VECO Indonesia Internal Bulletin
dec 2016 - mar 2017
BELAJAR DARI SAYUR & BUAH learning from veggies & fruits BERKENALAN DENGAN MAMA LINA getting to know Mama Lina PETANI ADALAH PENGUSAHA farmers are entrepreneurs VECO DIRENOVASI! VECO under renovation!
terobosan dari
Negeri Kulit Manis
breakthrough from
CINNAMON COUNTRY
fromEDITOR’Sdesk
lontar | dec ‘16 - mar ‘17
Content
R
ekan-rekan VECO, para mitra, donor, pendukung dan temanteman di seluruh dunia, terima kasih banyak atas kesabarannya menunggu edisi Lontar kali ini untuk diterbitkan. Banyak hal telah berubah tahun ini. Posisi komunikasi kosong sekitar setengah tahun, sehingga produksi materi-materi komunikasi banyak yang tertunda. Kami juga kini memiliki Direktur Regional baru, Bapak Dominique Vanderhaeghen, yang mulai bergabung sejak September lalu. Kantor regional juga sudah pindah ke alamat baru. Dan yang terpenting, Vredeseilanden/VECO secara keseluruhan sedang mengalami renovasi. Banyak sekali yang harus dikerjakan! Tapi kami senang akhirnya bisa menyajikan Lontar kali ini dengan ‘wajah’ barunya, yang kami harap bisa memberi sedikit petunjuk mengenai arah yang kami tuju di masa depan. Petani masih menjadi pusat segalanya yang kami kerjakan, tapi kami akan membawa para petani ke arah yang baru. Dan akhirnya, izin kan kami mengucapkan Selamat Hari Natal bagi yang merayakannya dan Selamat Tahun Baru! Sampai jumpa tahun depan!
D
ear VECO colleagues, partners, donors, supporter and friends around the globe, thank you so much for being patient, waiting for this issue of Lontar to come out. Things have changed so much this year. The position of communication was vacant for half a year, delaying production of many much-needed communication materials, including Lontar. A new Regional Director, Mr. Dominique Vanderhaeghen, have been appointed since last September. The regional office has also moved to a new address. Most importantly, Vredeseilanden/VECO as a whole organisation is also undergoing renovation. So much to do! But we are happy to finally present the new ‘face’ of Lontar, which hopefully gives a little hint of where we are heading in the future. Farmers are still very much in the heart of everything we do, but we are taking the farmers into a new direction. Last but not least, we’d like to wish you a Merry Christmas and a very happy New Year! See you all again next year.
lontar Lontar adalah sebuah pohon dari keluarga palem (Borassus fabellifer). Daunnya memiliki banyak kegunaan. Di masa silam saat belum ada kertas, daun lontarlah yang digunakan untuk menulis. Lontar is a tree belonging to the palm family (Borassus fabellifer). The leaves can be used for many purposes. In the old days before paper was invented, they were used as writing material.
o1
from editor’s desk
o2
Diet Berkelanjutan Sustainable Diet
o5
Terobosan Inovatif Innovative breakthrough
12 14 23 26 28
food insights
exposure
highlights
learning journey
Belajar dari Sayur & Buah Learning from vegetables & fruits
partners news
Lokakarya SCOPEinsight SCOPEinsight Workshop
on the rise
Seorang Perempuan, Seorang Petani, Seorang Pemimpin A woman, a farmer, a leader
VECO network VECO Direnovasi! VECO on the move!
Foodinsights Kebanyakan orang Indonesia masih belum akrab dengan istilah “diet berkelanjutan”. Tapi gaya hidup sehat, termasuk mengonsumsi makanan yang sehat, sudah menjadi tren. Selebriti dan tokoh masyarakat seperti Nadya Hutagalung, Sarah Sechan dan Agni Pratistha secara konsisten mempromosikannya melalui akun Instagram mereka. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga turut mendorong gaya hidup yang sehat dan berkelanjutan. Bahkan pemerintah pun merangkul ide tersebut.
Diet Berkelanjutan: saat makan merupakan sukacita Apa itu “diet berkelanjutan” atau sustainable diet? Dan kenapa kita harus peduli tentang hal itu di tengah banyaknya isu yang tampak lebih mendesak di Indonesia? NASKAH & FOTO: Meirini Sucahyo, Sumber: World Resource Institute
P
erbanyak makanan nabati, kurangi daging, terutama daging merah, kurangi pula gula dan susu yang berkandungan lemak tinggi. Itulah diet yang berkelanjutan, yang kerap diklaim menawarkan banyak manfaat, baik untuk kesehatan kita maupun untuk 4
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
lingkungan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mendefinisikannya sebagai “diet dengan dampak lingkungan yang minimal, yang dapat memberi kontribusi bagi ketahanan pangan dan gizi, dan bagi kehidupan yang sehat untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang”.
Tapi mengapa harus peduli tentang diet berkelanjutan? Sebuah laporan oleh World Resource Institute menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar abad ini adalah memberi makan populasi dunia. Pada tahun 2050, dunia akan memerlukan makanan sekitar 70% lebih banyak dibandingkan jumlah pasokan pangan global di tahun 2006. “Jurang pangan” (food gap) ini di antaranya disebabkan oleh urbanisasi yang pesat dan ekonomi yang membaik. Saat seorang menjadi lebih mapan, kecenderungannya adalah dia akan mengonsumsi jenis makanan yang lebih beragam, meningkatkan asupan kalori dan memakan lebih banyak makanan hewani, tanpa menyadari risiko kesehatan yang dia hadapi dan tekanan besar yang dia lakukan terhadap lingkungan. Urbanisasi pesat juga terjadi di Indonesia. Populasi perkotaan diperkirakan mencapai 68% dari keseluruh an populasi di tahun 2025. Jurang pangan di negara ini berpotensi menjadi masalah besar. Peningkatan produksi pangan tentunya merupakan strategi pen ting tetapi tidak bisa dijadikan strategi tunggal, karena jika hanya mengandalkan peningkatan produksi dan perluasan areal pertanian, hal ini dapat mengarah menjadi berbagai bencana lingkungan, yang pada gilirannya justru semakin merusak sistem pangan dan semakin sulit pulalah memberi makan ratusan juta rakyat Indonesia. Karenanya, konsumen harus dilibatkan untuk membantu menutup jurang tersebut, secara berkelanjutan. Tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh sebagian besar masyarakat urban adalah meningkatkan asupan makanan nabati dan mengurangi makanan hewani, terutama daging sapi. Mengapa? Karena sapi membutuhkan area yang lebih luas dan air yang lebih banyak, serta menghasilkan gas rumah kaca yang lebih banyak dibandingkan tanaman. Selain itu, hewan ternak juga makan tanaman sehingga meningkatkan permintaan atas makanan nabati, tak hanya untuk manusia tapi juga untuk hewan-hewan ternak. Pun berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsumsi daging merah yang berlebihan dapat meningkatkan risiko obesitas, stroke dan penyakit jantung. Tidak harus berhenti total makan daging merah, lalu sepenuhnya menganut paham vegeterianisme,
Jagung mungil, salah satu hasil pertanian di Boyolali, Jawa Tengah Baby corns, one of many fresh produce from Boyolali, Central Java
atau bahkan veganisme. Memang dianjurkan untuk menguranginya sebanyak mungkin, tapi lakukanlah secara bertahap. Setiap kali kita makan, ingatlah untuk mengisi setidaknya setengah dari piring kita dengan makanan nabati. Teruslah mengedukasi diri, mencari informasi lengkap, sehingga akhirnya dapat membeli makanan dengan bijaksana, yaitu makanan yang tidak membahayakan apalagi merusak kesehatan maupun lingkungan kita. Seluruh pemangku kepentingan pun harus bekerja sama untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang solid, inovasi-inovasi yang cerdas dan strategi-strategi mutakhir yang memungkinkan tumbuhnya perilaku dan kebiasaan makan yang sehat dan berkelanjutan. Pada saat itulah makanan benar-benar menjadi salah satu sukacita terbesar dalam hidup ini.
DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
5
Foodinsights
Exposure
Sustainable Diet: when food is a great joy of life What is a “sustainable diet”? And why do we need to care about it amidst so many seemingly more urgent issues in Indonesia? TEXT: Meirini Sucahyo, PHOTO: Freepik.com, Source: World Resource Institute
M
ore plant-based food, less meat, especially red meat, less sugar and less whole-fat dairy. That’s a sustainable diet, which has been claimed to offer a lot of benefits both for our health and the environment. The Food and Agriculture Organisation (FAO) defines it as “a diet with low environmental impacts, which contributes to food and nutrition security and to healthy lives for present and future generations”. Most Indonesians are still not familiar with the term “sustainable diet”. But living a healthy lifestyle, including eating healthy food, has quickly become the “it” trend. Indonesia’s top national celebrities and public figures such as Nadya Hutagalung, Sarah Sechan and Agni Pratistha consistently promote it through their Instagram accounts. The Indonesian Consumers Foundation (YLKI) has also been promoting it. Even the government has embraced the idea. Why care so much about it? A report by World Resources Institute has stated that adequately feeding the world’s growing population is one of the biggest challenges this century. By 2050, the world will require around 70% more food relative to the global food supply in 2006. This “food gap” is partly caused by rapid urbanisation and emerging economies. As people 6
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
become richer, they will likely diversify their diets, increase calories intake and eat more animal-based food without realising the health risks they face and the unnecessary pressure they put on the environment. Indonesia, too, is urbanising rapidly. Urban population is predicted to reach 68% of overall population by 2025. The food gap in this country could potentially become a huge problem. Increasing food production is an important strategy but it cannot be the only strategy, because relying solely on increased production and agricultural expansion may lead to environmental disasters, which in turn will ultimately result in insufficient food to feed millions of Indonesians in the future. Consequently, consumers must be involved to help close the gap sustainably. One action that most urbanites can take is to increase the intake of plant-based food and reduce consumption of animal-based food, especially beef. Why? Because cattle use more land and water, and produce more greenhouse gases than plants. Moreover, farm animals rely on crops to feed, increasing the demand for plant-based food, not only for humans but also for these animals. Many studies have further shown that overconsumption of red meat increases risks of heart disease, obesity and stroke. We don’t have to stop eating red meat and convert completely to vegetarianism, or even veganism. Reduce it as much as possible, but do it gradually. Every time we eat, remember to fill at least half of our plate with plant-based food. Continue to educate ourselves, be informed and shop wisely for foods that do not jeopardise and destroy our health and our environment. All stakeholders must also work closely together to develop and implement solid policies, clever innovations and cutting-edge strategies to enable consumption behaviours that are both healthy and sustainable. Only then, food will truly become one of the greatest joys of life.
Terobosan inovatif ko l a b o ra s i 5 t a h u n antara TAKTIK & ATN! DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
7
Exposure
OrganisasI Petani Kulit manis mitra VECO Indonesia di Kerinci, TAKTIK, dan pembeli tetap mereka, yakni PT Agripro Tridaya Nusantara (ATN), baru-baru ini membuat terobosan besar dengan membentuk operasi bersama berjangka 5 tahun. NASKAH: Meirini Sucahyo, FOTO: Meirini Sucahyo, Firman Supratman
P
ada Agustus 2016, TAKTIK berhasil mendapatkan komitmen ATN untuk membawa hubungan yang selama ini sudah dibangun, menuju tingkatan yang lebih tinggi, dengan membentuk sebuah operasi bersama atau joint operation, yang merupakan terobosan model bisnis inklusif yang memungkinkan adanya pertukaran keahlian, teknologi, juga modal jika dibutuhkan, demi meningkatkan kualitas, daya jual dan daya saing kulit manis organik yang dihasilkan oleh anggota TAKTIK. Sejak 2015, ATN sudah berkomitmen untuk tidak mementingkan keuntungan semata—bukan sekedar hubungan jual-beli lepas—-tapi turut membangun TAKTIK melalui sebuah MoU dan beberapa investasi. Akhirnya, semester pertama 2016, model kerjasama yang inovatif pun disepakati, yaitu “joint operation”. Berbeda dengan joint venture di mana kedua pihak saling berbagi aset dan ekuitas, joint operation hanya berbagi kontrol dan pengaturan dari sisi operasional saja. Karenanya, TAKTIK dan ATN masing-masing memiliki peran khusus. Anggota TAKTIK—para petani kulit manis—bertanggung jawab untuk menanam dan memanen kulit manis sesuai standar yang ditentukan. TAKTIK sebagai organisasi kemudian mengumpulkan hasil panen dan melakukan proses pasca panen, termasuk mengolahnya menjadi sticks dan melakukan kontrol kualitas. Sementara ATN memasarkan kulit manis, menangani ekspor, memberikan dukungan teknis kepada TAKTIK, termasuk menyediakan modal jika diperlukan. Joint operation tersebut diresmikan secara hukum di Jakarta pada September
8
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
9
Exposure TAKTIK memperoleh sertifikasi organik dari Control Union, yang berarti kulit manisnya telah memenuhi semua persyaratan organik dari EU dan USDA, sekali gus membuktikan kealamian dan kualitasnya. Hal ini merupakan salah satu alasan ATN untuk menggandeng TAKTIK dalam kerjasama bisnis jangka panjang yang berkelanjutan dan saling menguntungkan. Model bisnis yang inovatif ini tidak hanya menjamin penjualan kulit manis, tapi juga memastikan berbagai perbaikan dan pengembangan bagi TAKTIK secara berkesinambungan, yang pada gilirannya diharapkan akan memberikan TAKTIK kemampuan untuk menyediakan layanan yang lebih baik bagi para anggotanya yang terus bertambah jumlahnya. Langkah ke Depan Melangkah ke depan, TAKTIK berencana untuk bertransformasi menjadi koperasi, yang secara
lalu, di hadapan notaris berlisensi yang menyaksikan penandatanganan perjanjian antara TAKTIK dan ATN. Perjanjian joint operation ini merinci hak dan tanggung jawab dari masing-masing pihak selama lima tahun ke depan. Model bisnis joint operation juga diharapkan dapat memperkuat posisi dan memperluas pasar kulit manis bagi TAKTIK, secara nasional maupun global. Pemasok Kulit Manis Terbesar di Dunia Kabupaten Kerinci, lokasi tempat TAKTIK berope rasi, terletak di bagian barat Provinsi Jambi, yakni kurang lebih di jantung Pulau Sumatera. Mencakup area seluas 380.850 hektar dengan ketinggian antara 500-3.805 meter di atas permukaan laut, lanskap kabupaten ini dikaruniai pemandangan spektakuler termasuk gunung-gunung tinggi, pebukitan asri, hutan hujan yang lebat, taman-taman nasional yang dilindungi, serta danau-danau menawan. Sekitar 54.860 hektar dari keseluruhan area dialokasikan untuk perkebunan. Dari luas itu, 40.962 hektar merupakan perkebunan kulit manis, atau sekitar 75% dari peruntukkan area perkebunan. Meski kudapan cinnamon rolls asal Swedia dan minuman teh chai asal India sudah lama mendunia dengan rasa khas kulit manis, banyak orang belum menyadari bahwa negara-negara ini kemungkinan besar memasok kulit manisnya dari Kerinci. Banyak 10
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
pula yang belum mengetahui bahwa kabupaten yang cantik dan tenang ini adalah pemasok kulit manis terbesar di dunia. Kerinci memasok 85% dari semua kulit manis untuk kebutuhan konsumsi global. Kulit manis adalah salah satu rempah tertua di dunia, yang bahkan disebutkan dalam Alkitab dan juga digunakan di zaman Mesir kuno tidak hanya sebagai penyedap minuman dan obat-obatan, tapi juga sebagai bahan pembalseman. Kulit manis juga merupakan salah satu rempah yang paling dicari pada abad ke-16, sehingga memicu invasi dan penjajahan oleh negaranegara barat atas negara-negara penghasil kulit manis, termasuk Sri Lanka dan Indonesia. Pohon-pohon kulit manis di Kerinci sebagian besar dibudidayakan dari tunas induk yang merupakan warisan nenek moyang sejak puluhan tahun sebelumnya. Jenis kulit manis yang banyak terdapat di Kerinci adalah Cinnamomum burmannii atau disebut juga Cassiavera. Jenis ini beraroma harum dan memiliki cita rasa yang lebih kuat dan lebih intens dibandingkan kulit manis Ceylon asal Sri Lanka. Cassiavera juga memiliki kandungan astiri yang tinggi, sehingga ba nyak digunakan dalam bentuk sintetis sebagai bahan parfum dan wewangian untuk sabun dan deterjen. Kulit manis di seluruh wilayah Kerinci diproduksi secara alami, tanpa bahan-bahan kimia. Pada 2016,
hukum akan memperkuat posisi TAKTIK untuk mengembangkan bisnis di masa yang akan datang. Bersama ATN, TAKTIK memproyeksikan peningkat an produksi di tahun 2017 untuk mencapai 3.032 metrik ton kulit manis organik dari 261 petani dan 3.178 metrik ton kulit manis konvensional dari 246 petani. Joint operation ini di tahun 2017 menargetkan penjualan sebesar 200 metrik ton untuk kulit manis organik dan 300 metrik ton untuk kulit manis konvensional. VECO Indonesia terus mendukung petani kulit manis di Kerinci dengan fokus pada penguatan kelembaga an, peningkatan kapasitas bisnis dan pengembangan model-model bisnis inklusif lainnya di masa depan. VECO Indonesia juga aktif terlibat dalam Dewan Rempah Indonesia (DRI) untuk mendorong terciptanya kondisi bisnis yang ideal bagi kulit manis.
VECO Indonesia’s cinnamon farmer organisation partner in Kerinci, TAKTIK, and their long-time buyer PT Agripro Tridaya Nusantara (ATN) have recently made a major breakthrough by establishing a 5-year joint operation. TEXT: Meirini Sucahyo PHOTOS: Meirini Sucahyo, Firman Supratman
Innovative Breakthrough
TAKTIK–ATN 5-Year Collaboration!
I
n August 2016, TAKTIK successfully gained ATN’s commitment to take their existing seller-buyer relationship to a new level and enter into a joint operation, which is a breakthrough
inclusive business model allowing sharing of expertise, technology and also capital when needed, in order to improve quality, marketability and competitiveness of organic cinnamons produced by members of TAKTIK. DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
11
Exposure
Since 2015, ATN had committed to not merely focus on gaining profits and was not interested in a one-off buyer-seller relationship, but had always wanted to contribute in the development of TAKTIK, which was clearly demonstrated through their willingness to sign an MoU and also by making several investments. Finally, in the first semester of 2016, an innovative cooperation model was agreed upon. It is called a “Joint Operation”. Unlike a joint venture that represents a share of net assets and equity, a joint operation represents sharing of control and arrangements of operational matters. In this case, TAKTIK and ATN each has specific roles. Members of TAKTIK—the cin-
plantations cover 40,962 hectares of it, spread in several sub-districts, or approximately 75% of the area allocated for plantations. While cinnamon rolls from Sweden and chai tea from India get their trademark flavour from cinnamons, many still do not realise that these countries probably get their supply of cinnamons from Kerinci. Many also are not aware that the quiet and picturesque district is actually the world’s biggest cinnamon supplier, providing 85% of all consumed cinnamons globally. Cinnamon is one of the oldest spices in the world, mentioned in the Bible and was even used in ancient Egypt not only as beverage flavouring and medicine, but also as embalming agent. It was among the most sought after spices in the 16th century, triggering the West to invade and colonise many cinnamon-producing countries including Sri Lanka and Indonesia. Cinnamon trees in Kerinci were mostly cultivated from the original buds many years ago by the ancestors of today’s farmers. Most cinnamon trees that grow in Kerinci are of the Cinnamomum burmannii species, also known as Cassiavera. This type of cinnamon is very aromatic and has a stronger, more intense flavour than the Ceylon cinnamon of Sri Lanka. It also boasts high content of essential oil, which is used in synthetic form for perfumes and fragranced soaps and detergents.
Madral
Ketua TAKTIK Chairman of TAKTIK
“TAKTIK bukan satu-satunya organisasi di Kerinci yang bisa menghasilkan kulit manis yang baik. Ada yang lain, tapi keba nyakan tidak terorganisir. Kadang mereka ada pembeli. Kadang tidak. Kadang mereka bisa jual dengan harga tinggi. Kadang tidak sama sekali. Dengan operasi bersama ini, kami lebih yakin karena ada ATN di sisi kami. Mereka memastikan pasar dan membantu kami dari sisi teknis, sementara kami memastikan produksi yang konsisten dan kualitas tinggi dari kulit manis petani kami.” “TAKTIK is not the only organisation in Kerinci that can produce good cinnamons. There are others, but mostly are not organised. Sometimes they have buyers. Sometimes they don’t. Sometimes they can sell at a high price. Sometimes not at all. WIth the establishment of the joint operation, we are more confident knowing that ATN has our backs. They secure the markets and help us with technical requirements while we ensure consistent production and the high quality of our farmers’ cinnamons.” 12
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
namon farmers—have responsibility to cultivate and harvest their cinnamons according to the required standards. TAKTIK as an organisation then collects the yields and conducts post-harvest processing, including sticks processing and quality control. While ATN is responsible for marketing, export handling, providing technical support and provision of capital when necessary. The joint operation was legally formalised in Jakarta in early September in front of a licensed notary who witness the signing of the joint operation agreement detailing the rights and responsibilities of each entity for the next five years. The joint operation is expected to increase TAKTIK cinnamon’s market share national ly as well as globally. World’s Biggest Cinnamon Supplier The District of Kerinci, where TAKTIK is based, is located in the western part of Jambi Province, roughly in the heart of Sumatra Island. Covering an area of 380,850 hectares and standing 500-3,805 meters above sea level, the landscape is spectacularly adorned with soaring mountains, idyllic hills, dense rainforests including several protected national parks, and beautiful lakes. Around 54,869 hectares of the area are allocated for plantations. Cinnamon
All cinnamons in the area are produced naturally without chemicals. In 2016, TAKTIK obtained an organic certification from Control Union, certifying their compliance with EU and USDA organic standards and verifying the quality of the cinnamon. This is one of the many reasons why ATN is eager to join hands with TAKTIK in a long term and more sustainable, win-win business collaboration. The innovative model secures not only sales of cinnamons but also ensures various and continuous development and improvement for TAKTIK, which in turn will allow the farmer organisation to provide better services for its growing members. Going Forward Going forward, TAKTIK also plans to transform into a cooperative, which legally offers a stronger positioning for future businesses. Together with ATN, TAKTIK projects an increased production in 2017, reaching 3,032 metric tons of organic cinnamons from 261 farmers and 3,178 metric tons of conventional cinnamons from 246 farmers. The joint operation is also targeting sales in 2017 to reach 200 metric tons for organic cinnamons and 300 metric tons for conventional cinnamons. VECO Indonesia continues to support cinnamon farmers in Kerinci and to focus on institutional strengthening, business capacity building and development of more inclusive business cooperation in the future. VECO Indonesia is also actively involved in the Indonesian Spice Council (DRI) to foster an enabling environment and ideal condition for cinnamon trades. DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
13
Highlights sebagai pemenang pertama. Di urutan kedua adalah Yohanes Pati Makin, sedangkan juara ketiga Yohanes Evensius Djano. Selain itu, Helena Lingir Hikon juga berhasil menjadi juara favorit. Para pemenang berniat untuk menggunakan hadiah berupa uang tunai untuk membeli ternak kambing dalam upaya penerapan kakao lestari (integrasi ternak dalam kebun kakao).
Petani Kakao Teladan
Exemplary Cocoa Farmers
Lomba Kader Kakao di Flores Timur menjadi salah satu momen konsolidasi dan berbagi cerita tentang praktik GAP (Good Agricultural Practices) yang sudah dilakukan dan membangun komitmen menjadi petani teladan. Lomba Kader Kakao diselenggarakan pada 20-31 Agustus 2016 di mana aspek-aspek yang dinilai sangat lengkap, mencakup pengetahuan pemangkasan, pemupukan, panen teratur dan sanitasi, serta keterampilan perbaikan genetik dan juga keberanian memotong batang induk setelah sambungan sudah jadi. Tentunya kualitas biji kakao juga diuji. Pada hari terakhir, pemenang lomba pun diumumkan, yaitu Bapak Petrus Pedo Corebima
The Cocoa Cadre Competition in East Flores became a moment to consolidate and share various knowledge on applied Good Agricultural Practices (GAP) as well as to shape the commitments of model farmers. The competition was held on August 20-31, 2016 where all aspects were thoroughly assessed including pruning, fertilising, harvesting, sanitation, and genetic technology, as well as the courage to cut the main tree after grafting was successful. The quality of the cocoa beans was also tested. Results were announced on August 31, presenting the proud winners. Petrus Pedo Corebima won the Best Cadre title. In second place was Yohanes Pati Makin and in third place was Yohanes Evensius Djano. Additionally, Helena Lingir Hikon was also awarded as the Favorite Cadre. Winners planned to use their cash prizes to buy goats in the effort to implement sustainable cocoa concept by integrating goat farming with cocoa farming.
Mengawal Rempah Indonesia
Safeguarding Indonesian Spices
Menindaklanjuti Kongres DRI (Dewan Rempah Indonesia) ke-2 pada akhir September lalu, anggota DRI kembali bertemu pada 25 Oktober 2016 untuk pemilihan dan penyusunan peng urus. VECO Indonesia bersama TAKTIK (Tani Sakti Alam Kerinci)—organisasi petani mitra yang bergelut di bidang rempah, yakni kulit manis—serta juga mitra bisnis TAKTIK, yaitu PT Agripro Tridaya Nusantara (ATN) turut terlibat dalam rapat ini, untuk terus mengawal lestarinya rempah-rempah Indonesia. Following up on results of the 2nd Congress of the Indonesian Spice Council (DRI) last September, DRI members met again on October 25, 2016 to elect and appoint new board members. VECO Indonesia and TAKTIK—a cinnamon farmer organisation partner—and also TAKTIK’s business partner, PT Agripro Tridaya Nusantara (ATN) attended this meeting to ensure a better future for sustainable Indonesian spices. 14
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
Selamat, APPOLI!
Congratulations, APPOLI!
Memangkas rantai suplai dan menghubungkan petani langsung dengan pembeli! Pada 29 Agustus, Aliansi Petani Padi Organik Boyolali (APPOLI) menandatangani kontrak dengan PT. Bloom Agro dan memastikan penjualan beras organik bersertifikasi di pasar internasional. Shortening the supply chain, linking farmers directly to major buyers! On August 29, the Alliance of Organic Rice Farmers of Boyolali (APPOLI) signed a contract with Bloom Agro, securing the sales of their certified organic rice in the global market.
VECO & Mitra di Trade Expo Indonesia
VECO & Partners at Trade Expo Indonesia
Rekor: Kopi Terbaik Dilelang Seharga Rp. 450.000/kg!
Record: Best Coffee Auctioned Off at IDR 450,000 (EUR 32) per kg!
Koperasi Benteng Alla, organisasi petani kopi mitra VECO Indonesia di Enrekang, Sulawesi Selatan, pada 4 Desember 2016 memenangkan gelar “The Best Coffee” dalam ajang SCAI Coffee Expo Auction 2016 di mana kopi Benteng Alla berhasil pecahkan rekor tahun ini dan dilelang seharga Rp. 450.000 per kg! Selain Benteng Alla, Koperasi Kopi Kelimutu asal Flores juga mendapatkan penghargaan untuk kategori “Farmers Initiative’s Coffee Business”. Masing-masing organisasi petani mendapat hadiah berupa satu unit mesin roasting. On December 4, 2016, Benteng Alla Cooperative, VECO Indonesia’s coffee farmer organisation partner in Enrekang, South Sulawesi, won the title of “The Best Coffee” during SCAI Coffee Expo Auction 2016 where Benteng Alla’s coffee broke this year’s record and was successfully auctioned off at IDR 450,000 or around EUR 32 per kg! Besides Benteng Alla, Kelimutu Coffee Cooperative from Flores was also awarded in the category of “Farmers Initiative’s Coffee Business”. Each farmer organisation received a roasting machine as the prize.
BerkenalandenganKopiFlores
Getting to Know Flores Coffee
VECO Indonesia bersama beberapa organisasi petani mitra bergabung dengan SCOPI (Sustainable Coffee Platform of Indonesia) di ajang Trade Expo Indonesia yang berlangsung pada 12-16 Oktober 2016 di JIExpo Kemayoran Jakarta. Ribuan pembeli dan penjual bertemu langsung selama acara yang prestigius ini. Stan VECO pun dikunjungi oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara, Rini Soe marno, dan Duta Besar Belgia untuk Indonesia, Patrick Herman yang juga datang untuk membeli kopi. Para petani berkesempatan pula untuk turut berpartisipasi dalam acara Lelang Kopi Atlanta di mana kopi Arabika Manggarai produksi ASNIKOM (Asosiasi Petani Kopi Manggarai Raya) berhasil dilelang sebesar USD 31/kg. VECO Indonesia and some of its farmer organisation partners joined SCOPI (Sustainable Coffee Platform of Indonesia) in the Trade Expo Indonesia on October 12-16, 2016 at JIExpo Kemayoran Jakarta. Thousands of buyers and sellers met directly in this prestigious event. VECO Indonesia’s booth was visited by Indonesia’s Minister of State-Owned Enterprises, Rini Soemarno, and the Belgian Ambassador for Indonesia, Patrick Herman who also came to buy some coffee. The farmers had a chance to participate in the Atlanta Coffee Auction Sequel where Manggarai Arabica Coffee produced by ASNIKOM (Coffee Farmers Association of the Greater Manggarai) was successfully auctioned off at USD 31/kg!
Beberapa bulan lalu, Harian Kompas mengulas tentang Kopi Flores dan juga menyorot keberadaan ASNIKOM (Asosiasi Petani Kopi Manggarai Raya) dalam upaya memperkenalkan Flores sebagai daerah wisata dalam rangkaian kegiatan “Jelajah Sepeda Flores”. Puncak rangkaian kegiatan ditutup dengan “Festival Kopi Flores” pada 15-17 September 2016 di Gedung Bentara Budaya, Jakarta, yang menjadi kesempatan baik bagi organisasi petani mitra VECO Indonesia di Ngada dan Manggarai untuk memperkenalkan kopi mereka di ibukota. Antusiasme pengunjung sangat tinggi, dan bahkan telah membuat stok kopi dari Manggarai ludes pada hari pertama!
A few months ago, Kompas Daily highlighted Flores Coffee and also published stories on ASNIKOM (Coffee Farmers Association of the Greater Manggarai) in the attempt to introduce Flores as a tourist destination through a series of biking activities titled “Explore Flores by Bike”. Closing the series, Kompas conducted “Flores Coffee Festival” at Bentara Budaya Building, Jakarta, on September 15-17, 2016. VECO Indonesia’s farmer organisation partners from Ngada and Manggarai took the opportunity to introduce their coffee in the capital. The enthusiasm of visitors was quite high and had even resulted in Manggarai coffee getting all sold out on the first day! DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
15
LEARNINGjourney
Belajar dari Sayur dan Buah Indonesia saat ini adalah negara dinamis dengan banyak kesempatan. Meski laju inflasi masih meningkat dan ada ketidakstabilan di pasar saham dan mata uang, negara ini berkembang dengan konsisten selama beberapa dekade terakhir dengan pertumbuhan PDB mencapai hampir 6% per tahun. Indonesia kini resmi menjadi ekonomi ke-16 terbesar di dunia. NaskaH & FOTO: Meirini Sucahyo
D
engan populasi muda yang terus berurbanisasi, Indonesia merupakan salah satu pasar yang berkembang paling cepat di dunia. Sebuah penelitian oleh McKinsey & Company mencatat bahwa konsumen Indonesia, yang jumlahnya mencapai sekitar 70 juta atau hampir 30% dari keseluruhan populasi negara ini, kini memiliki kecenderungan berbelanja dan kebiasaan memilih produk yang semakin canggih, termasuk dalam memilih makanan. Dan jumlah ini terus bertambah sebanyak 5 juta per tahun! Dengan kata lain, 5 juta orang, atau sekitar ukuran populasi Si ngapura, masuk ke dalam kategori konsumen perkotaan setiap tahunnya. Tren di Perkotaan Jenis konsumen ini jauh lebih peduli mengenai kesehatan dan kesejahteraan, menyoroti peluang besar yang terbuka untuk melayani kebutuhan mereka akan gaya hidup yang sehat. Jika kita ingin memanfaatkan kesempatan ini, di mana makanan dan minuman mewakili 9 dari 11 kategori barang yang diminati konsumen, maka penting sekali untuk mengerti kebutuhan dan sikap para konsumen tersebut. Dan walaupun “pilihan yang sehat” masih terbatas di negara ini, prospeknya terlihat sangat menjanjikan. Beberapa tahun lalu, hampir mustahil untuk
16
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
menemukan produk organik di Indonesia. Kini, produk organik dan pilihan-pilihan yang sehat lainnya semakin banyak tersedia di seluruh Indonesia, membuktikan bahwa preferensi konsumen telah bergeser. Setelah cukup lama berupaya mewujudkan planet yang sehat dan komunitas masyarakat di mana semua orang dapat menikmati makanan segar, lezat dan sehat, VECO Indonesia menyadari potensi untuk memimpin dan berinovasi di bidang ini. Salah satu kunci adalah mendorong terciptanya sistem pangan yang sehat. Sistem Pangan yang Sehat Sistem pangan yang sehat tidak melulu terdiri dari makanan organik, tapi tentunya harus mendukung kesehatan serta juga mempromosikan keberlanjutan sosial, ekonomi dan ekologi. Badan sertifikasi seperti USDA dan EU mendefinisikan makanan organik sebagai produk-produk pangan yang 100% bebas dari unsur kimiawi. Sedangkan makanan berkategori “sehat” adalah produk-produk yang karakter aslinya tidak diubah secara kimiawi tapi umumnya, sampai level tertentu, masih memungkinkan penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang tercatat dalam daftar internasional sebagai pupuk dan pestisida yang aman.
DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
17
Learningjourney Petani tentunya adalah jantung dari setiap sistem pangan yang sehat. Tapi mereka bukanlah satu-satunya faktor yang penting. VECO Indonesia telah bekerja bersama petani lebih dari 30 tahun untuk membangun kapasitas mereka dan memposisikan mereka sebagai pelaku bisnis. Dalam tiga tahun terakhir (2014-2016) dengan fokus pada empat komoditas utama, yakni beras, kopi, kakao dan kulit manis, VECO Indonesia cukup sukses dalam mempromosikan bisnis yang inklusif dan memfasilitasi beragam bentuk kerjasama antara organisasi petani dengan pembelipembeli besar, dan dalam prosesnya, turut memangkas rantai nilai. Namun jika bicara mengenai sistem pangan yang sehat dan komprehensif, di mana di Indonesia beras dan sayuran merupa kan produk-produk utamanya, kami masih harus banyak belajar. Dalam sebuah sistem pangan yang tangguh, petani tak hanya mesti dihubungkan dengan pembeli besar, namun juga dengan
Markisa, salah satu produk unggulan Afrika Timur. Passion fruit, one of East Africa’s main commodities.
konsumen. Idealnya, petani dan konsumen— bukan perusahaan besar—yang harus mengontrol rantai pangan. Karenanya sangatlah penting untuk memahami kebutuhan konsumen, terutama kelas konsumen yang berkembang pesat dan kini bahkan menuntut makanan yang sehat. Kurva pembelajarannya sangat curam dan waktunya untuk belajar adalah sekarang. KUNJUNGAN BELAJAR di Arusha Saat mengikuti Lokakarya Komunikasi Internasional di Arusha, Tanzania pada 1-10 November 2016, saya berkesempatan mengunjungi beberapa petani dan aktor-aktor lain di sektor sayuran dan buah-buahan. Belajar dari mereka, jalan menuju sistem pangan yang baik tidaklah mudah. Meski sayur dan buah merupakan komoditas ekspor yang penting di Tanzania, penyediaan pangan yang sehat bagi masyarakatnya sendiri dipenuhi tantangan. Produk-produk untuk diekspor harus memenuhi bermacam standar termasuk kualitas, kemasan, tingkat residu kimiawi yang diizinkan, dan lain-lain. Petani wajib mematuhi standar internasional untuk produk pertanian yang aman dan berkelanjutan, yang ditetapkan oleh GLOBALG.A.P. (GAP adalah singkatan dari Good Agricultural Practices). Namun, sayur dan buah yang dipasok ke pasar lokal di Tanzania sendiri, tidak selalu mengikuti persyaratan keamanan dan keberlanjutan yang seketat itu, yang sayangnya berarti bahwa sebagian besar masyarakat Tanzania tidak selalu punya akses terhadap makanan yang aman dan sehat. Kelvin Remen, Manajer Kebijakan dan Advokasi TAHA (Tanzania Horticulture Association) menjelaskan bahwa Tanzania sebenarnya sudah memiliki sebuah lembaga yang dimandatkan untuk melakukan inspeksi rutin dan memastikan standar kualitas makanan. “Tapi jujur saja, sistemnya tidak efektif,” kata Kelvin mengakui. “Saya bisa memanen kubis dan menjualnya di pasar, dan tak ada yang peduli bahwa kubisnya baru saya semprot pestisida sehari sebelumnya, karena tidak ada mekanisme di pasar kami yang bisa mendeteksinya,” tambahnya. Sebagai organisasi swasta yang terkenal akan sejumlah kerja advokasi yang luar biasa, dengan kemampuan membentuk kaderkader dalam pemerintahan dan mendorong terjadinya perubahan kebijakan, keamanan pangan merupakan isu kritis yang kini sedang ditindaklanjuti oleh TAHA. Beberapa per-
18
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
Perencanaan dan pengelolaan irigasi yang baik sangat dibutuhkan oleh petani Tanzania yang negaranya seringkali menghadapi musim kering berkepanjangan. A well planned and well managed irrigation system is crucial for Tanzanian farmers as the country often faces long draught.
temuan di Dar es Salaam yang melibatkan seluruh jajaran pemangku kepentingan telah diadakan. Semua memahami adanya masalah keamanan pangan. Tapi tindaklanjutnya amat lambat. Maka TAHA memutuskan untuk melibatkan konsultan yang bisa menindaklanjuti isu ini. TAHA berencana akan mempresentasikan hasilnya kepada presiden, yang diharapkan dapat memicu pengambilan serangkaian keputusan penting dan aksiaksi yang dibutuhkan. Insentif dan Akses ke Pasar Muvikiho, sebuah organisasi petani bertipe apex (setara dengan koperasi sekunder di Indonesia) yang memiliki
“jujur saja, sistemnya tidak efektif. Saya bisa memanen kubis dan menjualnya di pasar, dan tak ada yang peduli bahwa kubisnya baru saya semprot pestisida sehari sebelumnya, karena tidak ada mekanisme di pasar kami yang bisa mendeteksinya.” Kelvin Remen
Manajer Kebijakan dan Advokasi TAHA (Tanzania Horticulture Association)
476 anggota dari 12 kelompok tani di sektor sayur dan buah, juga mengkhawatirkan hal yang sama. Tapi mereka menghadapi tantangan yang berbeda. Berdiri tahun 2012, Muvikiho memasok sayur dan buah untuk pasar ekspor dan juga ke supermarketsupermarket besar maupun ke pasar lokal. Organi sasi inipun menangani pemasaran dan pengelolaan semua perjanjian kontrak antara kelompok tani anggotanya dengan para pembeli. Selain itu, mereka juga menyediakan sejumlah layanan termasuk pelatihan pertanian dan pembangunan kapasitas. Sebagai organisasi apex, Muvikiho harus memastikan bahwa semua kelompoknya berjalan baik. Jeremia Thomas Ayo, Sekretaris Muvikiho, mengungkapkan bahwa praktik manajemen terbuka adalah faktor pen ting untuk mendapatkan kepercayaan petani. Menurutnya, meyakinkan petani untuk menerapkan praktikpraktik pertanian berkelanjutan awalnya sulit. Tapi begitu petani telah menyadari bahwa ada pasar yang tertarik dan ada insentif untuk mendapatkan harga yang lebih baik, tidaklah sulit lagi untuk merekrut anggota. Jadi, harga yang baik dan akses untuk memasuki pasar merupakan pendorong utama untuk meyakinkan petani agar menerapkan kebiasaan bertani yang lebih aman dan lebih berkelanjutan. Sayangnya, kesadaran untuk menyediakan pangan yang aman dan sehat, bukanlah salah satu faktor pendorong. “Secara teori, semua petani memahami manfaat praktik pertanian yang aman dan berkelanjutan. Tapi pada praktiknya, saat kami mengirim sampel, seringkali sampel tersebut ditolak. Sampel yang ditolak dapat mencapai 50% karena residu kimiawinya terlalu tinggi,” jelas Jeremia. Saat ini, hanya tiga kelompok tani—termasuk Umoja dan Kibiu—dari 12 kelompok, yang telah mampu memenuhi standar GLOBALG.A.P. dan berhasil mendapatkan kontrak dari Mara Farming, sebuah perusahaan ekspor yang memiliki basis pasar yang kuat di Eropa. DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
19
Learningjourney Mara Farming bekerja sama dengan VECO Afrika Timur untuk mengidentifikasi kelayakan kelompok tani seperti Umoja dan Kibiu. Menurut Eric Mdee, staf Mara yang menjabat sebagai Koordinator Wilayah untuk Tanzania, VECO Afrika Timur sangat berhasil dalam membangun kapasitas petani dan menghubungkan organisasi petani dengan aktor-aktor di seluruh rantai nilai. Mara tinggal melanjutkan saja. Dengan pengalaman bekerja bersama petani kecil selama puluhan tahun, Mara selalu menerapkan prinsipprinsip bisnis yang inklusif. Mara terus membangun hubungan yang langgeng dengan petani dan membantu agar hasil produksi mereka memenuhi permintaan pasar. Mara secara rutin memberi bantuan teknis termasuk persiapan lahan, pemilihan bibit, penanaman, program pemupukan, pemanenan dan penanganan pasca panen. Sayangnya, menemukan pembeli seperti Mara tidaklah mudah. Kebanyakan pembeli cenderung hanya tertarik “beli putus” agar mendapat keuntungan cepat. Kecenderungan tersebut menyajikan satu lagi tantangan besar yang harus diatasi oleh sektor ini. Pengalaman Vietnam Menariknya, dalam perjalanan ini saya akhirnya tidak hanya belajar dari kelompok tani Afrika Timur, tapi juga dari rekan-rekan VECO yang seperjalanan dengan saya. Sambil berbagi cerita sepanjang jalan, saya menemukan bahwa VECO Vietnam pun mempromosikan sayur dan buah organik, maupun sayur dan buah dalam kategori aman dan sehat. Tingkat residu pestisida di Vietnam hingga kini merupakan masalah besar. Banyak sekali masyarakatnya yang menderita kanker dan hal itu dikaitkan dengan makanan. Sebagian besar warga Vietnam kehilangan kepercayaan terhadap makanan, sampai-sampai mereka kini semakin sedikit mengonsumsi sayuran. Sama seperti di Afrika Timur, petani kecil di Vietnam juga sulit mengakses jasa sertifikasi pihak ketiga karena mahal dan kriterianya seringkali sangat teknis dan tidak mudah dimengerti. Karena itu, VECO Vietnam memba ngun dan mempromosikan sebuah sistem yang inovatif, yang disebut Participatory Guarantee System (PGS), berupa sebuah mekanisme untuk memastikan kualitas di mana para petani bergabung untuk turut memverifikasi kualitas sayur dan buah. Beberapa kelompok tani melakukan pemeriksaan kualitas dan inspeksi lapang an untuk kelompok tani yang lainnya. Kegiatan ini juga melibatkan semua pemangku kepentingan seperti konsumen, pembeli dan wakil-wakil pemerintahan. Setelah 8 tahun menyempurnakan sistem ini, sertifikasi PGS saat ini sudah diakui penuh oleh Yayasan Internasional untuk Gerakan Pertanian Organik (IFOAM). Tidak hanya untuk kategori organik, Vietnam juga menggunakan PGS sebagai mekanisme jaminan kualitas untuk kategori aman dan sehat. 20
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
Charlotte Flechet, Staf Komunikasi VECO Vietnam, menjelaskan, “Tanggapan konsumen sangat baik. Mere ka percaya dengan produk bersertifikasi PGS karena mereka mengetahui bahwa mereka pun bisa turut terlibat. Saat ini kami bermitra dengan 28 toko yang menjual sayur dan buah organik maupun yang dari kategori aman dan sehat. Jadi, ketika konsumen ada pertanyaan, toko-toko ini bisa langsung menjawabnya. Sistemnya lebih transparan dan amat dihargai konsumen.” Apakah Indonesia Siap? Terlepas dari banyaknya kesulitan dan tantangan, Jeremia, Sekretaris Muvikiho yang juga merangkap sebagai Ketua Kibiu, menyatakan bahwa semua kerja keras itu sangat layak. “Petani bisa memperbaiki hidupnya. Mereka kini tinggal di rumah yang bagus dan anak-anak mereka bisa bersekolah hingga ke perguruan tinggi. Itu tujuan utama Muvikiho. Selain itu, perbaikan yang nyata juga memotivasi petani lainnya untuk bergabung dengan Muvikiho,” katanya. Sektor sayur dan buah di Afrika Timur punya masa depan yang cerah karena banyak anak muda yang mau terlibat. Baik Umoja dan Kibiu mengamini tren ini. Amani, Sekretaris Umoja, menjelaskan bahwa tingkat pemahaman teknis yang dibutuhkan untuk bertani sayur dan buah terlalu memusingkan bagi generasi tua. Tapi anak-anak muda justru menganggapnya sebagai tantangan menarik karena selain bisa dapat banyak uang, mereka bisa menyombongkan diri, “Hei, saya mengerjakan sesuatu yang sulit. Brokoli!” Mengajak petani ke supermarket modern juga penting. Paul Mbuthia, Penasihat Senior Strategi dan Rantai Nilai untuk VECO Afrika Timur, bahkan menganggap kegiatan itu lebih efektif daripada kegiatan pembangun an kapasitas yang manapun. Ketika kami mengajak Peter Chuwa (Ketua Muvikiho) menyusuri bagian sayur dan buah di FoodLovers, sebuah supermarket kelas atas di Arusha, kami melihat bahwa Paul bisa jadi benar. Memandangi jajaran produk yang dikemas dengan baik dan ditata rapi berhasil membuka mata Peter terhadap kebutuhan konsumennya—tingkat kebersihannya, jenis kemasannya, tampilannya, dan sebagainya. Apakah Indonesia siap merombak sektor sayur dan buah sebagai salah satu langkah pertama untuk membangun sistem pangan yang sehat dan tangguh? Belajar dari Afrika Timur dan Vietnam, mungkin akan butuh waktu tahunan untuk mengedukasi petani mengenai kebutuhan konsumen. Mungkin akan butuh tahunan untuk mengedukasi konsumen mengenai “makanan sehat” yang sesungguhnya. Dan mungkin akan butuh tahunan untuk mengedukasi aktor-aktor lainnya di sepanjang rantai nilai. Tetapi perjalanan seribu kilometer sekalipun selalu dimulai dengan satu langkah. Kita tinggal memutuskan apakah kita siap menjejakkan langkah pertama.
Learning from
Vegetables & Fruits
Indonesia today is a dynamic nation with plenty of opportunities. While inflation has risen and there has been some instability in the stock market and currency, the country has progressed consistently in the past decade with GDP growth reaching almost 6% annually. Indonesia is now officially the world’s 16th largest economy. Text & Photos: Meirini Sucahyo
W
ith rapidly urbanising young population, Indonesia is one of the fastest-growing consumer markets in the world. A research by McKinsey & Company found that consumers, totaling about 70 million or almost 30% of the country’s population, are becoming increasingly sophisticated in their spending habits and product choices, including their choices of food. And this number is growing by 5 million per year! In other words, 5 million people, or about the size of Singapore’s population, enter the urban consuming class each year. The Urban Trend This type of consumers cares more about health and wellness, highlighting the huge opportunity to serve the increasing necessity for healthy lifestyle. Understanding the needs and emerging attitudes of this consuming class is DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
21
Learningjourney critical if we want to tap into this opportunity where food and beverages represent 9 of the top 11 fast-moving consumer goods categories. And although “healthy options” are still limited in this country, the future sure looks promising. Several years ago, it was almost impossible to find organic products in Indonesia. Today, more and more organic and healthy produce are available throughout Indonesia, proving that preferences have shifted. Striving for a healthy planet and communities where everyone can enjoy fresh, tasty and healthy foods, VECO Indonesia realises the potential to take the lead and start innovating in this space. Pushing forward for a healthy food system is one of the keys.
“In theory, all farmers understand the benefits of safe and sustainable farming. But in practice, often if we sent samples, up to 50% were rejected because the level of chemical residues was found too high.” Jeremia Thomas Ayo
Secretary MUVIKIHO - Farmer Organisation
A Healthy Food System A healthy food system does not necessarily consist of all organic food, but certainly must endorse health while promoting social, economic and ecological sustainability. Organic food refers to food products that are 100% free of chemicals as defined by certifying bodies such as USDA and EU. Healthy food is not chemically altered or synthesised in any form but generally still allows the use of internationally listed safe fertilisers and pesticides to a certain level. Farmers are of course at the heart of every healthy food system. But they are not the only building block. VECO Indonesia has over 30 years of experience working with farmer groups, building their business capacities to position them as entrepreneurs. In the past three years (2014-2016), VECO Indonesia has had considerable success promoting inclusive business and facilitating various cooperation and collaborations between farmer organisations and major buyers, hence shortening the value chain, while focusing on four commodities: rice, coffee, cocoa and cinnamon. However, when it comes to a comprehensive and healthy food system—and in Indonesia, rice and vegetables are the main items—we still have a lot to learn.
Memelihara lebah memberikan dua manfaat, tak hanya untuk menghasilkan madu tapi juga membantu proses penyerbukan dan telah terbukti meningkatkan produksi petani hingga 25%! Beekeeping gives double advantages as farmers find that they are not only good for the honey but also help pollination process and have successfully proven to increase farmers’ production up to 25%.
In a resilient food system, farmers should not only be linked to major buyers but also to consumers. Ideally, farmers and consumers— not big corporations—should control the food chain. It is therefore very important for farmers to understand the needs of consumers, especially the fast-growing consuming class that demands healthy food. The learning curve is steep and the time to learn is now. Learning Journey in Arusha While attending the International Communication Workshop in Arusha, Tanzania on November 1-10, 2016, I had the opportunity to visit farmers and other actors in the vegetables and fruits sector in and around Arusha. Learning from them, the road to a good food system is far from easy. Although fruits and vegetables are now part of important export commodities in Tanzania, feeding their cities with healthy food still proves very challenging. Items for export must meet a number of standards including quality, acceptable level of chemical residues, packaging and so on. Farmers are required to comply with international voluntary standards for safe and sustainable
22
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
agricultural products set by GLOBALG.A.P. (GAP stands for Good Agricultural Practices). However, the fruits and vegetables supplied to local Tanzanian markets do not necessarily follow such strict food safety and sustainability requirements, which unfortunately means that most Tanzanians may not always have access to safe and healthy food. Kelvin Remen, the Policy and Advocacy Manager of TAHA (Tanzania Horticulture Association) explained that Tanzania does have an institution mandated to oversee the quality standards of food and to conduct inspections. “But to tell you the truth, the system is very ineffective,” he said admittedly. “I can harvest my cabbages and take them to the market, and no one would care that I have sprayed the cabbages a day before, because the mechanism in our markets doesn’t capture that,” he added. As a private organisation famous for a number of successful advocacy work, creating champions within governmental institutions and changing many significant policies, food safety is a critical issue that TAHA is currently working on. Several meetings in Dar es Salaam, involving both private and public sector stakeholders, were organised just to understand that food safety is a problem. But progress is slow. So TAHA has decided to engage a consultant to work on this issue. TAHA plans to present results of the work to the president, which is hoped to lead to a set of crucial decisions. Incentives and Access to Market Muvikiho, an apex group (equivalent to a secondary cooperative in Indonesia) with 476 members from 12 fruits and vegetables farmer groups, also shares the same concern but faces different challenges. Established in 2012, Muvikiho exports fruits and vegetables and also supply high-end supermarkets as well as local markets. The organisation handles marketing and management of all contractual agreements. In addition to connecting their members to buyers, they also provide services such as agricultural training and capacity building. As an apex, Muvikiho must make sure that everything is going well in all the groups. Jeremia Thomas Ayo, the Secretary of Muvikiho, revealed that the organisation practices open management, which is an important key to earn farmers’ confidence. Jeremia said that convincing farmers to apply sustainable agricultural practices was a challenge in the beginning. But once they realised that the markets were interested and there was an incentive of getting better prices, it was not so difficult anymore to recruit members. So better prices
MUVIKIHO sekarang telah memiliki toko yang menjual sayur dan buah, tepat di depan kantor mereka. Dalam foto [kiri ke kanan]: Peter Chuwa - Ketua, Ali Isimbula - Agronomist, Jeremia Thomas Ayo - Secretary. MUVIKIHO now has a shop selling vegetables and fruits right in front of their office. In the picture [left to right]: Peter Chuwa - Chairman, Ali Isimbula - Agronomist, Jeremia Thomas Ayo - Secretary.
and market access are some of the main driving forces for farmers to convert to safer and more sustainable farming habits. Unfortunately, the awareness to provide safe and healthy food has not become one of these forces. “In theory, all farmers understand the benefits of safe and sustainable farming. But in practice, often if we sent samples, up to 50% were rejected because the level of chemical residues was found too high,” Jeremia explained. At the moment, only three—including Umoja and Kibiu farmer groups—out of the 12 groups are able to meet the GLOBALG.A.P. standards and have managed to secure contracts with Mara Farming, an export company with a strong market base in Europe. Mara Farming works closely with VECO East Africa to identify the eligibility of farmer groups such as Umoja and Kibiu. According to Eric Mdee, Mara’s Area Coordinator for Tanzania, VECO East Africa has done a great job building the capacity of farmer organisations and connecting them with actors in the value chain. Then Mara takes it from there. Having worked with smallholder farmers for decades, Mara Farming has always applied inclusive business principles in all of their dealings. Mara develops lasting relationships with farmers and helps them produce crops that meet market demand. They regularly provides farmers with technical assistance including land preparation, input selection, planting, fertilisation program, harvesting and post-harvest handling. Unfortunately, finding a
DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
23
Learningjourney buyer like Mara is not easy. Most buyers are only interested in making one-off purchases and getting quick profits, presenting the sector with yet another big challenge to tackle. Vietnam Experience Interestingly, this learning journey has also allowed us not only to draw experiences from the East African farmer groups but also from within VECO. As we sat together and shared experiences, we discovered that VECO Vietnam also works on promoting safe and organic vegetables. Vietnam has a big problem with pesticide residues and a high rate of cancer that many people relate to the food they eat. People don’t trust food anymore to the point that they are eating less and less vegetables. Just like in East Africa, smallholder Vietnamese farmers face difficulty to access third party certification because it is expensive and the criteria are often too technical and difficult to understand. Therefore VECO Vietnam has developed and is promoting an innovative Participatory Guarantee System (PGS), a quality assurance mechanism where groups of farmers come together to verify the quality of their vegetables and fruits. Quality checks and field inspections on a particular farmer group are done by other groups of farmers, involving other stakeholders such as consumers, buyers and government representatives. After 8 years working on this system, PGS certification is now fully recognised by the International Foundation for Organic Agricultural Movements (IFOAM). Vietnam is also using PGS as quality assurance mechanism for safe vegetables. Charlotte Flechet, the Communication Officer for VECO Vietnam, explained, “We’ve had some really good results and consumers do trust PGS-certified products because they know that they can be involved. We currently have 28 partner shops that sell safe and organic foods, so if consumers have questions, they can directly answer the questions. It’s much more transparent and very much appreciated by consumers.” Is Indonesia Ready? Despite the tough work and all the challenges, Jeremia, the Secretary of Muvikiho and also the Chairman of Kibiu, stated that the efforts are well worth it. “There are significant improvements in living standards. Farmers live in good houses now and their children can go to school and obtain higher education, which is the primary objective of Muvikiho. Such visible improvements have also motivated other farmers to join Muvikiho,” he said. The sector also has a lot to look forward to as it attracts many young farmers to get involved. Both Umoja and Kibiu confirmed this trend. Amani, the Secretary of Umoja, explained that the level of technical understanding required for vegetables farming is too much for older people. But the youths seem to take it as an exciting challenge to get into because it is high paying and they can say to the people, “Hey, I’m doing something technical. Broccoli!” 24
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
Taking farmers to modern markets is also important. Paul Mbuthia, the Strategy and Senior Value Chain Advisor for VECO East Africa, even said that he found it so much more effective than any capacity building activity. As we and Peter Chuwa (Chairman of Muvikiho) strolled through the vegetables and fruits section of FoodLovers, a new high-end supermarket in Arusha, we clearly saw that Paul could be right. Seeing rows of neatly organised and properly packaged produce instantly opened Peter’s eyes to what exactly his consumers want—the level of cleanliness, the type of packaging, the presentation, and so on.
Lokakarya SCOPEinsight
So is Indonesia ready to get into the vegetables and fruits sector as one of the first steps to develop a healthy and resilient food system? Learning from East Africa and Vietnam, it may take years to educate farmers about providing consumers with exactly what they want. It may also take years to educate consumers about the right kinds of “healthy food”. It will certainly take years to educate and influence all the actors in the chain. But a journey of a thousand miles always begins with a single step. We now need to decide whether and when we are ready to take that first step.
PARTNERSnews
Mengubah Petani Menjadi Pengusaha Pada 2016 untuk pertama kalinya VECO Indonesia melakukan penilaian terhadap 14 organisasi petani mitranya dengan menggunakan alat dari SCOPEinsight. Hasilnya, sedikit banyak telah berhasil mengubah para petani menjadi pengusaha
Sektor sayur dan buah ternyata sangat diminati generasi muda. The vegetables and fruits sector attracts the young generation. Mengajak petani berkunjung ke pasar modern sangat efektif untuk membuka mata mereka terhadap permintaan pasar. Taking farmers to a modern highend market is very effective to open their eyes to market demands.
Naskah: Catur Utami Dewi Foto: Meirini Sucahyo
S
COPEinsight adalah sebuah perusahaan terkemuka yang menyediakan alat penilaian dan analisa untuk mengukur tingkat profesionalisme organisasi petani. Alat SCOPE Basic dipilih untuk menilai 11 organisasi petani, sedangkan tiga organisasi petani dinilai menggunakan alat penilaian SCOPE Pro. SCOPE Basic digunakan untuk menilai organi sasi petani yang mulai membangun bisnisnya dan sedang berusaha meningkatkan kapasitas dan memperkuat rantai pasokan mereka. SCOPE Pro digunakan untuk menilai organisasi petani yang sudah lebih matang dan telah membangun bisnis mereka dan sekarang siap untuk mengakses jasa keuangan dan pasar yang lebih besar. Menutup seluruh rangkaian kegiatan penilaian, Lokakarya SCOPEinsight diadakan di Golden Tulip
Hotel di Bali pada 22-23 September 2016. Para ketua atau representatif yang ditunjuk dari ke-14 organisasi petani berkumpul di acara ini untuk membahas hasil penilaian dari masing-masing organisasi petani, termasuk rekomendasi untuk pengembangan kapasitas bisnis mereka. Pada saat yang bersamaan, mereka diminta untuk memberikan masukan mengenai alat penilaian SCOPEinsight dari segi isi dan manfaatnya. Para peserta yang mewakili 14 organisasi petani ini adalah APPOLI, P3LL, APOB dan Simpatik dari sektor beras, ASNIKOM, MPIG-AFB Ngada, PPKT dan Benteng Alla dari program kopi, JANTAN, SIKAP, Amanah, Masagena dan Cahaya Sehati untuk kakao, dan TAKTIK untuk kulit manis. Semua sepakat bahwa alat-alat penilaian tersebut telah membantu membuka mata atas kekuatan DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
25
SCOPEinsight Workshop
PARTNERSnews dan kelemahan mereka. Dan karena penilaian dilakukan oleh tim asesor dari VECO Indonesia—sebuah entitas yang bukan merupakan bagian dari organisasi petani tapi paham kondisi mereka dengan sangat baik—hal ini telah membantu organisasi petani untuk melihat kapasitas mereka secara obyektif, tepat dan mendalam. Lebih dari itu, benchmarking bisa dilakukan karena alat penilaian ini menerapkan kriteria yang sama untuk semua organisasi, sehingga hasil satu organisasi bisa dibandingkan dengan organisasi yang lain. Para petani juga menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang bermanfaat untuk perbaikan alat-alat penilaian ini di masa depan, antara lain untuk membuat sebuah daftar istilah-istilah yang digunakan, serta pentingnya untuk menyediakan alat-alat ini dalam Bahasa Indonesia. Mereka pun sepakat bahwa kegiatan penilaian ini harus dilakukan secara rutin, setahun sekali, sehingga perkembangan kapasitas organisasi petani dan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti dapat dimonitor. VECO Indonesia juga mengundang beberapa mitra bisnis untuk berbagi dengan para petani dan menyampaikan pokok-pokok penting yang diperlukan dalam Pelaku sektor swasta berbagi perspektif. Private actors sharing their perpectives.
ASNIKOM & MPIG-AFB bersepakat dengan MTC. ASNIKOM & MPIG-AFB closed a deal with MTC. 26
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
membangun dan mempertahankan relasi bisnis yang profesional berdasarkan prinsip-prinsip bisnis inklusif. Berbagi perspektifnya di bidang operasional, suplai dan keberlanjutan adalah Bapak Arief S. Wiranatakusumah dari PT Agripro Tridaya Nusantara (ATN), Bapak Yulhaka Adhitama dari Tamajaya dan Bapak Toby Garritt dari Pod Chocolate. Pak Arief dari ATN tampil lagi di sesi berikutnya, kali ini bersama Bapak Andrew Ford dari Mountain Top Coffee (MTC), untuk memberi wawasan dan gagasan dalam topik pemasaran, risiko eksternal dan faktor-faktor yang berpengaruh. Selain itu, Bapak Dwi Prasetya dari Bank Rakyat Indonesia (BRI), turut hadir untuk mengungkapkan alternatif skema-skema pinjaman yang bisa diakses oleh organisasi petani. Sesi-sesi ini terbukti sangat efektif untuk membantu organisasi petani memahami isu-isu yang penting bagi pembeli dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang skema kredit dan aturan-aturannya. Lokakarya berakhir dengan kegiatan dialog bisnis untuk menghubungkan organisasi petani dengan mitra bisnis, terkait potensi pengembangan usaha di luar komoditas utama yang dikelola oleh organisasi petani, yaitu kopi, kakao, kulit manis dan beras. Lokakarya ini telah berhasil membantu meningkatkan kepercayaan aktor-aktor dari sektor swasta—setidak nya mereka yang menghadiri lokakarya—terhadap organisasi petani. Saat tulisan ini diturunkan, MTC telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan ASNIKOM dan MPIG-AFB, dan pengiriman biji kopi telah dimulai. MTC juga sudah melakukan pembicaraan intensif dengan PPKT dan Benteng Alla. Selain itu, MTC dan VECO Indonesia sepakat untuk bekerja sama dalam memfasilitasi organisasi petani untuk memperkuat kapasitas produksi dan pemasaran mereka. Sementara itu, ATN pun telah melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Simpatik untuk menilik kemungkinan membeli beras mereka, dengan Cahaya Sehati untuk vanili, dengan Amanah untuk vanili dan cangkang kakao, dengan PPKT untuk vanili dan lada, dan dengan APPOLI untuk kacang hijau. Sedangkan Bapak Toby dan timnya dari Pod Chocolate, didampingi Direktur Regional VECO Indonesia Bapak Dominique Vanderhaeghen, baru-baru ini melakukan kunjungan ke mitra kakao di Flores untuk menjajagi pembelian biji kakao dari JANTAN. Melalui peningkatan kapasitas bisnis, akses yang lebih baik ke pasar, serta hubungan langsung dengan pihak-pihak swasta, organisasi petani telah membuktikan bahwa, bertentangan dengan anggapan popu ler, petani bukan sekedar pengguna teknologi yang dikembangkan orang lain untuk mereka, tetapi juga memiliki potensi yang amat besar untuk melakukan fungsi-fungsi kewirausahaan yang melibatkan transformasi pengetahuan menjadi barang dan jasa. Petani sesungguhnya adalah pengusaha!
In 2016, for the first time ever VECO Indonesia conducted a series of assessments on 14 of its farmer organisation partners using assessment tools provided by SCOPEinsight. The results have, to some extent, turned farmers into entrepreneurs.
S
COPEinsight is a leading provider of assessment and analysis tools that measure the level of professionalism of farmer organisations. The SCOPE Basic tool was chosen to assess 11 farmer organisations while the other three farmer organisations were assessed using the SCOPE Pro. SCOPE Basic is used to assess emerging farmer organisations that are starting to establish their businesses and strive to build their capacity and strengthen their supply chain links. SCOPE Pro is used to assess more mature farmer organisations that have established their business and are now ready to access finance and larger markets. Closing the series, the SCOPEinsight Workshop was held at Golden Tulip Hotel in Bali on September 22-23, 2016. Chairmen or appointed representatives of the 14 farmer organisations gathered at this event to discover their assessment results and discuss recommendations for business capacity development. At the same time, the farmer organisations were requested to give feedbacks on SCOPEinsight’s tools in terms of contents and benefits. The 14 participants representing farmer organisations included APPOLI, P3LL, APOB and Simpatik for the rice sector, ASNIKOM, MPIG-AFB Ngada, PPKT and Benteng Alla for coffee, JANTAN, SIKAP, Amanah, Masagena and Cahaya Sehati for cocoa, and TAKTIK for cinnamon. All of the organisations agreed that the tools had helped them see their strengths and weaknesses. And because the assessments were carried out by VECO Indonesia— an organisation that is not part of the farmer organisations but knows the conditions of each organisation very well—it had contributed to objective, accurate and profound business capacity analysis. Furthermore, benchmarking was possible because the tools applied the same criteria across all organisations, allowing comparison of results among them. The farmers also provided useful recommendations for future improvements of the tools including, among others, to develop a glossary of jargons and to make the tools available in Bahasa Indonesia. They were keen to have the assessments conducted regularly, at least once a year, in order to follow up on the recommendations and to monitor their progress. VECO Indonesia also invited several private sector partners to share with the farmers the required key points in developing and maintaining a professional business relationship based on inclusive business principles.
Text: Catur Utami Dewi, Photo: Meirini Sucahyo Giving their perspectives on the subjects of operations, supply and sustainability were Mr. Arief S. Wiranatakusumah from PT Agripro Tridaya Nusantara (ATN), Mr. Yulhaka Adhitama from Tamajaya and Mr. Toby Garritt from Pod Chocolate. Mr. Wiranatakusumah from ATN also shared his notions on the topics of marketing, external risks and enablers, along with Mr. Andrew Ford from Mountain Top Coffee (MTC). Additionally, Mr. Dwi Prasetya from Bank Rakyat Indonesia (BRI), one of the nation’s well-respected financial service providers, revealed alternative credit schemes accessible to farmer organisations. These sessions proved very effective to help farmer organisations understand issues that are important to buyers and gain a better understanding about credit schemes and regulations. The workshop ended with business-matching dialogues to link farmer organisations with businesses in the effort to promote and identify potential business development opportunities for commodities other than the farmer organisations’ main commodities of coffee, cocoa, cinnamon and rice. It was clear that the workshop has successfully helped in boosting the confidence of private actors—at least the ones attending the workshop. At the time this article was written, MTC had signed cooperation agreements with ASNIKOM and MPIG-AFB and delivery of coffee beans had started. MTC had also conducted intensive discussions with PPKT and Benteng Alla. Furthermore, MTC and VECO Indonesia had agreed to work closely together, helping farmer organisations strengthen production capacity and marketing. ATN had also engaged in further talks with Simpatik for possibilities to purchase their rice, with Cahaya Sehati for vanilla, with Amanah for cocoa shells and vanilla, with PPKT for vanilla and pepper, and with APPOLI for mung beans. Last but not least, Mr. Garritt and the Pod Chocolate team accompanied by VECO Indonesia’s Regional Director Mr. Dominique Vanderhaeghen recently visited JANTAN to explore opportunities to purchase cocoa beans from them. Through upgraded business capacity, better access to markets and improved links with the private sector, farmer organisations have proven that, contrary to popular perceptions, they are not merely users of technologies developed by others for them but also have huge potentials to perform entrepreneurial functions that involve the transformation of knowledge into goods and services. Farmers are entrepreneurs! DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
27
OntheRise
Marselina WALU Seorang Perempuan, Seorang Petani, Seorang Pemimpin
Marselina Walu, atau biasa disapa Mama Lina, berhasil menying kirkan citra stereotipikal pertanian Indonesia yang sebagi an besar didominasi oleh laki-laki. Mama Lina bukan hanya seorang petani perempuan, tapi juga seorang pemimpin yang kini mengetuai sebuah koperasi kopi di Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Naskah: Fransiska Rengo, Foto: Anton Muhajir
M
enjadi petani bukanlah profesi yang diimpikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika ditanya, kebanyakan petani akan berkata bahwa mereka menjadi petani bukan karena pilihan, melainkan karena keharusan. Semakin luar biasa lagi jika sang petani adalah seorang perempuan, apalagi perempuan yang mengelola pertaniannya sendiri. Pertanian Indonesia adalah dunia lakilaki. Meski secara tradisi perempuan selalu dilibatkan, namun perannya biasanya spesifik dan terbatas, sebatas membantu suaminya di sawah atau kebun. Mama Lina pun tidak punya rencana untuk menjadi petani. Tapi ketika ia mulai mengenal dunia pertanian, Mama Lina tak hanya menemukan panggilan hidupnya, tapi juga bakat alaminya sebagai seorang pemimpin. Mama Lina awalnya sempat meninggalkan desanya, merantau selama beberapa tahun dan menggeluti kerja kantoran. Baru pada tahun 2001, Mama Lina memutuskan untuk kembali ke kampung dan saat itulah ia mulai melirik dunia pertanian. Memang, masyarakat Bajawa dikenal sebagai salah satu dari hanya enam komunitas masyarakat di dunia yang menganut budaya matrilineal, yang artinya adat dan sistem kekerabatannya diatur melalui alur keturunan dari pihak ibu. Berdasarkan aturan adat itulah, Mama Lina mendapatkan warisan tanah dan kebun di wilayah Wajamala dari orangtua nya. Bersama teman-temannya para petani yang juga memiliki tanah di wilayah tersebut, Mama Lina mulai bertani kopi. Bakat alaminya sebagai pemimpin mulai terlihat sejak awal dia menekuni bidang ini. Namun baru setelah perjuangan yang panjang dan melalui beberapa bentuk organisasi, tahun 2014 diresmikanlah Koperasi Primer Kagho Masa yang diketuai oleh Mama Lina sendiri. Di tahun yang sama, sampel kopi dikirimkan ke Jakarta
28
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
untuk mengikuti Lelang Nasional dan terpilih sebagai salah satu kopi yang layak untuk dilelang. Mama Lina pun diutus untuk mengikuti acara tersebut. Hasilnya, kopi Bajawa laku terjual dengan harga Rp. 60.000/kg! Mama Lina semakin gencar mempromosikan kopi Bajawa produksi Koperasi Primer Kagho Masa. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani kopi, Mama Lina tak segan mendorong dan membimbing anggotanya. Koperasi Primer Kagho Masa kini mampu memproduksi kopi sesuai standar ‘specialty coffee’. Produknya semakin dikenal di kalangan para pecinta kopi di Jakarta, Pulau Jawa, Sumatera dan Bali. Pencapaian besar terukir saat sampel kopi dari Koperasi Primer Kagho Masa lolos seleksi untuk mengikuti lelang tingkat dunia dalam ajang SCAA (Specialty Coffee Association of America) Expo pada 13-17 April 2016 di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat. Di usianya yang baru menginjak 37 tahun, perempuan ini tidak pernah menyerah walau menghadapi banyak tantangan dari anggota kelompok yang sebagian besar adalah laki-laki dan sebagian masyarakat yang kerap memandang sebelah mata. Dia teguh berjuang demi kesejahteraan anggota koperasinya, serta terus memberdayakan kaum perempuan di desanya agar menjadi orang yang bisa diperhitungkan. Hasilnya, kini ada lima orang kader pelatih perempuan selain Mama Lina yang tergabung dalam Koperasi Primer Kagho Masa. Selain itu, Mama Lina kini juga telah memiliki kualifikasi sebagai Q Grader, sebuah kualifikasi untuk melakukan penilaian obyektif terhadap kualitas kopi. Seorang perempuan, seorang petani, dan seorang pemimpin. Semoga kehadiran Mama Lina dapat menginspirasi Lina-Lina yang lain untuk turut berjuang di bidangnya masing-masing, demi mengangkat derajat kaum perempuan sehingga mampu disejajarkan dengan laki-laki.
A Woman, A Farmer, A LEADER
B
ecoming a farmer is not a usual or typical dream of most Indonesians. Many Indonesian farmers would tell you that they farm not because they chose to but because they had to. It is even more unusual for a woman to farm, let alone manage her own farm. Farming in Indonesia is a men’s world and although women are traditionally involved, they are given specific and limited roles of being mostly helpers of their husbands. Mama Lina didn’t plan to be a farmer, either. But once she got into it, she found not only her true passion but also her natural talent for leadership. Mama Lina left her village for quite a few years and did some ‘normal’ office work. It was in 2001 when Mama Lina finally decided to return to her village, and she discovered farming. Indeed, Bajawa is known as one of only six matriarchal societies in the world, which means that custom and kinship system is regulated through a female line. Based on that custom, Mama Lina inherited a land and a plantation from her parents in the area of Wajamala. So with her friends who also owned lands in the area, Mama Lina began farming coffee. Her natural leadership talent had shown since the beginning. But only after a long struggle of shaping a formidable farmer organisation, Kagho Masa Primary Cooperative was officially launched in 2014, chaired by Mama Lina herself. In the same year, coffee samples from the processing unit were sent to Jakarta to participate in a National Auction and successfully passed
Marselina Walu, also known as Mama Lina, pushes back against the stereotypical images of farming that, in Indonesia, are usually dominated by men. Mama Lina is not only a woman who farms, but also a leader, now chairing a coffee cooperative in Bajawa, Ngada District, Flores, in the province of East Nusa Tenggara, Indonesia. Text: Fransiska Rengo, Photo: Anton Muhajir
as one of the coffees qualified for the auction. Mama Lina attended the event. As a result, Bajawa coffee was sold at a price of IDR 60,000/kg! Mama Lina continues to tirelessly promote Bajawa coffee produced by Kagho Masa Primary Cooperative. She also does not hesitate to transfer her expertise to other farmers in order to encourage them to improve their knowledge and skills. Kagho Masa now produces specialty coffee that is becoming well recognised among coffee lovers in Jakarta, Java, Sumatra and Bali. A terrific accomplishment was etched during the SCAA (Specialty Coffee Association of America) Expo in Atlanta, Georgia, U.S.A. on April 13-17, 2016 when coffee samples from the cooperative were selected to participate in the International Coffee Auction.
At the age of barely 37 years old, this woman never gives up despite facing challenges from several members of the cooperative who are mostly men and some people who tend to underestimate her. She continues to fight confidently for the welfare of the cooperative’s members and constantly strive to empower the women in her village to become people that could be taken seriously. Today, there are five female cadres in Kagho Masa Primary Cooperative besides Mama Lina. In addition, Mama Lina is now a qualified Q Grader, which is a qualification to conduct objective assessments and score the quality of coffee. A woman, a farmer, and a leader. Hopefully Mama Lina will continue to inspire women to succeed in their chosen fields and elevate women everywhere to an equal stage as men. DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
29
VECOnetwork
sementara struktur organisasi global kami sebagian besar tetap sama. Sepanjang tahun lalu, terlihat jelas bahwa kami perlu menyempurnakan metode kerjasama antara rekan-rekan kami di seluruh dunia dan organisasi mitra kami untuk meningkatkan fleksibilitas, memberikan lebih banyak dampak positif dan menjadi lebih internasional. Dalam proses ini, Dewan Direksi Internasional yang baru telah menunjuk dua direktur eksekutif, Chris Claes dan Madeleine Tsimi, untuk memimpin VECO dalam masa transisi ini dan mengawal perjalanannya menuju sebuah organisasi berbasis jaringan yang efektif. Chris Claes sampai saat ini menjabat sebagai Penasihat Strategis di kantor pusat VECO dan Madeleine Tsimi adalah Direktur Regional untuk program kami di Afrika Barat. Kepemimpinan bersama ini merupakan langkah positif menuju organisasi yang penuh pembelajaran, seperti yang kami inginkan, dengan kantor yang benar-benar internasional—sebuah organisasi dengan staf yang terdiri dari warga dunia. Perubahan ini telah dimulai dan dilakukan karena empat alasan:
VECO Direnovasi! dari LSM Belgia menjadi Organisasi Jaringan Internasional
M
ulai 1 Januari 2017, struktur organisasi kami akan menjalani renovasi total untuk menjadi sebuah organisasi jaringan internasional. Langkah ini dilakukan agar kami lebih siap dan mampu menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi di sektor pangan dan pertanian, baik sekarang dan di masa depan. Dunia telah terguncang dalam beberapa dekade terakhir. VECO juga telah banyak berkembang, 30
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
Vredeseilanden/ VECO sedang direnovasi. Namun bukan gedung kantor kami yang sedang dibangun kembali, melainkan organisasi kami. Naskah: Chris Claes Foto: VECO International PLA Team
1. Tantangan global menuntut kolaborasi yang lebih di seluruh wilayah VECO Jelas bahwa tantangan utama di zaman kita saat ini tidak bisa diselesaikan dengan perubahan di satu negara atau wilayah saja. Konsekuensi dari perubah an iklim memerlukan kolaborasi dan saling berbagi keahlian di seluruh wilayah. Semakin banyak pula perusahaan makanan multinasional yang menangani dan terlibat dalam isu-isu keberlanjutan dan mereka ingin bekerjasama dengan organisasi petani dari berbagai daerah. Meski beberapa dari 14 negara di mana VECO bekerja telah menjadi “Negara Berpenghasilan Menengah” (Ekuador, Peru, Vietnam, Indonesia), namun tidak berarti bahwa kemiskinan secara keseluruhan telah berkurang secara signifikan. Dalam banyak kasus, kesenjangan antara kaya dan miskin malah meningkat. Organisasi petani di banyak negara ingin berpartisipasi dalam jaringan pengetahuan global dan seringkali tidak membutuhkan dukungan pendanaan secara langsung dalam bentuk investasi. Kurangnya pengetahuan mere ka merupakan halangan yang lebih besar untuk maju dibandingkan kurangnya modal. Dan di sinilah VECO dapat masuk dan menjadi fasilitator dalam jaringanjaringan pengetahuan. 2. VECO = sumber daya manusianya Salah satu nilai inti VECO adalah keyakinan kami pada staf dan relawan kami dan pola pikir yang terbuka ini telah diakui. VECO diberkati dengan keahlian stafnya yang tersebar di 8 wilayah tempat kami bekerja dan di semua tingkatan organisasi. Para ahli ini biasanya bekerja dalam program regional mereka masing-masing dan keahlian mereka jarang dimanfaatkan untuk kepentingan organisasi secara
keseluruhan. Organisasi berbasis jaringan bertujuan untuk mengatasi masalah ini dan akan memungkinkan para rekan ahli untuk menghabiskan lebih banyak waktu dalam tim internasional yang akan bekerja lintas batas. Kami yakin dengan cara ini, kami dapat memenuhi kebutuhan dengan lebih baik, saat ini dan masa depan. Alih pengetahuan dan keahli an tidak lagi merupakan perjalanan satu arah, dari “dunia Barat” ke negara-negara berkembang, tetapi diciptakan dan diperkuat dengan cara pertukaran dan kerjasama. 3. Partisipasi penuh dari seluruh wilayah VECO dalam pengambilan keputusan Walaupun bentuk VECO yang sekarang telah memungkinkan adanya partisipasi dan masukan dari para staf dan mitra, kami ingin melangkah lebih jauh lagi. VECO saat ini sangat tersentralisasi, dengan Majelis Umum, Dewan Direksi dan kantor pusat yang didominasi oleh warga Belgia. Dengan model ini, standar dan tujuan secara umum dikembangkan oleh kantor pusat untuk seluruh organisasi, kemudian diterjemahkan ke dalam program-program regional. Kami ingin berkembang menjadi organisasi yang kemudinya dikendalikan secara global. Dengan tujuan ini, VECO akan membentuk sebuah Yayasan Kepentingan Umum selain tetap menjadi organisasi non-profit, yang akan dikelola oleh Dewan Direksi Internasional, Dewan Afiliasi di mana kantor-kantor regional kami diwakili oleh para pemangku kepen tingan lokal, dan Tim Manajemen Internasional yang terdiri dari para direktur program VECO di berbagai wilayah. Tim program secara internasional akan berfokus pada topik tertentu dan bekerja serta berbagi keahlian untuk tujuan bersama. Sedangkan Kantor Internasional akan berfungsi sebagai pendukung (keuangan, komunikasi, dukungan program, dll). Untuk saat ini, Kantor Internasional akan berbasis di Belgia, tapi ini bisa berubah, karena secara bertahap kantor ini akan dikelola oleh rekan-rekan dari seluruh wilayah VECO. Program kami di Belgia akan menjadi salah satu kantor regional VECO, yang tingkatannya sama seperti kantor regional VECO lainnya di wilayah Andes, Afrika Barat, Indonesia dan sebagainya. 4. Peluang baru untuk pendanaan VECO saat ini sangat tergantung pada subsidi dari pemerintah Belgia. Pemerintah negara-negara lain, juga yayasan-yayasan lain, sering menyatakan keingin an untuk mendukung program kami secara langsung, tidak melalui badan hukum Belgia. Mengapa, mi salnya, sebuah yayasan Australia yang ingin mendanai program kami di Indonesia harus mentransfer dananya ke rekening bank Belgia, dan tidak langsung saja ke kantor kami di Indonesia? Dalam struktur organisasi yang baru, hal ini bisa dilakukan. Standar pelaporan keuangan dan kontrol kualitas secara global akan terus dipastikan oleh bagian keuangan di Kantor Internasional. DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
31
VECOnetwork VECO baru secara singkat: 4 Sebuah organisasi yang benar-benar global dengan manajemen internasional. 4 8 kantor regional yang bekerja lebih independen dengan berbagi DNA, nilai-nilai dan strategi yang sama, dalam sebuah jaringan internasional. Namun kami tetap merupakan satu organisasi. 4 Struktur organisasi datar, dengan proyekproyek internasional yang terkoordinasi di berbagai daerah. 4 Kolaborasi dan pertukaran yang lebih aktif antara rekan-rekan di seluruh dunia. 4 Tidak hanya bergantung pada pendana an dari pemerintah Belgia.
Kunjungi www.veco-ngo.org untuk artikel lengkapnya! 32
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
VECO on the Move!
from Belgian NGO to International Network Organisation Vredeseilanden/VECO’s house is under renovation. It is not however our office building that is being rebuilt, it’s our organisation. Text: Chris Claes Photo: VECO International Communication Team
F
rom January 1st 2017 our organisational structure will undergo a total makeover and we will become an international network organisation. This move is being done in order for us to be better prepared and able to deal with the many challenges facing the food and agriculture sector, now and in the future. The world has been shaken to its core in recent decades. VECO has likewise evolved a great deal while our global organisation structure has largely remained the same. Over the past year it has become evident that we need to adapt our methods of cooperation between our colleagues worldwide and our partner organisations, in order to increase flexibility, increase our impact and become more international in our outlook. With this process in mind our new International Board has appointed two executive directors, Chris Claes and Madeleine Tsimi, for this transition period to lead VECO on its journey towards becoming an effective network organisation. DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
33
VECOnetwork Chris Claes has to date served as strategic advisor at VECO head office and Madeleine Tsimi is employed as the regional director of our programme in West Africa. This co-leadership represents a positive step towards the learning organisation we want to be, and helps to build a truly international office – one staffed with people working in different regional offices. This change has been initiated and undertaken for four reasons: 1. Global challenges demand more collaboration across VECO regions It is self-evident that the major challenges of our age can’t be solved by change in one country or region alone. The consequences of climate change require the collaboration and sharing of expertise across several regions. Furthermore, an expanding number of multinational food companies are addressing and engaging in sustainability issues and they are looking for cooperation with farmers’ organisations from different regions. While some of the 14 countries in which VECO works have become so called “Middle Income Countries” (Ecuador, Peru, Vietnam, Indonesia), this does not however necessarily mean that overall poverty has been significantly reduced. In many cases the gap between the rich and the poor is actually increasing. Farmers’ organisations in these countries are eager to participate in global knowledge networks while often needing less direct financial support in the form of investment. Their lack of knowledge is a greater hinder to growth than their lack of capital and it is here that VECO can step in and become a facilitator of those knowledge networks. 2. VECO = its people One of VECO’s core values is our belief in our staff and volunteers and we are rightly recognised for this open mindset. VECO is blessed with expertise in all of our 8 regions and at all levels of the organisation. These experts have previously mainly worked with their regional programmes and their expertise was rarely tapped for the benefit of the organisation as a whole. The new network organisation aims to address this issue and will allow these knowledgeable colleagues to spend more time in international project teams that will work across borders. We are convinced that in this way, we can better meet the needs of the present and the future. Knowledge and expertise no longer travels in one direction, from the “Western world” to developing countries, but is instead created and reinforced by means of exchange and cooperation. 3. Full participation of VECO regions in decision-making While VECO’s existing organisation already allows for a great deal of participation and input from staff and part34
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017
New VECO in a nutshell: 4 A truly global organisation with international management/governance. 4 8 regional offices that will work more independently, while sharing a common DNA, values and strategies of the network organisation. We will remain one organisation. 4 A flatter organisational structure, with international projects coordinated from different regions. 4 More active collaboration and exchange between colleagues worldwide. 4 An organisation that is less dependent on funding from the Belgian government.
Celebrate Christmas and New Year with safe and healthy food!
BUY WISELY BUY FRESH BUY LOCAL
Visit www.veco-ngo.org for the full article!
ner organisations, we want to go a step further. VECO’s organisation is currently very centralized, with the senior governance bodies (General Assembly, Board of Directors and head office) dominated by Belgians. Under this model, standards and general programme objectives for the entire organisation are developed centrally and later translated into regional programmes. We want to evolve towards a truly international steering of the organisation. With this goal in mind, VECO will establish a Public Interest Foundation alongside the non-profit organisation, that will be managed by an international board of directors, a board of affiliates in which our regional offices are being represented by local stakeholders, and an international management team composed of the directors of the VECO programmes in the different regions. International project teams will work on specific topics to work on common goals and share expertise and the international office will take on the support functions (finance, communication, programme support etc.). For the time being this office will be based in Belgium, but this may change, as gradually it will be staffed by colleagues from the different VECO regions. Our programme in Belgium will become one of the VECO regions, at the same level as VECO in the Andes region, West Africa, Indonesia and so on. 4. New opportunities for funding VECO is currently predominantly dependent on subsidies from the Belgian government. Other governments or foundations often expressed a wish to support our programmes directly, not via a Belgian legal entity. Why, for example, would an Australian foundation that wants to fund our programme in Indonesia transfer its money to a Belgian bank account, and not directly to our office in Indonesia? In our new organisation structure this will be possible. Global financial reporting standards and quality control will continue to be assured by the international office finance department.
VECO Indonesia’s big family wishes you
Merry Christmas 2016 & Happy New Year 2017 DEC 2016 - MAR 2017 | LONTAR
35
36
LONTAR | DEC 2016 - MAR 2017