UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur yang tidak terhingga penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas rahmat dan karunia-Nya disertasi yang berjudul: “Industrialisasi Seni Kriya pada Era Globalisasi di Kecamatan Tegallalang Gianyar Bali” dapat diselesaikan. Disertasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., selaku Promotor yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, semangat kepada penulis, agar segera dapat menyelesaikan penelitian ini. Kepada Prof. Dr. I Nengah Bawa Atmadja, M.A., selaku Ko-Promotor I yang telah banyak membimbing penulis dalam memahami paradigma kajian budaya dan menerapkan teori-teori kritis yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Hal ini sangat membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Dr. I Nyoman Dhana, M.A., selaku Ko-Promotor II yang telah banyak membimbing dan memberikan dorongan, semangat, dan koreksi secara mendetail dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Swastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. Prof. Dr. Made Budiasa, M.A. selaku Asisten Direktur I dan Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, Ph.D., selaku Asisten Direktur II atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menerima beasiswa. Terima kasih pula disampaikan kepada Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawana, S.U. selaku Ketua dan Dr. Putu Sukarja, M.Si. selaku Sekretaris Program Doktor Kajian Budaya yang telah memberikan fasilitas pendidikan, motivasi, semangat, dan selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada dosen-dosen S3 Kajian Budaya yang telah memberikan materi dan bimbingan selama perkuliahan, dengan berbagai warna dasar keilmuan, yang dapat memberikan pengayaan vii
x
tersendiri pada penulis. Beliau tersebut adalah: Prof. Dr. I Gde Widja, M.A.; Prof. Dr. I Nengah Bawa Atmadja, M.A.; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Dr. I Gede Mudana, M.Si.; Dr. I Putu Sukarja, M.Si.; Dr. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A.; Dr. Industri Ginting Suka, M.S.; Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum.; Dr. I Nyoman Dhana, M.A.; Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. A.A. Ngr. Anom Kumbara, M.A.; Prof. Dr. Aron Meko Mbete,; Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A.; Prof. Dr. I Gde Semadi Astra,; Prof. Dr. I Ketut Nehen, S.E., M.Ec.; Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A.; Prof. Dr. Ing. I Made Merta, ; Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.H.; Prof. Dr. Irwan Abdullah; Prof. Dr. Koento Wibisono; Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A.; Prof. Dr. Shri E. Ahimsa Putra, M.A. Terima kasih pula disampaikan kepada dewan penguji disertasi ini, yaitu: Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A.; Dr. I Nyoman Dhana, M.A.; Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A.; Prof. Dr. Ir. Sulistyawati, M.S.; Dr. I Putu Sukarja, M.Si.; Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum., yang telah memberikan masukan, perbaikan, kritik, sanggahan, koreksi, maupun saran sehingga disertasi ini dapat diwujudkan seperti sekarang ini. Terima kasih disampaaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan bantuan beasiswa (BPPS), serta seluruh staf administrasi Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para staf/pegawai Program Doktor Kajian Budaya, yaitu: I Putu Sukaryawan, S.T.; Dra. Ni Luh Witari; Ni Wayan Ariyati, S.E.; Cok Istri Murniati S.E.; A.A. Ayu Indrawati; I Nyoman Candra; Putu Hendrawan; Ketut Budi Astra yang telah banyak memberikan bantuan fasilitas dan informasi administrasi selama penulis menempuh studi di Program Doktor Kajian Budaya. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. I Nyoman Jampel, M.Pd., selaku Rektor Universitas Pendidikan Ganesha yang telah memberikan izin studi lanjut kepada penulis, sehingga penulis berkesempatan menambah pengetahuan serta wawasan keilmuan di bidang Kajian Budaya. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A., yang selalu mendorong dan memberi semangat untuk menyelesaikan studi ini. viii
xi
Terima kasih disampaikan pula kepada teman-teman seperjuangan dalam suka maupun duka di Program Doktor Kajian Budaya angkatan 2012/2013, yaitu: A.A. Gde Bagus Udayana, I Wayan Sujana, I Nyoman Sukerna, I Made Pageh, Bambang Dharwiyanto Putro, I Wayan Mudra, I Gde Wirata, I Ketut Sariada, A.A. Nyoman Sri Wahyuni, I Gusti Ketut Purnaya, I Gede Susila, Ida Ayu Trisna Wati, I Made Ary Widiastini, Ni Wayan Ardini, I Dewa Ayu Sri Suastini, Ida Ayu Kade Sri Sukma Dewi, I Nyoman Mardika, Sri Ratnawati, Suroyo, dan Komang Sri Marheni. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Drs. Hardiman, M.Si., Drs. Mursal Buyung, Drs. Agus Sudarmawan, M.Si., Drs. Jajang Suryana, M.Sn., Drs. I Ketut Supir, M.Hum., Dr. I Ketut Sudita, M.Si., Dra. Luh Suartini, M.Pd., Drs. I Gusti Nyoman Widnyana, M.Erg., Drs. I Gusti Ngh. Sura Ardana, M.Sn., Drs. I Gede Eka Harsana K., M.Erg., I Wayan Sudiarta, S.Pd., M.Si., I Gusti Made Budiarta, S.Pd., M.Pd., Ni Nyoman Sri Witari, S.Sn., M.Sn., I Ketut Nala Hariwardana, S.Sn., M.Pd., I Nyoman Rediasa, S.Sn., M.Si., Elly Herlyani, S.Sn., M.Pd., dan Langen Bronto Sutrisno, S.Sn., M.A., yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Perisdustrian dan Perdagangan Kabupaten Gianyar, I Wayan Suamba, S.T., Camat Tegallalang, I Nyoman Darmawan, S.Sos., Kepala Desa Tergallalang, Dewa Gde Rai Sutrisna, S.P., Kelian Desa Pakraman Tegallalang, Pande Wayan Karsa, dan juga kepada pematung/perajin: I Made Ada, I Wayan Naspi, I Wayan Rajeg, I Putu Darma, I Made Linggih Dharmawan, I Made Parwata, I Wayan Risa, S.Pd., Drs. I Made Weda, Nyoman Gede Amer Jaya (Gede Cokot), Made Piter Oka Yasa, I Made Dodot, dan Wayan Astawa, yang dengan sabar dan tulus memberikan informasi kepada penulis. Terima kasih pula disampaikan kepada ayahanda, I Ketut Tangun (Alm.), Ibunda Ni Made Sawi (Alm.), dan juga kepada bapak mertua Dewa Gede Munadha (Alm.) ibu mertua I Gusti Ketut Mayun yang telah memberi motivasi dan semangat untuk meraih cita-cita. Kepada istri tercinta I Dewa Ayu Made Budhyani, yang senantiasa berdoa dan memberikan dorongan dan pengorbanan ix
xii
untuk penyelesaian disertasi ini. Juga kepada kakak I Nyoman Retig dan I Ketut Sandiarsa, S.Pd., M.M. kakak ipar I Made Dini dan Ni Wayan Musim, I Dewa Gede Budhyasa, S.E., Sak Tut, adik ipar Ir. I Dewa Nyoman Budyastana, dan dr Kadek Kristiyani, S. (Anes), ananda Putu Yudia Pratiwi, S.Pd., Kadek Adi Surya Negara, Komang Budi Gunawan, ponakan-ponakan dr. I Wayan Sudira, S.Ked., Kadek Widya Putra, S.Ked., Indah, Dian, Ni Putu Sandy Parianti, S.T., Kadek Suryadi Sandy, Josep, yang telah banyak memberikan inspirasi, kekuatan dan dorongan dalam penyelesaian disertasi ini. Penulis tiada hentinya memohon ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar menganugrahkan asung kerta wara nugraha-Nya kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan pengorbanan dalam penyelesaian disertasi ini. Om Shantih, Shantih, Shantih, Om. Denpasar, 4 Oktober 2016 Penulis,
xiii
ABSTRAK INDUSTRIALISASI SENI KRIYA PADA ERA GLOBALISASI DI KECAMATAN TEGALLALANG GIANYAR BALI Seni kriya sebagai budaya rakyat dibuat oleh perajin dengan menggunakan keterampilan tangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk keperluan upacara keagamaan yang memiliki nilai-nilai estetis. Industrialisasi pada seni kriya proses pengerjaannya tidak lagi sepenuhnya menggunakan keterampilan tangan, namun dibantu dengan mesin dan diproduksi secara massal. Rumusan masalah penelitian adalah mengapa terjadi industrialisasi seni kriya di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali; bagaimana para pemangku kepentingan berperan untuk memainkan kekuasaan dalam industrialisasi seni kriya di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali; dan bagaimana implikasi industrialisasi seni kriya tersebut pada perajin setempat dan benda-benda seni kriya yang ditampilkannya. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif perspektif cultural studies. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Teknik analisis data secara deskriptif kualitatif melalui tahapan dekonstruksi, dan penyusunan etnografi. Teori yang digunakan adalah teori Globalisasi, teori Praktik Sosial, teori Kuasa dan teori Estetika Posmodern. Hasil penelitian menunjukkan, (1) alasan terjadinya industrialisasi seni kriya, karena adanya berbagai kebutuhan bahwa seni kriya sebagai budaya rakyat tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, namun berkembang menjadi industri budaya yang diproduksi dengan mesin secara massal untuk memenuhi kebutuhan pariwisata, (2) Peran pemangku kepentingan memainkan kekuasaan melalui modal yang dimiliki, seperti keluarga perajin sebagai produksi, desa pakraman, pemerintah daerah dan provinsi, lembaga formal, serta konsumen mancanegara membuat seni kriya sebagai produk industri, dan (3) Implikasi pada perajin membuat diversifikasi pada seni kriya dan munculnya lima idiom estetik seni kriya postmodern, yaitu pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizoprenia. Temuan baru penelitian ini adalah (1) Industrialisasi seni kriya terjadi di Tegallalang karena adanya pergerakan manusia dari satu negara ke negara lain sebagai wisatawan dan lainnya, sehingga banyak membutuhkan produk-produk seni kriya sebagai cinderamata atau diperdagangkan. Temuan ini dapat dimengerti berdasarkan teori Appadurai tentang Globalisasi, adanya aliran global, yakni: ethnoscape, technoscape, mediascape, finanscape, dan ideoscape. (2) Peran para pemangku kepentingan dalam memainkan kekuasaan dapat dimengerti berdasarkan teori praktik sosial Bourdieu melalui permainan modal-modal, yaitu: modal budaya, modal sosial, dan modal ekonomi. (3) Implikasinya adalah terjadinya diversifikasi seni kriya yang memunculkan estetika posmodern. Berdasarkan teori Baudrillard dunia posmodern sebagai dunia yang dicirikan oleh simulasi. Kata kunci: industrialisasi, seni kriya, globalisasi, pemangku kepentingan, permainan modal
xiv
ABSTRACT HANDICRAFTS INDUSTRIALIZATION IN GLOBALIZATION ERA IN TEGALLALANG DISTRICT OF GIANYAR IN BALI Handicrafts as folk culture are made by craftsmen manually to meet the community daily needs as well as the requirement of religious rituals that have esthetical values. Industrialization in handicrafts has shifted the production of works from manual production into the combination of manual and machine production that result in mass production. The problems of this study were why did industrialization occur in handicrafts in Tegallalang district, Gianyar, Bali?; how did the stakeholders play their roles in the industrialization of the handicrafts in Tegallalang district, Gianyar, Bali?; and how did the implication of the industrialization of the handicrafts for the local craftsmen and for the works of art work presented? This study used qualitative method with cultural studies perspective. The data were collected through observation, in-depth interview, and document study. The data were analyzed descriptive-qualitatively through deconstruction, and ethnography composition stages. The study used Globalization theory, Social Practice theory, power theory, and Postmodern Esthetic theory. The result showed that (1) the industrialization of the handicrafts is due to their versatility. They are not only used as cultural products to meet the need of the community, but they have developed into cultural industry art products produced by machines in mass quantity to meet the demand in tourism. (2) the stakeholders play the role through their capitals. They consist of craftsmen’s families as producers, desapakraman, local and provincial government, formal institutions, and foreign consumers. They make the handicrafts industry products. (3) the implication for the craftsmen causes diversification in the works of art and the emergence of five postmodern works of art esthetic idioms: pastiche, parody, camp and schizophrenia. The new findings of this study are as follows: (1) Industrialization of handicrafts occurred in Tegallalang because of the movement of people from one country to another as tourists and for other reasons, thus many of them need handicrafts as souvenirs or commodities. This finding can be understood based on Appadurai’s theory on globalization in which there are global movements, ethnoscape, technoscape, mediascape, finanscape, and ideoscape. (2) The role of the stakeholders in using their powers can be understood based on Bourdieu’s social practice theory through capital game, i.e., through cultural capital, social capital, and economic capital. (3) The implication is the occurrence of handicrafts diversification brings about postmodern esthetics. Based on Baudrillard’s theory, modern world is a world characterized by simulation. Keywords: industrialization, handicrafts, globalization, stakeholders. the game capital
xv
RINGKASAN
Seni kriya atau seni kerajinan adalah karya seni rupa sebagai hasil kerja dari seseorang atau sekelompok perajin, yang dalam proses pengerjaannya lebih banyak menggunakan keterampilan tangan (secara manual). Seni kriya merupakan karya tradisional yang dikerjakan secara turun-temurun dalam setiap generasi. Benda-benda seni kriya ada yang berwujud dua dimensi dan tiga dimensi, sebagai benda fungsional maupun nonfungsional untuk memenuhi kebutuhan manusia secara praktis, religius, maupun sekuler yang memiliki nilai estetis. Pada era globalisasi terjadi peningkatan koneksi global dan hubungan sosial antarmanusia yang melahirkan bentuk-bentuk komunikasi dan informasi baru melintasi ruang dan waktu. Globalisasi melibatkan gerakan dinamis kelompok-kelompok etnis, teknologi, transaksi finansial, citra media, dan konflikkonflik ideologi. Kondisi tersebut mendorong terjadinya perubahan dalam teknik pembuatan seni kriya oleh perajin di Tegallalang. Perajin tidak lagi sepenuhnya menggunakan keterampilan tangan, namun diadaptasi menggunakan mesin dan menghasilkan produk massal untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pembuatan produk massal mengakibatkan seni kriya tradisional menjadi termarjinalkan. Dalam industrialisasi berbagai pemangku kepentingan/stakeholder memainkan kekuasaan melalui modal-modal yang dimiliki untuk Memeroleh keuntungan, akibatnya muncul beragam produk seni kriya. Berdasarkan fenomena tersebut, masalah yang dikaji adalah alasan terjadinya industrialisasi seni kriya di kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali. Peran para pemangku kepentingan memainkan kekuasaan dalam industrialisasi seni kriya di kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali. Implikasi industrialisasi seni kriya pada perajin setempat dan benda-benda seni kriya yang ditampilkannya. Rumusan masalah penelitian dibedah menggunakan teori Globalisasi, teori Praktik Sosial, dan teori Estetika Postmodern. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan perspektif cultural studies. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan
xvi
studi dokumen. Data-data yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya dianalisis melalui tahapan semiotik, dekonstruksi, dan penyusunan etnografi kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya industrialisasi seni kriya pada era globalisasi di kecamatan Tegallalang, karena datangnya wisatawan ke Bali pada umumnya dan Tegallalang khususnya ingin menikmati keindahan alam dan keunikan budaya masyarakatnya, serta membutuhkan seni kriya sebagai cinderamata. Seni kriya sebagai budaya rakyat diproduksi secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Permintaan terhadap seni kriya semakin banyak, seni kriya diproduksi secara massal. Wisatawan membutuhkan diversifikasi objek wisata karena mereka datang untuk menikmati objek wisata sebanyakbanyaknya. Tegallalang yang semula hanya sebagai daerah lintasan wisatawan, sekarang sudah ada beberapa objek wisata seperti objek wisata Ceking, Gunung Kawi, objek wisata agro sebagai tempat kunjungan wisatawan. Untuk memenuhi kebutuhan wisatawan terhadap barang-barang seni kriya sangat banyak art shop yang menjual produk-produk seni kriya. Adanya tempat-tempat wisata dan barang-barang seni kriya yang dijual di Tegallalang sebagai upaya untuk menarik dolar dari pusat ke pinggir. Tujuannya agar Tegallalang banyak dikunjungi wisatawan untuk menikmati objek wisata yang dibangun oleh masyarakatnya. Terciptanya berbagai jenis produk seni kriya karena dukungan infrastruktur material baik yang tersedia di wilayah Tegallalang maupun yang didatangkan dari luar sehingga produk-produk seni kriya semakin bervariasi. Dukungan struktur sosial dan tidak bertentangan dengan superstruktur teknologi, serta kuatnya dorongan semangat wirausaha dari perajin untuk mengembangkan industri kreatif membuat Tegallalang menjadi salah satu pusat pembuatan dan penjualan produk-produk seni kriya di Kabupaten Gianyar. Usaha berbasis sektor informal dilakukan oleh keluarga, sehingga usahanya tidak ada yang berbentuk PT atau CV, dan perajin tidak ada yang memiliki Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Kuatnya dorongan idologi pasar, perajin membuat produk-produk sesuai dengan selera pasar agar cepat laku. Pasar menjadi kebutuhan
konsumerisme,
barang-barang
xvii
konsumsi
ada
di
pasar,
supermarkert,atau mall yang banyak menyediakan barang-barang untuk konsumsi guna memenuhi keinginan atau hasrat. Peran para pemangku kepentingan memainkan kekuasaan dalam industrialisasi seni kriya di Tegallalang mencakup: peran keluarga sebagai basis produksi, distribusi dan pemasaran. Ayah sebagai kepala keluarga memainkan modal budaya, modal sosial, dan modal ekonomi dalam memroduksi seni kriya dan membangun usaha penjualan dengan mendirikan art shop. Ayah menjalankan kuasa kepada anak untuk mewariskan usahanya, mencari tenaga kerja di luar keluarga, mendistribusikan pekerjaan dan pemasaran produk-produk seni kriya. Pola pemasaran benda-benda seni kriya oleh perajin, menjual sendiri melalui art shop dan melalui guide/pemandu wisata. Desa PakramanTegallalang membuka objek wisata dan fasilitas pendukungnya untuk menarik kunjungan wisatawan. Desa dinas berperan melaksanakan program pemerintah, adanya pertukaran pemuda ASEAN yang pernah diselenggarakan di Tegallalang dibawah koordinasi Kementrian Sosial RI. Desa Dinas memiliki kuasa menentukan jumlah perajin yang terlibat dalam kegiatan tersebut Peran pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi terhadap perajin di Tegallalang adalah melibatkan perajin dalam kegiatan Expo, pameran Dekranas, pameran Inacraf, dan pameran dalam Pesta Kesenian Bali. Pemkab dan Pemprov menjalankan kuasa dengan memanfaatkan modal sosial menentukan perajin yang ikut dalam kegiatan tersebut. Peran pemasok bahan baku memainkan modal ekonomi dalam menentukan harga kayu yang dibutuhkan oleh perajin. Dalam memproduksi dan menyediakan berbagai jenis produk seni kriya, perajin dibantu Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Pembangunan Daerah Bali, memberi pinjaman uang, dan perajin harus mematuhi aturan yang dilakukan oleh Bank. Peran perajin dengan konsumen mancanegara, perajin pembuat produk seni kriya dan menjual produknya di art shop, wisatawan dapat memilih secara langsung produk-produk seni kriya yang disukai dan dibeli. Ada juga sistem order atau pesanan dari konsumen biasanya dalam jumlah yang cukup besar. Konsumen memainkan modal ekonomi mengatur perajin untuk membuat produk sesuai keinginannya. Perajin memainkan modal budaya untuk membuat produk sesuai
xviii
keterampilannya. Komunikasi perajin dan konsumen mancanegara dilakukan lewat e-mail dan telepon, pengiriman produk biasanya dilakukan melalui kargo. Implikasi industrialisasi seni kriya pada perajin dan produk-produk seni kriya yang dihasilkan, terjadi diversifikasi produk seni kriya yang dibuat oleh perajin. Perajin memainkan modal kultural untuk menghasilkan produk beragam yang ditukarkan menjadi modal ekonomi. Masuknya budaya asing ke Tegallalang, unsur-unsur lokal bercampur dengan unsur-unsur global menghasilkan budaya glokalisasi. Diversifikasi seni kriya, alih budaya dari budaya rakyat menjadi budaya populer. Perubahan ini memunculkan estetika pramodern, estetika modern dan estetika postmodern. Estetika pramodern mengacu pada seni tradisional. Estetika modern mengacu pada pembaharuan/kreativitas. Estetika postmodern menghilangkan batas antara seni tradisional dan seni modern. Dalam diskursus postmodern ideom-ideom estetik yang dapat diambil, dikembangkan, diperluas, diperdalam dan diterapkan dalam praktik-praktik kebudayaan yang lebih luas khususnya seni. Lima ideom estetik postmodern adalah: pasthice, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan produk seni kriya pada era globalisasi di Tegallalang melahirkan estetika postmodern. Implikasi industrialisasi seni kriya pada era globalisasi pada perajin di Tegallalang sebagai komunitas lokal berorientasi pada kosmopolitan, selain itu sebagai masyarakat berorientasi multikultur. Hal tersebut terjadi karena banyak orang luar yang datang ke Tegallalang baik sebagai tenaga kerja (perajin), dan pengelola usaha seni kriya sehingga terdapat beragam budaya yang bersaing untuk merebut pasar. Di sini juga terjadi penguatan budaya konsumen dan budaya citra. Masyarakat perajin mengonsumsi produk bukan mementingkan nilai gunanya tetapi lebih kepada nilai tandanya. Citra menjadi sangat penting karena dapat menunjukkan identitas diri dan membedakan dengan yang lain. Pada era globalisasi pasar menentukan taksu, karena perajin membuat produk bukan berdasarkan keinginan dari dalam diri melalui kekuatan modal budaya, namun untuk melayani atau mengikuti kebutuhan pasar.
xix
Temuan baru dalam penelitian ini adalah pertama, terjadinya industrialisasi seni kriya di Tegallalang diakibatkan adanya globalisasi. Semua aliran global menghasilkan berbagai realitas budaya melalui berbagai perpaduan budaya. Berdasarkan teori Appadurai lima aliran global yakni: ethnoscape, technoscape, mediascape, finanscape, dan ideoscape. Kedatangan orang asing membawa perubahan terhadap masyarakat Bali, khususnya para seniman atau perajin yang ada di Tegallalang yang memproduksi karya-karya seni rupa atau seni kriya. Sistem tradisional secara manual dalam proses produksi seni kriya yang sudah dilakukan secara turun temurun diadaptasi dengan menggunakan teknologi mesin secara mekanik, sehingga produk-produk yang dihasilkan bersifat massal. Memproduksi seni kriya secara massal dengan menggunakan tenaga mesin yang dilakukan oleh perajin menjadi lebih cepat dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan tenaga manual secara tradisional. Kondisi seperti ini berimplikasi pada pengurangan atau peminggiran produksi budaya tradisional yang memiliki keterampilan tinggi dan proses produksi lebih lama dan harganya lebih mahal. Selanjutnya temuan kedua, dalam industrialisasi terjadi permainan kuasa dari berbagai pemangku kepentingan. Temuan ini dapat dipahami berdasarkan teori Boudieu yang memperkenalkan konsep tentang habitus dan ranah. Melalui habitus` Bourdieu dapat ditunjukkan bahwa praktik sosial bukan hanya dipahami sebagai pola pengambilan keputusan yang bersifat individu atau praktik sosial sebagai hasil struktur supra-individual, melainkan hasil internalisasi struktur dunia sosial atau struktur sosial yang dibatinkan dan diwujudkan. Di samping itu temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kuasa dalam industrialisasi seni kriya, ditemukan pula bahwa berbagai bentuk kuasa tersebut merupakan arena pertarungan melalui permainan modal, yaitu modal budaya, modal sosial, dan modal ekonomi. Berbagai praktik sosial tersebut berlangsung terhadap perajin dengan komponen baik sebagai pemegang regulasi melalui kebijakan yang harus diikuti oleh perajin, maupun hal-hal terkait dengan masalah produksi, distribusi dan pemasaran dalam industrialisasi seni kriya.
xx
Temuan ketiga penelitian ini menunjukkan bahwa implikasi industrialisasi seni kriya pada perajin dan benda-benda seni kriya yang dihasilkan mengacu pada teori estetika postmodern. Berdasarkan teori Baudrillard dunia postmodern sebagai dunia yang dicirikan oleh simulasi, kita hidup di “zaman simulasi”. Proses simulasi mengarah pada penciptaan simulakcra atau “reproduksi objek atau peristiwa”. Meleburnya perbedaan antara tanda dengan kenyataan, semakin sulit untuk mengatakan mana yang nyata dan mana hal-hal yang menyimulasikan yang nyata. Temuan penelitian menunjukkan bahwa implikasi industrialisasi seni kriya di Tegallalang pada era posmodern terjadi diversifikasi produk seni kriya. Di sini terjadi berbagai permainan bentuk maupun makna dan tidak ada batas antara yang tradisional dan modern dan melebur menjadi postmodern. Seni posmodern sebagai perlawanan terhadap seni modern yang bersifat universal, rasional, dan berorientasi pada kebaruan. Seni posmodern bisa mengambil dari seni tradisi dan seni modern, dan mengeksplor sesuai keinginan senimannya. Dalam diskursus posmodern ada kategori-kategori kebudayaan, ideomideom estetik yang dapat diambil, dikembangkan diperluas, diperdalam dalam praktik-praktik kebudayaan khususnya seni. Tujuannya untuk membuka wawasan bagi penjelajahan idiom-idiom yang lebih kaya. Karya-karya seni kriya yang ditampilkan oleh perajin di Tegallalang pada era postmodern menunjukkan keragaman budaya. Munculnya karya-karya tersebut sebagai olah cipta dari perajin dengan mengambil objek-objek yang sudah ada pada masa sebelumnya menjadi karya-karya yang lucu atau menjadi aneh dengan menghilangkan makna yang ada pada karya-karya sebelumnya yang menjadi acuan. Karya-karya seni posmodern sebagai fesien karena terjadi proses daur ulang karya-karya seni yang sudah ada pada era sebelumnya. Era posmodern ditandaidengan meleburnya TV dalam kehidupan dan meleburnya kehidupan ke dalam TV. Menguatnya budaya konsumen dan budaya citra dalam kehidupan masyarakat perajin di Tegallalang saat ini, karena adanya berbagai produk yang ditawarkan oleh pasar.
xxi
DAFTAR ISI
Sampul Dalam…………………………………………………………………... Prasyarat Gelar………………………………………………………………...... Lembar Persetujuan……………………………………………………………... Panitia Penguji………………………………………………………………….. Surat Pernyataan Bebas Pagiat…………………………………………………. Ucapan Terima Kasih…………………………………………………………… Abstrak……………………………………………………………………...…... Abstract…………………………………………………………………...…….. Ringkasan……………………………………………………………………….. Daftar Isi…………………………………………………………………...…… Daftar Tabel…………………………………………………………………….. Daftar Gambar………………………………………………………………….. Glosarium………………………………………………………………………..
i ii iii iv v vi x xi xii xviii xxi xxii xxiv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………... 1.1 Latar Belakang……………………………………………………………… 1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………... 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………………… 1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………………………….. 1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………………………………. 1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………………….. 1.4.1 Manfaat Teoritis………………………………………………................... 1.4.2 Manfaat Praktis……………………………………………………………
1 1 12 13 13 13 13 13 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA KONSEP LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN………………………………………………………… 2.1 Kajian Pustaka………………………………………………………............ 2.2 Konsep……………………………………………………............................ 2.2.1 Industrialisasi……………………………………………………………... 2.2.2 Seni Kriya………………………………………………………………… 2.2.3 Globalisasi……………………………………………………................... 2.3 Landasan Teori………………………………………………………........... 2.3.1 Teori Globalisasi………………………………………………………….. 2.3.2 Teori Praktik……………………………………………………………… 2.3.3 Teori Relasi Kuasa……………………………………………………….. 2.3.4 Teori Estetika Posmodernisme.…………………………………………… 2.4 Model Penelitian…………………………………………………………….
15 15 28 28 30 31 33 33 37 44 46 56
BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………….. 3.1 Rancangan Penelitian……………………………………………………….. 3.2 Lokasi Penelitian……………………………………………………………. 3.3 Jenis dan Sumber Data……………………………………………………… 3.4 Teknik Penentuan Informan…………………………………………………
58 58 59 59 60
xxii
3.5 Instrumen Penelitian………………………………………………………... 3.6 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………………. 3.6.1 Observasi…………………………………………………………………. 3.6.2 Wawancara……………………………………………………………….. 3.6.3 Studi Dokumen…………………………………………………………… 3.7 Teknik Analisis Data……………………………………………………….. 3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data………………………………………
61 61 62 62 63 64 64
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN…………………… 4.1 Etnografi Desa Tegallalang………………………………………………… 4.1.1 Asal Usul Desa Tegallalang……………………………………………… 4.1.2 Lokasi dan Keadaan Geografis Kecamatan Tegallalang………………… 4.1.2.1 Lokasi Kecamatan Tegallalang………………………………………… 4.1.2.2 Letak Geografis Kecamatan Tegallalang………………......................... 4.2 Kondisi Demografi………………………………………………………… 4.2.1 Kondisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin………………………….. 4.2.2 Kondisi Penduduk Berdasarkan Agama………………………................. 4.2.3 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan………………................. 4.2.4 Penduduk Menurut Sumber Mata Pencaharian…………………………… 4.3 Kelembagaan Desa Kecamatan Tegallalang…………………………........... 4.4 Profil Perajin di Tegallalang………………………………………………...
66 66 66 71 71 75 81 81 81 82 83 84 87
BAB V ALASAN TERJADINYA INDUSTRIALISASI SENI KRIYA DI KECAMATAN TEGALLALANGGIANYAR BALI……………… 5.1 Budaya Rakyat Basis Bagi Industrialisasi………………………………….. 5.1.1 Industri Rakyat Berkaitan dengan Budaya Agraris………………………. 5.1.2 Industrialisasi Kelanjutan dari Budaya Rakyat……………….................... 5.2 Ethnoscape………………………………………………………………….. 5.2.1 Bali sebagai Daerah Tujuan Wisata…………………………..................... 5.2.2 Diverisifikasi Daya Tarik Wisata…………………………………………. 5.3 Mediascape………………………………………………………….............. 5.3.1 Peran Media Mempromosikan Bali sebagai Daerah Tujuan Wisata……... 5.3.2 Cinderamata sebagai Simbol Kehadiran………………………………….. 5.4 Finanscape…………………………………………………………………... 5.4.1 Pariwisata dalam Perspektif Ekonomi………………………..................... 5.4.2 Menarik Dolar dari Pusat ke Pinggir……………………………………… 5.5 Technoscape………………………………………………………………… 5.5.1 Dukungan Infrastruktur Material dan Teknologi……………..................... 5.5.1.1 Dukungan Material…………………………………............................... 5.5.1.2 Dukungan Teknologi…………………………………………………… 5.5.2 Kegiatan Berbasis Sektor Informal………………………………………. 5.6 Ideoscape…………………………………………………………………… 5.6.1 Semangat Pengembangan Industri Kreatif……………………………….. 5.6.2 Penguatan Ideologi Pasar……………………………………..................... 5.6.3 Penguatan Ideologi Konsumerisme………………………….....................
100 100 102 105 108 108 111 114 114 116 126 126 127 132 132 132 141 146 152 152 163 173
xxiii
BAB VI PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM INDUSTRIALISASI SENI KRIYA DI KECAMATAN TEGALLALANG GIANYAR BALI………………………………. 6.1 Peran Keluarga dalamProduksi, Distribusi dan Pemasaran.………………... 6.1.1 Peran Aneka Modal dalam Produksi………..……………………………. 6.1.2 Peran Ideologi dan Kekuasaan dalam Produksi………………………….. 6.1.3 Peran Penggunaan Tenaga Kerja dalam Proses Produksi………………… 6.1.4 Peran dalam Pemasaran Produk Seni Kriya………..................................... 6.1.4.1 Pemasaran Secara Mandiri……………………………………………… 6.1.4.2 Pemasaran Melalui Pemandu Wisata/Guide……………………………. 6.2 Peran Desa Pakraman………………………………………………………. 6.3 Peran Desa Dinas…………………………………………………………… 6.4 Peran Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi…………………….. 6.4.1 Pembinaan dan Keikutsertaan Perajindalam Pameranatau Ekspo............... 6.4.2 Undang Undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). ……………….. 6.4.3 Penerbitan Sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)................ 6.5 Peran Perajin dan Pemasok Bahan Baku…………….………………........... 6.6 Peran Lembaga Keuangan Formal dan Informal…………………………… 6.7 Peran Konsumen Mancanegara………………………………………...........
177 177 177 181 185 192 192 194 200 204 207 207 220 223 228 239 241
BAB VII IMPLIKASI INDUSTRIALISASI SENI KRIYA PADA PERAJIN SETEMPAT DAN BENDA-BENDA SENI KRIYA YANG DIHASILKAN……………………………………………………… 7.1 Diversifikasi Produk Seni Kriya……………………………………………. 7.2 Alih Budaya dari Budaya Rakyat menjadi Budaya Populer……………….. 7.2.1 Estetika Pramodern……………………………………………………….. 7.2.2 Estetika Modern…………………………………………………………... 7.2.3 Estetika Posmodern.……………………………………………................. 7.3 Komunitas Lokal Berorientasi Kosmopolitan………………………………. 7.4 Beorientasi Multikultural…………………………………………………… 7.5 Penguatan Budaya Konsumen……………………………………………… 7.6 Penguatan Budaya Citra……………………………………………………. 7.7 Pasar Menentukan “Taksu”…………………………………………………. 7.8 Pasar Membutuhkan Produk………………………………………………...
245 245 249 253 257 263 291 297 304 308 312 322
BAB VIII PENUTUP………………………………………………………….. 8.1 Simpulan……………………………………………………………………. 8.2 Temuan……………………………………………………………………… 8.3 Saran…………………………………………………………………………
326 326 330 332
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………... PEDOMAN WAWANCARA DAN OBSERVASI…………………………… DAFTAR INFORMAN…………………………………………………………
335 347 349
xxiv
DAFTAR TABEL
Table 2.1 Perbedaan antara Kondisi Masyarakat Modern dengan Masyarakat Posmodern… Tabel 2.2 Ciri yang Mendasari Masa Posmodernitas.………………………………………. Table 2.3 Wacana Utama Estetika di Era Pramodern, Modern dan Posmodern.…………… Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Tegallalang Tahun 2013………………………….. Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 2013……………………………... Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan………………………………….. Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Menurut Sumber Mata Pencaharian…………………………... Tabel 4.5 Desa Dinas dan Banjar Dinas Kecamatan Tegallalang…………………………… Tabel 4.6 Desa Dinas dan Desa Pakraman Kecamatan Tegallalang…………………….......
xxv
48 49 52 81 81 82 83 84 86
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Penelitian………………………………………………………………….. Gambar 4.1 Batas Wilayah Desa Wisata Tegallalang…………………………………………. Gambar 4.2 Art Shop Bangunan Permanen……………………………………………………. Gambar 4.3 Art Shop Semi Permanen Menjual Seni Kriya…………………………………… Gambar 4.4 Peta Pulau Bali dan Lokasi Penelitian……………………………………………. Gambar 4.5 Denah Kecamatan Tegallalang…………………………………………………… Gambar 4.6 Kantor Camat Tegallalang………………………………………………………... Gambar 4.7 Proses Kerja Pembuatan Seni Kerajinan………………………………………….. Gambar 4.8 Gerbang Kawasan Wisata Ceking………………………………………………… Gambar 4.9 Objek Wisata Alam Ceking………………………………………………………. Gambar 4.10 Objek Wisata Gunung Kawi……………………………………………………… Gambar 4.11 Patung Karya I Nyoman Cokot…………………………………………………… Gambar 5.1 Topeng-Topeng Primitif………………………………………………………….. Gambar 5.2 Patung Karya I Nyoman Cokot…………………………………………………… Gambar 5.3 Patung Garuda Karya I Made Ada……………………………………………….. Gambar 5.4 Tiruan Makanan 4 Sehat 5 Sempurna…………………………………………….. Gambar 5.5 Berbagai Jenis Seni Kriya Perlengkapan Upacara………………………………... Gambar 5.6 Seni Kriya Logam Motif Binatang………………………………………………... Gambar 5.7 Seni Kriya Wajah Santa Claus...………………………………………………….. Gambar 6.1 Seni Kriya Karya I Wayan Naspi…………………………………………………. Gambar 6.2 xxvi
56 71 72 73 74 74 75 76 79 79 80 88 124 156 158 160 163 170 171 215
Patung Singa Karya I Made Ada………………………………………………….. 216 Gambar 6.3 Patung Budha Karya I Nyoman Centeng…………………………………………. Gambar 6.4 Karya Seni Kriya I Wayan Judin…………………………………………………. Gambar 6.5 Jenis-Jenis Produk Seni Kriya yang Terdapat di Art Shop “Pande Inih”………… Gambar 6.6 Seni Patung Karya I Gede Amer Jaya………..…………………………………… Gambar 6.7 Karya I Made Parwata “Barong” ………………………………………………… Gambar 7.1 Patung Garuda Karya I Made Murthawan………………………………………... Gambar 7.2 Patung-patung Tradisional Karya I Wayan Naspi………………………………... Gambar 7.3 Seni Patung Karya I Nyoman Cokot……………………………………………… Gambar 7.4 Seni Patung Karya I Ketut Nongos……………………………………………….. Gambar 7.5 Patung Garuda Karya Putu Darma…….…………………………………………. Gambar 7.6 Binatang Cicak……………………………………………………………………. Gambar 7.7 Seni Kriya dalam bentuk Macan…………………………………………………. Gambar 7.8 Patung Garuda Mulut Besar dan Sayap Kecil…………………………………….. Gambar 7.9 Garuda Sayap Terbuka……………………………………………………………. Gambar 7.10 Patung Budha sebagai Simbol Agama Budha…………………………………….. Gambar 7.11 Kerajinan Kayu yang Dilapisi Kaca………………………………………………. Gambar 7.12 Karya Seni Kriya Binatang Gajah Belalainya Diperpanjang……………………... Gambar 7.13 Seni Kriya Bentuk Manusia………………………………………………………. Gambar 7.14 Seni Kriya Daur Ulang Masa Lalu, Patung pada Zaman Hindu dan Budha……… Gambar 7.15 Patung Singa sebagai Produk Berkelas…………………………………………… Gambar 7.16 Patung Singa sebagai Produk Pasaran…………………………………………….
xxvii
217 218 227 236 237 255 255 260 261 261 269 270 274 275 279 280 283 283 286 315 315
GLOSARIUM
art shop: merupakan sebuah tempat untuk jual beli benda-benda seni bokor: karya seni kriya berbentuk lingkaran dengan diameter bervariasi yang dibuat dari kayu yang diukir serta dicat prada digunakan sebagai wadah sesajen untuk upacara ritual agama Hindu. dulang: karya seni kriya yang berbentuk lingkaran tinggi kurang lebih 30 cm dengan diameter bervariasi yang dibuat dari kayu yang diukir dan dicat prada digunakan sebagai tempat gebogan untuk upacara ritual agama Hindu. gebogan: 1) rangkaian buah dan jajan yang disusun setinggi kurang lebih satu meter sebagai persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa pada saat upacara ritual; 2) kain yang dilipat disusun setinggi kurang lebih satu meter digunakan sebagai perlengkapan pada upacara manusa yadnya. galeri: 1) sebuah bangunan yang salah satu sisinya terbuka tanpa pintu; 2) sebuah ruangan panjang di tingkat atas (loteng) seperti biasa terdapat pada rumah yang bercorak Elisabethan, ruangan ini dipergunakan untuk pertunjukan tonil atau opera. Galeri juga sebagai tempat para seniman berpameran dan berjualan karya-karya seni rupa, dalam hal ini berkonotasi dua maksud: pameran dan jualan, artinya galeri bisa untuk tujuan ideal (apresiasi dan komersial) maupun tujuan realitas (sama sekali komersial). jempana: karya seni kriya yang berbentuk rumah kecil dibuat dari kayu yang diukir dan dicat prada digunakan sebagai tempat untuk mengusung pratima pada saat melakukan upacara melasti ke laut. kekarangan: ragam hias Bali dalam perwujudannya merupakan gubahan atau stiliran dari bentuk-bentuk binatang yang diterapkan sebagai hiasan pada bangunan suci maupun perumahan. kuasa: 1) kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); 2) wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan; 3) pengaruh. ngayah: kegiatan gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Bali tanpa mendapat upah atau imbalan berkaitan dengan kegiatan adat dan agama. pemangku kepentingan/stakeholder: sebagai kelompok atau individu yang dapat Memengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu
xxviii
pengotok: palu kayu yang memiliki berbagai ukuran yang digunakan untuk memukul pahat dalam proses membuat karya seni kriya. pengutik: alat yang dibuat dari logam berbentuk lancip yang memiliki dua mata pisau digunakan dalam proses pembuatan seni kriya. pepatran: ragam hias Bali dalam perwujudannya merupakan gubahan atau stiliran dari bentuk tumbuh-tumbuhan diterapkan sebagai hiasan pada bangunan suci maupun perumahan. pewayangan: ragam hias Bali dalam perwujudannya merupakan gubahan atau stiliran dari bentuk manusia digunakan sebagai hiasan pada bangunan suci dan perumahan. pretima: karya seni kriya yang dibuat dari kayu dan atau uang kepeng yang berwujud manusia dan atau binatang yang memiliki nilai simbolis. salang: karya seni kriya berupa rangkaian uang kepeng yang berwujud manusia laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan memiliki nilai estetis, biasanya ditempatkan atau digantung pada bagian depan bangunan suci (pura dan sanggah) pada saat upacara ritual agama Hindu. sanggah: 1) sebuah wujud bangunan suci; 2) areal bangunan suci dalam suatu keluarga. sanggawang: karya seni kriya berupa ukiran patra punggel yang dbuat dari kayu digunakan sebagai penyangga antara tiang dan lambang pada bangunan tradisional Bali. taksu: merupakan kekuatan suci yang berasal dari Tuhan yang dapat diperoleh melalui upacara ritual dan olah spiritual. Kekuatan suci atau spiritual ini muncul dalam dunia seni dan di bidang profesi lainnya dan sangat dibutuh-kan oleh semua orang dari berbagai bidang profesi. tamiang: karya seni kriya berupa rangkaian uang kepeng yang berbentuk lingkaran yang memiliki nilai simbolis. tiang tugeh: tiang yang dibuat dari kayu pada bagian alas menggunakan patung singa atau garuda berfungsi sebagai penyangga atau penahan langit-langit bangunan tradisional Bali. yadnya: korban suci yang dilakukan dengan hati yang tulus iklas dan tanpa pamerih.
xxix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Seni kriya atau seni kerajinan adalah karya seni rupa yang dibuat oleh seseorang atau kelompok masyarakat, dalam proses pergerjannnya lebih banyak menggunakan keterampilan tangan (Kusnadi, 1983: 44). Sejalan dengan itu Walker menyatakan kriya sebagai karya keterampilan tangan secara manual yang ditekuni oleh masyarakat sebagai suatu pekerjaan yang berjalan secara turuntemurun (Walker, 2010: 41). Benda-benda seni kriya memiliki wujud dua dimensi dan tiga dimensi, yang digunakan sebagai benda fungsional dan nonfungsional untuk memenuhi kebutuhan manusia secara praktis, estetis, dan spiritual religius. Produk seni (kriya) merupakan milik kelompok masyarakat tradisional dalam satu komunitas (Piliang, 2003: 251). Seni kriya sebagai karya tradisional di dalamnya terdapat norma-norma atau aturan-aturan secara budaya yang telah memiliki pakemnya. Di dalam seni kriya terkandung nilai kepercayaan atau keyakinan mengenai bentuk, fungsi, dan proses perwujudannya yang bersifat kolektif, dan berulang-ulang. Produk seni kriya yang berbeda-beda sebagai ciri khas produksi masyarakat tradisional dilandasi nilai filosofi dari masing-masing daerah pendukungnya (Subiyantoro, 2010: 41-42).
1
2
Perwujudan seni kriya terdiri atas berbagai jenis sesuai dengan bahan yang digunakan. Menurut Kusnadi jenis-jenis seni kriya dapat dikelompokkan menurut bahan baku dan teknik dalam pengerjaan (Kusnadi, 1983: 44). Adapun jenis-jenis seni kriya tersebut, antara lain seni kriya batu, seni kriya logam, seni kriya kayu, seni kriya kulit, seni kriya anyam, seni kriya tekstil, dan seni kriya keramik. Adapun teknik pembuatannya adalah teknik pahat atau ukir (kriya batu dan kayu), teknik cor, las/patri dan kenteng (kriya logam), teknik tatah dan sungging (kriya kulit), teknik anyam, simpul (kriya anyam), teknik tenun, sulam, batik (canting dan cap), dan rajut (kriya tekstil), teknik pijit, slab, pilin, dan cetak (kriya keramik) (Walker, 2010: 41; Bahari, 2008: 87) . Benda-benda seni kriya tradisional diciptakan berdasarkan latar belakang kehidupan masyarakat pedesaan yang memiliki rasa kebersamaan dan kesetiaan yang tinggi. Sejalan dengan itu Wibowo (2007) menyatakan bahwa: Di Indonesia kebudayaan masyarakatnya sebagian besar masih bercorak pertanian, kebudayaan dalam konteks norma dan sistem sosial kemasyarakatan pedesaan masih tercermin secara sadar pada setiap aspek kehidupan. Paternalistik, kesenangan berkumpul dalam rangka suatu solidaritas, keterlibatan keluarga, semua ini mencerminkan kebudayaan agraris yang masih berakar, meskipun di kota besar corak kehidupan semacam itu sudah terkontaminasi dan termodifikasi oleh berbagai macam gaya hidup. Solidaritas sosial di desa menjadi sangat positif ketika arah perhatian tertuju pada kebersamaan, gotong royong, saling memperhatikan, dan mendorong. Makna kebersamaan yang utama, bukan kepentingan individu, melainkan kepentingan masyarakat (Wibowo, 2007: 23). Kebersamaan dalam proses pengerjaan seni kriya dilakukan secara tradisional dengan alat-alat sederhana (manual) melalui sistem berkelompok. Hal itu sejalan dengan pendapat Purnata (1977: 12), bahwa seni kriya tradisional proses pengerjaannya dilakukan oleh perajin bersama-sama secara kolektif tanpa
3
menonjolkan kemampuan dan nama pribadi, sehingga hasil karyanya hampir sama jika dilihat dari wujud dan fungsinya.
Selanjutnya didukung oleh pendapat
Gustami (1992: 71), sebagai karya seni tradisional, seni kriya ini tumbuh atas ciptaan perajin dengan perasaan yang halus dan tekun, dari bahan yang tersedia di lingkungan perajin untuk industri rumah tangga atau produksi domestik, dan secara fungsional memiliki kegunaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang bersifat sekuler maupun untuk kebutuhan bersifat spiritual religius. Tegallalang merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Gianyar, Bali perajinnya membuat seni kriya. Di Tegallalang pertumbuhan seni kriya sangat baik, karena didukung oleh nilai-nilai tradisionalisme masyarakat yang selalu menggunakan produk seni kriya sebagai barang untuk keperluan rumah tangga, keperluan ritual agama Hindu yang memiliki nilai estetis, maupun sebagai barang spiritual religius. Sejalan dengan itu Suryawan (2009) menyatakan, bahwa karya seni tradisional di Bali adalah sebagai sarana yadnya, persembahan untuk para Dewa yang diwujudkan dalam bentuk alat-alat pelaksanaan upacara ritual. Saat ini seni kriya masih melekat menjadi salah satu sarana upacara, di antaranya seni ukir atau seni kriya yang dibuat dari kayu, logam, kulit, dan bahan lainnya. Seni ukir (relief), dan wayang kulit berkembang dengan tema-tema dari cerita pewayangan dalam Mahabharata dan Ramayana (Suryawan, 2009: 247-248). Membuat seni kriya tradisional dilakukan oleh masyarakat perajin di Tegallalang, Gianyar Bali, dan menghasilkan karya-karya seni kriya tradisional yang sangat kental dengan nilai seni budaya Bali. Karya-karya seni yang dibuat, seperti seni pahat garuda, singa, perwujudan para dewa, tokoh-tokoh pewayangan,
4
pratima ( perwujudan yang sakral untuk di pura), dulang (wanci), bokor, salang, saab, benda-benda perlengkapan upacara ritual dengan motif-motif pepatran, kekarangan, pewayangan, dan bentuk-bentuk lainnya untuk keperluan masyarakat Bali. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Covarrubias (1974), bahwa di desa Sebatu, Tegallalang anak-anak sudah bisa membuat patung kecil-kecil dengan bentuk lucu yang berbahan kayu digunakan sebagai tutup botol (alat perlengkapan upacara ritual) yang berbentuk manusia, burung, kodok, ular, dan lain-lain (Covarrubias, 1974: 160). Membuat seni kerajinan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Tegallalang, mulai dari anak-anak sampai orang tua dapat membuat produk-produk untuk kebutuhan masyarakat tradisional. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat seni kriya tradisional perajin di Tegallalang mengambil kayu yang tumbuh di lingkungan sekitarnya. Peralatan yang digunakan dalam proses produksi adalah peralatan tradisional, antara lain pahat, penguktik, palu (pengotok), gergaji tangan untuk memotong kayu, dan peralatan tradisional lainnya. Para perajin kebanyakan berasal dari lingkup keluarga, sedangkan sistem pengelolaannya dilakukan melalui sistem manajemen informal, dan keluarga bukan sebagai
unit produksi. Penjualan
produk seni kriya masih terbatas pada kebutuhan keluarga atau masyarakat yang bersifat lokal. Holt (2000) menyatakan dalam pembuatan seni kriya sebagai produk tradisional, seni kriya dibuat melalui teknik kekriyaan yang tinggi dan bahan yang berkualitas, sehingga menghasilkan produk seni kriya yang berkualitas (Holt 2000: 256).
5
Keberadaan seni kriya sebagai karya tradisional masyarakat Tegallalang dalam tataran ideal selalu dipertahankan, dalam arti tidak akan mudah berubah karena banyak karya-karya seni kriya dalam perwujudannya dilandasi oleh kebudayaan Bali. Menurut Mantra, kebudayaan Bali tumbuh berdasarkan normanorma budaya agama Hindu (1996: 2). Masyarakat masih meyakini bahwa terciptanya suatu karya seni tradisional oleh seniman memiliki taksu (nilai-nilai agama Hindu) yang menjiwainya, sehingga karya seni tersebut memiliki daya tarik/daya pikat yang sangat kuat. Sejalan dengan hal tersebut Dibia (2012) menyatakan, bahwa dalam penciptaan karya seni terjadi keterlibatan bathin yang mendalam atau memiliki kemampuan khusus atau kekuatan yang memungkinkan baginya menghasilkan karya dengan kualitas yang luar biasa (Dibia, 2012: 18). Penciptaan karya seni kriya berkualitas merupakan tanggung jawab dari masyarakat perajin di Tegallalang. Karya yang diciptakan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat yang kemudian dipersembahkan ke hadapan Maha Pencipta. Di samping itu pula terdapat sikap penghormatan terhadap para leluhur yang telah mewariskan nilai budaya yang dapat jadikan sebagai objek berkreativitas untuk bekerja dan pelestarian nilai budaya. Sebagai masyarakat yang menganut konsep ritual penciptaan karya seni oleh masyarakat Bali dapat pula diartikan sebagai bentuk yadnya seperti yang dikatakan oleh O’Dea dalam Sumandiyo Hadi (2002: 31). Globalisasi dan perkembangan teknologi saat ini menyebabkan seni kriya yang dibuat perajin di Tegallalang
mengalami perubahan atau pergeseran.
Perubahan tersebut bukan saja dalam pemanfaatan bahan, alat-alat yang
6
dipergunakan, namun berbagai sektor mengalami perubahan. Seiring dengan perubahan tersebut, Atmadja menyatakan, globalisasi membawa perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat (Atmadja, 2010: 1). Perubahan sosial pada masyarakat tidak saja berlangsung sangat cepat, tetapi juga berdimensi amat luas, yakni menyangkut berbagai bidang kehidupan yang berkaitan satu bidang dengan bidang yang lainnya (Pitana, 1994: 3). Globalisasi diiringi oleh perkembangan teknologi membawa nilai-nilai baru dan bahkan sering menimbulkan konflik di berbagai sektor budaya. Kecenderungan untuk terpandang baru atau modern merupakan gejala umum di masyarakat tradisional yang sibuk mencari bentukbentuk dirinya. Peralatan yang serba mesin mengubah fungsi tangan, dan bagianbagian badan lainnya, sehingga sebagian besar berubah fungsi karena perlengkapan yang serba elektronik. Bentuk mencerminkan fungsi, perubahan fungsi tentunya menimbulkan perubahan bentuk (Gelebet, 1982: 2). Demikian halnya adanya perubahan dalam kebudayaan sering menimbulkan dilema antara tradisi yang cenderung bertahan dan modernisasi yang cenderung merombak dengan membawa nilai-nilai baru. Globalisasi menimbulkan perubahan sosial dan kebudayaan yang dialami oleh perajin di Tegallalang, dan mengakibatkan terjadinya penurunan nilai-nilai kekriyaan dalam proses pembuatan seni kriya. Hal ini disebabkan oleh berbagai motivasi dan faktor pendorong secara kebetulan atau pun direncanakan. Menurut Pujilaksono, sebagaimana dikutip oleh Arimbawa (2011), terjadinya perubahan dan perkembangan karena termotivasi oleh pengaruh eksternal dan internal, sebagai akibat terjadinya interaksi dengan unsur kebudayaan lain dan latar
7
belakang ideologi atau inovasi/baru. Perubahan tersebut dapat mengakibatkan hilangnya unsur-unsur kebudayaan material yang pernah ada atau pemertahanan unsur-unsur budaya masa lalu dan terjadi dalam proses adaptasi dengan unsurunsur budaya yang baru (Arimbawa, 2011: 3) Menurut Abercrombie dkk. (2010), unsur budaya baru yang terjadi dalam perubahan nilai-nilai tradisional ke nilai-nilai modern dalam industrialisasi berorientasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengikuti perkembangan dan penerapan sumber-sumber tenaga mesin untuk memekanisasi produksi. Industrialisasi yang terjadi pada saat ini merupakan proses produksi dari proses tradisional yang manual (menggunakan tangan), kemudian berkembang menjadi industri mesin. Proses ini telah mengalami perubahan dengan melibatkan berbagai komponen dalam pembagian kerja, sehingga terjadi spesialisasi kerja, rasionalisasi, dan hubungan produksi sosial yang baru (Abercrombie, dkk., 2010: 277). Berkaitan hal itu, industrialisasi pada seni kriya di Tegallalang terjadi perubahan dalam proses pembuatan dan jenis produk yang dihasilkan. Seni kriya pada mulanya dalam proses pengerjaannya secara manual, namun sekarang terjadi perubahan proses, selain menggunakan tangan juga menggunakan mesin, bahkan ada dengan teknik cetak sehingga menghasilkan produk massal. Begitu pula produk yang dibuat bukan saja seni kriya tradisional seperti wujud singa, garuda, maupun tokoh- tokoh pewayangan, namun didominasi oleh jenis produk seni kriya pop, seperti kucing, kuda, jerapah, serta berbagai jenis seni kriya kontemporer lainnya. Perajin yang semula hanya dalam lingkup keluarga saja,
8
sekarang ditambah dari keluarga lain, bahkan
banyak mendatangkan perajin
(tenaga upahan) dari daerah lain. Sistem pengelolaan tidak lagi melalui sistem ekonomi informal yang berbasis keluarga, melainkan berubah menjadi sistem ekonomi formal melalui manajemen pembagian kerja melalui sistem secara profesional, serta pengaturan waktu yang sangat ketat bahkan telah terprogram. Bahan-bahan yang digunakan dalam membuat produk seni kriya sebelumnya hanya mengandalkan bahan yang berada di daerah sendiri, tetapi sekarang merambah ke daerah lain untuk mencukupi ketersediaan bahan baku produk seni kriya, seperti dari daerah Kintamani, Bangli, Karangasem, Buleleng, dan daerah lainnya di Bali, dan bahkan mendatangkan dari luar Bali. Berdasarkan penelitian Suryana (2008), fenomena industrialisasi terhadap seni kriya di Tegallalang mulai terjadi tahun 1980-an. Ketika itu perajin masih memproduksi seni kriya dalam bentuk binatang, tiruan tumbuh-tumbuhan, dan juga buah-buahan. Tahun 1990-an perkembangannya semakin pesat seiring dengan perkembangan pariwisata di Bali, sehingga berbagai produk seni kriya pop dan kontemporer diciptakan oleh perajin untuk memenuhi kebutuhan pasar (Suryana, 2008: 16-17). Bersamaan dengan itu, Tegallalang banyak didatangi oleh perajin dari luar daerah untuk membuat seni kriya secara massal guna memenuhi permintaan pasar. Di samping itu toko-toko seni (art shops) banyak bermunculan di daerah Tegallalang untuk menjual berbagai produk seni kriya. Pergeseran pembuatan produk seni kriya tradisional menjadi produk industri budaya yang terdapat di Tegallalang lebih banyak berorientasi pada nilainilai komersial. Barang-barang yang diproduksi sudah menuju barang konsumsi
9
massa. Untuk memenuhi kebutuhan produk massal, bahan yang semula diambil dari daerah setempat tidak mencukupi, sehingga mengambil bahan dari daerah lain. Bahan baku yang digunakan banyak didatangkan dari luar Tegallalang, sehingga para perajin sampai saat ini masih dibayangi kesulitan untuk memproduksi seni kriya dalam jumlah besar. Bahkan untuk mencapai target penjualan yang tinggi, perajin sangat gencar mengembangkan produk dan mencari celah dalam memasarkan produknya. Produk seni kriya diproduksi secara massal dengan membuat berbagai model, warna, dan ukuran dijual dalam sistem paket. Pemasarannya dijual di toko seni, pasar seni (lingkup lokal), ada yang dikirim ke luar daerah (secara nasional), dan banyak pula yang bekerjasama dengan kargo untuk pemasaran ke luar negeri (internasional/global), atau melalui sistem online (internet) (Bisnis Bali, Senin, 1 Juli 2013). Pembuatan produk massal secara mekanis membuat perajin di Tegallalang sebagai masyarakat penghasil seni kriya tradisional menjadi semakin terdesak karena munculnya kekuatan ekonomi dalam kekuasaan kapitalis. Produk seni kriya tradisional menjadi termarjinalisasi dengan adanya produk mekanis yang lebih menitikberatkan pada ideologi pasar dengan memproduksi barang secara massal dalam waktu yang singkat untuk mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya. Industrialisasi seni kriya dalam kehidupan pariwisata membuat perkembangannya menjadi semakin tidak terkendali. Menurut Gustami (2008: 18), industri pariwisata yang berkembang sangat pesat membuat para pelaku seni kriya berburu untuk menghasilkan produk sebagai material perdagangan, yang secara terselubung didorong atas keinginan pemilik modal (kapitalis).
10
Kemajuan industri pariwisata di Bali pada umumnya, dan Tegallalang khususnya membuat seni kriya menjadi produk andalan bagi kapitalis sebagai produk perdagangan (Adian 2011: 23), seni kriya awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kini lebih banyak sebagai material perdagangan. Dalam kondisi seperti ini, kaum kapitalis dapat memainkan kekuasaannya terhadap perajin. Oleh karena itu dalam memproduksi seni kriya perajin sangat tergantung pada kapitalis yang menjadi agen dalam menentukan jenis produksi sesuai dengan permintaannya. Sementara itu menurut pendapat Marcuse sebagaimana seperti yang ditulis oleh Sachari (2002: 30), industri seni pada zaman modern semakin gencar dilakukan, karena banyaknya barang seni yang diproduksi secara massal, sehingga karya estetik jatuh menjadi komoditas. Dalam industrialisasi seni kriya di Tegallalang ada permainan modal yang dilakukan oleh pemangku kepentingan/stakeholder untuk merebut kekuasaan. Para pemangku kepentingan melakukan praktik sosial melalui modal. Pemilik modal yang lebih besar dan mobilitas yang lebih tinggi lebih dominan, sedangkan yang paling kecil modalnya akan termarjinalisasi atau terpinggirkan. Permainan tersebut dapat dilakukan oleh para pemangku kepentingan, seperti keluarga pembuat seni kriya dan pemilik art shop, desa pakraman, desa dinas, pemerintah, perajin, pemasok bahan baku, lembaga keuangan, dan konsumen mancanegara. Pertarungan berbagai modal dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Menurut pandangan Bauman (1998) sebagaimana ditulis oleh
Ritzer (2012),
modal dan mobilitas telah menjadi faktor terpenting dan yang paling membedakan dalam stratifikasi sosial. Pemenang dalam perang ruang ini adalah mereka yang
11
memiliki modal besar dan mobilitas yang mampu bergerak bebas dalam segala bidang. Mereka yang tidak memiliki modal dan mobilitas selalu menjadi pecundang dan akan terpinggirkan (Ritzer, 2012: 983). Kekuasaan para pemodal berada pada wilayah yang aman dari para pecundang atau pemilik modal kecil dan yang selalu termarjinalkan. Praktik sosial melalui permainan modal yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam industrialisasi seni kriya berimplikasi pada perilaku perajin dalam memproduksi seni kriya. Perajin dalam bekerja kemungkinan berada di bawah kekuasaan kapitalis karena mereka yang memiliki modal sehingga mereka akan membuat produk seni kriya sesuai dengan permintaan atau pesanan dari kapitalis. Perajin bekerja hanya memenuhi pesanan dari konsumen (make to order), sehingga mereka menjadi kehilangan identitas Bali. Perajin boleh jadi membuat produk seni kriya apa saja sesuai dengan keinginan perajin itu sendiri tanpa mau mengikuti perintah atau diatur oleh para konsumen, sehingga mereka menghasilkan berbagai jenis (beragam) produk seni kriya. Industrialisasi pada era globalisasi saat ini membuat produk-produk seni kriya atau desain-desain kriya dari luar masuk ke Bali dan Tegallalang khususnya yang dipasok oleh pemilik modal ekonomi. Produk seni kriya sangat beragam dan menjadi tantangan bagi perajin dalam mempertahankan produk-produk seni kriya tradisional Bali. Di samping itu juga terjadi persaingan yang semakin ketat dalam memproduksi seni kriya untuk memenuhi permintaan pasar. Seni kriya tumbuh oleh sistem kapitalis pasar sebagai produk massal dan bersifat pasaran, yang dikonstruksi untuk memenuhi kepentingan pasar.
12
Sehubungan dengan hal itu, industrialisasi seni kriya pada era globalisasi yang terjadi di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali sangat penting untuk diteliti dalam konteks kajian budaya, sehingga dapat mengungkap ideologi apa yang ada dalam praktik industrialisasi seni kriya. Kajian yang lebih kritis diperlukan sehingga permasalahan yang muncul dapat diungkap secara akademik dengan menggunakan teori-teori kritis.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, terjadinya industrialisasi seni kriya pada era globalisasi di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali pada saat ini akan berpengaruh terhadap produk seni kriya yang diproduksi oleh
perajin. Dalam indus-
trialisasi seni kriya ada ideologi dan permainan modal yang melatarbelakanginya, sehingga terjadi penciptaan produk secara mekanis yang bersifat massal. Adapun pertanyaannya dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Mengapa terjadi industrialisasi seni kriya di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali? 2. Bagaimana para pemangku kepentingan berperan untuk memainkan kekuasaan dalam industrialisasi seni kriya di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali? 3. Bagaimana implikasi industrialisasi seni kriya pada perajin setempat dan benda-benda seni kriya yang ditampilkannya?
13
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, memahami, dan mendeskripsikan sistem operasional, reproduksi dan kuasa para pemangku kepentingan dan implikasinya dalam industrialisasi seni kriya di kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali.
1.3.2 Tujuan Khusus Sesuai uraian permasalahan di atas, tujuan khusus penelitian adalah untuk mendeskripsikan secara ilmiah variabel-variabel penting dalam penelitian, sebagai berikut. 1. Untuk mengkaji alasan maknawi terjadinya industrialisasi seni kriya di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali. 2. Untuk mengkaji peran para pemangku kepentingan dalam memainkan kekuasaan dalam industrialisasi seni kriya di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali. 3. Untuk mengakaji implikasi industrialisasi seni kriya pada perajin setempat dan benda-benda seni kriya yang ditampilkannya.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis temuan penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kaitannya dengan masalah-masalah seni, lebih khususnya seni kriya yang selama ini lebih banyak dikaji melalui
14
estetika teks rupa secara visual. Padahal dalam perkembangan (industrialisasi) seni kriya perlu juga diungkap secara konteksnya. Dalam pengungkapannya hal ini memerlukan adanya kajian yang lebih komprehensif sehingga pemahaman kasus ini dapat dikaji dari perspektif lintas budaya.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis temuan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan penyadaran dalam memahami nilai-nilai yang terkandung dalam seni kriya sebagai warisan budaya Bali. Dalam hal ini: (1) pihak pemerintah, khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan sebagai pengambil kebijakan dalam menentukan peraturan tentang industri seni kriya yang ada di Bali. (2) Dunia industri pariwisata untuk memajukan industri seni kriya dalam memenuhi kebutuhan pariwisata tanpa mengabaikan karakteristik seni kriya Bali. (3) Para perajin sebagai sumber informasi dan acuan dalam rangka pengembangan seni kriya tradisional Bali dalam bentuk kreativitas seni. (4) Peneliti lain sebagai informasi, menambah pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran arti penting mengenali dan memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam seni kriya tradisional sebagai warisan budaya.