Telaah Buku Judul Buku Penulis Tebal Ukuran Penerbit Tahun
: : : : : :
Falsafah hidup Jawa Suwardi Endraswara VII + 268 halaman 15 x 21 cm Penerbit Cakrawala; Tangerang 2003
Suwardi Endraswara ialah seorang yang mempelajari sastra dan budaya Jawa di IKIP Jogjakarta dan di Fakultas Budaya Universitas Gajah Mada (UGM). Ia menulis Buku Pinter Budaya Jawa (diterbitkan oleh Gelombang Pasang. Perum Pertanian, Yogyakarta. Cetakan Pertama 2005). Dalam buku itu diuraikan secara singkat segala aspek Budaya Jawa dengan memakai sumber naskah asli sastra Jawa. Saya tertarik akan buku itu karena telah memberi pengetahuan dan gambaran tentang budaya Jawa secara lebih utuh dengan sumbernya dari naskah asli sastra dan budaya Jawa. Ternyata sebelumnya, ia telah menulis buku Falsafah hidup Jawa dimana diungkapkan segala alam pikiran Jawa. Saya tertarik, karena judulnya Falsafah hidup Jawa. Saya ingin mengetahui bagaimanakah orang Jawa berfilsafat, karenanya saya membaca buku ini. Namun yang terungkap dan tertulis hanyalah segala aspek kehidupan Jawa dengan uraian dari penulis Suwardi Endraswara. Dapatkah kita temukan suatu filsafat? Marilah kita telusuri. Penulis Suwardi Endraswara memang telah menjelaskan bedanya Filsafat Jawa dengan Filsafat dalam artian Yunani untuk memperjelas dan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman perlu diketengahkan esensi filsafat pada umumnya dan filsafat Jawa pada khususnya. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud Kebijaksanaan adalah taraf akhir dalam suatu pencarian. Filsafat ialah cabang ilmu pengetahuan yang ingin menerangkan tentang semua yang ada atau yang dapat ada menurut sebab musabab yang paling akhir (Suwardi Endraswara. 2003, hlm 46). Perlu saya tambahkan bahwa para filsuf Yunani melakukan pencarian ini menggunakan akal budi bertitik tolak dari suatu hal yang pasti dan ditelusuri persoalannya melalui pemikiran logis yang ketat, sedangkan Telaah Buku
187
filsafat Jawa menurut Suwardi Endraswara ialah “perbuatan mental yang mentertibkan gejala-gejala dan pengalaman agar menjadi jelas. Olah pikir dan asah budi orang Jawa senantiasa mendambakan keselamatan dan kesejahteraan (memayu hayuning buwana) Manifestasi dari proses berpikir ini tampak pada pandangan hidup manusia Jawa”. “Istilah pandangan hidup mempunyai arti yang kurang lebih sama” (ibidem). Jadi orang jawa berfilsafat bukan untuk mencari sebab musabab terdalam menerangkan suatu soal melalui penelusuran akal budi yang logis, tetapi menyelaraskan pengalaman hidup untuk mendapatkan kesejahteraan hidup. Buku Falsafah hidup Jawa berisi banyak hal tentang kehidupan Jawa, masing-masing menjadi pokok pembahasan yang sendiri-sendiri sebagai pengetahuan yang terpisah-pisah. Dapatkah kita temukan suatu pola pemikiran? Ada titik tolak yang dipakai Suwardi Endraswara. Ia mulai menyebut beberapa ciri budaya Jawa yang menurut saya merupakan pola pikir khas Budaya Jawa. 1.
Budaya Othak-athik mathuk Orang Jawa suka menerangkan sesuatu dengan rasa fantasi dan nalar mereka-reka kata-kata dan simbol sehingga ditemukan arti yang pas, cocok. Ump: hiasan tebu diartikan Antebing Kalbu, Kemantapan Hati. Hiasan pesta perkawinan, dihiasi batang tebu diberi arti othak athik mathuk. Teb - mantep; Bu - kalbu. Urutan huruf Jawa Ha Na Ca Ra Ka ditemukan arti : Ada sesuatu (hana), Cipta - rasa - karsa (ca - ra - ka) Datasawala: dzat yang tak dapat salah. Tidak ada logika ketat cuma kepuasan menemukan arti yang pas dan sesuai dari kata dan data yang ada, serta isi hati si pemikir Jawa.
2.
Wong Jawa Nggone Semu. Artinya, ungkapan orang Jawa tidak polos mengungkapkan apa adanya. Semuanya diungkapkan dalam bentuk tersamar, semuanya lalu menjadi ungkapan simbolis hanya yang bisa menguak simbol itu akan menemukan kebenarannya. Namun pihak yang bersangkutan sudah saling tahu simbolisme kata dan tingkah laku. Segala budaya semu itu untuk memberi rasa enak hati kepada sesama. Dalam budaya Jawa semakin tinggi derajat martabat orang Jawa semakin dia tanggap akan semu, dan semakin dalam kita mengungkapkan isi hati kita dalam simbolisme semu. Seorang raja harus punya nalar dan rasa untuk tanggap kepada ungkapan semu yang paling halus (tanggap ing sasmita). Berkontak social dalam budaya semu membutuhkan ketajaman nalar dan rasa berpikir intuitif bukan diskursif.
188
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
3.
Karakteristik budaya Jawa yang lain ialah: Orang Jawa mendasarkan tingkah laku hidup mereka pada prinsip cocok dan ngelmu titen. Namun di sini Suwandi Endraswara tidak bermaksud memperhatikan dan mengamati hal sehari-hari (titen) lalu diingat mana yang tepat (cocok) untuk hidup, namun dengan cocog dan titen dia- memaksudkan ungkapan yang tepat sebagai pegangan hidup hasil dari pengamatan para leluhur yang terdapat dalam buku-buku primbon. Buku primbon memuat petunjuk untuk banyak hal, Ump: hari baik untuk Nikah, untuk mendirikan rumah, dsb. Dalam primbon-primbon diketemukan nilai bilangan diterapkan pada hari dan hari pasaran Jawa (5 hari) sebagai landasan untuk menentukan baik buruknya hari. Dan keputusan hitungan ini dianggap sakral oleh orang Jawa. Primbon merupakan “Kitab kecil” yang menjadi pedoman langkah hidup orang Jawa (Suwardi Endraswara, 2003, him 27) Dalam menerapkan petunjuk Primbon orang Jawa juga menjalani: Meditasi, mengurangi kecenderungan hawa nafsu, bertapa dsb yang disebut nglakoni agar mendapat petunjuk ghaib dalam bentuk wangsit dan pulung. Nglakoni ini kadang-kadang dibantu oleh guru spiritual, dengan ini tingkah laku Jawa memasuki bidang sakral. Prinsip cocok dan ngelmu titen berdasarkan pada konsep mancapat. Mancapat adalah pembagian ruang dalam empat arah, dan satu di tengah sebagai pusat. Konsep empat, lima ditengah mendasari pembagian hari. Pon, Wage, Kliwon, Legi, Paing dimana Kliwon ada di tengah, juga dalam pewayangan Pandawa terdiri dari Puntadewa, Wrekudhara, Arjuna, Nakula, Sadewa. Arjuna sebagai yang tengah, yang tengah berarti: pusat, hal yang penting. Ini jelas dengan penataan kenegaraan pusat, tempat raja tinggal adalah pusat kekuasaan, dan pemerintahan. Daerah empat arah diluar pusat = Negara Gung disebut negara brang wetan ( timur), brang kidul (selatan), brang kulon (barat) dan brang lor (utara) daerah itu menjadi bawahan dari raja yang berkuasa di daerah Negara Gung. Di sini tampak bahwa unsur tengah selalu merupakan bagian yang terpenting pada pembagian mancapat ini. Selanjutnya Suwardi Endraswara menyebutkan secara terang-terangan sifat-sifat negatif dan positif orang Jawa. Sifat Sifat negatif: Orang Jawa suka mencari menangnya sendiri, orang Jawa tidak senang kalau orang lain mendapat kenikmatan, senang kalau orang lain mendapat rugi, bahkan ingin mencelakakan orang lain (drengki, iri, jail methakil), orang Jawa sering merasa dirinya lebih, meremehkan orang lain maupun mengikuti semaunya sendiri (merkengking, kikrik, dumeh).
Telaah Buku
189
Karena orang Jawa selalu menutupi yang kurang baik/kurang enak dengan semu, maka muncullah kecenderungan ngrasani yaitu membicarakan kejelekan orang lain secara sembunyi-sembunyi. Sifat orang Jawa lainnya yang jelek ialah suka omong jorok, tak senonoh (trocoh), suka gonta ganti kesukaan (dhemenoni), suka selingkuh (lembu peteng), mudah dikobarkan amarahnya (pemasten), tidak dapat dipercaya (nylekuthis), tidak rapi meletakkan barang seenaknya (sledher). Adapun sifat orang Jawa yang baik, Suwandi Endraswara menyebut: sikap suka damai dan sikap toleransi. Toleransi Jawa nampak dalam fakta bahwa banyak aliran dan agama dari luar diterima dan disinkretisasikan dalam budaya Jawa menjadi Hindu-Jawa, Buddha-Jawa, Islam-Jawa dan Cina-Jawa. Seterusnya isi buku ini membicarakan segala aspek kehidupan Jawa : Sikap hidup pria Jawa, wanita Jawa, metafisika Jawa (Tuhan dalam pandangan Jawa), sinkretisme Islam-Jawa, numerology Jawa, Primbon dan kearifan lokal Jawa, etika orang Jawa, Politik dan budaya kekuasaan Jawa, kepemimpinan Jawa, mitologi Jawa, psikologi Jawa, teosofi Jawa, hedonisme Jawa. Masing-masing bagian lengkap dengan rincian dan contoh sumber dari khazanah sastra dan bahasa jawa. Masing-masing dapat disimak tersendiri, meskipun bias dikaitkan satu sama lain. Untuk mendapatkan manfaat buku ini perlu kita membaca seluruh isi buku ini, tidak mungkin saya memaparkan segalanya secara mendetil. Saya hanya membicarakan beberapa hal dari seluruh isi buku untuk mendapatkan bahan bagi refleksi saya atas buku ini. Beberapa hal dalam buku ini akan saya bahas lebih lanjut: Mengenai Falsafah Madya Suwardi Endraswara menamakan pandangan luhur hidup Jawa Falsafah Madya. Madya berarti tengah, Falsafah Madya berarti menyikapi hidupnya secara selaras dan seimbang, berada ditengah: tidak berkelebihan tidak berkekurangan, tepat, pas. Beberapa ungkapan dari sikap hidup madya ini: Ngono ya ngono nanging ojo ngono. Begitu ya begitu tetapi jangan begitu, ini meminta agar orang Jawa dalam pergaulan dan dalam mengambil keputusan dapat angon mangsa, bertindak tanpa menyinggung perasaan tetapi memberi perasaan tenang. Dalam bertindak orang Jawa harus bisa angon mangsa: Melihat tempat, keadaan dan waktu sehingga diketemukan tempat dan waktu yang tepat. Orang Jawa sadar dirinya berbeda dengan orang lain dan orang lain berbeda dengan dirinya; dia bisa menempatkan diri tidak terlalu menonjolkan diri (bersifat anoraya). Orang Jawa harus bisa menghindari bertindak bener nanging ora pener. Bertindak hanya berdasar 190
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
kebenaran tidak memperhatikan situasi selengkapnya sehingga tindakannya tidak tepat. Untuk melaksanakan prinsip: ngono ya ngono nanging aja ngono memang memerlukan rasa batin yang dalam sehingga mampu menilai situasi dengan tajam. Maka sering prinsip ini disalahgunakan untuk diam saja, tidak berani mengambil tindakan tegas. Untuk ini perasaan kita harus mantap mencari yang cocok, pas, cukup dan sesuai: tidak melambung kalau dipuji dan tidak susah berlarut kalau dicela. Untuk mencapai itu, orang Jawa harus berusaha melaksanakan olah batin. Tujuan akhir ialah roh terdalam manusia melepas dan roh yang tercampuri keduniawian masuk menuju Tuhan menuju jumbuhing kawula-Gusti. Tahapnya ialah syariat, tarekat, hakikat, makrifat dimulai dengan mengingkari hawa nafsu. Banyak detil dan rincian diungkapkan dalam buku ini mengenai bawarasa, olah batin ini. Refleksi atas “Falsafah hidup Jawa”. Buku ini menarik karena sumbernya dari khazanah sastra Jawa dan tradisi Jawa dari guritan, wejangan, ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai perbendaharaan hidup Jawa. Namun ada beberapa hal yang saya rasa kurang tepat, kurang jelas dan agak berlebihan, saya hanya menyebut beberapa saja : Istilah atau ungkapan : Diculke sirahe digondheli buntute kurang tepat kalau dikaitkan dengan orang tua yang rela menghukum anaknya tetapi tak akan membiarkan dia mati. Kejadian ini tepat kalau memakai ungkapan Tega larane ora tega patine. Ungkapan diculke sirahe digondheli buntute diartikan seseorang yang tetap ingin menguasai orang lain, tidak mau memberi kebebasan sepenuhnya kepada orang lain itu (Suwardi Endraswara, 2003, him 53). Dalam uraiannya mengenai jalan kesempurnaan Jawa dia memberi informasi aneka ragam tetapi kurang memberikan kejelasan mengenai tahap laku keselamatan, dia menggunakan tahap sufisme Islam (syariat, tarekat, hakikat, makrifat) dalam bahasa Arab, padahal ada ungkapan Jawa dari “Weda Tama” yang serupa yaitu sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Memang dalam olah batin yang dalam ada banyak ajaran dan petunjuk, namun dalam buku ini diungkapkan lebih banyak dengan istilah Arab (dalam sufisme Islam) sedangkan dalam serat Dewaruci tertulis secara unit dan lengkap perjalanan batin menuju kesempurnaan, dalam kisah Wrekudara mencapai air prawita sari suruhan Pandita Durna, Dia masuk ke Samudra dan bertemu dengan Dewaruci yang membimbing batin terdalam Wrekudara melihat kesempurnaan, tetapi dia tidak boleh tinggal dalam kesempurnaan karena harus kembali ke dunia Kerajaan Ngamarta. (Dari Dewaruci Suwardi Endraswara, hanya menyinggung Pramana Jati) (Suwardi Endraswara : 2003, hlm 228-245). Telaah Buku
191
Sebagai seorang Muslim pantaslah dia mengagungkan peranan Islam dalam mempengaruhi budaya Jawa. Namun saya kira agak berlebihan kalau semua dalam wayang ditafsirkan sebagai lambang ajaran Islam sematamata. Memang bentuk wayang dalam wayang Purwa terjadi pada zaman para raja Islam di Jawa, serta zaman Wali Sanga, namun pakem wayang masih berasal dari pengaruh Hindu Budha sedangkan para abdi (Panakawan) merupakan ungkapan pandangan Jawa asli selarasnya dunia Ilahi dengan dunia kecil Rakyat menyatu dan berperan dalam dunia kraton, memang ahli dakwah nanti memanfaatkan tokoh wayang untuk menyebarkan dakwah Islam, namun Semar dan para panakawan sudah disebut dalam serat Sudomal bahkan sudah disebut serat gathotkaca Sraya. Semar dan Panakawan adalah ciptaan budaya asli Jawa sebelum zaman Wali Sanga. Dapat kita katakan bahwa wayang adalah hasil pengaruh semua budaya adalah hasil pengaruh semua budaya dari luar Jawa, Hindu, Buddha, Islam, berbaur dengan budaya asli dalam kesatuan yang selaras. Bagaimanakah mengenai pola berpikir falsafah hidup Jawa? Setelah membaca buku ini saya mendapat kesan bahwa dalam pemikiran Jawa ada banyak pendapat. Masing-masing pendapat memberi tafsir dan nuansa sendiri tetapi kalau dikumpulkan memberi ideal lengkap tentang hal yang dibicarakan, Umpama: Pemimpin Jawa, ada sifat yang diambil dari pewayangan. Ajaran Patih Rajasakapa kepada Raja Cingkara dewa. 1. Pemimpin harus mengalahkan nafsu panca indera suka marah, iri hati, benci dsb. 2. Pemimpin harus mengikuti raja dalam dirinya yaitu suara hati. 3. Harus bertindak dengan kejernihan batin (hening), penuh pertimbangan (hening), waspada (hawas), ingat kepada Tuhan (eling) dan bijaksana (wicaksana) banyak merenung 4. Dia harus punya penasihat yang suci dan bijaksana, dan dia harus mengikuti nasihatnya. 5. Pemimpin harus kasih sayang kepada rakyatnya memberi keadilan, ketentraman, kesejahteraan. Atau pemimpin yang mengikuti sifat Patih Gajah Mada : 1. Wignya: berpengetahuan penuh hikmah. 2. Mantriwira: pembela negara yang berani. 3. Wicaksaneng naya: bijaksana 4. Macanggwan: dipercaya karena tanggung jawab yang besar. 5. Satya bhakti prabhu: setia tulen kepada negara dan raja 6. Wagniwak: pandai berpidato dan berdiplomasi 7. Sarjowopasana: berwatak rendah hati, berbudi pekerti baik. 8. Dhirosaka: Bekerja dengan tekun dan rajin 192
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
9. Tan Lalana: selalu tampil gembira, meskipun dalam kesusahan 10. Diwya citra: mau mendengarkan pendapat orang lain dan bermusyawarah 11. Tan Satrisna: Tidak memiliki pamrih untuk diri sendiri. 12. Sih Samasta Bhuwan: Menghargai alam semesta sebagai rahmat Ilahi 13. Ginongpratidira: mengerjakan yang baik membuang yang buruk. 14. Sumanta: menjadi abdi negara yang senonoh. 15. Anayaken musuh: Kalau memang musuh berbahaya, berani menewaskan (Suwardi Endraswara, 2003 him 172, 178,179)
Dan masih banyak lagi. Semua petunjuk merupakan daftar kata-kata singkat yang harus dijelaskan artinya atau diterjemahkan, dan pola inilah yang saya temui dalam pokok pembicaraan. Dalam menerangkan kata-kata atau bentuk wayang pun orang Jawa menggunakan cara menyelubungi segalanya dengan semu, melalui permainan kata, menguraikan dengan metode angka dalam Primbon sehingga orang Jawa harus tahu othak athik mathuk dan ilmu primbon. Filsafat atau cara berpikir orang Jawa tidak mengarah kepada pengetahuan dalam arti menerima dan meneliti dengan indera, akal budi, melalui logika yang ketat dan sistematis, tetapi melalui rasa cocok yang dilatih dalam olah rasa batin yang dalam menjadi pengetahuan intuitif yang dalam. Bahan untuk menemukan yang cocok datang dari petunjuk dari luar, baik penampakan benda, maupun ungkapan-ungkapan dari para sastrawan dan seniman. Ump: penampakan wayang Pandawa untuk kepentingan dakwah Islam dikupas sebagai berikut: Yudistira memiliki jimat Kalimasada, diartikan: Dia memiliki kalimat Syahadat. Kalimat yang memberi keselamatan, tetapi Yudistira tidak cukup harus dibantu saudara lainnya berjumlah 4 yang diuraikan sebagai gambaran salat, zakat, perasa dan haji (Suwardi Endraswara, 2003, him 92) akhirnya kita dapat bertanya : Cara berpikir seperti cara berpikir Jawa ini kalau dibandingkan dengan system filsafat Barat masuk system yang mana? Menurut saya system berpikir Jawa ini, mirip dengan system filsafat Idealisme Hegel. Hegel menerangkan semua yang ada dari konsep dasarnya: Roh, Geist, Spirit. Roh dinyatakan dasar segala yang ada dan mengadakan segalanya dalam gerakan dialetic. Roh dalam dirinya = Prinsip ada dan prinsip akal budi. Roh keluar/diluar dirinya sendiri = Alam semesta Roh diluar dan di dalam dirinya = Manusia, masyarakat, negara dan Telaah Buku
193
budaya. Manusia dengan puncaknya filsafat. Hegel menjalankan sistemnya ini dengan logis sistematis meskipun disana sini kurang cermat data empirisnya. Juga pemikiran Jawa semua yang ada dan arahnya adalah Sang Hyang Wenang, yang nanti bermanifestasi dalam para dewa dan manusia Alam semesta juga manifestasi Tuhan. Dengan pola bilangan tujuh (Bumi sappitu, langit sappitu) dan alam manusia terstruktur dalam pola empat-lima. Namun uraiannya tidak sistematis seperti dalam Hegel. Juga seperti dalam Hegel, Roh dalam alam dan manusia kembali kepada dirinya melalui manusia yang berfilsafat demikian dalam alam pikir Jawa ditemukan manusia yang didukung para dewa kembali ke asal mulanya. Namun jalan kembali kepada Roh awali bukan melalui pemikiran filsafati tetapi melalui ulah batin yang mendalam, melalui matiraga dan mengalahkan hawa nafsu angkara.
S. Reksosusilo
194
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006