Shield (1989) dan kasus the Smokers versus Tobacco Companies (1997).28 Kasus Agent Orange (1987) adalah gugatan class action yang diajukan oleh lebih dari seribu kaum veteran perang Vietnam terhadap pabrik kimia beracun yang memproduk defoliant sebagai senjata dalam perang Vietnam. Penggugat mendalilkan bahwa bahan kimia beracun defoliant yang disebut agent orange (salah satu jenis dioxin) menimbulkan cacat fisik dan trauma psikologis yang serius bagi para penggugat. Kendati kemudian gugatan ini memerlukan pembuktian yang kompleks, hakim pengadilan pada akhirnya memutuskan untuk memenuhi gugatan class action penggugat dengan pemberian kompensasi sejumlah US $ 250.000.000, yang didistribusikan dalam 2 bentuk, yaitu : (1) pemberian santunan secara tunai dan langsung kepada para penggugat
(class
members),
dan
(2)
memberi
pelayanan
rehabilitasi dan perawatan kesehatan bagi para korban perang Vietnam yang telah dikenali maupun yang belum dikenali (future claimants). Kasus Dalkon Shield adalah gugatan class action yang diajukan para penggugat terhadap perusahaan yang memproduk kontraseptif (intrautrine contraceptive device). Alat kontraseptif ini ternyata menimbulkan sterilitas para penggunanya dan cacat pada bayi yang dilahirkan para ibu yang menggunakan kontraseptif tersebut. Gugatan class action ini dimenangkan oleh para penggugat dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang kepada kelompok penggugat.
28
I Nyoman Nurjaya, Jurnal 40/XIII/2007, January 3, 2008
21 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Kasus Smokers versus Tobacco Companies (1977) adalah gugatan class action Norma Broin (42 tahun) mantan pramugari American Airlaines yang menderita kanker paru-paru karena menjadi perokok pasif (secondhand smoker) selama bertugas sebagai pramugari. Ia mewakili dirinya sendiri dan teman-teman sekerjanya yang menderita maupun belum terkena kanker paruparu. Pengadilan Negeri Miami, Florida memutuskan kepada perusahaan-perusahaan
rokok
membayar
sebanyak
US$
300.000.000 untuk melakukan studi tentang penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok, sedangkan kompensasi untuk dirinya sendiri (individual compensation) tidak dikabulkan pengadilan.
d.
Australia Australia pertama kali mengakui prosedur class action pada
tahun 1970 tepatnya di Negara bagian New South Wales dan diatur di dalam New South Wales Supreme Court Rules (NSWSCR), 1970. Peradilan Federal kemudian juga memperkenalkan class action dan diatur di dalam Federal Court of Australia Act (FCAA), 1976.29 Part 8 Rule 13 (1) dari NSWSCR menentukan dalam hal ada sejumlah besar orang mempunyai kepentingan yang sama, satu atau lebih dari mereka dapat mengajukan gugatan atau digugat, mewakili
kepentingan
seluruhnya.
Negara
bagian
Victoria
mengatur prosedur class action secara sumir, yakni di dalam Order 18 Victoria Supreme Act (VCSA), 1986, yang secara keseluruhan menentukan bahwa apabila ada sejumlah orang mempunyai kesamaan kepentingan tiap-tiap gugatan, maka gugatan-gugatan tersebut dapat diajukan dan diteruskan dalam sebuah gugatan oleh atau terhadap seorang atau lebih yang mempunyai kesamaan kepentingan sebagai wakil dari keseluruhan. Negara bagian 29
Emerson Yuntho, op. cit., hal.11
22 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Australia Selatan mengatur prosedur class action di dalam section 34.01 dari South Australia Civil Procedures (SACP), 1992. Menurut
ketentuan
tersebut,
dimana
ada
sejumlah
orang
mempunyai kesamaan permasalahan fakta dan hukum, satu atau lebih
dari
mereka
dapat
mengajukan
gugatan
mewakili
keseluruhan.30 Dalam pengadilan tingkat Federal di Australia, berdasarkan The Federal Court of Australia Act 1976, Part IV A dan s. 43 (14) ditentukan kriteria gugatan class action adalah :31 (1) (2) (3)
(1) (2)
(3)
e.
Thera are “7 or more persons” with potential claim, rather the common law requirement of “numerous” person at the commencement of proceedings; The claims arise out of “the same” similar or circumtances”, instead of the common law equirement of “common interest; The claims give rise to at least on substantive issue of law or of fact, instead of the common law test of a “common grievance”. Ada “tujuh orang atau lebih, dengan tuntutan potensial disamping persyaratan common law mengenai jumlah banyak orang pada saat permulaan gugatan hukum; Suatu tuntutan timbul dari keadaan yang sama, keadaan serupa atau keadaan terkait, disamping persyaratan common law tentang kepentingan bersama, atau common interest; Tuntutan timbul, sedikitnya dari satu persoalan substantive hukum fakta hukum, di samping persyaratan common law tentang keluhan bersama.
Filipina Mahkamah Agung Filipina pada tahun 1993 juga mengakui
prosedur gugatan class action dalam kasus sengketa lingkungan Minor Oposa. Kasus ini melibatkan penggugat yang terdiri dari 14 anak-anak di bawah umur (minor) yang didampingi oleh para orang tua mereka mengajukan gugatan terhadap Menteri 30
Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 146-147 Indro Sugianto, Class action – Membuka Akses Keadilan Bagi Rakyat, Jakarta : In TRANS Press, 2008, hal. 9 31
23 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Lingkungan Hidup Filipina (Secretary of the Department of Environment and Natural Resources/DENR) mengenai pembatalan ijin penebangan hutan (logging) dengan mengatasnamakan kelompok penggugat dan sekaligus generasi mendatang yang memiliki kepentingan dan kepedulian yang sama bagi kelestarian hutan di Filipina.32
f.
India Di India, class action mulai dikenal tahun 1908 dan diatur
dalam Rule of Order of Civil Procedure, 1908.33 Ketentuan tersebut kemudian diubah dan disempurnakan pada tahun 1976. Menurut ketentuan tersebut, yang dimaksud dengan class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap seseorang yang merupakan anggota dari suatu kelompok untuk mewakili seluruh kepentingan kelompok tersebut dengan syarat : (1) ada sejumlah besar orang, (2) mempunyai kepentingan yang sama, (3) pengadilan mengijinkan orang tersebut untuk menjadi wakil kelompok, (4) ada kewajiban memberitahukan kepada seluruh anggota kelompok.34
2.
Pengakuan dan Pengaturan Class Action Dalam Hukum Positif Indonesia Untuk pertama kalinya pada tahun 1997, Indonesia mengakui dan
memperkenalkan mekanisme pengajuan gugatan ke pengadilan secara class action melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan tanggal 19 September 1997 (“Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup”). 32
I Nyoman Nurjaya, Jurnal 40/XIII/2007, January 3, 2008 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 139 34 Emerson Yuntho, op. cit., hal. 11 33
24 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur mengenai hak dari masyarakat untuk mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.35 Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa class action untuk kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah sebuah hak. Hak itu dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat untuk menjadi wakil masyarakat yang jumlahnya besar (ratusan, ribuan atau puluhan ribu) bertindak sebagai penggugat. Syaratnya ialah pertama, bahwa para wakil itu memiliki kesamaan permasalahan yaitu mengalami kerugian akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Kedua, kesamaan fakta hukum (question of law). Yang dimaksud adalah fakta bahwa hukum lingkungan cq peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang telah dilanggar, dan ketiga adalah kesamaan tuntutan. Maksudnya tuntutan wakil kelas adalah apa yang menjadi tuntutan dari mereka yang diwakilinya.36 Jika mau diuraikan, maka unsur-unsur dari gugatan perwakilan menurut Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah terdiri dari (a) sekelompok kecil masyarakat; (b) mewakili masyarakat korban; (c) berdasarkan kesamaan masalah, fakta hukum dan tuntutan; (d) kerugian karena pencemaran atau perusakan lingkungan. 37
35
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23 Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37 36 Hyronimus Rhiti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Cet.I. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2006, hal. 96 37 NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, Cet. I, Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 218.
25 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Penyebutan sekelompok masyarakat, adalah mereka-mereka di antara korban yang bertindak sebagai wakil kelas (representatives class) atas sejumlah korban yang sama-sama menderita yang disebut anggota kelas (class member) berdasarkan adanya kesamaan (commonality) peristiwa atau permasalahan kerugian yang timbul karena adanya pencemaran atau perusakan lingkungan seperti limbah pabrik. Sebelum adanya ketentuan hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai class action, terdapat beberapa kasus yang penyelesaiannya diajukan dengan mekanisme class action, antara lain : (1) Kasus Bentoel Remaja yang diajukan oleh R.O. Tambunan tahun 1980-an, (2) Kasus gugatan demam berdarah yang diajukan oleh Dr. Muchtar Pakpahan terhadap Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta, dan (3) Kasus Pemadaman Listrik Jawa Bali tanggal 13 April 1997. Meskipun pada saat itu hukum positif di Indonesia belum ada yang mengatur secara tegas mengenai class action, namun kasus-kasus yang diajukan secara class action seperti diuraikan di atas, tetap dapat diproses, diperiksa dan diadili, karena sesuai dengan ketentuan pasal 14 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Pada tahun 1999 perkembangan pengaturan class action di Indonesia tergolong pesat, setidaknya dalam kurun waktu tahun 1999 pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) peraturan dalam bentuk undang-undang sebagaimana yang akan penulis uraikan lebih lanjut secara ringkas di bawah ini.
26 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
a.
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1999
Tentang
Perlindungan Konsumen diundangkan tanggal 20 April 1999 (“Undang-Undang Perlindungan Konsumen”). Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
mengatur
mengenai dimungkinkannya sekelompok konsumen mengajukan class action, yang dengan tegas menyebutkan :38 (1)
(2)
(3)
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c atau huruf d, diajukan kepada peradilan umum. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b ditegaskan bahwa gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi. 38
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, ps. 46.
27 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Demikian juga halnya mengenai penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dengan menggunakan class action mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam 45 dan 48 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dari ketentuan tersebut di atas, diketahui bahwa gugatan sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum, dengan demikian ketentuan hukum acara yang digunakan mengacu kepada hukum acara perdata biasa yaitu Herziene Inlands Reglemen (HIR) yang memang sampai saat ini masih berlaku sebagai hukum positif. Dalam mengajukan gugatan sengketa konsumen ada satu persyaratan khusus yaitu harus ada dokumen yang membuktikan bahwa konsumen benar-benar dirugikan salah satu di antaranya yaitu bukti transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha. Undang-Undang
Perlindungan
Kosumen
merumuskan
mengenai kerugian sebagai berikut :39
39
a.
Pelaku usaha bertanggung jawab memberi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dana/atau kerugian konsumen, akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
b.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan, dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ibid., ps. 19.
28 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Meskipun tidak diatur secara eksplisit, namun dari ketentuan pasal 19 tersebut terlihat dengan jelas bahwa ganti rugi yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanyalah ganti rugi materil. Sebagai contoh, jika sesorang keracunan dan harus masuk rumah sakit, maka kerugian yang dapat dituntut adalah kerugian berupa penggantian biaya pengobatan dan perawatan. Menurut penulis hal tersebut tidak fair. Seharusnya konsumen yang bersangkutan juga dapat menuntut kerugian berupa keuntungan yang seharusnya didapatkan yang dia tidak dapatkan karena
tidak
dapat
masuk
kerja
dan/atau
tidak
dapat
melaksanakan/menjalankan bisnisnya, atau atas kerugian berupa beban pikiran yang dia alami akibat dari keracunan tersebut yang tentunya sangat sulit dinilai dengan uang (kerugian immateril).
b.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, diundangkan tanggal 7 Mei 1999 (“UndangUndang Jasa Konstruksi”). Undang-Undang
Jasa
Konstruksi
memungkinkan
sekelompok orang untuk mengajukan gugatan class action. Ketentuan mengenai pengajuan gugatan class action dirumuskan sebagai berikut : Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara (a) orang perorangan; (b) kelompok orang dengan pemberian kuasa; (c) kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.40
Tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan perundang40
Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833, ps. 38.
29 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
undangan yang berlaku. Khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain yaitu :41 §
Memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerja konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi;
§
Menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja konstruksi;
§
Memerintahkan seseorang (salah satu orang) yang melakukan usaha/kegiatan jasa konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para pekerja jasa konstruksi.
Apabila dibaca secara seksama, ketentuan pasal 38 dan penjelasan pasal 39 ayat (1) tidak singkron atau saling bertentangan satu sama lain. Dalam pasal 38 disebutkan “masyarakat yang dirugikan, baik perorangan maupun kelompok orang (berdasarkan kuasa atau perwakilan kelompok) dapat mengajukan gugatan. Akan tetapi dalam penjelasan pasal 39 ayat (1) justru kelompok orang yang mengajukan gugatan perwakilan kelompok tidak diperbolehkan menuntut ganti rugi. Ketentuan ini juga menegaskan bahwa gugatan perwakilan kelompok dalam Jasa Konstruksi tidak mengenal adanya tuntutan ganti kerugian baik kerugian materil maupun immateriil. Dengan demikian gugatan class action di bidang Jasa Konstruksi tidak termasuk ke dalam kategori gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
41
Ibid., ps. 39.
30 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
c.
Undang-Undang
Nomor
41
Tahun
1999
Tentang
Kehutanan, diundangkan tanggal 30 September 1999 (“Undang-Undang Kehutanan”). Dalam
Undang-Undang
Kehutanan
diatur
bahwa
masyarakat yang merasa dirugikan akibat dari kerusakan hutan dapat mengajukan gugatan class action. Ketentuan mengenai pengajuan gugatan perwakilan dirumuskan sebagai berikut : (1)
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
(2)
Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas pada tuntutan pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.42
Selain gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat, undang-undang ini juga memungkinkan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dan organisasi bidang kehutanan
dapat
bertindak
untuk
kepentingan
masyarakat
mengajukan gugatan perwakilan. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan/atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.43 (1)
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.
(2)
Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
42
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Nomor 41 Tahun 1999, LN Nomor 167 Tahun 1999, TLN Nomor 3888, ps. 71. 43 Ibid., ps. 72.
31 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
d.
§
Berbentuk badan hukum;
§
Organisasi tersebut dalam anggaran dasar dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan
§
Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar.44
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia,
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (“PERMA Nomor 1 Tahun 2002”. PERMA Nomor 1 Tahun 2002 merupakan suatu terobosan baru yang mengatur mengenai tata cara pengajuan gugatan class action. Dalam salah satu pertimbangan PERMA Nomor 1 Tahun 2002, disebutkan bahwa sambil menunggu peraturan perundangundangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian ketertiban dan kelancaran dalam memeriksa gugatan perwakilan kelompok,
dipandang
perlu
menetapkan
suatu
Peraturan
Mahkamah Agung.45 Meskipun hanya berbentuk sebuah PERMA dan sifatnya “sementara”, namun keberadaannya untuk sementara waktu dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi para praktisi hukum khususnya bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili gugatan 44
Ibid., ps. 73. Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, PERMA Nomor 1 Tahun 2002, bagian Menimbang huruf f. 45
32 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
perwakilan kelompok sambil terus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta menunggu diaturnya acara gugatan class action dalam bentuk Undang-Undang yang lebih mempunyai kekuatan mengikat dan lengkap. PERMA Nomor 1 Tahun 2002 mengatur secara lebih lengkap mengenai class action atau gugatan perwakilan kelompok, mulai dari pengertian, prosedur dan tata cara pengajuan gugatan, proses pemeriksaan dan pengambilan serta pelaksanaan putusan gugatan pewakilan kelompok. Secara keseluruhan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, hampir sama dengan ketentuan class action yang berlaku di Amerika Serikat. Hal ini sangat beralasan, karena sebelum PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dibentuk, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah melakukan penelitian di empat Negara bagian Amerika Serikat dalam rangka pembuatan Peraturan Mahkamah Agung tentang prosedur gugatan class action, yang hasilnya secara ringkas dapat disampaikan sebagai berikut :46 a.
46
Class action di Negara Bagian California. §
Gugatan class action harus diajukan oleh private attorney, yang khusus menangani class action. Pada umumnya Private attorney tidak menerima bayaran jika gugatannya ditolak oleh pengadilan.
§
Perkara yang dapat diajukan secara class action harus memenui persyaratan-persyaratan : (1) numerousity, yang tidak ditentukan banyaknya tetapi sedemikian besar sehingga tidak efisien jika digugat secara sendiri-sendiri, dan similarity, kesamaan-kesamaan harus dominan dan menonjol, jika tidak akan ditolak, disamping pribadi class representative yang pantas dan setelah melalui proses sertifikasi/notifikasi. Proses sertifikasi yaitu proses pembuktian bahwa perkara tersebut dapat diterima untuk diajukan secara class action atau tidak. Notifikasi yaitu pemberitahuan (dapat melalui pemberitahuan umum, melalui surat kabar, berita radio, tv atau pemberitahuan umum lainnya) kepada class members tentang diajukannya gugatan.
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XVII. Nomor 201, 2002, hal 127-135
33 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
b.
§
Notifikasi akan dilakukan oleh penggugat setelah hakim memutuskan perkara tersebut dapat diajukan secara class action. Draft Notifikasi harus mendapat persetujuan dari Hakim, dan selalu harus mencantumkan jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan kepada class member yang tidak mau ikut dengan gugatan tersebut mengajukan opt out.
§
Class member yang tidak bersedia ikut, tidak terikat pada putusan pengadilan, dan ia jika mau dapat mengajukan gugatan tersendiri. Class members yang pasif terikat dengan isi putusan pengadilan.
§
Jika gugatan dikabulkan pada umumnya hakim menentukan jumlah ganti kerugian yang harus dibayar oleh tergugat.
§
Jika anggota class representative mempunyai conflict kepentingan terhadap tergugat, hakim dapat memerintahkan untuk mengganti anggota class representative tersebut.
§
Jika tidak jelas siapa-siapa yang menjadi class member maka gugatan akan ditolak. Oleh karena itu dalam gugatan harus dirinci dengan jelas siapa-siapa yang menjadi class member dan sub class member.
Class action di State Lousiana, New Orleans. §
Kelemahan dari US class action adalah keharusan adanya kesamaan yang harus dominan, jika tidak dominan akan ditolak. Padahal untuk membuktikan adanya kesamaan yang dominan, memakan waktu yang lama dan berlarut-larut bahkan ada yang sampai bertahun-tahun. Jika kerugian masing-masing anggota kelas berbeda, kemungkinan besar akan ditolak, karena tidak memenuhi persyaratan.
§
Jika terjadi perdamaian antara tergugat dengan class representative, berarti perdamaian tersebut akan mengikat seluruh class member, kecuali perdamaian itu ditolak oleh hakim karena dianggap kurang adil bagi kedua pihak.Hakim juga dapat mengusulkan untuk memperbaiki isi perdamaian.
§
Gugatan class action tidak selalu menuntut ganti kerugian berupa uang, bisa saja ganti rugi untuk memperbaiki sesuatu keadaan, atau untuk menghentikan suatu tindakan. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya notifikasi karena tidak ada ganti kerugian yang harus dibagikan kepada class member.
34 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
c.
d.
Class action di Negara Bagian Florida. §
Gugatan class action secara garis besarnya dapat diilustrasikan sebagai berikut (1) Preliminary Hearing untuk menentukan apakah perkara tersebut dapat diajukan secara class action atau tidak, (2) disetujui atau ditolak, jika ditolak selesai, jika dikabulkan disusul dengan hakim menerbitkan class sertification order untuk melakukan notifikasi kepada anggota kelas, (3) dilakukan settlement hearing atau final hearing, (4) pembayaran/pemberitahuan kepada class member (6) penentuan attorney fee (7) cypress (jika ada) akan diberikan kepada lembaga yayasan mana.
§
Untuk kepentingan umum, attorney general atau pengacara pemerintah dapat mengajukan class action, tetapi umumnya yang diminta bukan ganti kerugian berupa uang yang dapat dibagikan kepada class member, akan tetapi untuk melindungi kepentingan umum/publik, seperti dalam perkara gugatan class action di bidang persaingan usaha.
§
General attorney atas nama masyarakat dapat melakukan gugatan class action pengusaha tertentu dan menuntut ganti kerugian atau untuk memperbaiki keadaan, bila terjadi pelanggaran hukum di bidang konsumen.
Class action di Washington. §
Konsep class action sudah lama dikenal dan diatur dalam Civil Procedure Act, tetapi sejak tahun 1966 diperluas dan melibatkan juga peraturan-peraturan hukum publik. Bahkan dalam perkara gugatan melanggar compentation law, ganti kerugian dapat ditentukan sampai tiga kali (treble damages).
§
Pada umumnya perkara-perkara gugatan class action tidak sampai pada tingkat kasasi, kecuali ada perbedaan atau tidak ada kekompakan antara majelis hakim atau saling memberi tafsiran yang berbeda terhadap peraturan hukum.
§
Ada rancangan Undang-Undang yang menghendaki bahwa gugatan ganti kerugian yang lebih kecil dari $2 juta harus diajukan di Federal District Court. Pihak yang menentang dan tidak setuju dengan perubahan ini menyatakan lebih baik mengajukan di State Court karena state court lebih mengetahui keadaan daerahnya dari federal court dan hakim-hakim di Federal court lebih tidak professional daripada di State Court.
35 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
§
C.
Di Amerika Serikat perubahan suatu Undang-Undang tergantung dari kehendak partai yang berkuasa. Jika partai Demokrat yang berkuasa, maka class action lebih cenderung berpihak kepada class members atau publik yang kecil, sebaliknya jika partai Republik yang lebih berkuasa maka class action lebih cenderung berpihak pada pengusaha.
Ketentuan Pengajuan Gugatan Class Action. 1.
Hukum Acara Yang Berlaku Dalam Class Action. Menurut Sudikno, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum
yang mengatur bagaimana cara ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Lebih konkrit dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur
tentang
bagaimana
caranya
mengajukan
tuntutan
hak,
memeriksa serta memutuskan pelaksanaan dari pada putusannya. 47 Prof. Dr. Wirjono Projodikoro (1997:12), mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.48 Sementara Retnowulan, menyebutkan hukum acara perdata sebagai hukum perdata formil, yaitu “kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materil”.49 Dalam pasal 39 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa tata cara pengajuan gugatan dalam lingkungan hidup 47
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jogjakarta : Liberty, 1993, hal. Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Cet. II , Jakarta : Djambatan, 2002, hal. 2 49 Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung : Mandar Maju, hal. 12. 48
36 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku. Sementara dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara tegas mengenai tata cara pengajuan Gugatan Perwakilan Kelompok. Undang-Undang ini dalam pasal 46 ayat (2) hanya menyebutkan bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, diajukan kepada peradilan umum. Sedangkan dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi dan Undang-Undang Kehutanan, sama sekali tidak mengatur mengenai tata cara pengajuan class action. Dari keempat Undang-Undang tersebut, terlihat dengan jelas tidak ada yang mengatur secara tegas mengenai tata cara dan/atau prosedur pengajuan gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok. Hal ini juga terlihat dalam konsideran PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang menyebutkan : Bahwa telah ada berbagai undang-undang yang mengatur dasar-dasar gugatan perwakilan kelompok, seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, tetapi belum ada ketentuan yang mengatur tentang acara memeriksa, mengadili dan memutus gugatan yang diajukan. Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian ketertiban dan kelancaran dalam dalam memeriksa gugatan perwakilan kelompok, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.50
Dari ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa sampai saat ini ketentuan hukum acara yang mengatur mengenai prosedur dan tata cara pengajuan gugatan perwakilan kelompok adalah PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dan Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam perkara perdata biasa yaitu Herziene Indische Regelemen (HIR).
50
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, PERMA Nomor 1 Tahun 2002, bagian Menimbang huruf e dan f.
37 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
2.
Persyaratan Mengajukan Gugatan Class Action. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, ditentukan bahwa suatu
gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok, apabila (memenuhi kriteria):51 a.
Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendirisendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan ;
b.
terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya ;
c.
wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesanggupan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Tidak ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut, bagaimana untuk membuktikan mengenai kejujuran atau kesanggupan tersebut, apakah wakil kelompok tersebut perlu membuat surat pernyataan dan/atau kesanggupan secara tertulis atau tidak.
3.
Persyaratan Formal Gugatan Class Action. Dalam gugatan perdata biasa tidak ada ketentuan yang mengatur
perihal syarat-syarat dan isi gugatan. Pasal 118 HIR hanya mengatur bagaimana suatu gugatan harus diajukan. Dalam praktek suatu gugatan setidak-tidaknya memuat tentang : i.
Identitas secara lengkap dan jelas pihak penggugat maupun tergugat;
ii.
Fakta kasus dan fakta hukum yang menjadi dasar pengajuan gugatan atau yang dikenal dengan posita. Pada bagian posita (dasar gugatan), pada umumnya dalam praktek memuat perihal fakta-fakta/peristiwa hukum (rechfeiten) yang menjadi dasar gugatan tersebut (tentang peristiwanya) serta uraian singkat perihal hukumnya yaitu dalam kaitan dengan terjadinya hubungan hukum tersebut tanpa harus menyebutkan pasal-pasal perundang-undangan atau aturan-aturan hukum termasuk hukum adat, sebab hal-hal seperti itu akan ditunjukkan atau dijelaskan oleh hakim dalam putusannya nanti, jika dipandang perlu (positum).52
51
Ibid, ps. 2. R. Soepramono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Cet. II, Jakarta : Mandar Maju, 2005, hal. 9 52
38 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
iii.
Tuntutan yang dimohonkan oleh penggugat atau yang dikenal dengan Petitum. Pada bagian petitum (pokok tuntrutan), yaitu perihal apa-apa sajakah yang dikehendaki atau diminta oleh Penggugat agar diharapkan untuk dapat diputus oleh Pengadilan (conclusum).53
Persyaratan formal suatu gugatan perwakilan kelompok diatur dalam ketentuan pasal 3 dan pasal 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dari ketentuan kedua pasal tersebut, persyaratan formal suatu gugatan perwakilan kelompok dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu persyaratan khusus dan persyaratan umum, sebagaimana diuraikan secara ringkas di bawah ini. a.
Persyaratan Khusus Berdasarkan Pasal 3 PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Berdasarkan ketentuan pasal 3 dari PERMA Nomor 1
Tahun 2002, suatu gugatan class action harus memuat : 1.
Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok. Meskipun dalam huruf a ini hanya menetapkan
keharusan pencantuman identitas penggugat dalam hal ini wakil kelompok secara lengkap dan jelas, namun tidak berarti identitas tergugat tidak perlu dicantumkan secara lengkap dan jelas. Pencantuman identitas tergugat secara lengkap dan jelas diatur dan mengacu kepada pasal 118 HIR sebagai persyaratan umum sebagaimana dijelaskan pada butir 1 di atas. 2.
Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walapun tanpa menyebut nama anggota kelompok satu persatu.
53
Ibid.
39 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Penyebutan
anggota
kelas
dilakukan
dengan
pendefinisian secara jelas, rinci dan spesifik kelasnya dengan tanpa menyebut nama satu persatu anggota kelas dan juga spesifikasi diri anggota kelas.54 3.
Keterangan
tentang
anggota
kelompok
yang
diperlukan dalam kaitannya dengan kewajiban melakukan pemberitahuan. Keterangan ini tidak dijumpai dalam formulasi gugatan
berdasarkan
hukum
acara,
karena
dengan
mencantumkan identitas para pihak, pemberitahuan atau panggilan sudah dapat dipenuhi, sebab secara riil mereka tampil dalam gugatan. Tidak demikian halnya dalam gugatan perwakilan kelompok, yang tampil secara nyata dalam proses perkara hanya wakil kelompok (class representative), sedangkan identitas anggota kelompok tersembunyi atau in absentee di balik identitas wakil kelompok. Anggota kelompok adalah penggugat yang tidak hadir atau in absentee di forum persidangan. Oleh karena itu apabila suatu saat diperlukan pemberitahuan kepada anggota kelompok, perlu diterangkan keberadaan mereka dalam gugatan dan keterangan itu sedemikian rupa sehingga langkah tindakan pemberitahuan itu dapat terlaksana secara efektif.55 4.
Posita dari seluruh kelompok, baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi, yang dikemukakan secara jelas dan terinci.
54 55
Indro Sugianto, op. cit., hal. 132 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 154.
40 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Karakteristik khusus dari suatu gugatan class action atau gugatan perwakilan adalah dalam hal penyusunan dasar gugatan ini adalah bahwa dalam pendiskripsian dasar gugatan di samping memuat tentang kejadian atau peristiwa, uraian tentang hak dalam hubungan hukum yang menjadi dasari gugatan juga harus dapat mendiskripsikan secara jelas dan rinci kesamaan hukum atau fakta di antara wakil kelas dengan anggota kelas.56 5.
Dalam
satu
gugatan
perwakilan,
dapat
dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda. Syarat ini tidak bersifat imperatif secara permanen, tetapi secara kondisional dengan acuan penerapan : 57
6.
§
sepanjang tidak ada secara objektif subkelompok berdasarkan perbedaan jenis dan jumlah ganti rugi, gugatan tidak perlu memuat hal itu;
§
dengan demikian keharusan merumuskan penegasan subkelompok dalam gugatan perwakilan kelompok apabila hal itu secara nyata memang ada;
§
dalam hal yang demikian gugatan perwakilan kelompok harus menyebut atau memformulasi subkelompok yang ada, dan menyebut perbedaan sifat dan tuntutan ganti rugi bagi setiap sub kelompok.
Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada seluruh anggota kelompok, termasuk usulan tentang pembentukan tim atau
56 57
Indro Sugianto, op. cit., hal. 32 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 154.
41 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
panel
yang
membantu
memperlancar
pendistribusian ganti kerugian. Syarat ini juga hampir sama dengan ketentuan atau persyaratan umum sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, namun dalam gugatan class action terdapat tambahan mengenai usulan mekanisme dan tata cara pendistribusian ganti kerugian dan pembentukan tim yang akan membantu kelancaran pendistribusian ganti kerugian.
b.
Persyaratan
Umum
Berdasarkan
Hukum
Acara
Perdata (HIR). Selain persyaratan khusus sebagaimana disebutkan dalam butir 1 di atas, ketentuan-ketentuan dalam pengajuan gugatan perdata biasa sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata biasa yaitu HIR, juga tetap berlaku dalam pengajuan gugatan perwakilan kelompok. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 juga ditegaskan bahwa “ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata tetap berlaku, di samping ketentuanketentuan dalam PERMA ini”.58 Sebenarnya jika diperhatikan ketentuan pasal 3 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, hampir terdapat syarat-syarat formulasi gugatan dengan yang diatur dalam HIR. Dalam pasal 118 ayat (1) HIR disebutkan : gugatan perdata harus dimasukkan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relative, dan dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan) yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakil (kuasanya).
58
Mahkamah Agung, op. cit., ps. 10.
42 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan suatau gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Identitas yang mutlak dicantumkan dalam suatu gugatan adalah mengenai nama lengkap, alamat atau tempat tinggal. Syarat lain yang harus ada dalam suatu gugatan adalah posita yaitu yang menjadi dasar gugatan yang berisikan dasar hukum dan dasar fakta. Selain itu, dalam suatau gugatan juga harus mencantumkan mengenai petitum atau tuntutan yang diajukan oleh penggugat. Berdasarkan kewenangan atau kompetensi relatif, gugatan harus diajukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut : 59
59
§
Gugatan Perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukan dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
§
Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat-tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugatan itu dimasukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat orang yang berutang utama dari salah seorang dari pada orang berutang utama itu, kecuali dalam hal yang di tentukan pada ayat 2 dari pasal 6 dari reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman.
§
Bilamana tempat diam dari dari tergugat tidak kenal, lagi pula tempat tinggal sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu.
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya, Bogor : Peliteia, 1989, ps.118.
43 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
§
4.
Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukan surat gugat itu kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu.
Prosedur Pengajuan dan Pemeriksaan Gugatan Class Action. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa saat ini hukum acara yang
secara khusus mengatur mengenai tata cara dan prosedur pengajuan gugatan class action diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Secara garis besar prosedur pengajuan gugatan class action berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 adalah sebagai berikut : a.
Pemeriksaan Awal. Ketentuan mengenai pemeriksaan awal diatur dalam pasal 5
ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dalam system gugatan class action, hakim wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan awal untuk mengetahui atau menentukan apakah gugatan yang diajukan layak atau telah memenuhi kriteria suatu gugatan class action yaitu (1) apakah jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan.; (2) apakah terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya; (3) apakah wakil kelompok memiliki
kejujuran
dan
kesanggupan
untuk
melindungi
kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa yang wajib diperiksa dan dipertimbangkan hakim dalam tahap proses pemeriksaan awal, adalah : 1.
Adanya kelompok yang terdiri dari : a.
Wakil kelompok yang memenuhi syarat :
44 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
b.
2.
3.
§
Memiliki kejujuran, dan
§
Memiliki kesungguhan melindungi kepentingan anggota kelompok.
Anggota kelompok yang memenuhi syarat : §
jumlahnya banyak (numerous), dan
§
kelompoknya dapat didefinisikan atau dideskripsi secara jelas dan spesifik.
Terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum; a.
kesamaan itu bersifat substansial atara wakil dengan anggota kelompok;
b.
kesamaan itu tidak mengandung persaingan kepentingan (competing interest), antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.
Terdapat kesamaan tuntutan; a.
dapat juga diartikan kesamaan kepentingan (common interest) atau kesamaan tujuan (common purpose),
b.
boleh juga didasarkan pada penderitaan (common grievance). 60
kesamaan
Di Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, sistem ini disebut dengan proses realistic appraisal dan hasil proses ini disebut Preliminary Certification Test (PCT), atau disebut pula Judicial Certification. PCT bertujuan untuk mengetahui, pertama apakah gugatan memenuhi criteria; kedua apakah class action sesungguhnya memilki nilai efisien dan keadilan, dan ketiga, apakah wakil kelompok dapat berlaku jujur dan sungguh-sungguh dapat melindungi para anggota kelompok.61 Dalam pasal 5 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2002, juga diatur bahwa Hakim dapat memberikan nasihat kepada penggugat dan tergugat tetapi terbatas mengenai syarat-syarat formal suatu gugatan class action sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dari PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Hal seperti ini juga telah diatur dalam pasal 119 HIR yang menegaskan bahwa Ketua Pengadilan Negeri berwenang memberi nasihat dan pertolongan kepada 60 61
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 155 NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 226
45 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
penggugat atau tergugat maupun kepada kuasa tentang hal yang berkenaan dengan mengajukan gugatan, apakah gugatan telah memenuhi syarat formil atau tidak. Ketentuan tersebut senada dengan ketentuan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa di dalam perkara perdata, pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeraskerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Jika hakim berpendapat gugatan class action yang diajukan sah memenuhi syarat formal yang digariskan dalam pasal 3 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, maka sesuai dengan ketentuan pasal 5 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, pengadilan menerbitkan penetapan yang berisi : (1) menyatakan gugatan class action sah, (2) memerintahkan penggugat segera mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. Tidak ada penegasan lebih lanjut, apakah terhadap penetapan ini dapat diajukan banding atau tidak. Sebaliknya, jika dari hasil pemeriksaan awal kriteria gugatan class action tidak sah, karena tidak memenuhi syarat formal suatu gugatan class action sebagaimana yang telah digariskan, maka pernyataan tersebut dituangkan dalam bentuk putusan, yang berisi (1) menyatakan gugatan class action tidak sah, dan menyatakan pemeriksaan dihentikan. b.
Penyelesaian Melalui Perdamaian. Ketentuan mengenai penyelesaian melalui perdamaian
diatur dalam pasal 6 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yang pada intinya menegaskan bahwa hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara gugatan class action melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara. Ketentuan seperti ini juga
46 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
diatur dalam ketentuan hukum acara perdata biasa yang menyebutkan : 1.
Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan memperdamaikan mereka itu.
2.
Jika perdamaian yang demikian itun terjadi, maka tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu, maka surat (akte) itu akan berkekuatan hukum dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
3.
Tentang putusan yang demikian itu tidak diijinkan orang minta banding.62
Dari ketentuan tersebut di atas, putusan perdamaian dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap artinya : (1) tertutup terhadapnya upaya hukum banding atau kasasi, (2) langsung final dan mengikat kepada para pihak, (3) serta langsung melekat padanya kekuatan eksekutorial sehingga apabila tidak dilakukan secara suka rela, dapat dijalankan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Ketentuan lain yang mengatur mengenai proses mediasi di Pengadilan
adalah
Peraturan
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan yang dikeluarkan tanggal 11 September 2003. Dalam pasal 2 ayat (1) dari PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dengan tegas disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Berdasarkan ketentuan pasal 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang menyebutkan ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur 62
R. Soesilo, op. cit., ps.130.
47 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
dalam hukum acara perdata tetap berlaku, di samping ketentuanketentuan dalam PERMA ini, maka tata cara pemeriksaan perdamaian yang diatur dalam pasal 6 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, tunduk pada pasal 130 HIR dan PERMA Nomor 2 Tahun 2003.
c.
Pemberitahuan Kepada Anggota Kelompok. Dalam sistem gugatan class action diatur mengenai adanya
kewajiban untuk melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok. Pemberitahuan kepada anggota kelas adalah mekanisme yang diperlukan untuk memberi informasi kepada seluruh anggota kelas, dan untuk memberi kesempatan bagi anggota kelas untuk menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara tersebut, atau tidak menginginkannya yaitu dengan cara menyatakan keluar/opt out dari keanggota kelas.63 Beberapa hal yang diatur berkaitan dengan mekanisme pemberitahuan sesuai ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yaitu : 1.
Cara Pemberitahuan. Dalam
pasal
7
ayat
(1)
ditegaskan
bahwa
pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui : (1) media cetak dan/atau elektronik, (2) kantorkantor pemerintah seperti Kecamatan, Kelurahan atau Desa, (3) Kantor Pengadilan atau (4) secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat diidentifikasi dan ada persetujuan dari hakim.
63
Susanti Adi Nugroho, Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Di Indonesia - Sesuai Dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2002, Jakarta : Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, 2002, hal. 45
48 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Berbagai pemberitahuan melalui
metoda melalui
media
pengumuman/notifikasi
pemberitahuan
yaitu
massa,
pemberitahuan
dan
pemberitahuan
individual (apabila wakil kelas telah mengetahui namanama serta alamat anggota kelas potensial.64 2.
Waktu/Tahap Pemberitahuan. Dalam pasal 7 yata (2) PERMA Nomor 1 Tahun
2002,
ditentukan
tahap-tahap
pemberitahuan
kepada
anggota kelompok yaitu :
3.
a.
segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah. Yang wajib diberitahukan adalah penetapan pengadilan yang mensahkan gugatan class action. Tujuan pemberitahuan ini adalah agar anggota kelompok mengetahui mengenai adanya pengajuan gugatan class action, dan apa yang diajukan itu telah dinyatakan sah oleh hakim. Pemberitahuan ini memuat mekanisme pernyataan keluar, maksudnya memberikan kesempatakn kepada anggota kelompok untuk menyatakan keluar atau opt out dari keanggotaan kelompok.65
b.
pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi ketika gugatan dikabulkan. Pemberitahuan juga wajib disampaikan kepada anggota kelompok dalam rangka penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi.
Isi Pemberitahuan Pemberitahuan kepada anggota kelompok, memuat :
64
Mas Acmahd Santosa, et al. op. cit., hal. 34. Opt out adalah pernyataan tertulis dari anggota kelompok yang menyatakan keluar dan/atau tidak ikut bergabung dengan wakil kelompok dan/atau anggota kelompok lainnya ke dalam gugatan class action yang diajukan oleh wakil kelompok. Sebaliknya Opt in adalah pernyataan tertulis dari anggota kelompok yang menyatakan masuk dan/atau ikut bergabung dengan wakil kelompok dan/atau anggota kelompok lainnya dalam gugatan class action yang diajukan oleh wakil kelompok 65
49 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
a.
Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat;
b.
Penjelasan singkat kasus perkara;
c.
Penjelasan tentang pendefinisian kelompok;
d.
Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok;
e.
Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok;
f.
Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam pemberitahuan pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan;
g.
Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan keluar;
h.
Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang bersedia bagi penyediaan informasi tambahan;
i.
Formulir isian tentang pernyataan ke luar dari anggota kelompok sebagaimana diatur dalam PERMA;
j.
Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.66
Jika class action diteruskan, karena telah memenuhi ketentuan pasal 23 (b) (3), maka pengadilan akan secara langsung memberitahukan kepada anggota kelas yang dapat teridentifikasi
melalui
berbagai
cara.
Pemberitahuan
tersebut berisi tiga hal pokok, yaitu pertama, pemberitahuan bahwa anggota yang tidak menyatakan diri tidak masuk dalam kelompok dianggap menjadi anggota kelompok. Kedua, mengenai putusan, baik menang atau kalah, akan mengikat semua anggota kelas yang tidak menyatakan diri tidak ikut dalam kelompok. Ketiga, anggota yang tidak
66
Mahkamah Agung, op. cit., ps. 7 ayat (4).
50 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
menyatakan
diri
menjadi
anggota
kelompok,
dapat
menghubungi wakilnya.67
Di Australia, berdasarkan Undang-Undang Federal (Federal Court of Australia Act), dalam tahap awal gugatan class action, persetujuan (consent) dan identifikasi dari setiap anggota kelas tidak dipersyaratkan, namun anggota kelas diberi peluang untuk keluar dari kelompok gugatan (opt out) pada waktu dan tanggal yang ditetapkan oleh pengadilan.68 4.
Pihak Yang wajib melakukan pemberitahuan. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, disebutkan
bahwa setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil kelompok
berdasarkan
persetujuan
hakim,
anggota
kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim diberikan kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung ini.69 Dari ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa pihak yang wajib melakukan pemberitahuan adalah wakil kelompok, atas persetujuan dari hakim yang memeriksa gugatan tersebut.
d.
Pernyataan Keluar. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, disebutkan bahwa
pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang 67
Inosentius Samsul, op. cit., hal. 215. Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), Jakarta : ICEL, 1997, hal. 5 69 Mahkamah Agung, op. cit., ps. 8 ayat (1). 68
51 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
ditandatangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak penggugat, oleh anggota kelompok. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa salah satu isi pemberitahuan adalah penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok keluar dari kelompok (pasal 7 ayat (4) huruf e). Persyaratan untuk menyatakan keluar dari kelompok diatur dalam pasal 8 ayat (1) sebagaimana telah diuraikan dalam butir 3 di atas. Selanjutnya “Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok, secara hukum tidak terikat dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok dimaksud”.70 Dari ketentuan pasal 8 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut di atas terlihat bahwa tata cara pemberitahuan pernyataan keluar, yaitu : (a) dilakukan dalam batas waktu yang disebut dalam pengumuman (apabila lewat dari waktu itu, pernyataan keluar tidak sah) dan (b) pernyataan dituangkan dalam bentuk formulir yang sudah baku. e.
Kewenangan Hakim dan Anggota Kelompok Terhadap Kuasa Hukum dan Wakil Kelompok. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, diatur mengenai
kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk menganjurkan keapada wakil kelompok untuk mengganti pengacara, apabila pengacara yang bersangkutan melakukan tindakan yang merugikan atau bertentangan dengan kewajibannya membela dan melindungi kepentingan kelompok.
PERMA Nomor 1 Tahun 2002, tidak
mengatur apakah hakim atau anggota kelompok diberikan kewenangan untuk mengganti wakil kelompok. Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 menegaskan bahwa untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak disyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari 70
Ibid., ps. 8 ayat (2).
52 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
anggota kelompok. Berdasarkan ketentuan ini, wakil kelompok dalam mengajukan gugatan untuk dan atas nama seluruh anggota kelompok tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Ketentuan ini realistik dan efektif untuk mengatasi kesulitan mendapatkan kuasa dari seluruh anggota kelompok. f.
Putusan Pengadilan. Setiap perkara harus berakhir dengan putusan hakim, sebab
tanpa putusan maka suatu perkara yang diperiksa tidak akan ada artinya. Putusan hakim adalah pernyataan hakim sebagai pejabat Negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan di hadapan persidangan dan terbuka untuk umum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara. PERMA Nomor 1 Tahun 2002, tidak memberikan penjelasan bagaimana bentuk putusan gugatan class action. Mengacu kepada pasal 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, maka isi putusan gugatan class action sama dengan isi putusan perkara perdata biasa. Dalam praktek putusan yang dapat dijatuhkan pengadilan dalam mengadili perkara sangat bervariasi : (a) bisa menolak seluruh gugatan (b) dapat juga mengabulkan gugatan sebagian atau seluruhnya, atau (c) dapat juga menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Dalam putusan gugatan class action, jika putusan mengabulkan gugatan berkenaan dengan ganti rugi, diperlukan perumusan amar putusan yang lebih khusus dan teknis dibanding perkara biasa, memberikan pedoman kepada hakim mengenai perumusan amar putusan dalam hal putusan atas pengabulan ganti rugi. Berkaitan dengan gugatan ganti rugi yang dikabulkan, PERMA Nomor 1 Tahun 2002 menentukan
bahwa dalam hal
gugatan ganti rugi dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah
53 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkahlangkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompk dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi.71 Mengenai bentuk ganti rugi yang dapat dikabulkan, tegantung pada kasus perkara gugatan class action yang bersangkutan. Dalam kasus gugatan class action yang berkenaan dengan masalah lingkungan hidup, dapat dikabulkan berbagai jenis tuntutan ganti rugi, antara lain : (a) ganti rugi secara individual kepada korban, (b) ganti rugi komunitas dan kolektif yang diperuntukkan
sebagai
biaya
rehabilitasi
atau
pemulihan
lingkungan, dan (c) ganti rugi untuk generasi yang akan datang (future generation).72 g.
Pendistribusian Ganti Rugi (Administrasi Penyelesaian Ganti Kerugian). Akhir dari proses guagatan class action adalah tahap
pendistribusian ganti rugi kepada anggota kelompok, apabila pengadilan mengabulkan gugatan. Wakil kelompok menyampaikan pemberitahuan atas pengabulan tuntutan ganti rugi kepada seluruh anggota kelompok dengan cara mekanisme yang yang dituntutkan dalam putusan melalui media atau perangkat yang ditentukan dalam pasal 7 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dalam putusan, pengadilan dapat mengabulkan cara pendistribusian dilakukan oleh tim, yang terdiri dari penggugat, tergugat dan pengadilan negeri. Pendistribusian dapat dilakukan dengan cara : (1) diberikan langsung kepada masing-masing anggota kelompok, dengan syarat yang bersangkutan membuktikan 71 72
Ibid., ps. 9. M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 176
54 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
dirinya sebagai anggota kelompok yang ikut mengalami kerugian, (2) dapat juga melalui subkelompok (jika ada) tanpa mengurangi keharusan membuktikan sebagai korban dari peristiwa yang diperkarakan. Administrasi penyelesaian ganti kerugian di dalamnya mengatur
tentang
kewenangan
hakim
untuk
melakukan
pengawasan terhadap proses pelaksanaan penyelesaian ganti kerugian, kewenangan untuk membentuk suatu panel khusus, guna membantu hakim mengawasi proses pelaksanaan penyelesaian ganti kerugian, serta kewenangan hakim untuk menentukan cara pendistribusian ganti kerugian, cara anggota kelas menyampaikan alat bukti, mekanisme bagi anggota kelas memperoleh ganti kerugian serta alternative penyelesaian atas terjadinya kelebihan maupun kekurangan ganti kerugian.73 Sebagaimana
telah
diuraikan
sebelumnya,
anggota
kelompok yang telah menyatakan keluar atau opt out, tidak berhak mendapat ganti rugi.
5.
Manfaat Penggunaan Gugatan Class Action. Meskipun pengaturan gugatan class action telah diakui dalam
hukum positif Indonesia sejak tahun 1997 yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diikuti dengan
Undang-Undang
Tentang
Kehutanan,
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen akan tetapi makna dan tujuan gugatan class action tersebut belum banyak dipahami dan dimengerti dengan benar oleh kalangan hukum (para praktisi hukum, akademisi hukum, termasuk para mahasiswa hukum) apalagi oleh masyarakat luas di Indonesia.
73
Indro Sugianto, op. cit., hal. 139
55 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Manfaat penggunaan gugatan perwakilan kelompok (class action) bukan hanya dari segi kepentingan pihak penggugat atau bagi pihak tergugat tetapi juga bagi kepentingan publik. Manfaat demikian berupa :74 a.
Penghematan biaya.
b.
Akses yang terbuka bagi pencari keadilan dengan biaya hemat melalui prosedur gugatan class action membuat masyarakat tidak enggan lagi meminta perlindungan ke pengadilan. Secara psikologis perkembangan itu akan menimbulkan deterrent effect bagi para pelaku usaha yang berpotensi merugikan masyarakat.
c.
Menghindari kemungkinan terjadinya putusan yang berbeda satu dengan yang lain. Putusan yang ditangai oleh hakim-hakim yang berbeda-beda, apalagi dengan ruang waktu yang berbeda-beda pula memunculkan kemungkinan adanya putusan-putusan yang inkonsisten.
Menurut Ontario Law Reform Comission (1982:117-138), manfaat class action itu adalah :75 (1) judicial economy. Singkatnya, pengadilan tidak perlu mengadili perkara yang sama dari ratusan atau ribuan orang secara berulang-ulang. Di samping itu, dari segi biaya perkara, barangkali lebih ringan dibandingkan dengan gugatan individual, karena penggugat itu dapat melakukan urunan. (2) Access to courts. Maksudnya dengan adanya class action ini, individu (korban) dapat memiliki kesempatan untuk mencari keadilan melalui pengadilan. Kalau seorang individu harus menggugat sendiri, belum tentu dia berani menggugat dan belum tentu juga ia dapat memperoleh apa yang menjadi tuntutannya. (3) Behaviour modification. Artinya, penerapan class action ini mempunyai efek jera pada para pelaku, baik yang sedang digugat maupun yang berpotensi untuk digugat.
Dalam konteks perlindungan konsumen, dengan mekanisme class action, tuntutan dari banyak orang dapat diajukan bersamaan, dan dapat menghindari pengulangan gugatan yang hampir sama dan juga memberikan peluang kepada konsumen untuk mengajukan gugatan dalam jumlah kecil.76
74
NHT Siahaan, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk), Cet. I, Jakarta : Panta Rei, hal. 246 75 Hyronimus Rhiti, op. cit., hal. 95 76 Inosentius Samsul, op. cit., hal. 227
56 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Mas Achmad Santosa, menyebutkan terdapat paling sedikit tiga manfaat dan alasan atas keberadaan class action : Pertama, yaitu proses berperkara yang bersifat ekonomis (judicial economy). Dengan gugatan class action berarti mencegah pengulangan (repition) gugatan-gugatan serupa secara individual. Tidaklah ekonomis bagi pengadilan apbila harus melayani gugatan-gugatan sejenis secara individual (satu persatu). Manfaat ekonomis juga ada pada diri tergugat, sebab dengan class action tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan masyarakat korban. Kedua, akses pada keadilan (access to justice). Apabila diajukan secara individual, maka hal tersebut mengakibatkan beban bagi calon penggugat seringkali beban semacam ini menjadi hambatan bagi seseorang untuk memperjuangkan haknya di pengadilan. Terlebih lagi apabila biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang akan diajukan. Melalui proses class action, kendala yang bersifat ekonomis ini dapat teratasi dengan cara para korban menggabungkan diri bersama dengan class members lainnya dalam satu gugatan. Ketiga, perubahan sikap pelaku pelanggaran (behaviour modification). Dengan diterapkannya prosedur class action berarti memberikan akses yang lebih luas pada pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan cara cost efficiency. Akses class action ini dengan demikian berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas. Peluang ini yang disebut peluang menumbuhkan detterent effect (efek penjera).77
Manfaat penggunaan class action seperti yang diuraikan di atas, juga diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yaitu :
77
a.
Untuk menegakkan asas penyelenggaran peradilan sederhana, cepat, biaya ringan agar akses masyarakat terhadap keadilan semakin dekat. Dengan satu gugatan, diberi hak prosedural terhadap satu atau beberapa orang bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan penggugat dan sekaligus kepentingan anggota kelompok (biasanya ratusan atau ribuan anggota).
b.
Untuk kepentingan efisiensi dan efektivitas berperkara, karena dengan cara ini satu orang saja dari pihak yang dirugikan yang bertindak sebagai wakil kelompok dapat mengajukan gugatan untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili kelompok yang jumlahnya banyak. Sangat tidak efisien dan efektif apabila penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan massal terhadap orang banyak yang memiliki fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama apabila diajukan serta diselesaikan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan.
Mas Achmad Santosa, op. cit., hal. 7
57 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dari pendapat dan ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, terlihat bahwa gugatan class action bermakna untuk menghindari adanya gugatangugatan individual yang bersifat pengulangan terhadap permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang sama dari sekelompok orang yang menderita kerugian. Ini berarti gugatan class action akan lebih bersifat ekonomis jika dibanding setiap orang mengajukan gugatan sendiri-sendiri ke pengadilan. Selain itu, waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengajukan gugatan class action akan menjadi lebih efisien apabila dibandingkan dengan mengajukan gugatan secara individual dari masingmasing anggota kelompok. Gugatan class action dapat memberi akses pada keadilan karena beban yang ditanggung bersama untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dalam rangka memperjuangkan hak kelompok masyarakat atas keadilan memperoleh ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu menjadi lebih diperhatikan dan diprioritaskan penanganannya oleh pengadilan. Selain itu gugatan class action juga mempunyai makna penting dalam upaya pendidikan hukum dalam masyarakat : (a) di satu sisi dapat mendorong perubahan sikap kelompok masyarakat untuk memperoleh keadilan dan lebih berani menuntut haknya melalui jalur pengadilan; (b) di sisi lain dapat mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan hak dan kepentingan masyarakat luas dan (c) juga dapat menimbulkan efek jera bagi siapa pun yang pernah merugikan hak dan kepentingan kelompok orang dalam masyarakat.
58 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
BAB III HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION
Selain gugatan perdata dengan cara-cara yang telah diatur dan dipraktekkan dalam hukum acara perdata selama ini, kini mulai berkembang mekanisme pengajuan gugatan perdata dengan menggunakan mekanisme class action. Penggunaan mekanisme pengajuan gugatan yang terbilang baru dalam sistem hukum Indonesia tersebut, pada dasarnya merupakan hak masyarakat secara luas untuk mengajukan gugatan dalam hal timbulnya kerugian baik yang bersifat individual maupun komunal. Mekanisme ini pada dasarnya hanya merupakan salah satu syarat masuk untuk beracara di pengadilan. Sementara keberhasilan dari mekanisme itu sendiri dalam upaya mempertahankan hak atau menuntut ganti kerugian akan sangat bergantung dari keseluruhan proses di pengadilan. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan/atau kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam penggunaan gugatan class action, penulis terlebih dahulu menyajikan beberapa kasus menarik atau yang menjadi perhatian masyarakat yang penyelesaiannya diajukan ke pengadilan dengan menggunakan mekanisme class action, di bidang konsumen maupun dalam bidang lingkungan hidup. A.
Beberapa Perkara Gugatan Yang Diselesaikan Dengan Menggunakan Mekanisme
Class
Action
Sebelum
Adanya
Pengakuan
dan
Pengaturan Gugatan Class Action. 1.
Gugatan Pengacara RO Tambunan Terhadap Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan dan Radio Swasta Niaga Prambors.78 Pengacara RO Tambunan mengatasnamakan diri sendiri sebagai orang tua
dan mewakili seluruh remaja Indonesia mengajukan gugatan terhadap Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan dan Radio Swasta Niaga Prambors pada tahun 1987 78
NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, Cet. I, Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 216.
59 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya RO Tambunan mendalilkan bahwa iklan rokok Bentoel Remaja, telah meracuni kalangan remaja, rokok telah menimbulkan gangguan kesehatan dan merusak masa depan generasi muda Indonesia. Gugatan tersebut telah diputus oleh pengadilan yang isinya menolak gugatan penggugat. Salah satu pertimbangan hukum majelis hakim adalah bahwa hukum positif di Indonesia belum ada yang mengatur mengenai gugatan class action, baik mengenai definisi maupun prosedural mengajukan gugatan class action ke pengadilan. Class action hanya dikenal di sistem common law yang dianut oleh negara-negara anglosaxon, sedangkan Indonesia menganut sistem civil law. 2.
Gugatan Muchtar Pakpahan terhadap Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta.79 Muchtar Pakpahan yang terjangkit penyakit demam berdarah selain
bertindak untuk diri sendiri sekaligus mengatasnamakan seluruh warga Jakarta mengajukan gugatan terhadap Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta pada tahun 1988, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya Muchtar Pakpahan mendalilkan bahwa Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta dianggap tidak menjalankan kewajibannya untuk menjaga kebersihan lingkungan Jakarta, sehingga muncul penyakit demam berdarah dan menimbulkan korban seperti yang dialaminya sendiri maupun warga Jakarta yang lain. Seperti halnya gugatan R.O. Tambunan, gugatan ini juga kandas dengan pertimbangan hukum yang sama yaitu hukum positif di Indonesia belum ada yang mengatur mengenai gugatan class action, baik mengenai definisi maupun prosedural mengajukan gugatan class action ke pengadilan.
79
Ibid.
60 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
3.
Gugatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terhadap PT. PLN Persero.80 Pada saat gugatan diajukan yaitu pada tanggal 30 Aril 1997, belum ada
hukum positif yang mengatur dan mengakui tentang gugatan class action. Tetapi ketika proses pemeriksaan perkara masih berjalan, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu pada tanggal 19 September 1997 yang didalamnya mengakui dan mengatur mengenai gugatan class action, dan oleh majelis hakim, undang-undang ini telah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum. Kasus ini bermula dari terjadinya pemadaman aliran lsitrik secara tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan sebelumnya, di sebagian besar wilayah Jawa – Bali pada hari Minggu tanggal 13 April 1997, mulai pukul 10.00 dan berlangsung setidak – tidaknya selama 8 (delapan) jam. Pemadaman aliran listrik tersebut menyebabkan penggugat tidak dapat menjalankan beberapa kegiatannya, karena tidak berfungsinya alat-alat penerangan, dan alat-alat elekronik yang setiap hari digunakan penggugat, seperti komputer, Ac, alat pendingin untuk menyimpan sampel penelitian laboratorium dan lain-lain. Bagi masyarakat konsumen listrik, pemadaman tersebut menyebabkan mereka tidak dapat menjalankan kegiatannya, seperti memproduksi barang ataupun menyediakan jasa dengan baik, berhentinya kegiatan-kegiatan yang sehari-hari biasa mereka lakukan, dengan menggunakan tenaga listrik, tidak berfungsinya alat penerangan dan alat-alat elektronik lainnya, bahkan diantaranya telah mengakibatkan rusaknya barang-barang itu dan juga matinya hewan-hewan, seperti ikan peliharaan dan lain-lain, juga terganggunya kenikmatan mereka untuk dapat berekreasi dan beristirahat karena tidak berfungsinya penerangan dan alat-alat elektronik tenaga listrik. Alasan penggugat mengajukan gugatan dengan menggunakan mekanisme atau prosedur gugatan class action, adalah bahwa penggugat sebagai pengguna (konsumen) tenaga listrik, mempunyai kepentingan yang sama dengan masyarakat 80
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 134/Pdt.G/PN.Jkt.Sel. tanggal 16 Desember 1997, Jo. Nomor 221/PDT/1998/PT.DKI tanggal 21 Juli 1998.
61 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
konsumen listrik lainnya, yang menjadi korban dan mengalami kerugian karena padamnya aliran listrik, yaitu berhak untuk mendapatkan pelayanan yang sebaikbaiknya dan mendapatkan tenaga listrik secara terus menerus dari tergugat sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan dan pasal 26 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. Masyarakat konsumen listrik, korban padamnya aliran listrik pada tanggal 13 April 1997, yang domisilinya tersebut tersebar di wilayah Jawa-Bali, jumlahnya sangat besar (dapat mencapai lebih dari satu juta jiwa) dan juga tidak terorganisasi, dan bila masing-masing secara langsung dan sendiri-sendiri bertindak sebagai penggugat dalam gugatan ini, akan memakan biaya. Mengingat terdapat jumlah korban yang mencapai lebih dari satu juta konsumen listrik, terdapat fakta yang sama maka sangat beralasan, penggugat selain bertindak untuk dirinya sendiri, juga sekaligus mempunyai kedudukan hukum untuk mewakili masyarakat konsumen listrik, yang dapat mencapai jumlah lebih satu juta konsumen listrik yang menjadi korban padamnya listrik pada tannggal 13 April 1997, dengan menggunakan mekanisme gugatan perwakilan kelompok. Dalam
jawabannya,
tergugat
mengajukan
bantahan
terhadap
pendayagunaan mekanisme gugatan class action, yang menyatakan pengajuan gugatan perwakilan kelompok (class actian), sangat bertentangan dengan prinsip hukum acara perdata yang berlaku (HIR atau RBg), karena penggugat tidak mendapat kuasa dari masyarakat konsumen listrik di daerah Jawa - Bali yang menjadi korban pemadaman listrik. Berdasarkan ketentuan Pasal 123 HIR, surat kuasa mutlak diperlukan, dalam hal orang atau badan hukum tidak dapat beracara sendiri, dengan menyerahkan segala sesuatu dalam mewujudkan kepentingan hukumnya. Gugatan class action justru akan mengacaukan dan mengganggu kepastian hukum serta menyimpangi ketentuan hukum acara perdata yang berlaku, yang akhirnya akan merusak pranata hukum yang ada.
62 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dalam putusannya majelsi hakim sependapat dengan tergugat bahwa kuasa yang dilampirkan dalam surat gugatan yang ditandatangani oleh YLKI dengan tanpa ada surat kuasa dari konsumen listrik se Jawa-Bali yang diwakili oleh YLKI, dianggap bertentangan dengan ketentuan pasal 123 HIR. Majelis hakim juga menyatakan gugatan yang diajukan oleh YLKI dengan menggunakan mekanisme class action, tidak dapat diterima. Majelis hakim berpendapat bahwa class action yang diakui dan dicantumkan dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya dimaksud khusus dalam lingkungan hidup, sehingga tidak dapat diartikan secara luas mengenai hal-hal lain di luar lingkungan hidup. Pada hakekatnya, suatu gugatan class action hanya dapat diakui dan diterapkan manakala ada undang-undang yang secara jelas menyebutkannya, sehingga dengan demikian class action hanya khusus untuk hukum lingkungan hidup, tidak akan dapat berlaku untuk penegakan hukum di bidang lainnya. Terhadap putusan ini, YLKI menyatakan banding pada tanggal 28 Januari 1998. Pengadilan pada tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan mengambil alih seluruh alasan dan pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari YLKI, terhadap putusan banding ini, YLKI tidak mengajukan upaya hukum kasasi, sehingga dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkrahct). Apabila dilihat dari definisi dan unsur-unsur suatu gugatan class action sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya pada bab sebelumnya, penulis berpendapat bahwa gugatan ini lebih cenderung atau mendekati kepada gugatan yang diajukan dengan berdasarkan hak gugat organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau yang lebih dikenal dengan legal standing. Memang dalam beberapa literatur, gugatan YLKI ini dikategorikan sebagai salah satu contoh gugatan perwakilan kelompok (class action), karena memang dalam gugatannya sendiri, YLKI dengan tegas-tegas mengklaim bahwa gugatan ini diajukan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action.
63 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
B.
Beberapa Perkara Gugatan Yang Diselesaikan Dengan Menggunakan Mekanisme Class Action Setelah Adanya Pengakuan dan Pengaturan Gugatan Class Action. Setelah adanya pengakuan dan pengaturan gugatan class action, terdapat
puluhan sengketa atau perkara yang penyelesaiannya diajukan ke pengadilan melalui mekanisme gugatan class action. Penulis akan mencoba menyajikan beberapa diantaranya yang menarik perhatian masyarakat. 1.
Gugatan 139 orang penarik becak terhadap Pemerintah RI cq Menteri Dalam Negeri cq Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.81 Para penggugat dalam surat gugatannya tertanggal 17 Februari 2000
menyebutkan dengan tegas bahwa gugatan diajukan sebagai “gugatan perwakilan perbuatan melawan hukum”. Dalam gugatannya, 139 orang penarik becak mendalilkan bertindak sebagai wakil kelas yang mewakili dirinya sekaligus juga mewakili 5000 orang penarik becak yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta. Alasan pegunggat mengajukan gugatan ini dengan menggunakan mekanisme class action adalah jumlah penarik becak di Jakarta sangat banyak mencapi 5000 jiwa. Jika gugatan diajukan secara sendiri-sendiri akan membutuhkan energi dan biaya yang sangat mahal. Bagi penggugat sendiri pengajuan gugatan perwakilan sangat bermanfaat, terutama karena penggugat merupakan pihak yang lemah, yang belum pernah memiliki akses di hadapan hukum/pengadilan. Gugatan perwakilan telah pula dimungkinkan dalam perkara lingkungan hidup dan konsumen sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Adapun awal mula kasus ini adalah pada tahun 1988 Pemda DKI mengeluarkan Perda Nomor 11 tahun 1988 pada intinya melarang keberadaan becak di Jakarta. Pada tanggal 25 Juni 1998, tergugat selaku Gubernur DKI 81
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 50/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., tanggal 24 Juli 2000, Jo. Nomor 646/PDT/2000/PT.DKI. tanggal 20 Desember 2000, Jo. Nomor 3047 K/PDT/2001 tanggal 6 Desember 2001.
64 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
mengeluarkan kebijaksanaan yang mengijinkan becak beroperasi di Jakarta. Kemudian pada tanggal 30 Juni 1998, Gubernur DKI mengeluarkan kebijakan menarik kembali kebijakan pemberian ijin bagi penarik becak dan memerintahkan kepada 5 walikota diwilayah DKI Jakarta untuk menertibkan kembali becak. Akibat kebijakan tersebut, terjadi penggarukan becak yang dilakukan secara mendadak oleh staf tergugat tanpa menunjukan surat perintah dan surat buktikan penyitaan, dilakukan kekerasan fisik dan perusakan becak milik para penggugat. Penggugat mendalilkan bahwa tindakan dan keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik (the general principles of good administration) yakni asas kepastian hukum; asas pertimbangan; asas kejujuran dan kerterbukaan, kewajaran, asas motivasi dan asas pertanggung jawaban serta merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 1365 KUHPerdata. Berkaitan dengan pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action, tergugat memberikan bantahan yang intinya bahwa kapasitas 139 orang penarik becak sebagai penggugat yang mewakili 5.000 orang penarik becak, berdasarkan ketentuan pasal 123 ayat (1) HIR harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus dari 5.000 orang penarik becak yang diwakilinya. Penggugat tidak mencantumkan indentitas kependudukan (KTP) masing-masing sebagai warga DKI Jakarta sehingga penggugat tidak mempunyai kapasitas mengajukan gugatan mewakili 5.000 orang penarik becak. Terhadap keberatan (eksepsi) tergugat mengenai penggunaan mekanisme class action, majelis hakim berpendapat bahwa perwakilan kelas sejumlah 139 orang penarik becak dinyatakan dapat diterima. Hal ini dituangkan dalam putusan tersendiri (putusan sela) pada tanggal 20 April 2000. Selanjutnya dalam putusan pokok perkara tanggal 31 Juli 2000, majelis hakim menghukum agar tergugat sebagai kepala Daerah DKI agar menyediakan ruang dan jalur khusus dan menyatakan penggugat dapat melaksanakan pekerjaannya sebagai penarik becak yang akan beroperasi di jalan-jalan pemukiman dan pasar sesuai dengan jalurjalur yang diterapkan.
65 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Meskipun dalam perkara ini majelis hakim dengan tegas mengakui dan/atau menerima pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action, namun dalam proses pemeriksaan selanjutnya diterapkan prosedur sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata. Setelah Pengadilan memutuskan bahwa penggunaan prosedur class action dapat diterima, proses pemeriksaan langsung dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara, alat bukti dan seterusnya tanpa ada perintah dan/atau putusan yang mengharuskan dilakukan notifikasi (pemberitahuan) kepada anggota. Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakata Pusat tersebut, Gubernur DKI Jakarta mengajukan upaya hukum banding pada tanggal 8 Agustus 2000. Dalam putusannya, majelis hakim tingkat banding membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam putusannya pada bagian eksepsi majelis hakim pada tingkat banding menyatakan menolak eksepsi dari tergugat. Meskipun eksepsi atau keberatan mengenai penggunaan mekanisme gugatan class action ditolak, tetapi karena pokok perkara dalam gugatan ditolak, penolakan eksepsi menjadi tidak berarti. Pertimbangan majelis hakim menolak gugatan karena dasar gugatan para penggugat bertentangan dengan Perda Nomor 11 tahun 1988 yang melarang keberadaan becak di Jakarta. Perda Nomor 11 tahun 1988 belum pernah dicabut. Para penggugat yang mendalilkan bahwa tanggal 25 Juni 1998, Gubernur DKI Jakarta pernah mengeluarkan kebijakaan yang mengijinkan becak beroperasi di Jakarta, hanya didasarkan pada berita melalui media massa yang masih dalam bentuk gagasan dan belum berwujud suatu keputusan resmi yang sah. Terhadap putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, ke-139 penarik becak megajukan upaya hukum kasasi. Dalam putusannya, majelis hakim pada tingkat kasasi berpendapat bahwa putusan majelis hakim pada tingkat banding sudah tepat dan tidak salah dalam menerapkan dan/atau tidak melanggar hukum yang berlaku. Dengan demikian putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta yang menolak gugatan ke-139 orang penaik becak telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (inkracht).
66 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa putusan majelis hakim tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan menerima para penggugat selaku wakil kelas, namun akhirnya kandas di tengah jalan, karena pada tingkat banding gugatan para penggugat ditolak, yang kemudian dikuatkan oleh majelis hakim pada tingkat kasasi. 2.
Gugatan R.M. Waskito Aqdiri Wibowo, dkk (9 orang) konsumen gas LPG, terhadap Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) dan Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina.82 Dalam gugatannya, para penggugat mendalilkan bahwa tergugat secara
sepihak dan tanpa pemberitahuan sebelumnya baik lisan maupun secara tertulis dan tanpa proses sosialisasi kepada para penggugat berikut konsumen gas elpiji, telah menaikan harga jual gas elpiji (LPG) sebesar 40% dari harga jual lama Rp.1.500 ,-/Kg sehingga terhitung sejak tanggal 3 November 2000 harga jual gas elpiji (LPJ) menjadi Rp.2.100,-/kg sebagaimana dituangkan dalam SK Nomor Kpts-097/c00000/2000-S3 tanggal 2 November 2000. Kenaikan harga secara tibatiba tersebut juga tidak sesuai dengan himbauan yang dikeluarkan oleh Tim Pemantau Harga yang dibentuk oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan berdasarkan
Keputusan
Menteri
Peridustrian
dan
Perdagangan
Nomor
289/MPP/Kep/9/2000, yang menyatakan kenaikan harga elpiji seharusnya tidak boleh lebih 5%. Tindakan tergugat adalah merupakan perbuatan melawan hukum in casu pasal 4 huruf b, c dan d jo pasal 7 huruf a, b, dan d jo. pasal 12 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan telah menimbulkan kerugian materiil dengan perincian. Dalam gugatannya, para penggugat menyebutkan alasan mengajukan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action. Jumlah masyarakat konsumen-konsumen LPG lainnya di Jabotabek, sangat besar, dapat mencapai sekitar dan atau lebih dari 200.000 konsumen LPG dan juga tidak teroganisir, dan 82
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 550/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., tanggal 4 Oktober 2001, Jo. Nomor 94/PDT/2002/PT.DKI. tanggal 4 Juni 2002, Jo. Nomor 551 K/PDT/203 tanggal 5 Juni 2003.
67 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
bila masing-masing secara langsung dan sendiri-sendiri bertidak sebagai penggugat dalam gugatan ini, maka proses pengajuan gugatan menjadi tidak sederhana, tidak cepat dan memakan biaya besar, sehingga menjadi tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. pasal 46 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Terdapat fakta yang sama, seperti antara lain bahwa kenaikan harga LPG terhitung mulai tanggal 3 November 2000, bahwa LPG yang beredar dan diperjualkan, diproduksi oleh tergugat I, bahwa LPG yang digunakan oleh para penggugat maupun konsumen lainnya adalah tabung berisi 12 Kg dll., adanya dalil dan tuntutan yang sama serta adanya wakil kelas (class represetatives) yang secara jujur dan sunguh-sungguh melindungi kepentingan dari anggota kelasnya (class members), sehingga dengan demikian telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan suatu gugatan perwakilan kelompok (class action) seperti, numerosity, commonality, typicalty, protection/adequasi of representative, maka sangat beralasan dalam rangka memenuhi ketentuan– ketentuan yang telah disebutkan di atas, penggugat, selain bertidak untuk dirinya sendiri, juga dapat sekaligus mempunyai kedudukan hukum untuk mewakili masyarakat konsumen LPG lainnya di jabotabek, yang mengalami kerugian karena dinaikannya harga LPG oleh tergugat I . Terhadap gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme class action, tergugat mengajukan keberatan bahwa gugatan penggugat tidak dapat dikualifikasi sebagai gugatan “class action” karena gugatan class action sama sekali tidak dikenal dalam system Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia dan peraturan lebih lanjut sebagai pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sampai saat ini belum diterbitkan. Kedudukan dari para penggugat sebagai komponen perwakilan kelas, sangat tidak jelas, karena tampil sebagai perwakilan kelas, harus diketahui terlebih dahulu secara terperinci, siapa saja anggota kelas dari pada para penggugat, tentunya hal ini diajukan saat gugatan didaftarkan ke Pengadilan, hal ini sangatlah penting untuk menjamin adanya kepastian hukum. Para penggugat tidak dapat menunjukkan secara pasti dan terperinci siapa-siapa yang termasuk dalam kelompok para penggugat dan
68 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
siapa-siapa yang termasuk dalam kelompok yang menggugat dan siapa-siapa dalam kelompok yang tidak ikut tergugat. Penggugat juga tidak mempunyai kapasitas dan kualitas sebagai penggugat, karena status hukum KAPAK (Komite Advokasi Pemakai Anti Kenaikan) LPG tidak jelas, dan juga bukan merupakan suatu LSM yang bergerak dibidang perlindungan konsumen, sehingga tidak memenuhi kriteria pertama untuk gugatan class action, khususnya mengenai class representatif dan class members. Gugatan penggugat kabur (obscure libel), tidak jelas karena tidak mengajukan rincian siapa-siapa yang menjadi anggota kelas (class members), class representatif dan class action, yang untuk tiap-tiap kelas tersebut ternyata tidak didukung oleh surat kuasa yang sah. Dalam putusannya, majelis hakim menolak seksepsi yang diajukan para tergugat untuk seluruhnya. Majelis hakim bahwa gugatan para penggugat telah sesuai dengan ketentuan pasal 46 huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama (class action). Ketentuan pasal 46 tersebut membedakan antara gugatan sekelompok konsumen (class action) dengan hak gugat LSM (NGO’standing to sue). Gugatan yang diajukan oleh para penggugat adalah gugatan yang bersifat class action, sehingga tidak perlu kuasa para penggugat (Kapak LPG) harus merupakan LSM yang bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaiman dipersoalkan dalam tergugat. Dalam gugatan class action tidak ada keharusan untuk merinci siapa-siapa yang menjadi anggota kelas (class members) di dalam surat gugatan. Dalam hal pendefinisian/penemuan kelas dapat dilakukan dengan dua prosedur, yaitu prosedur option out dan option in, dalam prosedur option out maka anggota kelas cukup didenfisikan secara umum dalam gugatan class action dan diberitahukan di media masa. Dalam pokok perkara majelis hakim memutuskan menetapkan para penggugat bertindak dan berkedudukan hukum untuk mewakili kepentingan hukum masyarakat konsumen elpiji di Jabotabek, menerima gugatan masyarakat konsumen elpiji yang diwakili oleh para penggugat, menyatakan tergugat I dan tergugat II melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum tergugat I untuk
69 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
membayar
ganti
rugi
kepada
para
penggugat
masing-masing
sebesar
Rp. 144.000,- perbulannya, menghukum tergugat I untuk membayar ganti rugi kepada masyarakat konsumen elpiji yang diwakili oleh para penggugat masingmasing sebesar Rp.16.000,- perbulannya sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, memerintahkan pembentukan Komisi Pembayaran Ganti Rugi yang anggotanya terdiri 3 (tiga) orang wakil dari para penggugat dalam perkara ini, dan 2 (dua) orang wakil dari tergugat I yang mekanisme tugasnya adalah sebagai berikut: (a) Komisi dalam waktu sekurang-kurangnya 7 hari kerja, (b) Komisi harus sudah melakukan pemberitahuan kepada para anggota kelompok (class members) untuk mendaftarkan diri membawa bukti-bukti kerugian yang dimilikinya, selama paling lambat 30 hari kerja. Setelah itu komisi menjumlahkan seluruh anggota kelompok (class members) yang telah diverifikasi dan memerintahkan tergugat untuk melakukan pembayaran ganti rugi selambatselambatnya selama 14 hari kerja setelah diajukan oleh komisi. Dalam perkara ini penggugat telah mengemukakan usulan tentang pembentukan komisi untuk menyelesaikan administrasi distribusi ganti rugi kerugian kepada anggota kelas. Gugatan class action didasarkan pada penafsiran analogis
terhadap
4
(empat)
undang-undang
yang
mengatur
tentang
dimungkinkannya penggunaan gugatan class action dalam perkara perdata, yaitu (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (3) Undang-Undang Jasa Konstruksi dan (4) UndangUndang Kehutanan. Sama dan senasib dengan gugatan 139 orang penarik becak terhadap Gubernur DKI Jakarta, gugatan R.M. Waskito Aqdiri Wibowo, dkk (9 orang) Konsumen gas LPG ini juga kandas di tengah jalan. Meskipun majelis hakim tingkat banding menyatakan gugatan class action para penggugat dapat dibenarkan, namun dalam tingkat kasasi, putusan ini dianulir. Dalam pokok perkara, baik Majelis Hakim baik pada tingkat banding maupun kasasi sama-sama menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan ini yang menjadi wewnang Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta.
70 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
3.
Gugatan
15
warga
DKI
Jakarta
terhadap
Presiden
Megawati
Soekarnoputri, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Gubernur Jabar R Nuriana, dalam kasus banjir yang terjadi akhir Januari sampai dengan awal Pebruari 2002.83 Para penggugat yang terdiri dari 15 orang wakil kelas, yang memberikan kuasa khusus tertanggal 4 Maret 2002 kepada Tim Advokasi Banjir Jakarta, mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia sebagai tergugat I, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai tergugat II serta Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat sebagai turut tergugat pada tanggal 13 Maret 2002. Dalam gugatannya, para penggugat sebagai wakil kelas mendalilkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang mengalami kerugian (korban) akibat banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada akhir Januari sampai dengan awal Februari 2002. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan dan keberpihakan para wakil kelas tidak diragukan lagi, sehingga patut dan pantas untuk mewakili masyarakat luas khususnya masyarakat dan warga DKI Jakarta mengajukan gugatan ini. Untuk menguatkan kedudukannya sebagai pihak yang dapat mengajukan gugatan ini, para penggugat menunjukkan peraturan perundang-undangan sebagai dasarnya antara lain Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undnag Jasa Konstruksi serta Undang-Undang Kehutanan. Menurut para penggugat, tergugat I dan tergugat II telah melakukan pelanggaran
terhadap
beberapa
ketentuan
perundang-undangan
yaitu:
(a) ketentuan pasal 28 (f) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar tahun 1945, (b) pasal 7 ayat (2) dan pasal 43 (e) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
83
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 83/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst.
71 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Tentang Pemerintahan Daerah jo. Pasal 9,10,11, dan 12 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Republik Indonesia Jakarta, dan (c) SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI Jakarta Nomor 222 tahun 1998 tentang Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan Bencana di Wilayah DKI Jakarta. Dalam gugatannya, para penggugat mengklaim bahwa banjir yang terjadi Januari – Pebruari 2002 telah menimbulkan kerugian bagi para tergugat, baik materiil seperti harta benda, immateriil maupun kehilangan korban jiwa. Kerugian yang dikemukakan oleh para penggugat ini meliputi kerugian materiil individu yang diperkirakan sebesar Rp. 133.985.000,-, kerugian immateriil individu masing-masing Rp. 100.000.000,- dan kerugian komunal Rp. 1.200.000.000,untuk memperbaiki sarana publik yang rusak akibat terjadinya banjir sebagaimana dijabarkan dalam gugatannya. Berkaitan dengan pengajuan gugatan yang menggunakan mekanisme class action, para tergugat mengajukan eksepsi (keberatan) yang pada intinya menyatakan gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat-syarat hukum bagi sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action), surat kuasa penggugat cacat yuridis dan istilah wakil kelas untuk menggantikan sebutan penggugat. Menurut tergugat I gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat-syarat hukum bagi sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action). Tergugat I menyatakan bahwa gugatan class action hanya dapat diajukan dalam hal undang-undang yang berlaku memperkenankan diajukannya gugatan semacam itu. Tergugat II juga mendalilkan bahwa surat kuasa penggugat cacat yuridis, karena dalam surat kuasa para penggugat tertanggal 4 Maret 2003, pada bagian identitas pemberi kuasa hanya disebutkan Nuraeni, dkk, sementara 14 wakil kelas lain yang memberikan kuasa tidak secara langsung disebutkan pada bagian identitas pemberi kuasa, melainkan dilampirkan pada bagian lampiran di halaman 2. Menurut tergugat II seharusnya surat kuasa tersebut dibuat dalam 15 surat kuasa dari pemberi kuasa dengan bea materai untuk masing-masing surat kuasa.
72 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Selain itu, menurut para tergugat, bahwa Peraturan Perundang-undangan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia hanya mengatur istilah penggugat” dan “tergugat” sebagai pihak berperkara dalam suatu yurisdiksi kontentiosa di pengadilan (vide Pasal 118 HIR) dan sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formal (hukum acara) yang mengenal istilah “penggugat”. Oleh karena itu, gugatan perwakilan yang diajukan oleh bukan “penggugat” melainkan hanya menyebutkan “wakil kelas” saja menyebabkan tidak jelasnya siapa “penggugat” dalam perkara a-quo dan pelanggaran atas formalitas beracara sehingga gugatan perwakilan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima. Berkaitan dengan eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh para tergugat mengenai penggunaan mekanisme class action, majelis hakim berpendapat bahwa PERMA Nomor 1 Tahun 2002 untuk sementara dapat dijadikan sebagai dasar dalam memeriksa dan mengadili gugatan class action sampai adanya ketentuan perundang-undangan untuk itu, sehingga dengan demikian eksepsi tergugat I yang menyatakan belum ada ketentuan yang mengatur acara memeriksa, mengadili dan memutus gugatan yang diajukan bahwa gugatan perwakilan kelompok (class action) harus ditolak. Majelis hakim juga berpendapat bahwa surat kuasa para penggugat telah sesuai dengan ketentuan yang ada. Lampiran surat kuasa tertanggal 4 Maret 2002 adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaran pertama yang memuat nama pemberi kuasa Nuraeni, dkk (terlampir) dan karenanya hal tersebut tidak mengurangi nilai kedudukan para pemberi kuasa, sehingga dengan demikian surat kuasa para penggugat tidak cacat yuridis. Terhadap eksepsi tergugat yang menyatakan bahwa eksepsi tergugat II mengenai istilah wakil kelas yang menggantikan istilah penggugat, majelis hakim juga berpendapat bahwa eksepsi tidak berdasar sehingga patut untuk ditolak karena istilah para wakil kelas bukan dimaksudkan untuk menggantikan penyebutan penggugat melainkan hal tersebut sama dan sejiwa dengan penyebutan para penggugat.
73 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dari putusan pengadilan dalam perkara gugatan ini, terlihat bahwa meskipun majelis hakim mengakui dan menerima para penggugat sebagai wakil kelas, akan tetapi dalam pokok perkara, gugatan tidak dapat dikabulkan atau ditolak karena menurut majelis hakim, para tergugat tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. 4.
Gugatan 8 orang warga ibu kota Jakarta yang tergabung dalam Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (Komparta) terhadap PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyjaya.84 Dalam gugatannya para penggugat mengklaim selain bertindak untuk diri
sendiri sekaligus juga mewakili masyarakat konsumen air minum golongan K3A yang mengalami kerugian akibat mutu pelayanan PT. Thames Pam Jaya dan PT Palyjaya, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 2,3 juta jiwa. Menurut para penggugat, menyatakan bahwa PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyjaya telah melakukan perbuatan melawan hukum karena selama mengelola PAM Jaya, PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyjaya tidak pernah berhasil menaikkan kualitas dan kuantitas air minum buat warga Ibukota Jakarta, seperti halnya, adanya tingkat kebocoran pipa masih tidak sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu dari 54% hanya mampu ditekan 48%, bahkan untuk menekan tingkat kebocoran air (Non Revenue Water) pihak Thames dan Lyonnaise hanya melakukan simulasi. Kualitas dan kuantitas olahan air yang kurang layak seperti hal kualitas air minum yang keruh dan bau kaporit, kuantitas air minum yang hanya mengalir kecil bahkan sering tidak mengalir (mati) terbukti banyak sekali para pelanggan sering mengalami komplain, hal itu dapat di lihat dari mengalirnya surat atau telepon (melalui call center PT. Thames PAM Jaya / PT. Palyja) dan di media-media cetak atau elektronik. Demikian juga dengan sistem pelayanan administratif lainnya yang menyangkut tata cara pembayaran (penagihan rekening) manajemennya sangat memprihatinkan, seperti halnya yang dialami oleh salah seorang dari wakil kelas yaitu Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Harun Al Rasyid yang dikenakan 84
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 276/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst., tanggal 7 Juli 2004.
74 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
denda Rp. 5.000 atas keterlambatan pembayaran rekening bulan November 1999. Setelah diperiksa ternyata pembayaran itu sudah dilakukan pada tanggal 15 November 1999, jauh sebelum tempo tanggal 25 Desember 1999. Begitu pula dengan target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak tercapai dibawah rata-rata kualitas pelayanan yang dilakukan oleh operator sebelumnya PAM Jaya mampu mencapai angka 25.000 selama tahun 1997, sedangkan Lyonnaise sepanjang tahun 1998 hanya mencapai angka 5.000 pelanggan. Demikian juga Thames PAM Jaya dalam tahun 1998 hanya 17.500 pelanggan, itupun terealisasi sekitar 12.500 pelanggan. Dalam jawabannya, baik tergugat I maupun tergugat II memberikan bantahan terhadap penggunaan mekanisme class action. Menurut tergugat, gugatan para penggugat bertentangan dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum class action yang berlaku sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dalam gugatannya, penggugat menyebut dirinya sebagai Tim Bantuan Hukum Komparta, yang bertindak untuk diri sendiri dan/atau atas nama anggota Komparta sebanyak 800 orang (di bagian lain, penggugat mengklaim Komparta mencapai 2,3 jiwa). Walaupun menyebut dirinya sebagai wakil kelas, akan tetapi penggugat tidak menyebutkan dengan jelas identitas dirinya apakah mewakili dirinya sendiri sebagai Tim Bantuan Hukum Komparta atau mewakili diri Komparta sebagai suatu organisasi. Bila mewakili dirinya sendiri sebagai Tim Bantuan Hukum Komparta, maka penggugat tidak memiliki kapasitas sebagai wakil kelas karena tidak memiliki kesamaan kepentingan/fakta dan kesamaan tuntutan dengan anggota kelas. Sebaliknya bila mewakili Komparta maka identitas dan sepak terjang organsisasi tersebut tidak jelas karena tidak mencantumkan anggaran dasar dan kegiatannya sehingga secara hukum dapat mewakili masyarakat pelanggan air minum. Para tergugat menyebutkan bahwa gugatan penggugat tidak memuat dengan jelas dan lengkap identitas kelas/kelompok, definisi kelas/kelompok secara rinci dan spesifik, keterangan tentang anggota kelas/kelompok dalam kaitan dengan kewajiban untuk pemberitahuan, posita dari seluruh kelas/kelompok, tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus jelas dan rinci untuk masing-masing kelas/kelompok.
75 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Sayangnya keberatan-keberatan tergugat I dan tergugat II berkaitan dengan penggunaan mekanisme class action, sampai dengan gugatan diputus, sama sekali belum disentuh. Dalam putusannya majelis hakim berpendapat bahwa surat kuasa dari para penggugat bersifat umum, karena tidak mencantumkan keperluan tertentu untuk apa surat kuasa itu dibuat, tidak mencantumkan masalah hukum apa yang dipersengketakan (misalnya dalam perkara waris, atau hutang piutang atau perbuatan melawan hukum tertentu dan sebagainya), sehingga dengan demikian gugatan yang diajukan oleh penggugat dinyatakan tidak dapat diterima. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum dari majelis hakim adalah karena ternyata surat kuasa tertanggal 27 Juni 2003 dari 8 orang wakil kelas kepada kantor hukum hanya menyebutkan “keperluan untuk mewakili atau mendampingi pemberi kuasa hukum, dalam hal-hal yang bersangkutan dengan dan/atau berkisar mengenai persoalan, mutu/kualitas pelayanan air minum yang telah dilakukan oleh PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyja”. 5.
Gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri, dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru.85 Dalam gugatannya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau yang diwakili
oleh Ketua Dewan Pengurusnya Firdaus Basyir mengklaim selain bertindak untuk diri sendiri sekaligus juga atas nama masyarakat kota Pekanbaru sejumlah 600.000 jiwa orang yang terkena dampak kasus kabut asap Pekanbaru. Para penggugat mendalilkan bahwa penduduk kota pekanbaru yang berjumlah 600.000 jiwa orang, telah terganggu aktifitas sejak tanggal 1 Februari 2000 sampai dengan 10 Maret 2000, akibat pembersihan lahan yang dilakukan para tergugat dengan melakukan pembakaran di lahan para tergugat. Perbuatan para tergugat, telah menyebabkan aktifitas masyarakat pekanbaru terganggu olehnya dan terserang penyakit ISPA, asma, bronkitis, empisema, iritasi mata, diare, kanker paru-paru. Perbuatan para tergugat telah menimbulkan kerugian materiil karena diserang berbagai penyakit dan kesulitan menghirup udara bersih serta telah terganggu.
85
Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 32/Pdt/G/2000/PBN/PBR.
76 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Adapun alasan para penggugat mengajukan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action adalah karena jumlah penduduk kota Pekanbaru yang terkena dampak atau mengalami kerugian akibat pembakaran lahan begitu banyak mencapai 600.000 (enam ratus ribu) jiwa penduduk, dan penggugat selaku wakil kelas adalah merupakan segolongan orang yang berada dalam masyarakat kota Pekanbaru dan oleh karenanya dapat mengajukan gugatan class action. Terhadap gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme class action tersebut, tergugat I mengajukan tanggapan yang intinya penggugat tidak memiliki ius standi (standing to sue) untuk mengajukan gugatan perwakilan. Jika benar ada sekelompok orang/individu yang mengalami kerugian akibat asap yang meliputi kota Pekanbaru, maka yang dapat mewakili kelompok ini adalah orang (naturlijk person) yang menjadi anggota kelompok tersebut. Penggugat selaku yayasan (recht person) bukanlah anggota kelompok yang tergolong sebagai natulurlijk person, sehingga tidak memiliki kapasitas untuk mewakili masyarakat kota Pekanbaru. Jika penggugat mendasarkan gugatannya pada ketentuan pasal 37 (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka “masyarakat” dalam konteks pengajuan gugatan perwakilan (class action) adalah individu-individu (naturlijk person) yang mengalami penderitaan yang sama dan karena itu memiliki kepentingan hukum yang sama pula. Tergugat II dan tergugat III mendalilkan bahwa penggugat bukanlah organisasi yang berbentuk badan hukum atau yayasan yang berhak dan/atau berwenang untuk mengajukan gugatan lingkungan hidup, baik untuk diri sendiri dan/atau untuk atas nama masyarakat Pekanbaru, sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara tergugat IV mendalilkan bahwa berdasarkan ketentuan pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penggugat tidak dapat memenuhi syarat-syarat numerousity, the same legal interest dan the same legal remedies. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau bukan manusia atau masyarakat sehingga permasalahan serta tuntutan hukumnya (seandainya ada) tidak ada persamaan dengan masyarakat Pekanbaru, karena tidak mungkin YLBH Riau bisa sakit sehingga tuntutan YLBH Riau tidak sama dan tidak dapat disatukan dengan tuntutan dan kepentingan masyarakat Pekanbaru.
77 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi persyaratan sebagai gugatan class action. Majelis hakim berpendapat bahwa dari sudut kemasyarakat maka YLBH Riau tersebut merupakan kelompok masyarakat atau kumpulan beberapa orang dalam suatu masyarakat yang dapat diperkenankan untuk menggugat dengan gugatan class action, dan penggugat dapat menjadi pihak yang mewakili kelompok dalam Yayasan sekaligus pula mewakili warga/penduduk di kotamadya Pekanbaru. Namun demikian dalam gugatan class action, penggugat diharuskan untuk mengumumkan kepada para pihak yang diwakili tentang gugatan yang dilakukannya, sehingga masyarakat yang diwakili dapat diketahui dengan jelas. Kesempatan mengumumkan kepada para yang diwakili tersebut memang secara yuridis belum ada pengaturannya, oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa pengumuman yang dilakukan tersebut dapat dilakukan pada awal persidangan maupun pertengahan akhir pemeriksaan perkara. Majelis hakim telah memerintahkan, baik secara lisan maupun tertulis kepada penggugat untuk melakukan proses pemberitahuan (nontifikasi) kepada masyarakat yang diwakili sebagai persyaratan class action, akan tetapi ternyata penggugat tidak dapat memenuhinya dan tidak melakukan proses pemberitahuan (notifikasi) dengan alasan tidak memiliki biaya yang cukup untuk memenuhi perintah hakim tersebut, oleh karenanya gugatan class action dari penggugat ini tidak memenuhi persyaratan, dan oleh karenanya dinyatakan tidak dapat diterima. Menurut penulis, supaya gugatan ini dapat diajukan dengan menggunakan class action, selain harus memenuhi syarat pemberitahuan sebagaimana telah diperintahkan oleh majelis hakim dalam perkara ini, seharusnya gugatan diajukan oleh Firdaus Basyir, dalam kapasitasnya selaku masyarakat bukan dalam kapasitasnya selaku ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau. Jika Firdaus Basyir dalam mengajukan gugatan bertindak dalam kapasitasnya selaku ketua Dewan Pengurus, maka menurut penulis gugatan ini lebih cocok sebagai gugatan yang diajukan berdasarkan hak gugat organisasi.
78 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
6.
Gugatan Ali Sugondo, dkk terhadap M. Mahfudz Basya, dkk anggota Komisi B DPRD Propinsi Jawa Timur.86 Ali Sugondo, dkk (sebanyak 10 orang) bertindak untuk diri sendiri
sekaligus mewakili 34 juta penduduk Jawa Timur mengajukan gugatan terhadap M. Mahfudz Basya, dkk (sebanyak 18 orang) anggota Komisi B DPRD Propinsi Jawa Timur dengan menggunakan mekanisme class action. Dalam gugatannya, para penggugat mempermasalahkan perjalanan dinas studi banding yang dilakukan oleh anggota Komisi B DPRD Propinsi Jawa Timur ke Pulau Batam yang dilanjutkan ke luar negeri pada tanggal 8 sampai dengan 12 Agustus 2000. Berdasarkan Surat Perintah Tugas yang dikeluarkan oleh Ketua DPRD Propinsi Jawa Timur Nomor 090/593/090/2000 tertanggal 7 Agustus 2000, anggota komisi B ditugaskan untuk melakukan kunjungan kerja ke Medan dan Manado, sehingga dengan demikian tindakan tersebut merupakan suatu bentuk penyalahgunaan kewenangan atas pemanfaatan dana APBD. Perbuatan para tergugat telah menimbulkan kerugian materil berupa berkurangnya dana APBD Jawa Timur sebesar Rp. 142.500.000,- (seratus empat puluh dua juta lima ratus ribu Rupiah). Tindakan para tergugat tersebut juga menimbulkan kerugian immateril berupa timbulnya kecemasan dan ketidakpercayaan rakyat (34 juta) kepada DPRD yang apabila dinilai dengan uang adalah sebesar Rp. 1.000.000,- x 34.000.000,- atau sebesar Rp, 34.000.000.000.000,- (tiga puluh empat triliun Rupiah). Penggunaan gugatan class action didasarkan pada penafsiran analogis terhadap 4 (empat) undang-undang yang mengatur dimungkinkannya penggunaan gugatan class action dalam perkara perdata yaitu (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (3) UndangUndang Kehutanan, dan (4) Undang-Undang Ketenaganukliran. Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action, tidak dapat diterima. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan bahwa hukum acara perdata yang berlaku belum memiliki ketentuan tentang bagaimana suatu class action 86
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 593/Pdt.G/2000/PN.SBY.
79 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
harus ditangani, sehingga dalam hal ini pengadilan membuat kajian berdasarkan praktek peradilan yang dimuat dalam literatur hukum. Langkah pertama dalam meneliti suatu class action adalah bahwa baik class representative dan class members haruslah merupakan pihak yang mengalami kerugian nyata (concrete inured parties). Apakah ke 10 orang class reperesentative dan 34 juta penduduk Jawa Timur adalah benar-benar concrete injured parties karena ulah perbuatan para tergugat ? Majelis hakim sependapat dengan penggugat bahwa APBD bersumber antara lain pada penghasilan daerah yang berupa retribusi, pajak daerah, dan lain-lain. Tidak semua penduduk Jawa Timur membayar retribusi, pajak daerah, dan lain-lain, tetapi hanyalah mereka yang menurut peraturan daerah dibebani kewajiban membayarnya. Sejak penduduk yang bersangkutan membayar retribusi, pajak daerah, dan lain-lain, sejak itu pula hak untuk mempergunakan uang itu telah beralih kepada PEMDA Jawa Timur yang diaktualisasikan dalam APBD. Dengan demikian sebenarnya yang menjadi korban atau pihak yang menderita kerugian karena penyimpangan oleh para tergugat adalah PEMDA Jawa Timur bukan para penggugat, sehingga dengan demikian pengadilan berpendapat bahwa para penggugat tidak memiliki legalitas untuk mengajukan gugatan class action dengan tuntutan monetary damages. 7.
Gugatan Korban Tabrakan Kereta Api di Brebes tanggal 25 Desember 2001 terhadap PT. Kereta Api Indonesia.87 Dalam perkara gugatan ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengakui para penggugat sebagai class reperesentatives (wakil kelas) dan menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian. Putusan ini kemudian dikuatkan dalam putusan banding dan kasasi, sehingga dengan demikian putusan dalam perkara ini telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Penulis akan menguraikan lebih rinci mengenai putusan ini dan analisis hukum penulis dalam bab berikutnya. 87
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No.114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst. tanggal 6 Januari 2003, Jo. No. 87/PDT/2004/PT.DKI. tanggal 3 September 2004, Jo. No. 1440 K/PDT/2006 tanggal 3 Januari 2007.
80 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
C.
Hambatan-Hambatan Dalam Penggunaan Gugatan Class Action. Dari beberapa kasus atau perkara gugatan yang penyelesaiannya diajukan
ke pengadilan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action, baik sebelum maupun setelah adanya pengakuan mengenai mekanisme gugatan class action sebagaimana diuraikan di atas, ditemukan beberapa hambatan dan/atau kendala dan/atau kesulitan. Hasil kajian dari Tim ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) pada tahun 2002 terhadap beberapa kasus class action yang sedang atau dalam proses di peradilan sebelum terbitnya PERMA Nomor 1 Tahun 2002, menemukan beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatan class action di peradilan di Indonesia antara lain :88 1.
Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok. Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa, dapat dicatat
bahwa bantahan pertama yang sering dikemukakan oleh tergugat terhadap penggunaan prosedur class action adalah tidak adanya surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok. Hal ini dapat dilihat dari putusan pengadilan dalam perkara gugatan YLKI terhadap PT. PLN Persero tanggal 13 April 1997, gugatan 139 orang penarik becak terhadap Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Gugatan 15 warga DKI Jakarta dalam kasus banjir yang terjadi akhir Januari 2002. Pada umumnya yang menjadi alasan tergugat adalah mengacu pada ketentuan dalam hukum acara perdata (HIR yaitu Pasal 123 yang mensyaratkan bahwa untuk dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus memperoleh surat kuasa khusus dari pihak yang diwakilinya. Tetapi setelah dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2002 hambatan ini telah dapat diantisipasi setidak-tidaknya diminimalisir.
88
Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, Makalah Disampaikan Pada Kursus HAM Untuk Pengacara X, Jakarta, 2005, hal. 21-22
81 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Dalam pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 ditentukan bahwa wakil kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan seluruh anggota kelompok, tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Meskipun masih ada sebagian kalangan berpendapat bahwa ketentuan ini bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata di Indonesia yang mengatur bahwa pihak yang menunjuk pihak lain untuk mewakilinya di dalam proses persidangan harus mendapat kuasa khusus dari pihak yang menunjuk atau pihak yang diwakilinya.
2.
Tentang surat gugatan. Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak
menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur class action, dalam hal ini tidak mendeskripsikan secara jelas defenisi kelas, posita gugatan tidak menjelaskan secara rinci dan jelas kesamaan tentang fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian ganti kerugian. Selain itu dalam menentukan wakil kelompok, penggugat cenderung mengajukan jumlah wakil kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan menyulitkan penggugat dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.
3.
Mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal standing. Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun
pengadilan masih terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan prosedur class action adalah identik dengan gugatan atas dasar hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau “NGO’s standing to sue”. Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan antara pengertian gugatan class action dengan konsep hak gugat LSM. Padahal gugatan class
82 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
action dan legal standing memiliki perbedaan. Dalam gugatan class action terdiri dari unsur yaitu wakil kelas yang berjumlah satu orang atau lebih dan anggota kelas yang pada umumnya berjumlah besar. Baik wakil kelas maupun anggota kelas pada umumnya merupakan pihak korban atau yang mengalami kerugian secara nyata. Sedangkan dalam konsep legal standing, LSM sebagai pihak penggugat bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian secara nyata, namun karena kepentingannya ia mengajukan gugatan. Demikian mengenai tuntutan ganti rugi, dalam gugatan class action pada umumnya adalah tuntutan ganti rugi dalam bentuk uang, sedangkan dalam legal standing tidak dikenal tuntutan ganti rugi uang. Ganti rugi data dimungkinkan terbatas pada ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh organisasi itu. Dari beberapa contoh kasus yang penulis sajikan pada awal bab ini, terdapat beberapa kasus yang diajukan oleh organisasi dan/atau yayasan akan tetapi dalam gugatan dengan tegas-tegas disebutkan bahwa gugatan diajukan dengan menggunakan mekanisme class action, seperti gugatan YLKI terhadap PT. PLN Persero tanggal 13 April 1997, gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri, dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru. Dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan definisi secara jelas mengenai pengertian legal standing. Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dikenal dengan istilah hak gugat organisasi lingkungan, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hak gugatan kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, sedangkan dalam Undang-Undang Kehutanan dikenal dengan istilah gugatan perwakilan oleh organisasi bidang kehutanan. Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi hak gugatan kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di
bidang
perlindungan
konsumen
mengajukan
tuntutan
dengan
mengatasnamakan kepentingan perlindungan konsumen. Sementara dalam
83 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ditegaskan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kelestarian fungsi lingkungan hidup. Berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, suatu lembaga swadaya masyarakat konsumen atau organisasi lingkungan hidup, mempunyai hak legal standing mengajukan gugatan atas nama kepentingan kelompok tertentu, jika lembaga swadaya masyarakat konsumen atau organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan yaitu (1) berbentuk badan hukum atau yayasan, (2) dalam anggaran dasar organisasi tersebut, disebut dengan tegas tujuan didirikannya untuk kepentingan tertentu, (3) telah melakukan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasar.
4.
Tentang prosedur acara pemeriksaan. Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan yang
menggunakan prosedur class action dalam berbagai putusan, dilakukan dalam tahap pemeriksaan yang berbeda-beda. Ada yang mengesahkan penggunaan prosedur ini diperiksa dan diputus pada akhir putusan bersama-sama dengan pokok perkara, sedangkan pada putusan perkara lainnya diputus pada tahapan putusan sela. Dari beberapa kasus yang disajikan di atas, ada putusan pengadilan yang dengan tegas menerima dan mengakui penggugat sebagai wakil kelas dari anggota kelas, akan tetapi pemeriksaan pokok perkara dilaksanakan dengan prosedur hukum acara perdata biasa tanpa ada notifikasi (pengumuman). Hal ini dapat dilihat dalam putusan perkara gugatan 139 orang penarik becak terhadap Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
84 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
5.
Tentang notifikasi atau pemberitahuan. Belum adanya aturan atau petunjuk mengenai tata cara pengadilan
dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perdata melalui prosedur class action, mengakibatkan perintah notifikasi atau pemberitahuan (yang dalam sistem hukum negara lain merupakan suatu kewajiban) tidak menjadi suatu prioritas atau suatu keharusan. Meskipun dalam hukum acara yang mengatur class action tidak ada yang mengatur secara tegas mengenai adanya keharusan dan/atau kewajiban untuk melakukan notifikasi, namun dari kasus-kasus yang penulis sajikan di atas, ada salah satu gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action terpaksa dinyatakan tidak dapat diterima, karena penggugat tidak dapat melakukan notifikasi. Hal ini dapat dilihat dalam putusan pengadilan terhadap gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri, dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru. 6.
Tentang implementasi putusan pengadilan dalam hal distribusi ganti kerugian. Tahapan ini merupakan tahap terakhir dari keseluruhan proses
prosedur gugatan perwakilan kelompok setelah tahapan-tahapan yang sebelumnya selesai. Meskipun tahapan penyelesaian ganti kerugian ini hanya bersifat administrative saja, tetapi pelaksanaannya sangat sulit dan rumit.89 Pada dasarnya pelaksanaan ganti kerugian merupakan eksekusi putusan gugatan class action yang dikabulkan oleh pengadilan. Pelaksanaan ganti kerugian ini akan menimbulkan kesulitan jika dalam amar putusan hakim tidak secara jelas disebutkan mengenai mekanisme pendistribusian ganti kerugian, termasuk mengenai penunjukan dan
89
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Cet. I. Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008, hal. 287.
85 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
susunan tim/panel untuk membantu kelancaran pendistribusian ganti kerugian dan pengumuman pemberitahuan rencana pendistribusian ganti kerugian melalui iklan. Ganti kerugian baru dapat dibagikan kepada anggota kelas atau sub kelas setelah dilakukan pemberitahuan atau notifikasi.
Khusus
berkaitan
dengan
pemberitahuan
rencana
pendistribusian ganti kerugian melalui iklan, dalam amar putusan sebaiknya diatur secara jelas mulai dari kriteria harian umum, tanggal kapan iklan harus dimuat, berapa kali harus diumumkan, batas waktu bagi class repesentatif dan class members mendaftarkan diri termasuk pihak yang bertanggung jawab membayar biaya iklan. Hambatan dan/atau kendala yang timbul dalam pendistibusian ganti kerugian dalam kaitannya dengan pemberitahuan lewat iklan karena dalam amar putusan tidak diatur secara tegas, juga dialami oleh Tim/Panel Pembayar Ganti rugi dalam kasus gugatan class action korban tabrakan kereta api sebagaimana informasi yang penulis peroleh dari YLKI dalam upaya penulis untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan eksekusi atas putusan pengadilan dalam kasus tabrakan kereta api di Brebes. Memang ini tidak semata-mata permasalahan yang berkaitan dengan amar putusan yang tidak mengatur secara tegas mengenai pendistribusian ganti kerugian, tetapi hal ini juga tidak terlepas dari gugatan class action yang diajukan oleh para penggugat. Jika dalam petitum (tuntutan) gugatan, para penggugat tidak menguraikan secara tegas mengenai petitum yang dimintakan termasuk mengenai teknis pelaksanaan pendistribusian ganti kerugian, maka meskipun hakim dengan kewenangan yang dimilikinya (hak untuk menggali nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat), namun dalam prakteknya sangat jarang dan bahkan dapat dipastikan Hakim tidak akan mungkin untuk mengabulkan di luar yang diminta oleh penggugat.
86 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Beberapa hambatan lain atau kelemahan dalam penggunaan gugatan class action.90 1.
Kesulitan dalam mengelola. Semakin banyak jumlah anggota kelompok, semakin sulit
mengelola gugatan class action. Kesulitan yang terjadi biasanya pada saat pemberitahuan dan pendistribusian ganti kerugian. Jumlah anggota kelompok yang banyak dan menyebar di beberapa wilayah yang tidak sama akan menyulitkan dalam hal pemberitahuan dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apabila gugatan dikabulkan dan ganti rugi diberikan, bukan tidak mungkin jumlah ganti kerugian tidak sebanding dengan biaya pendistribusiannya. Menurut penulis, faktor biaya merupakan salah satu faktor penghambat yang sangat berpengaruh dalam penggunaan gugatan class action. Meskipun biaya yang akan dikeluarkan dalam pengajuan gugatan class action mulai dari proses pengajuan sampai dengan pendistribusian biaya, termasuk biaya pengacara akan ditanggung secara bersama-sama antara class reperesantatif dan/atau class members, namun karena system hukum acara di Indonesia yang menganut adanya upaya hukum banding, dan kasasi bahkan peninjauan kembali, terkadang hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Sebagai salah satu contoh dalam hal melaksanakan isi putusan pengadilan dalam perkara gugatan class action yang diajukan korban tabrakan kereta api di Brebes tanggal
25
Desember
2001.
Biaya
untuk
iklan
pengumuman
pemberitahuan mengenai rencana pendistribusian ganti kerugian, menjadi salah satu kendala bagi Tim/Komisi Pembayar Ganti Kerugian, akhirnya atas pertimbangan biaya, Komisi memutuskan pengumuman cukup dimuat di harian Warta Kota. Sampai lewatnya waktu pengumuman, hanya 5 anggota kelas yang memberikan tanggapan atas pengumuman tersebut.
90
Emerson Yuntho, op. cit., hal. 6
87 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
2.
Dapat meyebabkan ketidakadilan. Apabila prosedur yang dipilih untuk penentuan keanggotaan
kelompok adalah opt in, maka tidak adanya pernyataan masuk dari anggota kelompok yang sesungguhnya mempunyai kesamaan kepentingan hanya
karena
tidak
mengetahui
adanya
pemberitahuan,
akan
mengakibatkan hilangnya hak mereka untuk menikmati keberhasilan gugatan class action, karena putusan hakim hanya akan mempunyai akibat bagi mereka yang masuk sebagai anggota kelompok. Sebaliknya apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan kelompok adalah dengan prosedur opt out maka tidak adanya pernyataan opt out dari orang yang potensial menjadi anggota kelompok, hanya karena tidak mengetahui adanya pemberitahuan, akan mengakibatkan mereka menjadi anggota kelompok dengan segala konsekuensinya. Mereka akan terikat dengan utusan yang dijatuhkan oleh hakim. Apabila gugatan dikalahkan atau digugat balik, maka mereka juga harus menanggung akibatnya.
3.
Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat. Jumlah tuntutan ganti kerugian pada gugatan class action dapat
mengakibatkan tergugat bangkrut apabila gugatan dikabulkan, di mana tergugat wajib memberikan ganti kerugian atau melakukan tindakan tertentu kepada seluruh anggota kelompok yang jumlahnya sangat banyak.
4.
Publikasi gugatan class action dapat menyudutkan pihak tergugat. Pemberitaan media massa dan adanya pemberitahuan gugatan class
acion di media massa dapat menjadi serangan bagi kedudukan atau kekuasaan pihak tergugat. Biasanya pembaca media akan mempunyai prasangka yang tidak baik. Padahal belum tentu tergugat adalah pihak yang bersalah karena benar tidaknya tergugat masih harus menunggu pembuktian di pengadilan.
88 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Menurut penulis faktor-faktor lain yang menjadi penghambat dalam penggunaan gugatan class action antara lain dipengaruhi oleh (1) rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai adanya hak-hak konsumen yang dijamin oleh undang-undang khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (2) tingginya biaya yang harus dikeluakan dalam proses beracara di pengadilan, serta (3) belum adanya peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur mengenai tata cara pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action. Faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai adanya hak-hak konsumen yang dijamin oleh undang-undang khususnya
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen,
adalah
kurangnya
sosialisasi terhadap undang-undang dan/atau ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak-hak konsumen termasuk mengenai hak konsumen untuk mengajukan upaya hukum gugatan class action. Dalam upaya penulis untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kasuskasus konsumen yang diselesaikan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action, penulis menemukan fakta di lapangan, masih ada beberapa pegawai pengadilan yang tidak tahu apa itu “class action”. Faktor lain yang ikut menentukan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen adalah budaya hukum masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia memandang bahwa berperkara di pengadilan adalah suatu hal yang “aib” karena mengganggu harmoni hubungan diantara sesama warga masyarakat. Sikap enggan berperkara di pengadilan ini juga berpengaruh terhadap sikap para konsumen yang menjadi korban produk yang cacat, sebagian besar enggan menyelesaikan perkara mereka di pengadilan. Rendahnya kepercayaan warga masyarakat terhadap perlindungan konsumen, ditambah dengan rasa tidak yakin bahwa melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen hak-hak mereka yang dilanggar dapat dipulihkan, juga berpengaruh terhadap kesadaran hukum konsumen Indonesia.91
91
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008, hal. 232 233
89 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Biaya yang dikeluarkan dalam proses pengajuan gugatan class action termasuk biaya untuk pengacara memang dapat dan/atau akan ditanggung oleh anggota wakil kelas. Namun tidak bisa dipungkiri, tersedianya upaya hukum bagi kedua belah pihak untuk mengajukan upaya hukum yaitu upaya hukum banding dan kasasi bahkan upaya hukum peninjauan kembali serta tidak adanya pembatasan waktu yang secara tegas, berapa lama suatu perkara gugatan class action harus diselesaikan (diputus) di pengadilan negeri atau tingkat pertama, berapa lama di tingkat banding, berapa lama di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali, secara tidak langsung akan mengakibatkan besarnya biaya yang timbul yang harus ditanggung oleh penggugat yang pada akhrinya akan dibebankan kepada konsumen. Dari kasus-kasus yang penulis sajikan di atas, ada suatu kasus yang oleh pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan menggunakan mekanisme class action, karena penggugat tidak dapat melakukan notifikasi. Penggugat tidak dapat melakukan notifikasi hanya karena pertimbangan biaya, sebagaimana dapat dilihat dalam putusan pengadilan terhadap gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri, dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru. Saat ini ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme pengajuan gugatan class action ke pengadilan adalah PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Meskipun dalam salah satu pertimbangan (konsideran) dari PERMA Nomor 1 Tahun 2002, dengan tegas disebutkan bahwa PERMA Nomor 1 Tahun 2002 sifatnya hanya sementara sambil menunggu adanya peraturan perundangundangan yang mengatur acara peradilan secara class action, namun faktanya sampai sekarang (2008) belum ada tanda-tanda ke arah pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Dari beberapa kasus konsumen yang diselesaikan melalui pengadilan dengan mengunakan mekanisme gugatan class action sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya pada bab ini, pada umumnya tergugat masih mempertanyakan mengenai keberadaan dari PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Kedudukan PERMA jauh di bawah Undang-Undang atau
90 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (HIR) di mana dalam pasal 123 HIR dengan tegas disebutkan mengenai kewajiban penggugat untuk mendapat kuasa dari pihak yang diwakilikannya untuk bersidang di pengadilan. Belum terbitnya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UndangUndang Kehutanan yang mengatur mengenai mekanisme pengajuan gugatan class action dan/atau belum adanya peraturan yang mengatur mekanisme pengajuan gugatan setingkat undang-undang, yang mengatur secara lengkap mengenai prosedur pengajuan gugatan class action, mengakibatkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat termasuk para praktisi hukum baik pengacara maupun hakim mengenai pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action. Terbukti dari beberapa kasus/perkara yang disajikan di atas, terdapat beberapa kasus yang dalam gugatan secara tegas disebutkan bahwa gugatan diajukan dengan menggunkan mekanisme class action, namun penggugat tidak dapat menguraikan gugatan tersebut ke dalam masing-masing unsur-unsur dari sutau gugatan class action yang pada akhirnya mengakibatkan gugatan ditolak atau tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya membuka peluang bagi penggugat untuk mengajukan tangkisan (eksepsi). Jika seandainya saja, ketentuan hukum acara class action yang diatur dalam PERMA Nomor 1 tahun 2002, dituangkan ke dalam suatu peraturan setingkat undang-undang, dan diikuti dengan sosialisasi yang baik dan cukup kepada masyarakat, penulis yakin hambatan-hambatan khususnya yang berkaitan dengan proses pengajuan gugatan class action akan dapat diminimalisir.
91 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
BAB IV IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION OLEH KONSUMEN PENGGUNA JASA KERETA API
Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, perkembangan gugatan class action di Indonesia dibagi menjadi 2 (dua) periode yaitu sebelum adanya pengakuan mekanisme gugatan class action dan setelah adanya pengakuan mekanisme gugatan class action. Dalam bab ini penulis akan menganalisis dari segi hukum salah satu putusan pengadilan yang menggunakan mekanisme gugatan class action yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkarcht) yang terjadi setelah adanya pengakuan mekanisme gugatan class action, yaitu putusan pengadilan terhadap gugatan korban tabrakan kereta api yang terjadi di stasiun Brebes pada tanggal 25 Desember 2001.
A.
Posisi Kasus. Pada tanggal 25 Desember 2001 sekitar pukul 04.30 telah terjadi tabrakan
hebat (head to head) antara kereta api Empu Jaya jurusan Pasar Senen – Yogyakarta dengan Kereta Api Gaya Baru Malam jurusan Surabaya – Pasar Senen di Stasiun Ketanggungan Barat, Kabupaten Brebes. Tabrakan tersebut mengakibatkan sekurang-kurangnya 31 (tiga puluh satu) orang meninggal dunia, 5 (lima) orang harus masuk ICU, 44 (empat puluh empat) orang menjalani rawat inap dan 20 (dua puluh) orang menjalani rawat jalan. Adapun pihak penggugat yang bertindak selaku perwakilan kelompok (class reperesentative) dalam perkara gugatan tersebut adalah : (1) Agus Yustianingsih selaku penggugat I sekaligus perwakilan kelompok (class reperesentative) untuk sub class anggota kelompok konsumen korban tabrakan dengan kategori konsumen Kereta Api Empu Jaya yang meninggal dunia yang berdomisili di Jakarta/Bekasi dan sekitarnya, (2) Eko Suyanto selaku penggugat II
92 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
sekaligus perwakilan kelompok (class reperesentative) untuk sub class anggota kelompok konsumen korban tabrakan dengan kategori konsumen Kereta Api Gaya Baru Malam yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jakarta/Bekasi sekitarnya, (3) Kholil Rahman selaku penggugat III sekaligus perwakilan kelompok (class reperesentative) untuk sub class anggota kelompok konsumen korban tabrakan, dengan kategori konsumen Kereta Api Empu Jaya yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jawa Tengah/D.I,Yogyakarta dan sekitarnya, (4) Hartoyo selaku penggugat IV sekaligus perwakilan kelompok (class reperesentative) untuk sub class anggota kelompok konsumen korban tabrakan, dengan kategori konsumen Kereta Api Gaya Baru Malam, yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jawa Timur dan sekitarnya, dan 5) Mulyadi selaku penggugat V sekaligus perwakilan kelompok (class reperesentative) untuk sub class anggota kelompok konsumen korban tabrakan, dengan kategori konsumen Kereta Api Empu Jaya yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jakarta/Bekasi dan sekitarnya. Dalam mengajukan gugatannya, para penggugat memberikan kuasa kepada Sudaryanto, SH dan Rekan-rekan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berdasarkan Surat Kuasa tertanggal 18 Maret 2002. Gugatan ditujukan kepada (1) PT. Kereta Api (Persero) selaku tergugat I, (2) Menteri Perhubungan Republik Indonesia selaku tergugat II, (3) Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku tergugat III dan (4) Menteri Keuangan Republik Indonesia selaku tergugat IV. Dalam gugatannya, para penggugat dengan tegas menyebutkan bahwa gugatan diajukan dengan menggunakan mekanisme atau prosedur gugatan perwakilan kelompok (class action) yang sudah diakui dalam doktrin hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Para penggugat selain bertindak untuk dirinya sendiri, sekaligus juga mewakili komunitas konsumen kereta api yang mengalami kerugian akibat terjadinya tabrakan antara kereta api Empu Jaya dengan Kereta Api Gaya Baru Malam tanggal 25 Desember 2001 di stasiun
93 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Ketanggungan Barat Kabupaten Brebes. Adapun dasar hukum para penggugat mengajukan gugatan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action adalah Pasal 46 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan : Pasal 46 ayat (1) huruf b : Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Pasal 46 ayat (2 : Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, atau lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud alam ayat (1) huruf b, c, atau d diajukan kepada peradilan umum.
Untuk menguatkan kedudukannya sebagai pihak yang dapat mengajukan gugatan ini, para penggugat menunjukkan peraturan perundang-undangan lain sebagai dasarnya antara lain : (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian,92 (3) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, (4) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 Tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, (5) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1998 Tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Wewenang Menteri Keuangan selaku Pemegang Saham atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Perusahaan Perseroan (persero) kepada Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara, dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan dan Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Selain
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
tersebut,
untuk
menguatkan keberadaan para wakil kelas yang memiliki kepentingan dan kedudukan hukum untuk mewakili anggota kelas dalam memperjuangkan hakhaknya, para penggugat juga merujuk pada beberapa putusan pengadilan yaitu : (1)
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
dalam
92
perkara
nomor
Undang-Undang ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian.
94 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
50/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., yaitu keterwakilan 139 tukang becak atas 5000 tukang becak lainnya di Jakarta ; (2) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor 550/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., yaitu keterwakilan 9 orang konsumen LPG atas 200.000 konsumen LPG se Jabotabek ; dan (3) Putusan Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
dalam
perkara
nomor
493/Pdt.G/2001/PN.Jkt.Pst., yaitu keterwakilan 8 masyarakat miskin kota mewakili komunitas masyarakat miskin
kota dari unsur pengemudi becak,
pengamen dan penghuni miskin. Menurut para penggugat, gugatan yang diajukan, merupakan gugatan perbuatan melawan hukum yang telah menimbulkan kerugian bagi para penggugat. Penggugat I sebagai ahli waris korban tabrakan kereta api atas nama Edy Sugiarto menderita kerugian dalam bentuk hilangnya sumber penghasilan ekonomi keluarga dan harus menanggung biaya pendidikan anak satu-satunya atas nama Dyah Huznul Yusdhini sampai bisa mandiri (dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi) sebesar Rp. 119.878.000,- (seratus sembilan belas juta delapan ratus tujuh puluh ribu Rupiah). Penggugat II menderita kerugian sebesar Rp. 2.410.900,- (dua juta empat ratus sepuluh ribu sembilan ratus Rupiah) terdiri dari penggantian barang yang hilang (hand phone merek Ericson dan uang tunai ) sebesar Rp. 1.300.000,- (satu juta tiga ratus ribu Rupiah), pendapatan yang hilang selama tiga minggu (@ Rp. 300.000,-) sebesar Rp. 900.000,- (sembilan ratus ribu Rupiah) dan biaya rawat lanjutan sebesar Rp. 210.900,- (dua ratus sepuluh ribu sembilan ratus rupiah). Penggugat III menderita kerugian sebesar Rp. 3.367.500,(tiga juta tiga ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus Rupiah) terdiri dari barang yang hilang sebesar Rp. 767.500,- (tujuh ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus Rupiah), pendapatan yang hilang selama tiga bulan (@ Rp. 700.000,-) sebesar Rp. 2.100.000,- (dua juta seratus ribu Rupiah) dan kompensasi cacat dimuka sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu Rupiah). Penggugat IV menderita kerugian sebesar Rp. 11.556.000,- (sebelas juta lima ratus lima puluh enam ribu Rupiah) terdiri dari barang yang hilang sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu Rupiah), pendapatan yang hilang selama 12 bulan (@ Rp. 500.000,-) sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta Rupiah), biaya rawat lanjutan sebesar Rp. 5.341.000,-(lima juta tiga ratus
95 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
empat puluh satu ribu Rupiah) dan biaya pengurusan surat yang hilang (KTP) sebesar Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu Rupiah). Penggugat V menderita kerugian sebesar Rp. 15.050.000,- (lima belas juta lima puluh ribu Rupiah) terdiri dari barang yang hilang sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu Rupiah), pendapatan yang hilang selama 12 bulan (@ Rp. 750.000,-) sebesar Rp. 9.000.000,- (sembilan juta Rupiah), biaya rawat lanjutan sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan biaya pengurusan surat yang hilang sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu Rupiah). Selanjutnya para penggugat memohon kepada pengadilan untuk memutuskan antara lain : (a) Menyatakan para penggugat dapat diterima sekaligus bertindak dan berkedudukan hukum untuk mewakili kepentingan hukum masyarakat konsumen kereta api yang menjadi korban tabrakan kereta api yang terjadi tanggal 25 Desember 2001; (b) Menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum; (c) Menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi materiil yang besarnya masing-masing : (i) Penggugat I sebesar Rp. 119.878.000,- (seratus sembilan belas juta delapan ratus tujuh puluh ribu Rupiah), (ii) Penggugat II sebesar Rp. 2.410.900,- (dua juta empat ratus sepuluh ribu sembilan ratus Rupiah), (iii) Penggugat III menderita kerugian sebesar Rp. 3.367.500,- (tiga juta tiga ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus Rupiah), (iv) Penggugat IV sebesar Rp. 11.556.000,- (sebelas juta lima ratus lima puluh enam ribu Rupiah), (v) Penggugat V sebesar Rp. 15.050.000,- (lima belas juta lima puluh ribu Rupiah) ; (d) Menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi immateriil secara tanggung renteng kepada Para Penggugat dan masyarakat konsumen kereta api yang diwakili oleh para Penggugat, besarnya masing-masing konsumen setara dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah); dan (e) Memerintahkan
pembentukan
Komisi
Pembayaran
Ganti
Rugi,
yang
keanggotaannya terdiri dari 3 orang wakil dari para penggugat, 2 orang wakil dari tergugat, yang akan melaksanakan penyelesaian pembayaran ganti rugi kepada para anggota kelompok (class members).
96 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
B.
Putusan Pengadilan. Pada tanggal 6 Januari 2003, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan
gugatan para korban tabrakan kereta api, yang intinya adalah : 1.
Menyatakan menerima para penggugat sebagai perwakilan kelas (class representative) mewakili masyarakat konsumen korban tabrakan kereta api antara kereta api Empu Jaya dengan kereta api Gaya Baru Malam yang terjadi di stasiun Ketanggungan Barat Brebes pada tanggal 25 Desember 2001;
2.
Menyatakan PT. Kereta Api telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, dan menghukum untuk membayar ganti rugi berupa : biaya penguburan, santunan kematian, biaya antar jenazah, biaya perjalanan pulang kembali ke Stasiun asal atau stasiun tujuan, penggantian barang atau surat yang hilang, bagi korban yang memiliki surat tanda titipan atau angkutan barang atau surat bagasi, biaya pengobatan sampai korban menjadi pulih dan/atau santunan bagi bagai korban yang mengalami cacat badan dengan ketentuan atas kerugian tersebut dapat dibuktikan dan tidak melebihi dari jumlah maksimum asuransi yang ditutup oleh PT. Kereta Api dalam penyelenggaraannya, serta belum dibayar baik oleh PT. Jasa Raharja atau PT. Jasa Raharja Putra ;
3.
Memerintahkan para penggugat dan para tergugat untuk membentuk “KOMISI PEMBAYARAN GANTI RUGI” yang keanggotaannya terdiri dari 2 (dua) orang wakil dari Penggugat, 2 (dua) orang wakil dari tergugat I dan 1 (satu) orang wakil dari tergugat II yang bertugas : (1) Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, wajib mengumumkan melalui media surat kabar agar anggota kelompok (class members) mendaftarkan diri serta menyerahkan bukti-bukti kerugian yang dideritanya, (2) Komisi melakukan penelitian dan verifikasi untuk menguji kebenaran bukti tersebut dengan mengacu pada putusan ini dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan (3) mengajukan bukti-bukti yang patut untuk dibayar kepada Tergugat I dan Tergugat I membayar langsung kepada korban atau ahli warisnya.
Terhadap putusan ini, PT. Kereta Api mengajukan upaya hukum banding dan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta permohonan banding tersebut telah diputus tanggal 3 September 2004, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
97 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Jakarta Pusat. Kemudian pada tanggal 6 April 2006, PT. Kereta Api mengajukan upaya hukum kasasi dan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia permohonan kasasi yang diajukan oleh PT. Kereta Api ditolak sebagaimana dituangkan dalam Putusan Nomor 1440 K/Pdt/2006 tertanggal 3 Januari 2007, sehingga dengan demikian putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 6 Januari 2003, telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
C.
Analisis Kasus. Analisis ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst tertanggal 6 Januari 2003, yang dikuatkan dalam putusan banding dan kasasi. Adapun yang akan menjadi pokok bahasan dalam analisis ini meliputi keberatan para tergugat terhadap pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action dan berkaitan dengan pembuktian mengenai adanya perbuatan melawan hukum serta ganti kerugian.
1.
Mengenai Keberatan Para Tergugat Terhadap Penggugaan Mekanisme Class Action. Terhadap gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme
class action, tergugat II dan tergugat IV mengajukan keberatan. Tergugat I tidak mengajukan keberatan, sementara tergugat III tidak memberikan jawaban karena tergugat III hadir dalam persidangan setelah para penggugat mengajukan replik. Dalam jawabannya pada bagian eksepsi, tergugat II menyatakan keberatan terhadap pengajuan gugatan dengan mengunakan class action dengan alasan pemberian surat kuasa khusus oleh para penggugat kepada YLKI bertentangan dengan pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang menyebutkan : untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkaan memperoleh Surat Kuasa Khusus dari anggota kelompok.
98 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Terhadap keberatan tergugat II ini, majelis hakim berpendapat bahwa keberatan tersebut merupakan penafsiran yang keliru. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yang tidak perlu memakai surat kuasa adalah anggota kelompok kepada wakil kelompok, tetapi pemberian kuasa dari wakil kelas kepada pengacara/advokat memerlukan adanya surat kuasa khusus. Penulis sependapat dengan pertimbangan hukum dari majelis hakim tersebut. Jika seandainya pun dalam suatu perkara gugatan class action ternyata wakil kelompok memberikan kuasa kepada wakil kelas, menurut penulis hal tersebut tidak bertentangan dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2002, karena ketentuan pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 hanya memberikan kemudahan kepada wakil kelas dalam mengajukan gugatan bertindak untuk diri sendiri sekaligus mewakili anggota kelompok. Dalam jawabannya pada bagian eksepsi, tergugat IV juga menyatakan
menolak
pengajuan
gugatan
dengan
menggunakan
mekanisme class action, karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 butir a, pasal 5 ayat (3) dan pasal 3 huruf (f) dari PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yang menyebutkan : Pasal 2.a : Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu gugatan. Pasal 5 ayat (3) : Sahnya gugatan perwakilan kelompok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam suatu penetapan pengadilan. Pasal 3 huruf f : Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti rugi kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
99 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Terhadap
keberatan
tergugat
IV
tersebut,
majelis
hakim
memberikan pertimbangan dan pendapat bahwa para penggugat dalam mengajukan gugatan ini tidak wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, karena gugatan para penggugat telah didaftar dan mulai diperiksa sebelum dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Memang benar, gugatan para penggugat diajukan kurang dari 1 bulan sebelum PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dikeluarkan. Gugatan diajukan pada tanggal 1 April 2002 sementara PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dikeluarkan pada tanggal 26 April 2002. Namun penulis melihat majelis hakim tidak konsisten dalam memberikan pertimbangan atau pendapat hukum. Terhadap keberatan tergugat II yang menyatakan bahwa pemberian kuasa dari para penggugat kepada YLKI bertentangan dengan pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, majelis hakim berpendapat bahwa pemberian kuasa tersebut tidak bertentangan dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 sementara untuk keberatan tergugat IV, majelis berpendapat bahwa tidak wajib memenuhi syarat-syarat PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dalam mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action), pada dasarnya ada dua syarat utama yang harus dipenuhi yakni: pertama, adanya sejumlah besar orang; dan yang kedua adanya kepentingan atau permasalahan yang sama. Kedua hal ini tercermin pula di dalam pasal 2 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dimana disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok apabila (a) jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendirisendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan; (b) terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya, (c) wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.
100 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Menurut penulis syarat-syarat tersebut telah terpenuhi dalam gugatan ini dimana para penggugat terdiri dari wakil kelompok dan anggota kelompok yang terdiri dari banyak orang (konsumen) yang menuntut kerugian atas peristiwa terjadinya tabrakan kereta api tersebut. Dalam hal ini telah ada demikian banyak orang (konsumen) dengan kesamaan fakta dan dasar hukum untuk selanjutnya mengajukan tuntutan yang sama. Dengan demikian putusan pengadilan yang menyatakan menerima para penggugat sebagai class representative mewakili masyarakat konsumen korban tabrakan kereta api tanggal 25 Desember 2001, membuktikan bahwa secara tidak langsung, majelis hakim telah menjadikan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 sebagai bahan pertimbangan hukum dalam mengadili perkara gugatan ini.
2.
Mengenai Pembuktian Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatannya para penggugat, mendalilkan para tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan tergugat I yang menurut para penggugat sebagai perbuatan melawan hukum yaitu : a.
Tidak melaksanakan ketentuan pasal 28 dan Penjelasan pasal 25 ayat (1) huruf a, dan b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretapian, yang menyebutkan :93 Pasal 28 : badan penyelenggara bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengguna jasa dan/atau pihak ketiga yang timbul dari penyelenggaraan angkutan kereta api. Penjelasan pasal 25 ayat (1) huruf a: hak pengguna jasa untuk memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang disepakati misalnya pemegang karcis yang dimilikinya.
93
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian
101 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Penjelasan pasal 25 (1) huruf b : Penyelenggara wajib (1) mengangkut penumpang yang telah memiliki karcis penumpang sesuai dengan tingkat pelayanan penumpang yang telah disepati atau mengangkut barang pengguna jasa yang telah dimiliki syarat angkutan barang, (2) membayar ganti rugi sesuai syarat-syarat umum yang telah di sepakati, kepada pengguna jasa yang mengalami kerugian sebagai akibat kelalaian badan penyelenggara, (3) memberikan pelayanan dalam batas-batas kelayakan sesuai kemampuan badan penyelengggara kepada pengguna jasa, selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi kelambatan pemberangkatan karena kelalaian badan penyelenggara.
Terhadap dalil-dalil para penggugat yang menyatakan bahwa tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan alasan sebagaimana diuraikan di atas, majelis hakim berpendapat bahwa dari surat-surat bukti dan keterangan saksi, majelis hakim tidak memperoleh cukup bukti bahwa sebelum terjadinya tabrakan, tergugat I telah : (1) Tidak mengangkut penumpang yang membeli karcis; (2) Tidak membayar ganti rugi kepada pengguna jasa yang mengalami kerugian akibat kecelakaan; (3) Tidak memberi pelayanan yang baik selama menunggu pemberangkatan dalam hal terjadi keterlambatan pemberangkatan; dan (4) Tidak memberi pelayanan yang semestinya terhadap penumpang yang telah membeli karcis. Menurut penulis meskipun tabrakan tersebut terjadi bukan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan Penjelasan pasal 25 ayat (1) huruf a, dan b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 sebagaimana diuraikan di atas, namun karena faktanya tabrakan terjadi dan terjadinya bukan karena keadaan diluar kemampuan manusia (force majeur) maka sesuai dengan ketentuan pasal 28 Undang-Undang Nomor 13/1992, tergugat I tetap wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh para penggugat.
102 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
b.
Tidak melaksanakan ketentuan pasal 3 huruf c, d, e, f, jo. pasal 4 huruf a, c, d, e dan h, jo. pasal 7 huruf b, d, f dan g, jo. pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan : Pasal 3 huruf c, d, e dan f : Perlindungan konsumen bertujuan untuk (1) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, (2) menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, (3) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, (4) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Pasal 4 huruf a, b, c, d, e, dan h : Konsumen mempunyai hak untuk (1) hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan/atau jasa, (2) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, (3) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, (4) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, (5) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagai mana mestinya. Pasal 7 huruf b, d, f, dan g : Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk (1) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, (2) menjamin mutu barang dan atau penggantian jasa yang diproduksi dan/atau diperdangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, (3) memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan dan/atau yang diperdagangkan, (4) memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
103 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Pasal 8 ayat (1) huruf a : Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan.
Terhadap dalil-dalil para penggugat yang menyatakan bahwa tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum karena
tidak
melaksanakan
ketentuan
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud di atas, majelis hakim
berpendapat
bahwa
para
penggugat
tidak
dapat
membuktikan secara khusus tentang adanya pelanggaran atau kelalaian dalam ketentuan-ketentuan pasal tersebut yang secara langsung menimbulkan kerugian bagi para pengguna jasa. Penulis kurang sependapat dengan pertimbangan majelis hakim yang menyatakan para penggugat tidak dapat membuktikan secara khusus tentang adanya pelanggaran atau kelalaian dalam ketentuan-ketentuan
pasal
tersebut
yang
secara
langsung
menimbulkan kerugian bagi para pengguna jasa. Sebagaimana yang penulis sampaikan sebelumnya, karena tabrakan terjadi bukan karena adanya kejadian di luar kekuasaan atau kemampuan manusia (force majeur), maka dapat dipastikan tabrakan terjadi karena kelalaian tergugat I dalam memberikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan para penggugat, dan oleh karenanya para penggugat berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi akibat terjadinya tabrakan tersebut. c.
Tidak melaksanakan ketentuan Pasal 87 ayat (1) S. 1928200 yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1963 Tentang Peraturan Perkeretapian, yang menyebutkan : Urutan rangkaian kendaraan, pada tiap-tiap kereta api yang digunakan untuk angkutan penumpang, yang mencapai
104 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
kecepatan tertinggi lebih dari 45 km sejam, langsung di belakang lokomotif harus ditempatkan sekurang-kurangnya satu kendaraan, dimana tidak diijinkan ada penumpang kecuali pegawai kereta api atau pegawai jawatan pos.
Terhadap dalil-dalil para penggugat ini, majelis hakim sependapat dengan para penggugat. Menurut majelis hakim, tergugat I telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena lalai menempatkan kendaraan (gerbong) di belakang lokomotif dengan tidak dijinkannya ada penumpang kecuali pegawai kereta api atau jawatan pegawai pos sebagaimana diwajibkan dalam pasal 87 ayat (1) S. 1928-200 yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1963. Menurut penulis pertimbangan hukum majelis hakim yang menyatakan bahwa tergugat I hanya tebukti melakukan perbuatan melawan hukum karena lalai menempatkan kendaraan (gerbong) di belakang lokomotif, belum menyentuh substansi permasalahan. Jika seandainya pun tergugat I menempatkan kendaraan (gerbong) di belakang lokomotif, tabrakan itu sendiri tetap terjadi. Penempatan kendaraan (gerbong) di belakang lokomotif bukan berarti dapat menghindari terjadinya tabrakan akan tetapi hanyalah mengurangi jumlah korban tabrakan. Seharusnya yang perlu dipertimbangkan adalah apakah tabrakan tersebut terjadi karena adanya kelalaian dari tergugat I atau tidak. d.
Melanggar azas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam melaksanakan manajemen lalu lintas perkeretapian yang baik, sehingga telah memberhentikan dua kereta api sekaligus dalam Emplasemen yang hanya terdiri dari 3 (tiga) spoor, hal itu sangat membahayakan dan berpotensi menimbulkan kecelakaan/ tabrakan.
105 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Terhadap dalil-dalil para penggugat ini, majelis hakim tidak memberikan pendapat atau pertimbangan hukum. Jika dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, maka menurut penulis justru disinilah seharusnya pertanggungjawaban PT. Kereta Api Indonesia dapat dimintakan. Tindakan PT. Kereta Api Indonesia memberhentikan dua kereta api sekaligus dalam Emplasemen yang hanya terdiri dari 3 (tiga) spoor, jelas-jelas merupakan suatu kelalaian yang berpotensi menimbulkan kecelakaan/ tabrakan. Selain terhadap tergugat I, para penggugat juga medalilkan bahwa tergugat II, tergugat III dan tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan hukum. Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak melaksanakan ketentuan Pasal 75 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, yang menyebutkan : Menteri melakukan pembinaan terhadap penyediaan, perwatan dan pengusahaan prasarana dan sarana kereta api melalui kegiatan pengaturan, pengawasan dan pengendalian guna meningkatkan peran serta angkutan kereta api dalam keseluruhan moda teransportasi secara terpadu.
Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah melakukan perbuatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1998 Tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Wewenang Menteri Keuangan selaku Pemegang Saham atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Perusahaan Perseroan (persero) kepada Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara, yang menyebutkan : Kedudukan, tugas dan kewenangan Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah selaku pemegang saham atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada perusahaan perseroan (Persero), dialihkan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara.
106 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Sedangkan tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah tidak melaksanakan ketentuan pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 Tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan, yang menyebutkan : Pembinaan kekayaan negara yang tertanam dalam Persero dilakukan oleh Menteri Keuangan yang berkedudukan sebagai Rapat Umum Pemegang Saham dalam hal seluruh modal Persero adalah modal negara dan sebagai pemegang saham dalam hal tidak seluruh modal persero adalah modal negara.
Terhadap perbuatan melawan hukum yang ditujukan kepada tergugat II, tergugat III dan tergugat IV, majelis hakim menyatakan tidak terbukti, karena para penggugat tidak dapat membuktikan kesalahan dan/atau perbuatan melawan hukum dari tergugat II, tergugat III dan tergugat IV yang secara langsung menyebabkan kerugian bagi para penggugat.
3.
Mengenai Ganti Rugi. Dalam putusannya, majelis hakim hanya menghukum tergugat I
untuk membayar ganti rugi berupa : (a) Biaya penguburan, (b) Santunan kematian, (c) Biaya antar jenazah, (d) Biaya perjalanan pulang kembali ke Stasiun asal atau stasiun tujuan, (e) Penggantian barang atau surat yang hilang, bagi korban yang memiliki surat tanda titipan atau angkutan barang atau surat bagasi, (f) Biaya pengobatan sampai korban menjadi pulih dan/atau santunan bagi bagai korban yang mengalami cacat badan dengan ketentuan atas kerugian tersebut dapat dibuktikan dan tidak melebihi dari jumlah maksimum asuransi yang ditutup oleh tergugat I dalam penyelenggaraannya, serta belum dibayar baik oleh PT. Jasa Raharja atau PT. Jasa Raharja Putra.
107 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Menurut pertimbangan majelis hakim, gugatan ganti rugi dari penggugat dikabulkan sepanjang mengenai biaya penguburan, santunan kematian, biaya perjalanan pulang pergi ke stasiun kedatangan atau tujuan, biaya penggantian barang yang hilang, biaya pengobatan sampai pulih, serta santunan bagi yang cacat, tetapi tidak jelas berapa nilai ganti rugi yang harus dibayarkan. Selain itu ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu semua kerugian yang diderita korban harus bisa dibuktikan. misalnya, barang yang hilang harus ada bukti barang tersebut memang tercatat di tiket bagasi. Selain itu biaya ganti rugi tidak boleh melebihi jumlah asuransi yang ditutup oleh tergugat I serta belum dibayarkan oleh Asuransi Jasa Raharja. Menurut penulis meskipun tergugat I telah membayar uang perawatan dan santunan asuransi jasa raharja, bukan berarti menghapus sama sekali hak-hak korban atau ahli warisnya untuk menggugat ganti rugi kepada penyelenggara jasa angkutan kereta api. Selaku penyelenggara angkutan, tergugat I tetap harus bertanggung jawab. Sebab, asuransi jasa raharja adalah perikatan antara konsumen dengan perusahaan asuransi, bukan dengan penyelenggara jasa angkutan, hal ini telah sesuai dengan ketentuan pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perkeretaapian. Sifat asuransi jasa raharja adalah sosial, bukan asuransi jiwa. Artinya, pembayaran santunan oleh Asuransi Jasa Raharja tidak otomatis menutup kerugian yang dialami korban atau konsumen. Selain kerugian materil seperti hilangnya harta benda, keluarnya biaya untuk pengobatan dan perawatan, para penggugat juga telah mengalami kerugian immateriil seperti kehilangan korban jiwa, sehingga dengan demikian berdasarkan ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, para penggugat (konsumen) masih tetap berhak menuntut ganti rugi immaterial dari tergugat I atas kecelakaan tersebut.
108 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
BAB V PENUTUP D.
Kesimpulan. Dari hasil penelitian dan analisis yang penulis lakukan, diperoleh beberapa
kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat dalam tesis ini. Untuk pertama kalinya class action di Indonesia diakui pada tahun 1997, yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan
Hidup.
Setelah
Undang-Undang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup, tercatat ada 3 (tiga) Undang-Undang yang secara ekspilist mengatur dan mengakui mengenai gugatan class action yaitu (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (ii) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, dan (iii) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Di dalam keempat peraturan perundang-undangan tersebut di atas ditegaskan bahwa penerapan class action, didasarkan kepada ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku di peradilan umum. Sementara dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia yaitu HIR, ternyata tidak mengenal adanya konsep prosedur gugatan class action ini. Saat ini penerapan penggunaan mekanisme class action baru diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dalam salah satu pertimbangannya, disebutkan bahwa PERMA ini, sifatnya hanya sementara yaitu sambil menunggu adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur acara peradilan secara class action. Dalam penggunaan class action ditemukan beberapa hambatan-hambatan baik dalam proses pengajuan maupun dalam pelaksanaan isi putusan. Tidak diperlukannya surat kuasa dari wakil kelompok kepada wakil kelas sebagaimana diatur dalam pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, pada umumnya justru menjadi salah satu peluang bagi tergugat untuk mengajukan keberatan dengan mengacu pada ketentuan yang diatur dalam pasal 123 HIR yang mensyaratkan
109 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
perlu adanya kuasa khusus. Pada umumnya penggugat tidak dapat menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur class action, tidak mendeskripsikan secara jelas defenisi kelas, posita dan petitum gugatan, serta tata cara
pendistribusian
ganti
kerugian.
Masyarakat
pada
umumnya
juga
mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal standing. Belum adanya aturan atau petunjuk tentang notifikasi atau pemberitahuan dapat mengakibatkan perintah notifikasi tidak menjadi suatu prioritas atau suatu keharusan (padahal dalam sistem hukum negara lain merupakan suatu kewajiban). Hambatan juga ditemukan pada saat implementasi putusan pengadilan dalam hal distribusi ganti kerugian, apabila dalam amar putusan hakim tidak secara jelas disebutkan mengenai mekanisme pendistribusian ganti kerugian, termasuk mengenai penunjukan dan susunan tim/panel dan pengumuman pemberitahuan rencana pendistribusian ganti kerugian. Hambatan-hambatan lain berupa kesulitan dalam mengelola gugatan class action. Gugatan class action juga dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat. Publikasi gugatan class action juga dapat menyudutkan pihak tergugat. Hambatan-hambatan tersebut pada umumnya dipengaruhi oleh (1) rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai adanya hak-hak konsumen (menggunakan gugatan class action) yang dijamin oleh undang-undang khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akibat kurangnya sosialisasi, (2) tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam proses beracara di pengadilan, serta (3) belum adanya peraturan setingkat undang-undang yang mengatur mengenai tata cara pengajuan gugatan class action. Dalam gugatan yang diajukan oleh korban tabrakan antara kereta api Empu Jaya dengan kereta api Gaya Baru Malam di stasiun Ketanggungan Barat Kabupaten Brebes tanggal 25 Desember 2001, pengadilan telah mengakui penerapan mekanisme gugatan class action. Namun dalam gugatan ini masih ditemui banyak hambatan khususnya dalam pelaksanaan putusan pengadilan yaitu pendistribusian ganti kerugian. Sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam pengumuman (14 hari), hanya 5 orang dari anggota kelompok yang memberikan respons.
110 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
E.
Saran. Berdasarkan uraian pada bab II sampai dengan Bab IV sebagaimana yang
telah disimpulkan pada bagian A di atas, maka untuk ke depannya, penulis menyarankan beberapa hal yaitu : 1.
Pertama, penggunaan mekanisme gugatan class action perlu diatur dalam ketentuan setingkat undang-undang dan/atau setidak-tidaknya menyempurnakan ketentuan undang-undang yang telah ada yang mengatur mengenai gugatan class action
2.
Kedua, perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai gugatan class action
3.
Ketiga, perlu adanya publikasi yang lebih luas atas putusan-putusan pengadilan mengenai gugatan class action.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Ujang. “Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi Dalam Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara”, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII Nomor 254 (Januari 2007): 49-62. Barkatullah, Abdul Halim. Hukum Perlindunan Konsumen, Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikirian, Banjarmasin : Nusa Media, 2008. Daniel, Bony. “Legal Standing Perkembangan Dalam Hukum Acara Perdata,” Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXI Nomor 248 (Juli 2006): 47–73. Dani, AA. Himpunan Peraturan Tentang Class Action. Cet. I, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
111 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Ujang. “Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi Dalam Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara”, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII Nomor 254 (Januari 2007): 49-62. Barkatullah, Abdul Halim. Hukum Perlindunan Konsumen, Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikirian, Banjarmasin : Nusa Media, 2008. Daniel, Bony. “Legal Standing Perkembangan Dalam Hukum Acara Perdata,” Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXI Nomor 248 (Juli 2006): 47–73. Dani, AA. Himpunan Peraturan Tentang Class Action. Cet. I, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Ginting, Jamin. “Eksistensi Wakil Kelompok Dalam Gugatan Class Action Di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 – Nomor 3 Tahun 2003 : 84 90. Harahap, Krisna. Hukum Acara Perdata. Class Action, Arbitrase & Alternatif Serta Mediasi. Cet. V, Bandung : PT. Grafitri, 2007. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Cet. I. Jakarta : Sinar Grafika, 2004. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Cet. I. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia. Cet. II Edisi Revisi. Jakarta : Djambatan, 2002. Nugroho, Susanti Adi. Proses Penyelesaian Senhketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Cet. I. Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008, hal. 287. Pieris, John dan Wieik Sri Widiarty. Negara Hukum Dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kedaluarsa. Cet. I. Jakarta : Cendikia, 2007. Rhiti, Hyronimus. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Ed I. Cet.I. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2006.
1 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Samsul, Inosentius. Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Cet.I. Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Santosa, Mas Ahmad. Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), Jakarta : ICEL, 1997 Santosa, Mas Ahmad. Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Enviromental Legal Standing), Jakarta : ICEL, 1997 Santosa, Mas Ahmad. et al. Pedoman Penggunaan Class Action (Class Action). Cet. I, Jakarta : ICEL, 1999 Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen. Cet. III Edisi Revisi II. Jakarta : Grasindo, 2006. Shofie, Yusuf. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori & Praktek Penegakan Hukum. Cet. I. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Cet. I. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006 Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk). Cet. I. Jakarta : Panta Rei, 2005. Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan. Jakarta : Pancuran Alam, 2006. Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Ed III. Cet. I. Bandung : PT. Alumni, 2001. Soepramono, R. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Cet. II, Jakarta : Mandar Maju, 2005. Sundari, E. Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia Jogjakarta: Universitas Atma Jaya, 2002. Soesilo, R. RIB/HIR Dengan Penjelasannya, Bogor : Peliteia, 1989, ps.118. Sutiyoso, Bambang. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Cet. I. Yogjakarta : Citra Media, 2006. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis. Cet. III. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
2 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009
Widjaja, Gunawan. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Yuntho, Emerson. Class Action Sebuah Pengantar. (Makalah Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara X, Jakarta. Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23 Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699. Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Nomor 41 Tahun 1999, LN No.167 Tahun 1999, TLN Nomor 3888 Indonesia, Undang-Undang Tentang perkeretaapian, Nomor 23 Tahun 2007, LN Nomor 65 Tahun 2007, TLN Nomor 4722. Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Nomor 4 Tahun 2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN No.4358 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Pengawasan Partai Politik Oleh Mahkamah Agung, Nomor 2 Tahun 1999 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, Nomor 1 Tahun 2002
3 Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009