Dari Bufeu Lee Kuan Yew "FROM THIRD WORLD TO FIRST'
MANTAN PM Singapura, Lee Kuan Yew, sebagaimana kita ketahui, adalah seorang ncgarawan Singapurayang telah meletakkan dasardasar negara Singapura sehing-ga menjadi bentuknya seperti sekarang. Baru-baru ini, sebuah memoarnya tclah tcrbit dan disana banyak kejadian dunia, khususnya Asia Tenggarayang tidak lepas dari pengaruhnya. Dalam bukunya yang terbaru, Lec Kuan Yew telah menceritakan berbagai pengalamannya, termasuk pertemuan dan pembicaraannya dengan berbagai tokoh dunia, yang ternyata ikut membentuk Asia Tenggara. Tulisan ini merupakan saduran dari satu bab bukunya, yang berjudul: "From Third World W First". Membaca memoar seorang tokoh, kita ibarat meneropong peristiwa masa lalu. Peristiwa itu terkadang sekadar sebuah "human-interesf', terkadang sebuah peristiwa yang menjadi latar belakang sebuah kejadian besar, yang memiliki nilai sejarah. Terkadang, bahkan membuka sebuah tabir, sebuah peristiwa yang semula gelap, menjadi sangat terang benderang. Lebih jauh, kita juga melihat keterikatan berbagai kepentingan dan negara yang berbaur dengan suatu peristiwa di suatu negara, termasuk
Indonesia. Interdependensi justru semakin intens. Demikian juga membaca memoar Lee Kuan Yew, sebagaimana tertuang dalam bukunya "From Third World to First" (2000) kita tidak hanya membaca sepak terjangnya tokoh yang menjadi "bapaknya" Singapura itu, tetapi juga latar belakang peristivva yang terjadi di kawasan ini, termasuk Indonesia. Bagi orang Indonesia, adalah sangat penting, selidaknya membaca satu judul dalam buku itu, yang oleh Lee Kuan Yew diberi judul "Indomsia: From Foe to Friend". Di sana, ia lidak hanya menulis pasang surut hubungan Indonesia dan Singapura, tetapi juga memberi latar belakang sebuah kejadian besar yang terjadi di Indonesia sebab Lee Kuan Yew adalah seorang tokoh yang mengetahui benar-benar Indonesia. la tidak saja mengenal tokoh-tokoh Indonesia, dari Bung Karno, Pak Harto, Habibie sampai ke Gus Dur, tetapi juga orang-orang Indonesia lain yang berperanan di Indonesia. Ia, bahkan tahu benar alam pikiran tokoh-tokoh Indonesia dan lebih dari itu, ia pun ingin melihat Indonesia stabil dan berkembang ekonominya. Sebab, hanya dengan cara itu, Singapura dan kawasan Asia Tenggara akan memperoleh momentum untuk membangun.
Membaca buku itu, saya berani menyimpulkan bahwa Lee Kuan Yew adalah sahabat bangsa Indonesia. Lee Kuan Yew, tidak saja berusaha menolong Indonesia, tetapi juga selalu berusaha mencegah Indonesia menempuh jalan yang keliru. Hal itu dilakukannya sejak ia belum berkuasa di Singapura, ketika ia masih memimpin oposisi, sekitar 1957. Ketika itu, sebagaimana kita ketahui, Indonesia sedang menghadapi gerakan separatis di berbagai provinsi Sumatera dan Sulawesi (PRRI, Pemerintah Revolusioner Republik Indo-
nesia). Singapura, ternyata dijadikan tempat penjualan senjata kalangan Barat untuk mensuplai senjata kepada gerakan separatis itu. Kepada Letjen Djatikusumo, konsul jenderal Indonesia di Singapura, Lee Kuan Yew mengatakan, bahwa kalau ia nanti berkuasa, para pedagang senjata (arms dea/ers) itu akan dikeluarkan dari Singapura. Pada tahun 1959, Lee Kuan Yew memenangkan pemilihan umum di Singapura. Ternyata benar, ia memenuhi janjinya. Dan sebaliknya, Djatikusumo • menyarankan untuk mengkonsolidasikan hubungannya denganjakarta. la pun setuju dengan usul ini. Pada bulan Agustus 1960, Lee Kuan Yew dan rombongan diterima Bung Karno, Presiden RI di istana Merdeka. Bung Karno, sebagaimana biasa, mengenakan pakaian kebesarannya. Lee Kuan Yew mengenakan pakaian resmi, jas dan dasi. Lee Kuan Yew menulis bahwa di ruangan itu tidak ada "fan atau AC". Padahal udara Jakarta demikian panas. Maka, ia pun merasakan panasnya Jakarta dan berkeringat. Bung Karno tidak menyukai "fan dan AC", tulis Lee Kuan Yew. Apa yang menjadi pembicaraan? Bung Karno bertanya kepada Lee Kuan Yew, berapa penduduk Singapura? Berapa mobil/kendaraan bermotor di Singapura? Sudah tentu, baikjumlah penduduk maupun jum-lah mobil tidak mungkin diperbandingkan, antara Singapura dan Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan itu, selain menimbul-kan tanda tanya bagi Lee Kuan Yew, juga mengesankan bahwa Bung Karno lebih mementingkan kebesaran suatu negara, baik jumlah penduduk maupun wilayah, dalam konteks hubung-annya dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Setelah itu, Bung Karno menceritakan tentang sistem politik Indonesia, tentang Demokrasi Terpimpin dan lain-lainnya. Lee Kuan Yew, menulis, bahwa ia kecewa dengan pembicaraan yang dinilai-nya tidak substansial itu.
Kesannya mengenai Indonesia di waktu itu adalah, bahwa Indonesia sangat kekurangan administrator dan profesional yang baik. Hanya sedikit lembaga atau institusi yang mampu membawa kemajuan bagi Indonesia. Penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun, telah memperburuk keadaan itu. Demikian juga perang kemerdekaan setelah itu. Kebijaksanaan nasiona-lisasi perusahaan-perusahaan asing setelah itu, yang dilakukan oleh Bung Karno, juga dinilainya sebagai lebih memperburuk keadaan, karena menghambat perdagangan dan investasi asing. Kekecewaan itu semakin lengkap, ketika tempat menginapnya di hotel Des Indes, setara hotel Raffles di Singapura, hotel terbaik yang kita miliki ketika itu, ternyata bocor sehingga di waktu hujan harus disediakan waskom penampung air hujan yang menetes. Lee Kuan Yew dengan pandai melukiskan pengalaman dan kesan pertamanya tentang Indonesia, dengan bumbu-bumbu "human interest" yang menarik.
A. Merajut Kembali Persahabatan SINGAPURA memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1965. Pada waktu itu, Indonesia telah terlibat "konfrontasi" dengan Malaysia dan Singapura. Titik balik terjadi, ketika pada tanggal 30 September terjadi kudeta G30S/PKI. Semula, ia tidak menyadari apa arti momentum kejadian kudeta itu, selain adanya pembunuhan beberapa Jenderal dan pembunuhan para simpatisan PKI yang mencapai ratusan ribu orang. Sebagian, ternyata golongn etnis Cina, yang menjadi pendukung gerakan itu. Pak Harto, yang tampil setelah itu, dinilai sebagai telah memerankan diri sebagai sangat hati-hati, lamban, namun secara bertahap mengurangi kekuasaan Bung Karno, sampai akhirnya kita menyadari bahwa kekuasaan sesungguhnya telah beralih ke Pak Harto. Bahkan ketika ke-
luar SP 11 Maret 1966, Lee Kuan Yew masih belum yakin, bahwa Bung Karno telah tersingkir, karena kharismatik Bung Karno yang demikian besar. Baru setelah sidang MPR 1967, ketika Pak Harto diangkat sebagai pejabat presiden, ia yakin bahwa Bung Karno memang telah selesai. Pada bulan Juni 1966, Pak Harto (waktu itu adalah Ketua Presidium Kabinet Ampera, pen) telah mengambil keputusan untuk menghentikan konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura. Pada bulan Juni danjuli, sebuah delegasi Indonesia telah berkunjung ke Singapura, untuk menormalisir hubungan kedua negara. Hasilnya, keduanya sepakat untuk membangun hubungan dagang atas dasar "non discriminatory basis". Singapura memberikan pinjaman sebesar $ 150 miliar kepada kalangan swasta Indonesia dan mengizinkan dibukanya kem-bali kantor cabang BNI di Singapura. Indonesia, setuju untuk membuka semua pelabuhannya bagi kapal-kapal Singapura. Meskipun demikian, Lee Kuan Yew mengakui, bahwa proses pemulihan itu tidak secepat yang diharapkan. Banyak ham-batan, antara lain sikap-sikap sebagai "saudara tua" (big brother) yang masih menyelimuti kalangan Indonesia. Pada bulan Maret 1968, Menteri Luar Negeri Adam Malik berkunjung ke Singapura. Ketika berbicara di depan masya-rakat Indonesia, Adam Malik mengatakan bahwa Indonesia telah menjanjikan kepada Singapura dan negara-negara Asean, untuk melindungi mereka dari ancaman Komunisme, di saat Inggris (nanti) menarik diri dari Asia Tenggara, yang diren-canakan pada tahun 1971. (Catatan: Asean telah berdiri pada tahun 1967 di Bangkok , pen). Akan tetapi, "joint-communi-que" yang keluar setelah kunjungan itu masih sebatas basa-basi diplomatik, antara lain untuk meningkatkan kerja sama atas dasar persamaan hak, saling hormatmenghormati, dan tidak campur tangan dalam masalah dalam negeri.
Pada bulan Oktober 1968, hubungan Indonesia-Singapura memburuk, ketika Singapura menjatuhkan hukuman mati bagi tiga orang marinir Indonesia, ketika mereka meledakkan bom di kantor bank Shanghai & Hongkong di jalan Orchardroad. Reaksi Indonesia, tidak diduga sekeras itu. Sekitar 400 orang Indonesia menyerang kedutaan besar Singapura dan juga kediaman duta besar Singapura. Adam Malik, selaku Menteri Luar Negeri, berusaha untuk menenangkan reaksi itu. Kita tidak bermaksud untuk melakukan permusuhan dengan Singapura, kata Pak Adam. Namun, tuntutan terhadap pem-boikotan kapal-kapal Singapura berjalan terus. Hubungan bi-lateral juga dituntut untuk dipelajari kembali. Selama lima menit, hubungan telekomunikasi dengan Singapaura terhenti. Sampai akhirnya, pada bulan Oktober, Adam Malik meng-ingatkan, bahwa pemutusan hubungan dagang Indonesia-Singapura hanya akan membahayakan Indonesia. Adam Malik juga mengingatkan bahwa pertentangan antara negara Asean hanya akan melemahkan kerja sama antara negara Asean, di samping akan memperburuk imej Indonesia di mata dunia internasional. Konflik, kemudian secara bertahap mereda. Babak baru hubungan Indonesia-Singapura, barangkali terbuka kembali, ketika Singapura mengangkat seorang duta besar, yang fasih berbahasa Indonesia. Beliau adalah Tuan Lee Khoon Choy, yang oleh teman-teman dekatnya dikenal sebagai KC. Tuan KC, selain fasih berbahasa Indonesia, juga menye-nangi budaya dan seni Indonesia. Beliaulah yang kemudian berhasil menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang pemerintah dan pembantu dekat Pak Harto, sehingga timbul saling kepercayaan. Pertemuan pertama Lee Kuan Yew dengan Pak Harto terjadi di Lusaka, di saat Konferensi tingkat Tinggi Negara-negara Nonblok, bulan September 1970. Lee Kuan Yew berkunjung ke
villa Pak Harto. Selama sekitar 30 menit keduanya melakukan pembicaraan. Topik pembicaraan adalah masalah Vietnam dan Kambodja. Pak Hartolah yang terlebih dahulu menanyakan sikap Lee Kuan Yew terhadap Vietnam dan Kambodja. Lee Kuan Yew mengatakan, bahwa mundurnya Amerika dari kawasan itu akan berdampak buruk pada stabilitas di kawasan itu. Ke-menangan Komunis di Vietnam dan Kambodja, kata Lee, akan mendorong perubahan di Thailand yang memiliki kebijaksa-naan yang secara tradisional mampu melakukan penyesuaian dengan kekuatan baru. Pak Harto, menurut Lee menyetujui pendapatnya. Keduanya sampai pada pandangan yang sama terhadap perkembangan dan bahaya yang akan dihadapi di negara-negara kawasan ini. Kesan Lee Kuan Yew, Pak Harto adalah seorang pendengar yang baik. Pertemuan setengah jam itu dinilainya sangat bermanfaat. Namun, perkembangan yang sangat bermakna, menurut Lee Kuan Yew, ketika Sudjono Humardhani berkunjung ke Singapura pada bulan Maret 1971. Sudjono Humardhani, seba-gaimana kita ketahui, adalah salah seorang Asisten Pribadi Presiden bidang ekonomi. Lee Kuan Yew menulis, Sudjono Humardhani adalah orang yang percaya mistik dan merupakan salah seorang kepercayaan Pak Harto dalam bidang spiritual dan mistik. Lee Kuan Yew menulis, konon, menurut KC, Pak Harto dan Sudjono Humardhani akan pergi bersama-sama ke sebuah gua, apabila hendak memutuskan hal-hal yang besar. Keduanya melakukan meditasi, untuk sampai kepada pemikiran final terhadap sesuatu yang dianggap sangat penting. Pertemuan dengan Sudjono Humardhani, yang berlangsung selama satu jam dalam bahasa Indonesia itu, menurut versi Lee Kuan Yew, tidak ada yang bermakna. Namun, Sudjono Humardhani sangat puas dengan pertemuan itu. Lee Kuan Yew, menurut Sudjono Humardhani, bersikap " friendly, outspoken, and kind".
Setelah itu, Presiden Soeharto mengutusjenderal Soemitro, Sutopo Yuwono dan Jenderal Panggabean. Utusan-utusan ini membawa pesan Pak Harto mengenai berbagai permasalahan dan juga kerja sama di bidang intelijen. Lee Kuan Yew selalu meyakinkan, bahwa Singapura juga menginginkan Indonesia dapat melaksanakan pembangunannya.
Tibalah kini saat kunjungan Lee Kuan Yew ke Jakarta. Dubes Singapura di Jakarta, KC melaporkan, bahwa ada ham-batan emosi yang serius untuk membangun persahabatan yang sejati. Hambatan itu adalah peristiwa digantungnya tiga orang marinir di Singapura. Apabila benar akan lahir persahabatan yang tulus, hambatan itu harus dihilangkan dengan jalan diplomasi. Indonesia mengusulkan, agar di saat Lee Kuan Yew meletakkan karangan bunga di makam pahlawan Kalibata, ia juga menabur bunga pada makam dua marinir Indonesia yang dimakamkan di sana. Lee KuanYew, ternyata setuju. Karena itu, ketika ia tiba di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973, ia memperoleh penghormatan yang khusus, dengan 19 tembakan meriam. Ini berarti, halaman baru hubungan kedua negara telah dibuka kembali. Sejak saat itulah lahir tradisi baru dalam hubungan kedua pemimpin Asia Tenggara itu, yaitu pembicaraan "empat mata", tanpa dihadiri oleh pembantu/menteri kedua belah pihak. Keduanya berbicara dalam bahasa Indonesia atau Melayu. Lee Kuan Yew merasa cukup paham dengan kedua bahasa itu. Pak Harto, menurut Lee Kuan Yew, berusaha meyakinkan tamunya, bahwa Pak Harto ingin bersikap korek terhadap Singapura dan bahkan menghormati atas dasar penilaian yang obyektif, atas dasar kekuatan dan kelemahan kedua negara. Sedangkan Lee Kuan Yew mengatakan, bahwa Singapura merupakan bagian
dari Asia Tenggara. Kerja sama ekonomi, hanya dapat ber-langsung atas dasar yang fair, Lee Kuan Yew mengatakan, bahwa hubungan yang baik, hanya akan dapat dibangun melalui saling percaya mempercayai akan tujuan jangka panjang masing-masing negara. Selain itu, keduanya juga membicarakan ber-bagai permasalahan yang dihadapi kedua negara, antara lain tentang Komunisme dan lain sebagainya. Dalam banyak hal, ada kesamaan pandangan antara keduanya. Kesan pertama tentang Pak Harto, Lee menulis, bahwa Pak Harto adalah orang yang berpikir dalam (thought/ul-man). Pak Harto juga bukan seorang yang ekstrovert. Pak Harto mengesankan rendah hati dan bersahabat, meskipun dapat bersikap tegas, kalau sudah mempunyai suatu pendapat. Kesimpulannya, ia senang dengan Pak Harto dan merasa dapat bekerja sama dengan Pak Harto. Setahun kemudian, pada bulan Agustus 1974, giliran Pak Harto berkunjung ke Singapura. Lee Kuan Yew, berusaha membalas sambutan yang diterimanya ketika berkunjung ke Jakarta. Di Bandara, Pak Harto disambut 21 dentuman meriam dan barisan kehormatan Angkatan Bersenjata Singapura sebagaimana ia terima ketika berkunjung ke Jakarta. Pada kunjungan Pak Harto ke Singapura ini, selain dilakukan per-tukaran dokumen mengenai batas-batas teritorial laut antara kedua negara, juga (yang terpenting) pertemuan "empat mata" antara Pak Harto dan Lee Kuan Yew. Pak Harto sangat bersungguh-sungguh, meskipun tanpa teks, menjelaskan konsep negara kepulauan dan prospek pembangunan ekonomi Indonesia. Selain itu, mereka berdua juga membicarakan masalahmasalah komunisme, tentang Vietnam, dan lain sebagainya. Ketika Pak Harto berbicara pada masyarakat Indonesia, Pak Harto memberi sinyal adanya perubahan sikap Indonesia terhadap Singapura. Indonesia sangat mengharapkan bantuan
teknis dan investasi dari bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk Singapura. Demikianlah, setelah itu, berbagai pertemuan terus ber-langsung. Meskipun kemudian ada gangguan kecil masalah Timor-Timur, di mana Singapura abstain di PBB, masalah itu dapat terselesaikan dengan baik. Lee Kuan Yew merasa beruntung, bahwa dari aspek karakter, temperamen dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai Pak Harto telah memungkinkan ia menjalin hubungan pribadi yang baik dengan Pak Harto. Lee Kuan Yew menggambarkan Pak Harto sebagai orang yang tenang, sopan, dan teliti. Saling percaya mempercayai telah tercapai di saat pertemuan yang kedua antara mereka. Pak Harto juga digambarkan sebagai orang yang sangat memegang kata-katanya. Meskipun tidak banyak bicara, Pak Harto selalu berusaha menepati apa yang telah dikatakannya. Pak Harto, di mata Lee Kuan Yew, juga dinilai sangat konsisten. Kekuatan-nya, terletak pada konsistensinya, tulis Lee Kuan Yew. Meskipun Pak Harto bukan seorang intelektual, Pak Harto sangat mampu menunjuk pembantu-pembantunya, misalnya Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, yang telah membuka Indonesia bagi perdagangan internasional dan investasi asing sehingga secara bertahap, menurut Lee Kuan Yew, Indonesia tumbuh sebagai negara yang berhasil pembangunan ekonominya. Masa-masa setelah itu, dapat dikatakan masa " bulan madu". Setahun sekali, Lee Kuan Yew bertemu Pak Harto dan selalu diadakan pertemuan "empat-mata". Indonesia, yang bermaksud membangun Batam (1976) juga meminta bantuan Singapura. Saat inilah Lee Kuan Yew berkenalan dengan Habibie, yang diserahi tugas Pak Harto membangun Batam. Untuk mem-percepat investasi asing di Batam, Lee Kuan Yew mengusulkan, agar dimungkinkan kepemilikan asing 100% bagi perusahaan yang hanya menghasilkan barang ekspor. Pak Harto menyetujui
hanya dalam jangka waktu lima tahun. Setelah itu, perusahaan itu harus membuka diri bagi modal domestik. Maka jadilah Batam sekarang, di mana kaum industrialis Singapura ber-gabung di sana, membangun "industrial-park". Beberapa perusahaan Singapura juga memindahkan usahanya ke Batam, karena biaya produksi, tenaga kerja yang jauh lebih murah. Begitu besarnya pengarub Singapura, tarif-tarif hotel di Batam menggunakan Singapore dolar. Sampai akhirnya Lee Kuan Yew pamit kepada Pak Harto. Beberapa hari sebelum Lee Kuan Yew mengundurkan diri, Lee Kuan Yew bertemu Pak Harto di Tokyo (November 1990), saat menghadiri penobatan Kaisar Akihito. Ibu Tien Soeharto, tulis Lee Kuan Yew, tidak percaya dan ragu, bahwa di saat masih "fit" dan dalam keadaan kesehatan yang baik seperti itu, Lee Kuan Kuan Yew hendak berhenti. Lee Kuan Yew menjelaskan, bahwa Singapura belum pernah mengalami perubahan Perdana Menteri. Akan lebih baik bagi kami, kata Lee Kuan Yew, kalau kami berhenti di saat yang baik, di saat kami dapat memilih pengganti kami. Lee Kuan Yew, sebagaimana kita ketahui, tiga tahun lebih muda dari Pak Harto. Ketika mengundurkan diri, Lee Kuan Yew berumur sekitar 67 tahun (Lee Kuan Yew lahir pada 16 September 1923 dan berhenti pada bulan November 1990). Setelah itu, Lee Kuan Yew menjabat "Senior Minister" sampai sekarang.
B. Sahabat di Saat Krisis Meskipun Lee Kuan Yew "hanya" sebagai seorang Menteri-Senior, pendapatpendapatnya masih sering sangat diperhitungkan. Tidak saja di Singapura, tetapi juga di luar Singapura, termasuk Indonesia. Lebih dari itu, Lee Kuan Yew agaknya selalu terpanggil kepada masalah-masalah yang diha-
dapi negara-negara di kawasan ini, termasuk ketika menghadapi krisis tahun 1997. Lee Kuan Yew menulis, bahwa tidak ada orang yang mengharapkan Indonesia juga akan menghadapi krisis mata uangnya (rupiah). Kalangan Pemerintah Singapura sendiri sangat percaya, bahwa ekonomi Indonesia lebih baik dari Thailand. Indonesia, tulis Lee Kuan Yew, tidak memiliki defisit anggaran yang besar, inflasinya rendah, utang luar negeri yang " modest". Namun, krisis di Thailand ternyata telah menim-bulkan panik para fund manager sehingga mereka menjual mata uang dan saham-saham regional. Di saat seperti itu, Lee Kuan Yew memuji kebijaksanaan Indonesia yang kemudian mengundang IMF untuk menolong. Melalui seorang utusan khusus, Presiden Soeharto telah me-minta Singapura untuk memberikan dukungan menaikkan "bargaining povver" menghadapi IMF. PM Goh Chok Tong membicarakan permintaan Indonesia itu dengn Lee Kuan Yew, sebelum diajukan di rapat kabinet. Hasilnya, Singapura setuju memberikan bantuan US$ 5 miliar, setelah Indonesia menghabiskan dana pinjaman sebesar US $ 20 miliar dari IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank. Demikian juga Jepang, setuju untuk memberikan support dana sebesar US $ 5 miliar. Dan begitu kerja sama dengan IMF itu ditandatangani, pada bulan Oktober 1997, Bank Sentral Singapura, Jepang, dan Indonesia berusaha untuk memperkuat rupiah, dari Rp3.600 menjadi Rp3.200. Sebelum krisis, sebagaimana kita ketahui, kurs rupiah adalah Rp2500. Namun, perjanjian dengan IMF itu menjadi kurang ber-makna, ketika Presiden Soeharto bermaksud mempertim-bangkan kembali proyek-proyek yang telah disetujui dengan IMF untuk ditunda. Demikian juga ketika sebuah Bank dari 16
bank yang ditutup dipertimbangkan untuk beroperasi kembali dengan berganti nama. Lee Kuan Yew menulis, keduanya terkait dengan keluarga Cendana. Demikian juga kebijaksanaan moneter, praktis berhenti. Untuk mengurangi kepercayaan, Pak Harto dan Ketua Kadin setuju untuk menggunakan pin-jaman Singapura sebesar US$ 5 miliar sebagai pinjaman kepada perusahaanperusahaan pribumi yang terlilit utang. Kebetulan, pada saat seperti itu, pada bulan Desember 1997, kesehatan Presiden Soeharto agak terganggu Melihat gejala seperti itu, Lee Kuan Yew khawatir, rupiah akan semakin merosot. la menyampaikan pesan kepada Dubes Singapura di Jakarta, seandainya mbak Tutut dapat datang ke Singapura. Lee Kuan Yew ingin menyampaikan beberapa pandangan untuk dapat disampaikan kepada Presiden Soeharto. Demikianlah, di saat Christmas 1977, mbak Tutut datang ke Singapura. Lee Kuan Yew, dengan PM Singapura Goh Chok Tong menerima mbak Tutut di Istana Villa. Keduanya menyam-paikan kepada mbak Tutut, keadaan yang buruk di Indonesia, seandainya kepercayaan tidak segera dipulihkan. Pertama, tentang kesehatan Pak Harto dan kedua kemauan Pak Harto untuk melaksanakan komitmen-komitmen dengan IMF. Keduanya juga menyinggung bisnis keluarga Pak Harto, yang ternyata mendapat perhatian yang besar dari para fund-manager di Jakarta. Pada tanggal 6 Januari 1998, Presiden Soeharto menyam-paikan RAPBN di depan DPR. Menurut Lee Kuan Yew, RAPBN itu tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan IMF dan lebih dari itu, tidak sesuai dengan target-target yang telah disepakati dengan IMF. Dalam waktu dua hari, rupiah terpuruk menjadi Rp7500-RplO.OOO sebab baik Managing Director IMF, Stanley Ficher tnaupun Menteri Keuangan AS Lawrence Summers
memberikan kritik kepada RAPBN itu sebagai tidak sesuai dengan IMF term. Malam itu, tanggal 8 Januari 1998, melalui radio, Lee Kuan Yew mendengar berita, bahwa di Jakarta terjadi kepanikan, orang-orang memborong barang-barang di super-market. la menelepon Dubes Singapura di Jakarta, meminta konfirmasi dan ternyata memang benar. Rupiah di waktu itu, diluaran bahkan sudah dipertukarkan dengan kurs Rpl 1.500. Lee Kuan Yew kemudian mengingatkan PM Goh Chok Tong, yang kemudian langsung mengirimkan pesan ke IMF dan Departemen Luar Negeri AS, agar mengeluarkan pernyataan untuk menenangkan pasar dan kemungkinan risiko timbul-nya kekacauan pada hari berikutnya. Beberapa saat kemudian, Presiden Clinton menelepon PM Goh Chok Tong dan Presiden Soeharto, membicarakan situasi terakhir. Presiden Clinton juga mengumumkan akan mengirim Lawrence Summers untuk membantu mengatasi masalah yang timbul. Sementara Stanley Fischer mengeluarkan pernyataan, bahwa reaksi yang timbul sangat berlebihan. Pada tanggal 9 Januari Presiden Soeharto sendiri menandatangani kesepakatan kedua dengan IME Sebelum itu, pada tanggal 9 Januari 1998, putri kedua Pak Harto, Siti Hediati Hariyadi Prabowo datang ke Singapura, dengan sepengetahuan Pak Harto, menemui Lee Kuan Yew. la meminta tolong untuk dapat menaikkan "dollarbonds" di Singapura. Menurut seorang banker internasional, kenaikan dolar itu akan membantu menstabilkan nilai rupiah. Lee Kuan Yew mengatakan, dalam keadaan krisis seperti sekarang hal itu tidak mungkin. Siti Hediati juga mengeluh, adanya rumor bahwa Singapuralah yang telah melemahkan nilai rupiah dan sikap para banker Singapura, yang menyarankan orang-orang Indonesia memarkir uangnya di Singapura. Dapatkah semua itu dihentikan, kata Siti Hediati Prabowo. Lee Kuan Yew me-ngatakan, bahwa hal itu tidak akan efektif sebab orang bisa
saja memindahkan uangnya ke mana saja di dunia hanya me-nekan tombol komputer. Lee Kuan Yew mengatakan, rumor akan dengan sendirinya berhenti, kalau fundamental ekonomi memang kuat. Untuk memulihkan kepercayaan pasar, Lee Kuan Yew menyarankan agar Pak Harto melaksanakan ko-mitmennya dengan IME Bilamana perlu, Lee Kuan Yew me-nyarankan untuk mengundang Paul Volcker, mantan Ketua "the Fed" untuk menjadi penasihat Presiden Soeharto. Paul Volcker, akhirnya memang datang ke Indonesia, tetapi tidak menjadi penasihat Pak Harto. Sekarang, sebagaimana kita ketahui, justru menjadi penasihat internasional Gus Dur. Siapa tahu, Gus Dur juga memperoleh saran dari Lee Kuan Yew?
C. Mengapa (Afchirnya), Pafe Harto Berhenti? Namun, benarkah semua itu semata-mata teknis ekonomi? Tidak adakah kepentingan politik, misalnya Barat, agar Pak Harto jatuh? Bukankah ada rumor, bahwa Indonesia diske-nariokan menjadi beberapa negara, seperti di Balkan? Pada tanggal 11 Januari 1998, Lawrence Summers singgah di Singapura dalam perjalanan ke Jakarta. la menyampaikan pandangan Amerika kepada PM Goh Chok Tong dan dirinya, bahwa, apa yang diperlukan adalah "penghentian" (disconti-nuity) cara-cara Pak Harto menyelenggarakan pemerintahan. Previlege yang diberikan kepada teman-teman dan keluarganya juga harus dihentikan, kata Summers. Lee Kuan Yew justru mengatakan bahwa yang terbaik adalah justru kelangsungan (continuity) pemerintahan sebab siapa pun penggantinya, tidak akan sekuat Presiden Soeharto untuk dapat melaksanakan syarat-syarat/kondisi IMF yang begitu ketat. Oleh karena itu, yang penting adalah kita harus membantu Soeharto melaksanakan komitmen-komitmen IMF seoptimal
mungkin, tulis Lee Kuan Yew. Misalnya, memberi kesempatan kepada Presiden Soeharto untuk menunjuk seorang wakil presiden yang dapat memperoleh kepercayaan pasar, untuk menghadapi era post-Soeharto. Pandangan seperti ini, ternyata tidak memperoleh persetujuan dari Pemerintahan Clinton. Mereka tetap tidak berubah untuk memenuhi kebutuhan ditegakkannya demokrasi, pemberantasan korupsi dan pelak-sanaan HAM. Perang dingin telah usai. Mereka tidak melihat lagi alasan untuk "memanjakan" (molly-coddle) Soeharto, begitu sepotong pidato Clinton di saat kampanye 1992, yang dikutip oleh Lee Kuan Yew dalam bukunya. Dua bulan kemudian, pada Maret 1998, mantan Wakil Presiden Walter Mondale membawa pesan Clinton kepada . Pak Harto. Setelah itu, dalam perjalanan pulang ia singgah di Singapura, bertemu PM Goh Chok Tong dan Lee Kuan Yew. Mondale bertanya kepada Lee Kuan Yew: Anda tahu Marcos. Apakah Marcos seorang pahlawan atau "bajingan"? (a hero or a crook?). Bagaimana Soeharto dibandingkan dengan Marcos? Apakah Soeharto seorang patriot atau "bajingan"? (a patriot or a crook?). Lee Kuan Yew menjawab, bahwa Marcos mungkin telah memulai sebagai pahlawan, tetapi kemudian mengakhiri sebagai "bajingan" (a crook). Soeharto adalah berbeda, kata Lee Kuan Yew "I would not classify Soeharto as a crook", kata Lee Kuan Yew. (Saya tidak akan mengklasifikasikan Soeharto sebagai "bajingan"). PM Goh Chok Tong menemui Pak Harto sebanyak tiga kali, yaitu pada bulan Oktober 1997, Januari 1998, dan Februari 1998. Pada pertemuan-pertemuan itu, Goh Chok Tong selalu menekankan betapa seriusnya ekonomi Indonesia dan per-lunya mengikuti komitmen dengan IME Kalau tidak, Goh Chok Tong bahkan menggambarkan kemungkinan terjadinya "collaps". Sepulang pertemuan terakhir dengan Pak Harto
pada bulan Februari itu, Goh Chok Tong mengatakan, bahwa Pak Harto telah merasa "dikepung" dan menyimpulkan, bah-wa Barat menghendaki Pak Harto turun. Tetapi, Goh Chok Tong tidak menanggapi, selain menekankan perlunya secara serius mengatasi masalah ekonomi dengan bantuan IMF. Goh menyampaikan kepada Pak Harto, bahwa kalau ekonomi memburuk, ada kemungkinan kekurangan bahan makanan, terjadi gejolak sosial dan hilangnya kepercayaan kepada Indo-nesia. Tetapi, menurut Goh, Pak Harto tidak terlalu percaya, sebab TNI sepenuhnya berada di belakangnya. Goh kemudian mengingatkan, bahwa bisa terjadi keadaan di mana rakyat sangat marah dan tentara tidak akan menembak. Pak Harto, menyangkal kemungkinan ini. Menyedihkan, tulis Lee Kuan Yew, Pak Harto telah "out of touch".
Perkembangan selanjutnya yang juga agak dramatis ada-lah ketika di akhir bulan Januari Pak Harto mengumumkan kriteria calon wakil presiden berikutnya. Dari kriteria itu, tidak lain adalah BJ Habibie yang dimaksudkan Pak Harto. Habibie, tulis Lee Kuan Yew, dikenal sebagai "high cost and high tech project", misalnya proyek IPTN. Beberapa pemimpin asing prihatin dengan pilihan Pak Harto ini dan berusaha untuk menemui Pak Harto secara diam-diam, menyampaikan pesannya. Mereka itu, antara lain adalah Paul Keating, mantan Perdana Menteri Australia, yang dikenal baik Pak Harto, PM Goh Chok Tong, dan Anwar Ibrahim, Deputy Perdana Menteri Malaysia, Daim Zainudin, penasihat ekonomi Pemerintah Malaysia menulis surat kepada Lee Kuan Yew, agar Lee berkunjung ke Pak Harto dan memberikan nasihat untuk tidak memilih Habibie. Tetapi, di tengah krisis seperti itu, ia tidak mungkin ke Jakarta, agar tidak
dikesankan terlalu campur tangan. Toh ia melakukan langkah yang disebutnya sebagai penuh "calculated-risk". Pada tanggal 7 Februari, ia menyampaikan sebuah pidato, di mana Lee mengingatkan, bahwa pasar diguncang (disturbed) dengan kriteria wakil presiden, yang harus memenuhi syarat mengu-asai ilmu dan teknologi. Apabila pasar tidak selaras (uncom-/ortable) dengan siapapun yang dimaksud dengan calon Wakil Presiden, rupiah akan melemah kembali. Dengan pernyataan seperti itu, tulis Lee Kuan Yew, para pendukung Habibie menyerangnya. Demikianlah, ketika Pak Harto ternyata jalan terus, para "fund managers" dan pedagang mata uang asing bereaksi cepat. Mereka menjual rupiah dan kurs rupiah menjadi Rpl7.000,00. Dalam keadaan seperti itu, Pak Harto mengundang Prof. Steve Hanke, seorang Guru besar John Hopkins University, yang terkenal dengan teori Currency Board System-nya. Untuk waktu beberapa bulan, sebagaimana kita ketahui, gagasan CBS mewarnai pembicaraan di antara para pakar, pro dan kontra, meskipun akhirnya Pak Harto mengurungkan niatnya. Demikianlah, pada bulan-bulan berikutnya, sebagaimana kita ketahui, Pak Harto terpilih kembali sebagai Presiden dan Habibie sebagai Wakil Presiden. Kabinet baru, juga terbentuk. Krisis tidak teratasi, demo mahasiswa semakin besar. Apa komentar Lee Kuan Yew? "Soeharto's last major military and ministerial appoinment in Februari and March 1998 were the most disastrous misjudments o/ his life." Benar juga. Dua bulan setelah itu, Pak Harto berhenti sebagai presiden. Lee Kuan Yew menulis, "Dimulai dengan problema ekonomi yang memerlukan "rescue" IMF, ternyata telah berakhir dengan terlemparnya seorang presiden. Adalah benarbenar sebuah tragedi bagi seorang pemimpin yang telah
mengubah Indonesia yang miskin di tahun 1965 menjadi sebuah "an emerging tiger economy", meningkatkan tingkat pendidikan rakyatnya, dan telah membangun infrastruktur untuk pem-bangunan Indonesia selanjutnya, Di saat yang sangat krusial itu, orang yang dikenal sebagai memiliki justifikasi dan me-milih para pembantunya dengan sangat baik, telah memilih orang-orang yang tidak tepat (wrong man) untuk jabatan-jabatan kunci. Kekeliruannya telah mendatangkan kehancuran bagi dirinya sendiri dan negaranya. Di kemudian hari, ketika Pak Harto telah lengser, penulis memperoleh konfirmasi, bahwa Pak Harto mengakui, "telah salah pilih." Membaca buku Lee Kuan Yew, kesan saya, itulah sikap seorang sahabat sejati. la memberi saran, nasihat dan bahkan peringatan kepada sahabatnya, di saat senang, duka, dan krisis. Akan tetapi, Pak Harto memang sudah begitu. Sekali mengambil keputusan, Pak Harto jalan terus dengan kepu-tusannya itu. Salah atau benar. Mudah-mudahan semuanya akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Pelita, 5 Maret 2001 (diedit kembali)