Tentang Penulis Drs. I Ketut Buda, M.Si., lahir di Gianyar 19 April 1957 tinggal di Jl. Batuyang Gg. Bangau VIII/1 Batubulan. Alumnus STSRI “ASRI” Yogyakarta tamat tahun 1984. Sejak tahun 1985-2003 di angkat sebagai dosen PSSRD Unud. Sejak tahun 2003 pula berintegrasi ke Fakultas Seni Rupa dan Disain, ISI Denpasar sampai sekarang. Penelitian yang pernah dilakukan studi karya patung I Nyoman Cokot tahun 1990, flora-fauna Sebagai Objek Karya lukisan Dewa Nyoman Batuan 1991 di samping itu beberapa aktivitas pengabdian kepada masyarakat melalui LPM UNUD. Serta aktif mengikuti pameran-pameran seni rupa. Mulai tahun 2006 sebagai karya siswa Pascasarjan (S2) Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana, tamat tahun 2009, judul tesis Patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu di Desa Banjarangkan Klungkung perspektif kajian budaya. Penerbit : Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Seni Indonesia kerjasama dengan Sari Kahyangan Indonesia Jln. Gustiwa B.1 Denpasar Telp. (0361) 463070 E-mail:
[email protected].
Pengantar Prof. Dr. I Wayan Rai S.,MA.
PATUNG LINGGA YONI POSMODERN
Oleh I Ketut Buda
Pengantar Prof. Dr. I Wayan Rai S.,MA
PATUNG LINGGA YONI POSMODERN
Oleh I Ketut Buda
i
Patung Lingga Yoni Posmodern Hak Cipta: I Ketut Buda Hak cipta dilindungi oleh undang-undang © 2010 Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Perpustakaan Nasional: catalog dalam Terbitan (KDT) I Ketut Buda Patung Lingga Yoni Posmodern Buda --- Denpasar: Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Seni Indonesia kerjasama dengan Sari Kahyangan Indonesia, 2010. 80 Hlm.; 21 cm x 15 cm ISBN : 978-602-8574-08-2 1. FSRD ISI Denpasar 1. Judul Editor : DR. Tjokorda Udiana Nindhia Pemayun Disain Cover : Cok Istri Puspawati Nindhia, SE.,S.Sn. Penata Isi : Made Ida Mulyati, S.Sn., M.Erg. Cetakan I : 2010 Penerbit : Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Seni Indonesia kerjasama dengan Sari Kahyangan Indonesia Alamat
: Jalan Gustiwa B.1 Denpasar Telp. (0361) 463070 E-mail:
[email protected].
ii
Pengantar Prof. Dr. I Wayan Rai S, MA Terbitnya buku berjudul “Patung lingga Yoni Posmodern” karya tulis I Ketut Buda mesti disambut baik di tengah minimnya literatur tentang seni patung. Buku yang mengangkat topi lingga yoni secara khusus memang belum ada, namun keberanian I Ketut Buda untuk menerbitkan hasil penelitiannya ini sebagai pengetahuan terhadap masyarakat akademik mesti diapresiasikan guna memberi wawasan pengetahuan pembaca terhadap patung lingga yoni. Pada dasarnya, sejak awal saya membimbing I Ketut Buda ketika mengadakan penelitian, memang menjadi daya tarik yang unik ketika lingga yoni dianalisis dari perspektif kajian budaya. Namun disisi lain ternyata dibalik terciptanya patung lingga yoni di era globalisasi menjadi karya yang menarik. Dilihat dari isi buku yang ditulis I Ketut Buda, di dalamnya memuat banyak hal yang meskti kita pahami secara mendalam. Pada awal pembahasan buku ini diuraikan mengenai gambaran umum pengertian seni patung lingga yoni. Selanjutnya, dibahas mengenai gaya patung I Made Sukanta Wahyu, dilanjutkan dengan membahas mengenai struktur patung lingga yoni.
iii
Kemudian, pada bagian bab lainnya, dalam buku ini dibahas juga mengenai varian bentuk patung lingga yoni yang disetai dengan beberapa karya cipta. Selaju dengan hal tersebut, diuraikan pula mengenai proses kreatif dalam penciptaan patung dan unsure-unsur dari patung lingga yoni. Pada uraian di bagian akhir buku ini, dijelaskan mengenai pola-pola yang dipergunakan dalam karya seni patung, bahan, dan teknik dalam membuat patung. Sebagai pengantar akhir saya, dengan terbitnya buku karya I Ketut Buda sekiranya dapat menambah wacana dan pengetahuan terhadap patung lingga yoni.
Denpasar, 9 Pebruari 2010 Rektor ISI Denpasar
Prof. Dr. I Wayan Rai, S.,MA
iv
Pengantar Penulis Buku berjudul “Patung Lingga Yoni Posmodern” penulis buat pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan buku-buku yang berkaitan dengan seni patung. Selain itu, Buku ini dapat digunakan untuk menunjang pemahaman tentang wawasan seni patung yang di dalamnya mencakup pengertian seni patung, konsep mengenai lingga yoni, demikian juga contoh karya-karya berkaitan dengan hasil kreatif karya patung I Made Sukanta wahyu. Tujuan diterbitkannya buku ini adalah memberikan wawasan kepada masyarakat Bali mengenai seni patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu sebagai hasil proses kreativitas dalam berkesenian. Di samping itu buku ini juga dapat sebagai wacana di tengah kurangnya buku-buku yang membahas tentang seni patung dan berkaitan dengan perkembangan seni patung. Sehingga dapat menambah pustaka tentang seni patung yang di latarbelakangi perspektif kajian budaya. Bagi masyarakat di Bali umumnya dan para pecinta seni khususnya buku ini dapat memberikan informasi tentang kekayaan dan keanekaragaman budaya terkait dengan patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu. Selanjutnya Bagi masyarakat akademik buku ini dapat menambah wawasan tentang patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu sebagai
v
produk komoditi yang terkait dengan kehidupan sosial budaya masyarakat di Bali. Akhirnya, buku ini memerlukan kritik dan saran guna menyempurnakan pemikiran penulis di kemudian hari. Dengan demikian masih diperlukan adanya pemikiranpemikiran yang kompetensi untuk mengembangkan wawasan berkaitan dengan seni patung. Seni patung ke depan sangat memerlukan pemikiran-pemikiran untuk tambahan pengetahuan khususnya mengenai Lingga Yoni di Bali dalam bentuk karya seni. Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga para pembaca mendapatkan wawasan baru setelah membaca pemikiran-pemikiran penulis dalam isi buku ini. Semoga bermanfaat.
Penulis
vi
DAFTAR ISI Pengantar Prof. Dr. I Wayan Rai S.,M.A ……………………….. iI Pengantar Penulis ………………………………………………………… iv Daftar Isi ……………………………………………………………………….. vi
I Pendahuluan……………………………………………………..……… 1 II Pengertian Seni Patung Lingga Yoni………………………….. 11 III Mengenal Gaya Patung I Made Sukanta Wahyu .….….. 14 IV Struktur Bentuk Patung Lingga Yoni …………………………. 17 V Varian Bentuk Patung Lingga Yoni ………………….………… 48 VI Proses kreatif Dalam Penciptaan Patung …………………. 52 VII Unsur-Unsur Patung Lingga Yoni …………………………….. 54 VII Pola Yang Dipergunakan Dalam Karya patung ….......... 58 IX Bahan dan Teknik Membuat Patung ……………….……….. 62 X Penutup ……………………………………………………………………. 71 Daftar Pustaka ………………………………………………………………. 73 Tentang Penulis ……………………………………………………………. 80
vii
Tentang Penulis Drs. I Ketut Buda, M.Si., lahir di Gianyar 19 April 1957 tinggal di Jl. Batuyang Gg. Bangau VIII/1 Batubulan. Alumnus STSRI “ASRI” Yogyakarta tamat tahun 1984. Sejak tahun 1985-2003 di angkat sebagai dosen PSSRD Unud. Sejak tahun 2003 pula berintegrasi ke Fakultas Seni Rupa dan Disain, ISI Denpasar sampai sekarang. Penelitian yang pernah dilakukan studi karya patung I Nyoman Cokot tahun 1990, flora-fauna Sebagai Objek Karya lukisan Dewa Nyoman Batuan 1991 di samping itu beberapa aktivitas pengabdian kepada masyarakat melalui LPM UNUD. Serta aktif mengikuti pameran-pameran seni rupa. Mulai tahun 2006 sebagai karya siswa Pascasarjan (S2) Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana, tamat tahun 2009, judul tesis Patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu di Desa Banjarangkan Klungkung perspektif kajian budaya.
Penerbit : Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Seni Indonesia kerjasama dengan Sari Kahyangan Indonesia Jln. Gustiwa B.1 Denpasar Telp. (0361) 463070, E-mail:
[email protected].
viii
Patung Lingga Yoni / 1
I Pendahuluan Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 2003: 80-81). Dengan berkesenian manusia dapat menunjukkan eksistensinya. Kesenian juga merupakan suatu proses kreatif bagi seorang seniman, lahir dari endapan pengalaman yang panjang. Kesenian yang ditampilkan sangat bervariasi sesuai dengan kebebasan individu. Penciptaan dalam berkesenian tidak bisa lepas dari pengaruh ideologi. Keragaman seni memiliki variasi dalam bentuk maupun gaya. Gaya sangat erat dengan kreativitas. Gaya adalah suatu cara menyusun atau mengkombinasikan elemenelemen di dalam seni, sastra, desain, dan arsitektur sehingga menghasilkan sebuah komposisi yang bermakna (Piliang, 2003:17). Kreativitas dalam gaya mencakup kreativitas cipta dan kreativitas teknik sehingga menimbulkan gaya cipta dan gaya teknik yang kedua-duanya memiliki keaslian. Kreteria karya seni yang tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan proses kreatif bagi seorang seniman untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam jiwa seniman sampai terwujud suatu karya seni tidak ada lain melalui proses kejiwaan yang didasari atas kesadaran-kesadaran pengalaman, intelektual, daya imajinasi, daya kreativitas yang tinggi beserta faktorfaktor lain yang ikut mendorong proses penciptaan
Patung Lingga Yoni / 2
tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor internal menyangkut bakat dan kemampuan seniman dalam teknik seni maupun apresiasi, dan faktor eksternal menyangkut pengalaman-pengalaman seniman serta lingkungan yang mendukung. Kedua faktor itu tadi diakumulasikan di bawah pengendalian kepribadian seniman yang mengandung gejala kejiwaan mulai dari persepsi yang melahirkan individualisasi atau gaya pribadi. Seni adalah hasil karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman batinnya. Seni rupa khususnya seni patung merupakan proses kreatif seorang seniman. Seni patung salah satu cabang seni rupa, merupakan pernyataan pengalaman dalam suatu bentuk nyata, telah hadir dalam setiap periode sejarah manusia dengan keanekaragaman ekspresi dan gayanya. Keanekaragaman itu terjadi berawal dari pandangan manusia yang selalu dinamis dalam ide, yang terefleksi dalam proses dan berakhir pada terbentuknya karya seni. Melalui proses kreatif tersebut dapat melahirkan karya-karya seni yang indah dan menarik. Seni patung sebagai salah satu bentuk kreativitas manusia termediasi melalui elemen-elemen dasar seperti kayu, untuk pembuatan patung. Dengan elemen itulah para perupa berkreasi dan mencurahkan segala kreativitasnya. Seni patung, tampak mengalami perkembangan yang sangat kompleks dilihat dari tataran wacana dan hasil
Patung Lingga Yoni / 3
dari refleksi ideologinya masing-masing. Begitu pula tampak secara empiris bahwa seni patung juga mengalami perkembangan konsep dan bentuk yang bervariasi sesuai dengan semangat perkembangan historis. Seni patung di Bali dibagi ke dalam empat periode yakni : (1) seni patung sebelum pengaruh Hindu, yaitu seni patung yang merupakan manipestasi dari penghayatan mereka terhadap leluhur yang telah meninggal dengan demikian patung-patung tersebut adalah bentuk seni yang bersumber pada kepercayaan dan bersifat sakral serta mengandung magis. Bentuk-bentuk perwujudan patung pada saat itu sangat sederhana. (2) Seni Patung pengaruh kebudayaan Hindu yaitu pada masa ini telah terlihat adanya suatu “gaya international” pada seni arca, dalam arti hampir sama dengan bentuk dan karakter yang terdapat di tempat lainnya seperti yang berpusat di Nalanda yang berakar pada kesenian Gupta. Pada saat ini digolongkan jenis arca Buddhisme dan siwaisme. (3) Seni Patung pada masa kontak dengan dunia Barat (modern) yaitu akibat kontak dengan kebudayaan barat, maka patung-patung yang muncul di Bali pada masa ini seni Patung yang bersifat baoque. (4) Seni Patung Masa colonial telah mempengaruhi Bali khususnya di Bali Utara memperlihatkan corak akulturasi dengan kebudayaan Barat seperti yang terlihat pada relief di Pura Beji Sangsit (Widya, 1991: 17). Pada perkembangan selanjutnya seni patung
Patung Lingga Yoni / 4
mengalami perkembangan yang sangat pesat dilihat dari banyaknya seniman yang telah memberikan sentuhan dan variasi ke dalam setiap hasil karyanya. Perbedaan dari hasil karya yang dilatar belakangi oleh semangat spirit kejiwaan dan pengaruh naturalnya maka timbul hasil karya yang bervariasi. Karya patung inovasi tersebut memunculkan suatu perdebatan karena dirasa masih baru terhadap konsep seni yang tersebut. Wacana seni patung sedang dalam pergulatan, mencari sesuatu yang sesuai dengan semangat zamannya. Pergulatan seni patung sangat inplisit dan berjalan dalam keadaan yang “diam” namun secara radikal telah membangun dialektika dan lebih dari itu terjadi dekonstruksi terhadap wacana seni patung sebelumnya. Walaupun dalam hal ini dapat disimak dalam wacana seni rupa “tradisional” dan wacana memasuki seni rupa “modern” yang berkontestasi dalam ruang-ruang kebudayaan dan seni pada khususnya belum berakhir, namun perhelatan tersebut jelas telah melahirkan gagasan baru terhadap seni patung itu sendiri. Pada ruang seni inilah terjadi perlawanan atau mempertanyakan kembali secara epistemologi yang mengarah pada meredefinisikan kembali ideologiideologi atau gagasan-gagasan dalam perkembangan seni rupa terutama pada perkembangan seni patung kotemporer belakangan ini.
Patung Lingga Yoni / 5
Perkembangan seni patung setelah datangnya kolonialisme merupakan pintu dan jendela bagi terbukanya awal seni modern di Indonesia. Setelah masuknya seni modern itu tampak seni patung mengalami perkembangan baik dalam tataran konsep maupun secara riil (praktek) telah berjalan seperti di zaman globalisasi ini. Seniman Sukanta Wahyu telah memperlihatkan inovasinya, bagaimana telah terjadinya reproduksi seni kearah seni kontemporer yang terbalut ke dalam aliran posmodern. Perkembangan seni patung kontemporer dapat dilihat jelas pada karya seniman Sukanta Wahyu. Seni patung yang diusung adalah modifikasi dari konsep patung lingga yoni. Lingga yoni dalam tataran yang historis merupakan konstruksi religius yang berkonotasi sakralitas. Pemahaman yang sangat bebas dalam diri seorang seniman mengenai konsep lingga yoni berarti memberikan ruang-ruang dalam kontestasi dan representasi bagi identitas seniman terutama dapat dilihat dalam karya patung gaya Sukanta Wahyu. Sukanta Wahyu kreatif dalam bidang seni khususnya seni patung. Proses kreatif bagi seorang Sukanta Wahyu lahir dari endapan pengalaman yang panjang. Motifmotif pengalaman itu datang dari melihat momen estetis yang terjadi di sekitar, alam lingkungan, karya seni dan lainnya (eksternal). Ada pula motif-motif pengalaman Sukanta Wahyu muncul dari dalam jiwanya berupa imajinasi, intuisi, yang dapat berwujud sebagai
Patung Lingga Yoni / 6
inspirasi (internal). Kedua unsur pengalaman itu mengalami proses inkubasi sesuai dengan ruang dan waktu sehingga melahirkan dorongan untuk mengekspresikan ke dalam karya seni (patung). Sesuatu yang diekspresikan ke dalam bentuk karya patung sangat dipengaruhi oleh kondisi apresiasi masyarakat. Kualitas apresiasi sangat dipengaruhi oleh waktu, kapan karya itu diciptakan, misalnya karya seni patung zaman primitif sangat jelas identitasnya, demikian pula seni pada masa-masa berikutnya termasuk karya seni patung Sukanta Wahyu sangat jelas gayanya mewakili wacana zaman posmodern dewasa ini. Perkembangan pada abad ke-21 memperlihatkan terjadinya interpretasi yang sangat signifikan mengenai wacana lingga yoni tersebut. Ada beberapa penafsiran digunakan untuk mengkaji kembali mengenai maknamakna apa yang tercermin di dalam wacana. Mengkaji hal tersebut, bukannya tidak ada alasan melainkan untuk melihat kembali makna yang tersirat sesuai dengan semangat saat ini (kontemporer). Perwujudan patung lingga yoni tidaklah lagi dikonsepkan dengan bentuk yang seperti konvensional (dulu) atau tetap tanpa perubahan, namun telah mengalami perkembangan yang sangat berbeda. Pengkonsepan patung lingga yoni sudah tidak lagi seperti menyerupai bentuk aslinya yang dikenal populer pada zaman Bali kuno abad ke-11 hingga ke-14. Secara visual berbentuk pallus, terbuat dari batu bulat panjang
Patung Lingga Yoni / 7
atau berbentuk silinder ditancapkan pada bantalan berbentuk vulva yang disebut yoni dan sangat sederhana. Patung lingga yoni mulai terjadi perubahan konsep penggambaran. Paling jelas tampak perubahan tersebut yakni dalam bentuk dan bahan pembuatannya (materialnya). Lingga dibuat sesuai dengan penghayatan dan interpretasi dari seniman Sukanta Wahyu. Kebebasan berekspresi merupakan wujud di mana seniman telah melakukan suatu tindakan “dekonstruksi” terhadap interpretasi yang lama “status quo” mengarah pada reinterpretasi ulang memaknai arti simbol-simbol dan memberikan gaya (style) yang sangat berbeda sesuai dengan proses pencariannya dalam berkarya. Pengkonsepan mengenai patung lingga yoni tidak bisa dilepaskan dari pengaruh zaman yang mengarah pada mulainya akses ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat memberikan pengaruh di zaman sekarang, dikenal dengan mulainya globalisasi. Globalisasi juga mempengaruhi peninggalan patung-patung lingga yoni yang tersebar di Bali. Globalisasi yang sangat jelas terlihat yakni pada perkembangan pariwisata Bali yang membawa efek terhadap hampir semua tatanan yang terdapat di Bali. Efek tersebut antara lain terjadinya komodifikasi dari barang sakral menjadi profan. Di sini tentunya dapat
Patung Lingga Yoni / 8
terlihat dari salah satu pembuatan patung lingga yoni gaya I Made Sukanta Wahyu di Klungkung. Sukanta Wahyu telah menghasilkan puluhan karya patung dengan konsep lingga yoni dalam bentuk bervariasi. Patung tersebut dibuat dengan berbagai ukuran, bentuk, dan bahan yakni ada yang dibuat dari kayu dan batu. Setiap bahan itu pun dibedakan lagi sesuai dengan keadaan materialnya. Selain itu variasinya dapat dilihat dari komposisi objeknya. Patung-patung gaya Sukanta Wahyu merupakan suatu penggambaran bagaimana dia menginterpretasikan atau memainkan simbol-simbol sakral tersebut menjadi barang seni yang dapat diproduksi secara bervariasi sesuai dengan idenya yang diselaraskan dengan bentukbentuk materialnya secara alami. Ciri khas karyanya terdapat pada konsep lingga yoni. Setiap hasil akhir karyanya memiliki bentuk yang variatif baik bahan, ukuran, motif, maupun estetikanya. Sukanta Wahyu berusaha untuk mengembangkan konsep tentang lingga tersebut dalam ranah estetis dan lebih pada proses yang bersifat realis. Hal itu dapat diketahui dari pandangannya tentang memaknai lingga yoni dalam konteks kekinian. Secara jelas terlihat dalam karya-karyanya yang membangun suatu interpretasi yang berbeda dan banyak mengundang kesadaran yang belum terasah dengan baik mengenai konsep-konsep lingga yoni secara holistik. Pemikiran konsep lingga yoni menurut pandangan Sukanta Wahyu dapat memberi
Patung Lingga Yoni / 9
wacana yang lebih luas yang belakangan ini masih sangat sedikit yang membicarakan tentang pemaknaan lingga yoni. Karya Sukanta Wahyu terlihat jelas dari setiap hasil karyanya yang dia konsepkan mengenai lingga, tampak sangat realis. Itu berarti “hiper-realis” dalam pengertian seni patung sangat melekat dalam jiwa Sukanta Wahyu yang di dalamnya juga sarat dengan jiwa pemberontakan akan seni yang telah mapan. Seni selama ini dapat dikatakan mengalami kemandegan dan stagnan dalam imajinasi dan kreatifitas, justru Sukanta Wahyu memberikan pandangan baru mengenai konsepkonsepnya terutama tentang penafsiran baru mendeskripsikan atau penggambaran lingga yoni yang selama ini hanya ditafsirkan sebagai bentuk sakral semata. Proses berkarya Sukanta Wahyu diawali dari menggali lebih dalam pemahamannya mengenai lingga yoni. Perenungan dan hasil pemikirannya yang dituangkan dalam pahatan-pahatan kayu dengan penjiwaan dan penghayatannya telah menghasilkan sebuah karya yang berbeda, memberikan inovasi baru terhadap dunia seni khususnya tentang seni patung. Suatu hal yang sangat kreatif dan nampaknya seniman seperti Sukanta Wahyu dapat mengkombinasikan dan bahkan mengkonfigurasikan beberapa elemen atau zat atau bahan dalam karya-karyanya. Inilah yang memberikan keunikan tersendiri, memberikan ciri khas terhadap
Patung Lingga Yoni / 10
karya yang dia buat. Sebagai sosok yang sederhana dan berawal dari kesederhanaan dengan pengalamanpengalaman yang telah dilalui dalam perjalanan hidupnya, membuat semakin matangnya ide dan imajinasi yang tumbuh menghiasi ditransformasikan ke dalam kayu sehingga menghasilkan karya yang imajinatif dan inovatif.
Patung Lingga Yoni / 11
II Pengertian Seni Patung lingga Yoni Seni patung adalah seni rupa yang merupakan pernyataan pengalaman artistik lewat bentuk-bentuk tiga dimensional. Pada galibnya seni patung adalah tiga dimensional dengan demikian benar-benar berada di dalam ruang (Sudarso, 1976: 8). Ditinjau dari sudut teknis pembuatannya dapat dibagi menjadi seni patung, arca atau plastis, dan seni relief. Bahan yang digunakan dapat berupa batu, prunggu, kayu, dan tanah liat (Ensiklopedi Umum, 1973 : 1193). Bastomi (1993:36), menegaskan bahwa seni patung (seni plastis) adalah cerminan jiwa yang menyatakan kehidupan cita yang dibatasi oleh ruang yang terwujud menjadi bendabenda yang kasat mata. Lebih lanjut Rick (1959:3) menegaskan bahwa: Sculpture is, essensialy, a three dimensional art concerned with the organization of masses or volumes. The sculpture compased his work intern or columes or masses, planes, contour, light and dark arias, and textures. Sedangkan pengertian lingga lebih banyak digunakan dalam kata benda hal itu dapat terlihat dalam bahasa Sansekerta, bila dilihat secara etimologi lingga mungkin berasal dari kata lag yang berarti melekat, setia, dan mengikuti (Monier William, 1986 : 901). Menurut Gosta
Patung Lingga Yoni / 12
Liebert, lingga diartikan sebagai tanda jenis kelamin atau seks, phallus, sebuah simbol asas kelaki-lakian (Liebert, 1976 : 152). Di samping itu lingga juga merupakan simbol unsur purusa yaitu lambang kelakilakian, Dewa Siwa (Rao, 1916 : 58). Dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia dijelaskan bahwa perkataan lingga itu juga berarti Phallus, kemaluan laki-laki dan tanda (Mardiwarsito, 1981 : 312). Selain itu lingga dikatakan pula sebagai simbol Dewa Siwa dan biasanya lingga ditempatkan di atas sebuah vulva (yoni). Yoni di sini berarti simbol alat kelamin wanita, sebagai simbol dari unsur wanita. (Ayatrohaedi dkk, 1981 :51). Jadi pengertian lingga-yoni merupakan penggambaran wujud visual, dengan bentuk yang bervariasi sesuai dengan landasan konsepsinya, namun pada hakikatnya adalah sebuah simbol. Simbol atau lambang adalah tanda-tanda yang dibuat oleh manusia dipergunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Setidaknya simbol dibuat oleh manusia untuk menandai sesuatu, baik yang bersifat alamiah maupun amaliah. Simbol dibuat untuk satu pertukaran maksud yaitu penyampaian pengertian bermakna. Dengan demikian lingga-yoni merupakan simbol yang bermakna yang diharapkan dapat dicapai sebagai media pemujaan. Hal ini dapat diterima karena seperti yang tersebut dalam kamus umum Bahasa Indonesia, bahwa lingga dikatakan sejenis batu sebagai tanda (Purwadarminta, 1965 : 542). Berdasarkan uraian di
Patung Lingga Yoni / 13
atas, lingga-yoni ialah suatu simbol kelaki-lakian, dan simbol wanita lambang Siwa berbentuk phallus, dan unsur sakti-nya berbentuk vulva (yoni) atau lingga-yoni itu tiada lain adalah simbol Dewa Ciwa dan sakti-nya.
Patung Lingga Yoni / 14
III Mengenal Gaya Patung I Made Sukanta Wahyu Gaya menurut Schapiro yang dikutip oleh Walker pada hakekatnya adalah: “bentuk …elemen, dan ekspresi yang konstan dalam karya seni seseorang, individu atau suatu kelompok gaya, lebih dari itu, adalah suatu sistem bentuk…uraian mengenai gaya mengacu kepada tiga aspek seni, yaitu elemen-elemen atau motif-motif bentuk, hubungan, dan kualitas bentuk (mencakup kualitas yang disebut ekspresi)” (Piliang, 2003). Didik Harianto (2007), menegaskan bahwa gaya adalah sebagai cara untuk mengekspresikan keindahan. Dalam hal ini dihubungkan dengan bentuk dan cara dalam berekspresi sesuai dengan alat yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu secara tepat, mendalam dan menarik. Gaya Sukanta Wahyu dalam karya-karya patungnya lebih menggambarkan rupa dominan ketelanjangan pallus. Pallus ditampilkannya dalam sosok yang kokoh dan berkarakter. Gaya patung Sukanta Wahyu merupakan paduan keyakinan akan konsep kosmik Hindu-Bali (akasa-pertiwi) dengan rupa nude kelamin yang secara estetik mendekati realistik tanpa ornamen, yang dalam kredo estetika tradisi sangat jarang dijumpai (Adnyana, 2007 : 19).
Patung Lingga Yoni / 15
Gaya karya-karya Sukanta Wahyu memiliki ciri dengan memanfaatkan keadaan bentuk-bentuk alami materialnya atau sebaliknya idenya di dalam berkarya dituntun oleh bentuk-bentuk materialnya. Gaya Sukanta Wahyu memiliki variasi dilihat dari komposisi objek, bentuk, material maupun proporsi. Dalam setiap ornamennya lebih pada penyesuaian komposisi yang melekat secara alamiah. Komposisi objek di sini dapat dilihat dari penyusunan elemen-elemen pokok dan elemen penunjang yang sangat kontradiktif artinya lebih menonjolkan realis. Sedangkan bentuk di sini lebih dimaknai dinamis karena menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk alami materialnya. Proporsi dalam hal ini tampak dialektis dengan berbagai variasi yang tidak statis dan melainkan fleksibel sehingga menghasilkan karya yang khas. Gaya patung lingga yoni Sukanta Wahyu memberikan nuansa yang berbeda dari patung lingga yoni pada zaman primitif. Sukanta Wahyu melakukan modifikasi terhadap patung lingga yoni. Terlihat dari hasil karyanya merekonstruksi ulang konsep bentuk lingga yoni ke dalam bentuk baru yang lebih realis. Imajinasi yang bebas seorang seniman jelas tidak mau terikat oleh tataran bentuk semata tetapi telah bebas melakukan penerjemahan atas lingga yoni pada zaman sekarang. Ini berarti bahwa konsep lingga yoni di interpretasi lebih luas tidak saja pada tataran religius namun sudah merambat pada yang profan. Pada tataran profan
Patung Lingga Yoni / 16
maksudnya apa yang diciptakan oleh Sukanta Wahyu sudah lebih pada penikmatan rasa seni dan bukan pada yang magis. Lingga yoni gaya Sukanta Wahyu tampak telah berhasil menciptakan yang berbeda dan keindahannya dapat di nikmati oleh masyarakat awam maupun para pencinta seni sekalipun. Dengan demikian gaya patung lingga yoni Sukanta Wahyu jelas menawarkan seni yang berbeda dengan media patung lingga yoni yang telah dilebur dalam gaya kekinian. Reinterpretasi, rekonstruksi dan komodifikasi tampak jelas mewarnai karya-karyanya sebagai budaya kontemporer.
Patung Lingga Yoni / 17
IV Struktur Bentuk Patung Lingga Yoni 4.1 Bentuk Lingga Yoni Beragam Varian Bentuk seni adalah hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud ungkapan, isi, pandangan, dan tanggapan ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap dengan indera. Di dalam bentuk seni terdapat hubungan antara garapan pengalaman jiwa dan garapan medium yang diungkapkan atau terdapat hubungan antara bentuk dan isi yang dikandungnya. Konsep bentuk menyoroti dan membatasi apa yang ingin diketahui, dalam kaitan ini bentuk menandai keberadaan sesuatu yang fenomenal itu dapat dicapai secara inderawi sehingga dapat diperoleh fakta-fakta empirik. Faktafakta empirik seperti peristiwa dan gejala alam yang terkait dengan manusia, masyarakat dan kebudayaan itu dihubung-hubungkan serta diambil sari patinya. Dengan demikian pengetahuan kebenaran objek tentang sesuatu atau hal yang berbentuk itu menjadi lebih menyeluruh dan tuntas (Bagus, 1988: 55). Bentuk pada patung lingga yoni Sukanta Wahyu tak kalah pentingnya dengan unsur lain seperti garis, warna, proporsi, komposisi, dan sebagainya yang dituangkan secara ekspresif dengan medium kayu. Setiap karya seni sepanjang penciptaan berusaha melahirkan bentuk-bentuk penting sehingga seni itu adalah suatu ciri objektif imajinasi alam ataupun pikiran
Patung Lingga Yoni / 18
manusia yang dibangun oleh struktur titik, garis, bidang, dan komposisi sehingga berbentuk suatu wujud yang dapat ditangkap secara kongkret (Gie, 1996 : 31). Proses perubahan semakin cepat terjadi jika suatu kebudayaan baru tidak ditanggapi sebagai suatu pengaruh yang memperkaya kebudayaan lama. Maka terlihatlah betapa pentingnya keinginan akan perubahan dalam diri masyarakat yang begitu besar yang merupakan pemicu berlangsungnya proses perubahan budaya. Di samping itu, secara historis terdapat fakta-fakta bahwa kebudayaan akan mengalami perubahan seirama dengan perubahan hidup masyarakat. Perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru, dan akibatnya pada penyesuaian cara hidup baru, teknologi baru, serta kebiasaan pada situasi baru. Kalau diperhatikan patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu dengan patung peninggalan-peninggalan sejarah yang berbentuk lingga yoni juga dalam proses kreasinya telah terjadi perubahan dan pembaharuan, yakni dari bentuk yang sangat sederhana menjadi realis bahkan terkesan hiperealis. Itu dapat terjadi akibat teori-teori yang telah dikuasai seperti penggunaan garis, bidang, komposisi, proporsi, anatomi, dan tekstur. Dalam perupaan dapat diungkap melalui ide dalam proses penciptaan sebuah karya seni patung. Ide
Patung Lingga Yoni / 19
memegang peranan penting dalam proses penciptaan patung. Penciptaan karya seni adalah menuangkan pengalaman batin yang mengandung nilai estetis. Karya seni patung lingga yoni Sukata Wahyu jelas memperlihatkan adanya tuangan ide-ide yang tercurah ke dalam setiap karyanya. Seperti apa yang dikatakan oleh Sukanta Wahyu adalah sebagai berikut: “… dalam setiap penciptaan memang tidak bisa lepas dari ide kreatif. Karena setiap ide yang timbul merupakan tuangan atau gejolak jiwa yang secara terus menerus ada dalam jiwa si seniman itu. Dari hasil renungan dan pencarian yang panjang kemudian terungakapkan ke dalam yang lebih nyata. Seperti halnya para seniman patung dapat menuangkan ide-ide atau gagasan, konsep dan lainnya dalam karya seni patung. Patung lingga yoni ini juga merupakan pencarian melalui proses yang panjang. Dalam pencarian itu saya pada akhirnya memiliki ide untuk mengusung hasil penemuan dari usaha kreatif dan muncullah konsep lingga yoni sebagai konsepsi dasar dalam pengembangan dan penciptaan patung lingga yoni tersebut…” (Wawancara, Maret 2008). Di samping ide, ada proporsi, komposisi, anatomi, warna, tekstur, dalam karya seni patung lingga yoni yang diciptakan Sukanta Wahyu, memiliki cita rasa keindahan tersendiri.
Patung Lingga Yoni / 20
4.2 Unsur-Unsur Patung Lingga Yoni Pengamatan terhadap sebuah karya seni rupa (patung) sebaiknya, tidak hanya tertuju pada beberapa bagian saja namun juga dilihat pada keseluruhan sebagai suatu kesatuan atau totalitas. Sebuah karya patung diamati sebagai suatu kesatuan yang utuh yang mengandung suatu maksud tertentu. Seni Patung merupakan ciptaan manusia, memiliki struktur atau susunan yang berkaidah sebagai suatu sistem. Susunan tersebut dapat menjadi sempurna, bila menerapkan kaidah-kaidah dalam penciptaan karya seni. Kaidah-kaidah karya seni tersebut seperti, proporsi, kesatuan, keseimbangan, irama, pusat perhatian, dan kontras sangat penting peranannya. Sedangkan unsur-usurnya, adalah garis, bidang, ruang, warna, dan tekstur. Demikianlah dalam penyusunan tersebut, dipandang perlu menggunakan kaidah-kaidah seni rupa, seperti apa yang diciptakan dalam karya patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu. a) Garis Pada dunia seni rupa, garis merupakan dua titik yang dihubungkan. Kehadiran garis bukan saja hanya sebagai garis tetapi kadang sebagai simbol emosi yang diungkapkan lewat garis atau goresan. Goresan atau garis yang dibuat oleh seorang seniman akan memberikan kesan psikologis yang berbeda pada setiap garis yang dihasilkan. Kesan yang berbeda maka garis
Patung Lingga Yoni / 21
mempunyai karakter yang berbeda pada setiap goresan yang lahir dari seniman ( Kartika, 2004 : 40 ). Sidik dan Prayitno ( 1981 : 13 ) menyebutkan bahwa garis adalah suatu goresan yang menjadi batas limit suatu benda, massa, ruang, dan warna. Garis merupakan abstraksi pada bentuk benda atau wujud yang digunakan untuk menyarankan suatu bentuk, gerak, dan bisa mewakili sifat dan karakter seseorang berdasarkan coretan garis yang dihasilkan. Disebut pula bahwa garis pada umumnya dapat berarti tujuan, orientasi bentuk, gerak, dan tenaga (Supono, 1983 : 31). Kartika dan Perwira (2004 : 101) menegaskan bahwa garis sebagai medium seni rupa mempunyai peranan yang sangat penting, antara lain untuk memberi tanda bentuk logis, sebagai lambang, informasi yang merupakan pola baku dari kehidupan sehari-hari. Selain itu, garis juga berperan untuk menggambarkan sesuatu secara representatif. Ditegaskan pula bahwa garis merupakan simbol ekspresi ungkapan seniman. Soegeng dalam Kartika (2004 : 41) juga menyebutkan bahwa garis di samping memiliki peranan, juga memilki sifat formal dan nonformal, misalnya garis-garis geometrik yang bersifat formal, beraturan, dan resmi. Garis-garis non- formal bersifat tak resmi dan cukup luwes lemah gemulai, lembut, acak-acakan yang semuanya tergantung pada intensitas pembuat garis.
Patung Lingga Yoni / 22
Ditinjau dari arti garis ada dua macam pengertian, yaitu (a) garis vertikal (tegak) yang artinya diperluas berdasarkan isi, yakni kemungkinan melawan perubahan, kestabilan, kemegahan, kekuatan, dan tanpa mengenal waktu dan (b) garis horizontal (datar) diartikan sebagai ketenangan dan kedamain. Selain itu, garis juga memiliki sifat, yakni garis nyata dan garis khayal. Garis nyata adalah garis yang mudah untuk diamati dan dapat terlihat kehadirannya seperti garis lurus, garis lengkung, garis patah-patah, dan garis bergelombang. Garis khayal adalah garis yang tidak jelas terlihat, tetapi dapat dirasakan kehadirannya seperti garis yang hadir dengan sendirinya sebagai batas bidang, batas warna, batas benda, dan horison. Garis ini memilki fungsi menguatkan kesan ruang dan memberi batasan antara satu bidang dengan bidang lainnya (Fajar Sidik dan Prayitno, 1981 : 4 – 9). Murtihadi dan Gunarto (1982 : 31) menjelaskan bahwa garis memiliki karakter berdasarkan simbol-simbol ekspresi, seperti: garis tegak yang membengkok; memberi kesan sedih, lesu, dan duka. Garis olak-olakan ke atas memberi kesan kekuatan spiritual yang menyala, bersemangat, hasrat yang keras dan berkobar-kobar. Garis pancaran ke atas memberi kesan pertumbuhan, idealisme, dan spontanitas. Garis lurus mendatar memberi kesan tenang, tak bergerak. Garis lurus tegak; memberi kesan stabil, kuat, megah, dan sederhana. Garis kubah yang membulat memberi kesan kuat,
Patung Lingga Yoni / 23
kokoh, sedangkan garis miring memberi kesan tidak stabil, goyah, dan bergerak. Garis pada patung merupakan unsur pokok, dalam seni rupa tidak hanya terdiri atas bongkahan massa, melainkan massa dan kontur, garis sebagai awal dari ekspresi dan idea dalam berkarya. Begitu mendasarnya garis, Herbert Read, ( 2000 : 20 ) mengungkapkan bahwa pedoman yang penting dan ampuh bagi seni juga buat kehidupan ini, adalah bahwa makin nyata, tajam, dan kuat garis batasnya, makin sempurna karya seni, dan kekurangjelasan atau kurang tajamnya garis, merupakan kelemahan imajinasi, peniruan, dan kecerobohan. Garis yang merupakan hasil pahatan seorang pematung mencerminkan kekuatan daya imajinasi dan keterampilan yang dimiliki. Pada patung lingga yoni Sukata Wahyu, keberadaan garis juga sangat jelas tampak, garis yang dapat dalam karya patungnya lingga yoni diberikan corak yang alamiah untuk tetap memberikan kesan yang natural. Seperti apa yang dijelaskan oleh Sukata Wahyu berikut ini. “…proses pembentukan pada setiap karya yang dibuat, seminimal mungkin tidak mengubah bentuk struktur alami daripada mediumnya. Hal ini penting bagi saya karena medium itu lah yang menjadi senteral nantinya pada setiap proses imajinatif yang secara kontinyu menghasilkan ide-ide…” (wawancara, Maret 2008).
Patung Lingga Yoni / 24
Dengan demikian Garis pada patung lingga yoni karya Sukanta Wahyu sangat tegas dan kuat sebagai kontur atau pembatas bidang dan mencerminkan kesan kokoh dan dinamis serta sebagai simbol ekspresi kekuatan laki-laki. b) Unsur Bidang Bentuk suatu bidang memiliki karakter yang beraneka ragam, yakni tergantung pada (a) posisi, (b) arah garis, (c) dimensi, dan (d) irama. Beberapa bidang dapat direkayasa bentuknya menjadi satu susunan yang bisa memberi kesan berbeda-beda bahkan dapat mempesona. Pada hakikatnya bidang memiliki dua dimensi yaitu panjang dan lebar. Apabila beberapa bidang disusun saling berpotongan melalui suatu titik atau garis, maka wujud baru yang terbentuk akan memiliki tiga dimensi yaitu panjang, lebar, dan tinggi, dan bisa menimbulkan kesadaran rasa ruang. Keindahan bidang bisa didekati melalui unsur proporsi, warna, tekstur, dan bentuk ruang yang melatarbelakanginya, sedangkan untuk menikmati keindahan bidang bisa dicapai melalui pengamatan visual. Pertama-tama yang dilihat adalah objek secara keseluruhan, kemudian dipadu dengan rasa yang ditimbulkan oleh penglihatan, akhirnya sampai pada apresiasi bagian per bagian.
Patung Lingga Yoni / 25
Menurut Kartika dan Prawira (2004:102) suatu bidang terjadi karena di batasi oleh sebuah kontur (garis) atau dibatasi oleh adanya warna yang berbeda atau oleh gelap terang cahaya atau karena adanya tekstur. Di dalam karya seni, bidang digunakan sebagai simbol perasaan seniman di dalam menggambarkan objek hasil subject matter, maka tidaklah mengherankan apabila seseorang kurang dapat menangkap atau mengetahui secara pasti tentang objek hasil pengolahannya. Bidang dalam penampilannya kadang-kadang mengalami beberapa perubahan sesuai dengan gaya dan cara pengungkapan secara pribadi senimannya. Bahkan kadang-kadang perwujudan yang terjadi sangat jauh berbeda dengan objek yang sebenarnya. Di dalam mencipta karya seni bukan sekedar mengungkap apa yang dilihat atau bukan sekedar terjemahan dari pengalaman tertentu, melainkan karena adanya suatu proses yang terjadi. Bidang yang terjadi bisa berupa (1) menyerupai wujud alam, dan (2) sama sekali tidak menyerupai wujud alam. Keduanya akan terjadi sangat ditentukan oleh kemampuan senimannya, sedangkan dalam perubahan wujud akan terjadi sesuai dengan selera dan latar belakangnya. Perubahan wujud yang dihasilkan bisa berupa stilisasi, distorsi, transformasi, dan disformasi, (Kartika dan Prawiwa, 2004:103). Stilisasi adalah cara penggambaran untuk mencapai bentuk keindahan dengan cara menggayakan objek, yakni dengan cara
Patung Lingga Yoni / 26
menggayakan setiap garisnya (kontur). Misalnya pada lukisan dan patung tradisional Bali (lukisan wayang Kamasan, lukisan gaya Ubud, dan patung tradisional Silakarang). Distorsi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan cara memberikan penekanan atau menyangatkan pada bagian-bagian tertentu dari suatu objek yang digambarkan. Misalnya dapat dilihat pada tokoh wayang atau topeng Bali yang menggambarkan karakter keras dengan bentuk mata melotot/mendelik, gigi dan taring menggambarkan karakter galak. Transformasi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan cara memindahkan wujud atau figur dari objek lain ke objek yang digambarkan. Misalnya penggambaran manusia berkepala binatang atau penggambaran manusia setengah dewa yang memiliki tujuan untuk penggambaran wujud karakter ganda. Deformasi merupakan penggambaran bentuk yang menekankan pada interpretasi karakter, dengan cara merubah bentuk objek melalui penggambaran unsur tertentu dari objek yang dapat mewakili karakter hasil interpretasi yang sifatnya sangat hakiki. Perubahan bentuk semacam ini dapat dijumpai pada karya-karya seni patung modern. Unsur-unsur yang dihadirkan
Patung Lingga Yoni / 27
merupakan komposisi yang menimbulkan getaran karakter dari wujud ekspresi simbolis. Agar unsur bidang menjadi lebih bermakna, maka diberi bentuk atau rupa yang bisa memberi kesan indahnya suatu objek yang hakikatnya didapat dari bidang-bidang yang menyelubunginya. Rupa dasar bidang-bidang yang tersusun dengan baik akan memberikan kesan keindahan pada objek. Keindahan rupa dasar ditentukan oleh besaran proporsi, sifat permukaan dan bentukbentuk bidang yang mengelilinginya. Selain itu rupa dasar suatu objek menjadi indah karena bisa menggambarkan isi yang dikandungnya, padat menggeliat dan menyembul ke permukaan. Di samping itu rupa dasar suatu obyek pada hakikatnya komunikasi yang bisa berbicara atau menunjukkan makna dari suatu bentuk. Rupa dasar memiliki sifat dua dimensional, tiga dimensional, bahkan bisa empat dimensional. Dimensional ke empat adalah waktu yang dibutuhkan oleh pengamat dalam mengamati suatu rupa. Rupa dengan dua dimensional berupa permukaan yang bersifat datar, hanya berukuran panjang dan lebar dengan kata lain disebut bidang. Bidang bisa terjadi dari pertemuan garis dalam berbagai kondisi, bisa berbentuk geometris, organis, bersudut teratur atau tidak teratur, dan berbentuk bebas atau berbentuk alami.
Patung Lingga Yoni / 28
Apabila rupa dasar suatu bidang diberi warna, akan tampil lebih hidup, di samping akan menimbulkan aneka ragam sensasi pada orang yang memperhatikannya. Apabila bidang atau rupa dasar dari dua dimensional dipertemukan dengan bidang lain akan terwujud rupa tiga dimensional yang disebut bentuk, memiliki ukuran panjang, lebar, dan tinggi. Keindahan suatu rupa dasar dapat diperkuat oleh unsur-unsur titik, garis, tekstur, warna, dan komposisi sehingga dapat memberi nilai tambah pada kesan berat, seimbang, berirama, mengarahkan atau mempesonakan, yakni tergantung dari proporsi dan warna rupa dasar yang akan membentuk rupa baru pada bidang yang mendasarinya, Kusmiati dalam (Budiarta, 2008:112). Keindahan bidang di dalam seni patung lingga yoni gaya Sukanta wahyu dapat dinikmati dari penggambaran wujudnya yang menekankan pada interpretasi karakter yakni pengambilan unsur tertentu yang mewakili karakter hasil interpretasi yang sifatnya hakiki. Hal ini lebih dijelaskan lagi oleh Sukata Wahyu dalam melihat setiap karakter karya patung lingga yoninya. “…patung lingga yoni di sini lebih menekankan pada karakter yang tegas namun bersifat dinamis. Tegas dalam hal ini artinya, karakter dari patung lingga yoni menggambarkan karakter kekokohan. Munculnya karakter ini sebenarnya telah menjadi satu dalam medium pembentuknya. Ini lah yang memberikan ide
Patung Lingga Yoni / 29
bagi saya untuk menuangkan proses kreatif yang secara simultan pada setiap material dasar pembentukan patung, mengarahkan pada perwujudannya…” (Wawancara, Maret 2008). Dalam hal ini berupa bentuk pallus (kelamin laki-laki), ditampilkan dalam sosok yang kokoh dan berkarakter, vulva ( yoni ) yang merupakan representasi perempuan dengan komposisi secara inovatif dan variatif. Perubahan bentuk bidang merupakan komposisi yang setiap unsurnya menimbulkan getaran karakter dari wujud ekspresi simbolis, yakni sesuai dengan konsep atau ide berkaryanya yang berlandaskan pada konsep purusa-pradana atau akasa-pertiwi. c) Ruang Ruang dalam unsur seni rupa menurut Djelantik ( 1999 : 21 ) mengatakan, bahwa kumpulan beberapa bidang akan membentuk ruang. Ruang mempunyai tiga dimensi : panjang, lebar, dan tinggi. Lebih lanjut Kartika dan Perwira ( 2004 : 112 ) menegaskan pula, bahwa ruang dalam unsur rupa merupakan wujud tiga matra yang mempunyai panjang, lebar, dan tinggi (punya volume). Ruang dalam seni rupa dibagi atas dua macam yaitu ruang nyata dan ruang semu. Ruang nyata adalah bentuk dan ruang yang benar-benar dapat dibuktikan dengan indera peraba. Ruang semu, artinya indera penglihatan menangkap bentuk dan ruang sebagai gambaran sesungguhnya yang tampak pada tapril/layar
Patung Lingga Yoni / 30
atau kanvas dua matra seperti yang dapat dilihat pada karya lukis, karya disain, karya ilustrasi, dan pada layar film. Dalam seni patung, Djelantik (1999 : 21 ) menerangkan pula bahwa ruang juga memiliki peran yang utama dan berwujud nyata. Sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Umum oleh Pringgodigdo ( 1973 : 1193 ) bahwa seni rupa tiga dimensi yang didasarkan atas ukuran panjang, lebar, dan tinggi dapat berupa patung. Esensi seni patung adalah seni rupa yang bersifat tiga dimensional yang merupakan organisasi massa benda atau volume-volume, konsep kontur, bidang gelap serta terang, dan tekstur. Ruang dalam karya patung Sukanta Wahyu adalah merupakan ruang yang nyata dan berwujud tiga dimensi. Dalam penikmatannya ruang dalam karya patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu dapat dipandang dari segala arah secara visual dengan indera peraba. Selain itu ruang dalam karya patung Sukanta Wahyu juga mempunyai dimesi keempat yakni berat. Melalui tampilan ruang yang nyata atau visual dan berat atau padat, Sukanta Wahyu menyampaikan rasa estetiknya yang mengandung simbolisme untuk berkontemplasi dan masuk ke dalam ruang batinnya. Ruang dalam karya patung Sukanta Wahyu lahir dari apresiasinya terhadap kondisi natural atau alami materialnya sebagai pencapaian rasa estetisnya yang kreatif dan inovatif.
Patung Lingga Yoni / 31
d) Warna Pengertian warna menurut para ahli adalah pigmen atau zat warna yang terdapat pada obyek benda itu sendiri. Bastomi ( 1992 : 60 ) mengatakan, bahwa warna adalah elemen visual yang paling menyenangkan. Dalam seni rupa warna menambah kegairahan kerja para seniman dan kepuasan para pengamat karena warna selamanya menyenangkan. Selain itu warna dalam seni rupa juga memberikan nilai estetis dan menjelaskan isi warna. Warna di samping memiliki nilai fisis juga mempunyai nilai psikologis, sehingga tanggapan setiap pengamat terhadap warna berbeda-beda. Seperti misalnya warna jingga adalah warna riang gembira, tetapi ada pula pengamat lain menyatakan bahwa warna jingga adalah warna panas atau warna gelisah. Secara umum warna dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan sifatnya yang khas yaitu warna panas dan warna dingin. Warna-warna yang termasuk warna panas adalah merah, kuning, dan jingga. Warna dingin di antaranya hijau, biru, dan unggu. Dalam psikologi warna-warna tersebut digolongkan menjadi dua kelompok besar, karena ada dua alasan yang didasarkan atas arti simbolisnya. (a) Warna merah sering diasosiasikan dengan matahari, darah, api, di mana benda-benda tersebut memberi kesan panas atau merangsang emosi kejiwaan. (b) Warna-warna dingin diwakili oleh warna biru langit, gunung di kejauhan, air
Patung Lingga Yoni / 32
laut atau pada umumnya yang menghijau atau membiru memberi kesan sejuk atau tenang. Lebih lanjut, ditegaskan pula bahwa warna pada sebagian orang memiliki arti dan perlambang tertentu, misalnya kesucian dilambangkan dengan warna putih, dan warna kuning, di Asia sering diasosiasikan sebagai lambang dewa-dewa, misalnya dewa Budha, para biksu selalu memakai jubah kuning, dan juga Kong Fu Cu ( Darmaprawira, 2002 : 39, 42). Warna dalam patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu menambah keindahan dan ketegasan ruang dan bentuk yang sudah memiliki nilai simbolis yang bersifat individual dan pribadi. Warna dalam patung karya Sukanta Wahyu dibuat dengan cara membakar material atau bahan patungnya dengan alat kompor semprot minyak tanah sehingga menghasilkan warna hitam yang merata pada setiap bidang pada patungnya, dan dilapisi dengan wek atau semir sepatu cap kiwi sebagai pelapis pengaman terhadap rayap. “… pada proses pembuatan Patung lingga yoni, warna merupakan hal yang penting untuk ditampilkan. Bagaimanapun warna memberikan kesan dan identitas pada setiap bidang pada patung dan bisa juga pada patung itu sendiri. pencerminan warna tentu saja membawa pada perpaduan kontestasi simbolik yang akan memberikan pemaknaan berbeda pada masing masing patung seperti halnya patung-patung lingga yoni ini. Warna di sini saya berusaha
Patung Lingga Yoni / 33
menggunakan bahan yang alami dikombinasikan dengan bahan modern. Warna alami di sini menggunakan hasil bakaran kayu (mangsi) dan juga semir sepatu. Penggunaan warna hitam dimaksudkan untuk memberikan identitas dan arti yang lebih magis dan berkarakter berat. Dominasi warna hitam sengaja ditampilkan agar kesan alaminya juga tampak…” (Wawancara, Maret 2008). Warna hitam yang dihasilkan dari proses tersebut dapat menambah kesan berat atau mantap atau kesan magis karya-karya patung Sukanta Wahyu. e) Tekstur Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan nilai raba permukaan bahan baik secara nyata atau semu pada karya seni rupa. Tekstur buatan (artificial texture) merupakan tekstur yang sengaja dibuat, sedangkan tekstur alami (natural texture) merupakan wujud rasa permukaan bahan yang sudah ada secara alami seperti permukaan batu, pasir, dan kayu (Kartika, 2004: 226). Lebih lanjut Sidik (1976: 26) menegaskan bahwa tekstur merupakan nilai raba pada suatu permukaan, baik nyata maupun semu. Suatu permukaan mungkin kasar, halus, keras, atau lunak, dan kasar atau licin. Tekstur memiliki nilai plastis dan nilai dekorasi yang tinggi. Nilai tersebut dalam karya
Patung Lingga Yoni / 34
seni patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu ditampilkan dengan tekstur halus dan kadang-kadang juga kasar. Tampilan tekstur halus pada karya-karya patung Sukanta Wahyu mempunyai tujuan untuk mempertegas karakter garis dan bentuk yang ditampilkan, sedangkan tekstur kasar dalam karya-karya patung Sukanta Wahyu bukan sengaja dibuatnya melainkan tekstur alami dari materialnya. Tekstur dalam karya-karya patung Sukanta Wahyu lebih cenderung tekstur semu. Dikatakan demikian karena permukaan bidang patungnya halus bila diraba namun kesannya kasar
4.3 Struktur Seni Patung Seni rupa merupakan salah satu cabang kesenian yang mengacu pada bentuk visual atau bentuk perupaan. Bentuk perupaan merupakan susunan atau komposisi dari unsur-unsur rupa, sehingga dalam mewujudkan bentuk seni rupa diperlukan asas penyusunan untuk menghasilkan karya seni. Karya seni (patung) merupakan ciptaan manusia, memiliki struktur atau susunan yang merupakan kaidah sebagai sistem untuk menghasilkan ciptaan yang indah, yang seni. Struktur atau susunan tersebut menjadi sempurna, apabila terwujud keserasian (harmony) secara total antara kaidah-kaidah tersebut yakni, proporsi, kesatuan ( unity ), keseimbangan ( balance ), irama (ritme), pusat
Patung Lingga Yoni / 35
perhatian, dan kontras, (Murtihadi dan Gunarto, 1982:59). a) Proporsi Kartika dan Prawira ( 2004 : 123 ) menjelaskan bahwa proporsi mengacu kepada hubungan antara bagianbagian dari suatu disain dan hubungan antara bagian dengan keseluruhan. Suatu ruangan yang kecil dan sempit bila diisi dengan benda yang besar, massif, tidak akan kelihatan baik dan juga tidak bersifat fungsional. Warna tekstur, dan garis memainkan peranan penting dalam menentukan proporsi. Warna-warna yang cerah lebih jelas kelihatan, tekstur yang memantulkan cahaya atau bidang-bidang yang bermotif juga akan menonjolkan suatu bidang. Garis vertikal cenderung membuat suatu benda kelihatan lebih langsing dan lebih tinggi. Garis-garis horizontal membuat benda kelihatan pendek dan lebar. Dengan demikian proporsi sangat tergantung kepada tipe dan besarnya bidang, warna, garis, dan tekstur dalam beberapa area. Bastomi (1992:73) menegaskan bahwa masalahmasalah yang dibicarakan dalam proporsi adalah yang berhubungan dengan ukuran atau dimensi antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dalam suatu hasil karya seni. Hubungan proporsional ini dapat mengenai warna, daerah cahaya dan gelap, bentuk atau jumlah elemen disain lainnya, yang dapat diukur,
Patung Lingga Yoni / 36
misalnya proporsi tubuh manusia, dan proporsi jumlah penari. Dalam seni patung seniman dapat mengubah proporsi tubuh manusia untuk mendapatkan efek emosional, ideal, atau untuk tujuan keagungan. Ukuran tubuh manusia dapat dilebihkan dari ukuran aslinya untuk memperoleh efek ekspresif. Di samping penggunaan proporsi untuk tujuan-tujuan emosional, lebih penting lagi proporsi dipakai oleh orang untuk mendapatkan identitas bentuk dalam karya-karyanya. Dalam pengamatan penulis terhadap karya-karya patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu yang berupa bentuk pallus dan yoni dengan ukuran yang sangat besar dan sangat ditonjolkan dibandingkan dengan ukuran yang alami. Proporsi karya-karya patung Sukanta Wahyu sangat ekspresif melalui penampilan yang hiperealis.
b) Kesatuan (Unity) Kesatuan yang dimaksud bahwa karya patung yang indah menunjukan dalam keseluruhannya sifat yang utuh, yang tidak ada cacatnya, tidak ada yang kurang, dan tidak ada yang berkelebihan. Terdapat hubungan bermakna (relevan) antarbagian tanpa adanya bagian yang sama sekali tidak berguna atau tidak ada hubungannya dengan bagian yang lainnya. Juga tidak
Patung Lingga Yoni / 37
ada bagian yang memberi kesan merusak kesatuan (Djelantik, 2001:38). Selanjutnya Bastomi (1992:70) menegaskan bahwa unity adalah penyatuan dari bagian-bagian karya seni. Kesatuan (unity) dapat muncul dengan berbagai usaha, antara lain (1) menggunakan komposisi tertutup, yaitu menggunakan unsur-unsur gelap terang, padat kosong ruang dalam tempat yang sangat terbatas, terutama jika tempat itu dibatasi dengan bentuk melingkar; (2) melalui pancaran emosi pencipta. Pancaran emosi yang kuat dilakukan secara sepontan, terungkap karya seni yang utuh; (3) melalui idea pecipta. Idea seni tak dapat terpisah-pisah. Ide seni dapat pula terjadi dari ide yang terlepas-lepas, namun akhirnya menyatu; (4) melalui kesatuan bentuk. Artinya satu karya seni tidak mungkin bernilai baik jika terjadi dari gabungan beraneka bentuk. Lebih tegas lagi Kartika (2004:59) mengatakan bahwa kesatuan adalah kohesi, konsistensi, ketunggalan atau keutuhan yang merupakan isi pokok dari komposisi. Kesatuan merupakan efek yang dicapai dalam suatu susunan atau komposisi di antara hubungan unsur pendukung karya seni, sehingga secara keseluruhan menampilkan tanggapan secara utuh. Kesatuan dalam karya patung lingga yoni Sukanta Wahyu memperlihatkan adaya kombinasi berbagai elemen dasar bentuk yang menciptakan varian motif secara alami dari elemen dasar yang dimaksud di atas. Seperti misalnya batang kayu secara alami (kayu gelondongan)
Patung Lingga Yoni / 38
atau telah memiliki unsur-unsur dasar elemen bentuk kemudian diapresiasi dengan memberikan penekanan pada setiap material yang digunakan untuk karya seni, dalam hal ini patung lingga yoni Sukanta Wahyu.
c) Keseimbangan (balance) Menurut Kartika (2004:60-62) keseimbangan dalam penyusunan adalah keadaan atau kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan dan menimbulkan adanya kesan seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan. Bobot visual ditentukan oleh ukuran, wujud, warna, tekstur, dan kehadiran semua unsur dipertimbangkan dan memperhatikan keseimbangan. Ada dua macam keseimbangan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan bentuk, yaitu keseimbangan formal (formal balance) dan keseimbangan informal (informal balance). Keseimbangan formal (formal balance) adalah keseimbangan pada dua pihak berlawanan dari satu poros. Keseimbangan formal kebanyakan simetris secara eksak atau ulangan berbalik pada sebelah menyebelah. Ia dicapai dengan menyusun unsur-unsur sejenis dan mempunyai identitas visual pada jarak yang sama terhadap suatu titik pusat yang imajiner. Keseimbangan formal bersifat statis dan tenang tetapi tidak ada kesan membosankan.
Patung Lingga Yoni / 39
Keseimbangan informal (informal balance) adalah keseimbangan sebelah menyebelah dari susunan unsur yang menggunakan prinsip susunan ketidaksamaan atau kontras dan selalu asimetris. Konsep dari keseimbangan ini digambarkan seperti berat dengan anak timbangan. Penggambaran seperti tersebut hanya sebagai abstraksi, bahwa konsep tersebut meliputi keseimbangan massa, berat yang terjadi pada karya seni, patung, arsitektur, dan lukisan (Kartika, 2004:118) Keseimbangan informal lebih rumit tetapi lebih menarik perhatian karena mempunyai kesan dinamika yang memberi kemungkinan variasi yang lebih banyak dan unik. Selain itu harus mempertimbangkan karakter masing-masing unsur, misalnya tekstur kasar mempunyai bobot visual lebih berat daripada tekstur halus atau licin, demikian pula pada warna dan unsur yang lain ditentukan dari bobot visual secara intensitas unsurnya (Kartika, 2004:120) Lebih lanjut Astiti (2004:97) menegaskan bahwa keseimbangan formal dapat memberikan kesan agung, tenang dan kemiripan karena bentuk atau warna yang ada memang persis sama antara di kiri dan di kanan, hanya kadang-kadang terasa gerak yang statis. Sementara itu, keseimbangan asimetris menyajikan kesan dinamis bervariasi. Keseimbangan dalam berat biasanya bersifat asimetris. Dalam hal seni rupa (patung), berat yang dimaksud lebih cenderung pada berat visual daripada berat dalam arti fisik. Unsur-unsur visual yang berpengaruh pada berat
Patung Lingga Yoni / 40
visual ialah ukuran, warna, tekstur penempatannya (lokasi), (Arsana, 1983:69).
serta
Dalam patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu sebagian besar karya-karya yang diciptakannya berkeseimbangan informal lihat gambar sebagai berikut.
Salah satu karya I Made Sukanta Wahyu (Foto: Dokumen I Ketut Buda,2009)
Patung Lingga Yoni / 41
Judul: lingga yoni Ukuran : tinggi 115 cm Bahan : kayu kamboja Sumber: koleksi karya Sukanta Wahyu tahun 2001
Patung Lingga Yoni / 42
Gambar patung di atas menggunakan elemen dasar kayu sebagai medium sentralnya. Karakteristik dalam patung tersebut terangkai dalam keterpaduan berbagai unsur seni yang secara dinamis mengkombinasikan suatu sifat yang informal menjadi suatu yang harmonis dan seimbang. d) Irama (Ritme) Ritme atau irama terdapat pada aspek seluruh kehidupan, garis bergelombang pada daun, ruas-ruas pada kayu, gelombang laut, orang berjalan, burungburung terbang dan lain sebagainya. Menurut Djelantik (2001:39) irama dalam suatu karya seni adalah merupakan kondisi yang menunjukkan kehadiran sesuatu yang terjadi berulang-ulang secara teratur. Keteraturan tersebut bisa mengenai jaraknya yang sama dalam seni rupa. Astiti (2004:97) menegaskan bahwa penjabaran irama adalah berupa pengulangan bentuk, garis, warna, tekstur dan lain-lain. Bentuk pokok irama ialah berulang-ulang, berganti-ganti, bersilang-silang, dan mengalir. Pertimbangan ini cenderung karena pertimbangan estetis. Lebih lanjut menurut Murtihadi dan Gunarto (1982:6264) untuk memperoleh irama yang baik ada lima cara penyusunan unsur, yaitu (a) karya seni disusun dari unsur tetap, baik bentuk maupun proses pengulangannya, misalnya berupa bentuk bulat kecil disusun secara teratur dan rapi memenuhi ruangan.
Patung Lingga Yoni / 43
Cara semacam itu akan terlihat kesatuan yang statis, monoton, dan menjemukan. Namun, bentuk semacam itu diperlukan, apa bila menghendaki suasana yang tenang dan polos. (b) Melalui cara penyusunan unsurunsur secara teratur tetapi bervariasi, dengan maksud supaya bentuk tidak statis dan menjemukan pandangan. Melalui irama bervariasi semacam ini agar menghasilkan bentuk karya seni yang lebih menarik dan menyenangkan. (c) Melalui irama dengan perbandingan ,yakni unsur satu dengan yang lain menunjukkan perbedaan ukuran, baik dalam bentuk yang sama maupun berbeda. Melalui penyusunan unsur-unsur seperti ini akan dapat memberikan kesan lebih hidup dan dinamis. (d) Melalui gerak garis terusan yakni gerak garis yang kontinyu serta mengalir. Melalui gerakan yang secara terus menerus dan teratur serta berulangulang kembali dalam hal yang sama akan menunjukkan suatu kedinamisan. (e) Irama bebas, yakni secara kejiwaan, bentuk susunan unsur seperti ini merupakan gejolak atau pemberontakan terhadap ikatan-ikatan tertentu. Sejalan dengan hal-hal yang telah dikatakan, maka dapat dinyatakan bahwa irama dalam karya seni (patung) adalah untuk menciptakan gerakan agar tercapai kesan dalam karya seni sesuai dengan keinginan senimannya. Patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu sangat jelas irama garisnya yang tegas dan bebas sesuai dengan irama yang telah ada secara alami pada materialnya. Irama yang demikian dalam karya-karya
Patung Lingga Yoni / 44
patung Sukata Wahyu menunjukan kesan pancaran kekuatan atau power ide yang ditampilkan. e) Pusat Perhatian (Penonjolan) Pusat perhatian disebut pula penonjolan. Penonjolan mempunyai maksud mengarahkan perhatian orang yang menikmati suatu karya seni sesuatu hal tertentu. Supono dalam Astiti (2004:99) pusat perhatian disebut pula dominan yang merupakan fokus suatu susunan, suatu pusat di sekitar unsur-unsur estetik lainnya. Hal ini tidak dapat diabaikan karena justru pusat perhatian ini akan mengarahkan pandangan ke arah yang paling penting dari suatu susunan. Pusat perhatian dimaksudkan dalam buku dasar-dasar disain merupakan tujuan prinsip disain untuk menciptakan kesatuan dalam gejala-gejala visual yang bermacam macam itu. Pusat perhatian atau penonjolan dapat dicapai dengan beberapa cara yaitu (a) dengan ukuran, bentuk yang paling besar akan terlebih dahulu kelihatan ;(b) dengan kekuatan warna atau warna kontras, dalam bidang dengan warna terang akan menjadi pusat perhatian pada bidang yang berwarna gelap; (c) melalui tempat, pengamatan mula-mula akan terarah pada pusat daerah pengelihatan; (d) dengan cara konvergensi, memusat ke arah satu titik atau sinar; (e) dengan perkecualian, tekstur yang kasar sangat menonjol pada bidang yang halus. Melalui cara-cara tersebut di atas dapat
Patung Lingga Yoni / 45
menghindari kejenuhan atau pandangan monoton terhadap karya seni. Selain hal tersebut di atas penonjolan juga untuk memberikan “intensitas” dari karya seni, penonjolan juga bisa membuat ciri yang khas pada karya seni itu, yang disebut dengan “karakter.” Ini akan terlihat dengan jelas bila suatu cara penonjolan yang khas terdapat pada karya-karya seniman tertentu. Pengamat akan dengan mudah melihat seni rupa dengan penonjolan yang khas dan akan dapat mengenal penciptanya. Dalam hal ini penonjolan memberikan identitas pada karya seni bersangkutan, misalnya karyakarya patung I Nyoman Cokot yang menonjolkan wajahwajah demonis dan garang tidak beraturan mengikuti karakter materialnya (Djelantik,2001:45). Di sisi lain dijelaskan pula bahwa kemiripan penonjolan sejenis yang tampil dalam jumlah banyak terangkat menjadi “milik” seniman, maka akan menjadi apa yang disebut gaya atau stil yang merupakan ciri kepribadian senimannya. Oleh karena itu penonjolan dalam karyakarya patung lingga yoni Sukanta Wahyu sangat erat kaitannya dengan wujud dan penampilannya, yakni berupa penonjolan tampilan bentuk-bentuk pallus bahkan secara hiperrealis. Bentuk-bentuk pallus sebagai pusat perhatian dan bentuk-bentuk kesuburan seperti halnya yoni penempatannya sangat tergantung pada keadaan alami materialnya yang secara alami telah memberikan respons bentuk-bentuk motifnya.
Patung Lingga Yoni / 46
f)
Kontras
Dalam keadaan sehari-hari terlihat hal-hal yang kontras, misalnya siang dan malam, gelap dan terang, panjang dan pendek, tinggi dan rendah. Demikian pula dalam penyusunan unsur-unsur atau prinsip disain, kontras adalah penggunaan unsur-unsur yang saling menunjukkan perlawanan. Apa bila unsur tersebut berupa warna, maka yang dipakai berupa warna gelap dan terang. Apabila unsur tersebut berupa bentuk, misalnya bentuk yang berukuran besar dan kecil. Demikian pula unsur-unsur yang lain menunjukkan perlawanan (Murtihadi dan Gunarto, 1982: 68). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penerapan unsurunsur kontras akan kelihatan dinamis dan banyak variasi. Dengan banyak variasi, suatu disain lebih mudah disesuaikan dengan kegunaan atau fungsinya. Atas dasar penjelasan di atas kontras adalah untuk menghasilkan vitalitas. Hal ini timbul diakibatkan oleh adanya susunan unsur-unsur estetik yang saling berlawanan. Apabila tidak ada kontras akan terjadi monoton. Terkait dengan karya-karya patung lingga yoni Sukanta Wahyu kontras sangat tampak pada bentuk-bentuk motifnya. Bentuk-bentuk pallus yang kokoh dan tegang dibuat dominan dengan bentuk-bentuk vulva yang dibuat secara disformasi yakni penggambaran bentuk kelamin wanita melalui penekanan pada interpretasi
Patung Lingga Yoni / 47
karakter, dengan cara mengubah bentuk objek yang dianggap mewakli bentuk karakternya. Dalam patung lingga yoni Sukanta Wahyu bentuk vulva dibuat mengikuti alur lekukan materialnya secara alami. Kekontrasan yang ditonjolkan melalui bentuk-bentuk pallus yang kokoh dan tegang, karena Sukanta Wahyu sendiri ingin menyampaikan pesan pada pengamat akan kekuatan atau power dalam kehidupan ini, sesuai keyakinannya yang berlandasan pada konsep purusapradana.
Patung Lingga Yoni / 48
V Varian Bentuk Patung Lingga Yoni Patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu memiliki beberapa varian bentuk. Varian dalam pengertiannya adalah bentuk yang berbeda atau menyimpang dari yang aslinya atau dari yang baku (Tim, 1999:1117). Varian ini dapat diketahui dengan melalui wujud fisik yang dapat dilihat dan diraba secara inderawi yang disebut dengan benda seni. Wujud fisik itu sendiri ditentukan oleh nilai yang ada di dalamnya, yakni nilai bentuk (inderawi). Nilai bentuk terdiri atas nilai bahan seni atau disebut medium suatu bentuk seni. Dalam seni patung mediumnya mungkin kayu, yang mengandung nilai tekstur, garis, warna, dan bangun tertentu. Medium itu membentuk bangun-bangun tertentu sebagai unsur bentuknya yang disusun dalam struktur tertentu. Dengan pengertian tersebut maka varian bentuk dalam patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu adalah sebagai berikut. Perbedaan bentuk karya Sukanta Wahyu dalam hal ini dapat diketahui melalui proses penciptaannya, di mana ide-idenya lahir dengan merespons keadaan material yang dengan sendirinya dari masing-masing material yang digunakan memiliki struktur serta bentuk yang berbeda. Akibatnya masing-masing karya ciptaannya
Patung Lingga Yoni / 49
tidak akan memiliki bentuk yang sama, baik dilihat dari teksturnya, garis, motifnya. Dalam hal ini yang sangat menonjol variannya adalah dapat diketahui terutama dari segi ukuran (tinggi-rendah) atau panjang-pendek (proporsi), komposisi, bangun bahan, dan ruang: padat dan kosong. Kondisi bahan yang berbeda-beda secara alami akan menentukan lahirnya perbedaan dari masing-masing karya yang tercipta kendatipun secara pilosofi dasar penciptaannya sama yakni lingga yoni. Lihat gambar di bawah, berikut adalah salah satu varian patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu.
Judul: Lingga Yoni, Ukuran: Tinggi 97 Cm, Bahan: kayu kopi, Sumber: Koleksi pribadi Sukanta Wahyu tahun 2002
Patung Lingga Yoni / 50
Gambar di atas adalah sebuah patung lingga yoni dengan medium kayu jepun dengan komposisi simetris atau proporsif vertikal dengan garis yang tegas, tekstur semu dalam pengertiannya kalau diraba akan terasa kasar namun dilihat dari permukaannya terlihat halus. Patung ini berdimensi atau bervolume padat dengan warna gelap mencerminkan kesederhanaan. Tampilan yang realis bahkan hampir hiperealis. Selanjutnya sebagai perbandingan dapat dilihat dalam patung pada gambar di bawah ini, yaitu sebagai berikut.
Judul: Lingga Yoni dan Kama Bang, Ukuran: tinggi 235 Cm, Bahan: kayu kamboja Sumber: Koleksi Sukanta Wahyu tahun 1998
Patung Lingga Yoni / 51
Pada gambar di atas, terlihat bahwa ada perbedaan varian bentuk yang paling menonjol adalah pada bagian atas daripada bentuk lingga,yaitu bentuk lingga tersebut memiliki sisa olahan dari materialnya yang kemudian diwujudkan menjadi motif pelengkap sehingga dalam penampakannya lingga yoni tersebut memiliki perbedaan pada komposisi dan proporsi serta struktur motifnya.
Patung Lingga Yoni / 52
VI PROSES KREATIF DALAM PENCIPTAAN PATUNG Bentuk seni adalah hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud ungkapan, isi, pandangan, dan tanggapan ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap dengan indera. Di dalam bentuk seni terdapat hubungan antara garapan pengalaman jiwa dan garapan medium yang diungkapkan atau terdapat hubungan antara bentuk dan isi yang dikandungnya. Konsep bentuk menyoroti dan membatasi apa yang ingin diketahui, dalam kaitan ini bentuk menandai keberadaan sesuatu yang fenomenal itu dapat dicapai secara inderawi sehingga dapat diperoleh fakta-fakta emperik. Faktafakta emperik seperti peristiwa dan gejala alam yang terkait dengan manusia, masyarakat dan kebudayaan itu dihubung-hubungkan serta diambil saripatinya. Dengan demikian pengetahuan kebenaran obyek tentang sesuatu atau hal yang berbentuk itu menjadi lebih menyeluruh dan tuntas (Bagus, 1988: 55). Bentuk pada patung lingga yoni Sukanta Wahyu tak kalah pentingnya dengan unsur lain seperti; garis, warna, proporsi, komposisi, dan sebagainya yang dituangkan secara ekspresif dengan medium kayu. Setiap karya seni sepanjang penciptaan berusaha melahirkan bentuk-bentuk penting sehingga seni itu adalah suatu ciri obyektif imajinasi alam ataupun pikiran
Patung Lingga Yoni / 53
manusia yang dibangun oleh struktur titik, garis, bidang, dan komposisi sehingga berbentuk suatu wujud yang dapat ditangkap secara kongkrit (Gie, 1996 : 31). Kalau diperhatikan patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu dengan patung peninggalan-peninggalan sejarah yang berberntuk lingga yoni juga dalam proses kreasinya telah terjadi perubahan dan pembaharuan, yakni dari bentuk yang sangat sederhana menjadi realis bahkan terkesan hiperealis. Itu dapat terjadi akibat teori-teori yang telah dikuasai seperti penggunaan garis, bidang, komposisi, proporsi, anatomi, tekstur dan lainnya. Dalam pengungkapan perupaan yakni dapat diungkap melalui ide dalam proses penciptaan sebuah karya seni patung. Ide memegang peranan penting, sebab tanpa ide bisa saja sebuah patung terwujud, namun ia bukanlah merupakan karya yang sifatnya pribadi. Mengingat dalam penciptaan karya seni adalah menuangkan kehidupan batin yang mengandung nilai estetis. Di samping ide ada proporsi, komposisi, anatomi, warna, tekstur, dalam karya seni patung lingga yoni yang diciptakan Sukanta Wahyu memiliki cita rasa keindahan tersendiri. Dalam pengungkapan karya-karya patung dikaitkan dengan beberapa teori. Dalam hal ini teori perubahan dan teori estetika dipakai untuk membedah seni patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu.
Patung Lingga Yoni / 54
VII Unsur-Unsur Patung Lingga Yoni Pengamatan terhadap sebuah karya seni rupa (patung) sebaiknya, tidak hanya tertuju pada beberapa bagian saja namun juga dilihat pada keseluruhan sebagai suatu kesatuan atau totalitas. Sebuah karya patung diamati sebagai suatu kesatuan yang utuh yang mengandung suatu maksud tertentu. Seni Patung merupakan ciptaan manusia, memiliki struktur atau susunan yang berkaedah sebagai suatu sistem. Susunan tersebut dapat menjadi sempurna, bila menerapkan kaedahkaedah dalam penciptaan karya seni. Kaedah-kaedah karya seni tersebut seperti: komposisi, proporsi, kesatuan atau unity, keseimbangan, irama, pusat perhatian, kontras, sangat penting peranannya. Sedangkan unsur-usurnya, yaitu: garis, bentuk, ruang, warna, tekstur. Demikian dalam penyusunan tersebut, dipandang perlu menggunakan kaedah-kaedah seni rupa, seperti apa yang diciptakan dalam karya patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu. Pertama adalah garis. Pada dunia seni rupa, garis merupakan dua titik yang dihubungkan. Kehadiran “garis” bukan saja hanya sebagai garis tetapi kadang sebagai simbol emosi yang diungkapkan lewat garis atau goresan. Goresan atau garis yang dibuat oleh seorang seniman akan memberikan kesan psikologis yang berbeda pada setiap garis yang dihasilkan. Kesan yang berbeda maka garis mempunyai karakter yang
Patung Lingga Yoni / 55
berbeda pada setiap goresan yang lahir dari seniman ( Kartika, 2004 : 40 ). Garis yang merupakan hasil pahatan seorang pematung mencerminkan kekuatan daya imajinasi dan ketrampilan yang dimiliki. Garis pada patung lingga yoni karya Sukanta Wahyu sangat tegas dan kuat sebagai kontur atau pembatas bidang dan mencerminkan kesan kokoh serta sebagai simbol ekspresi kekuatan laki-laki. Kedua adalah bentuk. Keindahan bentuk di dalam seni patung lingga yoni gaya Sukanta wahyu dapat dinikmati dari penggambaran bentuknya yang menekankan pada interpretasi karakter yakni pengambilan unsur tertentu yang mewakili karakter hasil interpretasi yang sifatnya hakiki. Dalam hal ini berupa bentuk pallus (kelamin kaki-laki), ditampilkan dalam sosok yang kokoh dan berkarakter, vulva (yoni ) yang merupakan abstraksi perempuan dengan komposisi secara inovatif dan variatif. Perubahan bentuk merupakan komposisi yang setiap unsurnya menimbulkan getaran karakter dari wujud ekspresi simbolis, yakni sesuai konsep ide berkaryanya yang berlandaskan pada konsep “ purusa-pradana” atau “akasa-pertiwi. Ketiga adalah ruang. Ruang dalam karya patung Sukanta Wahyu adalah merupakan ruang yang nyata dan berwujud tiga dimensi. Dalam penikmatannya ruang dalam karya patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu dapat dipandang dari segala
Patung Lingga Yoni / 56
arah secara visual dengan indera peraba. Selain itu ruang dalam karya patung Sukanta Wahyu juga mempunyai dimesi keempat yakni berat. Melalui tampilan ruang yang nyata atau visual dan berat atau padat, Sukanta Wahyu menyampaikan rasa estetiknya yang mengandung simbolisme untuk berkontemplasi dan masuk ke dalam ruang batinnya. Ruang dalam karya patung Sukanta Wahyu lahir dari apresiasinya terhadap kondisi natural atau alami materialnya sebagai pencapaian rasa estetisnya yang kreatif dan inovatif. Keempat warna.Warna dalam patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu akan menambah keindahan dan ketegasan ruang dan bentuk yang sudah memiliki nilai simbolis yang bersifat individual dan pribadi. Warna dalam patung karya Sukanta wahyu dibuat dengan cara membakar material atau bahan patungnya dengan alat kompor semprot minyak tanah sehingga menghasilkan warna hitam yang merata pada setiap patungnya, dan dilapisi dengan wek atau semir sepatu cap kiwi sebagai pelapis pengaman terhadap rayap. Warna hitam yang dihasilkan dari proses tersebut dapat menambah kesan berat atau mantap atau kesan magis karya-karya patung Sukanta Wahyu. Terakhir yang kelima adalah tekstur. Dalam karya seni patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu ditampilkan dengan tekstur halus dan kadang-kadang juga kasar. Tampilan tekstur halus pada karya-karya patung Sukanta Wahyu mempunyai tujuan untuk mempertegas
Patung Lingga Yoni / 57
karakter garis dan bentuk yang ditampilkan. Sedangkan tekstur kasar dalam karya-karya patung Sukanta Wahyu bukan sengaja dibuatnya melainkan tekstur alami dari materialnya. Tekstur dalam karya-karya patung Sukanta Wahyu lebih cenderung tekstur semu. Dikatakan demikian karena permukaan bidang patungnya halus bila diraba namun kesannya kasar
Patung Lingga Yoni / 58
VIII POLA YANG DIPERGUNAKAN DALAM KARYA PATUNG Komposisi patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu kebanyakan menerapkan komposisi asimetris dengan tujuan untuk lebih dinamis dalam penampilan karyakaryanya. Sedangkan proporsi patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu yang berupa bentuk pallus dan yoni berukuran sangat besar dan sangat ditonjolkan dibandingkan dengan ukuran yang alami. Proporsi karya-karya patung Sukanta Wahyu sangat ekspresif melalui penampilan yang hiperealis. Sedangkan bagian yang lain dapat terlihat dalam pola seperti: Kesatuan (Unity), keseimbangan, ritme dan penonjolan Kartika (2004:59) mengatakan bahwa kesatuan adalah kohesi, konsistensi, ketunggalan atau keutuhan yang merupakan isi pokok dari komposisi. Kesatuan merupakan efek yang dicapai dalam suatu susunan atau komposisi di antara hubungan unsur pendukung karya seni, sehingga secara keseluruhan menampilkan tanggapan secara utuh. Unity seperti tersebut di atas, secara teoritis cukup sulit namun bagi Sukanta Wahyu hal ini telah dapat dicapainya atau diwujudkan pada karya-karya patungnya, karena di dalam setiap memulai berkarya selalu didasari proses kreatif, di mana bentuk bentuk materialnya selalu menuntun idea-ideanya.
Patung Lingga Yoni / 59
Keseimbangan (balance). Menurut Kartika (2004:60-62) keseimbangan dalam penyusunan adalah keadaan atau kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan dan menimbulkan adanya kesan seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan. Bobot visual ditentukan oleh ukuran, wujud, warna, tekstur, dan kehadiran semua unsur dipertimbangkan dan memperhatikan keseimbangan. Dalam hal seni rupa (patung), berat yang dimaksud lebih cenderung pada berat visual daripada berat dalam arti fisik. Unsur-unsur visual yang berpengaruh pada berat visual ialah ukuran, warna, tekstru serta penempatannya (lokasi). Dalam patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu sebagian besar karya-karya yang diciptakannya berkeseimbangan informal. Irama (Ritme) Ritme atau irama terdapat pada aspek seluruh kehidupan, garis bergelombang pada daun, ruas-ruas pada kayu, gelombang laut, orang berjalan, burungburung terbang dan lain sebagainya. Menurut Djelantik (2001:39) irama dalam suatu karya seni adalah merupakan kondisi yang menunjukan kehadiran sesuatu yang terjadi berulang-ulang secara teratur. Keteraturan tersebut bisa mengenai jaraknya yang sama dalam seni
Patung Lingga Yoni / 60
rupa. Astiti (2004:97) menegaskan bahwa penjabaran irama adalah berupa pengulangan bentuk, garis, warna, tektur dan lain-lain. Dengan demikian, irama dalam karya seni (patung), adalah untuk menciptakan gerakan agar tercapai kesan dalam karya seni sesuai keinginan senimannya. Patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu sangat jelas irama garisnya yang tegas dan bebas sesuai irama yang telah ada secara alami pada materialnya. Irama yang demikian dalam karya-karya patung Sukata Wahyu menunjukan kesan pancaran kekuatan atau power ide yang ditampilkan. Pusat Perhatian (Penonjolan) Pusat perhatian disebut pula penonjolan. Penonjolan mempunyai maksud mengarahkan perhatian orang yang menikmati suatu karya seni sesuatu hal tertentu. Supono dalam Astiti (2004:99) pusat perhatian disebut pula dominan yang merupakan fokus dari suatu susunan, suatu pusat di sekitar unsur-unsur estetik lainnya. Pusat perhatian atau penonjolan dapat dicapai dengan beberapa cara seperti (a) dengan ukuran, bentuk yang paling besar akan terlebih dahulu kelihatan ;(b) dengan kekuatan warna atau warna kontras, dalam bidang dengan warna terang akan menjadi pusat perhatian pada bidang yang berwarna gelap; (c) melalui tempat, pengamatan mula-mula akan terarah pada pusat daerah pengelihatan; (d) dengan cara
Patung Lingga Yoni / 61
konvergensi, memusat ke arah satu titik atau sinar; (e) dengan perkecualian, tektur yang kasar sangat menonjol pada bidang yang halus. Melalui dengan caracara tersebut di atas dapat menghindari kejenuhan atau pandangan monotun terhadap karya seni. Di sisi lain dijelaskan pula bahwa kemiripan penonjolan sejenis yang tampil dalam jumlah banyak terangkat menjadi “milik” seniman, maka akan menjadi apa yang disebut gaya atau stily yang merupakan ciri kepribagian senimannya. Maka penonjolan dalam karya-karya patung lingga yoni Sukata Wahyu sangat erat kaitannya dengan wujud dan penampilannya, yakni berupa penonjolan tampilan bentuk-bentuk pallus bahkan secara hiperrealis. Bentuk-bentuk palus sebagai pusat perhatian dan bentuk-bentuk kesuburan penempatannya sangat tergantung pada keadaan alami materialnya yang secara alami memberkan respon bentuk-bentuk.
Patung Lingga Yoni / 62
IX Bahan dan Teknik Membuat Patung 9.1 Bahan (material) Bahan atau material dalam bahasa Inggris disebut medium. Dalam Ensiklopedia Indonesian (Mulia, t.th.:150) dijelaskan bahwa “bahan” adalah bakal; barang yang akan dijadikan atau untuk membuat barang lain. Lebih lanjut Partanto (1999:444) menyatakan bahwa material adalah kebendaan atau bahan. Atas pengertian tersebut di atas maka bahan atau material atau juga disebut medium, senantiasa berupa kongkret, misalnya kayu, batu, logam, dan tanah liat. Seperti ditegaskan dalam Ensiklopedi Umum oleh Pringgodigdo (1973:1193), bahan dalam seni pahat antara lain kayu, batu, perunggu, atau tanah liat. Medium atau bahan tersebut digunakan sebagai sarana perwujudan karya patung. Medium merupakan perantara terwujudnya karya seni (patung). Medium sangat berperan dalam menentukan keberhasilan karya seni. Pengenalan sifat dan karakter bahan dalam perwujudan karya seni sangat penting bagi seorang seniman (pematung). Adapun bahan yang dipilih untuk pengungkapan rasa artistik dan mengembangkan kreatifitas inovasinya, Sukanta Wahyu bertumpu pada pemanfaatan material kayu yang masih memiliki bentuk alami berupa kayu pohon kopi dan kayu kamboja (jepun bahasa Bali). Bahan kayu kopi dan kamboja berbentuk
Patung Lingga Yoni / 63
gelondongan dipilih oleh Sukanta Wahyu untuk mewujudkan karya-karya patungnya tentu mempunyai alasan tersendiri. “…pemilihan bahan untuk patung lingga yoni sengaja diseleksi. Bahan yang digunakan itu yakni kayu tua seperti kayu kopi dan kayu jepun atau kamboja. Pemilihan bahan di sini tidak lepas dari sifat dan karakter serta struktur yang unik. Penyeleksian bahan seperti kayu kopi yang berumur tua, dan memiliki struktur yang dapat memberikan inspirasi mengenai motif bentuk sesuai konsep ide. Begitu juga kayu jepun atau kamboja. Dipilih bentuknya yang unik dapat memberikan inspirasi untuk konsepsi pembentukan patung. Bagi saya bahan kayu kopi dan kayu kamboja relative dapat bertahan terhadap rayap atau binatang pemakan kayu di samping juga pemilihan kayu yang berumur tua akan tidak mudah lapuk. Pengunaan bahan kayu jepun juga nantinya dimaknai memiliki kesakralan atau magis…” (Wawancara, April 2008). Sukanta Wahyu menegaskan bahwa kayu kopi dan kayu kamboja (jepun) mempunyai sifat dan karakter yang sangat khas yakni memiliki sifat yang cukup keras dan padat dengan serat yang berbelit-belit, sedangkan karakternya sangat unik dilihat dari bentuk tekstur alaminya yang penuh dengan benjolan-benjolan dan lekukan-lekukan yang sangat unik. Selain itu, kayu kopi
Patung Lingga Yoni / 64
dan kamboja tidak mudah pecah atau retak dan tidak disukai oleh rayap. Untuk memperoleh bahan-bahan tersebut Sukanta Wahyu menggunakan cara dengan memesan pada seorang kenalannya pemilik kebun kopi yang berdomisili di Singaraja. Pohon kopi yang dipilih atau dipesan adalah yang sudah berumur puluhan tahun (pohon kopi yang sudah tua dan yang memiliki bentuk alami yang unik). Sementara itu, untuk pohon kamboja, ia bisa dapatkan dari memesan kepada orang-orang yang menjumpai pohon kamboja yang dianggap bagus atau unik di daerah Bali. 9.2 Teknik dan Alat Teknik merupakan aktivitas bagaimana manusia sebelum melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu untuk memenuhi keinginannya. Menurut Daryanto (1998: 557), teknik adalah cara. Lebih lanjut Sudarso (1975: 16) menegaskan, bahwa teknik diambil dari perkataan tehcne, suatu istilah oleh Aristoteles untuk memberi pengertian tentang seni. Menurut Aristoteles tehcne, adalah kemampun untuk membuat atau mengerjakan sesuatu disertai dengan perngertian yang betul tentang prinsip-prinsipnya. Setiap pekerjaan selalu diawali dengan mengenali cara pengerjaanya, agar supaya tujuannya dapat dicapai dengan sempurna. Mengenai cara kerja para pematung
Patung Lingga Yoni / 65
di Bali Goris (t.th.: 154) mengatakan bahwa selain mengikuti cara pembentukan yang biasa menurut tradisi, di beberapa pusat-pusat kesenian pengukiran kayu memperoleh cara baru, yakni patung-patung yang dikerjakan dengan cara-cara pribadi pematungnya. Cara kerja tradisi dimaksudkan adalah dalam pembentukan patung di Bali umumnya dikerjakan secara bersama-sama, yaitu seorang pematung yang dianggap tertua dan paling berpengalaman membuat atau mengerjakan secara globalnya, dilanjutkan oleh pematung-pematung yang lainya mengerjakan bagianbagian ornamennya, serta pengisian warna-warna maupun penyelesaian bagian akhirnya (finishing). Ditegaskan pula bahwa teknik seni patung di Bali dalam pencapaian bentuknya selain menggunakan cara-cara tradisi juga dengan cara-cara baru yakni berdasarkan kebebasan mencipta dengan teknik-teknik pribadi masing-masing senimannya. Terkait dengan teknik atau cara kerja pembentukannya yang bersifat individual, Sukanta Wahyu mengawalinya dengan pemilihan bahan serta mengamati secara saksama bentuk-bentuk alami materialnya, sekaligus memberikan goresan global dari kapur tulis atau arang kayu, mengenai bagian mana yang terbuang dan bagian mana yang harus dipertahankan. Langkah selanjutnya adalah mewujudkan bagian-bagian detail daripada objeknya dengan teknik memahat.
Patung Lingga Yoni / 66
Pada tahap menghaluskan Sukata Wahyu memanfaatkan amril (amplas) untuk menghaluskan bagian-bagian permukaan materialnya. Proses pewarnaan dilakukan dengan teknik pembakaran pada permukaan material, pada tahap awal dengan menggunakan alat kompor semprot dari bahan bakar minyak tanah, dilanjutkan lagi dengan menggosok bagian permukaan kayu yang telah dibakar tadi dengan mengunakan amril kembali. Setelah bentuk dan tekstur yang diinginkan dicapai, dilanjutkan dengan memberikan smir lantai atau semir sepatu cap kiwi atau WAX cap AA dengan tujuan agar permukaan tekstur kayu menjadi halus, dan sekaligus untuk pelapis pengawet kayu dari serangan rayap pemakan kayu. Alat merupakan sarana untuk membantu dalam proses kerja. Adapun peralatan yang digunakan di dalam pembentukan karya-karya patung Sukanta Wahyu adalah berupa pahat, terdiri dari pahat penguku atau melengkung menyerupai bentuk kuku dengan ukuran 0,5 cm sampai 5 cm. Pahat ini digunakan untuk membuat lingkaran, setengah lingkaran, melengkung, atau pun cekung dan cembung. Selain itu, pahat yang disebut dengan pengrancap (mata pahat lurus) berfungsi untuk mengerjakan bidang-bidang permukaan datar dan garis lurus. Semua pahat tersebut di atas memiliki ukuran panjang 23 cm sampai dengan 25 cm. Selain menggunakan pahat, ia juga menggunakan pengotok (palu kayu) berfungsi untuk memukul pahat.
Patung Lingga Yoni / 67
Pengotok yang digunakan terdiri atas ukuran berat 1 kg sampai dengan ukuran 3 kg. Pengotok berat 1 kg digunakan untuk membuat proses detail, sedangkan pengotok berat 2-3 kg digunakan pada tahap makalin (global).
9.3 Karakteristik Patung Karakteristik unsur-unsur patung lingga yoni Sukanta Wahyu dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut. Garis pada patung lingga yoni karya Sukanta Wahyu sangat tegas dan kuat sebagai kontur atau pembatas bidang dan mencerminkan kesan kokoh serta sebagai simbol ekspresi kekuatan laki-laki. Berdasarkan garis juga terdapat keindahan bidang di dalam seni patung lingga yoni gaya Sukanta wahyu dapat dinikmati dari penggambaran wujudnya yang menekankan pada interpretasi karakter yakni pengambilan unsur tertentu yang mewakili karakter hasil interpretasi yang sifatnya hakiki. Dalam hal ini berupa bentuk pallus (kelamin kakilaki), ditampilkan dalam sosok yang kokoh dan berkarakter, vulva (yoni) yang merupakan representasi perempuan dengan komposisi secara inovatif dan variatif. Ruang dalam karya patung Sukanta Wahyu adalah merupakan ruang yang nyata dan berwujud tiga dimensi. Dalam penikmatannya ruang dalam karya patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu dapat
Patung Lingga Yoni / 68
dipandang dari segala arah secara visual dengan indera peraba. Selain itu ruang dalam karya patung Sukanta Wahyu juga mempunyai dimesi keempat yakni berat. Warna dalam patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu menambah keindahan dan ketegasan ruang dan bentuk yang sudah memiliki nilai simbolis yang bersifat individual dan pribadi. Warna dalam patung karya Sukanta Wahyu dibuat dengan cara membakar material atau bahan patungnya dengan alat kompor semprot minyak tanah sehingga menghasilkan warna hitam yang merata pada setiap patungnya, dan dilapisi dengan wek atau semir sepatu cap kiwi sebagai pelapis pengaman terhadap rayap. Warna hitam yang dihasilkan dari proses tersebut dapat menambah kesan berat atau mantap atau kesan magis karya-karya patung Sukanta Wahyu. Struktur seni patung menurut pengamatan penulis terhadap karya-karya patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu yang berupa bentuk pallus dan vulva adalah dengan ukuran yang besar dan ditonjolkan dibandingkan dengan ukuran yang alami. Proporsi karya-karya patung Sukanta Wahyu sangat ekspresif melalui penampilan yang hiperealis Kesatuan dalam karya patung lingga yoni Sukanta Wahyu memperlihatkan adanya kombinasi berbagai elemen dasar bentuk yang menciptakan varian motif secara alami dari elemen dasar yang dimaksud di atas.
Patung Lingga Yoni / 69
Dengan kata lain batang kayu yang secara alami (kayu gelondongan) telah memiliki unsur-unsur dasar elemen bentuk kemudian diapresiasi dengan memberikan penekanan motif bentuk sesuai dengan wujud material yang digunakan untuk karya seni, dalam hal ini patung lingga yoni Sukanta Wahyu. Keseimbangan yang disesuaikan dengan elemen dasar kayu yang digunakan sebagai medium sentralnya. Karakteristik dalam patung tersebut terangkai dalam keterpaduan berbagai unsur yang secara dinamis mengkombinasikan suatu sifat yang informal menjadi suatu yang harmonis dan seimbang. Berkenaan dengan irama garis, patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu sangat jelas irama garisnya yang tegas dan bebas sesuai dengan irama yang telah ada secara alami pada materialnya. Irama yang demikian dalam karya-karya patung Sukata Wahyu menunjukkan kesan pancaran kekuatan atau power ide yang ditampilkan. Penonjolan dalam karya-karya patung lingga yoni Sukanta Wahyu sangat erat kaitannya dengan wujud dan penampilannya, yakni berupa penonjolan tampilan bentuk-bentuk pallus bahkan secara hiperrealis. Bentukbentuk pallus sebagai pusat perhatian penempatannya sangat tergantung pada keadaan alami materialnya yang secara alami telah memberikan respons bentukbentuk motifnya
Patung Lingga Yoni / 70
Kontras dalam patung karya Sukanta Wahyu ditonjolkan melalui bentuk-bentuk pallus yang kokoh dan tegang, karena Sukanta Wahyu sendiri ingin menyampaikan pesan pada pengamat akan kekuatan atau power dalam kehidupan ini, sesuai keyakinannya yang berlandasan pada konsep purusa-pradana. Demikianlah gambaran karakteristik patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu dalam proses menciptakan karya-karyanya.
Patung Lingga Yoni / 71
X Penutup Kesenian merupakan suatu wujud kreativitas manusia yang dilakukan dengan berproses secara trus-menerus untuk dapat menciptakan sebuah karya yang secara monumental dapat diterima oleh para penikmatnya. Bagaimanpun sebuah karya seni tanpa ada proses kreatif tidak akan ada karya yang lahir, yang dapat dijadikan sebagai dasar atau pengalaman untuk mencari ide-ide inovatif. Seni adalah hasil karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman batinnya. Seni rupa khususnya seni patung merupakan proses kreatif seorang seniman. Seni patung salah satu cabang seni rupa, merupakan pernyataan pengalaman dalam suatu bentuk nyata, telah hadir dalam setiap periode sejarah manusia dengan keanekaragaman ekspresi dan gayanya. Keanekaragaman itu terjadi berawal dari pandangan manusia yang selalu dinamis dalam ide, yang terefleksi dalam proses dan berakhir pada terbentuknya karya seni. Melalui proses kreatif tersebut dapat melahirkan karya-karya seni yang indah dan menarik. Seni patung sebagai salah satu bentuk kreativitas manusia termediasi melalui elemen-elemen dasar seperti kayu, untuk pembuatan patung. Dengan elemen itulah para perupa berkreasi dan mencurahkan segala kreativitasnya.
Patung Lingga Yoni / 72
Seniman Sukanta Wahyu adalah salah satu di antara para seniman patung yang dapat secara faktual dipandang sebagai seniman yang kreatif. Proses berkeseniannya tampak terus mengalami perkembangan dan tampak inovatif dalam memberikan kreasi yang lebih kekinian. Perpaduan antara konsep yang tradisional dengan melakukan semacan dekonstruksi makna maka ia mendapatkan sebuah ide dari konsep lama seperti halnya konsep lingga dan yoni. Sukanta Wahyu tampak relatif berhasil memberikan pemaknaan baru terhadap konsep yang terwariskan pada masa lalu itu menjadi lebih populer atau posmodernis. Bagaimanapun apa yang menjadi hasil kreasi patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu perlu diapresiasi sebagai sebuah perubahan dalam memandang sebuah proses berkarya sebagai seniman patung yang akan terus-menerus melakukan perubahan dan tidak berhenti menjadi setagnan. Dengan demikian, patung lingga yoni Sukanta Wahyu dapat dipandang sebagai sebuah fenomena yang mencerminkan adanya semangat yang tanpa hentinya menyuarakan sepirit untuk terus berkarya, berkreasi dan lebih dari itu melakukan sebuah pencerahan.
Patung Lingga Yoni / 73
Daftar Pustaka Abdulsyani. 2002. Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara. Adnyana, Kun. 2007. Nalar Rupa Perupa Refleksi Wacana Kritis Seputar Seni Rupa.Denpasar:Arti Foundation. ___________. 2008. Seni Rupa Bali dan Gubernur Baru, Ubud: Museum Neka. Astiti, Tjok Istri Mas. 2004. Lukisan Modern Karya I Gusti Kadek Murniasih Dalam Perkembangan Seni Lukis Bali, Tesis, universitas Udayana: Program Studi Magister Kajian Budaya. Agger, Bin. 2006. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Terjemahan.Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bagus, I Gusti Ngurah. 1998. Proses dan Protes Budaya Persembahan Ngurah Bagus, Denpasar: BP. Bandem, I Made. 1991. “Tari Bali Sebuah Simbol Masyarakat Bali” Dalam Seni Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, Yogyakarta : BP – ISI. ____________. 2001. Filsafat Seni Sakral Dalam Kebudayaan Bali, Surabaya: Paramitha. Bastomi, Suwaji. 1992. Wawasan Seni. Ikip Semarang. Buda. I Ketut. 1983. Pengaruh Seni Patung I Nyoman Cokot Dalam Perkembangan Seni Patung di Bali, Yogyakarta : STSRI “ASRI”
Patung Lingga Yoni / 74
Budiastra, Putu. 1982. “Pameran Seni Rupa Bali Karya Generasi Muda”. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Darmaprawira, Sulasmi, W.A. 2002. Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaannya, Bandung: ITB. Darmawan,T. 2004. Bukit-Bukit Perhatian, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dibia, I Made. 1999. Seni Diantara Tradisi dan Modernisasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Denpasar: STSI. Djelantik.A.A. Made.1994. Peranan Estetika Dalam Perkembangan Kesenian Masa Kini. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. ___________. 1999. Estetika Sebuah Pengantar, Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Feldman, Edmund Burke. t.th. Art as Image and Idea, The University of Georgia, New Yersy: Prentice – Hall, Ind. Englewood cliffs. ___________. 1967. Art as Image and Idea, New Jersey: Prentice Hall, Ind., Terjemahan oleh Gustami, SP. 1991. Geertz, Clifford.1973. The Interpretation of Cultures. New York Basic Books, Inc, Publishers. ___________. 1989. The Interpretation of Culture. New York : Basic Book. Inc Publishers. ____________. 1992. Tafsir Kebudayaan. (Terjemahan). Yogyakarta: Kanisius. Gei The Liang. 1996. Filsafat Seni Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ilmu Pengetahuan.
Patung Lingga Yoni / 75
Gitosudarmo, Indriyo. 1990. Prinsip Manajemen. Jogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Goris, R. t.th. Atlas Kebudayaan Bali, Pemerintah Republik Indonesia. Gustami, SP. 1980. Nukilan Seni Ornamen Indonesia, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “ASRI”. __________. 2004. Proses Penciptaan Seni Kriya Untaian Metodologis, Yogyakarta: Pascasarjana ISI. Griya, I Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Surabaya: Paramita. Hasibuan, Malayu S.P. 2005. Organisasi dan Motivasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Iskandar Popo. 1969. Selayang Pandang Seni Lukis Bali, Budaya, No.4, VIII. Jack. C. Rick. 1982. The Material and method sculftur. New York, Oxford University Press. Kadir Abdul. 1974. Diktat Estetika, Yogyakarta: STSRI “ASRI” Karim, Rusli. t.t. Seluk Beluk Perubahan Sosial. Surabaya : Usaha Nasional. Kartika, Sony Dharsono. 2004. Seni Rupa Modern, Bandung: Rekayasa Sains. Karuni, Ni Kadek. 2008. Dinamika Perkembangan Seni Kerajinan Desa Guang, Gianyar, Tesis, Yogyakarta: Pascasarjana ISI. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : Universitas Indonesia.
Patung Lingga Yoni / 76
_____________, 2003. Pengantar Ilmu Antropologi II, Jakarta: Renika Cipta. Kutha Ratna, I Nyoman. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Piksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Liebert, Gosta. 1976. I Conographic Dictionary of the Indian Religion, Hinduism-Buddhism-Jainism. Leiden, E.J. Brill. Linggih, I Nyoman. 2001. “Patung Dewa Ruci di Persimpangan Jalan Arteri Nusa Dua-Tanah Lot’. Tesis Untuk Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar. Mantra, I.B. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mamannoor. 2002. Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia, Bandung: Nuansa. Moleong, Lexy J. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Monier, William. 1986. A Sanskrit English Dictionary. Mutilal Banarsidass, Delhi Varanasi Patna Mandras. Murtihadi dan Gunarto, G. 1982. Dasar-Dasar Disain, Jakarta: PT Tema Baru. Neka, Suteja dan Suteja, Kardi. 2008. Seni rupa Bali dan Tantangannya di Masa Depan, Apresiasi Seni dan Apresiasi Harga, Ubud: Museum Neka. Nugroho, Garin. T.th. Jejak Panjang Menggugat Religiusitas, Visual Art, Vol. 5, No. 28.
Patung Lingga Yoni / 77
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Kultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra. Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Poerwadarminta, W.J.S. 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia Bagian I, Jakarta: Balai Pustaka. Purnata, I Made. 1976/1977. Sekitar Perkembangan Seni Rupa Bali, Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali. Redig, I Wayan. 1997. Estetika Seni Arca India dan Pengaruhnya di Indonesia dalam Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan, Universitas Udayana: Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan. Jakarta: Prenada Media. Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan, Bandung: Erlangga. Sachari, Agus. 2002. Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa, Bandung: STSI Bandung Press. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antrofologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenadia Media. Siagian, Sondang P. 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: PT. Renika Dipta. Soedarso, SP. 2006. Trilogi Seni, Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni, Yogyakarta: ISI.
Patung Lingga Yoni / 78
___________. 1975. Tinjauan Seni, Yogyakarta: STSRI “ASRI”. ___________. 1990. Tinjauan Seni, Yogyakarta: Saku Dayar. Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata, Yogyakarta: BP ISI. Sudana, I Wayan. 2008. I Made Suteja dan Karya Seninya, Tesis, Yogyakarta: Pascasarjana ISI. Sumadi, Suryabrata. 2004. Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raya Grafindo Persada. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni, Bandung: ITB. Suptandar, Pamudji. 1985. Perancangan Tata Ruang Dalam, Jakarta: Usakti. Suryahadi. 1994. Pengembangan Kreativitas Melalui Seni Rupa, Yogyakarta: Depdikbud PPPGK. Sidik, Fajar dan Prayitno, Aming. 1981. Disain Elementer, Yogyakarta: STSRI “ASRI”. Swandi, I Wayan. 1999. “Inovasi Ida Bagus Tilem Dalam Seni Patung Bali Modern”. Tesis. Untuk Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar. Team Penyusun. 1990. Pesta Kesenian Bali. Tim Penyusun Kamus. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonasia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Winardi, J. 2004. Motivasi dan Pemotivasian Dalam Manajemen. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Yuda bakti, I Made dan Watra, I Wayan. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali, Surabaya: Paramita.
Patung Lingga Yoni / 79
Yuwono dan Dinar. 2006. Remaja dan Handphone, tinjaun dari Komformitas dan Gaya Hidup, Yogyakarta: Universitas Teknologi. Ziauddin Sardar-Borin Van Loon, 2005, Seri Mengenal Dan Memahami Cultural Studies, Scientific Press, Batam. Zoest, Aart. Van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara kerjanya dan Apa yang kita lakukan dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Patung Lingga Yoni / 80
Tentang Penulis Drs. I Ketut Buda, M.Si., lahir di Gianyar 19 April 1957 tinggal di Jl. Batuyang Gg. Bangau VIII/1 Batubulan. Alumnus STSRI “ASRI” Yogyakarta tamat tahun 1984. Sejak tahun 1985-2003 di angkat sebagai dosen PSSRD Unud. Sejak tahun 2003 pula berintegrasi ke Fakultas Seni Rupa dan Disain, ISI Denpasar sampai sekarang. Penelitian yang pernah dilakukan studi karya patung I Nyoman Cokot tahun 1990, flora-fauna Sebagai Objek Karya lukisan Dewa Nyoman Batuan 1991 di samping itu beberapa aktivitas pengabdian kepada masyarakat melalui LPM UNUD. Serta aktif mengikuti pameran-pameran seni rupa. Mulai tahun 2006 sebagai karya siswa Pascasarjan (S2) Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana, tamat tahun 2009, judul tesis Patung lingga yoni gaya Sukanta Wahyu di Desa Banjarangkan Klungkung perspektif kajian budaya.