TESIS
KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANGUNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
SAMUEL CIBRO NIM 1392461026
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANGUNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meperoleh Gelar Magister pada Program Studi Kenotariatan Pascasarjana Universitas Udayana
SAMUEL CIBRO NIM: 1392461026
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 16 APRIL 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II
Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS
Dr. I Gede Artha, SH., MH.,
NIP. 19461231 197403 1 025
NIP. 19580127 198503 1 002
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana Ketua,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. NIP. 19640402 198911 2 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
PERNYATAAN PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa : Nama
: Samuel Cibro
NIM
: 1392461026
Program Studi : Kenotariatan Judul Tesis
: Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah tanpa Jangka Waktu setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 16 Maret 2015 Yang membuat pernyataan,
Samuel Cibro
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan selesainya tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah ”Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah tanpa Jangka Waktu setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2011
tentang
Perumahan
dan
Pemukiman.” Tesis ini disusun untuk memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS, selaku pembimbing pertama dan Dr. I Gede Artha, SH., MH., selaku pembimbing kedua, yang telah memberikan bimbingan dan ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswi Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, kepada Prof. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum, atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, kepada panitia penguji tesis, Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH, Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., v
M.Hum, Dr. I Made Udiana, SH., MH, yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas ilmu yang telah diberikan, rekan-rekan mahasiswa serta Bapak dan Ibu staf berserta karyawan Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah banyak membantu kelancaran proses administrasi. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada orang tua, istri dan ana-anak saya tercinta serta teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas dukungan dan sarannya untuk menyelesaikan tesis ini. Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Denpasar 16 Maret 2015 Penulis
vi
ABSTRAK KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA UNDANGUNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam suatu perjanjian tidak ada, maka perjanjian tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, oleh karenanya perjanjian ini batal demi hukum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) kekuatan hukum perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu; dan (2) konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman. Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum terdiri dari: teknik telaahan kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu tidak memiliki kekuatan hukum, karena perjanjian sewamenyewa rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa-menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum; dan (2) gugatan perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan gugatan dalam pokok perkara yang sama. Kanta Kunci : Sewa-Menyewa, Batas Waktu.
vii
ABSTRACT LEGAL CONSEQUENCES IN CLAIMS OF TIMELESS HOUSE RENTAL AGREEMENT AFTER THE ENACTMENT OF LAW NUMBER 4 1992 JO LAW NUMBER 1 YEAR 2011 ON HOUSING AND SETTLEMENTS Timeless rental agreement does not meet the essential part of a tenancy agreement that regulated in in Article 1548 of the Civil Code that is over a certain period. When the most fundamental element in an agreement does not exist, then the agreement is not binding and has no legal effect, therefore this agreement should be cencelled by the law. The objective of this research is to reveal (1) legal force of timeless house rental agreement; and (2) legal consequences in claims of timeless house rental agreement after the enactment ofof Law Number 4 year 1992 jo Law Number 1 year 2011 on housing and settlements. This type of research is a normative legal research. The research approach consists of statute approach, conceptual approach and case approach. Sources of legal materials in this study consisted of: primary, secondary and tertiary. The analysis technique used in this research is the juridical analysis, which is the analysis based on theories, concepts and legislation. The research result indicated that (1) timeless house rental agreement has no legal force, because the house rental agreement must be done with a certain time limit and all forms of house rental agreement that have been done without a certain time limit is null and void; and (2) claims of timeless house rental agreement after the enactment ofof Law Number 4 year 1992 jo Law Number 1 year 2011 on housing and settlements which has a legally enforceable can not reclaims in the same principal case. Keywords: Rental, Time Limit.
viii
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis konsekuensi hukum gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman. Bab I, menguraikan latar belakang masalah mengenai sengketa sewamenyewa tanah dan bangunan yang dilakukan secara tidak tertulis dan tanpa batas waktu (turun-temurun). Sewa-menyewa tanah dan bangunan tanpa batas waktu tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tersebut. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Sidoarjo yang memutuskan dengan Putusan Perkara Perdata Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda, kemudian banding di Pengadilan Tinggi Surabaya yang memutuskan dengan Putusan Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY. Perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah Agung dengan Penetapan Nomor: 2313 K/Pdt/2002. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian. Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum sewa menyewa. Bab ini terdiri dari Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa-Menyewa, yang dijabarkan mengenai Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa; Subjek dan Objek Perjanjian Sewa-Menyewa; Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa; Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa; dan Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa. Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah yang pertama, mengenai kekuatan hukum perjanjian sewa-menyewa tanpa jangka waktu. Bab ini dibagi menjadi 5 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa. Sub Bab kedua tentang Berakhir Sesuai dengan Batas Waktu Tertentu yang Sudah ditentukan. Sub Bab ketiga membahas Batas Akhir Sewa-Menyewa tidak Ditentukan Waktunya. Sub Bab keempat tentang Validitas Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu. Sub Bab kelima membahas Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu. Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah kedua terkait dengan Analisis Kasus Gugatan Perjanjian Sewa Rumah Tanpa Jangka Waktu. Bab ini dibagi menjadi 2 Sub Bab yang terdiri dari Sub Bab pertama tentang Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR; Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor: 205/Pdt/2001/PT. DPS; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002) yang meliputi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:07/Pdt.G./2001/PN.GIR.134 Para Pihak, Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 205/Pdt/2001/PT.Dps, Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002 dan Pembahasan Kasus Hukum. Sub Bab kedua mengenai Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Sidoarjo Jawa Timur (Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda; Putusan ix
Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001) yang meliputi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda, Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 dan Pembahasan Kasus Hukum. Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam suatu perjanjian sewa menyewa yaitu unsur batas waktu tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka perjanjian ini batal demi hukum; dan (2) Kasus sengketa sewa-menyewa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 dapat diadili oleh pengadilan mengingat kedua kasus sewa-menyewa tersebut belum pernah diajukan ke pengadilan. Gugatan perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan gugatan dalam pokok perkara yang sama. Sementara itu saran yang dapat disampaikan untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah sebaiknya dilakukan secara tertulis dan dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Jangan sampai membuat perjanjian tanpa menetapkan batas waktu untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan nantinya. Disarankan hakim cermat dalam mengadili suatu perkara perdata dan hendaknya didasarkan atas hukum atau peraturan dalam beracara, melandasi berbagai pertimbangan dan putusan dengan keadilan, selain berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku tersebut, hakim harus mendasarkan putusan pada ketentuan teori mengenai obyek sengketa khususnya, sehingga unsur-unsur subyek, obyek, alasan gugatan yang sama dapat dihindari. Karena bagaimanapun juga sengketa perdata tersebut pernah diperiksa, diputus, dan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ...............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .........................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
v
ABSTRAK ...................................................................................................
vii
ABSTRACT ..................................................................................................
viii
RINGKASAN ..............................................................................................
ix
DAFTAR ISI.................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah .....................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................
13
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................
13
1.3.1 Tujuan Umum ...........................................................................
13
1.3.2 Tujuan Khusus ...........................................................................
14
1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................................
14
1.4.1 Manfaat Teoritis .........................................................................
14
1.4.2 Manfaat Praktis ..........................................................................
15
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran .......................................
15
1.5.1 Landasan Teoritis .......................................................................
15
1.5.1.1 Konsep Kepastian Hukum..............................................
16
1.5.1.2 Teori Hukum Perjanjian .................................................
23
1.5.1.3 Teori Kekuasaan Kehakiman .........................................
29
1.5.1.4 Teori Penafsiran .............................................................
34
1.5.1.5 Yurisprudensi .................................................................
42
1.5.1.6 Asas-Asas dalam Perjanjian ...........................................
43
1.5.1.7 Konsep Perjanjian Sewa-Menyewa................................
47
xi
1.5.2 Kerangka Pemikiran ...................................................................
56
1.6 Metode Penelitian................................................................................
57
1.6.1 Jenis Penelitian ...........................................................................
57
1.6.2 Jenis Pendekatan ........................................................................
58
1.6.3 Sumber Bahan Hukum ...............................................................
59
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .........................................
60
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................................
61
BAB II TINJAUAN UMUM SEWA MENYEWA RUMAH ..................
62
2.1 Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa-Menyewa ..........................
62
2.1.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa .............
62
2.1.2 Subjek dan Objek Perjanjian Sewa-Menyewa ...........................
64
2.1.3 Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa ....
65
2.1.4 Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa ............................................
67
2.1.5 Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa...................................
71
BAB III KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANPA JANGKA WAKTU ............................................................
73
3.1 Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa .....................................
73
3.2 Berakhir Sesuai dengan Batas Waktu Tertentu yang Sudah Ditentukan ...........................................................................................
75
3.3 Batas Akhir Sewa-Menyewa tidak Ditentukan Waktunya..................
76
3.4 Validitas Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu .......
77
3.5 Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu ..................................................................................................
89
BAB IV ANALISIS KASUS GUGATAN PERJAJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU ........................................................ 4.1 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR; Putusan xii
93
Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor: 205/Pdt/2001/PT. DPS; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002)....................................
93
4.1.1 Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:07/Pdt.G./2001/ PN.GIR.134 Para Pihak .............................................................
95
4.1.2 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 205/Pdt/2001/PT.Dps 105 4.1.3 Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002 .....................
107
4.1.4 Pembahasan Kasus Hukum ........................................................
109
4.2 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Sidoarjo Jawa Timur (Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda; Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/ Pdt/2001) .............................................................................................
113
4.2.1 Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/ PN.Sda........................................................................................
114
4.2.2 Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/ PT.SBY ......................................................................................
126
4.2.3 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 ..............
128
4.2.4 Pembahasan Kasus Hukum ........................................................
140
BAB V PENUTUP .......................................................................................
149
5.1 Simpulan .............................................................................................
149
5.2 Saran ....................................................................................................
150
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
151
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ....................................................................
xiv
57
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari perbuatan hukum. Perbuatan hukum yaitu suatu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum karena akibat itu boleh dianggap menjadi kehendak dari pihak yang melakukan perbuatan itu dimana unsur kehendak merupakan elemen utama dari perbuatan tersebut. Perbuatan hukum ini dapat dilakukan oleh satu orang saja seperti misalnya perbuatan KTP, SIM dan Akte Kelahiran, namun juga dapat dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Perbuatan hukum yang dilakukan 2 (dua) orang atau lebih ini akan menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan antara 2 subjek hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban subjek hukum yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban subjek hukum yang lain. Seperti misalnya perjanjian sewa menyewa rumah, maka hubungan hukum di atas mengakibatkan munculnya hak dan kewajiban kedua belah pihak yang saling berhadap-hadapan. Perbuatan hukum sewa menyewa rumah didasarkan adanya perjanjian antara pihak yang menyewakan dengan pihak yang menyewa rumah. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1 Perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1320 1
Wirjono Prodjodikoro, R., 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal. 4.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dengan terpenuhinya empat syarat sahnya perjanjian, maka secara hukum adalah mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir dari undang-undang.2 Buku II KUH Perdata mengatur tentang kebendaan (kecuali mengenai tanah). Benda diantaranya dibedakan ke dalam benda bergerak dan benda tidak bergerak. Setiap benda dapat diberikan hak status keperdataan (hak kebendaan). Hak kebendaan adalah hak yang melekat pada kebendaan tersebut ke mana pun kebendaan tersebut beralih, pemegang hak memiliki hak atas kebendaan tersebut.3 Ada beberapa jenis hak keperdataan yang dapat dibebankan atas benda yaitu hak milik, hak sewa, hak pakai, hak gadai, hak tanggungan dan lain sebagainya. Bentuk hak-hak atas tanah dituangkan dalam bentuk praktek ekonomi atau kegiatan bisnis, dalam arti kata tanah dalam kegiatan ekonomi dapat diperoleh dengan mengadakan perjanjian. KUHPerdata mengenal berbagai perjanjian, ada 13 jenis perjanjian antara lain : (1) Perjanjian timbal balik; (2) Perjanjian cumacuma; (3) Perjanjian atas beban; (4) Perjanjian bernama; (5) Perjanjian obligatoir; (6) Perjanjian kebendaan; (7) Perjanjian konsensual; (8) Perjanjian riil; (9) Perjanjian liberatori; (10) Perjanjian pembuktian; (11) Perjanjian untung-
2
Subekti, R., 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 1. Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 229. 3
2
untungan; (12) Perjanjian publik; (13) Perjanjian campuran.4 Beberapa contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara lain seperti: jual-beli, sewa- menyewa, tukar menukar, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Perjanjian tersebut mengikat para pihak secara hukum, untuk pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum.5 Salah satu cara mendapatkan hak atas tanah adalah dengan melakukan perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata menentukan, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang”. Perikatan bersumber perjanjian dapat dibagi atas perjanjian pada umumnya dan perjanjian-perjanjian khusus.6 Perjanjian khusus, diantaranya adalah perjanjian sewamenyewa. Berdasarkan Pasal 1548 KUH Perdata bahwa Sewa-menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut
4
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66. 5 I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Ketut Artadi, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar, hal. 27. 6 Djaja S. Meliala, 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia, Bandung, hal. 1. 3
terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah: 1.
Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,
2.
Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.
3.
Adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang baik barang bergerak maupun tidak bergerak.
4.
Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut.
5.
Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu. Sewa-menyewa sebagai suatu perjanjian harus mengikuti kaidah-kaidah
hukum perjanjian. Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal. Syarat sahnya suatu perjanjian yang kesatu (sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya) dan syarat kedua (cakap untuk membuat suatu perjanjian) disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjek hukum yaitu orang-orang atau pihak-pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga (objek atau suatu hal tertentu) dan syarat keempat (sebab atau causa yang halal) disebut sebagai
4
objektif, karena menyangkut objek hukum yang diperjanjikan oleh orang-orang atau subjek hukum yang membuat perjanjian tersebut.7 Para pihak yang telah mengikatkan diri pada apa yang dinyatakan dalam perjanjian, juga mengikatkan diri terhadap segala ketentuan perundang-undangan, kepatutan, dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Oleh karena itu, faktor yang menentukan isi perjanjian adalah kesepakatan para pihak sebagai faktor primer serta faktor-faktor lain meliputi: kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Perjanjian sewa-menyewa ini merupakan persetujuan konsensual yang bebas bentuknya. Boleh diperbuat dengan persetujuan lisan atau tertulis.8 Jika sewamenyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum apabila waktu
yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu
pemberitahuan pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa-menyewa itu dibuat hanya secara lisan, pihak yang menyewakan berhak untuk menghentikan sewa itu setiap saat, sepanjang ia (pihak yang menyewakan) mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang diperlukan memberitahukan pengakhiran sewa-menyewa menurut kebiasaan setempat.
7
Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal.110. 8 Yahya Harahap, M., 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 222. 5
Berakhirnya perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara tertulis berakhir dengan sendirinya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan para pihak, sehingga apabila lama sewa-menyewa sudah ditentukan dalam persetujuan secara tertulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan (Pasal 1570 KUH Perdata). Berbeda dengan perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa tertulis, perjanjian seperti ini tidak berakhir tepat pada waktu yang diperjanjikan. Perjanjian tersebut berakhir setelah adanya “pemberitahuan” dari salah satu pihak tentang kehendak mengakhiri sewa-menyewa, dengan memperhatikan jangka waktu yang layak menurut kebiasaan setempat (Pasal 1571 KUH Perdata). Suatu perjanjian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata harus memiliki batas waktu tertentu. Batas waktu merupakan unsur yang esensial dalam suatu perjanjian sewa-menyewa. Terpenuhinya unsur esensial dalam suatu perjanjian menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji ketentuan hukum positif tertulis (perundang-undangan) dan ketentuan perjanjian yang diberlakukan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto). Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto) itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau ketentuan perjanjian.9 Sewa menyewa terhadap benda tidak bergerak seperti rumah, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghuni Rumah oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai perjanjian sewa menyewa rumah 9
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53. 6
haruslah dibuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa menyewa rumah yang telah dibuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum (nietig van rechtswege).10 Lebih lanjut Pasal 12 ayat (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 mengatur bahwa sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut. Si pemilik objek sewa-menyewa hanya menyerahkan hak pemakaian dan pemungutan hasil dari benda tersebut, sedangkan hak milik atas benda tersebut tetap berada di tangan yang menyewakan sebaliknya pihak penyewa wajib memberikan uang sewa kepada pemilik benda tersebut.11 Seringkali permasalahan hukum timbul manakala pemilik rumah bermaksud mengakhiri perjanjian karena rumah akan dipakai sendiri. Hal ini mudah saja bila perjanjian sewa menyewa rumah mencantumkan jangka waktu sewa menyewa. Begitu jangka waktu sewa menyewa berakhir pemilik bisa saja langsung meminta penyewa meninggalkan rumah yang disewanya. Dalam hal penyewa tidak bersediam meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya (Pasal 12 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
10
Tan Kamello, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, hal. 185. 11 Wirjono Prodjodikoro, R., 1981, Hukum Perdata Tentang PersetujuanPersetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, hal. 49. 7
Pemukiman). Hal tersebut lebih sulit jika perjanjian sewa menyewa tanpa jangka waktu Pemilik rumah meminta rumahnya kembali dari penyewa yang tidak bersedia meninggalkan rumahnya baik ketika jangka waktu sewa menyewa telah berakhir ataupun bagi penyewa rumah tanpa jangka waktu, pemilik rumah dapat melakukan gugatan melalui pengadilan negeri setempat. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang telah dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam keadaan semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan hukum perdata, supaya peraturan hukum perdata berjalan sebagaimana mestinya.12 Proses beracara di pengadilan tentunya tidak akan lepas dari peranan dan tugas hakim sebagai pejabat penegak hukum yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu sengketa. Di pengadilan sengketa yang diajukan tersebut akan diproses dan hakim akan menjatuhkan putusannya. Putusan hakim tersebut akan menimbulkan akibat hukum, yaitu bahwa jika kemudian muncul sengketa tentang hubungan hukum yang telah ditetapkan dengan suatu putusan hakim di mana para pihak terikat pada isi putusan tersebut. Kemampuan mengikat para pihak di kemudian hari dari putusan hakim itulah yang disebut kekuasaan putusan hakim (gezag van gewijsde).13
12
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 15. 13 Muhammad Yusuf Ibrahim, 2014, “Implementasi Asas Nebis In Idem dalam Perkara yang telah Memiliki Kekuatan Hukum tetap yang Digugat Kembali dengan Sengketa Obyek yang Sama tetapi dengan Subyek yang Berbeda”, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Vol. XII, No.1, hal. 1163. 8
Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap. Dengan putusan ini hubungan antara kedua belah pihak yang bersengketa ditetapkan untuk selama-lamanya dengan maksud supaya apabila tidak ditaati secara suka rela, dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara (dengan kekuatan hukum/inkracht van gewijsde).14 Setiap orang harus mematuhi adanya peraturan hukum. Namun di dalam suatu hubungan hukum yang terjadi, ada kemungkinan pihak yang satu tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak yang lain, sehingga pihak yang lain tersebut merasa dirugikan dan apa yang seharusnya menjadi haknya tidak dapat ia peroleh. Untuk mempertahankan hak dan kewajibannya, orang harus bertindak berdasarkan peraturan hukum yang telah ditetapkan. Apabila pihak yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri tuntutannya secara damai, maka pihak yang merasa dirugikan dapat meminta bantuan kepada hakim untuk membantu dalam penyelesaian sengketanya. Pertimbangan hakim sangat dibutuhkan dalam menjatuhkan sebuah putusan diharapkan dapat menjadi solusi atas sebuah sengketa antara para pihak yang bersangkutan. Putusan hakim diyakini mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga harus mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan. Pemilik rumah dalam hal bermaksud mengajukan gugatan terhadap penyewa yang tidak mau menyerahkan rumahnya kembali, pemilik rumah atau penggugat menghadapi kekaburan norma, yaitu Apakah penggugat akan
14
Subekti, R., 1989, Hukum Acara Perdata. Binacipta, Bandung, hal. 124. 9
menggugat berdasarkan dalil ”wanprestasi” ataukah penggugat akan menggugat berdasarkan dalil ”perbuatan melawan hukum”?. Hal ini menjadi dilema karena jika penggugat salah menggunakan norma, maka penggugat tidak bisa menggugat kembali. Kekaburan norma ini terjadi berdasarkan kondisi berikut: penyewa dikatakan telah melakukan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehinggga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya. Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah : keharusan atau kemestian bagi debitur
(penyewa) membayar ganti rugi (schade vergoeding). Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.15 Sebab dengan tindakan penyewa dalam melaksanakan kewajiban tidak tepat waktu atau tak layak, jelas merupakan pelanggaran hak pemilik/yang menyewakan. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.16 Memang hampir serupa antara onrechtmatigedaad dengan wanprestasi. Itu sebabnya dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan genus spesifik dari onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
15
M. Yahya Harahap, 2006, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 60. 16 Ibid, hal. 61. 10
Kasus dalam penelitian ini adalah perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak menetapkan batas waktu seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2313 K/Pdt/2002 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3667 K/Pdt/2001. Kedua putusan ini akan dianalisis apakah perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu dan putusan pengadilan atas perkara tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan
perundang-undangan dan ketentuan perjanjian. Sengketa kasus sewa-menyewa berawal dari suatu perjanjian yang dibuat di bawah tangan. Perjanjian tersebut mengenai urusan penggunaan tanah selamalamanya atau dalam waktu tidak terbatas, dibuat di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar pada tahun 1971 (seribu sembilan ratus tujuh puluh satu). Disebutkan dalam perjanjian tanah seluas 30 (tiga puluh) are dengan harga sewa Rp. 27.000 (dua puluh tujuh ribu rupiah) untuk jangka waktu selama-lamanya atau tidak terbatas. Sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tersebut. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Gianyar yang
memutuskan
dengan
Putusan
Perkara
Perdata
Nomor:
07/Pdt.G./2001/PN.GIR, kemudian banding di Pengadilan Tinggi Denpasar yang memutuskan dengan Putusan Nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS. Perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002. Kasus lainnya yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sengketa sewa-menyewa tanah dan bangunan yang dilakukan secara tidak tertulis dan tanpa batas waktu (turun-temurun). Sewa-menyewa tanah dan bangunan tanpa batas
11
waktu tersebut membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tersebut. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Sidoarjo
yang
memutuskan
dengan
Putusan
Perkara
Perdata
Nomor:
46/Pdt.G./2000/PN.Sda, kemudian banding di Pengadilan Tinggi Surabaya yang memutuskan dengan Putusan Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY. Perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001. Mengingat ketidakjelasan pengaturan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan
hukum
seperti
yang
telah
diuraikan
di
atas,
orang
sering
mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.17 Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan, sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan wanprestasi, sehingga untuk menghindari terjadinya gugatan yang nebis in idem, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul ”KONSEKUENSI HUKUM GUGATAN PERJAJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU SETELAH BERLAKUNYA UNDANGUNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN”. Berdasarkan hasil penelusuran orisinalitas penelitia yang telah dilakukan sebelumnya, tidak ditemukan hasil penelitian yang menyangkut masalah “Konsekuensi Hukum Gugatan Sewa Rumah Tanpa Jangka Waktu Setelah
17
Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukumdan-wanprestasi, diakses pada tanggal 5 Juli 2014. 12
Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Pemukiman” sehingga tingkat orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research questions sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? 2. Bagaimana konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah untuk menganalisis suatu isu atau peristiwa hukum. Setiap penelitian hukum yang dilakukan tentunya memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah :
1.3.1
Tujuan Umum Berdasarkan pada pokok permasalahan yang diteliti, maka yang menjadi
tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsekuensi hukum 13
gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
1.3.2
Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah
sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum perjanjian sewamenyewa rumah tanpa jangka waktu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut : 1.4.1
Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut : 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum perjanjian khususnya mengenai perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa batas waktu. 14
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para peneliti khususnya yang sedang memperdalam tentang perjanjian sewa-menyewa.
1.4.2
Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pihak-pihak yang secara tidak langsung terkait di dalamnya, antara lain : 1. Memberikan masukan atau informasi bagi para pihak yang mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah dan mensosialisasikan hasil penelitian ini ke masyarakat umum. 2. Dapat bermanfaat bagi praktisi hukum dalam menangani perjanjian sewa menyewa tanpa batas waktu yang sering terjadi dalam praktek.
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1
Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lain-lain, yang akan dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai landasan dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controleur baar).18 Teori pada dasarnya adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi kebenaran umum. Menurut Karlinger19 sebuah teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan 18
Team Penulisan Buku Pedoman, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal.53. 19 Fred N. Karlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart, hal. 16-17. 15
sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian. Teori berperan penting untuk menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan yang diinginkan. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Hukum Perjanjian, Teori Kekuasaan Kehakiman dan Teori Penafsiran. Sedangkan konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Kepastian Hukum, Konsep Yurisprudensi dan Konsep Perjanjian SewaMenyewa. Selain itu digunakan juga Asas-Asas dalam Perjanjian yang meliputi Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Konsensualisme, Asas Pacta Sunt Servanda, Asas Itikad Baik dan Asas Kepribadian.
1.5.1.1 Konsep Kepastian Hukum Konsep kepastian hukum diawali dari pengertian hukum. Pencetusnya adalah Gustav Radbruch. Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijbers : Dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.20 Kepastian dalam Konsep Kepastian Hukum memiliki arti “ketentuan; ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum 20
Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Kanisius, Yogyakarta, hal. 163. 16
menjadi Kepastian Hukum, memiliki arti “perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara.”21 Mengingat pembicaraan di sini dalam perspektif hukum, maka tema Kepastian pada prinsipnya selalu dikaitkan dengan hukum. Oleh sebab itu, pengertian Kepastian yang relevan untuk diambil di sini, yaitu pengertian kedua dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Nemun, sebelum itu, ada baiknya untuk mengetahui latar belakang pemikiran mengenai nilai Kepastian dalam hukum terlebih dahulu. Menurut Peter Mahmud Marzuki22 kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus. Kepastian (hukum) menurut Soedikno Martokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam Penegakan Hukum. Menurut Soedikno Martokusumo, Kepastian (hukum) merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseoranag akan dapat
21
Anton M. Moeliono et al., 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 652. 22 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 158. 17
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.23 Tema Kepastian (hukum) sendiri, secara historis, merupakan tema yang muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan. Konsep Pemisahan Kekuasan pada dasarnya mengandung 3 hal pokok, yakni; (1) bahwa tidak seorangpun yang diperbolehkan membentuk lebih dari satu cabang kekuasaan; (2) bahwa lembaga kekuasaan pemerintah tidak diperbolehkan mengendalikan atau mempengaruhi pelaksanaan dari fungsi cabang kekuasaan lainnya; dan (3) tiadk satupun lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi dari cabang-cabang kekuasaan lainnya.24 Dinyatakan oleh Montesquieu, bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu di tangan pembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas menyuarakan ini undang-undang saja. Kondifikasi hukum ke dalam buku-buku hukum turut menguatkan pengaruh pemikiran ini, karena para ahli hukum dewasa itu sepaham bahwa hukum yang lengkap itu adalah hukum yang ada dalam bukubuku hukum (undang-undang) yang telah dimodifikasi. pandangan yang mengikuti pemikiran Monstesquieu ini, mempengaruhi tugas hakim diperadilan pada abad 19, ketika itu, apa yang tidak pasti dalam Hukum Kebiasaan harus dihilangkan demi Kepastian (Hukum). Pendapat ini merupakan sebuah buah aliran Legisme yang berkembang kuat pada abad itu.25 Pendapat Montesquieu, yang
23
Soedikno Mertokusumo, 1992, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal. 145. 24 Wade E. C. S. and Godfrey Phillips, 1971, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practive of the Constitution Including Central and local Government, the citizen and the State and Administrative Law by Wade E.C. C. and G. Godfrey Phillips, Eighth Edition, Longman Limited Group, London. 25 L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 391-394. 18
ditulis dalam bukunya De I’esprit des lois (The Spirirt of Laws) pada tahun 1748, merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan kaum monarki, diman kepala kerajaan amat menentukan sistem hukum. Peradilan pada saat itu secara nyata menjadi pelayan monarki.26 Seorang pemikir hukum Italia Casare Beccaria pada tahun 1764, menulis buku berjudul De delitti e delle pene, yang menerapkan gagasan Montesquieu dalam bidang hukum pidana. Baginya, seseorang dapat dihukum jika tindakan itu telah duiputuskan oleh legeslatif sebelumnya, dan oleh sebab itu, eksekutif dapat menindak dan menghukum apabila terdapat seseorang yang melanggar apa yang telah diputuskan oleh pihak legislatif. Gagasannya ini kemudian dikenal sebagai asas nullum crimen sine lege, yang paa tujuannya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara terhadap kesewenang-wenangan negara.27 Pemikiran Legalitas ini oleh Immanuel Kant pada tahun 1797, di dalam bukunya “Mataphysik der Sittn (Metafisika Kesusilaan)”, mendapat tantangan yang amat kuat. Bagi Kant, kesesuaian atau ketidaksesuaian dalam tindakan hukum yang lahirlah tidak berarti memperoleh nilai moralnya. Jadi apa yang menurut atau tidak menurut hukum, tidak bisa dinilai motif moralnya, karena orang pada dasarnya tidak sanggup untuk dinilai mutlak moralitas orang lain.28
26
E. Utrecth dan Moh. Saleh Djindang, 2009, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 388. 27 Machtel Boot, 2002, Nullum Crimen Sine Lege and Subjek Matter Jurisdiction of the International Criminal Curt: Genocide, Crimes Agaist Humanity, War Crimess, Intersentia, Antwerpen, hal. 83-85; istilah lain terhadap asas ini, yang dikenal dalam Hukum Pidana di Indonesia, nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poeneli, atau asas Legalitas. Lihat dalam E. Utrecth dan Moh. Djindang, Ibid, hal. 388. 28 S. P Lili Tjahjadi, Hukum Moral, hal. 47-48. 19
Persoalan Kepastian yang diungkapkan di atas, karena selalu dikaitkan dengan hukum, memberikan konsekuensi bahwa Kepastian (Hukum) di sini selalu mempersoalkan hubungan hukum antara warga dan Negara. Padahal sebagai sebuah nilai, Kepastian (hukum) tidak semata-mata selalu berkaitan dengan Negara, karena esensi dari Kepastian (hukum) adalah masalah perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan. Maka itu, aktor-aktor yang mungkin melakukan kesewenang-wenangan, tidak terbatas pada negarasaja, tetapi juga oleh sekelompok pihak lain di luar Negara.29 Pemahaman nilai Kepastian (hukum), harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrument hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif. Bahkan peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara pun mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakannya. Pemahaman semacam inilah yang menjadi latar belakang, mengapa pengertian Kepasatian (hukum) oleh Anton M. Moeliono dan Soedikno Mertokusumo, dirumuskan seperti di atas. Prinsip kepastian hukum pada era sekarang menekankan pada penegakan hukum yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu. Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar kepatutan dan sebagainya dapat dianggap sebagai pelanggaran demi tegaknya keadilan meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang
29
Dian Jati Damayanti, Dwi Febriyanti dan Lisa Ayu Dwiyanti, 2013, “Jaminan Kepastian Hukum Terhadap Warga Negara Berdasarkan Hukum Nasional Indonesia”, Privat Law, Edisi 02, hal. 76. 20
melarangnya.30 Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan merupakan persoalan yang sudah ada sejak lama. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi Negara hukum.31 Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep Negara hukum rechstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep Negara hukum the rule of law.32 Prinsip kepastian hukum di Indonesia tidak berlaku sebagai prinsip tunggal dalam sistem hukum Indonesia. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti oleh Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, selain menerapkan bunyi undang-undang, hakim juga harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyaratakat. Hal ini berarti, selain kepastian hukum, dunia peradilan pun menekankan pada rasa keadilan.
Kesimpulan yang didapat adalah bahwa baik kepastian hukum maupun pemenuhan rasa keadilan diakomodasi di dalam sistem hukum Indonesia. Akomodasi atas keduanya kemudian menimbulkan dilema karena dalam praktek keduanya tidak diperlakukan secara integratif tetapi secara alternatif.33 Akomodasi kedua prinsip tersebut yang dalam kenyataannya sering termanifestasi menjadi prinsip yang bertentangan menimbulkan ambiguitas orientasi dan cenderung
30
Fajar Laksono, Ed., 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 91. 31 Mahfud M.D., Dilema Sifat Melawan Hukum: Kepastian Hukum atau Keadilan? Artikel dalam Fajar Laksono, Ed., Ibid, hal. 89. 32 Padmo Wahjono, 2006, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 71. 33 Mahfud M.D, Op.Cit, hal. 89. 21
kontradiktif. Aparat penegak hukum menjadi mempunyai dalih untuk memilih prinsip mana yang akan digunakan demi mencari kemenangan semata dan bukan mencari kebenaran. Permasalahan lain menurut Satjipto Rardjo adalah bahwa di Indonesia kepastian hukum seakan menjadi cap dagang dan primadona setiap wacana mengenai hukum dan peraturan-peraturan formil. Doktrin ini bermasalah karena hubungan hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Peraturan hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Hal yang sebenarnya terjadi dan mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum. Pengejawantahan doktrin ini secara ekstrim terdapat dalam prinsip ‘hakim sebagai mulut undang-undang’ yang dikemukan oleh Montesquieu. Tragedi hukum modern sebenarnya dimulai dari prinsip tersebut. Sejak hukum dituliskan, maka dalam berhukum, orang terpaku pada pembacaan peraturan. Dengan demikian memiliki resiko besar untuk meminggirkan keadilan, kemanfaatan, dan segala hal ihwal yang masuk akal (reasonableness). Jika diproyeksikan kepada tuntutan keadilan dan kemanfaatan maka kepastian hukum dapat menjadi penghambat. Apabila kepastian hukum diikuti secara mutlak maka hukum hanya akan berguna bagi hukum sendiri tetapi tidak untuk masyarakat.34 Ada juga konsep kepastian hukum yang lain dikemukakan oleh Maria S.W. Sumardjono, yang menyatakan bahwa secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara 34
Satjipto, Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
hal. 90. 22
operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.35 Kemudian menurut Van Apeldoorn kepastian hukum meliputi dua hal, yakni: 1. Kepastian hukum adalah hal yang dapat ditentukan (bepaalbaarheid) dari hukum, dalam hal-hal yang kongkrit. Pihak-pihak pencari keadilan (yustisiabelen) ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia memulai dengan perkara; 2. Kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para pihak
terhadap
kewenang-wenangan
hakim.
Roscoe
Pound
juga
menambahkan bahwa yang disebut dengan kepastian hukum adalah predictability yang artinya terukur dan dapat diperhitungkan.36
1.5.1.2 Teori Hukum Perjanjian Teori hukum perjanjian pertama kali dicetuskan oleh John Locke yaitu ketika John Locke menerangkan terbentuknya sebuah negara didasari adanya perjanjian dari masyarakat yang menginginkan berdirinya negara tersebut. Dengan demikian, tujuan berdirinya negara untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Selain itu kuasa dalam perjanjian ini adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia 35
Maria S.W Sumardjono, 1997, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti,” Makalah disampaikan dalam Seminar Kebijaksanaan Baru di Bidang Pertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan Perbankan, Jakarta 6 Agustus hal. 1. 36 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, hal.134 -135. 23
mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat yang berasal dari Tuhan. Perjanjian atau verbintenis dalam hukum perjanjian mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua atau lebih pihak yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi. Dari pengertian singkat tersebut dijumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum (rechsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.37 1.
Pengertian Perjanjian Apabila di dengar kata perjanjian, orang langsung berpikir bahwa yang
dimaksudkan adalah suatu perjanjian tertulis dan kontrak merupakan arti yang lebih sempit dari perjanjian, dimana kontrak dibuat secara tertulis. Perjanjian merupakan persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu sedangkan Kontrak merupakan Perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa-menyewa, dan sebagainya.38 Dan bila di lihat berbagai tulisan, baik buku, makalah atau tulisan ilmiah lainnya,kesan ini tidaklah salah, sebab penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis.
37
Rosa Agustina, Suharnoko, Hans Nieuwenhuis dan Jaap Hijma, 2012, Hukum Perikatan, Pustaka Larasan, Denpasar, hal. Vi. 38 Departemen Pendidikan Nasional, hal. 458-592. 24
Istilah kontrak berasal dari bahasa inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam bahasa Belanda dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari Buku III titel Kedua tentang “Perikatanperikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian” yang dalam bahasa aslinya, yaitu: “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini didukung pendapat banyak sarjana, antara lain: Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J. Satrio, Soetojo Pramirohamidjojo dan Marthalena Pohan,39 Mariam Darus Badrulzaman,40 Purwahid Patrik,41 dan Tirtodiningrat42 yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama. Subekti43 mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Sedangkan sarjana lain, potheir tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orangatau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen) atau merubah (wijzegen)
39
Soetojo Prawirohamdjojo dan Mathalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 84. 40 Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I, Alumni, Bandung, hal. 89. (Selanjutnya disingkat Badrulzaman I). 41 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum PeriKatan, Mandar Maju, Bandung, hal. 45. 42 Suryodiningrat, R.M., 1995, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, hal. 72. 43 Subekti, R., Op.Cit., hal. 1. 25
perikatan.
Sedangkan
contract
adalah
perjanjian
yang
mengharapkan
terlaksananya perikatan.44 Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, dalam penelitian ini digunakan pengertian yang sama antara kontrak dengan perjanjian. Hal ini disebabkan fokus penelitian berlandaskan pada perspektif KUH Perdata, dimana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak. Oleh karena itu dalam penelitian ini kedua istilah tersebut akan digunakan secara bersama-sama, hal ini bukan berarti menunjukkan adanya inkonsistensi penggunaaan istilah, namun semata-mata untuk memudahkan pemahaman terhadap rangkaian kalimat yang disusun. Pasal 1313 BW45 memberikan rumusan tentang kontrak atau perjanjian adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti46 memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan KMRT Tirtodiningrat47 memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.
44
Soetojo Prawirohamidjojo dan Pohan, Op.Cit., hal. 89. Terjemahan BW dalam Bahasa Indonesia merujuk pada hasil terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Yogyakarta. 46 Subekti R., Op.Cit., hal. 45. 47 Qirom Meliala, A., 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 8. 45
26
Menurut Setiawan48 rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu: a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum. Yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 BW; c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Menurut Neiwenhuis,49 perjanjian obligatoir (yang menciptakan perikatan) merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak, suatu persetujuan tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban. Pengertian kontrak atau perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 KUH Perdata, sehingga secara lengkap pengertian kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
48
Ibid, hal. 49. Niewenhuis, J.H., 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya, hal. 1. (selanjutnya disingkat Niewenhuis III). 49
27
2.
Syarat Syahnya Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi
4 syarat, yaitu: a. Adanya kata sepakat; b. Kecakapan untuk membuat perjanjian; c. Adanya suatu hal tertentu; d. Adanya causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subjektif. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objeknya suatu perjanjian.50 Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa yang demikian itu null and void. Dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum, melainkan salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang dibuat itu mengikat juga, selama tidak
50
Hasanudin Rahman, 2003, Contract Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 8. 28
dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.51
1.5.1.3 Teori Kekuasaan Kehakiman Teori kekuasaan kehakiman pencetusnya adalah Montesquieu yang membagi kekuasaan menjadi 3 (tiga) yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Legislatif berkembang menjadi kekuasaan parlemen (di Indonesia Dewan Perwakilan Rakyat), eksekutif adalah kekuasaan pemerintahan (di Indonesia Presiden dan para pembantunya) dan yudikatif menjelma menjadi kekuasaan kehakiman (di Indonesia Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya, Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya). 1.
Kekuasaan Kehakiman dalam Negara Hukum Suatu Negara disebut sebagai negara hukum yang demokratis bilamana
memiliki Kekuasaan kehakiman yang tidak saja independen tetapi juga memiliki akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa.52 Untuk mewujudkan, memastikan dan menjamin adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan akuntabel maka diperlukan mekanisme pengawasan yang bersifat internal dan eksternal di dalam sistem kekuasaan kehakiman dimaksud. Pengawasan internal dan eksternal tersebut seyogianya menjadi komplemen satu dan lainnya, terintegrasi, dan sinergis sehingga dapat mewujudkan tugas dan fungsi dari kekuasaan kehakiman. 51 52
Ibid. Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. 29
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dikemukakan dengan sangat eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bila negara hukum dikaitkan dengan teori kedaulatan hukum, maka supremasi dari suatu negara tidak terletak pada negara itu tetapi hukum. Kedaulatan hukum menempatkan negara harus tunduk dihadapannya hukum, kedaulatan negara tunduk dan mengabdi pada kedaulatan hukum karena hukum yang akan mengatur orde ketertiban masyarakat dan juga mengatur hubungan antara masyarakat dan negara. Pada konteks itu, kekuasaan politik yang dimiliki oleh otoritas negara juga harus tunduk dihadapan kedaulatan hukum. Konstitusi Indonesia juga menyatakan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan melalui Undang-Undang Dasar. Bilamana kedaulatan hukum tersebut di atas diletakkan dan berpijak pada kedaulatan rakyat, maka kedaulatan hukum bukanlah ditujukan semata-mata untuk kepentingan hukum itu sendiri, tetapi justru harus ditujukan dan berpihak bagi kepentingan masyarakat. Keberadaan kekuasaan kehakiman di dalam suatu negara hukum juga dikemukakan oleh Purwoto Gandasubrata, mantan Ketua Mahkamah Agung kedelapan, periode 1992-1994 yang dengan sangat tegas mengemukakan bahwa ” ... konsekwensi ... sebagai negara hukum, maka merupakan suatu conditio sine qua non manakala di negara kita harus ada suatu kekuasaan kehakiman atau badan peradilan yang merdeka dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum,
pengayoman
hukum,
kepastian/keadilan
30
hukum,
apabila
terjadi
pelanggaran atau sengketa hukum di dalam masyarakat”.53 Ada beberapa hal penting yang tersebut di dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berkenaan dengan Kekuasaan Kehakiman, yaitu sebagai berikut: kesatu, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan peradilan; kedua, tujuan dari penyelenggaran kekuasaan kehakiman adalan untuk menegakkan hukum dan keadilan; dan ketiga, pelaksanaan kekuakasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi. Fakta sering memperlihatkan bahwa kekuasaan atau kepentingan eksekutif mempunyai intensi untuk melakukan intervensi pada kepentingan kekuasaan kehakiman. Intervensi dimaksud menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya independen dihadapan kekuasaan. Pada kondisi sedemkian maka tidaklah
dapat
diharapkan,
kekuasaan
kehakiman
dapat
menjalankan
kekuasaannya secara merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Problem independensi ini merupakan salah satu masalah yang sangat fundamental dan mendapatkan sorotan yang sangat serius. Itu sebabnya, pada era reformasi persoalan independensi ini dirumuskan secara spesifik di dalam konstitusi maupun perundangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Secara tekstual, Undang-Undang Dasar sebelum amandemen mengatur kekuasaan kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang”; sedangkan, ”syarat-syarat untuk menjadi menjadi hakim agung dan diberhentikan 53
Purwoto Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia, hal. 65. 31
diatur dengan undang-undang” (Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum di amandemen). Rumusan teks dimaksud tidak secara eksplisit menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan peradilan. Itu sebabnya, tidak ada jaminan tidak adanya intervensi dari kekuasaan eksekutif atas institusi yudikatif. Salah satu indikasinya, potensi intervensi dimaksud dapat dilakukan melalui proses pengangkatan dan pemberhentian hakim sebagaimana diatur di dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Undang-Undang Dasar pasca amandemen lebih tegas mengatur kekuasaan kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Konstitusi dimaksud juga merumuskan secara tegas, siapa saja lembaga yang ,menjadi penyelenggara dan bagian dari kekuasaan kehakiman, merumuskan tugas dan wewenangnya serta hal lain yang berkaitan dengan pengangkatan dan syarat menjadi Hakim Konstitusi dan anggota Komisi Yudisial (Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945). 2.
Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Kemandirian suatu institusi semestinya dibangun oleh institusi itu sendiri
melalui performance yang benar-benar prima. Kemandirian yang di bentuk dari dalam (from within) akan bersifat substansial serta hakiki sehingga pada akhirnya memperoleh pengakuan dari luar. Lebih lagi, pengakuan tersebut akan sekaligus mencerminkan nilai-nilai kewibawaan. Kalaupun suatu institusi secara formal
32
dipaksakan memperolah status independen namun nyatanya masih menerima pengaruh lainnya, maka lembaga itu sama sekali tidak mandiri. Sebaliknya, suatu lembaga yang kinerjanya amat baik, integritas pelaksanaannya tidak diragukan, profesional, objektif, tegas namun adil, jelas akan memperoleh pengakuan tampa perlu menuntut independensi. Sungguh ironis sekali apabila agenda utama reformasi untuk memberantas korupsi justru semakin jauh dari sasaran karena adanya asumsi bahwa independensi institusi merupakan syarat yang tidak bisa ditinggalkan guna mencapai tujuan reformasi tersebut.54 Kemandirian peradilan, menyangkut dengan sistem kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan pada pasal 24 UUD 1945. Pasal ini menuntut serta meletakkan landasan konstitusional tentang The Independence of The Judiciary. Secara konstitusional Pasal 24 UUD 1945 menuntut dan mengkehendaki kekuasaan kehakiman : a. Yang benar-benar bersifat imparsial: Bebas dan merdeka dari pengaruh para pihak yang berperkara, serta tidak memihak kepada salah satu pihak sesuai dengan asas audi alteran partem atau must give the same opportunity to each party atau memberi kesempatan yang sama kepada setiap pihak. Memberi equal treatment atau perlakuan sama kepada para pihak atau disebut juga equal dealing (perlakuan yang sama).
54
Antonius Sujata, 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, hal.144. 33
b. Juga harus benar-benar independence from the executive power atau bebas dan merdeka dari pengaruh dan genggaman eksekutif atau penguasa.55 Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum.
1.5.1.4 Teori Penafsiran Teori penafsiran dicetuskan oleh J.A Pontier yang mengatakan bahwa agar dapat mengatur masyarakat hukum harus ditafsirkan. Penafsiran dilakukan melalui metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal di mana hakim menetapkan apa tujuan, rentang jangkauan atau fungsi dari suatu kaidah hukum, kepentingan-kepentingan apa yang hendak dilindungi oleh kaidah hukum itu, dan apakah kepentingan tersebut benar terlindungi apabila kaidah hukum itu diterapkan ke dalam suatu kasus konkret dalam konteks kemasyarakatan yang aktual. Metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal ini juga memberikan kepada hakim alternatif kemungkinan untuk menelaah apakah makna yang pada suatu saat secara umum selalu diberikan pada suatu kaidah hukum tertentu masih sesuai dengan perkembangan aktual masyarakat.56 Boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan lebih duu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi 55
Macdonal, R., F.Matcher, and H.Petzold, 1993, The European System for the protection of Human Rihgts, Kluwer Academic Publishers, The Hague, hal. 397. 56 J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung, hal. 94. 34
penjelasan gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.57 Satjipto Rahardjo mengemukakan, salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam bentuk tulisan atau litera scripta itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan sesuatu ide atau pikiran. Ide atau pikiran yang hendak dikemukakan itu ada yang menyebutnya sebagai ‘semangat’ dari suatu peraturan. Usaha untuk menggali semangat itu dengan sendirinya merupakan bagian dari keharusan yang melekat khusus pada hukum perundang-undangan yang bersifat tertulis. Usaha tersebut akan dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi atau konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan.58
Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu harus dikaji dengan hasil yang diperoleh.59 Berikut metode-metode penafsiran/interpretasi hukum yang ada :
57
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal. 93-95. Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal. 94-95. 59 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum, (Sebuah Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal. 169. 58
35
1. Penafsiran/interpretasi Gramatikal Adalah penafsiran berdasarkan tata bahasa yang dilakukan terhadap kata-kata yang tersusun di dalam bunyi dan isi peraturan perundang-undangan. Jadi kata demi kata dalam suatu peraturan perundang-undangan akan diartikan dan diberi makna serta dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari yang kemudian menghasilkan pemahaman komprehensif tentang hukum yang berlaku bagi suatu perbuatan hukum, hubungan hukum dan peristiwa hukum. Penafsiran gramatikal disebut juga metode objektif.60 2. Penafsiran/Interpretasi Historis/Sejarah Adalah penafsiran hukum yang dilakukan dengan memfokuskan diri pada sejarah pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, mulai dari munculnya gagasan sampai diundangkannya peraturan perundang-undangan
tersebut.61 Kusnu Goesniadhie memberikan dua pemahaman akan metode yang digunakan dalam interpretasi historis ini : Jika hendak memahami peraturan perundang-undangan dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interpretasi menurut sejarah hukum. Dalam hal ini yang diteliti adalah sumber-sumber hukum yang digunakan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan jika hendak menafsirkan peraturan tertentu didasarkan pada makna atau tujuan pembentuk undangundang, peraturan tertentu tersebut dengan meneliti hasil pembicaraan
60
James A. Holland and Julian S. Webb, 1991, Learning Legal Rules, Blackstone Limited, Great Britain, hal. 73, 82. 61 Tommy H. Purwaka, 2005, Fakta Perlunya Harmonisasi Prosiding Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hal. 560-563. 36
dan dokumen Dewan Perwakilan Rakyat yang mendahului terciptanya peraturan tersebut disebut interpretasi historis menurut undang-undang.62 3. Penafsiran/Interpretasi Sistematis Adalah penafsiran hukum yang dilakukan dengan memberi arti dan makna isi suatu peraturan perundang-undangan mulai dari apa yang terkandung di dalam judul, menimbang, mengingat, memutuskan, bunyi pasal demi pasal, penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Judul dapat ditafsirkan secara gramatikal, fokus penafsiran hukum terhadap poin menimbang adalah pemahaman tentang landasan filosofis dan sosiologis suatu peraturan perundang-undangan. Titik berat dari penafsiran hukum terhadap poin mengingat adalah pemahaman tentang landasan yuridis suatu peraturan perundang-undangan.63 Fokus penafsiran hukum terhadap bunyi pasal demi pasal adalah mencari makna hukum yang terkandung di dalam sistematika kerangka pemikiran dari pembentuk peraturan perundang-undangan. Fokus penafsiran hukum terhadap isi penjelasan umum adalah untuk mengetahui makna hukum secara umum dari suatu peraturan perundang-undangan. Fokus penafsiran hukum terhadap isi penjelasan pasal demi pasal adalah untuk memperjelas materi hukum yang sudah dijelaskan dan menjelaskan hal-hal yang dijelaskan sebagai cukup jelas.64
62
Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik, Penerbit A3 dan Nasa Media, Malang, hal. 134143. 63 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 13. 64 Ibid. 37
4. Penafsiran/Interpretasi Teleologis atau Sosiologis Adalah penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan perkembangan aspirasi rakyat dan situasi/kondisi masyarakat. Penafsiran teleologis ini berusaha menafsirkan isi peraturan perundang-undangan dengan memaknai perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.65 5. Interpretasi/Penafsiran Komparatif Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan hukum. Tujuan hakim memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari kejelasan
mengenai
makna
dari
suatu
ketentuan
Undang-Undang.66
Interpretasi perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan penerapan asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan perundangundangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di samping perbandingan tentang latar-belakang atau sejarah pembentukan hukumnya. 6. Interpretasi/Penafsiran Antisipatif/Futuristis Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan Undang-Undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.67 Dengan demikian, interpretasi ini lebih bersifat ius constituendum (hukum atau Undang-Undang yang dicitakan) daripada ius constitutum (hukum atau Undang-Undang yang berlaku pada saat sekarang). 65
Charles Sampford (Ed.), 2006, Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions, The Ferderation Press, Sydney, hal. 14. 66 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 19. 67 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 19. 38
7. Interpretasi/Penafsiran Otentik Interpretasi/penafsiran otentik tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan metode-metode interpretasi lainnya oleh karena interpretasi/penafsiran otentik bukanlah metode penemuan hukum oleh hakim, melainkan merupakan penafsiran oleh pembentuk undang-undang yang dimuat oleh undangundang.68 Berdasarkan hasil atau akibat penemuan hukum pelbagai metode interpretasi/penafsiran dapat dibedakan antara interpretasi/penafsiran restriktif (membatasi) dan ekstensif (diperluas). Suatu peraturan hanya dapat ditetapkan dengan jalan penjelasan atau penafsiran. Baru kemudian dapat dilihat apakah itu diperluas atau dipersempit. Pada umumnya metode interpretasi/penafsiran gramatikal itu bersifat membatasi, interpretasi/penafsiran historis menurut undang-undang bersifat memperluas, interpretasi/penafsiran teleologis sifatnya memperluas, sedangkan metode interpretasi/penafsiran sistematis bersifat membatasi. Di samping beberapa metode penafsiran sebagaimana tersebut di atas, berdasarkan dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 1. metode penafsiran restriktif; dan 2. metode penfasiran ekstensif. Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan Undang-Undang, ruang lingkup
68
James A. Holland and Julian S. Webb, Op.Cit., hal. 8. 39
ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan itu sendiri. Sedangkan interpretasi ekstensif adalah penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.69 Metode-metode interpretasi yang telah diuraikan di atas secara sederhana dapat dikelompokkan berdasarkan dua pendekatan, yaitu (1) the textualist approach (focus on
text)
dan (2)
the
purposive approach
(focus on purposes).
Interpretasi/penafsiran gramatikal dan otentik ternasuk kategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi/penafsiran lainnya mengacu kepada pendekatan kedua. Metode interpretasi konstitusi yang satu dapat digunakan oleh hakim bersama-sama dengan metode penafsiran konstitusi yang lainnya. Tidak ada keharusan bagi hakim
hanya boleh memilih dan menggunakan satu metode interpretasi konstitusi tertentu saja, misalnya hanya memilih dan menggunakan metode penafsiran ‘originalisme’ yang mendasarkan diri pada original intent. Hakim dapat menggunakan beberapa metode interpretasi konstitusi itu secara bersamaan. Pada umumnya dikatakan, bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan UndangUndang paling tidak akan terdapat unsur-unsur gramatikal, sistematis, teleologis dan historis.70 69 70
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 19-20. J.A. Pontier, Op.Cit., hal. 94. 40
Pemanfaatan metode-metode interpretasi yang beragam dalam praktik peradilan, dan tidak adanya tatanan yang hierarkis di antara metode-metode itu menurut J.A. Pontier mengimplikasikan kebebasan hakim yang luas untuk mengambil keputusan.71 Apalagi pembentuk Undang-Undang (dalam hal ini lembaga legislatif) ternyata juga memberikan kebebasan kepada hakim dalam derajat yang cukup tinggi untuk menterjemahkannya lebih lanjut ke dalam kasus. Dalam menjalankan kekuasaannya di bidang peradilan misalnya, Undang-Undang memerintahkan agar:
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Oleh karena itu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Penelitian
ini
menggunakan
penafsiran
hukum
sistematis
untuk
menganalisis gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman diperlukan penafsiran untuk mencari makna hukum yang terkandung di dalam sistematika kerangka pemikiran dari pembentuk peraturan perundang-undangan, menafsirkan isi peraturan perundang-undangan dengan memaknai perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di 71
J.A. Pontier, Op.Cit., hal. 94. 41
berbagai negara dan penafsiran untuk mengantisipasi peraturan-peraturan yang diperlukan di masa yang akan datang (ius constituendum).
1.5.1.5 Yurisprudensi Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicate rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal kongkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun dengan memberikan keputusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.72 Yurisprudensi merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. Jadi putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat orang secara umum seperti undang-undang. Bedanya dengan undang-undang adalah putusan pengadilan berisi peraturan-peraturan yang bersifat kongkret karena hanya mengikat orang-orang tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak karena mengikat setiap orang. Yuriprudensi sebagai sumber Hukum formal sangat erat kaitannya dengan tugas Hakim. Pada dasarnya “Hakim harus menyatakan Hukum berdasarkan UU “ dan “Hakim tidak boleh menolak untuk memutuskan tiap-tiap perkara yang dihadapkan kepadanya”. Di dalam daerah Hukumnya, seorang Hakim memiliki kedudukkan “Souverein”. Oleh sebab itu dalam melaksanakan tugasnya seorang Hakim berkewajiban mengikuti putusan-putusan Hakim yang lebih tinggi.
72
Komariah Emong Supradjaja, 2002, Perkembangan Penerapan dalam Yurisprudensi di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 62. 42
Yurisprudensi merupakan putusan hakim yang kemudian dijadikan dasar untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa dikemudian hari. Biasanya hal ini akan terjadi jika telah terjadi beberapa kali kasus yang serupa dan untuk kasus-kasus itu hakim selalu memeberikan keputusan dengan cara yang kurang lebih sama. Perulangan itu menimbulkan rasa keharusan untuk memutuskan dengan cara yang sama setiap kali kasus serupa terjadi. Dengan demikian terbentuk hukum melalui keputusan hakim (hukum hakim, rechterrecht, judge made law).73
1.5.1.6 Asas-Asas dalam Perjanjian Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Asas hukum perjanjian ini merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.74 Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Jadi, dalam pasal ini terkandung tiga macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. 73
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu. 2007, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, hal. 64. 74 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 26. 43
1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:75 a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.76
75
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4. 76 Ibid., hal. 4 44
2. Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam istilah ”semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.77
Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.78 Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syaratsyarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil.79 3. Asas Pacta Sunt Servanda 77
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 113. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2002, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 28. 79 Ibid. 78
45
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat ”berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya ”hakim” untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal : a. Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang; b. Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. 4. Asas Itikad Baik Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. Menurut Subekti,80 pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif). Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338
80
R., Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 42. 46
ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. 5. Asas Kepribadian Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Dalam Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjianperjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.81
1.5.1.7 Konsep Perjanjian Sewa-Menyewa 1. Hakikat Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Hukum, hak dan kewajiban memiliki hubungan keterkaitan dalam lalu lintas kegiatan ekonomi. Hukum itu memberikan perlindungan pada kepentingan manusia dan membagi hak dan kewajiban. Hak merupakan kenikmatan dan keleluasaan serta kewajiban merupakan beban. Dalam hubungan sewa menyewa yang menyewakan memberi hak pemakaian saja kepada penyewa dan bukan hak milik. Perjanjian sewa menyewa tidak memberikan suatu hak kebendaan, tetapi
81
S. Imran, 2007, Asas-Asas dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis Yuridis pada Hukum Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 35. 47
hanya memberi suatu hak perseorangan, terhadap yang menyewakan ada hak “persoonlijk” terhadap pemilik, akan tetapi hak orang yang menyewakan ini mengenai suatu benda, yaitu suatu barang yang disewakan.82 Definisi Pasal 1548 KUH Perdata dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) unsur yang melekat, yaitu: a. Barang. b. Jangka waktu. c. Pembayaran. Perjanjian sewa menyewa, seperti halnya perjanjian jual-beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah perjanjian konsensuil. Artinya, ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsurunsur pokok, yaitu barang dan harga. Dalam perjanjian sewa-menyewa dikenal dengan adanya kewajiban pihak yang satu menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan pihak yang terakhir harus membayar sewa. Jelas, bahwa barang tersebut diserahkan bukan untuk dimiliki, melainkan hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaanya. Dengan kata lain bahwa penyerahan itu hanya penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang disewa.83 Disebutkannya “waktu tertentu” dalam uraian Pasal 1548 KUH Perdata, menimbulkan pertanyaan apa yang dimaksud dengan waktu tertentu, sebab tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang itu disewanya, asal sudah disetujui berapa harga sewanya untuk satu hari, satu bulan atau satu tahun. Tetapi terdapat
82 83
R., Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 36. R. Setiawan, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung,
hal. 17. 48
suatu petunjuk dalam Pasal 1579 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali telah diperjanjikan sebaliknya. Pasal 1548 ini hanya dapat ditujukan dan hanya dapat dipakai terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu tertentu, dan pada hakekatnya perjanjian sewa-menyewa tidak untuk berlangsung terus-menerus.84 Perjanjian sewa menyewa selalu terdapat 2 (dua) belah pihak yang selalu mengikatkan diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang menjadi subjek sewa menyewa. Subjek sewa menyewa merupakan subjek hukum dimana subjek hukum ini ada 2 (dua) yaitu : orang pribadi dan badan hukum. Hubungan hukum terjadi antara dua orang atau lebih, pihak yang aktif adalah kreditur atau siberpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang.85 Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Menurut Suroso subjek hukum adalah : Sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak (rechtsbevoedgheid) dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.86 Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan suatu perikatan yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian, jadi perikatan yang telah
84
Ibid. Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas Hukum USU, Medan, hal.3. 86 R. Suroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 223. 85
49
dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian khususnya perjanjian sewa menyewa ini. Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.87 Perjanjian sewa menyewa diatur dalam ketentuan Buku Ketiga Bab Ketujuh Pasal 1548 sampai Pasal 1600 KUH Perdata.88 Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUH Perdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.89 Pasal 1548 KUH Perdata menyebutkan bahwa sewa menyewa ialah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu
87
R. Wirjono Prodjodikoro, 1987, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.53. 88 R. Subekti, Op. Cit, hal. 1. 89 R. Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 123. 50
tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.90 Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.91 Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah: “Suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan”.92 Adapun pengertian perjanjian sewa menyewa menurut Yahya Harahap adalah sebagai berikut : “Perjanjian sewa menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya”.93 Jikalau ditinjau perjanjian sewa menyewa ini adalah merupakan suatu jenis perjanjian yang bebas bentuknya, artinya perjanjian tersebut dapat diperbuat baik secara lisan maupun tertulis tergantung kesepakatan 90
Hasanudin Rahman, Op.Cit, hal. 29. R., Subekti, Op.Cit., hal. 1. 92 R., Subekti, Op.Cit., hal. 164. 93 M., Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 220. 91
51
antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan, akan tetapi segala bentuk perjanjian sewa menyewa khususnya perjanjian sewa menyewa rumah sebaiknya diperbuat secara tertulis dengan tujuan untuk lebih dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Terhadap syarat esensial dalam perjanjian sewa menyewa ini, yakni mengenai harga sewa atau sewa haruslah tertentu atau segala sesuatu yang dapat ditentukan dan biasanya harus ditentukan secara tegas perjanjian yaitu dengan penetapan besarnya uang sewa menyewa harus dibayar kepada pihak yang menyewakan. Jangka waktu atau lamanya sewa dapat saja ditentukan secara jelas dalam perjanjian, atau dengan kata lain tidak perlu disebutkan untuk berapa lamakah barang tersebut akan disewa oleh pihak penyewa, tetap telah disetujui oleh kedua belah pihak baik penyewa maupun yang disewakan dalam setiap bulan atau tahunnya.
Jika diperhatikan sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat perseorangan dari bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan perjanjian sewa menyewa ini, kepemilikan terhadap rumah sewa tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tapi tetap menjadi hak milik dari orang yang menyewakan.94 Subekti menyatakan bahwa : Jika ada suatu perjanjian sewa menyewa rumah yang belum habis masa sewanya. Oleh pemilik rumah atau yang menyewakan melakukan tindakan hukum menjual rumah yang disewakan tersebut, maka pihak penyewa tidak berhak melakukan penuntutan ganti rugi. Namun sebaliknya, bila diperjanjikan secara tegas, maka pihak penyewa dapat melakukan tuntutan hukum ganti rugi kepada pihak penyewa.95
94 95
Qirom Meliala, A., Ibid, hal. 8. Subekti, R., Op.Cit., hal. 2. 52
Asas-asas hukum perjanjian sewa menyewa tercantum dalam Pasal 1548 KUH Perdata yang menyatakan bahwa sewa menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri yang saling memberi prestasi dan tegen prestasi yaitu pihak yang menyewakan memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak penyewa memberikan tegen prestasi berupa pembayaran sesuatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Berdasarkan asas hukum perjanjian sewa menyewa tersebut di atas terdapat unsur-unsur dari sewa menyewa yang antara lain adalah : a. merupakan suatu perjanjian. b. terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri c. pihak yang satu memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak yang lain membayar pada sesuatu harga atas kenikmatan yang diperolehnya dari barang tersebut. 2. Obyek Sewa Menyewa Perjanjian sewa menyewa mengandung adanya sesuatu yang menjadi objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah merupakan objek hukum. Yang dimaksud dengan objek hukum (recht subject) adalah : segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum.96 Demikian pula halnya dengan
96
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 68. 53
yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa ini meliputi segala jenis benda baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak asal tidak dilarang oleh UndangUndang dan ketertiban umum.97 Peraturan tentang sewa menyewa, berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.98 Menurut Pasal 1549 KUH Perdata bahwa semua jenis barang, baik yang tak bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan. Basrah Lubis mengemukakan bahwa :
Jika benda yang disewa itu musnah sewaktu terjadinya sewa menyewa karena overmacht maka perikatan sewa menyewa batal demi hukum, dan pihak penyewa tidak berhak atas ganti rugi, baik benda tersebut secara keseluruhan maupun sebahagian. Apapun pernyataannya batalnya perjanjian itu tidak perlu dimintakan pernyataan dan resiko atas musnahnya objek sewa menyewa secara keseluruhan adalah pihak yang menyewakan (pemilik hak atas benda) serta tidak dapat meminta atau menuntut pembayaran uang sewa kepada pihak penyewa atau dengan tegasnya uang sewa dengan sendirinya gugur, dan sebaliknya pihak penyewa tidak dapat menuntut penggantian barang ataupun ganti rugi dari pihak yang menyewakan (Pasal 1553 Kitab UndangUndang Hukum Perdata).99 3. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa Meskipun sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensuil, namun oleh Undang-Undang diadakan perbedaan dalam akibat-akibatnya antara sewa-menyewa secara tertulis dan sewa-menyewa secara lisan. Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewamenyewa itu “berakhir demi hukum (otomatis)”, apabila 97
Qirom S., Meliala, Op. Cit., hal. 78. Wirjono Prodjodikoro, R., Op. Cit., hal. 4. 99 Basrah Lubis, 1993, Sewa Menyewa dan Pembahasan Kasus, Diktat Kuliah FH USU, Medan, hal. 43. 98
54
waktu yang telah ditentukan telah habis, tanpa harus dilakukannya suatu pemberitahuan pemberhentian. Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat secara tulisan, maka itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa, bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada
pemberitahuan sebelumnya, maka dianggap bahwa sewa-menyewa itu akan diperpanjang untuk waktu yang sama.100 Mengenai peraturan sewa-menyewa secara tertulis dapat dilihat dalam Pasal 1570 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan untuk itu. Sedangkan mengenai peraturan sewa-menyewa lisan, dapat dilihat dalam Pasal 1571 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”. Selain peraturan di atas, perjanjian sewa-menyewa dapat berakhir karena barang yang diperjanjikan musnah di luar kesalahan salah satu pihak.101 Selain pembedaan bentuk perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan tertulis, pembedaan bentuk tersebut, dapat juga dilakukan melalui pembedaan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta otentik (authentieke akte) dengan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta di bawah tangan 100 101
R. Subekti, Op.Cit, hal. 15. R. Subekti, Op.Cit, hal. 15. 55
(onderhands). Jika dibuat dengan akta otentik maka, dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dan apabila kebenarannya dibantah, si penyangkal yang harus memikul beban pembuktian (the burden of proof), untuk membuktikan ketidakbenaran sangkalan/dalilnya. Sedangkan apabila dibuat dengan akta dibawah tangan maka, bentuk akta tidak terikat bentuk formal. Akta dibawah tangan dapat dibuat dengan bebas oleh setiap subyek hukum yang berkepentingan, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh penandatangan, dan apabila kebenaran dibantah, pihak yang membantah yang memikul beban pembuktian (the burden of proof), yang harus membuktikan kebenaran bantahan/dalilnya.102
1.5.2
Kerangka Pemikiran Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teori yang
telah dikemukakan, maka digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
102
R. Subekti, Op.Cit, hal. 47. 56
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Teori Kepastian Hukum
Konsekuensi Hukum Gugatan Perjanjian Sewa Rumah tanpa Jangka Waktu setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman
Teori Hukum Perjanjian
Perjanjian Sewa Menyewa Rumah
Konsep Perjanjian Sewa Menyewa
Wanprestasi dan tidak adanya Itikad Baik dari Penyewa untuk mengembalikan rumah sewa
Teori Kekuasaan Kehakiman
Gugat ke Pengadilan
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
Analisis Hukum
Kesimpulan dan Saran
1.6 Metode Penelitian 1.6.1
Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat yuridis normatif
yaitu suatu metode yang bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan fakta tentang konsekuensi hukum gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman, yang berupa data
57
sekunder dan dianalisis dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.103 Pada satu sisi, penelitian ini tidak dimaksudkan hanya untuk melakukan penjajakan (eskploratif) terhadap persoalan penelitian, walaupun data awal sudah tersedia tetapi masih belum memadai.
1.6.2 Jenis Pendekatan Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.104 Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu :105 1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). 2. Pendekatan Konsep (conceptual approach). 3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). 4. Pendekatan Historis (historical approach). 5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach). 6. Pendekatan Kasus (case approach). Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai.
103
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Cetakan ke IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 97. 104 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Cet.I, Alumni, Bandung, hal. 74. 105 Johnny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 300-301. 58
Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach),
pendekatan
konsep
(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
1.6.3
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini ditunjang data
sekunder, yaitu data yang diambil secara tidak langsung atau yang telah terlebih dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari penelitian sendiri. Adapun data sekunder terdiri dari:106 1.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
106
Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18. 59
e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman. 2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.107
3.
Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,108 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.109
1.6.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam pengumpulan data ini harus ditegaskan permasalahan mengenai
jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-
107
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 24. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15. 109 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23. 108
60
perspektif,110 dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai
objek
penelitian,
baik
secara
konvensional
maupun
dengan
menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.111
1.6.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Data yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara sistematis dan
untuk selanjutnya data tersebut dianalisis, secara analisis kualitatif. Yang dimaksud analisis kualitatif, yaitu analisis yang berupa kalimat dan uraian.112 Metode yang digunakan adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan. Setelah itu data yang diperoleh disusun secara sistematis dan untuk selanjutnya analisis kualitatif dipakai untuk mencapai penjelasan yang dibahas. Penggunaan teori-teori (dan konsep-konsep, penelitian) dalam menafsirkan hasil analisis bahan-bahan hukum bersifat normatif-prespektif, bertujuan menghasilkan, menstrukturkan dan mensistematisasi
teori-teori
yang
menjadi
dasar
untuk
pengambilan
kesimpulan,113 sehingga tujuan akhir penelitian hukum ini dapat tercapai, yaitu ditemukannya jawaban permasalahan mengenai konsekuensi hukum gugatan perjajian sewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman. 110
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,
hal. 194. 111
Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 323-324. Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta, hal. 188. 113 Van Hoecke, M., dalam Bernard Arief Sidharta, 2001, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 154-155. 112
61
BAB II TINJAUAN UMUM SEWA MENYEWA
2.1 Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa-Menyewa 2.1.1
Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa Salah satu bentuk perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata adalah
perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual yang bebas bentuknya. Boleh dibuat dengan persetujuan lisan atau tertulis. Objek persetujuan sewamenyewa meliputi segala jenis benda, baik atas benda berwujud, tak berwujud, maupun benda bergerak dan tidak bergerak. Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata yang dimaksud dengan sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. Definisi yang lain dari perjanjian sewa-menyewa diungkapkan oleh Subekti114 yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk
114
Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Cet. XXIII, PT. Intermasa, Jakarta,
hal. 90. 62
pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Menurut M.Yahya Harahap115, perjanjian sewamenyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Perjanjian sewa-menyewa adalah “penikmatan” atas suatu barang dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Penikmatan itu tidak terbatas sifatnya. Seluruh kenikmatan yang dapatdikecap dari barang yang disewa, harus diperuntukkan bagi si penyewa. Sewa-meyewa pada dasarnya dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu juga karena barang yang disewakan dipindahtangankan. Disini berlaku asas bahwa jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa.116 Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa adalah: 1. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian 2. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan) 3. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat (pihak yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat (pihak penyewa) 115
M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.220. 116 Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58-59. 63
4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut 5. Adanya jangka waktu. KUHPerdata tidak secara tegas menentukan tentang bentuk perjanjian sewamenyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu, perjanjian sewamenyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan.Dalam perjanjian sewamenyewa tanah, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian tersebut telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau notaris.
2.1.2
Subjek dan Objek Perjanjian Sewa-Menyewa Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:
1. Pihak yang menyewakan 2. Pihak penyewa Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak lainya untuk dinikmati kegunaan benda tersebut kepada penyewa. Pihak yang menyewakan barang atau benda tidak harus pemilik benda sendiri tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan untuk memindahkan pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut dikarenakan di dalam sewa menyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu barang melainkan hanya pemakaian atau pemungutan atas hasil dari barang yang disewakan. Pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan. Objek barang yang dapat disewakan adalah barang bertubuh saja, namun ada pendapat lain yang berpendapat bahwa tidak hanya barang-barang
64
yang bertubuh saja yang dapat menjadi objek sewa melainkan hak-hak juga dapat disewa.117 Tujuan
dari
diadakanya
perjanjian
sewa-menyewa
adalah
untuk
memberikan hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang bukan bersetatus hak milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai hak atas benda tersebut. Jadi benda yang dapat disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak mengunakan hasil, hak pakai, hak sewa (hak sewa kedua) dan hak guna bangunan. Subekti berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tidaklah menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun jasa.118 Jadi objek dari perjanjian sewa-menyewa adalah segala jenis benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda tidak berwujud.
2.1.3
Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa
1. Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah ditentukan. Pasal 1550 KUHPerdata menentukan tiga macam kewajiban pihak yang menyewakan. Ketiga macam kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang harus dibebankan pada pihak yang menyewakan, sekalipun hal itu tidak ditentukan dalam perjanjian119: 117
Wirjono Projodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang PersetujuanPersetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, hal. 190. 118 Subekti, Op.Cit., hal. 40. 119 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal 223. 65
a. Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada pihak penyewa; b. Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara barang yang disewa selama waktu yang diperjanjikan, sehingga barang yang disewa tadi tetap dapat dipergunakan, dan dinikmati sesuai dengan hajat yang dimaksud penyewa; c. Pihak yang menyewakan wajib memberi ketentraman kepada si penyewa menikmati barang yang disewa, selama perjanjian sewa berlangsung. Kewajiban ketiga yakni memberi penikmatan yang tentram bagi pihak si penyewa, selama jangka waktu perjanjian sewa-menyewa berjalan. Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menjamin tentang gangguan atau rintangan yang menggangu penyewa menikmati obyek sewa yang disebabkan suatu tuntutan hukum yang bersangkutan dengan hak milik atas barangnya. Jika terjadi yang demikian, maka penyewa berhak menuntut suatu pengurangan harga sewa menurut imbangan, asalkan
ganguan dan rintangan tersebut telah diberitahukan kepada pemilik (Pasal 1557 KUHPerdata). 2. Hak dan kewajiban pihak penyewa Selain pihak yang menyewakan mempunyai hak dan kewajiban, pihak penyewa pun mempunyai hak dan kewajiban atas barang yang disewanya yang perlu diperhatikan pula, bahwa kewajiban si penyewa terhadap yang menyewakan, antara lain sebagai berikut :
66
a. Menjaga pemakaian barang yang disewakan dengan sangat berhatihati sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab, menurut tujuan dan maksud persetujuan mengenai itu menurut yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan. b. Bila jangka waktu perjanjian sewa-menywa sudah habis maka penyewa wajib mengembalikan barang yang disewanya dalam keadaan seperti semula. c. Untuk membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal 1560 KUH Perdata). Begitu pula dengan pihak penyewa selain mempunyai kewajiban berhak pula atas barang yang disewanya, sebagai berikut : a. Menyerahkan barang atau benda dalam keadaan baik dan terpelihara sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluannya. b. Jaminan dari pihak yang menyewakan terhadap semua cacat dari barang yang disewakan, yang dapat merintangi penggunaan barang tersebut.
c. Jaminan dari pihak yang menyewakan mengenai kenikmatan cacat tersembunyi dan tidak ada hak dari pihak ketiga atas benda sewa. d. Berhak menuntut pengurangan harga sewa menurut pertimbangan, apabila si penyewa diganggu dalam kenikmatan disebabkan satu tuntutan hukum yang berdasarkan hak terhadap barang sewa asalkan gangguan tersebut telah diberitahukan secara sah kepada pihak yang menyewakan (Pasal 1561, 1564 dan 1566 KUH Perdata).
2.1.4
Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tunduk pada asas konsensualitas.
Konsesualitas sendiri berasal dari bahasa latin “consensus”, yang artinya sepakat. Namun bukan berarti asas konsensualitas merupakan suatu perjanjian diisyaratkan
67
adanya kesepakatan. Dimaksud dengan asas konsensualitas adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan timbul sejak detik tercapainya kesepakatan.120 Meskipun perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh KUH Perdata diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara sewa tertulis dan sewa lisan. Jika perjanjian sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis maka sewa-menyewa berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan
sudah
habis
tanpa
diperlukannya
sesuatu
pemberitahuan
pemberhentian untuk itu. Sebaliknya jika perjanjian sewa-menyewa tidak dibuat dengan tertulis maka sewa itu tidak berahir pada waktu yang ditentukan, tapi jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa dia hendak mengehentikan sewanya, pemberitahuan tersebut harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan. Jika tidak ada pemberitahuan tersebut, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa menyewa secara tertulis diatur dalam Pasal 1570 sedangkan perihal sewa menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal 1571.121 Penegasan perjanjian sewa menyewa rumah ini adalah sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik, disebutkan segala bentuk perjanjian sewa menyewa rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum.
120 121
R. Subekti, Op.Cit, hal. 9. R. Subekti, Op.Cit, hal. 9. 68
Hal ini dipertegas di dalam Pasal 10 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik yang mengatur dalam hal kesepakatan tentang batas waktu yang diperjanjikan. Perihal sewa tertulis itu diatur dalam Pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan perihal sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu sewa yang ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan menempati rumah atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu tetap menguasai barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan tak dapatlah ia meninggalkan rumah atau ruangan itu atau dikeluarkan dari situ, melainkan sesudahnya dilalukan pemberitahuan penghentian sewanya menurut kebiasaan setempat (Pasal 1587 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Berdasarkan uraian tersebut dimaksudkan bahwa sewa tertulis tersebut, setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah sewa, berubah menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut adat kebiasaan setempat. Berkenaan dengan Pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang telah ditentukan telah lampau, tanpa diperlakukannya sesuatu pemberhentian untuk itu.
69
Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.
Pasal 1579 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya. Berdasarkan ketentuan kedua Pasal tersebut di atas Pasal 1578 dan Pasal 1579 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, jelas bahwa dalam perjanjian sewa menyewa yang telah diperjanjikan terlebih dahulu tidak dibenarkan untuk memaksa si penyewa untuk mengosongkan barang yang disewa dengan alasan barang tersebut akan dijual atau akan dipergunakan sendiri oleh pemilik barang yang disewa tersebut. Ketika barang yang disewa oleh si penyewa tersebut akan dijual, maka pemilik barang yang disewa harus terlebih dahulu memberikan pemberitahuan kepada si penyewa jauh hari sebelum waktu penjualan barang tersebut tiba. Dalam praktek pelaksanaan perjanjian sewa menyewa pada umumnya, di dalam klausul bila barang yang disewa tersebut akan dijual oleh pemilik barang yang disewa tersebut dicantumkan secara tegas dalam perjanjian tertulis tersebut dengan mencantumkan pula syarat-syarat yang harus disepakati kedua belah pihak yaitu pemilik sewa dan
penyewa untuk dapat terlaksananya penjualan barang yang disewa tersebut.122 122
Soedjono Dirdjosisworo, 2002, Misteri di Balik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung, hal. 37. 70
Perjanjian sewa menyewa antara debitur dengan pihak ketiga dibuat secara Notariil melalui Notaris yang telah ditunjuk oleh kreditur (Bank) sesuai dengan kebijakan Bank yang meminta perjanjian tersebut dibuat secara notariil.
2.1.5
Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh
suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek dari suatu perjanjian.123 Risiko merupakan suatu akibat dari suatu keadaan yang memaksa (overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Pembebanan risiko terhadap objek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang/objek sewa. Musnahnya barang yang menjadi objek perjajian sewamenyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : 1. Musnah secara total (seluruhnya) Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan sebagai mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian kecil dari barang tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa 123
Subekti, Op.Cit., hal.92. 71
berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal. 2. Musnah sebagian Barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan dinikmati kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika objek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu : a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan harga sewa. b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.
72
BAB III KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANPA JANGKA WAKTU
Teori yang digunakan dalam mengkaji masalah kekuatan hukum perjanjian sewa menyewa rumah tanpa jangka waktu adalah teori kepastian hukum, mengingat dalam perjanjian sewa menyewa tanpa jangka waktu tidak memiliki kepastian hukum, khususnya mengenai kapan berakhirnya sewa menyewa itu. Sebagai akibat dari tidak adanya kepastian hukum tersebut maka perjanjian sewa menyewa tanpa batas waktu tidak memiliki kekuatan hukum. Selain teori kepastian hukum, untuk mengkaji masalah ini digunakan konsep perjanjian sewa menyewa.
3.1 Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa Perjanjian berakhir secara umum diatur di dalam undang-undang. Penentuan berakhirnya perjanjian sewa-menyewa terkait dengan bentuk perjanjian. Ketentuan hukum perjanjian sewa-menyewa di dalam KUH Perdata membedakan antara perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan tertulis. Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa: 1. Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan: a. Perjanjian sewa-menyewa tertulis Diatur didaam pasal 1570 KUH Perdata yang berbunyi:
73
“jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum,
apabila waktu
yang
ditentukan
telah
lampau
tanpa
diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu”. b. Perjanjian sewa-menyewa lisan Diatur dalam pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan
bahwa
ia
hendak
menghentikan
sewanya,
dengan
mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan
setempat.” 2. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya. Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewamenyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewamenyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.124
3. Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus: a. Permohonan/pernyataan dari salah satu pihak. Penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas persetujuan dua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579
124
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.240. 74
KUH Perdata yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan mengunakan sendiri barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian sewamenyewa ini diperbolehkan. b. Putusan Pengadilan. Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan seperti yang diatur di dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49 Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981. c. Benda obyek sewa-menyewa musnah. Pasal 1553 KUH Perdata mengatur apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht).
3.2 Berakhir Sesuai dengan Batas Waktu Tertentu yang Sudah Ditentukan Berakhirnya
perjanjian
sewa
menyewa
tergantung
dari
bentuk
perjanjiannya yaitu perjanjian tertulis atau perjanjian sewa menyewa secara lisan. Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa sesuai dengan batas waktu yang sudah ditentukan. 1. Perjanjian sewa-menyewa tertulis Diatur di dalam Pasal 1570 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila 75
waktu
yang
ditentukan
telah
lampau
tanpa
diperlukanya
suatu
pemberitahuan untuk itu”. Dalam perjanjian sewa-menyewa yang masa berakhirnya telah ditentukan secara tertulis, sewa-menyewa dengan sendirinya berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan dalam persetujuan secara tetulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan.125 2. Perjanjian sewa-menyewa lisan Diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.” Berakhirnya sewa-menyewa dalam hal ini tidak disudahi sesaat setelah lewatnya batas waktu yang telah ditentukan. Melainkan setelah adanya pemberitahuan dari salah satu pihak, yang menyatakan kehendak akan mengakhiri sewa-menyewa. Pemberitahuan pengakhiran sewa tersebut, harus memeperhatikan jangkauan waktu yang layak menurut kebiasaan setempat.
3.3 Batas Akhir Sewa-Menyewa tidak Ditentukan Waktunya Berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-menyewa yang tidak ditentukan batas waktunya didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewamenyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak 125
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal.238. 76
mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, yang diatur dalam undangundang hanya berakhirnya sewa-menyewa tertulis dan lisan yang mempunyai batas waktu tertentu. Oleh karena itu pengakhiran perjanjian sewamenyewa tanpa batas waktu tertentu sebaiknya diserahkan kepada penghentian yang
selayaknya bagi kedua belah pihak atau batas waktu penghentian yang selayaknya ini berpedoman kepada kepatutan dan kebiasaan setempat.126
3.4 Validitas Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Pasal 1548 KUHPerdata merumuskan bahwa “sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.” Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk suatu prestasi, yaitu pihak yang menyewakan yang memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak penyewa selama waktu tertentu dan pihak penyewa yang memberikan prestasi berupa pembayaran suatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Validitas perjanjian sewa-menyewa adalah keabsahan daripada perjanjian sewa-menyewa tersebut yang harus mengikuti kaidah-kaidah hukum perjanjian. Selain harus memenuhi persyaratan umum yang tercantum dalam Pasal 1280 KUHPerdata, sewa-menyewa harus memenuhi persyaratan khusus yang diatur
126
M.Yahya Harahap , Op.Cit., hal.240. 77
dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Berdasarkan rumusan pengertian sewa-menyewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata, maka dapat disimpulkan beberapa hal pokok dalam sewa-menyewa: 1. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian sewa-menyewa harus memenuhi syarat syahnya perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: a. Adanya kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan diri; b. Pihak-pihak yang melakukannya dianggap cakap untuk membuat suatu perjanjian; c. Adanya hal tertentu yang diperjanjikan, dan d. Perjanjian itu harus mengandung suatu sebab yang halal. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, maka klausul-klausul dalam perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak dengan sendirinya berlaku sebagai undang-undang (pacta sunt servanda) bagi pihak-pihak tersebut. Menurut Subekti dengan menekankan pada perkataan “semua”, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang atau dengan perkataan lain dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-
78
undang bagi kita sendiri. Pasal-Pasal dari hokum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturanaturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.”127 Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal, itu berarti mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undang-undang. Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu. Pada umumnya mereka hanya menyetujui hal-hal pokok saja, dengan tidak memikirkan soal-soal lainnya.128 Dalam hal perjanjian sewa-menyewa,
perjanjian sudah dianggap cukup jika sudah memuat klausul-klausul apabila setuju tentang barang dan harga sewanya. Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang harus memikul biaya pengantaran barang, tentang bagaimana barang itu musnah dalam perjalanan, soalsoal itu lazimnya tidak terpikirkan dan tidak diperjanjikan.129 Apabila dikemudian hari
terdapat masalah maka yang bersangkutan akan tunduk saja pada hukum dan undang-undang. ”Namun apabila pembuat perjanjian itu tidak atau kurang memahami hukum maka akan berlandaskan pada kebiasaan setempat yang mungkin saja kebiasaan itu sesungguhnya lahir atau sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”130
127
Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Cet. XXIII, PT. Intermasa, Jakarta,
hal. 14. 128
Ibid, hal. 13. Ibid. 130 Than Thong Kie, 2000, Study Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.76. 129
79
Perjanjian menganut sistem terbuka yang mengandung pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk. KUHPerdata hanya mengatur perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang sudah memang dikenal masyarakat. “Sistem terbuka dalam hukum perjanjian telah memberi peluang yang sangat luas bagi munculnya jenis-jenis perjanjian baru yang lazimnya merupakan gabungan dari perjanjian-perjanjian bernama tersebut.”131 Perjanjian sewa-menyewa telah berkembang sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat seperti: perjanjian sewa beli, sewa usaha dengan hak opsi (leasing), perjanjian bangun-pakaiserah (build-operate-transfer) dan sebagainya.132 Para pihak yang membuat perjanjian, dianggap sudah mengetahui bahwa mereka tidak hanya mengikatkan diri terhadap apa yang dinyatakan dalam perjanjian yang dibuatnya tetapi juga telah mengikatkan diri terhadap segala ketentuan perundang-undangan, kepatutan dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
131
G.H.S Lumban Tobing, 2003, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Erlangga, Jakarta, hal. 89. 132 Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, PT. Prenada Media, Jakarta, hal.44. 80
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undangundang”. Oleh sebab itu, yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah : (i) isi perjanjian; (ii) kepatutan, (iii) kebiasaan, dan (iv) undang-undang. 2. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan) Perjanjian sewa-menyewa tidak mungkin terjadi tanpa adanya suatu yang dapat memberikan manfaat dan kegunaan atau menurut istilah KUHPerdata suatu “kenikmatan” kepada si pemakainya. Maksud persetujuan sewa-menyewa ialah “penikmatan” atas suatu benda dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Benda yang menjadi objek sewa-menyewa bukan untuk dimiliki tetapi hanya untuk dinikmati. Penikmatan atas seluruh benda yang disewa tidak akan menimbulkan persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bahagian benda. Masalah penikmatan bisa menimbulkan persoalan, apabila si penyewa hanya menyewa atas sebahagian barang saja.133 Seperti halnya penyewaan atas sebagian bawah suatu rumah bertingkat atau satu kamar dari suatu rumah tentunya penyewa hanya berhak menikmati bagian yang disewa saja. Atas dasar penikmatan inilah memungkinkan terjadinya perjanjian sewa-menyewa hanya untuk sebagian saja dari suatu benda. Karena penyewaan atas suatu kamar jelas dapat dipakai dan dinikmati si penyewa.
133
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 222 81
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada sewa-menyewa “sebagian dari suatu benda” dapat diartikan “benda”. Berbeda pada perjanjian jual beli, pengertian benda adalah “sesuatu yang utuh” yang dapat diletakkan atasnya hak untuk memiliki. 3. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat (yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat (penyewa) Unsur ini merupakan subjek perjanjian atau para pihak yang membuat perjanjian. Subjek perjanjian dapat merupakan orang per orang (naturlijk person) atau badan hukum (recht person). Sehubungan dengan subjek perjanjian, perjanjian menganut azas personalia. Azas ini dapat ditemukan dalam dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata, yang berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.” Pasal 1315 KUHPerdata diatas menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat perjanjian. Kartini Mulyadi berpendapat
secara khusus
ketentuan
Pasal
ini menunjuk
pada
kewenangan bertindak untuk individu pribadi sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam kapasitas kewenangan tersebut, sebagai orang yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan, sebagai subjek hukum akan mengikat
82
diri pribadi tersebut, dan lapangan perikatan, mengikat seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadinya.134 Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, yang berbunyi : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Ketika orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya yang berada yaitu tidak untuk kepentingan dirinya sendiri, maka kewenangannya harus disertai dengan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa memang orang-orang perorangan tersebut tidak membuat atau menyetujui dilakukannya perjanjian untuk dirinya sendiri. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja135 masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam: a. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal ini ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku baginya secara pribadi; b. Sebagai wakil dari pihak tertentu. 4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut Imbalan terhadap pembayaran benda dan manfaatnya merupakan hal penting untuk
134
Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 15. 135 Ibid, hal.17. 83
menjadikan suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai perjanjian sewa menyewa. Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban membayar sesuatu apapun, maka yang terjadi adalah perjanjian pinjam-pakai. Harga sewa merupakan unsur yang esensial dalam perjanjian sewa-menyewa, sehingga dapat dipastikan selalu tercantum dalam klausul perjanjian tertulis. Namun masih banyak dalam masyarakat dilakukan perjanjian sewa-menyewa dengan perjanjian lisan yaitu dengan mengikuti kebiasaan setempat bahkan tidak jarang terjadi pembayaran dilakukan tanpa kwitansi dan hanya mengandalkan ingatan kedua belah pihak. Pasal 1569 KUHPerdata, mengantisipasi pengaturan hukumnya sebagai berikut : “Jika terjadi perselisihan tentang harga suatu penyewaan yang dibuat dengan lisan, yang sudah dijalankan dan tidak terdapat suatu pembayaran maka pihak yang menyewakan harus dipercaya atas sumpahnya, kecuali apabila si penyewa memilih untuk menyuruh menaksir harga sewanya oleh orang-orang ahli.” 5. Adanya jangka waktu Jangka waktu merupakan bagian yang esensial dalam perjanjian sewamenyewa, sehingga tidak terjadi suatu perjanjian sewa-menyewa tanpa adanya batas waktu. KUHPerdata mengatur perjanjian sewa-menyewa dengan batas waktu baik yang dibuat dengan tertulis maupun dengan lisan. Pada sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu, batas waktu penghentian yang selayaknya ini berpedoman pada kepatutan dan kebiasaan setempat.
84
Untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diingikan dikemudian hari maka pencantuman “batas waktu yang jelas” sangat diperlukan.
Telah dijelaskan dalam Buku III KUHPerdata memuat peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya dan bagian khusus yaitu perjanjianperjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah memiliki nama-nama tertentu. Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian bernama, yaitu perjanjian khusus yang mempunyai nama sendiri. Bentuk perjanjian sewa-menyewa ada yang dibuat secara tertulis, dan perjanjian dibuat secara lisan. Dalam prakteknya, terdapat perjanjian sewa-menyewa tertulis dan lisan dengan batas waktu tertentu, adapula perjanjian sewa-menyewa yang tidak ditentukan batas akhir waktunya. Validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu, dapat diuji dengan menggunakan isntrumen hukum untuk menentukan keabsahan perjanjian tersebut. Berdasarkan teori validitas dari Hans Kelsen, bahwa norma hukum itu mengikat, dan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian harus menaati dan menerapkan norma hukum tersebut. Dalam halnya perjanjian sewa-menyewa, norma hukum yang harus ditaati dan diterapkan adalah peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III KUHPerdata. Validitas suatu perjanjian sewa-menyewa harus memenuhi persyaratan umum syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan persyaratan khusus yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata tentang sewa-menyewa.136 Beberapa contoh putusan mengenai perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu adalah sebagai berikut : 136
Hans Kalsen, 2007, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu mpirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta, hal. 47. 85
a. Putusan Mahkamah Agung no.3280 K/Pdt/1995,137 sewa-menyewa rumah yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun (Pasal 12 (6) UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992). b. Putusan Pengadilan Negeri Pariaman No. 33/PDT.G/2003/PN.PRM,138 menghukum tergugat mengosongkan tanah perumahan sewa terperkara dengan jalan membongkar rumah milik Tergugat, penggugat sebagai pemilik tanah objek perkara bagai manapun sudah sepatutnya diberi kesempatan untuk dapat menikmati tanah objek perkara tersebut. c. Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002, menyatakan sah bahwa ahli waris penyewa berhak menerima dan mewarisi tanah sengketa, menyatakan sewa- menyewa tanpa batas waktu adalah sah menurut hokum berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu setiap persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Pasal 1548 KUH Perdata tentang sewa-menyewa menyatakan bahwa yang disebut sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana satu pihak mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu benda kepada pihak lain selama jangka waktu tertentu dengan pembayaran tertentu. Bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam sewa-menyewa adalah: 137
Habib Adjie, 2011, “Hukum Perjanjian”, habibadjie.dosen.narotama.ac.id/files/2011/04/HukumPerjanjian2KeabsahanPerja njian.pdf, hal.32. 138 Sri Hartati, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”, Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas, hal.15. 86
1. Adanya kesepakatan antara kedua orang atau kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. 2. Pihak yang satu menyerahkan/memberikan kenikmatan manfaat suatu benda ( dalam hal ini pemilik barang/benda). 3. Pihak lainnya menerima untuk selama waktu tertentu dengan pembayaran (dinyatakan dengan sejumlah uang). Perjanjian sewa tanpa batas waktu tidak memenuhi unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu selama waktu tertentu. Perjanjian ini tidak valid karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa. Bagian esensialia dari suatu perjanjian adalah bagian perjanjian yang harus ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian bernama yang dimaksudkan para pihak.139 Dalam perjanjian sewa-menyewa yang merupakan bagian esensialia adalah sepakat dari pada para pihak, objek sewa, jangka waktu sewa, dan uang sewa. Bagian esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari suatu perjanjian, jika hal itu tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.140 Hal ini merupakan perbuatan hukum yang nonexistent, yaitu suatu perbuatan yang tidak memenuhi salah satu atau semua unsure suatu perbuatan hukum (tertentu).141 Maka perjanjian ini dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum.
139
Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67. 140 Ibid, hal.366. 141 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar, hal.35 87
Hak menikmati barang yang diserahkan kepada si penyewa: hanya terbatas pada “suatu jangka waktu tertentu” saja, sesuai dengan lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian.142 Perjanjian sewa tanah hanya bersifat menikmati manfaat tanah untuk digunakan oleh penyewa dalam waktu tertentu dengan pembayaran harga sewa dan tidak mengalihkan hak milik atas tanah.Hak kebendaan seorang pemilik tanah tidak beralih kepada penyewa Perjanjian sewamenyewa yang mencantumkan jangka waktu untuk selamalamanya/ tidak terbatas tersebut merupakan pengingkaran terhadap lembaga hokum jual-beli terutama jual-beli atas tanah, karena apabila ada pihak yang memang tidak beritikad baik dalam perjanjian yang dibuatnya dan mencantumkan jangka waktu selamalamanya maka dengan demikian objek menjadi dapat dikuasai untuk selamalamanya tanpa perlu melakukan jual-beli secara sah. Hal ini jelas bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dijamin oleh keberadaan lembaga hukum jual beli. Perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya atau tidak terbatas secara substansi akan sama dengan artinya dengan menjual, ini artinya melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya sendiri, sedangkan disisi lain pemilik tanah yang mempunyai sertifikat hak milik (hak atas tanah turun-temurun, terkuat dan terpenuh) atas tanah tersebut. Sehingga pada hakikatnya telah terjadinya kekaburan substansi hukum, rasa ketidakadilan dan ketidak patutan karenanya persewaan bentuk apapun mestinya mengenal batas waktu. Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas
142
M.Yahya Harahap, Op.Cit., hal.221. 88
waktu adalah tidak valid. Tidak valid karena persyaratan khusus yang merupakan bagian yang sangat esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi yaitu jangka waktu tertentu. Apabila jangka waktunya tidak ditentukan atau tanpa batas waktu, maka perjanjian tersebut dianggap tidak valid, void dan tidak mempunyai akibat hukum. Sejalan dengan itu, Catherine Elliot dan Frances Quinn menyatakan void contracts are agreements that create no legal obligations and for which no remedy will be given.143 Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu ini pun tidak memenuhi Pasal 1339 KUHPerdata, dimana para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, namun juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Jangka waktu penggunaan tanah yang selamalamanya/ tidak terbatas tersebut telah bertentangan dengan asas kepatutan dalam masyarakat.
3.5 Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Perjanjian sewa-menyewa pada dasarnya tunduk pada asas konsensualitas. Konsesualitas sendiri berasal dari bahasa latin “consensus”, yang artinya sepakat. Namun bukan berarti asas konsensualitas merupakan suatu perjanjian diisyaratkan adanya kesepakatan. Dimaksud dengan asas konsensualitas adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan timbul sejak detik tercapainya kesepakatan.144
143
Catherine Elliot, Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate, England, hal. 562. 144 Naja, H.R Daeng, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting, Edisi Revisi Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9. 89
Meskipun perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh KUH Perdata diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara sewa tertulis dan sewa lisan. Jika perjanjian sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis maka sewa-menyewa berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan
sudah
habis
tanpa
diperlukannya
sesuatu
pemberitahuan
pemberhentian untuk itu. Sebaliknya jika perjanjian sewa-menyewa tidak dibuat dengan tertulis maka sewa itu tidak berahir pada waktu yang ditentukan, tapi jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa dia hendak mengehentikan sewanya, pemberitahuan tersebut harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan. Jika tidak ada pemberitahuan tersebut, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa menyewa secara tertulis diatur dalam pasal 1570 sedangkan perihal sewa menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam pasal 1571.145 Selain pembedaan bentuk perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan tertulis, pembedaan bentuk tersebut, dapat juga dilakukan melalui pembedaan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta otentik (authentieke akte) dengan perjanjian sewa-menyewa dalam bentuk akta di bawah tangan (onderhands). Jika dibuat dengan akta otentik maka, dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dan apabila kebenarannya dibantah, si penyangkal yang harus memikul beban pembuktian
145
Subekti, R S.H., Op.Cit, hal. 47. 90
(the burden of proof), untuk membuktikan ketidakbenaran sangkalan/dalilnya. Sedangkan apabila dibuat dengan akta dibawah tangan maka, bentuk akta tidak terikat bentuk formal. Akta dibawah tangan dapat dibuat dengan bebas oleh setiap subyek hukum yang berkepentingan, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh penandatangan, dan apabila kebenaran dibantah, pihak yang membantah yang memikul beban pembuktian (the burden of proof), yang harus membuktikan kebenaran bantahan/dalilnya.146 Perjanjian sewa-menyewa adalah sebuah perjanjian timbal balik, sehingga ada hak dan kewajiban yang melekat pada para pihak yang melakukan perjanjian. Kewajiban pihak yang menyewakan dapat ditemukan di dalam Pasal 1550 KUH Perdata, yaitu bahwa pihak yang menyewakan harus menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa. Selanjutnya pihak yang menyewakan juga berkewajiban memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang tersebut dapat dipakai oleh pihak penyewa untuk keperluan yang dimaksudkan. Demikian pula pihak yang menyewakan berkewajiban memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram dari pada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa-menyewa. Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang yang disewa untuk dinikmati kegunaan barang tersebut. Dan bukan mengalihkan hak milik dari barang tersebut. Penentuan berakhirnya hubungan hukum sewa-menyewa diatur secara umum oleh KUH Perdata. Hubungan hukum sewa-menyewa konvensional
146
Naja, H.R Daeng, Op.Cit, hal. 17-18. 91
berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan, dibagi dalam dua kategori yaitu, apabila perjanjian sewa-menyewa tertulis, hal itu diatur didalam Pasal 1570 KUH Perdata yang berbunyi: “jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu” (Pasal 1570 KUH Perdata). Sedangkan apabila bentuk perjanjian sewa-menyewa tersebut adalah perjanjian sewa-menyewa lisan, maka berakhirnya hubungan hukum diatur dalam Pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat (Pasal 1571 KUH Perdata).” Perjanjian sewa-menyewa juga dapat berakhir tidak ditentukan waktunya. Mengenai penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam hubungan hukum sewa-menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewamenyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya hubungan hukum sewa-menyewa tanpa batas waktu. Sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.147
147
Harahap, M. Yahya S.H., Op.Cit, hal. 240. 92
BAB IV ANALISIS KASUS GUGATAN PERJANJIAN SEWA RUMAH TANPA JANGKA WAKTU
Teori yang digunakan dalam mengkaji masalah gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu adalah teori hukum perjanjian mengingat perjanjian sewa menyewa tanpa jangka waktu termasuk dalam lingkup hukum perjanjian. Selain itu digunakan juga teori kekuasaan kehakiman dan teori penafsiran karena kekuasaan hakim yang bisa memutus gugatan perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu dengan penafsiran hakim apakah perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu sah atau tidak. Dalam melakukan keabsahan perjanjian sewa rumah tanpa jangka waktu hakim dapat berpegang pada yurisprudensi yang ada. Oleh sebab itu konsep yurisprudensi juga digunakan dalam bab ini.
4.1 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR; Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002) Putusan
ini
diawali
dengan
perkara
perdata
nomor:
07/Pdt.G./2001/PN.GIR dengan banding yang diakhiri dengan putusan nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS tapi perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah Agung dengan Penetapan Nomor: 2313 K/Pdt/2002.
Perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu yang melatar belakangi putusan MA No. 2313 K/Pdt/2002 tersebut yaitu sewa-menyewa tanah yang terjadi sejak tahun 1971 di Banjar Lungsiaka Desa, Kedewatan, Kecamatan Ubud, 93
Kabupaten Gianyar, Bali dibuktikan dengan surat perjanjian tertanggal 22 September 1971 dengan isi perjanjian sebagai berikut : 1. Terjadi hubungan sewa-menyewa antara Anak Agung Rai Pande sebagai pihak pemilik tanah mengadakan perjanjian di bawah tangan dengan Sjamsuari Sjam selaku penyewa, perjanjian tersebut dibuat diatas kertas segel dengan nama “Surat Perjajian Bersama-Perjanjian”, 2. Kesepakatan yang diperjanjikan diantara pihak pemilik tanah dan penyewa tanah yaitu mengenai urusan/penggunaan tanah untuk tanah seluas 30 are (3000m2) dengan batas-batasnya : a. Sebelah utara berbatas dengan : Anak Agung Anom Nesa b. Sebelah timur berbatas dengan : sungai c. Sebelah selatan berbatas dengan : Tjok. Dugil d. Sebelah barat berbatas dengan : Anak Agung Raka Pande (jalan masuk lebar 4 meter dan sisa tanah) 3. Perjanjian tersebut mulai berlaku tanggal 22 September1971 dan dibayar seharga Rp. 27.000 (dua puluh tujuh ribu) oleh Sjamsuari Sjam untuk jangka waktu selama-lamanya/tidak terbatas. 4. Terdapat 2 (dua) pokok isi perjanjian terkait dengan pihak Anak Agung Rai Pande sebagai masyarakat setempat pemilik tanah dengan pihak Sjamsuari Sjam yang saat itu sebagai pengusaha yang beralamat di Jakarta yaitu bahwa:
a. Pihak penyewa berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat sekolah untuk bekerja pada usaha milik penyewa di atas tanah tersebut.
94
b. Pihak penyewa memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama minimal 4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha pembangunan.
4.1.1
Putusan
Pengadilan
Negeri
Gianyar
Nomor:
07/Pdt.G./2001/PN.GIR.134 Para Pihak 1. Dra. Dalifah Syamsuddin, bertempat tinggal di komplek Bumi Jati Waringin F. 14. RT. 03 /16, Kelurahan Jati Waringin, Kecamatan Pondok Gede, KOdya Tingkat II Bekasi. 2. Amir Rabik, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kedua-duanya adalah pemilik tanah sengketa dan disebut juga sebagai penggugat I dan penggugat II. Melawan Anak Agung Rai Pande, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lunsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, selanjutnya disebut juga sebagai tergugat. 1. Kasus Posisi a. Bahwa penggugat I adalah kakak kandung dari Alm. Sjamsuarni Sjam yang telah meninggal dunia , yang juga telah menetapkan penggugat I sebagai ahli waris tunggal berdasarkan Akta Permohonan Pertolongan pembagian harta peninggal No. 011/P3IIP/2000/P.A.BKS, tertanggal 04 Desember 2000 dan Surat Keterangan kelurahan Jatiwaringin No. 587/PD.01/XII/2000, tertanggal 19 Juli 2000;
95
b. Bahwa adik kandung penggugat I Alm. Sjamsuarni Sjam telah mengontrak sebidang tanah dari tergugat sesuai dengan Surat Perjanjian Bersama Perjanjian tertanggal 22 September 1971 seluas + 3000 m2 (30 Are) dari pipil No. 34, persil 13 a, Kls. II. c. Bahwa sesungguhnya tanah tersebut diatas sudah dibeli oleh adik kandung penggugat I dari tergugat, karena tergugat malu didengar oleh warga menjual tanah, maka terhadap tanah yang sudah dibeli oleh adik kandung penggugat selanjutnya dibuatkanlah Surat Perjanjian Bersama Perjanjian pada tanggal 22 September 1971 dengan jangka waktu selama-lamanya/tidak terbatas; d. Bahwa diatas tanah sengketa tersebut adik kandung penggugat sudah mendirikan bangunan, selama + 12 tahun bangunan tersebut ditempati oleh adik kandung penggugat I dan selanjutnya tanah dan bangunan tersebut diserahkan (dikuasakan) penguasaan dan pengelolaannya pada bulan februari 1982 dan dikuatkan dengan surat tugas tertanggal 1 Juni 1988 kepada penggugat II dan dipertegas lagi dengan surat perjanjian penggunaan tanah tertanggal 11 April 1994 dari penggugat I kepada penggugat II; e. Bahwa tanpa sepengetahuan penggugat I dan penggugat II tiba-tiba pada tanggal 24 Februari 2000, tempat usaha dan Kantor Konsulat Spanyol penggugat II didatangi oleh + 20 orang pemuda dengan membawa tongkat, pentungan dan senjata tajam yang kemudian tergugat menutup (menembok) jalan masuk ke tanah sengketa;
96
f. Bahwa atas perbuatan tergugat yang tidak memenuhi isi dari Surat Perjanjian Bersama tertanggal 22 September 1971 dan tergugat juga sudah menutup (menembok) asset menuju jalan keluar masuk ketanah sengketa adalah perbuatan melawan hukum. 2. Gugatan Berdasarkan uraian diatas, penggugat I dan penggugat II mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Gianyar karena merasa dirugikan oleh tindakan tergugat yang menutupi/menembok akses jalan keluar masuk menuju tempat tanah sengketa (Kantor Konsulat Spanyol). Atas hal tersebut penggugat I dan penggugat dalam gugatannya juga mengajukan petitum sebagai berikut: a. Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk seluruhnya; b. Menyatakan sah hukum “surat perjanjian bersama perjanjian” tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya/tidak terbatas atas sebidang tanah pipil No. 34, persil No. 13, klas II, luas + 3000 m2 (30
are) dari luas asal 5250 m2, atas nama Dw.Rk. Mangku terletak di dusun/banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud; c. Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hokum menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha dan kantor Konsulat Spanyol penggugat II;
97
d. Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha dan kantor konsulat spanyol penggugat II; e. Menyatakan hukum penggugat II telah menderita kerugian setiap bulan inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,-; f. Menghukum tergugat untuk membayar kerugian materiil setiap bulan sebesar Rp. 50.000.000,- sejak tanggal 24 Pebruari 2000 dan kerugian inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,- kepada penggugat II; g. Meletakan sita jaminan (conservatoir beslag) atas barang-barang milik tergugat baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak; h. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan kembali; i. Menghukum tergugat untuk membayar segela biaya yang timbul dalam perkara ini. 3. Eksepsi dan rekonpensi tergugat a. Jawaban dalam eksepsi dan dalam pokok perkara Bahwa tergugat konpensi menolak secara tegas semua dalil-dalil gugatan penggugat konpensi terkecuali apa yang secara tegas telah diakui olehnya; b. Bahwa dalam hal ini para tergugat rekonpensi ingin tetap menguasai tanah sengketa hanya berdasarkan perjanjian perjanjian yang pernah dibuat oleh penggugat rekonpensi dengan Syamsuarni almarhum yaitu adik kandung tergugat rekonpensi I. Padahal para tergugat rekonpensi
98
tidak mempunyai hak lagi untuk menguasai dan menempati tanah sengketa sebab salah satu pihak yang membuat perjanjian perjanjian itu yaitu syamsuarni syamsuddin sudah meninggal dunia; c. Bahwa terhadap terhadap perjanjian perjanjian tersebut diatas yang dibuat dibawah tangan pada tanggal 22 september 1971 ternyata isinya juga banyak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku salah satu diantaranya dalam perjanjian itu tidak ada batas waktu berlakunya perjanjian tersebut. Dan setelah perjanjian berjalan adik kandung tergugat rekonpensi I (syamsuarni syamsuddin) sama sekali sejak perjanjian itu dibuat hingg sekarang tidak pernah melakukan/melaksanakan/memenuhi isi perjanjian tersebut. Maka berdasarkan atas alasan-alasan yang telah kami kemukakan tersebut diatas, penggugat rekonpensi mohon agar pengadilan negeri gianyar berkenan memutus: Dalam konpensi : -
Menolak gugatan para penggugat konpensi seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan gugatan para penggugat konpensi tidak dapat diterima. Dalam rekonpensi: a) Mengabulkan gugatan penggugat rekonpensi untuk seluruhnya; b) Menyatakan hukum tanah sengketa adalah syah hak milik penggugat rekonpensi; c) Menyatakan hukum perjanjian perjanjian tanah sengketa antara penggugat rekonpensi dengan syamsuarni syamsuddin/adik kandung tergugat rekonpensi I, yaitu perjanjian dibawah tangan
99
yang dibuat pada tanggal 22 september 1972 dan perjanjian yang dibuat tanggal 11 Januari 1974 adalah batal demi demi hukum; d) Menyatakan hukum perjanjian sewa-menyewa yang dibuat antara anak kandung penggugat rekonpensi dengan tergugat rekonpensi II pada tanggal 29 oktober 1986 batal demi hukum karena masa perjanjiannya sudah habis; e) Menyatakan hukum para tergugat rekonpensi telah melakukan perbuatan melawan hukum menguasai dan menempati tanah sengketa tanpa alas an hak yang sah; f) Menyatakan hukum semua bangunan yang ada diatas tanah sengketa menjadi hak milik penggugat rekonpensi; g) Menghukum para tergugat rekonpensi menyerahkan tanah sengketa dengan lasia kepada penggugat rekonpensi dan bila perlu dengan bantuan yang berwajib; h) Menyatakan hukum putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun para tergugat rekonpensi banding dan kasasi; i) Menghukum para tergugat rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. 4. Pertimbangan hukum dan putusan Berdasarkan hal-hal diatas, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gianyar dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:
100
a. Menimbang, bahwa untuk mendalilkan gugatannya para penggugat telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda P-1 s/d P-13 serta telah mengajukan 4 orang saksi masing-masing yaitu : 1. I Made Lembeng, 2 I Ketut Robin, 3. Ketut Munut, 4. Ni Wayan Taman. Sedangkan tergugat untuk menguatkan dalil sangkalannya telah pula mengajukan bukti surat yang diberi tanda T-1 s/d T-9 serta telah pula mengajukan 3 orang saksi yaitu : 1. Anak Agung Rai Santun , 2. I Wayan Tambun, 3. I Made Koyo; b. Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P-3, P-4, P-4a dan P-5, P-9 serta keterangan saksi Ketut Robin, Ketut Munut serta Ni Wayan Taman masing-masing berhubungan dan bersesuaian satu sama lainnya;
c. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti secara hukum bahwa A.A. Rai Pande (tergugat) telah terikat perjanjian perjanjian dengan syamsuarni syam atas sebidang tanah yang terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud dengan jangka waktu selama-lamanya; d. Menimbang, bahwa oleh karena syamsuarni syamsuddin telah meninggal dunia dan Dra. Dalifah Syamsuddin adalah satu-satunya ditetapkan sebagai ahli waris. Mka terhadap tanah sengketa tersebut yang paling berhak mewaris adalah Dra. Dalifah Syamsuddin sebagai penggugat I; e. Menimbang, bahwa berdasarkan pengamatan majelis hakim pada saat melakukan pemeriksaan setempat atas tanah sengketa pada tanggal 6
101
April 2001 memang benar jalan yang menuju tanah sengketa yang telah berisi bangunan telah ditutup dengan tembok sehingga penggugat II maupun karyawan konsulat spanyol yang menyewa rumah diatas tanah sengketa tidak bisa keluar maupun masuk; f. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, bahwa tergugat telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena telah menembok jalan yang menuju tanah sengketa; Dalam rekonpensi: g. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dalam konpensi tersebut diatas, majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian perjanjian bersama antara A.A. Rai Pande (tergugat) dengan syamsuarni syam atas sebidang tanah seluas +30 are yang terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan dengan jangka waktu yang selama-lamanya adalah sah menurut hokum sebagaimana tertuang dalam bukti P-3. Oleh karena Pasal 1338 KUHPerdata bahwa setiap persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya; h. Menimbang, bahwa menurut majelis bahwa bukti yang diajukan oleh tergugat konpensi / penggugat rekonpensi yang bertanda T-2 s/d T-8 serta keterangan saksi-saksi yaitu A.A. Rai Pande, I Wayan Tambun dan I Made Koyo tidak ada yang dapat melumpuhkan alat bukti penggugat konpensi/tergugat rekonpensi. Oleh karena itu penggugat rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatanya;
102
i. Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
tersebut
diatas
penggugat rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil gugatannya maka penggugat rekonpensi berada pihak yang kalah; j. Dalam Menimbang, bahwa oleh karena penggugat rekonpensi/tergugat konpensi
berada
pada
piha
bankan
kepada
tergugat
konpensi/penggugat rekonpensi. k. Setelah memperhatikan undang-undang yang bersangkutan: Mengadili : yang kalah, maka biaya perkara ini termasuk biaya rekonpensi diberkonpensi : 1) Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk sebagian; 2) Menyatakan sah menurut hukum “surat perjanjian bersama perjanjian” tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya/tidak terbatas atas sebidang tanah, pipil No. 34, persil No. 139, Klas II, Luas + 3. 000 m2 (30 are) dari luas asal 5250 m2 atas nama Dewa Raka Mangku, yang terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud; 3) Menyatakan sah menurut hukum penggugat I adalah ahli waris tunggal dari syamsuarni syam disebut juga syamsuarni syamsuddin yang berhak menerima dan mewaris tanah sengketa;
103
4) Menyatakan sah menurut hukum penggugat II tinggal dan menempati tanah sengketa atas kuasa dan seijin syamsuarni syam disebut juga syamsuarni syamsuddin dan penggugat I; 5) Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hokum menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha kantor konsulat spanyol dan tempat tinggal penggugat II; 6) Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu sepanjang mengenai jalan masuk selebar 4 meter yang menuju tempat tinggal, tempat usaha, kantor konsulat spanyol dan tempat penggugat II walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan kembali; 7) Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha Kantor Konsulat Spanyol dan tempat tinggal Penggugat II. Dalam rekonpensi : -
Menolak gugatan penggugat rekonpensi seluruhnya. Dalam konpensi Dan rekonpensi :
-
Menghukum tergugat dalam konpensi atau penggugat dalam rekonpensi untuk membayar biaya perkara ini yang hingga kini dianggar sebesar Rp. 174.000.
Atas Putusan Pengadilan Negeri Gianyar tersebut, tergugat tidak puas dan mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar. Dasar
104
hukum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar pada intinya adalah karena apa yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Gianyar tidak sesuai dengan jawaban gugatan dan proses persidangan, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan bagi tergugat selaku pemilik tanah sengketa. Setelah permohonan pemeriksaan dalam tingkat banding yang diajukan oleh kuasa hukum pembanding dan telah diajukan memori banding yang oleh para terbanding telah juga diajukan kontra memori banding dengan Putusan Perkara No. 07/Pdt.G/2001/PN.GIR, tanggal 16 Juli 2001.
4.1.2
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 205/Pdt/2001/PT.Dps
1. Pokok Pertimbangan Hukum. a. Menimbang, bahwa permohonan banding dari tergugat dalam konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut telah diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang maka permohonan banding tersebut secara formal dapat diterima; b. Menimbang, bahwa pengadilan tinggi setelah memeriksa dan meneliti dengan seksama berkas perkara beserta turunan resmi putusan pengadilan
negeri
gianyar
tanggal
16
Juli
2001
No.
7/Pdt.G/2001/PN.Gir. dan telah pula membaca dan memperhatikan memori
banding
yang
konpensi/penggugat
dalam
diajukan
oleh
tergugat
rekonpensi/pembanding
serta
dalam kontra
memori banding yang diajukan oleh para penggugat dalam 105
konpensi/para tergugat dalam rekonpensi/para termbanding, yang ternyata tidak ada hal-hal baru yang perlu dipertimbangkan maka pengadilan tinggi dapat menyetujui dan membenarkan putusan hakim tingkat pertama oleh karena dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah memuat dan menguraikan dengan tepat dan benar semua serta alasan-alasan yang menjadi dasar dalam putusan dan dianggap telah tercantum pula dalam putusan ditingkat banding; c. Menimbang,
bahwa
dengan
demikian
maka
pertimbangan-
pertimbangan hukum hakim tingkat pertama tersebut diambil alih dan dijadikan dasar di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi sendiri, sehingga putusan Pengadilan Negeri Gianyar tanggal 16 Juli 2001 Nomor. 7/Pdt.G/2001/PN.GIR. dapat dikuatkan; d. Menimbang bahwa oleh karena tergugat dalam konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding tetap berada dipihak yang dikalahkan, maka kepadanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan; e. Mengingat peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku khususnya undang No. 14 tahun 1970, undang-undang No. 2 tahun 1986 serta Rbg. Mengadili : 1) Menerima permohonan banding dari tergugat dalam konpensi/ penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut. 2) Menguatkan putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 Nomor: 7/Pdt.G/2001/PN.Gir, yang dimohonkan banding.
106
Menghukum
tergugat
dalam
konpensi/penggugat
dalam
rekonpensi/pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang untuk ditingkat banding saja ditetapkan sebesar Rp.100.000,- ( seratus ribu rupiah).
4.1.3
Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002
1. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 26 Nopember 2001 No. 205/Pdt/2001/PT.Dps. pemohon kasasi telah menyatakan kasasi tanggal 11 Maret 2002, sehingga dengan demikian pemasukan memori kasasi ini masih dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan oleh undang-undang; 2. Bahwa dalam putusan Pengadilan Negeri Gianyar tanggal 16 Juli 2001 No. 7/Pdt.G/2001/PN.Gir, sudah tepat dan benar tanpa memberikan pertimbangan lebih jauh mengenai memori pembanding adalah merupakan pertimbangan hukum yang salah dan menyimpang dari hukum acara perdata yang berlaku; 3. Bahwa judex factie Pengadilan Tinggi Denpasar yang menganggap benar dan menyetujui Putusan Pengadilan Negeri Gianyar dalam perkara tersebut, yang menyatakan sah surat perjanjian bersama perjanjian tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya atau tidak terbatas adalah keliru besar, sebab perjanjian yang dibuat tersebut bertentangan dengan Pasal 1320 BW tentang syarat-syarat syahnya suatu perjanjian antara lain: 107
a. Sepakat mereka yang mengikat diri b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal. 4. Bahwa jangka waktu yang ditulis dalam perjanjian tersebut untuk selamalamanya/tidak terbatas bertentangan dengan ketentuan undangundang yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata, karena dalam Pasal tersebut disyaratkan jangka waktu tertentu artinya waktunya terbatas dan tidak untuk selama-lamanya; 5. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi Anak Agung Rai Pande tersebut harus ditolak; 6. Menimbang, oleh karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi telah dinyatakan ditolak, maka kepadanya harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini; 7. Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, undang-undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 yang bersangkutan. Mengadili : a. Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Anak Agung Rai Pande tersebut.
108
b. Menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
4.1.4
Pembahasan Kasus Hukum Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu merupakan perjanjian yang
tidak seimbang atau mengandung klausul yang berat sebelah karena pemohon kasasi tidak dapat memanfaatkan tanah sengketa selama-lamanya padahal pemohon kasasi adalah pemilik tanah, sedangkan termohon yang menguasai tanah sengketa dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah sengketa tersebut untuk selama-lamanya. Perjanjian yang demikian melanggar asas keadilan, yang mana dalam ajaran asas keadilan menyatakan bahwa perjanjian adalah adil apabila prestasi-prestasi yang diperjanjikan adalah sama nilainya atau yang dimaksudkan sebaliknya bahwa prestasi-prestasi yang diperjanjikan itu adil berdasarkan suatu perjanjian yang seimbang, yaitu perjanjian dilakukan oleh pihak-pihak yang sama haknya.148 Rescoue Pound dalam teorinya yaitu teori sama nilai menyatakan bahwa suatu perjanjian baru mengikat jika para pihak dalam perjanjian tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai.149 Perjanjian sewamenyewa tanpa batas waktu tentunya tidak memberikan prestasi yang seimbang dan merugikan pemilik tanah karena tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri selama-lamanya.
148
Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.20. 149 Roscoe, Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press. 109
Berdasarkan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata yang menyatakan: ”si penyewa jika kepadanya tidak telah diperijinkan, tidak diperbolehkan mengulang sewa barang, yang disewanya maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa …”. Peralihan hak sewa dari termohon I (Dalifah Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik tanah yaitu Anak Agung Rai Pande adalah tidak beralaskan hukum sehingga tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata. Bahwa Sjamsuarni Sjam tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan isi perjanjian sewa-menyewa yang dibuat yaitu: 1. Pihak kedua berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat sekolah untuk bekerja pada usaha pihak kedua diatas tanah tersebut 2. Pihak kedua memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama minimal 4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha pembangunan”. Menurut
Pasal
1266
KUHPerdata syarat
batal
dianggap
selalu
dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu ini tidak menyebutkan syarat batal maka sesuai Pasal 1266 KUHPerdata manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimohonkan pembatalan di muka hakim. Bahwa wanprestasi dalam perjanjian timbal balik dapat dimajukan sebagai alasan minta pecahnya perjanjian dan hakim diberi kuasa mengatur akibatnya selaras dengan keadaan dan kepatutan.150
150
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.88. 110
Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam uatu perjanjian tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum, maka perjanjian ini harus diakhiri. Perjanjian sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tidak sekedar mengingkari lembaga jual beli tetapi mengingkari lembaga hak milik yang bersifat hak asasi, dan juga jika sewa dinyatakan tidak terbatas maka artinya melanggar hak asasi pemiliknya untuk dapat memanfaatkan tanah miliknya sendiri. Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewamenyewa tanah tanpa batas waktu dalam Putusan Mahkamah Agung no. 2313 K/Pdt/2002 ini dapat diakhiri dengan cara pemilik tanah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk diakhirinya perjanjian dengan dasar-dasar gugatan sebagai berikut: 1. Karena perjanjian ini melanggar asas keadilan dan asas kepatutan, yaitu prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak seimbang/sama nilainya, dimana pemilik tanah tidak dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah tersebut selama-lamanya, karenanya perjanjian sewa-menyewa bentuk apapun semestinya mengenal batas waktu.
111
2. Karena pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), sehingga dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian sesuai dengan Pasal 1266 KUHPerdata. 3. Karena perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya secara substansi akan sama artinya dengan menjual, ini artinya melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya sendiri selamalamanya. Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan, sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selamalamanya tersebut patut untuk segera diakhiri. 4. Karena telah terjadi peralihan hak sewa dari termohon I (Dalifah Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik tanah yaitu Anak Agung Rai Pande, bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata dan perjanjian ini dapat diakhiri. Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu ini adalah sah menurut hukum, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Sedangkan dalam ketentuan perjanjian, suatu perjanjian sewa-menyewa dapat mengikat, apabila syarat-syarat suatu perjanjian sewa-menyewa telah terpenuhi. Dalam hal ini jangka waktu yang merupakan unsur yang sangat esensial dan merupakan syarat khusus sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi dan melanggar asas kepatutan dan kebiasaan, Hakim dalam hal ini lebih menekankan pada aspek daya mengikatnya perjanjian serta mengenyampingkan
112
aspek kepatutan dan kebiasaan. Dalam KUHPerdata pun telah dengan tegas dirumuskan pemaknaan kepatutan yaitu dalam Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUHPerdata. Bahwa faktor kepatutan merupakan faktor yang teramat penting di dalam penemuan hukum. Rasa kepatutan ini mengharapkan para hakim untuk memberikan pertimbangan terhadap masalah yang dihadapinya. Faktor kepatutan perlu mendapat perhatian dalam setiap pertimbangan yang hendak diambil oleh hakim untuk menjatuhkan keputusannya.151 Putusan pengadilan ini tidak menerapkan ketentuan perjanjian. Meskipun putusan ini telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat saja diajukan kembali karena hakim yang memutus perkara tersebut telah khilaf, kurang cermat dalam meneliti bentuk isi perjanjian yang dibuat para pihak yang mengakibatkan merugikan ahli warisnya sehingga tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri untuk selama-lamanya.
4.2 Analisa Kasus Perjanjian Sewa-Menyewa Tanpa Batas Waktu di Sidoarjo Jawa Timur (Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda; Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY;
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor:
3667
K/Pdt/2001). Putusan ini diawali dengan perkara perdata Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda dengan banding yang diakhiri dengan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY tapi perkara 151
Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”, dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV, hal.359. 113
ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah Agung dengan Penetapan Nomor: 3667 K/Pdt/2001. Bahwa sejak kurang lebih tahun 1940 bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, selanjutnya disebut bangunan rumah sengketa, telah disewakan oleh isteri Penggugat yang bernama Ny. Trisnawati Adisubrata kepada Ong Ka Kiong tanpa adanya perjanjian tertulis dan tanpa batas waktu; Sejak Ny. Trisnawati
Adisubrata meninggal dunia, maka Penggugat sebagai ahli warisnya melanjutkan bangunan sewa menyewa atas bangunan rumah sengketa dengan Ong Ka Kiong tersebut dengan uang sewa perbulan sebesar Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dan terakhir kali Ong Ka Kiong membayar uang sewa adalah uang sewa bulan Agustus sampai dengan Desember 1984 sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu
rupiah) atau uang sewa perbulan adalah Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) ; Setelah itu Tergugat yang adalah anak dari Ong Ka Kiong meneruskan menghuni bangunan rumah sengketa dan meminta kepada Penggugat agar kwitansi pembayaran uang sewa tidak tertulis atas nama Ong Ka Kiong lagi, tetapi ditulis atas nama Tergugat, namun Penggugat menolak permintaan Tergugat tersebut karena Penggugat hanya mempunyai hubungan sewa menyewa dengan Ong Ka Kiong dan sama sekali tidak mempunyai hubungan sewa menyewa dengan Tergugat serta secara hukum hak sewa tidak bisa diwariskan.
4.2.1
Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 46/Pdt.G./2000/PN.Sda
1. Para Pihak Tjakra Adisubrata, bertempat tinggal di Jalan Blambangan No.15 Surabaya, dalam hal ini memberi kuasa kepada : Rachmat Harjono 114
Tengadi, SH., dan Ny. Indriati Praptosugondo, SH., Advokat-Pengacara, berkantor di Jalan Imam Bonjol 15 Surabaya, sebagai Penggugat melawan Ong Tek Tjwan, bertempat tinggal di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, sebagai Tergugat. 2. Kasus Posisi a. Bahwa sejak kurang lebih tahun 1940 bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, selanjutnya disebut bangunan rumah sengketa, telah disewakan oleh isteri Penggugat yang bernama Ny. Trisnawati Adisubrata kepada Ong Ka Kiong tanpa adanya perjanjian tertulis dan tanpa batas waktu; Sejak Ny. Trisnawati Adisubrata meninggal dunia, maka Penggugat sebagai ahli warisnya melanjutkan bangunan sewa menyewa atas bangunan rumah sengketa dengan Ong Ka Kiong tersebut dengan uang sewa perbulan sebesar Rp.20.000,(dua puluh ribu rupiah) dan terakhir kali Ong Ka Kiong membayar uang sewa adalah uang sewa bulan Agustus sampai dengan Desember 1984 sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) atau uang sewa perbulan adalah Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) ; b. Bahwa setelah itu Tergugat yang adalah anak dari Ong Ka Kiong meneruskan menghuni bangunan rumah sengketa dan meminta kepada Penggugat agar kwitansi pembayaran uang sewa tidak tertulis atas nama Ong Ka Kiong lagi, tetapi ditulis atas nama Tergugat, namun Penggugat menolak permintaan Tergugat tersebut karena Penggugat hanya mempunyai hubungan sewa menyewa dengan Ong Ka Kiong
115
dan sama sekali tidak mempunyai hubungan sewa menyewa dengan Tergugat serta secara hukum hak sewa tidak bisa diwariskan. c. Bahwa kemudian Tergugat melakukan pembayaran uang sewa kepada Penggugat dengan cara penawaran dengan disertai penitipan uang (Consignatie) melalui Pengadilan Negeri Surabaya, sebagai berikut : 1) Berita
Acara
Penawaran
dengan
disertai
penitipan
uang
(Consignatie) No.7/Cons/1986, tertanggal 11 Juli 1986 untuk uang sewa bulan Juli 1986 sampai dengan bulan Juni 1987 sebesar Rp.360.000,- (tiga ratus enam puluh ribu rupiah) ; 2) Berita
Acara
Penawaran
dengan
disertai
penitipan
uang
(Consignatie) No.48/Cons/1989, tertanggal 8 Agustus 1989, untuk uang sewa bulan Juli 1989 sampai dengan bulan Juli 1990 sebesar Rp.360.000,- (tiga ratus enam puluh ribu rupiah) ; 3) Berita
Acara
Penawaran
dengan
disertai
penitipan
uang
(Consignatie) No.58/Cons/1990, tertanggal 15 Nopember 1990, untuk uang sewa bulan Juli 1990 sampai dengan bulan Juni 1992 sebesar Rp.720.000,- (tujuh ratus dua puluh ribu rupiah) ; 4) Berita
Acara
Penawaran
dengan
disertai
penitipan
uang
(Consignatie) No.138/Cons/1992, tertanggal 9 Juli 1992, untuk uang sewa bulan Juli 1992 sampai dengan bulan Juni 1995 sebesar Rp.1.080.000,- (satu juta delapan puluh ribu rupiah) ; 5) Berita
Acara
Penawaran
dengan
disertai
penitipan
uang
(Consignatie) No.13/Cons/1995, tertanggal 4 Mei 1995, untuk
116
uang sewa bulan Juli 1995 sampai dengan bulan Juni 1998 sebesar Rp.1.620.000,- (satu juta enam ratus dua puluh ribu rupiah) ; d. Bahwa Penggugat tetap menolak penawaran dengan disertai penitipan uang sewa tersebut diatas, karena secara hukum hak sewa tidak dapat diwariskan, sebab itulah Penggugat tidak mempunyai hubungan sewa menyewa dengan Tergugat dan Penggugat tidak bersedia mengalihkan hubungan sewa menyewa dari Ong Ka Kiong kepada Tergugat, lagi pula uang sewa yang ditawarkan Tergugat sudah tidak sesuai dengan umumnya uang sewa rumah di Jalan Mojopahit Sidoarjo dan yang terutama Penggugat ingin mempergunakan bangunan rumah sengketa tersebut untuk dirinya sendiri; e. Bahwa disamping itu berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman Pasal 12 (1) dan (6) bertalian dengan Peraturan Pemerintah RI No.44 Tahun 1994 tentang penghunian rumah oleh bukan pemilik Pasal 2 dan Pasal 21, maka penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik, dan sewa menyewa rumah dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No.4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya Undang-Undang tersebut; f. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka perbuatan Tergugat menghuni dan menduduki bangunan rumah sengketa tanpa persetujuan
117
dan ijin Penggugat sebagai pemilik sejak tahun 1985 hingga saat ini adalah tanpa hak dan tidak sah serta merupakan perbuatan melawan hukum, perbuatan mana telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat; g. Bahwa akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat, maka Penggugat sebagai pemilik telah menderita kerugian, oleh karena itu Tergugat sepatutnya dihukum untuk mengganti kerugian Penggugat sebagai berikut : 1) Kerugian akibat tidak dapat menikmati uang sewa yang wajar dan layak dari bangunan rumah sengketa sejak bulan Januari 1985 sampai dengan bangunan rumah sengketa diserahkan kembali kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;
2) Kerugian akibat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan bangunan rumah sengketa untuk keperluan dan kepentingan Penggugat sendiri sejak bulan Januari 1985 sampai dengan bangunan rumah diserahkan kembali kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah); h. Bahwa karena Tergugat telah menghuni dan menduduki bangunan rumah sengketa secara tanpa hak dan tidak sah serta merupakan perbuatan melawan hukum, maka sepatutnya Tergugat dan pihak manapun yang memperoleh hak dari padanya dihukum untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa dalam keadaan baik, kosong dan tanpa beban kepada Penggugat dalam waktu selambatlambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan ini diucapkan;
118
i. Apabila Tergugat tidak menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa dalam keadaan baik, kosong dan tanpa beban kepada Penggugat, maka sepatutnya Tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa terhitung sejak lewat 7 (tujuh) hari setelah putusan ini diucapkan; j. Bahwa mengingat bukti kepemilikan Penggugat atas bangunan rumah sengketa serta tanah dimana bangunan tersebut berdiri telah memenuhi ketentuan Pasal 180 HIR, maka Penggugat mohon agar putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan lebih dahulu sekalipun ada verzet, banding, kasasi maupun upaya hukum apapun dari Tergugat (Uitvoerbaar bij voorraad); k. Bahwa untuk mencegah upaya-upaya Tergugat memindahkan dan atau menyewakan bangunan sengketa kepada pihak-pihak lain oleh Tergugat dan supaya gugatan Penggugat tidak sia-sia, maka Penggugat mohon agar Pengadilan Negeri Sidoarjo meletakkan sita jaminan terhadap obyek sengketa yaitu sebidang tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidoarjo, terletak di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Sidoarjo, Kelurahan Sidokare sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tanggal 18 Juni 1998 No.366/04/1998 seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas meter persegi) sertifikat diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo
119
tanggal 9 Juli 1998, tertulis atas nama Tjakra Adisubrata berikut bangunan dan segala sesuatu yang berdiri serta tertanam diatasnya, setempat terkenal sebagai Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo. 3. Gugatan Berdasarkan uraian di atas, penggugat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Sidoarjo karena merasa dirugikan oleh tindakan tergugat yang tidak mengembalikan rumah sewa. Atas hal tersebut penggugat dalam gugatannya juga mengajukan petitum sebagai berikut: a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ; b. Menyatakan Penggugat adalah pemilik bangunan rumah sengketa terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo yang sah ; c. Menyatakan demi hukum Tergugat menghuni bangunan rumah sengketa secara tanpa hak tidak sah sejak bulan Januari 1985 hingga saat ini dan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum; d. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian sebagai berikut: 1) Kerugian akibat tidak dapat menikmati uang sewa yang wajar dan layak dari bangunan rumah sengketa sejak bulan Januari 1985 sampai dengan bangunan rumah sengketa diserahkan kembali kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan;
2) Kerugian akibat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan dan kepentingan Penggugat sendiri sejak bulan Januari 1985 sampai
120
dengan bangunan rumah sengketa diserahkan kembali kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah) setiap bulan; e. Menghukum Tergugat dan atau pihak manapun yang memperoleh hak dari padanya untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo kepada Penggugat dalam keadaan baik, kosong dan tanpa beban dalam waktu selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sejak putusan ini diucapkan; f. Menghukum Tergugat dan atau pihak manapun yang memperoleh hak dari padanya untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo dalam keadaan baik kosong dan tanpa beban kepada Penggugat terhitung sejak lewat 7 (tujuh) hari setelah putusan ini diucapkan; g. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu sekalipun ada verzet, banding, kasasi maupun upaya hukum apapun dari Tergugat (Uitvoerbaar bij voorraad); h. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan atas : -
Sebidang tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidoarjo, terletak di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Sidoarjo, Kelurahan Sidokare, sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tanggal 18 Juni 1998 No.366/04/1998 seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas meter persegi), sertifikat diterbitkan Kantor
121
Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tanggal 9 Juli 1998, tertulis atas nama Tjakra Adisubrata, berikut bangunan dan segala sesuai yang berdiri serta tertanam diatas tanah tersebut, setempat terkenal sebagai Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo ; i. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara; j. Apabila Pengadilan Negeri Sidoarjo berpendapat lain, maka dengan Peradilan yang baik mohon putusan yang seadil-adilnya; Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut. 4. Eksepsi dan Rekonpensi Tergugat Bahwa surat gugatan tertanggal 25 April 2000 yang diajukan oleh Penggugat, terdiri dari 14 (empat belas) buah posita, 8 (delapan) buah petitum primair dan 1 (satu) buah petitum subsidair, adalah sebagai suatu gugatan yang ngawur dan sangat kabur, sehingga bagi Tergugat sangatlah sulit untuk memberikan jawaban karena : a. Bangunan rumah di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Sidoarjo, Desa (sekarang : Kelurahan) Sidoarjo, di Jalan Mojopahit No.14 Disoarjo, adalah sebagai milik dari The Liang Khing (almarhum) dan sejak tahun 1948 disewa oleh Ong Ka Kiong (ayah kandung dari Tergugat) da selanjutnya sebagai pemilik telah berganti menjadi The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata; b. Obyek sewa menyewa tersebut diatas adalah berdiri diatas tanah Negara sebagaimana dimaksud berdasarkan : Sertifikat Hak Guna Bangunan No.16 Surat Ukur No.177 tanggal 13 Maret 1923 terakhir
122
atas nama dari pada The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata, luas tanah yang disewa + 130 M2; c. Batas-batas obyek sewa menyewa adalah sebagaimana tersebut dalam jawaban tergugat ; d. Selanjutnya, adalah tidak benar dan bahkan tidak berdasarkan hukum segala sesuatu hal apapun yang disebutkan pada posita 1 untuk seluruhnya ; Bahwa dengan berdasarkan fakta notoir feitenm atas iklan media massa cetak terbitan Kota Surabaya, ternyata pada hari Minggu tanggal 3 Mei 1981 The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata telah meninggal dunia dan dimakamkan pada hari Rabu tanggal 6 Mei 1981, terbukti “bahwa” almarhum The Ik Nio alias Ny. Trianwati Adisubrata mempunyai anak-anak sebanyak 5 (lima) orang yaitu : 1) Citra Sari Adisubrata ; 2) Sylvia Adisubrata ; 3) Poppy Adisubrata ; 4) Ir. Ruddy Adisubrata ; 5) Ir. John Adisubrata ; e. Dengan demikian, meskipun Penggugat adalah sebagai “Suami yang sah dari pada almarhum The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata, maka gugatan ini wajib demi hukum diajukan oleh para ahliwarisnya bukan hanya oleh Penggugat saja”; f. Bahwa sesuai dan dengan berdasarkan surat gugatan perkara perdata Pengadilan Negeri Sidoarjo No.46/Pdt.G/2000/PN.Sda. dengan pihak-
123
pihak : Penggugat : Tjakra Adisubrata ; Diwakili : Rachmat Harjono Tengadi, SH. Ny. Indriati Praptosugono, SH. Dra. Ec. Inggriati. D, SH. Robert Harmani, SH.; Tergugat : Sinar Tedjokusumo ; Ternyata “bahwa” terdapat persamaan sekedar mengenai obyek sengketa, khususnya tentang sertifikat Hak Guna Bangunan No.2925/Kelurahan Sidokare surat ukur No.366/04/1998 tanggal 18 Juni 1998 yang diterbitkan/dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo pada tanggal 9 Juli 1998, dengan luas tanah 219 M2 ; g. Dari facta yang sama sekali tidaklah mungkin terbantah kebenarannya, maka adalah jelas-jelas berdasarkan hukum, gugatan dari Penggugat teramat sangat ngawur bahkan kabur (obscuur libel) dan wajiblah untuk ditolak dan/atau setidak-tidaknya tiada boleh diterima menurut hukum (Niet onvankelijke verklaard) ; h. Bahwa
berdasarkan
alat-alat
perlengkapan
bagi
permohonan
perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan No.16 surat ukur No.177 tanggal 13 Maret 1923 atas namka The Ik Nio alias Ny. Trisnawati Adisubrata, yang berupa surat pernyataan tertanggal 27 Juni 1980, maka dapatlah dihukum terbukti penandatanganan dari : 1) Sinar Tedjokusumo ; 2) Ong Tik Tjwan ; 3) Tjio Ie Ting ; i. Sudah diketahui, disadari, adanya suatu jalanan hubungan hukum serta persepakatan/persetujuan terhadap penghunian atas diri Tergugat,
124
terlebih lebih berdasarkan fakta hukum terhadap kematian Ong Ka Kiong (ayah dari Tergugat) menurut bukti T.No.4 dan/atau maupun berikut terhadap kematian Gi Kwie Nio (ibu dari Tergugat), telah disadari, diketahui bahkan ketika jenazah masih disemayamkan dirumah duka Penggugat bersama-sama isterinya berkesempatan untuk datang dan hadir menyampaikan rasa belasungkawa; j. Dari fakta tersebut, adalah merupakan kebohongan besar gugatan dari Penggugat, apabila tidak ada persepakatan/persetujuan sewa menyewa dengan Tergugat, terlebih-lebih lagi sampai dalamwaktu sangat lama telah dibayarkan uang sewa menyewa terhadap bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo. 5. Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Sidoarjo telah mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. yang amarnya berbunyi sebagai berikut : a. Dalam Eksepsi : - Menolak Eksepsi Tergugat; b. Dalam Pokok Perkara : 1) Mengabulkan gugat Penggugat untuk sebagian; 2) Menyatakan Penggugat adalah pemilik bangunan rumah sengketa yang terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo; 3) Menyatakan Tergugat telah menghuni rumah sengketa tanpa hak dan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
125
4) Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi pengganti uang sewa kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap tahun sejak Maret 1995 hingga putusan ini dapat dilaksanakan dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap; 5) Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa kepada Penggugat dalam keadaan kosong, tanpa beban dalam waktu selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sejak putusan diucapkan; 6) Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk membayar uang paksa sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) setiap hari keterlambatan menyerahkan rumah sengketa; 7) Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada verzet, banding, kasasi atau upaya hukum apapun dari Tergugat; 8) Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas tanah sengketa; 9) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.514.000,- (lima ratus empat belas ribu rupiah); 10) Menolak gugat Penggugat untuk selebihnya.
4.2.2
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 242/Pdt/2001/PT.SBY Pokok Pertimbangan Hukum :
1. Menerima Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat; 126
2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet onvankelijke verklaard); 3. Menyatakan penyitaan jaminan yang dilaksanakan dan diletakkan oleh: Taro, Jurusita Pengganti Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap obyek sengketa berupa tanah beserta bangunan rumah berdiri di atasnya terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, sesuai Berita Acara Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. tertanggal 3 Juni 2000, adalah tidak -- No.14/CB/2000/PN.Sda. Sah dan tidak berharga; 4. Memerintahkan kepada Pengadilan Negeri Sidoarjo untuk segera mengangkat penyitaan jaminan tersebut; 5. Menghukum Penggugat/Terbanding tersebut untuk membayar biaya perkara ini, baik yang timbul dalam peradilan tingkat pertama sebesar Rp.514.000,- (lima ratus empat belas ribu rupiah) maupun dalam peradilan tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.130.000,- (seratus tiga puluh ribu rupiah). Putusan
Pengadilan
Negeri
Sidoarjo
Nomor:
46/Pdt.G./2000/PN.Sda dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya dengan putusannya tanggal 12 Juni 2001 No.242/PDT/2001/PT.SBY, yang amarnya berbunyi sebagai berikut : -
Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding tersebut;
-
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. yang dimohonkan banding tersebut.
127
4.2.3
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 Pokok Pertimbangan Hukum :
1. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya telah melakukan pelanggaran terhadap hukum acara perdata yang berlaku dan melanggar hak-hak Pemohon Kasasi, karena di dalam halaman 3 alinea kedua putusan a quo judex factie menguraikan bahwa permohonan banding Termohon Kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo telah diberitahukan kepada Pemohon Kasasi (Penggugat/Terbanding) pada tanggal 2 Nopember 2000,demikian pula pada tanggal 2 Nopember 2000 tersebut kepada Pemohon Kasasi (Penggugat/Terbanding) telah diberitahukan pula tentang kesempatan untuk memeriksa/atau mempelajari berkas perkara ini dengan seksama, padahal sebenarnya Pengadilan Negeri Sidoarjo melalui Pengadilan Negeri Surabaya tidak pernah sekalipun memberikan pemberitahuan tentang adanya permohonan banding dari Termohon Kasasi maupun pemberitahuan untuk memeriksa atau mempelajari berkas perkara dan juga Pemohon Kasasi tidak pernah menerima memori banding Termohon Kasasi, demikian pula Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya tidak pernah memberitahukan bahwa perkara ini telah diregister dengan No.242/Pdt/2001/PT.Sby.; Dengan adanya pelanggaran tersebut, maka Pemohon Kasasi telah sangat dilanggar hak-haknya, tidak diberi kesempatan untuk melakukan pemeriksaan/mempelajari berkas perkara dan tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan kontra memori banding terhadap memori banding Termohon Kasasi; Dengan demikian Pengadilan
128
Tinggi Jawa Timur di Surabaya telah melanggar hukum acara perdata yang berlaku, karena telah menerima permohonan banding Termohon Kasasi dan membuat putusan a quo sebelum memenuhi prosedur hukum acara perdata yang berlaku secara sempurna, oleh karena itu pula sepatutnya putusan a quo dibatalkan dan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengadili sendiri dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda.; 2. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya telah tidak melaksanakan hukum, salah menerapkan hukum dan melanggar hukum dalam pertimbangannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. dan selanjutnya menerima eksepsi Termohon Kasasi, dahulu Tergugat Pembanding serta menyatakan gugatan Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat Terbanding tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) ; 3. Bahwa di dalam gugatannya Pemohon Kasasi pertama-tama menguraikan bahwa Pemohon Kasasi adalah pemilik/pemegang hak yang sah atas sebidang tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidoarjo, terletak di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Sidoarjo, Kelurahan Sidokare, sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tanggal 18 Juni 1998, No.366/04/1998, seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas meter persegi) dengan batas-batas sebagaimana tersebut dalam memori kasasi, berikut 2 (dua) buah bangunan rumah yang terletak diatasnya yang dikenal sebagai Jalan Mojopahit No.12 dan Jalan Mojopahit No.14
129
Sidoarjo (vide bukti P.1, P.2) ; Jadi kedua buah bangunan rumah yaitu di Jalan Mojopahit No.12 yang dihuni oleh Sinar Tedjokusumo dan di Jalan Mojopahit No.14 yang dihuni oleh Termohon Kasasi berada di atas sebidang tanah seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas meter persegi) yang sertifikatnya masih menjadi satu dengan batas-batas sebagaimana tersebut diatas. Adapun kesalahan ketik berupa terbaliknya penulisan batas Barat dan Timur yang dicantumkan dalam gugatan Pemohon Kasasi telah dibetulkan dalam replik Pemohon Kasasi tertanggal 1 Juli 2000 ; 4. Bahwa dengan demikian jelas bahwa di dalam gugatannya Pemohon Kasasi menguraikan batas-batas dari tanah di mana obyek sengketa berdiri sesuai Sertifikat Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare, sedangka yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan setempat pada tanggal 17 Juni 2000 adalah batas-batas obyek sengketa yaitu bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo saja yang berdiri diatas sebagian dari tanah ak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare, sehingga tidak benar pertimbangan Pengadilan Tinggi Jawa Timur dalam putusan halaman 17 alinea ketiga yang mengatakan penyebutan batas-batas bangunan rumah obyek sengketa yang digugat Pemohon Kasasi berbeda pada saat diadakan pemeriksaan setempat ; 5. Bahwa telah jelas dan gamblang bahwa obyek sengketa yang digugat oleh Pemohon Kasasi adalah bangunan rumah terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo yang dihuni oleh Termohon Kasasi sebagaimana diuraikan dalam butir 2 gugatan Pemohon Kasasi, sehingga tidak akan terjadi kerancuan
130
dalam pengertian letak obyek sengketa. Hal ini terbukti pada saat dilakukan pemeriksaan setempat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo
justru semakin jelas keberadaan dan batas-batas obyek sengketa tersebut ; 6. Bahwa secara tersurat dan tersirat di dalam eksepsinya maupun dalam seluruh rangkaian pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri Sidoarjo sebenarnya Termohon Kasasi telah mengerti dan mengakui bahwa obyek sengketa adalah bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo yang dihuninya ; 7. Bahwa dengan demikian tidak benar pertimbangan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di dalam putusan a quo halaman 7 alinea ketiga yang pada intinya akan timbul kesulitan ataupun kendala di kemudian hari dalam melaksanakan isi putusan apabila perkara ini telah berkekuatan hukum tetap, karena sebenarnya telah jelas bahwa obyek sengketa adalah bangunan rumah yang terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, oleh karena itu maka seharusnya putusan Pengadilan Tinggi yang menerima eksepsi Termohon Kasasi dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung Republik Indonesia mengadili sendiri dengan menguatkan putusan Pengadilan
Negeri
Sidoarjo
tanggal
4
Oktober
2000
No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. ; 8. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur juga telah salah dalam menerapkan hukum dan nyata-nyata melanggar hukum yang berlaku dalam pertimbangannya pada halaman 7 alinea terakhir dan halaman 8 alinea pertama dan kedua yang pada intinya menyatakan walaupun ada
131
penolakan harta warisan almarhumah Ny. Trisnawati Adisubrata dari para ahliwaris yang lain, kelima ahli waris lain tersebut harus diikutsertakan sebagai pihak turut Tergugat untuk mencegah tidak terjadi sengketa di antara sesame ahliwaris atas obyek sengketa; Berdasarkan Pasal 1058 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ahli waris yang telah menolak harta warisan secara sah dianggap tidak pernah berkedudukan sebagai ahli waris ; Kelima anak-anak Pemohon Kasasi dan Ny. Trisnawati Adisubrata sebagai ahli waris almarhumah Ny. Trisnawati Adisubrata telah menolak harta warisan ibunya tersebut di depan Panitera Kepala Pengadilan Negeri Surabaya sebagaimana ternyata dari pernyataan menolak warisan No.29/1982 tertanggal 1 Desember 1982, sehingga secara hukum telah sah menolak harta warisan ibunya dan dianggap tidak pernah berkedudukan sebagai ahliwaris (vide bukti P.11), oleh karena itu Pemohon Kasasi menjadisatu-satunya ahliwaris Ny. Trisnawati Adisubrata dan sudah sah serta berhak penuh untuk mengurus harta warisan isterinya tersebut, termasuk untuk menggugat Termohon Kasasi Bahwa karena kelima anak Pemohon Kasasi dan Ny. Trisnawati Adisubrata tersebut sudah tidak bekedudukan lagi sebagai ahli waris Ny. Trisnawati Adisubrata, maka mereka tidak berhak untuk turut menggugat Termohon Kasasi, apalagi sebagaimana dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur untuk diikutsertakan sebagai turut Tergugat akan merupakan error in person, karena hanya Termohon Kasasi saja satu-satunya pihak yang harus digugat
132
sebagai akibat perbuatannya menghuni bangunan rumah sengketa secara tanpa hak dan melakukan perbuatan melawan hukum ; 9. Bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi Jawa Timur agar kelima anak Ny. Trisnawati Adisubrata tersebut diikutsertakan sebagai turut Tergugat untuk mencegah dan kemudian hari terjadi persengketaan bagi sesama ahliwaris dalam hubungan internal atas obyek sengketa merupakan pertambangan yang tidak berdasar hukum dan karena itu harus ditolak dan dikesampingkan; 10. . Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka pertimbangan Pengadilan Tinggi Jawa Timur dalam halaman 8 alinea ketiga yang menyimpulkan gugatan Pemohon Kasasi belum memenuhi persyaratan formal serta dianggap sebagai gugatan yang kabur (obscuur libel) sehingga eksepsi Termohon Kasasi diterima adalah tidak melaksanakan hukum yang berlaku, sehingga sudah sepaturnya putusan a quo dibatalkan dan Pemohon Kasasi mohon agar Mahkamah Agung Republik Indoenesia menolak eksepsi Termohon Kasasi dan menerima gugatan Pemohon Kasasi serta mengadili sendiri dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang telah benar dalam penerapan hukumnya; 11. Bahwa Pemohon Kasasi mohon agar segala sesuatu yang telah diuraikan didalam eksepsi dianggap tersurat dan tersirat di dalam pokok perkara ini ; 12. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Timur telah tidak melaksanakan hukum, salah menerapkan hukum dan melanggar hukum dalam membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang menyatakan gugatan Pemohon
133
Kasasi, dahulu Penggugat Terbanding tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) sebagaimana diuraikan di dalam eksepsi tersebut di atas, sehingga demikian pula putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menyatakan penyitaan jaminan yang dilaksanakan dan diletakkan oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo tidak sah dan tidak berharga serta memerintahkan pengangkatan sita jaminan tersebut merupakan kesalahan dalam penerapan hukum, tidak melaksanakan hukum dan melanggar hukum serta nyata-nyata merugikan Pemohon Kasasi; 13. Bahwa Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. justru telah benar dalam penerapan hukumnya dan melaksanakan hukum dengan benar, sehingga seharusnya Pengadilan Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan a quo; Di dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Sidoarjo telah terbukti bahwa Pemohon Kasasi adalah pemilik bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo yang merupakan salah satu dari dua bangunan rumah yang berdiri di atas tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare total seluas 219 M2 (dua ratus sembilan belas meter persegi) sebagaimana ternyata dari Sertifikat Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare tanggal 9 Juli 1998, Surat UKR tanggal 18 Juni 1998 No.366/04/1998 (bukti P-1); Terbukti pula bahwa Termohon Kasasi menempati bangunan rumah sengketa di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo sebagai penyewa yang
134
melanjutkan hubungan sewa menyewa dari ayahnya bernama Ong Ka Kiong tanpa persetujuan dari pemilik rumah yaitu Pemohon Kasasi; 14. Bahwa dengan demikian terbukti bahwa telah terjadi hubungan sewa menyewa tanpa perjanjian tertulis dan tanpa batas waktu serta turun temurun antara Pemohon Kasasi dan Ongk Ka Kiong yang dilanjutkan oleh Termohon Kasasi tanpa persetujuan Pemohon Kasasi, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 juncto Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994; Undang-Undang No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman Pasal 12 ayat (1) dan (6) juncto Peraturan Pemerintah RI No.44 Tahun 1994 tentang penghunian rumah oleh bukan pemilik Pasal 2 dan Pasal 21 menentukan bahwa penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila adalah persetujuan atau izin pemilik, dan sewa menyewa rumah dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No.4 Tahun 1992 dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya Undang-Undang tersebut; Undang-Undang No.4 Tahun 1992 diundangkan pada tanggal 10 Maret 1992, berarti sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI No.44 Tahun 1994 terhitung sejak tanggal 10 Maret 1995 hubungan sewa-menyewa antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah berakhir; 15. Bahwa dengan demikian sejak tanggal 10 Maret 1995 perbuatan Termohon Kasasi menghuni bangunan rumah sengketa di Jalan Mojopahit
135
No.14 Sidoarjo merupakan penghunian bangunan rumah tanpa hak dan tidak sah, oleh karena itu Termohon Kasasi telah melakukan perbuatan melawan hukum; 16. Bahwa karena telah terbukti Termohon Kasasi melakukan perbuatan melawan hukum yang telah merugikan Pemohon Kasasi, maka sepatutnya Termohon Kasasi dihukum untuk membayar ganti kerugian sebagai akibat Pemohon Kasasi tidak dapat dinikmati uang sewa sebesar Rp.1.000.000,hingga putusan ini dapat dilaksanakan dan memperoleh kekuatan hukum tetap; 17. Bahwa Termohon Kasasi telah diberi kesempatan untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa secara sukarela dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo diucapkan, tetapi ternyata Termohon Kasasi tidak melakukannya, maka Termohon Kasasi dan siapapun yang memperoleh hak dari padanya harus dihukum untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo kepada Pemohon Kasasi dalam keadaan kosong dan tanpa beban dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak putusan diucapkan dengan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan mengembalikan bangunan rumah sengketa;
18. Bahwa bukti kepemilikan Pemohon Kasasi atas tanah dan bangunan rumah sengketa adalah bukti otentik, maka sudah sepatutnya putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada verzet, banding, kasasi atau upaya hukum apapun dari Termohon Kasasi;
136
19. Bahwa untuk menjamin gugatan Pemohon Kasasi ini tidak sia-sia dan mencegah agar Termohon Kasasi tidak mengalihkan bangunan rumah sengketa kepada pihak lain, maka sepatutnya penyitaan jaminan yang telah diletakkan oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap bangunan rumah sengketa di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo; 20. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. telah benar dan menerapkan hukum dengan benar, maka sudah sepatutnya putusan a quo dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI; Menimbang, bahwa atas keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat : Mengenai Keberatan-Keberatan : 1. Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan, karena obyek gugatan Pemohon Kasasi semula Penggugat adalah bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidaorjo saja, yang berdiri diatas sebagian dari tanah Hak Guna Bangunan No.2925 Kelurahan Sidokare, sehingga dengan demikian jelas bahwa obyek pekara yang digugat oleh Pemohon Kasasi semula Penggugat, adalah bangunan rumah yang terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidaorjo, yang dihuni oleh Termohon Kasasi semula Tergugat, sehingga dengan demikian tidak akan terjadi ketidak pastian (ketidak jelasan) terhadap letak obyek perkara; Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana dikemukakan
diatas, maka putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan dan permohonan banding terhadap perkara ini dinyatakan dapat diterima; 2. Bahwa pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Negeri terhadap materi pokok perkara, telah tepat dan benar, dan karenanya dijadikan 137
pertimbangan dan putusan Mahkamah Agung, karena mana gugatan Pemohon Kasasi semula Penggugat dapat dikabulkan; 3. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas tanpa perlu mempertimbangkan keberatan kasasi lainnya, putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya tanggal 12 Juni 2001 No.242/PDT/2001/PT.Sby. yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tanggal 4 Oktober 2000 No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda. tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan serta Mahkamah Agung dengan mengambilalih pertimbangan hokum Pengadilan Negeri yang telah tepat dan benar dan menjadikan sebagai pertimbangan sendiri akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar seperti tersebut dibawah ini; 4. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan, maka Termohon Kasasi sebagi pihak yang kalah dalam perkara ini dihukum membayar semua biaya pekara, baik dalam tingkat pertama dan tingkat banding maupun dalam tingkat kasasi; Memperhatikan Pasal-pasal dari Undang-Undang No.4 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.4 Tahun 1985 jo Undang-Undang No.5 Tahun 2004. Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 : 1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Tjakra Adisubrata;
2. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya tanggal 12 Juni 2001 No.242/PDT/2001/PT.Sby, yang membatalkan putusan Pengadilan
Negeri
Sidoarjo
No.45/Pdt.G/2000/PN.Sda.
138
tanggal
4
Oktober
2000
Dalam Eksepsi : -
Menolak Eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara : 1. Mengabulkan gugat Penggugat untuk sebagian; 2. Menyatakan Penggugat adalah pemilik bangunan rumah sengketa yan terletak di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo; 3. Menyatakan Tergugat telah menghuni rumah sengketa tanpa hak dan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum; 4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi pengganti uang sewa kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap tahun sejak Maret 1995 hingga putusan ini dapat dilaksanakan dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap; 5. Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk menyerahkan kembali bangunan rumah sengketa kepada Penggugat dalam keadaan kosong, tanpa beban dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak putusan diucapkan; 6. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas tanah sengketa; 7. Menolak gugat Penggugat untuk selebihnya; Menghukum Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat pertama sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
139
4.2.4
Pembahasan Kasus Hukum Sewa menyewa adalah merupakan perjanjian timbal balik yang bagi
masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. Perjanjian timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral atau perjanjian dua pihak. Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum apabila waktu
yang ditentukan sudah habis tanpa memerlukan suatu
pemberitahuan pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa-menyewa itu dibuat hanya secara lisan, sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa hendak menghentikan sewanya. Akan tetapi, pemberhentian ini harus dilakukan dengan memperhatikan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Untuk sewa menyewa terhadap benda tidak bergerak seperti rumah, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghuni Rumah Oleh Bukan Pemilik, khusus mengenai Perjanjian SewaMenyewa Rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas waktu tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa- menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum.152 Dalam sewa-menyewa, si pemilik objek hanya menyerahkan hak pemakaian dan pemungutan hasil dari benda tersebut, sedangkan hak milik atas benda tersebut tetap berada di tangan yang menyewakan sebaliknya pihak penyewa wajib memberikan uang sewa kepada pemilik benda tersebut.153
152
Tan Kamello, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, hal. 185. 153 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 49. 140
Suatu perjanjian pada dasarnya akan berlangsung dengan baik jika para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh itikad baik (good faith), namun apabila salah satu pihak tidak beritikad baik atau tidak melaksanakan kewajibannya maka akan timbul perbuatan wanprestasi. Seperti halnya yang terjadi pada perjanjian sewa menyewa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002, awalnya hubungan sewa menyewa ini berlangsung dengan baik antara Ny. Trisnawati (yang menyewakan) dengan Ong Ka Kiong (penyewa) berdasarkan Sewa Menyewa seperti ternyata dalam kwitansi tanda terima kurang lebih tahun 1940 dan tidak menentukan jangka waktunya atas : tanah dan bangunan rumah di Jalan Mojopahit No.14 Sidoarjo, yang selanjutnya menjadi obyek perkara. Sejak Ny. Trisnawati Adisubrata meninggal dunia, maka Penggugat sebagai ahliwarisnya melanjutkan bangunan sewa menyewa atas bangunan rumah sengketa dengan Ong Ka Kiong tersebut dengan uang sewa perbulan sebesar Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dan terakhir kali Ong Ka Kiong membayar uang sewa adalah uang sewa bulan Agustus sampai dengan Desember 1984 sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) atau uang sewa perbulan adalah Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah); Setelah itu Tergugat yang adalah anak dari Ong Ka Kiong meneruskan menghuni bangunan rumah sengketa dan meminta kepada Penggugat agar kwitansi pembayaran uang sewa tidak tertulis atas nama Ong Ka Kiong lagi, tetapi ditulis atas nama Tergugat, namun Penggugat menolak permintaan Tergugat tersebut karena Penggugat hanya mempunyai hubungan sewa menyewa dengan
141
Ong Ka Kiong dan sama sekali tidak mempunyai hubungan sewa menyewa dengan Tergugat serta secara hukum hak sewa tidak bisa diwariskan. Perbuatan penyewa telah membuktikan bahwa mereka telah melakukan ingkar janji (wanprestasi) dan beritikad tidak baik terhadap yang menyewakan serta telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) karena tidak mau mengosongkan serta menyerahkan obyek perkara, sehingga pihak yang menyewakan merasa sangat dirugikan dan mengajukan gugatan, kasus ini bergulir panjang sampai pada tahap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002, dimana putusan Mahkamah Agung tersebut menolak gugatan pihak penyewa. Penyewa dikatakan telah melakukan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehinggga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya. Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah : keharusan atau kemestian bagi debitur (penyewa) membayar ganti rugi (schade vergoeding). Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.154 Sebab dengan tindakan penyewa dalam melaksanakan kewajiban tidak tepat waktu atau tak layak, jelas merupakan pelanggaran hak pemilik/yang menyewakan. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.155 Memang hampir serupa antara onrechtmatigedaad dengan wanprestasi. Itu sebabnya dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan genus spesifik dari onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365 Kitab Undang154 155
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 60. M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 61. 142
Undang Hukum Perdata yang menyatakan: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Namun orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.156 Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan, sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan wanprestasi. Ini akan menjadi celah yang akan dimanfaatkan tergugat dalam tangkisannya. Membedakan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sebenarnya gampang-gampang susah. Sepintas lalu, bisa melihat persamaan dan perbedaannya dengan gampang. Baik perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, sama-sama dapat diajukan tuntutan ganti rugi. Sementara perbedaannya, seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya. Sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, akan ada perbedaan dalam pembebanan pembuktian, perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Dalam suatu gugatan perbuatan 156
Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Sebagai Dasar Gugatan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatanmelawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasargugatan, diakses 17 Februari 2015.
143
melawan hukum, penggugat harus membuktikan semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum selain harus mampu membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar. Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat dapat menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum).157 Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang diajukan dasarnya adalah wanprestasi. Dari uraian di atas, sebelum mengajukan gugatan, ada baiknya calon penggugat mempertimbangkan terlebih dahulu apakah akan mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap lawannya. Seandainya mengajukan gugatan wanprestasi, ia cukup menunjukkan perjanjian yang dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian untuk menyatakan tidak terjadi wanprestasi. Namun kalau akan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus siap-siap untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa bukan hanya ada suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada juga unsur kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh Tergugat. Dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada berbagai macam gugatan, yang tidak boleh dicampur adukkan, dalam arti, bahwa seorang penggugat tidak cukup minta peradilan begitu saja, melainkan ia harus mengutarakan (stellen) dan kalau perlu, membuktikan suatu pelanggaran dari pasal tertentu dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau undang-undang lain, dan juga ia harus menentukan semula apa yang ia minta, yaitu misalnya
157
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 10. 144
penyerahan suatu barang tertentu, atau pengosongan suatu bangunan atau pembayaran ganti kerugian berwujud uang atau berwujud lain, atau suatu perbuatan tertentu, atau larangan melakukan suatu perbuatan tertentu yang tergugat juga belum pernah melakukan tetapi akan melakukan, kalau tidak dilarang.158 Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 164 HIR, yang terdiri dari : (1) bukti tulisan; (2) bukti dengan saksi; (3) persangkaan; (4) pengakuan, dan (5) sumpah.159 Alat bukti tulisan ditempatkan dalam urutan pertama. Hal ini sesuai dengan kenyataan jenis surat atau akta dalam perkara perdata, memegang peran yang penting. Semua kegiatan yang menyangkut bidang perdata, sengaja dicatat atau dituliskan dalam surat atau akta. Setiap perjanjian transaksi jual-beli, sewamenyewa, penghibahan, pengangkutan, asuransi, perkawinan, kelahiran dan kematian, sengaja dibuat dalam bentuk tertulis dengan maksud sebagai alat bukti atas transaksi atau peristiwa hubungan hukum yang terjadi. Apabila satu ketika timbul sengketa atas peristiwa itu, dapat dibuktikan permasalahan dan kebenarannya oleh akta yang bersangkutan. Sementara itu tulisan-tulisan yang dengan dibuat untuk dijadikan bukti, ada juga tulisan-tulisan yang dibuatnya tanpa maksud yang demikian, tetapi pada sewaktu-waktu dapt dipakai juga atau berguna dalam suatu pembuktian, misalnya:
158
Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, hal.101. 159 M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 556-557. 145
surat-menyurat biasa, catatan-catatan, pembukuan dan lain-lain. Beraneka warna sekali tulisan itu: kuitansi, surat perjanjian, surat-menyurat, surat hak milik, surat tanda kelahiran. Sehingga apabila seseorang dimintai surat tanda bukti, maka surat tanda bukti ini dimaksudkan untuk dikemudian hari dipakai terhadap orang yang memberikan tanda bukti tersebut. Jadi, lazimnya tulisan itu akan menjadi bukti terhadap si penulis. Kuitansi, surat-menyurat dan lain-lain merupakan suatu bukti terhadap penandatangannya.160 Di dalam perkara ini, surat perjanjian sewamenyewa dalam bentuk kwitansi yang dibuat oleh orang tua Tjakra Adisubrata yakni Ny. Trisnawati (yang menyewakan) dengan Ong Ka Kiong, orang tua Ong Tek Tjwan (penyewa) sebagai tanda bukti bahwa benar telah terjadi suatu hubungan sewa-menyewa atas objek terperkara kira-kira pada tahun 1940. Ong Tek Tjwan (penyewa) bersikukuh tidak mau melakukan pengosongan pada obyek perkara tersebut, maka Ong Tek Tjwan (penyewa) telah melanggar hukum yang merugikan hak Tjakra Adisubrata (yang menyewakan). Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1994 tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik Pasal 2 dan Pasal 21 ayat (1), maka penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik dan sewamenyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Dengan adanya
160
R. Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, Cetakan Ke XV, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.20. 146
ketentuan tersebut, maka perjanjian sewa-menyewa yang menjadi pokok perkara dalam hal ini telah batal demi hukum. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pada Pasal 164 menyatakan bahwa: “Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469), dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai perumahan dan permukiman, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini.” Ketentuan
berdasarkan
undang-undang
tersebut,
maka
Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan Pemilik masih tetap berlaku. Sehingga dalam perkara ini sebenarnya perjanjian sewa-menyewa tersebut telah berakhir karena antara para termohon kasasi dengan pemohon kasasi tidak memperbaharui perjanjian tersebut. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Mahkamah Agung hanya dapat menjaga kesatuan hukum dari putusan-putusan pengadilan yang berada di bawahnya sepanjang para pihak yang bersengketa mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan tersebut. Andaikata lahir suatu putusan pengadilan mengandung kesalahan penerapan hukum, dan para pihak tidak mengajukan upaya hukum, maka Mahkamah Agung tidak dapat melakukan koreksi atas kesalahan tersebut.161
161
Lembaga Kajian Dan Advokasi Untuk Indepedensi Peradilan, Kasasi Demi Kepentingan Hukum,Penunjang Fungsi Mahkamah Agung Yang Terlupakan, http://www.lelp.or.id/artikel/101-kasasi-demikepentingan-hukumpenunjang-fungsi-mahkamah-agung-yang-terlupakan, diakses 17 Februari 2015. 147
Ketentuan berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah Agung dalam perkara ini telah memutuskan dengan tepat dikarenakan dalam hubungan sewa menyewa ini sebenarnya telah berakhir dengan sendirinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tersebut di atas, dan juga Majelis Hakim memutuskan bahwa para termohon kasasi telah melakukan perbuatan melawan hukum dikarenakan antara pemohon kasasi dengan para termohon kasasi tidak pernah melakukan suatu perjanjian dan sudah semestinya para termohon kasasi mengosongkan obyek terperkara tersebut agar tidak merugikan hak orang lain yakni pemohon kasasi sebagai pemilik yang sah.
148
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam suatu perjanjian sewa menyewa yaitu unsur batas waktu tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Perjanjian tersebut tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka perjanjian ini batal demi hukum. Perjanjian sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tidak sekedar mengingkari lembaga jual beli tetapi mengingkari lembaga hak milik yang bersifat hak asasi, dan juga jika sewa dinyatakan tidak terbatas waktunya maka artinya melanggar hak asasi pemiliknya untuk dapat memanfaatkan tanah miliknya sendiri. Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri. 2. Kasus sengketa sewa-menyewa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2313 K/Pdt/2002 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3667 K/Pdt/2001 dapat diadili oleh pengadilan mengingat kedua kasus sewa149
menyewa tersebut belum pernah diajukan ke pengadilan. Gugatan perjanjian sewa-menyewa rumah tanpa jangka waktu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan gugatan dalam pokok perkara yang sama.
5.2 Saran Adapun saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 1. Untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah sebaiknya dilakukan secara tertulis dan dengan jangka waktu yang telah ditentukan sehingga mempunyai kekuatan hokum yang kuat. Jangan sampai membuat perjanjian tanpa menetapkan batas waktu untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan nantinya. 2. Disarankan hakim cermat dalam mengadili suatu perkara perdata dan hendaknya didasarkan atas hukum atau peraturan dalam beracara, melandasi berbagai pertimbangan dan putusan dengan keadilan, selain berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku tersebut, hakim harus mendasarkan putusan pada ketentuan teori mengenai obyek sengketa khususnya, sehingga unsur-unsur subyek, obyek, alasan gugatan yang sama dapat dihindari. Karena bagaimanapun juga sengketa perdata tersebut pernah diperiksa, diputus, dan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
150
DAFTAR PUSTAKA
Buku Achmad, Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta. ---------, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta. Badrulzaman, Mariam Darus, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I, Alumni, Bandung. Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. ---------, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Catherine Elliot, Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate, England. Emong
Supradjaja, Komariah, 2002, Perkembangan Yurisprudensi di Indonesia, Alumni, Bandung.
Penerapan
dalam
Fajar Laksono, Ed., 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti, Bandung. Gandasubrata, Purwoto, 1998, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia. Goesniadhie, Kusnu, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik, Penerbit A3 dan Nasa Media, Malang. Hans Kalsen, 2007, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu mpirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta. Harahap, M. Yahya, 1986, Segi -Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung. ----------, 2008, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta. ----------, 2006, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. 151
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Cet.I, Alumni, Bandung. Holland, James A. and Webb, Julian S., 1991, Learning Legal Rules, Blackstone Limited, Great Britain. Huijbers, Theo, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Kanisius, Yogyakarta. Ibrahim, Johannes dan Sewu, Lindawaty, 2007, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung. Ibrahim, Johnny, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang. Imran, S., 2007, Asas-Asas dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis Yuridis pada Hukum Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta. Kamello, Tan, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung. Karlinger, Fred N., 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart. Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Lubis, Basrah, 1993, Sewa Menyewa dan Pembahasan Kasus, Diktat Kuliah FH USU, Medan. Lumban Tobing, G.H.S., 2003, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Erlangga, Jakarta. Mahmud Marzuki, Peter, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Meliala, A. Qirom, 1985, Pokok-Pokok Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.
Hukum
Perikatan
Beserta
Meliala, Djaja S., 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia, Bandung. Moeliono, Anton M., et al., 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Mertokusumo, Soedikno, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 152
Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ----------, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Naja, H.R Daeng, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting, Edisi Revisi Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Niewenhuis, J.H., 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya. Pontier, J.A., 2008, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung. Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum PeriKatan, Mandar Maju, Bandung. Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Prawirohamdjojo, Soetojo dan Mathalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya. Prodjodikoro, R. Wirjono, 1987, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradya Paramita, Jakarta. ---------, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung. ---------, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung. ---------, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung. Raharjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Rahman, Hasanudin, 2003, Contract Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung. Rosa Agustina, Suharnoko, Hans Nieuwenhuis dan Jaap Hijma, 2012, Hukum Perikatan, Pustaka Larasan, Denpasar. Sampford, Charles, (Ed.), 2006, Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions, The Ferderation Press, Sydney. Setiawan, R., 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung.
153
Sidharta, Bernard Arief, 2001, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Cetakan ke IV, Ghalia Indonesia, Jakarta. Subekti dan Tjitrosudibio, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Yogyakarta. Subekti, R., 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. ----------, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. ----------, 2002 Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta. ----------, 2005, Hukum Pembuktian, Cetakan Ke XV, Pradnya Paramita, Jakarta. ----------, 2010, Hukum Perjanjian, Cet. XXIII, PT. Intermasa, Jakarta. Subekti, R., dan Tjitrosudibio, R., 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. ----------, 2002, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, PT. Prenada Media, Jakarta. Suroso, R., 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Suryodiningrat, R. M., 1995, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung. Sujata, Antonius, 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta. Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung. Team Penulisan Buku Pedoman, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar. Than Thong Kie, 2000, Study Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Utrecth, E. dan Moh. Saleh Djindang, 2009, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung.
154
Wahjono, Padmo, 2006, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Waluyo, Bambang, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Jurnal/Makalah Artadi I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar. Badrulzaman, Mariam Darus, 1996, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas Hukum USU, Medan. Boot, Machtel, 2002, Nullum Crimen Sine Lege and Subjek Matter Jurisdiction of the International Criminal Curt: Genocide, Crimes Agaist Humanity, War Crimess, Intersentia, Antwerpen, hal. 83-85; istilah lain terhadap asas ini, yang dikenal dalam Hukum Pidana di Indonesia, nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poeneli, atau asas Legalitas. Lihat dalam E. Utrecth dan Moh. Djindang, Ibid, hal. 388. Dian Jati Damayanti, Dwi Febriyanti dan Lisa Ayu Dwiyanti, 2013, “Jaminan Kepastian Hukum Terhadap Warga Negara Berdasarkan Hukum Nasional Indonesia”, Privat Law, Edisi 02, hal. 76.
155
Hartati, Sri, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”, Artikel, Fakultas Hukum Universitas Andalas. Macdonal, R., F. Matcher, and H.Petzold, 1993, The European System for the protection of Human Rihgts, Kluwer Academic Publishers, The Hague, hal. 397. Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”, dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum Perikatan Nasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV. Rai Asmara Putra, I Dewa Nyoman Ketut Artadi, 2010, Implementasi KetentuanKetentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar. Roscoe, Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press. Sieglar, Jay A. dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23. Sumardjono, Maria S.W, 1997, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti,” Makalah disampaikan dalam Seminar Kebijaksanaan Baru di Bidang Pertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan Perbankan, Jakarta 6 Agustus hal. 1. Tommy H. Purwaka, 2005, Fakta Perlunya Harmonisasi Prosiding Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hal. 560-563. Wade, E. C. S. dan Godfrey Phillips, 1971, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practive of the Constitution Including Central and local Government, the citizen and the State and Administrative Law by E.C. C. Wade and G. Godfrey Phillips, Eighth Edition, Longman Limited Group, London. Yusuf Ibrahim, Muhammad, 2014, “Implementasi Asas Nebis In Idem dalam Perkara yang telah Memiliki Kekuatan Hukum tetap yang Digugat Kembali dengan Sengketa Obyek yang Sama tetapi dengan Subyek yang Berbeda”, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Vol. XII, No.1, hal. 1163.
156
Sumber Lain Habib
Adjie, 2011, “Hukum Perjanjian”, habibadjie.dosen.narotama.ac.id/files/2011/04/HukumPerjanjian2Keabsaha nPerjanjian.pdf.
Hukum online.com, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Sebagai Dasar Gugatan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan melawan-hukum-dan-wanprestasise bagai-dasargugatan, diakses pada tanggal 5 Juli 2014. Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Indepedensi Peradilan, Kasasi Demi Kepentingan Hukum,Penunjang Fungsi Mahkamah Agung yang Terlupakan, http://www.lelp.or.id/artikel/101-kasasi-demikepentinganhukum-penunjang-fungsi-mahkamah-agung-yang-terlupakan, diakses 17 Februari 2015.
157