Herperian I Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer
Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer Herperian Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Vitiligo adalah gangguan depigmentasi idiopatik didapat yang ditandai dengan gambaran makula putih tidak bersisik yang merupakan hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif. Studi kasus ini bertujuan untuk mendiagnosis vitiligo dengan akurat sehingga dapat melakukan penatalaksanaan dengan tepat. Pasien seorang laki-laki berusia 25 tahun mengeluh terdapat perubahan warna pada kedua tangan dan kaki sejak 4 tahun yang lalu yang semakin melebar. Perubahan warna tanpa disertai gatal,nyeri, atau mati rasa. Pada status dermatologis di regio palmar dan plantar terdapat makula hipopigmentasi multipel, ukuran dari milier sampai dengan plakat susunan ireguler sirkumskripta bilateral. Pasien sementara diterapi dengan pemberian tabir surya SPF 30 dan kortikosteroid topikal clobetasol propionate 0,05%.Pada penatalaksanaan vitiligo diperlukan tata cara penegakan diagnosis yang tepat sehingga dapat menyingkirkan berbagai kemungkinan diagnosis yang lain. Sebagai penyakit kulit dengan kompetensi 3A, terapi yang dilakukan pada pelayanan primer yaitu dengan pemberian tabir surya dan kortikosteroid topikal. Kata kunci : kortikosteroid, tabir surya, vitiligo
Vitiligo Treatment in Primary Healthcare Abstract Vitiligo is an idiopathic acquired depigmentation disorder characterized by macular white picture is not scaly, results from selective destruction of melanocytes skin. This case study aims to diagnose vitiligo accurately so as to manage appropriately. A male patient aged 25 years complained there is a change of color on both hands and feet since four years ago is widening. Discoloration without itching, pain or numbness. In the dermatological status in the region of palmar and plantar contained multiple macular hypopigmentation, the size of miliary up with placards sirkumskripta irregular bilateral arrangement. While patients treated with administration of SPF 30 sunscreen and topical corticosteroid clobetasol propionate 0.05%. In the management of vitiligo necessary procedures for the proper diagnosis so as to get rid of the differential diagnosis. As a skin disease with competence 3A, therapy conducted in primary care is the provision of sunscreen and topical corticosteroids. Keywords : corticosteroid, sunscreen, vitiligo Korespondensi: Herperian S.ked, alamat Jl. Kayu Manis Gg. Cendana no. 25 B Bandar Lampung, HP 08981000278, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Sejak zaman dahulu, vitiligo telah dikenal dengan beberapa istilah yakni shwete, kusta, suitra, behak, dan beras.Kata vitiligo sendiri berasal dan bahasa latin, yakni vitellus yang berarti anak sapi, disebabkan karena kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo mulai diperkenalkan oleh Celsus. Ia adalah seorang dokterRomawi pada abad kedua.1,2 Vitiligo adalah gangguan depigmentasi idiopatik didapat yang ditandai dengan gambaran makula putih tidak bersisik, hasildari hancurnya melanosit kulit secara selektif.Insidensi vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan kedua jenis kelamin. Pernah J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|74
dilaporkan bahwa vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan karena masalah kosmetik. Penyakit juga dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut dengan frekuensi tertinggi (50% dari kasus) pada usia 10–30 tahun.3,5-6 Menurut beberapa penelitian, penderita vitiligo memiliki penyakit yang sama pada orangtua, saudara dan anak mereka. Vitiligo juga pernah ditemukan pada kembar identik.Pada penelitian yang adaditemukan terdapatnya hubungan yang signifikan antara vitiligo dengan kenaikan kadar autoantibodi tiroid meskipun mekanisme hubungan ini belum diketahui secara pasti.Walaupun
Herperian I Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer
penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya tetapi beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada seseorang, faktor-faktor tersebut diantaranya: 1) Faktor mekanis, 2) Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A, 3) Faktor emosi/psikis dan 4) Faktor hormonal.2-4,19 Vitiligo merupakan anomali pigmentasi kulit didapat. Kulit vitiligo menunjukan gejala depigmentasi dengan bercak putih yang dibatasi oleh warna kulit normal atau oleh hiperpigmentasi.Pada vitiligo ditemukan makula dengan gambaran warna seperti kapur atau putih pucat dengan tepi yang tajam.Vitiligo adalah kelainan kulit akibat gangguan pigmentasi dengan gambaran berupa bercak-bercak putih yang berbatas tegas.9,22 Tangan, pergelangan tangan, lutut, leherdan daerah sekitar lubang (misalnya mulut) merupakan daerah-daerah yang sering ditemukan vitiligo.Kadang dapat juga ditemukan gambaran rambut yang memutih atau uban prematur. Gambaran rambut putih pada vitiligo, dianalogikan dengan makula putih disebut dengan poliosis.Berdasarkan lokasi dan distribusinya, Nordlundmembagi vitiligo menjadi: 1) Tipe lokalisata, yang terdiri atas bentuk fokal, bentuk segmental dan bentuk mukosa, 2) Tipe generalisata yaitutipe yang paling sering terjadi, dikarakteristikkan dengan distribusi makula depigmentasiyang luas, seringkali simetris, yang terdiri atas bentuk akrofasial berupa lesi terdàpat pada bagian distal ekstremitas dan muka, bentuk vulgaris berupalesi tersebar tanpa pola khusus dan bentuk mixed berupa lesi campuran segmental dan vulgaris atau akrofasial dan 3) Tipe universalis yaitu lesi yang luas meliputi seluruh atau hampir seluruh tubuh.3,5-,7,18 Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik dan pemeriksaan lampu Wood. Lampu Wood bermanfaat dalam menegakkan diagnosis vitiligo dan membedakannya dari pitiriasis alba dan hipopigmentasi pasca inflamasi.25 Vitiligo biasanya disertai dengan kelainan atau penyakit autoimun yang mendasari sebelumnya. Penyakit endokrinopati lain yang menyertai biasanya melibatkan disfungsi tiroid, samada hipertiroidisme (Grave’s disease) atau
hipotiroidisme (Hashimoto thyroiditis). Vitiligo biasanya mendahului onset penyakit disfungsi tiroid ini.13
Gambar 1. Gambaran Lokasi Predileksi Vitiligo
2
Kasus Pasien datang dengan keluhan terdapat perubahan warna kulit menjadi putih pada tangan dan kaki sejak 4 tahun yang lalu. Perubahan warna kulit awalnya disadari oleh pasien hanya sebesar biji jagung pada ujung jari tengah kedua tangan yang makin lama makin luas dan menyebar ke seluruh tangan dan kaki. Perubahan warna tidak disertai gatal, nyeri, atau mati rasa. Pasien pernah berobat ke Rumah Sakit Abdoel Moeloek (RSAM) 2tahun yang lalu diberikan obat kapsul diminum 1 kali sehari, 2 buah krim yang digunakan 2 kali sehari. Setelah mengkonsumsi obat tersebut, pasien merasa lebih baik, namun tidak melanjutkan pengobatannya. Menurut anamnesis, pasien sehari-hari bekerja di ladang dan sering terpapar dengan obat-obatan pembasmi hama pada daerah tangan dan kakinya. Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran composmentis, gizi baik, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi92x/menit reguler, isi dan tegangan cukup, pernapasan 17x/ menit, suhu 36,5ᵒC. Pada status dermatologis diregio palmar dan plantar, terdapat makula hipopigmentasi multipel, ukuran dari milier sampai dengan plakat, susunan ireguler sirkumskripta bilateral. Diagnosis pada pasien ini adalah vitiligo generalisata. Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah tabir surya SPF 30 dan kortikosteroid topikal clobetasol propionate 0,05%.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|75
Herperian I Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer
Pembahasan Pasien datang dengan keluhan perubahan warna kulit menjadi putih pada tangan dan kaki sejak 4 tahun yang lalu. Perubahan warna kulit awalnya disadari oleh pasien hanya sebesar biji jagung pada ujung jari tengah kedua tangan yang makin lama makin luas dan menyebar ke seluruh tangan lalu ke kaki. Perubahan warna tidak disertai gatal, nyeri, atau mati rasa. Pada regio palmar dan plantar terdapat makula hipopigmentasi multipel, ukuran dari milier sampai dengan plakat, susunan ireguler sirkumskripta bilateral. Diagnosis vitiligo ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisikdan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan lampu Wood. Padapasien ini sudah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sesuai untuk vitiligo. Kelainan kulit pada vitiligo juga dapat ditemukan pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Pada pemeriksaan ini, terlihat hilangnya melanositdan melanosom pada keratinosit juga terdapat perubahan dalam keratinosit yaituspongiosis, eksositosis, basilarvacuopathy, dan apoptosis. Beberapa penulis menjumpai infiltrat limfositik di epidermis.3 Pada pasien ini didiagnosis banding dengan pitiriasis alba, pitiriasis versikolor, leukoderma, dan morbus hansen. Pada pitiriasis alba, lesi berukuran kecil, tepi tidak berbatas tegas, dan warna tidak terlalu putih. Tidak ada penyebab spesifik untuk pitiriasis alba, namun, beberapa penelitian menjelaskan ada beberapa penyebab untuk pitiriasis alba.Pada pitiriasis versikolor dapat ditemukan sisik halus dengan warna fluoresensi kuning kehijauan dibawah lampu Wood dan hasil pemeriksaanKOH positif.Pitiriasis versikolor ini mengenai muka, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha dan lipatan paha.Kelainan kulit ini mempunyai pola dermatitis yang paling mencolok. Gejala penyakit ini ditandai dengan terjadi eritema dan skuama yang biasanya mendahului pembentukan hipopigmentasi.14,23,24 Leukoderma yang diakibatkan oleh bahan kimia seperti riwayat paparan fenolikgermisida merupakan diagnosis banding yang sulit karena tidak ditemukan melanosit dengan mikroskop elektron sama seperti pada vitiligo. Pada leukoderma pasca inflamasi terdapat J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|76
gambaran makula tidak terlalu putih yang biasanya diakibatkan oleh riwayat psoriasis atau eksim pada daerah makula yang sama. Sedangkan morbus hansen tipe pausi basiler(PB) biasanya terjadi di daerah endemis, warna lesi hipopigmentasi tidak terlalu putih dan biasanya terdapat makula anestesi yang tidak berbatas tegas.3 Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, kompetensi dokter pelayanan primer dalam menangani vitiligo hanya sampai level 3A yaitu mampu mendiagnosis dan memberikan tatalaksana awal serta merujuk pada pelayanan sekunder.Tatalaksana yang dapat diberikan dalam pelayanan primer, yaitu: 1) Edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien, 2) Memberi informasi untuk menghindari pemicu yang dapat memperparah keadaan seperti terpapar cahaya matahari dan trauma, 3) Memberikan kortikosteroid topikal yang berguna untuk usaha mengadakan repigmentasi dan 3) Merujuk ke pelayanan sekunder, dalam hal ini adalah dokter spesialis kulit dan kelamin.
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Vitiligo
2
Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir surya dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan mudah, serta dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi lainnya. Kortikosteroid topikal juga dapat menjadi terapi inisial untuk vitiligo.Seluruh pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, tidak semua terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita. Berikut terapi yang dapat diberikan pada pasien vitiligo antara lain: 1) Tabir surya yaitu sunscreen atau tabir surya mencegah paparan sinar matahari berlebih pada kulit. Hal ini dapat
Herperian I Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer
mengurangi kerusakan akibat sinar matahari dan dapat mencegah terjadinya fenomena Koebner, 2) Kosmetik yaitu banyak penderita vitiligo, terutama jenis vitiligo fokal, menggunakan covermask kosmetik sebagai pilihan terapi, 3) Repigmentasi yaitu berbagai cara yang dapat dilakukan untuk proses repigmentasi adalah sebagai berikut:3,9,10,12, 20,21 1. Glukokortikoid Topikal Sebagai awal pengobatan, terapi diberikan secara intermiten (4 minggu pemakaian, 2 minggu tidak). Glukokortikoid topikal kelas I cukup praktis, sederhana, dan aman untuk pemberian pada makula tunggal atau multipel. Jika dalam 2 bulan tidak ada respon, mungkin saja terapi tidak berjalan efektif. Perlu dilakukan pemantauan tanda-tanda awal atrofi akibat penggunaan kortikostreoid. 2. Topikal inhibitor kalsineurin Topikal inhibitor kalsineurin seperti tacrolimusdan pimecrolimus efektif untuk repigmentasi vitiligo tetapi hanya didaerah yang terpapar sinar matahari. 3. Topikal fotokemoterapi Topikal fotokemoterapimenggunakan topikal8-methoxypsoralen(8-MOP) dan UVA. Prosedur ini diindikasikan untuk makula berukuran kecil. Hampir sama dengan psoralen oral, mungkin diperlukan minimal 15 kali terapi untuk inisiasi respon dan minimal 100 kali terapi untuk menyelesaikannya. 4. Fotokemoterapi sistemik Fotokemoterapi sistemik dengan PUVA oral lebih praktis digunakan untuk vitiligo yang luas.3 5. UVB Narrow-band (311nm) Efektivitas terapi ini hampir sama dengan PUVA, namun tidak memerlukan psoralen. UVB adalah terapi pilihan untuk anak kurang dari 6 tahun. 6. Laser Excimer (308nm) Terapi ini cukup efektif. Namun, sama seperti pada PUVA, proses repigmentasi tergolong lambat. Terapi jenis ini sangat efektif untuk vitiligo yang terdapat di wajah. 7. Immunomudulator sistemik Tingkat keberhasilannya pada lebih dari 90% orang dewasa dan lebih dari 65% anak-anak dengan vitiligo adalah dari tingkatan baik sampai sangat baik. 8. Topikal analog Vitamin D
Analog vitamin D, khususnya calcipotriol, telah digunakan untuk terapi tunggal atau dikombinasikan dengan topikal steroid pada manajemen vitiligo. 9. Topikal 5-Fluorouracil Topikal 5-Fluorouracil digunakan untuk menginduksi repigmentasi pada lesi vitiligo dengan cara memperbesar stimulasi migrasi dari melanosit folikuler ke epidermis selama proses epitelisasi. 10. Minigrafting Teknik pembedahan dengan metode minigrafting cukup efektif untuk mengatasi vitiligo dengan makula segmental yang stabil dan sulit diatasi. 11. Depigmentasi Tujuan dari depigmentasi adalah kesatuanwarna kulit pada pasien dengan vitiligo yang luas atau pasien dengan terapi PUVA yang gagal, yang tidak dapat menggunakan PUVA, atau pasien yang menolak pilihan terapi PUVA. Terapi biasanya dianggap selesai setelah 10 bulan pemberian.Efek samping termasuk dermatitis kontak, okronosis eksogen, dan leukomelanoderma en confetti.Biasanya dibutuhkan waktu 9-12 bulan agar terjadi depigmentasi.3,9,15,16 Simpulan Vitiligo memiliki kesamaan karakteristik dengan penyakit kulit lain sebagai diagnosis banding. Oleh karena itu, diperlukan tata cara penegakan diagnosis yang tepat sehingga dapat menyingkirkan berbagai diagnosis banding tersebut. Sebagai penyakit kulit dengan kompetensi 3A, terapi yang dilakukan pada pelayanan primer yaitu memberikan edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien, memberi informasi untuk menghindari pemicu yang dapat memperparah keadaan seperti terpapar cahaya matahari dan trauma, memberikan tabir surya dan kortikosteroid topikal yang berguna untuk usaha mengadakan repigmentasi, dan merujuk ke pelayanan sekunder, dalam hal ini adalah dokter spesialis kulit dan kelamin.Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi prognosisnya masih meragukan dan tergantung pada kesabaran dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% pasien tetapi hasilnya jarang memuaskan secara kosmetik.2,17 J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|77
Herperian I Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer
14. Daftar Pustaka 1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2007. 2. Wolff K, Johnson RA.Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinicaldermatology. Edisi ke-6. New York: McGraw Hill;2009. hlm. 335-41. 3. Rook A, Wilkinson DS, Ebling FJG, editors. Textbook of dermatology.Edisi ke-6. Malden: Blackwell Science; 1998. hlm. 1802-5. 4. Gawkrodger DJ. Dermatology anilustrated colour text. Edisi ke-3. London: Churchill Livingstone; 2003. hlm. 70. 5. Boissy RE, Manga P. On the etiology of contact/occupational vitiligo. Pigment Cell Res. 2004;17:208–14. 6. Moretti S. Vitiligo [internet]. USA:Orphanet Encyclopedia; 2003 [diakses tanggal 12 Mei 2015]. Tersedia dari:http://www.orpha.net/data/patho/ GB/uk-vitiligo.pdf. 7. Shimizu H. Shimizu's textbook of dermatology. Japan: Hokkaido University Press; 2007. hlm. 9. 8. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ disease of the skin.Edisi ke-10. Philadelpia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 860-2. 9. Coskun B, Saral Y, Turgut D. Topical 0.05% clobetasol propionate versus 1%pimecrolimus ointment in vitiligo.Eur J Dermatol. 2005; 15(2):88-91. 10. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008.hlm. 616-22. 11. Majid I. Vitiligo management: an update. BJMP. 2010; 3(3):332. 12. Habif T. Clinical dermatology: acolor guide to diagnosis and therapy. Edisi ke4. USA: Mosby; 2003. hlm.571-2. 13. Halder RM, Taliaferro SJ. Vitiligo. Dalam: Wolff KG, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’sdermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. hlm. 654-9. J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|78
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21. 22.
23.
24.
25.
26.
Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-7. Australia: Blackshell Publishing Company; 2005. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Dermatology. Edisi ke-2. New York: William Coleman III retains copyright of his original figures in chapter 156; 2008. Taieb, Alain; Mauro, Picardo. Vitiligo [internet]. England: The New England Journal of Medicine. 2009 [diakses tanggal 12 Mei 2015].Tersedia dari: http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/ NEJMcp0804388. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. . Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia; 2005. English JSC.General dermatology: an atlas of diagnosis and management. USA: Department of Dermatology Queen's Medical Centre Nottingham, University Hospitals NHS Trust Nottingham; 2007. Halilovic EK, Prohic A, Begovic B,Kurtovic MO. Association between vitiligo and thyroid autoimmunity.JThyroid Res. 2011. Soepardiman L. Kelainan pigmen. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dankelamin. Edisi ke5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm. 296. Hidayat J. Vitiligo.Cermin Dunia Kedokteran No 117. 1997. SiregarRS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi ke-2. Jakarta:EGC; 2005. Levine N, Levine CC. Dermatology therapy A to Zessential. New York: Springer; 2004.hlm.462. Budimulja U. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Gupta KL, Singhi MK. Wood’s lamp. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2004; 70:131-5 Ikatan Dokter Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2012.