Telaah Buku Judul Buku Penulis Penerbit Tebal
: : : :
Introduction to Phenomenology Robert Sokolowski Cambridge University Press, 2000 vii + 238
What is Phenomenology? Bagaimana memahami fenomenologi? Inilah pertanyaan utama dari buku Introduction to Phenomenology. Robert Sokolowski bahkan menjanjikan pembaca bahwa yang tidak mengenal Edmund Husserl dengan rincian bahasanya yang rumit-rumit pun akan dapat diantar ke pemahaman fenomenologi dengan buku itu. Sebuah janji yang tidak bohong. Konteks fenomenologi adalah filsafat. Apakah filsafat? Bagaimana orang memahami filsafat? Jika hendak dibahasakan secara mudah, filsafat adalah elaborasi relasi saya dengan dunia. Filsafat berada pada rincian aneka kepentingan refleksi pemahaman dunia saya. Dunia di sini bukan semata soal dunia fisik, alam, gunung, sungai, sawah. Melainkan, dunia dalam arti yang luas, mendalam, melimpah. Dunia mencakup segala perkara yang berurusan dengan hidup saya. Filsafat menyoal tentang “manusia,” karena soal manusia adalah soal dunia hidup saya. Filsafat merefleksikan “siapakah aku,” karena wacana tentang aku sebagai manusia yang menyejarah menunjuk langsung kepada dunia hidupku. Dan, demikian bahkan filsafat menggagas tentang Tuhan, karena refleksi Sang Ada absolut mengisi ruang hidupku. Dengan singkat kata, filsafat berupa elaborasi hubungan saya dengan dunia yang saya hidupi. Jika diringkas elaborasi relasi manusia dengan dunia dalam sejarah perkembangan filsafat, akan dijumpai suatu alur yang mengalir. Mula-mula, pada jaman sebelum filsafat (dalam artian umum), manusia memahami dunianya dengan segala peristiwanya dalam mitos-mitos. Hujan, misalnya, merupakan “tangisan dewi.” Penjelasan hujan sebagai suatu tangisan dewi merupakan mitos, sebab penjelasan itu tidak menyentuh halnya. Menurut pemikiran modern, hujan tidak lain merupakan jatuhnya uap air dari udara setelah mencapai titik suhu kenisbian tertentu. Tetapi, harus segera ditambahkan, bahwa mitos bukan mengatakan salah benar suatu penjelasan. Dalam pemahaman kemudian, akan dijumpai bahwa mitos sebenarnya bukanlah dimaksudkan untuk menjelaskan halnya (hujan) atau proses peristiwanya (berupa air turun dari atas). Melainkan, mitos dimaksudkan untuk melukiskan relasi manusia dengan alam, dengan 118
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 1, Maret 2005
dunianya, dengan bahkan realitas yang mengatasi hidupnya. Misalnya, apabila hujan turun berlebihan dan menyebabkan banjir, orang langsung bertanya apa yang dikehendaki dewa terhadap manusia. Atau, banjir dimengerti dalam kaitannya dengan bentuk ungkapan kemarahan dewi/ dewa atas hidup manusia yang dirasa tidak memenuhi ketentuan yang digariskan oleh sang penyelenggara kehidupan. Jadi mitos bukan penjelasan hal atau peristiwa hujannya melainkan elaborasi relasi manusia dengan dunia. Periode awal kehadiran filsafat Yunani ditandai dengan campur baur mentalitas berpikir. Tidak sepenuhnya mitos ditinggalkan. Tetapi, gerakan intelektual yang berusaha menarik garis tegas antara penjelasan mitologis dan ilmiah juga makin menghebat. Apa yang disebut sebagai “ilmiah” dalam periode awal filsafat Yunani jelas berbeda dengan periode modern. Ilmiah dalam Yunani awali berkaitan dengan argumentasi, refleksi, predikasi. Sedangkan, dalam periode modern keilmiahan menunjuk pada metodologi. Apalagi dengan kebangkitan ilmu-ilmu empiris yang mengalir kepada ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pergumulan keilmiahan berarti pergumulan seputar metodologi. Elaborasi filsafat Yunani awali berkisar pada pencarian arché. Arché merupakan terminologi filosofis untuk menyebut prinsip, asal usul. Dengan menemukan arché, orang bisa menjelaskan segala apa yang ada dalam suatu cara yang mengesankan. Misalnya, bagaimana segala yang ada ini hendak dijelaskan? Segala yang ada ini berasal dari air. Airlah prinsip ada. Itu pendapat Thales. Filosof lain akan memiliki pandangan lain, prinsip segala yang ada ialah udara. Ada lagi yang menyebut tanah. Tetapi, juga ada yang berkata ketiga-tiganya, air, udara, dan tanah. Dan seterusnya. Pandangan filsafat Yunani awali – karena menyebut air, udara, dan yang semacamnya – disebut filsafat alam. Maka, para filosof awali adalah para filosof alam. Perkembangan filsafat Yunani mencapai puncak sistematis pada pemikiran Aristoteles. Plato dari sendirinya juga perlu disebut di sini. Tetapi, elaborasi tentang relasi dunia dan manusia ditemukan dalam cara yang mengesankan pada Aristoteles, tanpa mengecilkan peran hebat dari filsafat Plato pula. Bagi Aristoteles relasi manusia dan dunia identik dengan relasi rasio dan realitas. Artinya, pengetahuan manusia tentang dunia adalah pengetahuan rasional tentang realitas. Dalam Aristoteles, untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat, apa yang disebut dengan pengetahuan ialah soal relasi kesesuaian antara apa yang ada dalam akal budi dengan obyek real yang diketahui (di luar akal budi). Plato tidak memikirkan demikian. Kesejatian pengetahuan platonis merujuk dan menunjuk pada Forma atau Idea. Kesejatian maksudnya keuniversalan. Berbeda dengan Aristoteles yang realis, Plato adalah seorang idealis. Kembali kepada Aristoteles. Dalam Aristoteles pengetahuan memiliki makna, jika pengetahuan itu benar, sahih, valid. Dan apa yang dimaksudkan Telaah Buku
119
dengan soal kebenaran, kesahihan, dan validitas ialah soal verifikasi apa yang ada dalam rasio dengan obyek realnya di luar rasio. Jika suatu pengetahuan akal budi benar, itu maksudnya pengetahuan itu sesuai dengan obyek real. Dan, kebalikannya, jika pengetahuan salah, artinya pengetahuan itu tidak sesuai dengan obyeknya. Contoh, Indonesia terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pengetahuan “Indonesia terdiri dari tujuh belas ribu pulau” ini benar hanya apabila memang ada sekian jumlahnya dalam kenyataan. Bila ternyata tidak sampai tujuh belas ribu pulau, berarti pengetahuan itu salah. Dengan demikian kebenaran suatu ilmu pengetahuan – dalam cara berpikir Aristotelian – ialah kebenaran obyektif. Kebenaran obyektif berarti kebenaran yang menunjuk kepada realitas obyeknya. Dalam filsafat Aristotelian, kebenaran obyektif adalah kebenaran universal. Berbeda dengan Plato, kebenaran universal tak pernah menunjuk kepada obyek real. Sebab obyek real hanyalah percikan dari realitas universal, Idea. Gagasan Aristoteles menjadi semacam pondasi metodologi untuk ilmu pengetahuan modern. Maksudnya, ilmu pengetahuan bertumpu pada obyek realnya. Suatu pernyataan ilmiah ditarik dari realitas obyektifnya. Inilah sebabnya seringkali filsafat Aristoteles disebut sebagai filsafat esse. Artinya, filsafat Aristotelian bertolak dari ada, dari realitas, dari segala apa yang ada. Dalam konteks epistemologis, filsafat Aristotelian terus berlangsung sampai Descartes muncul. Descartes adalah pendobrak gaya justifikasi model Aristotelian. Dia tidak bertolak dari obyek, melainkan dari subyek. Apa artinya bertolak dari subyek? Artinya bertolak dari apa yang paling melukiskan subyektivitasnya, yaitu rasio, akal budi, kesadaran diri. Filsafat Descartes sering kali disebut sebagai filsafat kesadaran, semata-mata karena dia melucuti suatu pengetahuan dari dimensi obyektifnya. Pengetahuan itu urusan kesadaran. Urusan apa yang paling menentukan subyektivitas seseorang. Orang mengetahui kapal, misalnya, itu berarti akal budi orang tersebut sedang “menyadari” kapal. Descartes berkata dengan benar, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Kesadaran mendahului ada. Atau, cogito (saya menyadari, berpikir) mendahului sum (realitas ada saya). Filsafat Descartes juga disebut filsafat cogito, filsafat “saya berpikir,” atau dengan kata lain filsafat kesadaran (conscientia). Ergo sum (maka saya ada) lantas mengalir dari kesadaran. Bukan memang realitasnya saya ada, maka saya menyadari. Dalam Descartes, dengan demikian, seluruh elaborasi mengenai ada saya berangkat dari kesadaran. Karena kesadaran memiliki karakter subyektif, maka juga soal pengetahuan benar atau salah sangat berurusan dengan “pembenahan” subyektivitas. Artinya, dalam cara berpikir demikian, obyektivitas (kebenaran yang berkaitan dengan obyeknya) mulai ditinggalkan. Nanti Descartes akan menegaskan bahwa apa yang disebut dengan pengetahuan adalah ingatan sejauh manusia menyadari. Pengetahuan manusia adalah 120
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 1, Maret 2005
“bawaan” sejak lahir. Mengenal atau mengetahui berarti mengingat kembali ide bawaan sejak lahir tersebut. Dikatakan bahwa Descartes mendobrak filsafat Aristoteles, di mana letak pendobrakkannya? Di sini, bahwa sejak Descartes peran rasio makin mengemuka dan menghebat. Maksudnya, akal budi manusia benar-benar menjadi hampir segala-galanya dalam tataran filsafat. Rasionalisme, dalam konteks epistemologis, praktis menunjuk pada filsafat Descartes. Kepastian ilmu pengetahuan bukan lagi perkara korespondensi atau diskrepansi rasio dengan realitas, melainkan perkara kesadaran rasional manusia. Kerja tentang perkara sesuai/tidak sesuai antara akal budi dengan obyek realnya ditinggalkan. Ide tentang subyektivitas atau subyektivisme (kalau itu berurusan dengan paham) berangkat dari filsafat Cartesius (sebutan dalam bahasa Latin untuk Descartes). Rasionalisme Cartesian (Descartes) mengalami puncak elaborasi pada filsafat Immanuel Kant. Dalam Kant, ilmu pengetahuan bukan ingatan (Descartes), bukan pula kesesuaian antara rasio dan realitas (Aristoteles), melainkan sintetis apriori. Artinya, pengetahuan itu ada dalam akal budi sendiri yang memiliki struktur kategoris. Seakan-akan akal budi itu sendiri yang memproduksi pengetahuan. Kant menulis buku critique of pure reason, buku yang menggariskan filsafatnya tentang pengetahuan akal budi murni. Murni artinya tidak tercampur. Tak tercampur apa? Tak tercampur pengalaman. Pengetahuan itu disebut sintetis apriori (sebelum), sebab pengetahuan itu tidak mengandaikan pengalaman. Bagi Kant, realitas itu tertutup. Akal budi kita tidak mungkin menembusnya. Mengenai realitas, Kant membedakan dua hal: realitas dalam dirinya sendiri (thing in itself) dan dalam penampakannya (thing in its appearances). Suatu pengetahuan tentang thing in itself tidak mungkin. Kesadaran kita tertutup sama sekali mengenai suatu realitas dalam dirinya sendiri. Pengetahuan kita hanyalah seputar thing in its appearances. Karena tesis filosofis yang demikian, maka dalam Kant, manusia sesungguhnya “tidak tahu” apa-apa. Maksudnya, bukan ignorant, tapi skema pengetahuan manusia tentang realitas sudah ada dalam akal budinya. Bukunya yang sangat terkenal itu diberi judul critique, bukan karena mengemukakan kritik-kritik melainkan buku itu menjadi semacam diskursus final tuntas tentang pengetahuan manusia. Filsafat Kant membuat krisis metafisika Aristotelian, dan itu berarti juga teologi Kristiani (karena teologi kristen bergerak dari model berpikir Aristotelian). Mengapa? Karena dengan Kant esse atau realitas seakan tidak diperlukan lagi. Pengetahuan sudah tercakup dalam akal budi manusia sedemikian rupa. Critique of pure reason menisbikan pengalaman akan realitas. Padahal Thomas Aquinas, misalnya, kalau memberi kuliah tentang pembuktian eksistensi Tuhan berangkat dari pengalaman akan realitas. Umpamanya dalam jalan pertama bukti eksistensi Tuhan, Aquinas menyebut pengalaman bahwa segala apa yang ada ini bergerak. Nah, gila bukan itu filsafat Kantian. Telaah Buku
121
Ia benar-benar membuntu secara telak diskursus tentang Tuhan dari pengalaman! Ilmu-ilmu empiris memiliki jalur yang lain lagi. Natural scientists menggagas keilmiahan dalam suatu cara yang baru sama sekali. Keilmiahan berurusan dengan metodologi. Metodologi ilmiah bagi para ilmuwan ilmuilmu alam berarti metodologi penelitian yang memiliki komponen karakteristik: experimental, kalkulatif, matematis. Segala apa yang tidak bisa dihitung, dikalkulasi, distatistikkan itu omong kosong belaka. Cuma ilusi. Para punggawa ilmu-ilmu empiris tidak main-main. Sebab, memang siapakah yang dapat membuktikan bahwa dalil-dalil matematis tidak abadi. Tidak ada yang dapat melampoi kepastian kebenaran matematis. Gaya berpikir yang mengedepankan cara-cara penghitungan semacam ini – dalam perkembangan filsafat selanjutnya – disebut positivisme. Artinya, sebagaimana dimaksudkan dalam terminologinya (ponere-posui-positus), sesuatu itu disebut sahih, valid, benar kalau bisa “diletakkan”. Maksudnya, sesuatu itu meyakinkan bila dapat dihitung, dikalkulasi, dieksperimentasikan. Auguste Comte adalah pendekar positivisme untuk bidang ilmu sosial, yang kemudian akan dikenal dengan ilmu sosiologi. Warisan positivisme Comte diteruskan oleh pada ahli-ahli ilmu sosial yang hampir semuanya meninggalkan cara-cara berpikir yang spekulatif, bawaan semangat Abad Pertengahan. Comte di sosiologi. Di bidang psikologi, model-model eksperimentasi dengan hitungan-hitungan prediktif juga sangat dominan. Dalam ilmu psikologi, gaya berpikir yang semacam itu lantas pada awal abad ke-dua puluh-an disebut psikologisme. Positivisme dalam ilmu psikologi menjadi puncak “kejayaan” perkembangan ilmu-ilmu humanities. Tetapi, seorang ahli matematika yang sangat tersohor justru gelisah. Gelisah oleh pertanyaan benarkah sebuah ilmu pengetahuan itu baru meyakinkan kalau sudah menunjukkan hitungan-hitungan matematis yang sahih dan valid? Tidakkah, bila demikian halnya, kebenaran itu lantas seakan hanya menjadi hak paten dari satu dua orang yang bernama ilmuwan belaka? Benarkah kebenaran itu hanya milik dari segelintir orang yang tahu statistik, hitungan aritmatika, geometri? Sang ahli matematika yang tersohor itu ialah Edmund Husserl. Husserlah pencetus fenomenologi, meski Brentano juga mengatakan terlebih dahulu hal yang kurang lebih sama. Apakah fenomenologi? Fenomenologi itu filsafat, ilmu pengetahuan, sekaligus metodologi. Fenomenologi membuka horison cara berpikir baru (filsafat), sekaligus menggebrak kesombongan para scientists positivistik dan menjadi sekaligus metode untuk meraih sebuah kebenaran-kebenaran yang mencengangkan. Dalam wacana introduktif semacam inilah buku dari Robert Sokolowski, Introduction to Phenomenology menemukan sumbangsihnya yang sangat 122
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 1, Maret 2005
besar. Buku ini mengantar kepada pemahaman-pemahaman awal yang rinci – meski terkadang njlimet – tentang segala hal yang diperlukan untuk mengenal fenomenologi. FENOMENOLOGI memiliki tema-tema sentral yang sangat penting. Ide tentang lifeworld menjadi salah satunya. Lifeworld yang dapat diterjemahkan dunia-hidup-keseharian memaksudkan kurang lebih persis dengan apa yang disebut oleh Alfred Schutz sebagai everyday life. Artinya, keseluruhan dari ruang lingkup hidup saya, relasi-relasi saya, peristiwaperistiwa di sekitar saya, aneka informasi yang mengerumuni saya, budaya dengan segala cetusannya sehari-hari yang menjadi konteks hidup saya. Lifeworld juga memiliki makna aktualitas. Lifeworld tidak hanya berkaitan dengan orientasi masa lalu atau masa depan, tetapi terutama masa sekarang. Dari “horison” ke “fenomenon.” Dari cakrawala, orientasi, wacana kepada peristiwa. Inilah juga yang disumbang oleh fenomenologi. Cinta, misalnya. Dalam konteks filsafat fenomenologi, bukan lagi sebuah wacana, orientasi. Melainkan fenomen, peristiwa. Seseorang pasti belum merasa sebagai manusia jika belum masuk dalam “peristiwa” cinta. Hal yang sama juga demikian untuk memahami wahyu. Wahyu itu bukan wacana. Bukan pula suatu orientasi, melainkan suatu peristiwa. Tuhan menghadirkan dirinya. Tinggal di antara kita. Dengan demikian, lebih dari sekedar berkaitan dengan dogma-dogma kebenaran iman, wahyu adalah peristiwa Tuhan yang memasuki lifeworld saya. Hampir-hampir dapat dikatakan bahwa penghayatan iman yang sejati ialah apabila saya menggarap lifeworld saya karena Tuhan hadir dan menjadi bagian dari peristiwa hidup saya. Mengenai fenomenologi, what is not? Yang sudah jelas, fenomenologi kontra positivisme dan psikologisme. Dua paham yang disebut menandai sebuah wacana ilmu pengetahuan yang mengandalkan eksperimentasi, kalkulasi, dan statistik. Selain itu, fenomenologi juga menembus kebuntuan filsafat Kantian untuk sampai bisa mengenal thing. Fenemonologi memiliki adagium revolusioner back to the thing itself. Artinya, kesadaran kita adalah kesadaran yang merujuk (intensional) kepada thing, kepada realitas. Fenomenologi menyibak kemandegan pengenalan oleh pengalaman yang telah dinisbikan oleh Kant. Selain itu, fenomenologi juga bukan idealisme. Idealisme menggagas realitas dalam ketunggalan, keseluruhan, keuniversalan. Realitas dapat diringkas dalam idea, dalam apa yang seorang idealis memaksudkannya sebagai idea. Fenomenologi jauh dari pemaknaan idealis. Fenomenologi bukan formalisme. Artinya fenomenologi bukan suatu rincian pemikiran yang memiliki kategori-kategori formal, ketat, rigid. Formalisme berkaitan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial yang memiliki target-target formal menggariskan metodologi sah, sahih, obyektif (dalam Telaah Buku
123
kacamata tuntutan ilmu mereka). Fenomonologi bukan bagian dari ilmu sosial. Keketatan pendekatannya mengatasi batas-batas apa yang disebut sebagai sah, sahih, valid dalam konteks ilmu sosial. Fenomenologi tidak memiliki ambisi formal apa pun. Fenomenologi bukan pula realisme. Realisme konteks epistemologis memiliki akar pandangan dari Aristoteles. Dalam filsafat Aristotelian, suatu pengetahuan memiliki pondasi kesesuaian/ketidaksesuaian dengan obyek. Artinya, sebuah pengetahuan pasti berurusan dengan justifikasi, pembuktian, pembenaran validitas. Realisme menggagas bahwa setiap pembenaran berarti obyektivasi. Dengan demikian, soal validitas tidak lain dan tidak bukan adalah soal korespondensi/diskrepansi apa yang saya ketahui dalam akal budi dengan obyek/realitas dari yang saya ketahui tersebut. Fenomenologi bukan realisme, karena realisme memiliki keterkaitan dengan obyektivisme. Obyektivisme jauh dari apa yang disebut sebagai pemaknaan fenomenologi. Alasannya: obyektivisme merupakan paham yang memiliki ambisi universalisme suatu pengertian tentang realitas yang – dalam fenomenologi – sangat tidak bisa diandaikan. Fenomenologi lantas dekat dengan apa? Fenomenologi dekat sekali dengan eksistensialisme. Fenomenologi malahan menggarap dunia eksistensi manusia. Fenomenologi adalah soal pengertian yang mendalam tentang subyektivitas pengertian tentang dunia. Relevansi fenomenologi dapat disebut beberapa di bawah ini, misalnya: 1- The sense of actual time. Makna aktualitas time (jaman). Adalah Konsili Vatikan yang menjadi cetusan paling gamblang dari relevansi fenomenologi. Ide tentang “membaca tanda-tanda jaman (the signs of the time)” merupakan ungkapan filosofis yang merujuk pada fenomenologi. Time bukan lagi dipikirkan dalam konteks kosmologis (sebagai semata bentuk perubahan-perubahan fisik), pun bukan dalam konteks metafisis (sebagai suatu aktualitas esse). Melainkan time tampil sebagai suatu pemaknaan aneka peristiwa, aneka fenomen yang menjadi everyday life. Hidup keseharian adalah bahasa yang mudah dicerna dari apa yang disebut lifeworld. Yang dimaksud dengan everyday life bukanlah acara atau kesibukan personal harian kita, melainkan segenap peristiwa yang menjadi gelombang, gerak, emosi dari keseluruhan hidup kita pada jaman ini. 2- Berkaitan dengan pemaknaan intersubyektivitas. Gagasan intersubyektivitas menunjuk pada pandangan yang membuat urusan subyek mengemuka. Intersubyektivitas adalah kekuatan. Bukan jargon kebersamaan. Dalam makna kekuatan kebersamaan, dicakup aneka kepentingan subyek yang mengatasi segala upaya obyektivifikasi. Artinya, setelah intersubyektivitas menyusul apa yang disebut sebagai komunikasi intersubyektif. Komunikasi intersubyektif merupakan ciri khas komunitas. Komunikasi intersubyektif – dalam 124
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 1, Maret 2005
3-
Habermas – akan dipahami sebagai lawan dari suatu bentuk komunikasi kepentingan yang digagas oleh Max Weber. Komunikasi kepentingan mendasarkan komunikasi dalam konteks-konteks wilayah kepentingan bersama. Komunikasi kepentingan memiliki tujuan. Maka, sering kali komunikasi semacam ini juga disebut “komunikasi kepentingan tujuan.” Gagasan ini berasal dari wilayah ilmu-ilmu sosial. Weber merupakan salah satu pendekarnya. Dalam konteks ilmu sosial, komukasi itu mesti memiliki karakter efektif. Efektivitas suatu bentuk komunikasi masyarakat komuniter lantas sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat tersebut mampu menjaga komunikasi. Rahmat sebagai suatu fenomen (peristiwa), dan bukan sekedar horison (orientasi). Dalam teologi, pengertian rahmat sangat jelas. Tapi umumnya kabur bagi pengalaman konkret manusia. Fenomenologi menajamkan sebuah refleksi tentang rahmat. Rahmat adalah peristiwa hidup. Artinya, segala yang menjadi sebuah pemahaman teologis tentang anugerah Tuhan itu nyata, konkret dan ambil bagian dalam peristiwa sehari-hari hidup manusia. Itulah sebabnya, evangelisasi (pewartaan Injil) jika tanpa perjuangan keadilan menjadi tidak bermakna. Sebab, fenomen ketertindasan manusia tidak bisa direkonsiliasikan dengan peristiwa rahmat yang dianugerahkan dan dikehendaki Tuhan.
Belajar fenomenologi bukan saja belajar filsafat, melainkan belajar tentang kehidupan itu sendiri. Ketika hidup disimak dengan sangat detil dan teliti, akan tersibak kebenaran-kebenaran yang mengejutkan dan mencengangkan. Dalam arti inilah fenomenologi menjadi sebuah keniscayaan model pencarian manusia akan kebenaran hidup dan dirinya. Robert Sokolowski dengan Introduction to Phenomenology dapat menjadi teman pencarian itu.
Armada Riyanto
Telaah Buku
125