KISI-KISI KOMPREHENSIF TAFSIR HADITS Pertanyaan Jawaban 1.Jelaskan pengertian Tafsir Secara etimologi tafsir bisa berarti: اﻻﯾﻀﺎح secara etimologis dan (واﻟﺒﯿﺎنpenjelasan), (اﻟﻜﺸﻒpengungkapan) dan terminologis (ﻛﺸﻒ اﻟﻤﺮاد ﻋﻦ اﻟﻠﻔﻆ اﻟﻤﺸﻜﻞmenjabarkan kata yang samar ). Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. 2. Jelaskan dengan singkat Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi. kondisi Tafsir pada zaman nabi dan sahabat Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang AlKautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga. Tafsir Pada Zaman Shohabat. Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan AlQur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah. Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. Atau paling
kurang adalah Mauquf.
Jelaskan Tafsir pembukuan
pada
Jelaskanmaksud Tafsir ma’tsur dan bil ra’yi!
masa Tafsir Pada Masa Pembukuan Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu; Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya bil Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau BirRiwayah. Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan alQur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang
sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah : 1. Tafsir At-Tobary (( ﺟﺎﻣﻊ اﻟﺒﯿﺎن ﻓﻲ ﺗﺄوﯾﻞ أى اﻟﻘﺮانterbit 12 jilid 2. Tafsir Ibnu Katsir ( )ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﻘﺮان اﻟﻌﻈﯿﻢ dengan 4 jilid 3. Tafsir Al-Baghowy ( )ﻣﻌﺎﻟﻢ اﻟﺘﻨﺰﯾﻞ 4. Tafsir Imam As-Suyuty ( اﻟﺪر اﻟﻤﻨﺜﻮر ﻓﻲ )اﻟﺘﻔﺴﯿﺮ ﺑﺎﻟﻤﺄﺛﻮرterbit 6 jilid. Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah). Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya: 1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah 2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Jelaskan kriteria mufasir yang Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang mu’tabar (kompatibel)! harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya: 1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an. 2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya. 3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat
dan perkataan para tabi’in. 4)- Faham bahasa arab dan perangkatperangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (alQur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“. 5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah, 6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam alQur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Jelaskan adab-adab yang harus Adapun adab yang harus dimiliki seorang dimiliki seorang mufasir mufassir adalah sebagai berikut : 1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya). 2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain 3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya. 5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada. 6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
Bagaimanakah proses turunnya Pertama, al-Qur’an turun secara sekaligus dari al-Qur’an? Allah ke lauh al-mahfuzh , yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S. al-Buruj (85) ayat 21–22, “Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam lauh al-mahfuzh”. Diisyaratkan pula oleh firman Allah surat alWaqi`ah (56) ayat 77—80, “Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.” Tahap kedua, al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan Allah dalam surat al-Qadar [97] ayat 1, “sungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malan kemuliaan.” Juga diisyaratkan dalam Q.S. Surat ad-Dukhan
[44] ayat 3, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” Tahap ketiga, al-Qur’an diturunkan dari bait alizzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S. asy-Syu`ara’ [26] ayat 193–195, “……Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-`amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas Sebutkan hikmah Di samping hikmah yang telah diisyaratkan diturunkannya al-Qur’an secara ayat di atas, masih banyak hikmah yang berangsur-angsur! terkandung dalam hal diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain adalah: 1. Memantapkan hati Nabi Ketika menyampaikan dakwah, Nabi kerapkali berhadapan dengan para penentang. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan doroaikan dakwah. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah, Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS. al-Furqan [25]:32). 2. Menentang dan melemahkan para penentang al-Qur'an Nabi kerapkali berhadapan dengan pertanyaanpertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur'an. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mu`jizat al-Qur'an.
3. Memudahkan untuk dihapal dan difahami Nabi Muhammad sangat merindukan turunnya wahyu. Saking rindunya, suatu ketika mengikuti bacaan wahyu yang disampaikan Jibril sebelum wahyu itu selesai dibacakannya. 4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat al-Qur'an turun) dan melakukan pentahapan dalam penetapan aqidah yang benar, hukum-hukum syari`at, dan akhlak mulia. 5. Membuktikan dengan pasti bahwa al-Qur'an turun dari Allah Yang Maha Bijaksana. Walaupun al-Qur'an turun secara berangsurangsur dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, tetapi secara keseluruhan, terdapat keserasian di antara satu bagian dengan bagian al-Qur'an lainnya. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan Allah yang Maha Bijaksana. Jelaskan beberapa modern
penafsiran I.Goldziher dalam karyanya Richtungen der Islamischen Koranauslegung, mengasumsikan ada lima kecenderungan dalam penafsiran Alquran; (1) penafsiran dengan bantuan hadits Nabi dan para Sahabatnya; (2) penafsiran dogmatis; (3) penafsiran mistik; (4) Penafsiran sektarian; (5) penafsiran modernis. Goldziher dalam karyanya itu belum sempat membahas tren yang berkembang pascaAbduh. J. Jomier dalam beberapa karyanya juga belum dapat membuat potret utuh tentang penafsiran modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam karyanya, Modern Muslim Koran Interpretation. Sebuah studi yang paling sukses dalam mengungkap kecenderungan tafsir modern dapat dilihat pada karya Iffat. M. Syarkawi, Ittijâhât al-Tafsîr fil ‘Ashril Hadîts. Menurutnya tafsir modern yang disebutnya sebagai tafsir praktis, memiliki tiga kecenderungan utama; (1) sosial kemasyarakatan (ittijâh ijtimâ’iy); (2) tafsir saintifik (ittijâh ‘ilmi); (3) interpretasi filologik dan sastra (ittijâh adabiy). Kategorisasi yang sama juga dilakukan oleh J.J.G. Jansen dalam karyanya, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, dan DR. M. Ibrahim Syarif dalam karyanya, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-
Qur’ân al-Karim fî Mishr.
A.1. Tren Sosial Kemasyarakatan
Problem utama yang dihadapi umat islam di awal abad ini, setelah mengalami kemunduran dan terpecah belah, adalah mengatur siasat untuk melawan dominasi Barat dalam berbagai sektor kehidupan; militer, ekonomi dan budaya. Sudah barang tentu diperlukan cara pandang baru dalam melihat kehidupan. Apa yang dilakukan mufasir modern sebenarnya hanyalah kepanjangan dari karyakarya mufasir klasik. Bedanya, mufasir klasik, seperti dikatakan Iffat, dalam banyak hal sering menggunakan pendekatan filosofis dalam menghadapi tantangan zamannya. Sementara mufasir modern lebih menekankan pada gagasan-gagasan praktis yang langsung menyentuh persoalan umat. Yang patut dikagumi, para mufasir modern berhasil mengkompromikan temuan-temuan mufasir klasik dan mengemasnya dengan baik sehingga tepat dan jitu dalam menyelesaikan masalah. Tema-tema politik, persatuan, ekonomi, dan masalah-masalah sosial lainnya kerap kali ditemukan dalam karya-karya seperti Abduh, Rasyid Ridha, al-Maraghy, Syaltout dan lainnya.
A.2. Penafsiran Saintifik (ittijah ‘ilmy)
Kecenderungan menafsirkan Alquran dengan teori-teori ilmu pengetahuan sebenarnya telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M) akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Pro-kontra tentang tafsir ilmiah selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh klasik dan modern. Selain al-Ghazali, al-Razi, al-Mursi dan AlSuyuthi juga dikelompokkan sebagai
pendukung tafsir ini. Berseberangan dengan mereka, al-Syathibi menentang keras penafsiran model seperti ini. Dalam barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung tafsir ini seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari, Hanafi Ahmad berseberangan dengan tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas Aqqad. A.3. Interpretasi filologik dan sastra (Ittijâh Adaby)
Di awal abad modern, kecenderungan ini sebenarnya telah dimulai oleh penganut tren sosial kemasyarakatan seperti, M. Abduh, Rasyid Ridha dan al-Maraghy. Tetapi usaha mereka baru sebatas mengungkap sekilas retorika Alquran, belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah. Sebab menurut mereka tujuan tafsir adalah mewjudkan hidayah Alquran.
Jelaskan apa yang disebut Secara etimologis, istilah madzahibut tafsir, dengan madzahibu Tafsir. merupakan bentuk susunan idhafah dari kata “madzahib” dan “at-Tafsir”. Kata madzahib adalah bentuk jamak (plural) dari madzhab, yang berarti : aliran pemikiran, pendapat, teori. Sedangkan at-Tafsir secara garis besar adalah hasil pemahaman manusia terhadap al-Qur’an, dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh seorang mufassir. Mengenai pemetaan terhadap kajian madzahibut tafsir ini banyak terjadi perbedaan sehingga beberapa diantara pemetaan dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Berdasarkan periodesasi atau kronologi waktu (klasik, pertengahan, kontemporer) 2. Berdasarkan kecenderungan : (sunni, mu’tazili dan syi’i) 3. Berdasarkan perspektif dan pendekatan yang dipakai : tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir ‘ilmi, tafsir adabi
ijtima’i dll. 4. Berdasarkan perkembangan pemikiran manusia (mitis, ideologis, ilmiah)
Jelaskan bagaimana sejarah Kemunculan Madzahibut Tafsir munculnya madzhab al-Tafsir Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa secara garis besar Madzahibut Tafsir lahir dari adanya keberagaman diversity yang ditemukan dalam produk-produk penafsiran maka kemudian para ulama’ mengelompokkan corak-corak dan kecenderungan penafsiran tersebut dalam madzhab-madzhab seperti yang terjadi pada kajian fiqih. Istilah Madzahibut Tafsir pertama kali digunakan oleh Ignaz Goldziher dalam bukunya, Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung yang diterjemahkan oleh oleh Ali Hasan Abd al-Qadir, menjadi Madzahibu al-Tafsir al-Islami (1955), kemudian diedit oleh Abdul Halim al-Najjar. Sejak saat itu, muncul banyak karya dalam bidang madzahibut tafsir atau sejarah tafsir oleh sarjana-sarajana muslim sendiri, seperti Muhammad Husain al-Dzahabi dengan karyanya al-Tafsir wal Mufassirun (1961), Abu Yaqzan ‘Atiyya al-Jaburi dengan kitabnya Dirasah fi al-Tafsir wa Rijalih (1971) dan Abdul ‘Azhim Ahmad al-Gubasyi dengan karyanya Tarikh al-Tafsir wa Manahij alMufassirin (1977) dan lain sebagainya. Selanjutnya secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa paling tidak ada dua faktor yang melatar belakangi lahirnya madzhahibut tafsir yaitu : Faktor internal (al-’awamil ad-dakhiliyyah) 1. Kondisi objektif teks yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam 2. Kondisi objektif dari kata-kata “kalimat” dalam al-Qur’an yang
memungkinkan ditafsirkan beragam 3. Adanya ambiguitas makna dalam alQur’an, yang disebabkan adanya katakata musytarak (bermakna ganda). Faktor eksternal (al-’awamil al-kharijiyyah) 1. Kondisi subjektif mufassir “sosiokultural-politik”, “perspektif-keahliankeilmuan” 2. Persinggungan dengan peradaban dunia luar “Yunani-Persia-Romawi” 3. Politik & Teologis “relasi kekuasaan”
Jelaskan bagaimana metode sahabat dalam menjaga sunnah nbai
Metode Sahabat dalam Menjaga Sunnah Nabi SAW. 1.
Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis. Seperti :
2.
Kecermatan (selektif) sahabat dalam menerima riwayat.
3. Jaminan akan kesahihan riwayat dan kapasitas pembawanya. 4. Mencari hadis dari perawi lain.
5. Meminta kesaksian selain periwayat. Jelaskan hadits hasan
a. Secara bahasa (etimologi) Kata Hasan ( )ﺣﺴﻦmerupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn ( ُ ا) ْﻟ ُﺤﺴْﻦyang bermakna al-Jamâl ()اﻟﺠﻤﺎل: kecantikan, keindahan. b. Secara Istilah (teriminologi) Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya
mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja. Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih: 1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim asSunan:I/11) 2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ atTurmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah alAhwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
Secara bahasa (etimologi), kata ( ﺢﯿﺤﺼﻟاsehat) adalah antonim dari kata ( ﻢﯿﻘﺴﻟاsakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertianpengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz). Secara istilah (terminologi), maknanya adalah: Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit) Apa maksud kata “Muttafaqun Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih” alaih” Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu al-Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga Jelaskan hadits sahih
ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24)
Jelaskan hadits Marfu’
Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Jelaskan mutawatir
konsep
hadits Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.
Syarat-Syaratnya Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits
mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini :
Jelaskan mutawatir
konsep
Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol / bersepakat untuk dusta. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
hadits Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Syarat-Syaratnya Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini :
Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol / bersepakat untuk dusta. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat
dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Jelaskan apa yang dimaksud israiliyyat
1. Israiliyat Israiliyat adalah kata bentuk jamak dari kata Israiliyah yang merupakan isim yang dinisbat-kan kepada “Israil”, berasal dari bahasa Ibrani yang artinya “Hamba Tuhan”. Dan yang dimaksud dengan Israil dalam konteks ini adalah Nabi Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim As. Ibn Katsir dan lainnya menyebutkan dalil bahwa Ya’qub adalah Israil melalui hadits riwayat Abu Dawud Al-Tayalisi dari Abdullah ibn Abbas ra. yang menyatakan: “Sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi Saw., lalu beliau bertanya kepada mereka : “Tahukah kalian bahwa sesungguhnya Israil itu adalah Nabi Ya’qub As.?” Mereka menjawab: “Benar”. Kemudian Nabi berkata: “Wahai Tuhanku, saksikanlah pengakuan mereka ini!”. Secara terminologis, Ibnu Qayyim menjelaskan, bahwa israiliyah merupakan sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan hadits di mana periwayatannya berkaitan dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak. Dan kenyataannya kisah-kisah tersebut merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang masuk ke Jazirah Arab yang di bawa orang-orang Yahudi. Para ahli tafsir dan hadits juga beberapa cendikiawan muslim lainnya menggunakan istilah tersebut dalam arti yang beragam
Jelaskan dua periwayatan hadits
macam Cara Meriwayatkan Hadis Periwayatan Lafzi - redaksinya - matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul. Sahabat yang paling terkenal meriwayatkan dengan lafzi adalah
Abdullah bin Umar. Periwayatan Maknawi, periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang dari Rasul akan tetapi isi/makna akan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada perubahan sedikitpun.