USAHA UNTUK MENDAPATKAN MUTAN KACANG TANAH TERHADAP PENYAKIT SAPU PADA KACANG TANAH DENGAN JAlAN RADIASI DENGAN SINAR GAMMA DARI C060 *) Oleh :
ABDUL MADJID H)
PENYAKIT SAPU DIINDONESIA a. Hama
Penyakit sapu (heksenbezem _ Belanda; hexenbesen _ Jerman; witches'broom _ Inggris), diberi nama demikian karena gejala_gejala serangannya yang khas yang mengakibatkan banyak terbentuknya ranting_ranting sehingga tanaman yang diserang berbentuk mirip sapu. Dalam literatur penyakit ini sering disebut "krulziekte" (Rutgers, 1913), "krul" _ atau "heksenbezem _ ziekte" (Schwarz, 1927), "bunchy plant disease" (Morwood, 1954). b. Gejala-gejala
Bos (1957) menggambarkan gejala-gejala penyakit sapu pada tanaman kacang tanah don tanaman_tanaman tropika lainnya seperti Crotalaria usaramoensis Bak. f., Crotalaria juncea L., kacanguci (Phaseolus calcaratus Roxb.) , rowai (Phaseolus lunatus L. ), kacang ijo (Phaseolus radiatus L.), kacang panjang (Vigna sinensis Endl.). Secara singkat gejala-gejala serangan penyakit sapu pada tanaman kacang tanah dapat digambarkan sebagai berikut. Tanaman yang diserang penyakit menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang luar biasa. Pada hampir tiap_tiap ketiak daun timbul tunas_tunas yang berdaun kecil_kecil, jauh lebih kecil daripada daun_daun normal. Bakal bunga mengalami perubahan bentuk, yaitu menjadi daun_daun berukuran kecil. Oleh karena menurut Goethe (cit. Dobzhansky, 1959) dalam evolusi tanaman "segala sesuatu berasal dari daun", termasuk bagian_ bagian bunga itu, maka serangan penyakit ini mengakibatkan gejala-gejala serupa kemunduran dalam evolusi tanaman. Apabila ginofora telah terbentuk, maka pada pertumbuhan selanjutnya mengalami perubahan dari positip geotrop menjadi negatip geotrop. Dilihat sepintas lalu ginofora itu nampak berbentuk serupa pancing. Tanaman yang telah menunjukkan gejala pada waktu pembungaan, sedikit harapan dapat menghasilkan polong yang berisi. *) Progress Report dikemukokon podo Symposium Rodioisotop yang diselenggorokon Tenogo Atom Nosionol, dilongsungkon di Bondung tonggol 1 _ 2 Agustus 1966. **) Ahli Tumbuh_tumbuhon Tingkot I Deportemen Pertonion. Alomat: Jolon Bandongon 45 F, Bogor. 218
oleh
Badon
Gambar 1 menunjukkan tanaman kacang dengan yang diserang penyakit sapu.
tanah varitas
Gajah
yang sehat dibandingkan
c. Sebab-sebab penyakit Thung (1947) pertama kali mengemukakan bahwa penyakit sapu itu disebabkan oleh virus. Dugaan ini dikuatkan dengan berhasiJnya percobaan penularan penyakit itu secara buatan dengan jalan penyambungan tanaman yang sakit atas tanaman yang sehat. d. Tanaman inang Adapun tanaman_tanaman yang diduga merupakan tanaman inang penyakit sapu ini adalah kacang parang (Canavalia ensiform is DC), Crotalaria spp., ubijalar ( Ipomoea batatas Poir), kacang panjang (Vigna sinensis L.), (cit. Bos, 1957). e. Penular'penyakit Menurut penelitian Bergman (Bergman, 1956) pembawa penyakit ini adalah sejenis Jassidae, yaitu Orosius argentatus (Evans). Serangga ini merupakan pula penular penya_ kit sapu pada alfalfa yang gejala_gejala serangan penyakitnya serupa benar dengan yang telah dikemukakan diatas. (Jones dan Smith, 1953). Jones dan Smith (1953) tidak menemukan bukti_bukti bahwa penyakit sapu pada alfalfa itu dapat ditularkan melalui biji. Hal serupa itu didapat pula oleh penulis pada tanaman kacang tanah.
f. Penyebaran Penyakit ini pertama kali diJaporkan terdapat dibekas Karesidenan Surabaya oleh Rutgers pada tahun 1913 (Rutgers, 1913). Bos (1957) membuat daftar tempat_tempat di_ ketemukannya penyakit sapu tersebut berdasarkan laporan_laporan dari Lembaga Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman di Bogor dari tahun 1914 hingga 1932. Pada jangka waktu tersebut, penyakit sapu dikenal terdapat di Malang, Bangkalan, Kediri, Madiun, Cire_ bon, Indramayu dan Rembang. Pada waktu ini, penyakit sapu itu sudah merupakan penyakit yang biasa terdapat di Jawa. Adapun besarnya serangan berl ai nan di berbagai tempat. Sauer (1953) mengang_ gap bahwa serangan penyakit sapu itu sedikit yaitu hanya mencapai 8%. Penulis ber_ pendapat bahwa pada waktu ini anggapan serupa itu sudah tidak sesuai dengan kenyataan lagi. Penyakit ini makin lama makin meluas dan semakin berat. Disebuah kebun petani di Ciawigebang (Kuningan) pernah diketemukan serangan lebih dari 30% (musim kering 1962) dan di Kebun Percobaan Cimanggu (Bogor) lebih dari 40% (musim kering 1963). Oleh karena 83% dari luas pertanaman kacang tanah Indonesia terdapat di Jawa (Madjid, 1963) yang sudah banyak penyakit sapu itu, maka sudah selayaknyalah apa_ bila perhatian banyak ditujukan terhadap usaha mengatasi penyakit ini. g. Sumber ketahanan terhadap penyakit sapu Menzies (cU. Jones dan Smith,' 1953) menemukan pada alfalfa beberapa tanaman yang lebih toleran terhadap penyakit sapu daripada tanaman_tanaman yang lain. Diduga dengan jalan pengujian sejumlah besar tanaman akan diperoleh tanaman yang tinggi toleransinya. Menurut observasi yang dijalankan oleh penulis atas 200 varitas kacang tanah dari tipe tegak maupun menjalar, tidak nampak adanya ketahanan terhadap penyakit sapu pada sesuatu varitas. Observasi ini diJakukan atas varitas-varitas yang sudah lama di_ anjurkan maupun atas varitas_varitas yang masih merupakan tanaman_tanaman koleksi hasil introduksi. Sauer (1953) mengemukakan, bahwa pengharapan untuk seleksi terhadap ketahanan penyakit sapu untuk beberapa waktu masih kosong. Namun disarankannya penggunaan species liar sebagai sumber ketahanan penyakit itu. Tidak disebutkan species liar mana_ kah yang dapat dipergunakan untuk tujuan tersebut. Berdasarkan hal_hal tersebut diatas, penul is berpendapat bahwa penggunaan cara konvensionil dengan jalan persilangan antar varitas dan seleksi sedikit memberi harapan 219
diperolehnya tanaman yang tahan terhadap penyakit itu. Penggunaan species liar dari Arachis, masih memerlukan mendatangkan b'ahan-bahan tersebut dari luar negeri _ ter_ utama negeri asal kacang tanah Brasil ia _ serta menguji species_species tersebut baik ketahanannya terhadap penyakit sapu maupun kemampuan untuk dipersilangkan dengan kacang tanah. Keadaan_keadaan ini mendorong penulis untuk menempuh jalan menimbul_ kan mutasi ketahanan penyakit itu dengan radiasi terhadap varitas yang sudah dianjur_ kan secara luas. PENGGUNAAN RADIASI DALAM PEMULlAAN KACANG TANAH Kegunaan sinar_X dalam pemuliaan tanaman kacang tanah dikemukanan oleh Gregory (Gregory, 1955). Ditundjukkannya kemungkinan_kemungkinan yang luar biasa yang di_ peroleh dari variabilitas yang dapat ditimbulkan dari radiasi itu. Variabilitas 'yang luar biasa pada fenotipe diketemukan pada populasi X2 dan X3• Adapun dosis tertinggi yang dipergunakan oleh Gregory dalam percobaan ini adalah 18.500 r, sedangkan radiasi dikerjakan atas biji tanaman. Penggunaan sinar_X untuk menimbulkan mutan yang tahan penyakit becak_becak daun (Cercospora personata (B & C) E & F dan Cercospora arachjdjcola Hori) dilapor_ kan oleh Cooper dan Gregory (Cooper dan Gregory 1960) dengan pemilihan tanaman_ tanaman yang telah diradiasikan dengan sinar_X pada dosis 18.500 r don diselenggara_ itu tetap, sedangkan hasil dan kan pada generasi X2 dan X3• Ternyata ketahanan fertilitanya tinggi. Didalam literatur belum pernah didapat penggunaan radiasi dalam usaha menimbulkan mutan yang tahan terhadap penyakit sapu pada kacang tanah. PENELITIAN PENDAHULUAN CARA-CARA PENULARAN PENYAKIT Penelitian pendahuluan ini dikerjakan secara kerjasama dengan Sdr. Rochimat Atmaleksana, semula pegawai pada Lembaga Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman di Bogor. Adapun penelitian ini merupakan perluasan dari penelitian yang pernah di_ kerj akan oleh Thung (Thung, 1947). Adapun perlakuan_perlakuan yang diambil adalah sebagai berikut, 1. Sambungan, yaitu menyambungkan tanaman yang sakit diatas tanaman yang sehat. 2. Pembubuhan cairan (sap) tanaman yang sakit kepada tanaman yang sehat. Tanaman yang sehat dipotong pucuknya, kl. 2 cm dari ujung, dan pada tonggak potongan dibubuhkan kapas kira_kira sebesar 1 butir jagung. Cairan ini dari tanamansakit segera ditetaskan diatas kapas sampai basah benar. 3. Injeksi batang tanaman yang sehat dengan cairan dari tanaman yang sakit dengan kepekatan yang sama seperti pada angka 2 diatas. 4. Perl ukaan daun dengan karborundum dan penularan dengan menggunakan cairan dari tanaman yang sakit pada daun yang telah dilukai itu. 5. Penanaman diatas tanah bekas ditumbuhi tanaman yang sakit. Tanah itu diambil segera sesudah tanaman yang sakit di cabut, dan penanaman dikerjakan pada waktu itu pula. 6. Penanaman dikerjakan pada tanah yang dicampur dengan potongan_potongan dari seluruh bagian tanaman yang sakit. Panjang potongan kl. 3 cm. Tiap_tiap pot ber_ isi kl. 40 9 potongan_potongan itu. Penanaman dijalankan 1 minggu setelah pe_ nguburan potongan_potongan tanaman. 7. Penularan penyakit dengan menggunakan Cuscuta sp. Tanaman yang sakit dijajarkan dengan tanaman yang diuji. Pada kedua tanaman tersebut dililitkan Cuscuta sp. 8. Tanaman pembanding. Perlakuan 220
1, 2, 3, 4 dan 7 dilakukan
setelah
tanaman berumur 2 minggu.
Adapun penularan dengan menggunakan serangga_serangga pengisap daun tidak di_ kerjakan berhubung tidak tersedianya fasilitas untuk penelitian semaeam itu. Varitas kaeang tanah yang dipergunakan adalah Gajah, baik untuk penular penyakit maupun yang menerima penularan penyakit. Biji_biji ditanam didalam pot_pot berbentuk kubus berukuran 20 x 20 x 20 em. Pereobaan menggunakan eorak blok dengan 5 ulang_ an. Tiap perlakuan pada tiap ulangan terdiri dari 2 pot, masing_masing pot berisi 2 tanaman. Dengan demikian tiap perlakuan pada seluruh pereobaan terdiri dari 20 tanaman. Pereobaan disel enggarakan didalam rumah kaea yang tertutup. Adapun hasil dari pereobaan pendahul uan ini adalah sebagai berikut. Pada pereobaan ini penularan dengan menggunakan Cuscuta sp. tidak memberi hasil berhubung kegagalan Cuseuta tersebut untuk hidup pada kaeang tanah. Gejala adanya serangan penyakit sapu, dalam hal ini terbentuknya ginofora yang negatip geotrop, mulai nampak pada tanaman_tanaman yang disambung setelah tanaman berumur 63 hari. atau 40 hari setelah penyambungan. Perlakuan_perlakuan lain tidak menunjukkan kemanfaatan sebagai eara penularan, yaitu tidak menunjukkan gejala serangan penyakit sampai waktu panenan pada umur 105 hari. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan, bahwa: (l) penularan penyakit sapu itu lambat sekali; (2) nampaknya penyakit sapu ini tidak dapat ditularkan dengan sentuhan, tanah dan sisa tanaman yang sakit.
USAHA MENDAPATKAN MUTAN DENGAN RADIASI a.
Bahan dan cara
Kaeang tanah yang dipergunakan adalah varitas Gajah, yaitu suatu varitas yang tinggi keseragamannya dan luas dianjurkan. Biji kaeang tanah itu diradiasikan dengan si nar gamma dari Co 60 dengan dosis sebagai berikut. 1. Pembanding, 3.4. 8. 40.000 5. 7. 6. 15.000 35.000 30.000 20.000 25.000 r r
tak diradiasikan
10. 15. 13. 11. 14. 12. 9. 50.000 45.000 80.000 100.000 90.000 70.000 60.000 r r
2. 10.000 r
Untuk masing_masing dosis dipergunakan biji sebanyak 1 kg (kl. 2000 biji). Radiasi dikerjakan oleh Badan Tenaga Atom Nasional di Jakarta. Dua minggu setelah diradiasikan, biji ditanam didalam pot dan di kebun. Pertanam_ an didalam pot terdiri dari 2 bagian, sebagian untuk observasi morfologi tanaman dan sebagian lagi untuk infeksi terhadap penyakit sapu dengan penyambungan. Masing_ masing perlakuan radiasi pada tiap-tiap bagian tersebut terdiri dari 10 pot, tiap_tiap pot 2 tanaman pada jarak kl. 10 em. Penanaman dikebun dengan jarak 25 x 25 em, untuk tiap perlakuan dipergunakan petak ukuran 1.25 x 9 m, tiap petak berisi 180 tanaman. Penyambungan dikerjakan 2 minggu setelah penanaman. Untuk penyambungan yang eermat, tiap orang memerlukan waktu kl. 5 menit untuk 1 sambungan. Persentase sambungan yang berhasil dirumah kaea kl. 80%, sedangkan dikebun hanya kl. 25% berhubung terik matahari.
221
b.
Hasil
1. Observasi
morfologi tanaman.
BnLbiji yang dirodiosikon podo dosis 60.000 r keotos ternyoto podo perkeeombahan_ nya mengalami kelambatan 7 hari atau lebih dibandingkan dengan pembanding dan biji_ biji dari dosis dibawah dosis_dosis tersebut. Pertumbuhannyapun sangat terhambat. Pada umur 25 hari tanaman berasal dari radiasi diatas 60.000 r sangat pendek (kl. 3 em), daun ti dak mampu berkembang, sedangkan pueuk tanaman berwarna kemerah_merahan. Keadaan ini disusul dengan kematian tanaman itu. Pada dosis 25.000 r sampai 50.000 r daun_daun tonaman kepueat_pueatan, menun_ jukkan terganggunya jumlah chlorofil didalam daun. Pertumbuhan vegetatif tidak normal (gambar 2.). Walaupun pada gambar nampaknyo hasil radiasi Iebih baik daripada pem_ banding, namun kenyataannya besarnya batang dan daun yang terbentuk semakin kecil sejalan dengan dosis yang diberikan. Berhubung dengan banyaknya tanaman yang mati serta sangat buruknya pertumbuhan tanaman dari perlakuan 40.000 r keatas dikebun, maka pada pencatatan beberapa sifat agronomi yang diperl ukan, data yang diambil hanya sampai pada dosis 35.000 r. Adapun hasilnya dapat dilihat pada daftar 1. Daftar
1
BEBERAPA SIFAT AGRONOMI TERPENTING PADA KACANG TANAH YANG DIRADIASIKAN. BANYAKNYA LUBANG TANAMAN 180. DITANAM 15 JUNI 1962. PANEN 3 OKTOBER 1962. 5 134 73 889.9 11 30 7456.1 37994 89.3 1 25000 30000 20000 35000 159 1386.3 124 40 152 32 153 10 6055 86 91 927/7 10000 15000 17.1 17.6 11.4 8.1 15.1 94.7 3.4 125.4 22.4 90.5 20/7 20/7 20/7 15/7 15/7 27/7 15/7 17/7 15/7 28/6 21/6 20/7 20/7 17/7 28/6 23/6 23/6 28/6 28/6 21/6 22/6 23/6 15/7 Sifat agronomi (g) per panen (g) layu tanaman kering per tanaman
-
0
62 24/6
Desis rodiasi
(r)
Depat dilihat, bahwa tanaman yang mendapat radiasi 30.000 r dan 35.000 r terlam_ . bat mulai berbunga dengan 2 hari, dan keserempakan berbunga terlambat 7 hari diban_ dingkan dengan perlakuan dengan dosis lebih rendah dari 30.000 r. Adapun mengenai hasil hijauan dan polong kering nampak jelas sangat berkurang pada dosis 35.000 r. 222
Gambar 2.
"/
. ,
. \ \ \ . t \17 I
0 \
TINGGI
TANAMAN,
l)\ 3 9\ .'.. M , 0g Ll) + . .,tinggi ./ \ \\ f14 \ j0,5 eabang 8'tr'I0I,,Ll)I.1~80INL.14 ~Ii 1,5 t3,5 ,i\10 ~12 I\ /\ \\\+13 ibanyaknya .\.2 {\\\ \\ti\~\Itanaman I7+2,5 A 84
•\ /
\ \
\,
!
"'
I 6
Tr
I ---- _
--+---+.______
..• 6 'u. 6
BANYAKNYA
\\ i
1\ •••••.... ~ 15
\
tinggi
i
\
DAUN
\
r
t17
DAN CABANG
13 t18
\/
PADA UMUR 25 HARI
daun banyaknya .19
tanaman
banyaknya banyaknya
daun cabang
DOSIS
RADIASI (r)
223
2. Penul arun penyakit Penularan penyakit sapu dengan jalan penyambungan di kebun tidak memberi hasil yang memuaskan berhubung kesulitan teknis dalam penyambungan dan rendahnya persentase sambungan yan<J jadi (kl. 25%). Adapun penularan dengan penyambun<Jan di rumahkaca berhasil dengan baik. Pada akhir' percobaan tidak satupun dari tanaman yang di_ sambung yang kalis dari penyakit sapu. Nampak adanya kecenderungan semakin hebat_ nya serangan semakin tinggi dosis yang diberikan. Semua tanaman yang diradiasikan pada 25.000 r atau lebih, lebih awal menunjukkan akibat serangan. c. Pembicaraan dan kesimpulan Kerusakan fisik atau penghambatan pertumbuhan akibat radiasi adalah hal yang biasa, yan<J derajatnya berlainan tergantung pada tanaman dan bahan radiasi. Gordon (1957) berpendapat bahwa gangguan pertumbuhan itu disebabkan oleh akibat radiasi itu ter_ hadap reaksi penting yang terjadi sebelum sintesis auksin dan ADN (asamdeoksiribonuk_ leat). Gangguan itu pada dosis yang tinggi semakin hebat, sehingga tanaman tidak mampu tumbuh lebih lanjut. Dalam percobaan ini dosis itu nampaknya 50.000 r keatas. Berkurangnya bobot polong terbentuk pada tanaman yang diradiasikan, mungkin disebabkan oleh berkurangnya fertil ita tanaman. Patil dan Bora (1961) dengan meng_ gunakan sinar_X menemukan gangguan pembelahan meiosis pada tanaman_tanaman X 1Adapun gangguan yang diderita misal nya terjadinya translokasi timbal balik, inversi terbentuknya kumparan ganda, pemisahan chromosoma yang menyimpang dari kebiasaan bahkan kegagalan sitokinesis didapat pula. Apakah kejadian_kejadian tepat semacam itu terdapat dalam penelitian ini, masih perlu dibuktikan. Walaupun dalam percobaan ini penggunaan radiasi untuk menimbulkan mutant yang tahan penyakit sapu itu "tidak memberi harapan", namun usaha kearah itu musih harus diteruskan, berhubung dalam percobaan ini banyaknya bahan yang dipergunakan sangat terbatas. M7ncari cara penularan buatan yang paling efisien dan praktis merupakan dasar yang memungkinkan memperbesar bahan yan<J diuji ketahanannya itu. Semen tara itu 2 cara yang mungkin dapat ditempuh sebelum didapat cara yang lebih baik lagi, yaitu : 1. penggunaan serangga penular penyakit sapu, Orosjus argentatus (Evans). 2. penularan dial am terbuka, dengan menggunakan tempat yang sedapat mungkin ter_ pencil dari tanaman_tanaman pertanian yang dapat kena tular. Berhubung risiko besar yang harus dihadapi sebagai akibat negatifnya, maka seyo_ gyanya cara kedua ini tidak diambil •• Menilik 25.000 r.
hasil _ hasil
diatas,
dosis
yang
dipergunakan
setinggi_tingginya
adalah
SINGKATAN
Penyakit sapu (Witches'broom) merupakan salah satu penyakit terpenting yang meng_ hal ang i usaha menaikkan produksi kacang tanah. Pada pertanaman kacang tanah di lembaga Penelitian di Bogor, tidak pernah didapat pertanaman yang kalis dari penyakit ini. Penelitian tentang cara penularan buatan, yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaannya pada tanaman_tanaman hasil radiasi (R,), dimulai sejak 15 Nopember 1961. Adapun cara penginfeksian yang didapat efektif dalam percobaan ini ialah penyambungan dari tanaman yang sakit (batang atas) terhadap tanaman_tanaman hasil radiasi (batang bawah). Dalam 3 _ 4 minggu setelah penyambungan, akibat penularan dapat dil ihat. Semua tanaman yang diradiasikan pada 25.000 r atau lebih, lebih awal menunjukkan akibat serangan. Pada akhir percobaan tidak satupun tanaman dari radiasi yang kal is dari serangan. 224
Dalam melanjutkan penelitian ini, penulis berkesimpulan untuk (1) mencari cara yang paling efektif dan murah dalam penularan buatan penyakit itu, (2) menggunakan tanaman yang lebih banyak, (3) radiasi dengan dosis dibawah 25.000 r. DAFTAR PUSTAKA 1. BERGMAN, B.H.H. 1956. Het mozaiek I en de heksenbezemziekte van de aard_ de Jasside noot (Arachjs hypogaea 1.) in West Java en hun vector, Orosjus argentatus (Evans). Tijdschr. Plantenz. 62 : 291 _ 304. 2. BOS, L. 1957. Heksenbezem verschijnselen _ een pathologisch_morfologisch onder_ zoek. Med Landbh., Wageningen 57 (1) : 1 _ 79. 3. COOPER, W. E. dan W. C. GREGORY 1960. Radiation _ induced leafspot resistant mutants in the peanut (Arachjs hypogaea 1. ). Agron. J. 52 : 1 _ 4. 4. DOBZHANSKY, T. 1959. EvoluUon, GeneUcs, and Man. John Wiley & Sons, Inc., N.Y •• 5. GORDON, S. A. 1957. The effects of ionizing radiation on plants: Biochemical and physiological aspects. Quart. Rev. Bio'i. 32 (1) : 3 _ 14. 6. GREGORX, 0 W. C~. 1955 X_ray breeding of peanuts. Agron. J. 47, : 396 _ 399. 7. JONES, 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
F. R. dctn O. F. SMITH Sources of healthier alfalfa. Dalam Year U. S.A. book 01: Agdculture . 1953,1953. MADJID A. 1963'.-Uscrha mempertinggi produksi kacang tanah. Jawatan Pertanian, Bogor. MO RWOO D, R. B. 1954. Peanut di seases. Queensl. Agr. J. 79 : 267 _ 270. PATlL, S. H. dan K. C. BORA 1961. Meiotic Abnormalities induced by X_rays in Arachjshypogaea. Indian J. Genet. 21 : 59 _ 74. RUTGERS, A.A.L. 1913. De krulziekte van kacang tanah (Arachjs hypogaea 1. ). Meded. Inst. Plantenz Buitenzorg. 6. SAUER, G. 1953. Selectie van de aardnoot (Arachjs hypogaea 1. ) op ziek_ teresistensie Landbouw 25 : 265 _ 281 • SCHWARZ, M. B. 1927. Enige ziekten van onbekende aard bij groenbemesters. Korte Meded. Inst. PIantenz. Buitenz. 7. THUNG, LHo 1947. Virusziekten van Arachjs hypogaea. Landbouw 19 (8) :337 _ 347.
225