TELAAH DAKWAH TENTANG INSAN KAMIL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM"
SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)
SAIFUDIN YUHRI 1103062
FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2010
ii
SKRIPSI TELAAH DAKWAH TENTANG INSAN KAMIL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM"
Disusun oleh SAIFUDIN YUHRI 1103062
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal: 21 Juni 2010 dan dinyatakan telah lulus memenuhi sarat
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka
Semarang, 05 Juni 2010
SAIFUDIN YUHRI NIM: 1103062
iv
MOTTO
( :) Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. at-Tiin: 4) (Depag, 1986: 1076).
v
PERSEMBAHAN Untuk kedua orang Tuaku, terutama Bapakku yang dengan tabah mengasuh penulis mulai kecil sampai dewasa dan mencurahkan jiwa raganya. Dan dengan kesabarannya membesarkan, mendidik penulis hingga seperti sekarang ini, serta do'anya yang tak putus-putus sehingga penulis dapat melanjutkan studi sampai ke perguruan tinggi dan semoga beliau tetap diberi kesehatan, umur panjang dan selamat dunia dan akhirat. Jiwaku tertunduk malu tatkala aku harus kembali ke pangkuanmu. Aku merasa apa yang kuperoleh belum seberapa bila dibandingkan dengan pengorbananmu selama ini, sehingga aku tak mampu untuk menatap sinar mata yang penuh bangga. Meski perjalananku belum berakhir sampai disini, namun aku tetap akan memberikan yang terbaik untuk orang terkasihku. Sembah sujudku selalu pada ayah dan bunda. Adikku telah memotivasi dalam studi khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini . Teman-temanku trimakasih semua untuk bantuanya, karena kalian jugalah saya bisa selesaikan skripsi ini .
Penulis
vi
ABSTRAKSI Manusia merupakan objek kajian yang selalu menarik untuk dibicarakan. Pembicaraan dan penelitian tentang manusia, sejak zaman klasik hingga sekarang ini belum mengenal kata "berhenti". Ketertarikan para ahli untuk meneliti manusia, karena manusia adalah makhluk Allah yang memiliki keunggulan ketimbang makhluk lain. Yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam"? Bagaimana hubungan insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah? Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan kepustakaan (library research). Data primernya ialah buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" karya M. Dawam Rahardjo sedangkan data sekunder yaitu sejumlah kepustakaan yang relevan dengan skripsi ini namun sifatnya hanya pendukung, seperti: a). buku-buku, majalah, dll. Teknik pengumpulan datanya peneliti menggunakan teknik dokumentasi atau studi dokumenter. Analisis data menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu sebuah proses penafsiran terhadap isi pesan secara keseluruhan baik secara tersirat maupun tersurat. Yang dimaksud tersirat yaitu adanya teks yang kurang jelas. Sedangkan yang dimaksud tersurat yaitu apa yang tercantum dalam teks sudah jelas. Hasil dari pembahasan menunjukkan bahwa konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" yaitu manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi jasad/fisiknya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. insân kamîl akan lebih terbina lagi jika lebih ditekankan pada segi insaniyahnya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu. Insân kamîl juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia insân kamîl. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Adapun hubungan insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah yaitu dakwah sangat erat kaitannya dengan konsep insan kamil karena dakwah pada hakikatnya mengandung ajakan kepada manusia dan objeknya adalah manusia. Ajakan tersebut bertujuan agar rohani manusia menjadi sempurna yaitu berisi iman dan taqwa. Melalui iman dan taqwa ini maka manusia bisa menghampiri predikat insan kamil. Dakwah yang berisi ajakan pada manusia bisa berisi masalah akidah, syari'ah dan akhlak. Ketiga komponen sendi-sendi Islam itu manakala diamalkan oleh mad'u niscaya bisa menghampiri predikat insan kamil. Satu contoh jika mad'u mencontoh perilaku Rasulullah SAW maka bisa dikatakan bahwa mad'u itu menjadi insan kamil.
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “TELAAH DAKWAH TENTANG INSAN KAMIL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM"” ini, disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S.1) Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. M. Zain Yusuf, MM. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. 3. Bapak Drs. H. Fachrur Rozi, M.Ag selaku Dosen pembimbing I dan Bapak H.M. Alfandi, M.Ag selaku Dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Segenap Bapak, Ibu tenaga edukatif dan administratif Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memperlancar proses pembuatan skripsi ini. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN........................................................................ iv HALAMAN MOTTO .................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi ABSTRAKSI................................................................................................... vii KATA PENGANTAR.................................................................................... viii DAFTAR ISI................................................................................................... ix BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
....................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah...................................................................... 4 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 5 1.4. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 5 1.5. Metoda Penelitian ....................................................................... 9 1.6. Sistematika Penulisan................................................................... 13 BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG DAKWAH DAN INSÂN KAMÎL 2.1.Dakwah
....................................................................... 15
2.1.1. Pengertian Dakwah ............................................................ 15 2.1.2. Tujuan Dakwah .................................................................. 16 2.1.3. Unsur-Unsur Dakwah ......................................................... 19 2.2.Insân Kamîl
....................................................................... 31
2.2.1. Pengertian Insân Kamîl ..................................................... 31 2.2.2. Syarat-Syarat Menjadi Insân kamîl .................................... 43 2.2.3. Karakteristik Insân kamîl ................................................... 47 2.2.4. Insân Kamîl menjadi Tujuan Dakwah ................................ 50
ix
BAB III:INSÂN KAMÎL
DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA
MENURUT ISLAM" 3.1.Biografi Dawam Rahardjo, Pendidikan dan Karya-karyanya ...... 53 3.2.Konsepsi Manusia Menurut Islam................................................ 53 3.2.1. Insân kamîl
............................................................... 57
3.2.2. Antara Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia .................. 71 3.2.3. Insân kamîl : Citra Sufistik................................................ 7 4 BAB IV: ANALISIS INSÂN KAMÎL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM" DALAM PERSPEKTIF DAKWAH 4.1. Konsep Insân kamîl dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam "
................................................................ 80
4.2. Relevansi Konsep Insân kamîl dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah .................................. 89 BAB V : PENUTUP 5.1.Kesimpulan
....................................................................... 102
5.2.Saran-Saran
....................................................................... 103
5.3.Penutup
....................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia merupakan objek kajian yang selalu menarik untuk dibicarakan. Pembicaraan dan penelitian tentang manusia, sejak zaman klasik hingga sekarang ini belum mengenal kata "berhenti". Ketertarikan para ahli untuk meneliti manusia, karena manusia adalah makhluk Allah yang memiliki keunggulan ketimbang makhluk lain (Solihin, 2003: 99). Kesempurnaan manusia dari sisi penciptaannya telah dilegitimasi dalam beberapa ayat AlQuran, misalnya:
( :) Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. at-Tiin: 4) (Depag, 1986: 1076).
(56 :234) "# $ &% %' ()* + & , % . / ( &% % "0 $ 1 Artinya: Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS. al-Hijr: 29) (Depag, 1986: 393).
(> :<:=) 7 ( 7* %38 9: 9 ; Artinya: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya (QS. Asy-Syam: 8) (Depag, 1986: 1064). Kesempurnaan dan keunggulan manusia itulah yang membuatnya begitu unik untuk dibicarakan, baik dalam perspektif sosiologi, antropologi,
1
2
filsafat, psikologi maupun tasawuf. Salah satu pembicaraan tentang manusia dalam perspektif tasawuf yang sampai sekarang masih banyak diminati oleh para pengkaji tasawuf adalah pemikiran tentang insan kamil (manusia sempurna). Pemikiran ini pernah dikemukakan oleh Al-Jilli (Solihin, 2003: 100). Problematika masyarakat sekarang ini bukan saja menyangkut masalah materi, tetapi juga menyangkut masalah-masalah psikologis. Hal ini disebabkan karena semakin modern suatu masyarakat maka semakin bertambah intensitas dan eksistensitas dari berbagai disorganisasi dan disintegrasi sosial masyarakat (Ahyadi, 1991: 177). Kondisi ini telah mengakibatkan makin sulitnya manusia untuk menjadi insan kamil. Atas dasar itu manusia merasakan pentingnya siraman dakwah. Itulah sebabnya, Umary (1980: 52) merumuskan bahwa dakwah adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang. Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah usaha-usaha
perbaikan
dan
pembangunan
masyarakat,
memperbaiki
kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak wajaran
dalam
masyarakat.
Dengan
demikian,
dakwah
berarti
memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran
3
agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6). Berdasarkan keterangan tersebut, dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" ada uraian atau kajian yang berisi tentang insan kamil. Dalam buku itu terdapat berbagai pendapat tentang insan kamil, di antaranya menurut Effendi (Rahardjo (ed), 1987: 24) bahwa Nabi Muhammad Saw adalah contoh yang luhur tentang insan kamil. Sejalan dengan itu menurut Bahtiar (Rahardjo (ed), 1987: 45) manusia merupakan obyek yang selalu menarik untuk dibicarakan. Bukan saja ia menjadi pokok permasalahan, tetapi segala peristiwa besar yang terjadi di dunia ini selalu berkaitan dengan manusia. Dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dirumuskan bahwa insan kamil adalah orang mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan (Rahardjo (ed), 1987: 25). Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" berisi pesan dakwah bahwa inti ajaran Islam yang paling utama adalah akhlak. Manakala akhlaknya baik maka di situlah seseorang dapat menemukan dirinya sebagai insan kamil. Editor buku ini adalah Dawam Rahardjo yang telah menghimpun berbagai tulisan sehingga buku ini menarik untuk dikaji karena di dalamnya mengupas persoalan tentang insan kamil yang ditinjau dari berbagai sudut pandang. Pembahasan dimulai dari persoalan Adam, Khudi dan insan kamil. Dalam bagian selanjutnya diungkapkan tentang sekitar filsafat jiwa dan manusia dari Ibu Sina, manusia serba dimensi, realitas manusia, manusia dalam perspektif humanisme agama pandangan Ali Shari'ati, insan kamil citra sufistik al-Jilli.
4
Dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dikemukakan adanya dua cara untuk memperoleh insan kamil yaitu mengisi diri dengan sifat-sifat mahmudah (terpuji) dan mengosongkan diri atau membuang dari sifat-sifat mazmumah (tercela). Dalam buku itu dijelaskan manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik, seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat Insan kamil. Dengan demikian Insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut (Rahardjo (ed), 1987: 43). Uraian di atas mendorong peneliti mengangkat tema ini dengan judul: Telaah Dakwah tentang Insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" 1.2. Perumusan Masalah Bertolak dari latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimana konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam"? 1.2.2. Bagaimana hubungan insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah?
5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1.3.1. Untuk mendeskripsikan konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" 1.3.2. Untuk menjelaskan hubungan insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua segi: 1.
Secara teoritis, yaitu untuk memperkaya kepustakaan Ilmu Dakwah khususnya dakwah dengan media buku, dan sebagai bahan studi banding oleh peneliti lainnya.
2. Secara praktis yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan bagi umat Islam. 1.4. Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan disebutkan beberapa penelitian sebelumnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Semua itu untuk menunjukkan bahwa masalah yang akan diteliti bukanlah sama sekali belum pernah ditulis, diteliti atau disinggung orang sebelumnya. Kegunaannya adalah untuk mengetahui seberapa besar kontribusi keilmuan dalam skripsi yang ditulis dan apakah hanya merupakan bentuk pengulangan. Oleh karena itu tidak layak apa yang ditulis dalam skripsi itu sudah pernah ditulis oleh orang lain. Atas dasar itu jumlah penelitian terdahulu yang dihadirkan minimal
6
tiga buah penelitian, dan dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka disebutkan sebagai berikut: Penelitian Sugi Hartono (2006) Fakultas Dakwah Jurusan BPI) dengan judul: Insan kamil Menurut Murtadha Muthahhari dalam Hubungannya dengan Kesehatan Mental (Analisis Bimbingan dan Konseling Islam). Hubungan konsep insan kamil Murtadha Muthahhari dengan kesehatan mental ditinjau dari Bimbingan Konseling Islam dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa konsep insan kamil yang ditawarkan Murtadha Muthahhari bertujuan untuk melahirkan manusia yang sehat jasmani dan rohani agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Konsep insan kamil Murtadha Muthahhari sejalan dengan tujuan bimbingan dan konseling Islam yaitu membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Selain dari itu, konsep Murtadha Muthahhari relevan dengan fungsi bimbingan dan konseling Islam yang bersifat preventif, kuratif atau korektif, preservative, dan developmental atau pengembangan. Skripsi yang berjudul: Konsep Insan kamil Menurut Murtadha Muthahhari dan Relevansinya dalam Tujuan Pendidikan Islam disusun Afif Farida (2005) Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI). Insan kamil dalam konsep Murthadha Muthahhari, ia mulai dengan merumuskan bahwa insan kamil adalah manusia seutuhnya baik dalam perspektif jasmani maupun rohani, dimana seluruh potensi insaninya memiliki keseimbangan dan harmonisasi antara nilai-nilai yang membangun dirinya. Menurutnya insan kamil dapat
7
dikaji melalui Al-Qur’an dan Hadits serta berbagai pendapat para ulama yang memiliki otoritas di bidangnya. Kehadiran Insan kamil dalam kehidupan umat manusia, terlebih dalam dunia pendidikan Islam sangat diharapkan dan mendapatkan posisi yang sangat penting. Begitu penting kehadirannya sehingga pendidikan Islam berupaya keras untuk merealisasikan dan melahirkan Insan kamil ke dunia ini. Untuk merealisasikan terbentuknya Insan kamil tidaklah semudah ucapan, karena proses pembentukannya memerlukan waktu yang panjang dan dilakukan secara bertahap. Membentuk Insan kamil tidak bisa hanya terjadi secara alami, tanpa suatu upaya keras. Upaya untuk menjadikan dan membentuk Insan kamil, dalam kerangka iman dan taqwa, maka pendidikan sebagai proses menginternalisasikan dalam pribadi anak didik, bertumpu pada kemampuan atau kapasitas belajar dalam tiap pribadi anak didik. Relevansi antara Insan kamil dengan tujuan pendidikan Islam sangat erat, keduanya tidak dapat dipisahkan. Kedekatan hubungan Insan kamil dengan pendidikan Islam sebenarnya disebabkan karena keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang saling mengikat. Insan kamil merupakan final aim, pancaran akhir dan cita-cita ideal yang diproyeksikan dan diharapkan pendidikan Islam, sementara pendidikan Islam merupakan salah satu tujuan dan misi yang diemban yang hendak direalisasikan Insan kamil dalam aktifitas hidupnya. Antara Insan kamil dengan pendidikan Islam mempunyai beban tanggung jawab yang senantiasa bergulir sepanjang zaman. Keduanya mempunyai tanggung jawab untuk saling mengoptimalkan etos kerja masing-
8
masing. Optimalisasi peran dan tugas serta tanggung jawab keduanya sangat menentukan terhadap keberhasilan cita-cita yang diemban dan yang diharapkan. Skripsi yang berjudul: Konsep Ahmad Tafsir tentang Pendidikan Islam sebagai Usaha Membentuk Insan kamil disusun Ahmad Sobirin (2007) Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI). Menurut Ahmad Tafsir bahwa manusia sempurna itu adalah yang memiliki paling tidak tiga ciri utama yaitu 1) jasmaninya sehat serta kuat, termasuk berketerampilan; 2) akalnya cerdas serta pandai; 3) hatinya (kalbunya) penuh iman kepada Allah. Menurut Ahmad Tafsir bahwa orang Islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat, terutama berhubungan dengan keperluan penyiaran dan pembelaan serta penegakan ajaran Islam. Dilihat dari sudut ini maka Islam mengidealkan Muslim yang sehat serta kuat jasmaninya. Dalam penegakan ajaran Islam, terutama pada masa penyiarannya dalam sejarah, tidak jarang ditemukan rintangan yang pada akhirnya memerlukan kekuatan dan kesehatan fisik (jasmani). Kadang-kadang kekuatan dan kesehatan itu diperlukan untuk berperang menegakkan ajaran Islam. Ternyata sampai sekarang pun tantangan fisik seperti dalam sejarah tersebut sering juga muncul. Oleh karena itu, sekarang pun Muslim harus sehat dan kuat fisiknya. Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman) adalah persoalan mental. Kesehatan mental berkaitan erat dengan kesehatan jasmani. Karena kesehatan mental penting, maka kesehatan
9
jasmani pun penting pula. Karena kesehatan jasmani itu sering berkaitan dengan pembelaan Islam, maka sejak permulaan sejarahnya pendidikan jasmani (agar sehat dan kuat) diberikan oleh para pemimpin Islam. Pendidikan itu langsung dihubungkan dengan pembelaan Islam, yaitu berupa latihan memanah, berenang, menggunakan senjata, menunggang kuda, lari cepat (AlSyaibani, 1979:503). Pentingnya kekuatan dan kesehatan fisik itu juga mempunyai dalil-dalil naqli. Perbedaan antara penelitian yang terdahulu dengan yang sekarang yaitu penelitian yang sudah ada belum mengkaji Insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam". Sedangkan penelitian yang hendak penulis lakukakan saat ini hendak menelaah tentang konsepsi manusia menurut Islam dalam konteksnya dengan insan kamil. 1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Jenis Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 1997: 3). Dalam meneliti data tidak diwujudkan dalam bentuk angka, namun data-data tersebut diperoleh dengan penjelasan dan berbagai uraian yang berbentuk tulisan.
10
Penelitian tentang Telaah Dakwah Insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" adalah library research yaitu penelitian kepustakaan. 1.5.2. Definisi Konseptual Menurut Shaliba sebagaimana dikutip Nata (2003: 257) bahwa kata insân menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam konteksnya dengan judul skripsi ini bahwa yang dimaksud dengan konsepsi manusia menurut Islam dalam buku yang berjudul "Konsepsi Manusia Menurut Islam" yaitu konsep yang menjelaskan tentang siapakah manusia itu, apa unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia dan bagaimana manusia bisa memperoleh keseimbangan jiwanya serta cara apa saja yang dapat ditempuh manusia untuk memperoleh sebutan insan kamil. Dengan demikian yang dimaksud Telaah Dakwah Insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" yaitu himbauan dan nasihat dari buku yang berjudul: "Konsepsi Manusia Menurut Islam" yang ditujukan kepada umat Islam untuk melakukan apa yang diajarkan agama agar hidup menjadi insan kamil. Dengan kata lain bahwa secara konseptual "Konsepsi Manusia Menurut Islam" yaitu merupakan salah satu bentuk tanggapan para cendekiawan muslim terhadap beragam perkembangan
sosial
yang
meliputi
masalah
akidah,
tasawuf,
perkembangan ajaran Islam, reformasi, sampai manajemen waktu yang dikemas dalam corak keislaman.
11
1.5.3. Sumber Data a. Data primer yaitu buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" karya M. Dawam Rahardjo b. Data sekunder yaitu sejumlah kepustakaan yang relevan dengan skripsi ini namun sifatnya hanya pendukung, seperti: a). buku-buku; b) jurnal-jurnal penelitian; c) surat kabar, majalah dan lain-lain. 1.5.4. Teknik Pengumpulan Data Menurut Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya (Suryabrata, 1998: 84). Berpijak dari keterangan tersebut, maka dalam pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi. Peneliti menggunakan teknik dokumentasi atau studi dokumenter yang menurut Arikunto (1990: 206) yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Yang dimaksud dokumentasi dalam tulisan ini yaitu sejumlah data yang terdiri dari data primer dan sekunder 1.5.5. Teknik Analisis Data Adapun Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan (Kahmad, 2000: 102). Dalam menganalisa data, penulis menggunakan analisis isi (Content Analysis) yaitu sebuah proses penafsiran terhadap isi pesan secara keseluruhan (Ratna : 48-49) baik secara tersirat maupun tersurat. Yang dimaksud tersirat yaitu adanya teks
12
yang kurang jelas. Sedangkan yang dimaksud tersurat yaitu apa yang tercantum dalam teks sudah jelas. Menurut Ricoeur dikutip oleh Sumaryono (1999: 111), ada tiga langkah pemahaman dalam rangka pemahaman bahasa , yaitu; a
Pemahaman dari simbol ke simbol. Dalam tahapan ini, peneliti akan melakukan pemahaman terhadap simbol yang ada dalam teks buku.
b
Pemberian makna oleh simbol dengan melalui penggalian yang cermat akan makna. Dalam tahapan ke dua ini, peneliti memberikan makna dengan mengacu pada simbol-simbol yang telah didapatkan dalam tahapan sebelumnya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pencarian referensi dari berbagai sumber yang melatarbelakangi pemunculan simbol tersebut.
c
Langkah filosofi dengan menggunakan simbol sebagai titik tolak. Dalam tahapan ke tiga ini, peneliti akan mencari apa yang diinginkan oleh simbol yang telah termaknai tersebut.
1.6. Sistematika Penulisan Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka skripsi ini disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini. Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah
13
yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul, dan bagaimana pokok permasalahannya. Dengan penggambaran secara sekilas sudah dapat ditangkap substansi tulisan ini. Selanjutnya untuk lebih memperjelas maka dikemukakan pula tujuan penelitian yang mengacu pada perumusan masalah. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh signifikansi tulisan ini. Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan penjiplakan maka dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang dituangkan dalam tinjauan pustaka. Demikian pula kerangka teoritik diungkapkan sesuai dengan substansi tulisan. Metode penulisan diungkap apa adanya dengan harapan dapat diketahui apa yang menjadi sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data. Pengembangannya kemudian tampak dalam sistematika penulisan. Bab kedua memuat tinjauan umum tentang dakwah yang meliputi tentang pengertian dakwah, tujuan dakwah, unsur-unsur dakwah (subjek dakwah, objek dakwah, materi dakwah, media dakwah, metode dakwah) Bab ketiga berisi telaah dakwah insan kamil dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" yang meliputi biografi M. Dawam Rahardjo, pendidikan dan karya-karyanya (latar belakang M. Dawam Rahardjo, pendidikan, karya-karyanya), telaah dakwah M. Dawam Rahardjo tentang konsepsi manusia menurut Islam. Bab keempat berisi analisis yang meliputi pertama, konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam"; kedua, relevansi konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah
14
Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran-saran yang layak dikemukakan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DAKWAH DAN INSÂN KAMÎL
2.1. Dakwah 2.1.1. Pengertian Dakwah Dalam pengertian keagamaan, dakwah memasukkan aktifitas tablîgh (penyiaran), tatbîq (penerapan/pengamalan) dan tandhîm (pengelolaan) (Sulthon, 2003: 15). Kata dakwah berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar (infinitif) dari kata kerja da'â ( ) دyad'û ( ) di mana kata dakwah ini sekarang sudah umum dipakai oleh pemakai bahasa Indonesia, sehingga menambah perbendaharaan bahasa Indonesia (Munsyi, 1981: 11). Kata da'wah ( ) دةsecara harfiyah bisa diterjemahkan menjadi: "seruan, ajakan, panggilan, undangan, pembelaan, permohonan (do'a) (Pimay, 2005: 13). Sedangkan secara terminologi, banyak pendapat tentang definisi dakwah, antara lain: Ya'qub (1973: 9), dakwah adalah mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan RasulNya. Menurut Anshari (1993: 11), dakwah adalah semua aktifitas manusia muslim di dalam berusaha merubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT dengan disertai kesadaran dan tanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan terhadap Allah SWT. Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara
15
16
bertahap menuju perikehidupan yang Islami (Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsurunsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh karena itu Abu Zahrah menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali dengan amar ma'rû‘f dan nâhî‘ munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain lagi mengenai makna amar ma'rû‘f kecuali mengesakan Allah secara sempurna, yakni mengesakan pada zat dan sifatNya (Zahrah, 1994: 32). Lebih jauh dari itu, pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Achmad, 1983: 2). Keaneka ragaman pendapat para ahli seperti tersebut di atas meskipun terdapat kesamaan ataupun perbedaan-perbedaan namun bila dikaji dan disimpulkan bahwa dakwah merupakan kegiatan yang dilakukan secara ikhlas untuk meluruskan umat manusia menuju pada jalan yang benar. Untuk dakwah diupayakan dapat berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi mad'u. 2.1.2. Tujuan Dakwah Menurut Arifin (2000: 4) tujuan program kegiatan dakwah dan penerangan agama tidak lain adalah untuk menumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengalaman ajaran agama yang dibawakan oleh
17
aparat dakwah atau penerang agama. Pandangan lain dari A. Hasjmy (1984: 18) tujuan dakwah Islamiyah yaitu membentangkan jalan Allah di atas bumi agar dilalui umat manusia. Ketika merumuskan pengertian dakwah, Amrullah Ahmad menyinggung tujuan dakwah adalah untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran individual dan sosiokultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan (Ahmad, 1991: 2). Barmawie Umary 198455) merumuskan tujuan dakwah adalah memenuhi perintah Allah Swt dan melanjutkan tersiarnya syari'at Islam secara merata. Dakwah bertujuan untuk mengubah sikap mental dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi lebih baik atau meningkatkan kualitas iman dan Islam seseorang secara sadar dan timbul dari kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa oleh apa dan siapa pun. Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah suci berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan akhlak yang dimaksudkan ini tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri sebab hanya kepada alQur'an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman. Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik individu maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut (Tasmara, 1997: 47). Secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur'an adalah: 1. Dakwah bertujuan untuk menghidupkan hati yang mati.
18
Allah berfirman:
...
!" #$ % & '()*+ (23:./0) Artinya: Hai orang-orang yang beriman, patuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu ...". (QS. al Anfal: 24) (Depag RI,1978: 264 ). 2. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindarkan azab dari Allah.
(: :9/) ... ) . 5 " ) 6 ( 78/ Artinya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka ... (QS Nuh: 7) (Depag RI,1978: 978). 3. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
&;$ < => 0? & $ @ = /+ A B > . < " C #6% & '( + A D E + F G + B + H $ + / I J K L A # (NOG) < M$ Artinya: Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka, bergembira dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu, dan di antara golongan-golongan Yahudi Jang bersekutu ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (QS. ar Ra'd: 36) (Depag RI,1978: 375). 4. Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-belah.
19
; A #P $ @ #> + Q '( R>/ A SP $ & 8G & $8 S; T J . "6 & 8G J+ B + SU S$ CA (2N :XYW)... C G 6 $ V W Artinya: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa Jang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya..." (QS Asy Syura: 13) (Depag RI,1978: 786). 5. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus.
(:N:B#$]^) Z ["U $* \ Z P S C G " @ / Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka ke jalan yang lurus. (QS. al-Mukminun: 73) (Depag RI,1978: 534). 6. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke dalam lubuk hati masyarakat.
@ A8Y S a @ _ = /+ G L A ( H % & @ /G* ` (c: :b`[) V W & $ & /6 Artinya: Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orangorang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-Qashshas: 87) (Depag RI,1978: 612). 2.1.3. Unsur-Unsur Dakwah Unsur-unsur dakwah adalah segala aspek yang ada sangkut pautnya dengan proses pelaksanaan dakwah, dan sekaligus menyangkut tentang kelangsungannya (Anshari, 1993: 103). Unsur-unsur tersebut adalah da'i
20
(pelaku dakwah), mad'u (obyek dakwah), materi dakwah/maddah, wasîlah (media dakwah), tharîqah (metode), dan atsar (efek dakwah). 2.1.3.1. Subjek Dakwah Subjek dakwah ialah orang yang melakukan dakwah, yaitu orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt, baik secara individu maupun berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus sebagai pemberi informasi dan pembawa missi (Anshari, 1993: 105). Menurut Helmy (1973: 47) subjek dakwah adalah orang yang melaksanakan tugastugas dakwah, orang itu disebut da'i, atau mubaligh. Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para pakar dalam bidang dakwah, yaitu: 1. Hasjmy, juru dakwah adalah para penasihat, para pemimpin dan pemberi periingatan, yang memberi nasihat dengan baik, yang mengarang dan berkhutbah, yang memusatkan kegiatan jiwa raganya dalam wa'ad dan wa’id (berita pahala dan berita siksa) dan dalam membicarakan tentang kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia (Hasymi, 1984: 186). 2. M.
Natsir,
pembawa
memperingatkan
dakwah
merupakan
orang
yang
atau memanggil supaya memilih, yaitu
memilih jalan yang membawa pada keuntungan (Natsir, tth: 119).
21
Dalam kegiatan dakwah peranan da'i sangatlah esensial, sebab tanpa da'i ajaran Islam hanyalah ideologi yang tidak terwujud dalam kehidupan masyarakat. "Biar bagaimanapun baiknya ideologi Islam yang harus disebarkan di masyarakat, ia akan tetap sebagai ide, ia akan tetap sebagai cita-cita yang tidak terwujud jika tidak ada manusia yang menyebarkannya" (Ya'qub, 1981: 37). Da'i merupakan orang yang melakukan dakwah, yaitu orang yang berusaha mengubah situasi yang sesuai dengan ketentuanketentuan Allah SWT, baik secara individu maupun berbentuk kelompok (organisasi). Sekaligus sebagai pemberi informasi dan missi. Pada prinsipnya setiap muslim atau muslimat berkewajiban berdakwah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Jadi mustinya setiap muslim itu hendaknya pula menjadi da’i karena sudah menjadi kewajiban baginya. 2.1.3.2. Objek Dakwah Objek dakwah adalah manusia yang menjadi audiens yang akan diajak ke dalam Islam secara kaffah (Muriah, 2000: 32). Menurut Pimay (2006: 29) objek dakwah adalah manusia yang menjadi sasaran dakwah. Mereka adalah orang-orang yang telah memiliki atau setidak-tidaknya telah tersentuh oleh kebudayaan asli atau kebudayaan selain Islam. karena itu, objek dakwah senantiasa berubah karena perubahan aspek sosial kultural, sehingga objek
22
dakwah ini akan senantiasa mendapat perhatian dan tanggapan khusus bagi pelaksanaan dakwah Berdasarkan keterangan tersebut dapat juga dikatakan bahwa unsur dakwah yang kedua adalah mad'u, yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam maupun tidak; atau dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah QS. Saba' 28:
d # e + & R '/ Rf WA d#g hR T( ( D # Y + $ (jc :i ) B L Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba: 28) (Depag RI,1978: 683).
Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama Islam; sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman, Islam, dan ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat disebut mad'u dakwah daripada sebutan objek dakwah, sebab sebutan yang kedua lebih
mencerminkan
kepasifan
penerima
dakwah;
padahal
sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain sebagai kawan berpikir tentang keimanan, syari'ah, dan akhlak kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama.
23
2.1.3.3. Materi Dakwah Materi dakwah adalah pesan yang disampaikan oleh da’i kepada mad’u yang mengandung kebenaran dan kebaikan bagi manusia yang bersumber al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu membahas maddah dakwah adalah membahas ajaran Islam itu sendiri, sebab semua ajaran Islam yang sangat luas, bisa dijadikan sebagai maddah dakwah Islam (Ali Aziz, 2004: 194) Materi dakwah, tidak lain adalah al-Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan hadis sebagai sumber utama yang meliputi akidah, syari'ah dan akhlak dengan berbagai macam cabang ilmu yang diperoleh darinya (Wardi Bachtiar, 1997: 33). Maddah atau materi dakwah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut (M.Daud Ali, 2000: 133-135, Asmuni Syukir, 1983: 60-63): a. Masalah akidah Akidah secara etimologi adalah ikatan, sangkutan. Disebut demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknisnya adalah iman atau keyakinan. Karena itu akidah Islam ditautkan dengan rukun iman yang menjadi azas seluruh ajaran Islam. b. Masalah syari’ah Syari’at dalam Islam erat hubunganya dengan amal lahir (nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah
24
guna mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan mengatur pergaulan hidup manusia dengan manusia. Syari’ah dibagi menjadi dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan, sedangkan muamalah adalah ketetapan Allah yang berlangsung dengan kehidupan sosial manusia. Seperti hukum warisan, rumah tangga, jual beli, kepemimpinan dan amal-amal lainnya. c. Masalah akhlak Akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang secara etimologi berati budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Akhlak bisa berarti positif dan bisa pula negatif. Yang termasuk positif adalah akhlak yang sifatnya benar, amanah, sabar, dan sifat baik lainnya. Sedangkan yang negatif adalah akhlak yang sifatnya buruk, seperti sombong, dendam, dengki dan khianat. Akhlak tidak hanya berhubungan dengan Sang Khalik namun juga dengan makhluk hidup seperti dengan manusia, hewan dan tumbuhan. Akhlak terhadap manusia contohnya akhlak dengan Rasulullah, orang tua, diri sendiri, keluarga, tetangga, dan masyarakat. (M.Daud Ali, 1997: 357). Akhlak terhadap Rasulullah antara lain 1. Mencintai Rasul secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya. 2. Menjadikan Rasul sebagai idola, suri tauladan dalam hidup dan kehidupan
25
3. Menjalankan apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yang dilarang Akhlak terhadap orang tua antara lain : 1. Mencintai mereka melebihi cinta pada kerabat lainnya 2. Merendahkan diri kepada keduannya 3. Berkomunikasi dengan orang tua dengan hikmat 4. Berbuat baik kepada Bapak Ibu 5. Mendoakan keselamatan dan keampunan bagi mereka Akhlak terhadap diri sendiri antara lain : 1. Memelihara kesucian diri 2. Menutup aurat 3. Jujur dalam perkataan dan perbuatan 4. Ikhlas 5. Sabar 6. Rendah diri 7. Malu melakukan perbuatan jahat. Akhlak terhadap keluarga antara lain: 1. Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga 2. Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak 3. Berbakti kepada Ibu Bapak 4. Memelihara hubungan silaturahmi Akhlak terhadap tetangga antara lain :
26
1. Saling menjunjung 2. Saling bantu diwaktu senang dan susah 3. Saling memberi 4. Saling menghormati 5. Menghindari pertengkaran dan permusuhan Akhlak terhadap masyarakat antara lain : 1. Memuliakan tamu 2. Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, 3. Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa 4. Menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri sendiri dan orang lain berbuat jahat/mungkar. 5. Memberi fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan kehidupannya. 6. Bermusywarah dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama. 7. Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita. 8. Dan menepati janji. Akhlak terhadap lingkungan hidup antara lain : 1. Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup 2. Menjaga dan memanfaatkan alam terutama flora dan fauna 3. Sayang pada sesama makhluk.
27
2.1.3.4. Media Dakwah Arti media bila ditinjau dari asal katanya (etimologi), berasal dari bahasa Latin yaitu "median", yang berarti alat perantara. Sedangkan kata media merupakan jamak daripada kata median tersebut. Pengertian media menurut istilah adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan demikian media dakwah, yaitu segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan (Syukir, 1983: 163). Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Ya'qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak: 1.
Lisan, inilah wasilah dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
2. Tulisan,
buku
majalah,
surat
kabar,
surat
menyurat
(korespondensi) spanduk, flash-card, dan sebagainya. 3. Lukisan, gambar, karikatur, dan sebagainya. 4. Audio visual, yaitu alat dakwah yang merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, televisi, film, slide, ohap, internet, dan sebagainya.
28
5. Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad'u (Ya'qub, 1973: 42-43). Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang
dapat
merangsang
indra-indra
manusia
serta
dapat
menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Media
(terutama
media
massa)
telah
meningkatkan
intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi dilakukan umat manusia begitu luas sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan alat-alat tersebut telah melekat tak terpisahkan dengan kehidupan manusia di abad ini. 2.1.3.5. Metode Dakwah Hal yang sangat erat kaitannya dengan metode wasilah adalah metode (thariqah) dakwah. Kalau wasilah adalah alat-alat yang dipakai untuk mengoperkan atau menyampaikan ajaran Islam maka thariqah adalah metode yang digunakan dalam dakwah. Menurut Daradjat (2004: 5) metode adalah cara untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Arifin (2003: 65) dalam bukunya yang berjudul: Ilmu Pendidikan Islam, menyatakan: metode berasal dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti "melalui", dan
29
"hodos" berarti "jalan atau cara". Dengan demikian asal kata "metode" berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Munsyi (1982: 29) mengartikan metode sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu. Sedangkan dalam metodologi pengajaran ajaran Islam disebutkan bahwa metode adalah "Suatu cara yang sistematis dan umum terutama dalam mencari kebenaran ilmiah". Menurut Pius Partanto (1994: 461) metode adalah cara yang sistematis dan teratur untuk pelaksanaan suatu atau cara kerja. Dakwah adalah cara yang digunakan subjek dakwah untuk menyampaikan materi dakwah atau biasa diartikan metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da'i untuk menyampaikan materi dakwah yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu dalam komunikasi, metode dakwah ini lebih dikenal sebagai approach, yaitu cara-cara yang dilakukan oleh seorang da'i atau komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997: 43). Dengan kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pada satu pandangan human oriented menetapkan penghargaan yang mulia pada diri manusia. Hal tersebut didasari karena Islam sebagai agama salam yang menebarkan rasa damai menempatkan manusia pada prioritas utama, artinya penghargaan manusia itu tidaklah dibeda-bedakan menurut ras, suku, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang tersirat
30
dalam QS. al-Isra' 70; "Kami telah muliakan Bani Adam (manusia) dan Kami bawa mereka itu di daratan dan di lautan. Kami juga memberikan kepada mereka dan segala rezeki yang baik-baik. Mereka juga Kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhluk yang lain" (Depag RI,1978: 435). Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan. Maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dalam memakai metode sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah. Ketika membahas tentang metode dakwah pada umumnya merujuk pada surah an-Nahl (QS.16:125)
7 "( A ) k h #U
h l h
A @ A8Y I S a ; + ;C & I( m & A + C @ AY B( & U > + 7 C (2jn :I #) & G") A Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Depag RI,1978: 421). Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: a) hikmah b) mau'izah al-hasanah c) mujadalah billati hiya ahsan.
31
Apabila unsur-unsur dakwah dikaitkan dengan insan kamil maka insan kamil masuk dalam materi dakwah, khususnya materi akhlak. Karena akhlak mengajarkan tentang bagaimana cara manusia berhubungan dengan Allah SWT, berhubungan manusia dengan sesama manusia, berhubungan antara manusia dengan alam. Hubungan tersebut dimaksudkan untuk membentuk manusia seutuhnya baik jasmani maupun rohani. Hal ini sesuai dengan pengertian insan kamil yaitu manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. 2.2. Insân Kamîl 2.2.1. Pengertian Insân Kamîl Insân kamîl berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: insân dan kamîl. Secara harfiah, insân berarti manusia, dan kamîl berarti yang sempurna. Dengan demikian, insân kamîl berarti manusia yang sempurna (Yunus, 1990: 51). Menurut Shaliba sebagaimana dikutip Nata (2003: 257) bahwa kata insân menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insân mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insân digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insân juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan
32
fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya. Adapun kata kamîl dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya. Selanjutnya kata insân dijumpai di dalam al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyâr dan al-nâs. Kata insân jamaknya kata al-nâs. Kata insân mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anâsa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nâsiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al- ûns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anâsa, maka insân mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran (Nata, 2003: 258). Sedikitnya ada tiga kelompok istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam menjelaskan manusia secara totalitas, baik fisik maupun psikis. Pertama, kelompok kata al-basyâr, kedua, kelompok kata al-îns, al-insân , al-nâs, dan al-unâs, dan ketiga kata bani adam. Masing-masing istilah ini memiliki intens makna yang beragam dalam menjelaskan manusia. Perbedaan itu dapat dilihat dari konteks-konteks ayat yang menggunakan istilah-istilah tersebut (Baharuddin, 2004: 64). Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nâsiya, insân mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri.
33
Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insâniyah. Sedangkan kata insân jika dilihat dari asalnya al-uns, atau anisa yang artinya jinak, mengandung arti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat dipelihara, jinak. Dilihat dari sudut bahasa, kata insân yang berasal dari kata al-uns, annisa, nasiya dan anasa maka dapatlah dikatakan bahwa kata insân menunjuk pada suatu pengertian yang ada kaitannya dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran penalaran. Selain itu sebagai insân manusia pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial, maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudi, ia tidak liar, baik secara sosial maupun secara alamiah (Nata, 2003: 259). Kata insân dalam al-Qur' an disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat, dan digunakan untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas. Asy'ari menyebutkan ada beberapa cara atau metode yang dapat ditempuh untuk memahami hakikat manusia, dan cara atau metode itu antara lain, yang pertama, ialah melalui pendekatan bahasa. Yang kedua, melalui cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan cara keberadaan makhluk yang lainnya. Ketiga, melalui karya yang dihasilkannya (Asy’ari, 2002: 214). Pertama, untuk menyatakan bahwa manusia menerima
34
pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya (QS.96:1-5). Kedua, manusia mempunyai musuh yang nyata, yaitu setan (QS.12:5). Ketiga, manusia memikul amanat dari Tuhan. (QS.33:72). Keempat, manusia harus menggunakan waktu dengan baik (QS.105:1-3). Kelima manusia hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya (QS.53:39). Keenam, manusia mempunyai keterikatan dengan moral atau sopan santun. (QS.29:8) (Asy’ari, 2002: 216). Berdasarkan petunjuk ayat-ayat tersebut manusia digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan sebagai makhluk yang dapat belajar, mempunyai musuh (setan), dapat menggunakan waktu, dapat memikul amanat, punya keterkaitan dengan moral, dapat beternak (QS.28:23), menguasai lautan (QS.2:124), dapat mengolah biji besi dan logam (QS.57:25), melakukan perubahan sosial (QS.3:140), memimpin (QS.2:124), menguasai ruang angkasa (QS.55:33), beribadah (QS.2:21), akan dihidupkan di akhirat (QS.17:71). Semua kegiatan yang disebutkan al-Qur'an di atas, dikaitkan dengan penggunaan kata insân di dalamnya, menunjukkan bahwa semua kegiatan itu pada dasarnya adalah kegiatan yang disadari dan berkaitan dengan kapasitas akalnya dan aktualitas dalam kehidupan konkret, yaitu perencanaan, tindakan dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang ditimbulkannya (Asy’ari, 2002: 30). Berdasarkan keterangan tersebut istilah insân ternyata menunjukkan kepada makhluk yang dapat melakukan berbagai kegiatan karena memiliki berbagai potensi baik yang bersifat fisik, moral, mental maupun intelektual.
35
Manusia yang dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut itulah yang selanjutnya disebut Insân kamîl. Kata insân lebih mengacu kepada manusia yang dapat melakukan berbagai kegiatan yang bersifat moral, intelektual, sosial dan rohaniah. Dan unsur insaniyah inilah yang selanjutnya disebut sebagai makhluk yang memiliki intuisi, sifat lahut, dan sifat ini pula yang dapat baqa dan bersatu secara rohaniah dengan Tuhan dalam tasawuf, sebagaimana telah diuraikan di atas. Manusia dalam pengertian basyâr tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan dan diminumnya. Selanjutnya di dalam al-Qur'an kata basyâr disebut sebanyak 36 kali, dan digunakan untuk menggambarkan dimensi fisik manusia seperti kulit tubuh manusia (QS.74:27), suka makan, minum dan berjalanjalan (QS.23:23), suka berhubungan seksual (QS.19:20), menunjukkan pada proses penciptaannya dari tanah (QS.38:71-76), dan menerima kematian (QS.21:34-35) (Asy’ari, 2002: 19-20). Selanjutnya istilah al-nâs digunakan al-Qur'an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya, seperti kegiatan bidang peternakan, penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan perubahan sosial dan kepemimpinan (Asy’ari, 2002: 27). Berdasarkan keterangan tersebut kita melihat bahwa Islam dengan sumber ajarannya al-Qur'an telah memotret manusia dalam sosoknya yang benar-benar utuh dan menyeluruh. Seluruh sisi dan aspek dari kehidupan
36
manusia dipotret dengan cara yang amat akurat, dan barangkali tidak ada kitab lain di dunia ini yang mampu memotret manusia yang utuh itu, selain alQur'an. Apa yang dikemukakan al-Qur'an ini jelas sangat membantu untuk menjelaskan konsep insân kamîl. Dan apa yang dikemukakan al-Qur' an itu menunjukkan bahwa Insân kamîl lebih mengacu kepada manusia yang sempurna dari segi rohaniah, intelektual, intuisi, sosial, dan aktivitas kemanusiaannya. Untuk mencapai tingkat yang demikian itu, tasawuf sebagaimana telah diuraikan di atas jelas sangat membantu. Sebutan Insân kamîl agaknya dimunculkan pertama kali oleh Ibnu Arabi (w.1240/638 H), pendiri paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud). la mengikuti paham al-Halla`j, yang menyatakan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad atau Ruh Muhammad; Nur atau Ruh Muhammad inilah yang selanjutnya disebut juga oleh Ibnu Arabi dengan sejumlah nama, seperti Hakikat Muhammadiyah, Akal Pertama, Hakikat insaniyah dan insân kamîl. Dengan demikian Ibnu Arabi telah mengacukan sebutan insân kamîl bukan saja kepada manusia tertentu dari turunan Adam," tapi juga kepada Nur Muhammad (bersifat imateri, ciptaan pertama
dari
Tuhan. Insân kamîl dengan pengertian yang mengacu kepada ciptaan pertama itu, diuraikan lebih luas oleh Abdul Karim al-Jili dalam bukunya, al-Insân alKamîl fi Ma'rifat al-Awakhir wa al-Awal, dan para pengikut paham kesatuan wujud lainnya. Dalam pandangan Ali, bahwa istilah insân kamîl, seperti telah dijelaskan, muncul dalam literatur Islam pada abad ke-7H/13 M dan
37
dipergunakan pertama sekali oleh Ibn Arabi. Kemudian istilah itu segera menyebar melalui pengikut-pengikut Ibn Arab (Ali, 1997: 111). Insân kamîl yang mengacu kepada makhluk pertama, merupakan hakikat yang menghimpun segala hakikat dari keanekaragaman yang terdapat dalam alam empiris. la juga merupakan wadah tajalli, manifestasi segenap nama
pancaran, atau
dan sifat yang memancar dari Wujud Mutlak
(Tuhan). Sebagai makhluk pertama, Insân kamîl merupakan Akal Pertama atau Wujud Ilmi, yang memancar dari Wujud Mutlak. la merupakan sumber segala ilmu. la sumber ilmu bagi para nabi atau rasul, para sufi, atau para wali. Penyebutan para nabi atau rasul, para sufi, atau para wali dengan sebutan insân kamîl, tidak lain adalah karena merekalah orang-orang yang merasakan sungguh-sungguh kehadiran insân kamîl (makhluk pertama itu) dalam jiwa mereka, dan menerima limpahan ilmu darinya. Mereka tidak mungkin menerima kehadiran atau pancaran insân kamîl itu, bila hati atau jiwa mereka tidak suci. Manusia-manusia turunan Adam, yang termasuk kategori Insân kamîl, merupakan wadah yang paling sempurna dalam dunia empiris, untuk menerima tajalli (penampakan secara tidak langsung segenap sifat dan nama Tuhan). Dengan kata lain merekalah yang mampu dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya. Manusia lain yang bukan Insân kamîl, binatang, tumbuhtumbuhan, dan benda-benda empiris lainnya, kendati juga berfungsi sebagai wadah tajalli Tuhan, tidaklah dapat dengan sempurna mencerminkan atau
38
membayangkan keberadaan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya. Insya Allah (insya' Allah) mengandung arti jika Allah menghendaki. Kata ini dianjurkan untuk diucapkan oleh seseorang apabila ia menghadapi urusan atau mengikat suatu perjanjian dengan orang lain yang akan dipenuhi atau ditepati besok atau pada jangka waktu kemudian yang telah ditetapkan. Mengucapkan kata tersebut pada hakikatnya merupakan pendidikan mental bagi seorang muslim untuk selalu berada dalam kesadaran ketuhanan. Bahwa apa yang telah direncanakan oleh manusia dan apa yang akan dia lakukan besok, tidaklah dapat dipastikan akan berlaku sepenuhnya. Mungkin akan ada halangan dan rintangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya yang membuat urusan dan perjanjian itu menjadi gagal. Kedalaman dimensi esoterik di kalangan kaum sufi, melahirkan konsep insân kamîl (the perfect man). Yang dimaksud dengan insân kamîl ialah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan yang sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri kepada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya (Rahardjo, 1987: 110). Berbicara tentang insân kamîl tidak bisa melepaskan diri dari Ibn Arabi, dan berbicara tentang konsep Ibn Arabi tidak bisa terlepas dari konsep wahdatul wujudnya. Filsafat ibn Arabi tentang manusia dikenal dengan konsep al-Insân al-Kamîl (manusia sempurna). Ia disimbolisasikan oleh Adam, yang diciptakan oleh Allah dalam citra-Nya sebagai khalifah di muka
39
bumi. Ciri utama antropologinya adalah antroposentrisme yang dibangun di atas ontologi. Dia menggunakan tema dan motif yang sudah lazim dalam sufisme awal. Tentu saja, antroposentrisme itu sendiri sama sekali bukan sesuatu yang baru, baik dalam tradisi Islam maupun dalam tradisi YudeoKristen (Takeshita, 2005: 11). Dalam teorinya ini, insân kamîl adalah duplikasi Tuhan (nuskhah alHaqq), yaitu Nur Muhammad yang merupakan "tempat penjelmaan" (tajalli) asma', dan dzat Allah yang paling menyeluruh, yang dipandang sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Hakikat Nur Muhammad sesungguhnya mempunyai dua dimensi hubungan; yang pertama adalah dimensi kealaman sebagai asas pertama bagi penciptaan alam, dan yang kedua dimensi kemanusiaan yaitu sebagai hakikat manusia. Dari dimensi kealaman maka hakikat Muhammad mengandung pula kenyataan yang diciptakan oleh Allah SWT. lewat proses Kun. Proses penjadian lewat Kun ini tidak mengandung makna pencapaian-tujuan dari tujuan diciptakannya kenyataan-kenyataan yang ada.
Sebab,
kenyataan-kenyataan
tersebut
masih
merupakan
tempat
penampakan (tajalli) diri yang masih kabur. la belum cukup dapat memantulkan Asma dan Dzat Allah SWT. yang ditajallikan atasnya. Melalui dimensi kemanusiaan maka hakikat Muhammad merupakan insân kamîl yang dalam dirinya terkandung himpun- an realitas. Pada tahap inilah penampakan Asma Dzat Tuhan menjadi sempurna (Syukur, 2002: 70-71). Manusia Sempurna adalah suatu miniatur Realitas (Tuhan dan Alam). Dalam tubuhnya terdapat kesamaan-kesamaan yang ditarik di antara
40
mikrokosmos dan makrokosmos. Essensi dari Manusia Sempurna adalah suatu ragam dari Ruh universal. Tubuhnya merupakan ragam dari tubuh universal. Manusia Sempurna adalah Sebab dari Alam. Dengan cinta yang mendalam dari Yang Esa untuk dikenal dan menjadi kenyataan, maka Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam bentuk Dunia Fenomena. Sebagai landasan kaum sufi, khususnya Ibn Arabi ialah hadits Qudsi (sebagaimana telah disebutkan di depan) yang artinya: "Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku senang untuk diketahui maka Aku menciptakan makhluk, yang dengannya Aku dikenal mereka. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa dengan cinta abadi dari Yang Esa untuk memandang Kecantikan dan Kesempurnaan Dirinya dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk, dan di samping agar diketahui oleh dirinya sendiri di dalam dan melalui Dirinya Sendiri, dijumpai pula realisasi paling sempurna dalam diri Manusia Sempurna, yang hanya dia saja yang mengenal Dia, dan yang mampu memanifestasikan Atribut-atribut-Nya secara sempurna. la ketahui Dia, "dengan cara yang tak bisa diragukan lagi," dan ia lihat Dia dengan "mata" paling dalam dari jiwanya. "la bagi Tuhan seperti biji mata bagi mata (fisik) (Syukur, 2002: 70-71). Kesempurnaan manusia terletak pada perpaduan yang memberinya hak istimewa untuk menjadi khalifah. Bagi Ibn al-Arabi, manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan adalah binatang yang bentuk lahirnya menyerupai bentuk manusia dan tidak berhak memperoleh jabatan khilafah. Dalam terminologi Ibn al-Arabi, yang berhak disebut manusia dalam arti
41
sebenarnya adalah orang yang mencapai tingkat kesempurnaan. Barang siapa yang tidak mencapai tingkat ini tidak berhak menyandang nama “manusia” dan tidak berhak menjadi khalifah karena ia adalah binatang yang secara lahiriah menyerupai manusia (Noer, 1995: 134). Menurut Ibn Arabi, Manusia Sempurna adalah penyebab dari penciptaan, karena di dalam "Manusia Sempurna" tersebut obyek penciptaan itu disadari. Andaikata bukan karena dia (manusia sempurna), maka penciptaan itu tentu saja tidak akan berarti apa-apa, karena Tuhan tentunya tidak akan dikenal. Jadi karena dia maka seluruh penciptaan itu dibuat, yakni Tuhan memanifestasikan Diri-Nya di dalam dunia dan di dalam Manusia Sempurna itu. Oleh karena itu dia menduduki tempat mulia, dan karena itu seluruh isi alam dikuasakan padanya. Dan alam ini akan dipelihara terus menerus selama dia masih ada di dalamnya. Sebenarnya pemikiran Ibn Arabi tersebut mengembangkan rintisan alHallaj, yang dapat dikatakan sebagai salah satu gurunya. Al-Hallaj telah merintis jalan bagi pemikiran tasawuf berikutnya. Dia telah mengisyaratkan sesuatu semacam Logos Islam, dan menekankan kekudusan Muhammad, dan bahkan menegaskan keabadian dan praeksistensinya. Menurut dia, "Eksistensi Muhammad" telah terjadi bahkan sebelum non-eksistensi dan namanya pun sebelum 'pena'. la telah dikenal sebelum substansi-substansi, kejadiankejadian, dan sebelum realitas-realitas yang 'belum' maupun yang 'sudah'. la datang dari suatu 'suku' yang bukan timur maupun barat. (al-Hallaj, 1913). Muhammad adalah Cahaya yang tak pernah padam yang terus- menerus
42
menerangi hati para sufi. Semua Nabi-nabi (dan para wali) mendapatkan cahaya dari Cahaya Muhammad. Cahayanya lebih cemerlang dan lebih abadi (aqdam) daripada Cahaya Pena (Syukur, 2002: 72). Rintisan al-Hallaj tersebut kemudian disistimatisasikan oleh Ibn Arabi, dan teorinya ini banyak pengaruhnya kepada para sufi berikutnya, ambil saja sebagai sample Abd al-Karim al-Jili, dan Nuruddin al-Raniri. Dan di Indonesia secara tidak disadari sangat populer di kalangan muslim pedesaan, seperti tertuang dalam kitab bacaan rakyat, al-Barzanji yang berisi sya'ir pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan prosa tentang sejarah beliau. Al-Jili menulis buku monumental yang khusus membicarakan insân kamîl dengan judul al-Insân al-Kamîl fi Ma'rifati al-Awakhir wa al-Awa'il. Kupasan tentang insân kamîl dituangkan dalam bab ke 60. Insân kamîl dipersonifikasikan oleh al-Jili dengan diri Muhammad. Al-Kamal (kesempurnaan) menurut al-Jili mungkin dimiliki manusia secara potensial (bil quwwah), dan mungkin pula secara aktual (bil fi'li) seperti yang terdapat dalam diri wali dan Nabi, walaupun intensitasnya berbeda-beda. Intensitas yang tertinggi, menurut al-Jili terdapat dalam diri Muhammad, sehingga manusia lain baik Nabi-nabi maupun wali-wali dibandingkan dengan Muhammad, bagaikan al-kamil dengan al-akmal, atau al-fadhil dengan alafdhal. Menurut al-Jili, Muhammad adalah al-quthb (poros, sumbu) bagi beredarnya alam semesta (aflak al-wujud), dari awalnya. hingga akhir, sejak adanya wujud untuk selama-lamanya (abad al-abidin), dan bahkan
43
Muhammad dapat menjelma dalam ber- bagai bentuk, yang hanya diketahui oleh ahl al-kasyf. Al-Jili menandaskan bahwa insân kamîl merupakan mikrokosmos dan makrokosmos, jami' al-haqa 'iq al-wujudiyyah, qalbnya = arasy, aqlnya = qalam, nafsnya = lauh al-mahfuzh, mudrikahnya = kaukab, al-qawiy almuharrikahnya = asy-syams, dan sebagainya. Lebih jauh ditandaskan oleh alJili -sebagaimana Ibn Arabi bahwa insân kamîl laksana cermin di hadapan Allah untuk mengenal nama-nama (al-asma'), dan sifat-sifat (al- shifat) DiriNya, baik yang terletak di kanan seperti: al-hayat, al-'Ilm, al-qudrah, alsama', al-bashar, dan sebagainya, maupun yang ada di sebelah kiri, seperti alazaliyah, al-abadiyah, al-awaliyah, al-akhiriyah, dan lain sebagainya. 2.2.2. Syarat-Syarat Menjadi Insân kamîl Sebagai seorang sufi, dengan membawa filsafat Insân kamîl, Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya disebut al-martabat atau jenjang/tingkat. Dengan kata lain, menurut Al-Jilli, syarat menjadi Insân kamîl harus menempuh tujuh tingkatan, yaitu: Pertama, Islam; Kedua, Iman; Ketiga, Shalah; Keempat, Ihsan, Kelima, Syahadah, Keenam, Shiddiqiyah; Ketujuh, Qurbah (al-Jilli, tth: 130). Pertama: Islam, yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi, yang tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam. Misalnya puasa, menurut Al-Jilli, ia merupakan isyarat untuk menghindari tuntutan kemanusiaan agar si shaim (pelaksana puasa) memiliki sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan cara
44
mengosongkan jiwanya dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan maka terisilah jiwa oleh sifat-sifat ketuhanan. Kedua: Iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Iman menunjukkan sampainya hati mengetahui sesuatu yang jauh di luar jangkauan akal. Sebab, sesuatu yang diketahui akal tidak selalu membawa keimanan. Ketiga: Ash-shalat, yakni dengan maqam ini, seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) dari nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya ia merasa seakan-akan berada di hadapannya. Persyaratan yang harus ditempuh dalam maqam ini adalah sikap istiqamah dan tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas. Keempat: Ihsan, Persyaratan yang harus ditempuh dalam maqam ini adalah sikap istiqamah dan tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas. Kelima: Syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingatNya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah ini terbagi atas dua tingkatan, yaitu: mencapai mahanah kepada Tuhan tanpa pamrih ini adalah tingkat yang paling rendah dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluknya secara 'ainul yaqin. Ini adalah tingkat yang paling tinggi.
45
Keenam: Shiddiqiyah, menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang ma'rifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, 'amal-yaqin (perbuatan yang diyakini), dan sampai haqq al-yaqin. Ketiga tingkat ma'rifat itu dialami oleh seorang sufi secara bertahap. Jadi, menurut Al-Jilli, seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang gaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diriNya. Setelah mengalami fana', ia memperoleh baqa Ilahi. Apabila ia telah baqa dengan Tuhan, ia akan diikuti dengan penampakan nama-nama. Inilah batas pencapaian ilmu al-yaqin (al-Jilli, tth: 130). Selanjutnya, ketika penampakan sifat-sifat itu terjadi, ia akan memperoleh ma'rifat Dzat dari segi sifat. Demikian berlangsung selanjutnya, sampai mencapai ma'rifat dzat dengan dzat. Akan tetapi, karena tidak merasa puas dengan ma'rifat dzat dengan dzat, ia mencoba melepaskan sifat-sifat Rububiyah sehingga akhirnya ia dapat terhiasi dengan sifat-sifat dan nama Tuhan. Tingkat semacam inilah yang dinamakan haqq al-yaqin. Ketujuh: Qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan (al-Jilli, tth: 130). Demikianlah, maqan-maqam yang dirumuskan Al-Jilli dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa AlJilli mengatakan, "Mengetahui Dzat Yang Mahatinggi itu secara kasyaf (tidak terlihat) Ilahi. Sebab, hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah
mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya."
46
(Solihin, 2003: 108).
Dengan pernyataan ini, dapat kita pahami bahwa
sungguh pun manusia berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak dapat menyamai sifat dan nama-nama-Nya. Bagaimana pun harus dicatat bahwa pemikiran tentang insân kamîl AlJilli hingga zaman selanjutnya terus berkembang. Muhammad Iqbal (w. 1938 M), misalnya, seorang tokoh modern berhasil melahirkan konsep tentang Higher Selfhood (pribadi luhur) (Nicholson, 1998: 87). Perlu dicatat di sini bahwa pemikiran insân kamîl Al-Jilli ternyata banyak juga mendapatkan kritikan atau reaksi dari beberapa kalangan. Muhammad Al-Abduh dan Thariq Abdul Halim, misalnya, menilai pemikiran Al-Jilli sangat ekstrem, bahkan dianggap kufur karena berlebih-lebihan dalam menempatkan kedudukan Nabi Muhammad SAW. Mereka
menolak
keyakinan Al-Jilli yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai makhluk pertama dan sebagai quthb (poros) yang diciptakan oleh Allah SWT, yang dari Nabi Muhammad ini seluruh falak yang ada dari yang pertama sampai yang terakhir
berputar di bawah kendali beliau. Mereka menilai
keyakinan seperti ini merupakan pengaruh dari filsafat Yunani dan ajaran agama Kristen yang telah memberi tambahan sifat ketuhanan kepada Nabi Isa a.s (Nata, 2003: 265).
47 2.2.3. Karakteristik Insân kamîl Untuk mengetahui ciri-ciri insân kamîl dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk didalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut: 1. Berfungsi Akalnya Secara Optimal. Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insân kamîl. Dengan demikian insân kamîl akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut (Azra, 1987: 43). 2. Berfungsi
Intuisinya.
Insân
kamîl
dapat
juga
dicirikan
dengan
berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan (Nasution, 1983: 56-74). 3. Mampu Menciptakan Budaya. Manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-
48
sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban. Tetapi dalam kaca mata Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi (Rahardjo, 1987: 175-176). 4. Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan. 5. Manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). la cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak yang bebas. Manusia yang ideal itulah yang disebut insân kamîl, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain (Rahardjo, 1987: 175-176). Sebagai khalifah Allah di muka bumi ia melaksanakan amanat Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya. 6. Berakhlak Mulia. Sejalan dengan ciri keempat di atas, insân kamîl juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari'ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga
49
aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insân kamîl dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala
sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan dan kelemahan (Rahardjo, 1987: 176). 7. Berjiwa Seimbang. Menurut Nashr, sebagai dikutip Komaruddin Hidayat, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari mereka lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin,
yang berarti tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi bila
tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak (Hidayat dan Nafis, tth: 192). 8. Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang
50
dibarengi dengan pengamalan
syariat Islam, terutama ibadah, zikir,
tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya. Uraian di atas diyakini belum menjelaskan ciri-ciri insân kamîl secara keseluruhan. Tetapi ciri-ciri itu saja jika diamalkan secara konsisten dipastikan akan mewujudkan insân kamîl dimaksud. Seluruh ciri tersebut menunjukkan bahwa insân kamîl lebih menunjukkan pada manusia yang segenap potensi intelektual, intuisi, rohani, hati sanubari, ketuhanan, fitrah dan kejiwaannya berfungsi dengan baik. Jika demikian halnya, maka upaya mewujudkan insân kamîl perlu diarahkan melalui pembinaan intelektual, kepribadian, akhlak, ibadah, pengalaman tasawuf, bermasyarakat, research dan lain sebagainya. Dimana semua unsur tersebut dapat diperoleh dengan jalan pendidikan Islam. Dan hal yang terpenting dalam pencapaian insân kamîl adalah campur “Tangan” dari sang khaliq yaitu Allah SWT. 2.2.4. Insân Kamîl menjadi Tujuan Dakwah Insan kamil menjadi tujuan dakwah. Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah suci berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan akhlak yang dimaksudkan ini tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri sebab hanya kepada al-Qur'an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman. Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik individu maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut (Tasmara, 1997: 47). Secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur'an adalah: Aziz (2004: 68).
51
1. Dakwah bertujuan untuk menghidupkan hati yang mati. Allah berfirman:
...
!" #$ % & '()*+ (23:./0) Artinya: Hai orang-orang yang beriman, patuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu ...". (QS. al Anfal: 24) (Depag RI,1978: 264 ). 2. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindarkan azab dari Allah.
(: :9/) ... ) . 5 " ) 6 ( 78/ Artinya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka ... (QS Nuh: 7) (Depag RI,1978: 978). 3. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
&;$ < => 0? & $ @ = /+ A B > . < " C #6% & '( + A D E + F G + B + H $ + / I J K L A # (NOG) < M$ Artinya: Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka, bergembira dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu, dan di antara golongan-golongan Yahudi Jang bersekutu ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (QS. ar Ra'd: 36) (Depag RI,1978: 375).
4. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus.
(:N:B#$]^) Z ["U $* \ Z P S C G " @ /
52
Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka ke jalan yang lurus. (QS. al-Mukminun: 73) (Depag RI,1978: 534). 5. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke dalam lubuk hati masyarakat.
@ A8Y S a @ _ = /+ G L A ( H % & @ /G* ` (c: :b`[) V W & $ & /6 Artinya: Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orangorang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-Qashshas: 87) (Depag RI,1978: 612).
BAB III INSÂN KAMÎL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM"
3.1 Biografi Dawam Rahardjo, Pendidikan dan Karya-karyanya Prof. Drs. Mohammad Dawam Rahardjo lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 April 1942. Pendidikan: SD Negeri Loji Wetan, Solo (1954); SMP Solo(1957); SMA Solo (1960); Fakultas Ekonomi UGM (1969). Karir: Ketua Redaksi Majalah Dewan Mahasiswa UGM, Gelora (1968-1969); Staf Departemen Kredit Bank of America, Jakarta (1969-1971); Staf Peneliti LP3ES ( 1971 -1972); Kepala Bagian Penelitian LP3ES (1972-1974); Koordinator Bagian Penelitian dan Pengembangan LP3ES (1974-1976); Wakil Direktur LP3ES (1976-1978); Direktur LP3ES dan Pemimpin Umum majalah Prisma (1980-1986); Direktur Utama Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya; Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (1986sekarang); Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (1996- sekarang); Pembantu Rektor IV Universitas Islam 45 Bekasi (Unisma); Rektor Unisma; Presiden Direktur CIDES Persada Consultant; Koordinator Bidang Ekonomi, Tim Reformasi untuk mengembangkan Masyarakat Madani; Ketua Majelis Pembina Ekonomi PP Muhammadiyah (Handrianto, 2007: 42). Kegiatan Lain: Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI (1990-1995); Ketua ICMI Pusat (1995-2000); President of The Board of Directors, International
53
54
Forum of Islamic Studies; Direktur International Institute of Islamic Thought Indonesia Adapun karyanya: Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (1984); Pesantren dan Pembaruan (1974); Insân Cendekiawan Muslim (1992); Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (1987); Deklarasi Makkah: Esai-Esai Ekonomi Islam (1987); Etika Ekonomi dan Manajemen (1990); Intelektual, Intelegensi, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim (1992); Pragmatisme dan Utopia: Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia (1992); Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah (1993); Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (2000); Islam dan Transformasi Sosial-Budaya (2000) Sarjana ekonomi dari Universitas Gadjah Mada ini turut membidani lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia (ICMI) pada 1990. la menjadi wakil ketua Dewan Pakar pada periode pertama, dilanjutkan sebagai ketua ICMI Pusat pada periode berikutnya. Saat ini, selain sebagai Rektor Universitas Islam 45 (Unisma), Dawam masih aktif di Lembaga Studi Agama dan Filsafat dan International Institute of Islamic Thought. Lelaki kelahiran Solo, Jawa Tengah, itu juga aktif di beberapa perusahaan di bawah naungan Muhammadiyah. Sebenarnya, Zuhdi Rahardjo guru yang kemudian jadi pengusaha batik dan tenun- menginginkan anak sulungnya ini meneruskan usahanya, kelak. Karena itu, Dawam kecil dididik ayahnya menjadi seorang pengusaha. Tapi ia gemar membaca, termasuk komik, selain sebagai anak keluarga santri akrab
55
dengan bacaan Al-Qur'an. Selain sekolah umum pada pagi hari, petang harinya Dawam juga belajar di' Madrasah Diniyah Al Islam, sekolah agama Islam yang termasuk terbaik di Solo. Beranjak remaja, Dawam meminati sastra. la menulis puisi di sebuah koran lokal di Yogyakarta, dan pada saat yang bersamaan sempat bergabung dengan Himpunan Peminat Sastra Surakarta. Mendapat beasiswa lewat Program American Field Service untuk belajar di Borah High School, Idaho, Amerika Serikat, pria yang sudah menulis kolom sejak SMA ini banyak membaca karya sastra Amerika. Puisinya yang ditulis dalam bahasa Inggris saat itu mendapat nilai A. Selepas
SMA,
pertumbuhan
minat
Dawam
pada
ekonomi
membawanya masuk Fakultas Ekonomi UGM. Namun di saat itu pula ketika suhu politik Nasional memanas menjelang pecahnya Gerakan 30 September (1965) ia tertarik pada politik, yang ia salurkan melalui Himpunan Mahasiswa Islam. Walau tidak duduk sebagai anggota pengurus, Dawam menjadi" ideolog" HMT Yogyakarta. Setelah lulus Fakultas Ekonomi UGM, 1969, Dawam bekerja di Bank of America, Jakarta, tapi tak lama. Karena merasa tidak leluasa berkiprah dalam pergerakan, Dawam yang ketika itu redaktur Mimbar Demokrasi dan mingguan Forum- memilih keluar. la ingin bekerja di sebuah lembaga riset. Nono Anwar Makarim, yang dikenalnya di Yogya, yang merekrutnya ke lembaga riset bernama Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu. Memulai sebagai peneliti pada 1971, satu
56
tahun kemudian karirnya merambat naik. Dari kepala bagian penelitian, ia bahkan akhirnya dipercaya menjadi direktur dan pemimpin umum majalah Prisma yang amat berpengaruh di kalangan intelektual. Pada saat itu pula, ia memprakarsai berdirinya Inter-Non-Governmental Forum for Indonesia, yang kemudian berubah nama menjadi Inter-Non-Governmental for Development (INFID). Dawam juga sudah menghasilkan beberapa buku, contohnya Esai-Esai Ekonomi Politik (LP3ES, 1983), Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (Ul Press, 1984), dan Pesantren dan Pembaruan (LP3ES, 1974). Ditangannyalah lahir buku Catatan Harian Ahmad Wahib yang menghebohkan itu yang diedit oleh Djohan Effendy dan Ismet Natsir. Dalam
rangka
pemberian
gelar
guru
besar
di
Universitas
Muhammadiyah Malang, 1992, ia meluncurkan buku berjudul Pragmatisme dan Utopia: Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia. Namun yang oleh pengagum Buya Hamka ini dinilai sebagai puncak karyanya adalah Ensiklopedia Tafsir Al-Qur'an. 3.2 Konsepsi Manusia Menurut Islam Buku yang berjudul Konsepsi Manusia Menurut Islam disunting oleh M. Dawam Rahardjo. Buku ini memuat pikiran M. Dawam Rahardo juga pemikiran beberapa ahli yaitu Azyumardi Azra yang berjudul Antara Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia; Arief Mudatsir yang berjudul Makhluk Pencari Kebenaran; Bahtiar Effendi yang berjudul Antara Roh dan Jasad; Hari Zamharir yang berjudul Insân kamîl ; Ahmadi Rifa'i Hasan yang
57
berjudul Manusia Serba Dimensi; Fachri Ali yang berjudul: Realitas Manusia; Hadimulyo yang berjudul Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama; Komaruddin Hidayat yang berjudul Upaya Pembebasan Manusia. 3.2.1. Insân kamîl Menurut Rahardjo (1987: 213) jika menengok sebentar kandungan Al-Qur'an tampak lima ayat yang mula pertama diturunkan, yaitu tercantum pada surat Al-'Alaq yang berbunyi demikian: "Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Rabb-mu yang paling Murah Hati. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Yang mengajar kepada manusia apa yang ia tak tahu". (QS. Al-'Alaq l-5). Ternyata menurut Rahardjo, ed., (1987: 213), dalam ayat-ayat yang mula-mula turun pertama kali itu, Tuhan di samping memperkenalkan
dirinya
sebagai
Rabb,
yaitu
Tuhan
Yang
Menciptakan, Yang Murah Hati, dan Yang Mengajar Manusia, juga telah menyebut istilah al-insan, atau manusia, sebanyak dua kali. Pertama, manusia disebut dalam konteks yang berhadapan dengan Allah, sebagai makhluk yang diciptakan, yaitu diciptakan dari segumpal darah. Kedua, manusia disebut dalam konteks, juga berhadapan dengan Allah, sebagai makhluk yang menerima pelajaran, yang memperoleh pengetahuan, dengan perantaraan suatu alat, yaitu pena, atau al-qalam, yang artinya adalah alat pencatat. Ayat yang terakhir menyebut suatu proses perpindahan dari keadaan tidak tahu
58
menjadi tahu. Di situ tampak sekali makna penyadaran oleh Allah kepada manusia, bahwa al-insân itu bukan hanya sekadar makhluk biologis, tetapi juga makhluk rohaniah, yaitu makhluk yang menerima ilmu dari Allah, makhluk yang belajar. Menurut Rahardjo, (1987: 214) apa pun tafsiran seseorang terhadap ayat-ayat itu, jelas bahwa soal-soal yang dibicarakan oleh AlQur'an sejak pertama adalah tentang manusia sendiri. Selanjutnya, alinsân juga dipakai sebagai judul suatu surat tersendiri, yaitu surat 76, karena awal surat itu memberi penjelasan lebih lanjut tentang manusia yang terjemahnya: "Sesungguhnya telah datang kepada manusia suatu masa, tatkala dia belumlah sesuatu yang dapat disebutkan. Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari sperma yang bercampur (dengan telur dalam rahim wanita), untuk mengujinya, maka Kami membuat dia mendengar dan melihat." Sekali lagi, di sini manusia dijelaskan baik sebagai makhluk biologis maupun rohaniah. Pada ayat-ayat selanjutnya yang turun di Mekkah, Allah memang banyak memberi penjelasan tentang manusia sebagai makhluk biologis, khususnya tentang asal usul dan kejadiannya, misalnya dalam surat Al-Mu'min ayat 67, surat Al-Hajj ayat 5, surat Al-Hijr ayat 26, 28, dan 29, atau surat Al-Sajdah ayat 7, 8, dan 9. Pada surat yang terakhir ini jelas sekali diterangkan bahwa manusia adalah makhluk biologis yang mengandung roh Allah. "Demikianlah Tuhan Yang Mahatahu akan barang-barang yang tidak kelihatan dan yang
59
tampak, Yang Mahaperkasa, Yang Maha Pengasih. Yang membuat baik segala sesuatu yang la ciptakan, dan la mengawali terciptanya manusia dari tanah. Lalu la membuat keturunannya dari sari, dari air yang hina. Lalu la buat itu sempurna, dan ia tiupkan di dalamnya sebagian roh-Nya, an la berikan kepada kamu pendengaran, penglihatan, dan al-qalb. Tetapi sedikit sekali apa yang kamu syukuri." Penyebutannya sebagai makhluk biologis menurut Rahardjo, (1987: 215) justru untuk menegaskan bahwa manusia bukan sekadar itu. "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam susunan yang paling baik," kata Tuhan dalam surat Al-Thin ayat 4. Yang dimaksud dengan istilah akhsani taqwim dalam ayat itu adalah "daya kemampuan yang luar biasa besarnya untuk maju" yang dimiliki manusia. Atau potensinya untuk berkembang dan mengembangkan diri. Manusia bisa berkembang karena diberi alat pendengaran dan penglihatan. Dengan alat itu atau cara itu manusia bisa menangkap sesuatu. Tetapi Tuhan memberi alat lain yang penting untuk bisa memahami sesuatu yaitu yang bernama "al-qalb". Penjelasan untuk istilah itu antara lain diberikan oleh ayat 179, surat Al-A'raaf, yaitu alat yang dapat dipergunakan manusia untuk memahami sesuatu. Seseorang bisa mempunyai mata, tetapi tidak "melihat" dengan qalbnya, bisa pula mempunyai telinga, tetapi tidak "mendengar" dengan
60
qalb-nya itu. Manusia seperti itu oleh Al-Qur'an diumpamakan hewan (al-an'aam). Sebenarnya, Tuhan tidak hanya memberitakan kepada manusia tentang asal usul kejadiannya. Lebih dari itu la juga menyuruh manusia memikirkan kejadiannya itu lebih lanjut. "Maka, hendaklah manusia memperhatikan, dari apakah ia diciptakan", kata Allah dalam surat At-Thariq ayat 5. Tampaknya Allah mengisyaratkan bahwa pada diri manusia terdapat suatu rahasia yang perlu diungkapkan dan manusia disuruh memperhatikannya. Pada surat Adz-Dzaariyat ayat 21, Tuhan menyuruh manusia dalam bentuk pertanyaan: "Dan pada diri kamu sendiri, mengapa kamu tidak memperhatikan?" Tampaknya menurut Rahardjo, (1987: 214) bahwa Tuhan memang mengulang-ulang pertanyaan dan keterangan mengenai kejadian manusia itu pada berbagai surat dan ayat. Yang menarik adalah pertanyaan Allah dalam surat 'Abasa ayat 18 yang dijawab pada ayat berikutnya, "Dari apakah ia (manusia) diciptakan? (Yaitu) dari benih manusia yang kecil. la menciptakan dia. Lalu ia menentukan ukurannya." Selanjutnya, pada ayat 24 muncul perintah Tuhan kepada manusia, "Maka, hendaklah manusia melihat kepada makanannya." Ayat-ayat berikutnya, tampaknya menjelaskan apa yang dimaksud oleh Allah itu: "Bagaimana Kami tuangkan air yang berlimpah-limpah. Lalu Kami membelah bumi, terbelah. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian,
61
Dan pohon anggur dan sayur-mayur. Dan pohon zaitun dan pohon kurma, Dart tanam-tanaman yang rimbun, Dan buah-buahan dan rerumputan. Persediaan makanan bagi kamu dan ternak kamu." (QS. Abasa :23-32). Dengan mulai memperhatikan diri manusia (Abasa :23—32) itu sendiri, Al-Qur'an membawa" manusia untuk memperhatikan makanannya,
yaitu
yang
menumbuhkan
jasmaninya
lalu
memperhatikan alam biologis, yaitu flora dan fauna. Di situ Al-Qur'an menjelaskan bahwa manusia mempunyai kaitan dengan flora dan fauna. Imbauan ilahi kepada' manusia untuk memperhatikan dan menyelidiki rahasia alam yang lebih luas lebih tampak pada surat AlFathir ayat 27 dan 28. Di sini Allah menyebut suatu istilah ulama atau ahli
ilmu
yang
secara
langsung
dikaitkan
dengan
kegiatan
penyelidikan: Apakah engkau tidak melihat bahwa Allah menurunkan hujan dari awan lalu dengan itu Kami keluarkan buah-buahan yang bermacam ragam. Dan di gunung-gunung terdapat garis-garis, putih dan merah, bermacam-macam warnanya, dan yang lain hitam pekat. Dan di antaranya manusia, dan binatang, dan ternak ada yang berbedabeda juga warnanya. Hanya orang-orang yang memiliki ilmulah (ulama) yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Pengampun".
Allah
itu
Yang
Mahaperkasa,
Yang
Maha
62
Dalam surat dan ayat itu Allah tidak sekadar berbicara tentang flora dan fauna, tetapi juga tentang manusia, yaitu tentang hambahamba Allah yang takut kepada-Nya. Mereka adalah orang-orang yang berilmu. Lebih lanjut, pada surat Yasin ayat 72 dan 73, Allah menjelaskan manfaat ternak, yaitu sebagai sumber bahan makanan dan minuman, sebagian dapat pula dipakai sebagai kendaraan. Menurut Rahardjo, (1987: 215) petunjuk bahwa alam semesta merupakan obyek pengamatan bagi ahli ilmu lebih tegas dinyatakan dalam surat Al-Rum ayat 20,21, dan 22 yang berbunyi, "Dan di antara tanda bukti-Nya ialah bahwa ia menciptakan kamu dari tanah, lalu tiba-tiba kamu menjadi manusia yang bertebaran. Dan di antara tanda bukti-Nya adalah bahwa la menciptakan untuk kamu jodoh dari jenis kamu, agar kamu menemukan ketenteraman pada mereka, dan la membuat di antara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada gejala-gejala itu semua terdapat tanda bukti bagi orang-orang yang berpikir. Dan di antara tanda bukti-Nya ialah terciptanya langit dan bumi, dan perbedaan bahasa di antara kamu serta warna kulit kamu. Sesungguhnya pada gejala itu semua merupakan tanda bukti bagi orang-orang yang berilmu." Ketiga ayat dalam surat Al-Rum tersebut di atas ringkas dan padat pengajaran bagi manusia. Pada mulanya, manusia diimbau untuk mengamati kejadiannya sendiri dan kejadian umat manusia yang bertebaran di seluruh bumi sebagai kesatuan umat manusia. Pada ayat
63
22, dinyatakan bahwa manusia terdiri dari berbagai macam bahasa dan warna kulit. Tetapi pada ayat sebelumnya, yaitu ayat ke-20, sudah dinyatakan bahwa mereka itu pada hakikatnya adalah manusia yang satu juga. Pada ayat 21, Tuhan menunjukkan adanya unsur cinta dan kasih sayang (Mawaddah wa rahmah) yang mengikat makhluk lakilaki dan perempuan. Kesemuanya itu merupakan ayat-ayat, yaitu tanda-tanda, yang bagi ilmuwan mungkin disebut sebagai data, jugabagi orang-orang yang berpikir (lil qaumi yata fakkarun) serta bagi orang-orang yang memiliki ilmu (lil 'alimin). Sebenarnya, pada ayat-ayat benkutnya dalam surat yang sama, Tuhan menyebut data yang lain, seperti malam dan siang, mata pencarian manusia, kilat yang menimbulkan kecemasan 'maupun harapan, hujan dan awan, bumi yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia dan bumi yang mati (kering), tentang bumi dan langit. yang tunduk kepada hukumhukum-Nya, kesemuanya merupakan data bagi pengamatan orang yang mau berpikir dan memiliki ilmu pengetahuan. Manusia yang suka merenung dan memikirkan kejadian langit dan bumi itu dalam surat Az-Zumar ayat 21 disebut dengan istilah ulil albab. "Apakah engkau tidak melihat", demikian bunyi ayat itu "bahwa Allah menurunkan air dari awan, lalu air itu dialirkan dalam perut bumi yang kemudian menciptakan mata air, lalu menumbuhkan dengan air itu tetumbuhan yang beraneka rona warnanya; lalu menjadi layu sehingga engkau melihat perubahan warnanya menjadi kekuning-
64
kuningan dan kemudian la membuatnya hancur. Sesungguhnya dalam gejala itu semua terdapat peringatan bagi ulil albab. Seluruh ayat itu merupakan definisi ulil albab itu, walaupun identitasnya dijelaskan secara lebih luas pada ayat-ayat lain. Menurut Rahardjo, (1987: 215) pada surat dan ayat lain, yaitu surat Thaaha ayat 54, Al-Qur'an mengemukakan istilah lain dengan pengertian yang serupa. Mereka yang suka memperhatikan tandatanda kekuasaan Allah di langit dan bumi dan mereka yang mengenai fungsi-fungsi bumi, jalan-jalan yang membentang, air yang turun dan awan, hujan yang menumbuhkan tetanaman yang beraneka warna, serta kegunaan binatang ternak sebagai sumber bahan makanan, oleh Al-Qur'an disebut ulin nuha atau orang yang berakal dan mempergunakan akalnya. Tetapi pada ayat 128, istilah itu dikenakan kepada orang-orang yang pandai mengambisl pelajaran dari sejarah generasi terdahulu yang telah musnah. Mereka yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu yang memperhatikan gejala sejarah, dalam akhir surat Yusuf, yaitu ayat yang ke-3, disebut juga ulil albab. "Apakah mereka tidak berkeliling di muka bumi dan memperhatikan bagaimana kesudahan generasi-generasi sebelum mereka?" demikian Al-Qur'an pada surat Yusuf ayat 109 yang mengundang pemikiran orang-orang yang mau mempergunakan akalnya. Dari cuplikan sebagian ayat-ayat Al-Qur'an ini menurut Rahardjo, (1987: 216) dirasakan adanya imbauan yang menuntun
65
manusia untuk berpikir. Pada surat An-Nahl, secara beruntun sejak ayat 10 hingga 16, Al-Qur'an membicarakan berbagai gejala alam serta fungsi dan manfaat berbagai benda alam sejak dari air minum yang merupakan kebutuhan dasar manusia, tanaman pertanian dan perkebunan, perikanan laut dan hasil laut untuk perhiasan, transportasi laut, sungai, dan jalan daratan hingga kepada bintang-bintang di langit yang bisa memberi petunjuk "perjalanan dan, di tengah-tengah pembicaraan itu, Allah menandaskan bahwa kesemuanya itu merupakan data bagi mereka yang suka melakukan pengamatan (li qaumi yadzakkarun), yang "mempergunakan alat penalaran (li qaumi ya'qilun) dan yang menganalisa dan merenungkan (li qaumi yatafakkarun). Kesemuanya itu dilakukan bukan sekadar untuk bisa mendapatkan petunjuk (la'allakum tahtadun), melainkan juga agar manusia bisa memperoleh rasa syukur (la 'allakum tasykuruun) atas segala anugerah Allah yang Pemurah. "Dan jika kamu berusaha menghitung nikmat Allah," kata Allah pada ayat yang ke-18, "maka kamu tidak akan mampu menghitungnya." Menurut Rahardjo, (1987: 24) ungkapan dan pemikiran tentang insân kamîl bukanlah hanya milik Iqbal. Beberapa pemikir sufi Muslim sebelumnya sudah membahas masalah insân kamîl . Di antara mereka adalah Muhyiddin ibnu 'Arabi dan Abdul Karim Al-Jilli. Bagi Ibnu 'Arabi, "insân kamîl " adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab sebenarnyalah dia memanifestasikan semua sifat dan kesempurnaan
66
ilahi, dan manifestasi semacam ini tidaklah sempurna tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan. Insân kamîl adalah miniatur dari kenyataan. Menurut Al-Jilli, seperti dikemukakannya dalam bukunya yang terkemuka 'Al-Insanul Kamîl
fi Ma'rifatil Awakhiri wal Awail',
"manusia adalah suatu wujud yang utuh dan merupakan manifestasi ilahi dan alam semesta. Manusia adalah citra Tuhan dan dalam kenyataannya ia adalah rantai yang menyatukan Tuhan dengan alam semesta. Manusia adalah tujuan utama yang ada di balik penciptaan alam, karena tiada ciptaan lain yang mempunyai sifat-sifat yang diperlukan untuk menjadi cermin sifat-sifat ilahi yang sesungguhnya dan Nabi Muhammad adalah contoh yang luhur tentang insân kamîl , dan siapa pun yang menapaktilasi jalan kehidupan dalam sorotan Nabi tentu akan mencapai cita kehidupan yang paling tinggi yang mungkin dicapai manusia. Masih tentang pemikiran Al-Jilli, bisa juga dikutip tulisan Vahid yang mengatakan, "Manusia adalah citra Tuhan. la adalah cermin yang merefleksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. la adalah mikrokosmos yang di dalamnya yang mutlak menjadi kesadaran tentang diri sendiri dalam keseluruhan bagian-bagiannya yang beranekaragam. Bagaimana manusia mencapai kesempurnaan ini?, Dengan latihan rohani dan .pendakian mistik. Karena turunnya yang mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat, manusia bermeditasi tentang nama-nama Tuhan. Pada tingkat kedua ia melangkah masuk ke dalam suasana sifat-
67
sifat Tuhan, dan di sini ia mulai ambil bagian dalam sifat-sifat ilahi dan mendapat kekuasaan yang luar biasa. Pada tingkat ketiga ia melintasi daerah nama dan sifat Tuhan, dan masuk ke dalam suasana hakikat mutlak dan menjadi manusia Tuhan atau insân kamîl . Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan. Iqbal tidak sepaham dengan teori para mistikus besar seperti pemikiran Al-Jilli itu, yang menurut dia membunuh individualitas dan melemahkan khudi. Iqbal memang mengakui dan memandang Muhammad sebagai insân kamîl tanpa otak-atik mistik. Insân kamîl versi Iqbal tidak lain adalah Sang Mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak nabawi. Sang Mukmin menjadi tuan nasibnya sendiri dan secara tahap-temahap mencapai kesempurnaan, kata Iqbal. Menurut Rahardjo (1987: 26) bahwa dalam mengemukakan pandangan Iqbal tentang insân kamîl
tentu harus disinggung juga
konsep Superman dari seorang filosof Jerman yang terkenal, Nietzsche, yang sangat menekankan pada kekuatan. Agaknya Iqbal mendapat pengaruh dari pemikiran Nietzsche. Terutama mengenai pemikiran insân kamîl , tetapi sangat jelas bahwa titik berangkat mereka berbeda, bahkan mungkin bertolak belakang. Iqbal berpangkal dari imannya yang teguh terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sedang Nietzsche bertolak dari
68
"kematian Tuhan". Namun mereka mempunyai pandangan yang serupa bahwa kekuatan mempunyai peranan yang vital dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Kata Nietzsche, "Di mana kutemukan kehidupan di sana kutemukan hasrat untuk berkuasa, dan bahkan dalam hasrat mereka yang mengawula kutemukan kehendak untuk menjadi gusti. Nietzsche sangat gemas dengan orang yang lemah dan manja, dan tanpa kepalang tanggung ia mengecam semua aspek karakter manusia yang mengakibatkan kelemahan. Bagi Nietzsche kebaikan dan kekuatan satu arti, dan hanya kekuatan yang merupakan pintu gerbang menuju keberhasilan dan kebahagiaan. Tulis Nietzsche: "Apakah kebaikan? Segala sesuatu yang meningkatkan rasa kuat dalam diri manusia, hasrat untuk menjadi kuat bahkan kekuatan itu sendiri. Apakah keburukan? Segala sesuatu yang lahir dari kelemahan. Apakah kebahagiaan? Perasaan bahwa kekuatan tumbuh hingga perlawanan mengungguli. Jalan pikiran Nietzsche di atas dapat dibandingkan dengan pendapat Iqbal yang menegaskan bahwa: Cita etik Islam adalah membebaskan manusia dari rasa takut, dan karena itu memberikan kesadaran berkepribadian, membuatnya sadar tentang dirinya sebagai sumber kekuatan. Gagasan tentang manusia, sebagai suatu individualitas dari kekuatan tidak terbatas, menetapkan, menurut ajaran Islam, keseluruhan nilai tindakan manusia. Hal-hal yang mempertinggi rasa kepribadian manusia adalah baik, sedangkan hal-hal yang memperlemah kepribadian adalah buruk. Kebaikan adalah kekuatan, kekuasaan; kejahatan adalah kelemahan. Berikan kepada manusia kesadaran menghargai kepribadiannya, biarkan ia bergerak dengan merdeka tanpa rasa takut di tengah-tengah kebesaran
69
alam Tuhan, pasti ia akan menghargai kepribadian orang lain, dan ia akan menjadi orang baik (Rahardjo, 1987: 26). Berbeda dengan Supermannya Nietzsche yang lahir dari kematian Tuhan, insân kamîl -nya Iqbal adalah Sang Mukmin yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi yang untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya ia senantiasa meresapi dan menghayati akhlak ilahi. Memang Iqbal, seperti dikatakan Aziz Ahmad, menerima sifatsifat dinamik manusia unggul ala Nietzsche, tetapi sepenuhnya menolak sifat-sifat tidak bermoral, tidak beragama, dan antisosialnya. Iqbal tidak mau berdamai dengan tirani, zalim, dan rasionalismenya Nietzsche. Proses untuk "menjadi" insân kamîl bukanlah terjadi begitu saja. la harus dilakukan dengan berusaha mengikuti secara teliti kehidupan nabawi. Manusia, menurut Iqbal, melalui proses mewujud yang terusmenerus dari dan ini hanya setelah pengejaran yang teliti dari seorang insân kamîl Nabi "Tuhan hingga ia mencapai tingkat "menjadi" atau pengukuhan hidup." Lahirnya insân kamîl , menurut Iqbal melalui tiga tahap, yaitu: 1. ketaatan kepada hukum. 2. penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi, dan 3. kekhalifahan Ilahi. Vahid dalam komentarnya terhadap pendapat Iqbal di atas mengatakan bahwa ketaatan kepada hukum dan penguasaan diri juga
70
memainkan peranan besar dalam menyuburkan khudi, tetapi Iqbal lebih memandangnya sebagai batu-batu tonggak dalam perjalanan menanjak menuju insân kamîl . Bagi khudi yang disiplin secara tepat dapat diperkuat dengan cara yang cocok, tingkat pertama digambarkan dengan suatu tahap ketika ketaatan kepada hukum datang tanpa disadari. Khudi sebegitu jauh tidak mempunyai pertentangan sepanjang menyangkut hukum. Di pihak lain hukum, bersamaan dengan daya-daya lunak lainnya, cenderung melatih khudi untuk tahap evolusi kedua ketika khudi mencapai penguasaan diri yang sempurna. Penguasaan diri pada gilirannya menyiapkan khudi untuk. tingkat terakhir khalifah ilahi. Khusus mengenai tingkat terakhir ini, Iqbal mengatakan bahwa nabi adalah 'khalifah Tuhan di bumi, Dia adalah khudi yang paling lengkap, dalam tujuan kemanusiaan, puncak kehidupan, baik rohani maupun jasmani; pada dirinya kepincangan kehidupan mental kita mencapai keselarasan. Kemampuan yang tertinggi menyatu dalam dirinya dengan pengetahuan yang tertinggi. Dalam hidupnya pikiran dan perbuatan, naluri dan nalar menyatu. la adalah buah terakhir dari pohon kemanusiaan, dan semua usaha dari evaluasi yang menyakitkan dibenarkan, karena ia pada akhirnya mestilah menjelma. Dialah penguasa manusia sejati; kerajaannya adalah kerajaan Tuhan di muka bumi terhadap insân kamîl
seperti itulah Iqbal mengelu-elukan
kedatangannya. Gubahannya: Datanglah hai Sang Penunggang Kuda nasib Datanglah hai Sinar dunia perubahan yang gelap gulita
71
Sorotkan cahaya ke tempat keberadaan Padamkan kegaduhan bangsa-bangsa Penuhi telinga kami dengan musikmu Bangkitlah dan petildah kecapi persaudaraan Berilah kami kembali cawan anggur cinta Sekali lagi, anugerahi dunia hari-hari damai Kirimkan pesan perdamaian kepada si gila perang Umat manusia adalah ladang tempat menyemai Kaulah Sang Penuai Kaulah tujuan khalifah kehidupan (Rahardjo, ed., 1987: 28) 3.2.2. Antara Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia Menurut Rahardjo (1987: 51) bahwa masalah kebebasan dan keterpaksaan manusia berakar pada persoalan-persoalan metafisis yang menyangkut bagaimana sesungguhnya kedudukan manusia di hadapan kekuasaan Tuhan dan di tengah lingkungannya. Dengan demikian, sebenarnya masalah itu berkenaan dengan usaha perumusan yang lebih tegas tentang etik fitrah kemanusiaan. Dalam hal ini, Jabariyah sampai kepada perumusan bahwa manusia adalah makhluk yang serba terpaksa dan hidup sesuai dengan takdir dan kemauan Tuhan. Sebaliknya, Qadariyah merumuskan manusia dalam kebebasan dan kemerdekaan untuk berbuat dan berkehendak. Adanya kedua kutub yang bertolak belakang itu selain disebabkan nash-nash Al-Qur'an yang kelihatan bertolak belakang karena hanya dilihat dari satu segi dan terlepas dari konteks keseluruhan dan perbedaan pengalaman historis, sosiologis, dan kultural juga karena perbedaan persepsi dalam melihat esensi fitrah manusia itu sendiri. Kenyataan
manusia
sebagai
makhluk
bidjmenisional
membuka
kemungkinan untuk melihat manusia sebagai simbol kebebasan dan
72
kemerdekaan sesuai dengan kesempurnaan sifat roh Allah yang dimilikinya. Atau sebaliknya, sebagai simbol kerendahan, keterpaksaan, stagnasi, dan pasivitas mutlak seperti lempung busuk yang merupakan cerminan kedirian setan (iblis). Kombinasi kedua hal yang berlawanan dalam diri manusia itu mau tidak mau menimbulkan gerak dialektis dan pergumulan terusmenerus antara kedua kutub yang berlawanan. Gabungan hal-hal yang berlawanan dan kontradiksi dalam diri manusia – Allah dan iblis atau roh dan lempung menjadikan manusia suatu realitas dialektis. Sebagai realitas dialektis manusia selalu terlibat dalam pergumulan dengan dirinya sendiri, kekuatan transenden, dan bahkan dengan realitas sosial yang dihasilkannya. Buah pergumulan itu adalah pola tindakan atau pikiran yang merupakan usaha mencari perimbangan yang "tepat" dan "benar" antara keserbautamaan Tuhan dengan kemungkinan kemerdekaan dan kebebasan manusia. Dinamika Islam sesungguhnya terletak pada upaya mencari perimbangan itu, sedangkan sumber stagnasi Islam berpokok pada keyakinan bahwa modus yang ada abadi sifatnya. Berdasarkan kenyataan di atas, paham Jabariyah menciptakan situasi yang berlawanan baik dengan realitas dialektis manusia maupun realitas sosial yang dihasilkan manusia itu sendiri. Terjadilah pelarutan eksistensi manusia ke dalam situasi kepasrahan total kepada kekuatan transenden yang diyakini mutlak dan realitas sosial yang dalam kaca
73
mata paham ini, juga hasil ketentuan dan perbuatan yang transenden. Dengan kata lain, di sini bukan hanya Tuhan menjadi satu-satunya kekuatan determinan atas manusia tetapi juga realitas yang ada. Akibatnya, tidak berkelebihan determinisme sosial dan determinisme sejarah yang parah. Manusia tidak lagi menciptakan lingkungan dan sejarahnya sendiri, tetapi justru dialah yang dibentuk oleh lingkungan dan sejarahnya.. Manusia memang tidak sempurna, tetapi sebagai khalifah Tuhan di muka bumi ia dituntut dan diberi kesempatan untuk senantiasa menyempurnakan dirinya. Wahyu Al-Qur'an tidak lain dimaksudkan untuk memperbaiki kemanusiaan guna mencapai kesempurnaan. Karena itu, dengan Tuhan dan hanya karena Allah manusia mencapai aktualisasi dirinya. Aktualisasi dirinya itu pada gilirannya terwujud dalam hubungannya dengan masyarakat, lingkungan, dan sejarahnya. Di sinilah fitrah manusia tidak terlepas dari seluruh totalitas semesta dan Tuhan. Pada hakikatnya Islam datang untuk membebaskan dan memerdekakan manusia. Melalui kalimah syahadat sebagai rukun Islam pertama manusia dituntut untuk melepaskan ketergantungannya kepada kekuatan lain yang dapat menjadi tuhan-tuhan bagi manusia dan sekaligus hanya mengikatkan diri satu-satunya kepada Allah. Begitu juga jika dilihat pada rukun Islam lainnya salat, puasa, zakat, dan haji semuanya bertujuan membebaskan manusia baik dari kekuatan hawa
74
nafsunya maupun dari materi atau bentuk-bentuk kejasmanian lainnya guna mendekatkan diri dan mengikatkannya hanya kepada Allah. Di sinilah manusia itu sesungguhnya terus-menerus melakukan pembebasan tanpa batas. Pembebasan dari keterpaksaan dalam dirinya sendiri dan realitas lingkungan yang ada menuju kepada Allah. Dengan upaya seperti inilah manusia akan mampu menjadi pencipta "diri" dan sejarahnya. 3.2.3. Insân kamîl : Citra Sufistik Menurut Rahardjo (1987: 110) berbicara insân kamîl ada dua hal yang perlu diperhatikan lebih dahulu. Yakni tentang konsep insân kamîl tersebut. Pertama, insân kamîl adalah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Makin seseorang memiripkan diri kepada sifat sempurna dari yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya. Kedua, anggapan atau keyakinan adanya yang Mutlak ini mencakup apakah itu "namanya", "sifatnya", dan apakah itu "hakikat" atau esensinya. Seterusnya bagaimanakah hal-hal tersebut berhubungan dengan manusia. Al-Jilli mengemukakan pengertiannya mengenai yang "ada" dalam pengelompokan yang terdiri dari 6 pokok bahasan, yakni: (1) mengenai "esensi", "sifat" dan "nama"; (2) mengenai pancaran (discent)
75
dari yang Absolut; (3) Esensi sebagai Tuhan; (4) Manusia yang surgawi atau sempurna; (5) mengenai makrokosmos dan (6) Kembali ke esensi. Untuk tujuan tulisan yang berikut, uraian hanya akan difokuskan pada pokok gagasan yang keempat, yakni tentang "manusia yang surgawi". Sedangkan pokok-pokok gagasan yang terdapat dalam nomor-nomor selain 4 tidak diuraikan secara tersendiri. Semua itu akan berfungsi menjelaskan gagasan konsep pokok, yaitu tentang "manusia yang surgawi" tersebut. Manusia sempurna adalah dia yang berhadapan dengan pencipta dari pada saat yang sama juga dengan makhluk. Manusia sempurna merupakan qutb atau axis tempat segala sesuatu berkeliling dari mula hingga akhir. Oleh karena segala sesuatu menjadi "ada", maka dia adalah satu (wahid) untuk selamanya. la memiliki berbagai bentuk dan ia muncul dalam kana'is atau rupa yang bermacam-macam: Untuk menghormati hal yang demikian, maka namanya dipanggil secara berbeda dan untuk menghormati selain dari padanya, maka panggilan nama yang demikian tidak dikenakan pada mereka. Siapakah dia? Nama sebenarnya adalah Muhammad, nama untuk kehormatannya adalah Abul Qosim, dan gelarnya adalah Syamsuddin atau "Sang Mentari Agama". "Sekali waktu saya bertemu dengan dia dalam wujudnya persis seperti syekh saya, Sharafuddin Ismail al-Jabarti, tetapi saya tidak mengetahui bahwa dia (syekh) itu sebenarnya nabi, padahal saya mengetahui bahwa dia (nabi) adalah syekh. Ini adalah salah satu penglihatan yang saya
76
dapati di Zabid pada tahun 796 H. "Makna yang hakiki yang terdapat dalam peristiwa ini adalah bahwa Nabi memiliki kekuatan untuk menampilkan diri dalam setiap bentuk. Demikian keadaan Muhammad. Tetapi manakala ia dalam bentuk yang lain dan diketahui bahwa ia Muhammad, maka akan ia panggil dengan nama sebagaimana yang terdapat dalam bentuk tersebut. Nama Muhammad tidaklah bisa diterapkan kepada sesuatu kecuali kepada "ide tentang Muhammad". Dengan demikian, ketika ia muncul dalam bentuk Shibli, maka Shibli berkata kepada kawannya itu; "Saksikanlah bahwa saya adalah utusan Tuhan"; dan orang tersebut sebagai orang yang telah bersatu dengan roh Muhammad mengenali Muhammad. Dan ia berkata, "Saya bersaksi bahwasanya Anda adalah utusan Tuhan." Bagaimana halnya pertemuan dengan secara mimpi? Adakah perbedaan antara keduanya? Menurut al-Jilli, terdapat perbedaan antara mimpi dan pertemuan mistik, yakni bahwa dalam mimpi, Muhammad masuk ke dalam diri orang tersebut tetapi tidak menciptakan jaga (tidak tidur) dalam waktu yang cukup lama, sehingga ia tidak memperoleh Haqiqatul Muhammadiyya. Yang terjadi sekurang-kurangnya adalah bahwa seseorang yang bermimpi menjumpai Muhammad ketika ia sadar, maka ia lalu menafsirkan haqiqah tentang Muhammad sebagai haqiqah yang tingkatnya mimpi saja. Sebaliknya, dalam pertemuan mistik secara langsung, maka setelah melihatnya di dalam diri, ia tidak
77
bakal bertingkah laku di hadapannya dalam sikapnya yang sama sebagaimana yang dilakukan sebelumnya. Demikianlah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa Nabi bisa menyerupai bentuk apa saja yang ia kehendaki. Dalam hal ini, sunah sendiri menegaskan bahwa dalam setiap waktu dia mengandalkan bentuk mereka yang menduduki tingkat (spiritual) yang hampir sempurna; hal yang demikian itu adalah untuk menempatkan diri Muhammad lebih tinggi dari mereka dan meluruskan kemencengan mereka. Dari luar, maka mereka yang "hampir sempurna" itu tampak sebagai duta Muhammad, sedangkan dari dalam Muhammad tampak sebagai esensi haqiqah. Manusia sempurna dalam dirinya berhadapan dengan semua individualisasi eksistensi. Dengan spiritualitasnya, dia berhadapan dengan individualisasi yang lebih tinggi; dengan jasadnya dia berhadapan dengan individualisasi yang lebih rendah. Hatinya berhadapan dengan "Obor Tuhan" (al-Arsh), jiwanya berhadapan dengan Pena (al-Qalam), rohnya berhadapan dengan Lauh Mahfudz. Menurut al-Jilli, nama esensial dan sifat-sifat ilahi tersebut pada dasarnya
menjadi
milik
manusia
sempurna
oleh
adanya
hak
fundamental, yakni sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Demikianlah, dengan ungkapan yang sering kita dengar bahwa Tuhan berfungsi sebagai kaca bagi manusia, juga demikian halnya manusia menjadi kaca tempat Tuhan melihat dirinya. Sebagai
78
kaca yang dipakai seseorang melihat bentuk dirinya dan tidak bisa melihat dirinya itu tanpa adanya kaca tersebut, maka sedemikianlah hubungan yang berlangsung antara Tuhan dan manusia sempurna. Manusia sempurna jadinya tidak mungkin dapat melihat bentuknya sendiri kecuali melalui kaca Allah; sama halnya, dia juga menjadi kaca bagi Tuhan, karena Tuhan ingin agar dirinya melihat dia sendiri dan dikenali. Dan agar dikenali itulah manusia sempurna diciptakan sehingga dengan kaca manusia, Tuhan akan melihat Diri-Nya. Al-Jilli termasuk mereka yang menyakini bahwa walau bagaimanapun manusia bisa menjadi mirip dengan Tuhan bisa "memasuki" Tuhan dengan sepenuhnya, ia tidak akan pernah sampai kepada mengidentifikasi bahwa dirinya adalah sepenuhnya Tuhan. Dalam bait di antara syair-syair sufisnya di bawah ini, ditemukan gagasan mengenai ketidakmungkinan tersebut. Lihatlah, Akulah yang seluruhnya, dan seluruhnya itu adalah panggungku: Akulah ini, bukannya dia, yang ditampilkan dalam realitas. Sungguh, Akulah sang Pemelihara, dan sang Putra Mahkota bagi manusia: keseluruhan ciptaan adalah sebuah nama, dan esensiku itulah obyek yang diberi nama. Dunia indriawi adalah milikku dan dunia meta adalah bagian dari gelombang dan bentukku; Dunia-tak-nyata (oleh) indria adalah duniaku dan dunia abadi muncul di hadapanku. Tandailah. Dalam segala yang Aku sebut, Aku hanyalah budak, yang kembali dari Esensi ke hadapan Tuannya yang papa, rendah, sarat dosa, dalam penjara kemegahannya. Menurut Rahardjo (1987: 124) bahwa gagasan mengenai insân kamîl ternyata berujuk kepada diri Nabi Muhammad saw., sebagai tipe ideal bagi manusia. la mempunyai kemungkinan untuk berubah bentuk,
79
termasuk dalam hal ini memasuki jasad seseorang yang telah menyucikan hatinya dan melalui lidah orang tersebut terungkaplah katakata "saya adalah utusan Tuhan", dan sebagainya. Upaya untuk membedakan insân kamîl Muhammad dengan manusia lain dilakukan antara lain dengan penegasan bahwa nama Muhammad tidaklah dapat diterapkan kepada sesuatu kecuali kepada ide "tentang Muhammad"; Dalam hubungan ini pribadi Muhammad sebagai contoh yang terbaik buat manusia telah diusahakan oleh para pengikut, hingga mereka mewujudkan suatu kebudayaan spiritual yang unik di kalangan sufi. Yakni kerinduan mereka untuk bisa 'bertemu' dengan Muhammad. Pencapaian atas "perjumpaan" dengan Muhammad telah berwujud dalam berbagai tingkat dan cara yang berbeda. Perjumpaan demikian dimungkinkan, sekali lagi, oleh keyakinan atau pengetahuan bahwa Muhammad memiliki berbagai bentuk, dan kedua oleh gagasan dasariah tentang hakikat yang ada adalah esensi.
BAB IV ANALISIS INSÂN KAMÎL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM" DALAM PERSPEKTIF DAKWAH
4.1
Konsep Insân kamîl dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" Dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" ada uraian atau kajian yang berisi tentang insan kamil. Dalam buku itu terdapat berbagai pendapat tentang insan kamil, di antaranya menurut Dawam Rahardjo (ed), 1987: 24) bahwa Nabi Muhammad Saw adalah contoh yang luhur tentang insan kamil. Sejalan dengan itu menurut Dawam Rahardjo (ed), 1987: 45) manusia merupakan obyek yang selalu menarik untuk dibicarakan. Bukan saja ia menjadi pokok permasalahan, tetapi segala peristiwa besar yang terjadi di dunia ini selalu berkaitan dengan manusia. Dalam konteks buku tersebut, buku ini memuat pikiran M. Dawam Rahardo juga pemikiran beberapa ahli yaitu Azyumardi Azra yang berjudul Antara Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia; Arief Mudatsir yang berjudul Makhluk Pencari Kebenaran; Bahtiar Effendi yang berjudul Antara Roh dan Jasad; Hari Zamharir yang berjudul Insân kamîl ; Ahmadi Rifa'i Hasan yang berjudul Manusia Serba Dimensi; Fachri Ali yang berjudul: Realitas Manusia; Hadimulyo yang berjudul Manusia dalam Perspektif Humanisme
Agama;
Komaruddin
Pembebasan Manusia.
80
Hidayat
yang
berjudul
Upaya
81
Posisi Dawam Rahardjo dalam buku yang berjudul Konsepsi Manusia Menurut Islam" adalah sebagai penyunting. Sebagai penyunting, tulisan Dawam Rahardjo dapat dilihat dalam buku itu: pertama, tulisan yang berjudul: Dari Iqbal Hingga Nasr; kedua, Bumi Manusia dalam al-Qur'an. Apabila memperhatikan dan menelaah konsep insân kamîl dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam", maka penulis menganalisis dan mengomentari pikiran dan pendapat dari para ahli tersebut sebagai berikut: Menurut penulis bahwasanya manusia merupakan sasaran kajian yang selalu menarik untuk dibicarakan. Pembicaraan dan penelitian tentang manusia, sejak zaman klasik hingga sekarang ini belum pernah mengenal kata "berhenti". Ketertarikan para ahli untuk meneliti manusia, karena manusia adalah makhluk Allah yang memiliki kesempurnaan dan keunggulan ketimbang makhluk lain. Kesempurnaan manusia dari sisi penciptaannya telah dilegitimasi dalam beberapa ayat Al-Quran, misalnya:
!" # ()*:%&') Artinya: "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud'' (QS. AlHijr: 29) (Depag RI, 1978: 393).
(6 :5) 21 3 4 , #- #. /0 ! Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tiin: 4) (Depag RI, 1978: 1076).
82
Kesempurnaan dan keunggulan manusia itulah yang membuatnya begitu unik untuk dibicarakan, baik dalam sosiologi, antropologi, filsafat psikologi maupun tasawuf. Salah satu pembicaraan tentang manusia dalam pandangan tasawuf yang sampai sekarang masih banyak diminati oleh para pengkaji tasawuf adalah pemikiran Insân kamîl (manusia
sempurna).
Pemikiran ini pernah dikemukakan oleh Al-Jilli. Secara umum, istilah "insan kamil" sering dimaknai orang sebagai manusia sempurna. Pengertian Insân kamîl menurut Al-Jilli dirumuskan sebagai berikut: "Insân kamîl pertama sejak adanya wujud hingga akhir lamanya, yang mengkristal pada setiap zaman" "Dan Insân kamîl adalah Nabi Muhammad SAW." "Maka Insân kamîl merupakan asalnya wujud, atau menjadi poros yang kemudian berkembang atasnya roh wujud dari awal hingga akhirnya. Pengertian akhir dari Insân kamîl adalah Roh Nabi Muhammad SAW. yang mengkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, lalu para wali dan orang-orang saleh, sebagai cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya dan refleksi gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, seorang sufi yang hidup pada abad ke16 memberikan pengertian yang sama terhadap konsep tersebut di atas, yakni, Insân kamîl adalah manusia yang memiliki dalam dirinya hakikat Muhammad, atau juga disebut Nur Muhammad yang merupakan makhluk
83
pertama kali diciptakan oleh Allah, dan juga sebagai sebab bagi dijadikannya alam semesta ini. Al-Jilli melihat bahwa Insân kamîl (manusia sempurna) merupakan nuskhah atau kopi Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis (artinya), "Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman." Hadis lain menyebutkan (artinya), "Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya." Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, berkehendak, mendengar, dan sebagainya, manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huzuiyah Adam,
aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam, dan
Dzat-Nya dihadapkan pada Dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptanya merupakan salah seorang Insân kamîl dengan segala kesempurnaannya sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik Insân kamîl sebagai suatu kemestian yang tidak bisa dipisahkan dengan esensinya (intinya). Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insan kamil. Lebih lanjut, Al-Jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan Insân kamîl adalah bagaikan cermin yang seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya, kecuali melalui cermin itu.
84
Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Lebih lanjut, ia berkata bahwa duplikasi al-Kamal (kesempurnaan) adalah sama dengan yang dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat 'ardhi (bumi), termasuk manusia berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fi'il), seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas al-Kamal yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW., sehingga manusia lain, baik nabi-nabi maupun waliwali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil dengan alakmal atau al-fadhil dengan al-afdhal. Insân kamîl menurut konsep Al-Jilli ialah perencanaan Dzat Allah (Nuktah Al-Haqa) melalui proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhammad SAW. Konsep Insân kamîl Al-Jilli dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat Lahut (Ketuhanan) dan Nasut (Kemanusiaan) dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari
Nur
Muhammad. Adapun Ibn 'Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan Insân kamîl sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
85
Meskipun Al-Jilli dianggap sebagai tokoh yang memopulerkan konsep insan kamilnya, sesungguhnya konsep Insân kamîl ini
sudah
disinggung sebelumnya oleh Ibnu 'Arabi. Menurut Ibnu 'Arabi, Insân kamîl adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab Dia memanifestasikan semua sifat dan kesempurnaan Ilahi, dan manifestasi semacam ini tidaklah sempurna tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan. Insân kamîl
adalah miniatur dari kenyataan. Oleh karena itu, konsepsi yang
disodorkan oleh Al-Jilli merupakan pelengkap dari konsep yang ada sebelumnya walaupun dalam pemaparannya terdapat juga perbedaannya. Dalam konsep Insân kamîl dari sudut pandang manusia, Tuhan merupakan cermin bagi manusia untuk melihat diri-Nya. la tidak mungkin melihat dirinya tanpa cermin itu. Sebaliknya, karena Tuhan mengharuskan diri-Nya agar sifat-sifat dan nama-nama-Nya tidak dilihat, Tuhan menciptakan Insân kamîl sebagai cermin bagi diri-Nya. Dari sini tampak bahwa ada hubungan antara Tuhan dan insan kamil. Insân kamîl bagi Al-Jilli merupakan proses tempat beredarnya segala yang wujud (aflak al-wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu (wahid) sejak wujud dan untuk selamanya. Di samping itu Insân kamîl dapat muncul dan menampakkan dirinya dalam berbagai macam. la diberi nama dengan nama yang tidak diberikan kepada orang lain; nama aslinya adalah Muhammad, nama kehormatannya Abu Al-Qasim, dan gelarnya Syamsu Ad-Din.
86
Dari uraian di atas, Al-Jilli menunjukkan penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepada Nabi Muhammad sebagai insan kamil yang paling sempurna. Sebab, meskipun beliau telah wafat, nur-nya akan tetap abadi dan mengambil bentuk pada diri orang-orang yang masih hidup. Dengan demikian, ketika Nur Muhammad itu mengambil bentuk menampakkan diri pada seseorang, ia dipanggil dengan nama yang sesuai dengan bentuk itu. Untuk memenuhi hal ini, Al-Jilli mengungkapkan pengalamannya sendiri sebagai berikut, "Suatu ketika saya bertemu dengan Nabi Muhammad dalam bentuk Syekh saya, yaitu Syarar Ad-Din Ismail AlJabarti. Saya tidak tahu bahwa dia adalah Nabi Muhammad dan yang saya ketahui bahwa dia itu adalah Syekh saya. Inilah salah satu penglihatan yang saya dapati di Zabid pada tahun 796 H). Makna yang terkandung dari peristiwa di atas bahwa Muhammad memiliki kemampuan mengambil bentuk
Nabi
dalam berbagai
bentuk. Apabila Nabi dalam bentuk aslinya sebagaimana saat hidupnya, beliau dipanggil dengan nama Muhammad. Akan tetapi, bila muncul dalam bentuk lain dan diketahui bahwa ia adalah Muhammad, ia dipanggil dengan nama yang sesuai dengan nama bentuk itu. Nama yang dimaksud dalam konteks kedua ini adalah hakikat Muhammad. Peristiwa lain yang dapat menjelaskan makna di atas adalah suatu ketika Nabi Muhammad muncul dalam bentuk Syibli yang berkata kepada muridnya, "Bersaksilah bahwa aku adalah utusan Allah." Kebetulan murid
87
tersebut memiliki ilmu kasyaf sehmgga dengan mudah dapat mengenalinya sebagai nabi, lalu ia menjawab, "Saya bersaksi bahwa Engkau utusan Allah. Bagaimana halnya pertemuan lewat mimpi? Apakah ada perbedaan antara keduanya, yaitu antara pertemuan lewat mimpi dan pertemuan lewat mistik, yakni pendekatan tasawuf. Menurut Al-Jilli ada perbedaan antara mimpi dan pertemuan mistik. Dalam mimpi, Muhammad masuk dalam diri seseorang yang sedang tidur. Hal ini tentu akan membuatnya sadar terhadap hakikat Muhammad sehingga ia tidak dapat memperolehnya dan ketika orang itu bangun (sadar), ia menafsirkan hakikat Muhammad itu sebagai hakikat yang tingkatannya sebatas mimpi saja. Sebaliknya, dalam pertemuan mistik langsung, setelah melihatnya dalam diri, ia tidak boleh bertingkah laku di hadapan-nya sebagai tingkah sebelumnya. Demikianlah, yang dimaksud dalam pernyataan bahwa hati dapat menyerupai bentuk apa saja yang dikehendaki. Dalam hal
ini, sunnah
berlaku bahwa nabi akan mengandalkan bentuk mereka dan hampir mencapai derajat kesempurnaan. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan Muhammad pada derajat yang tinggi di antara mereka dan dapat meluruskan kekeliruan mereka. Ini artinya dari luar, mereka yang hampir sempurna, tampak sebagai duta Muhammad, sedangkan dari dalam Muhammad sebagai esensi hakikat mereka.
88
Apabila memperhatikan uraian di atas, maka menurut analisis penulis bahwa insan kamil tidak bisa terjadi dengan sendirinya, melainkan harus dusahakan. Disebut insan kamil karena pengaktualisasian tujuan pendptaannya, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya. Mengkaji karakteristik insan kamil berarti mencari suatu bentuk atau ciri khas dari watak (karakter) insan kamil itu sendiri. Adapun ciri-cin (karakteristik) insan kamil di antaranya adalah: 1. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan berbagai daya tangkap sepeiti: serapan indra, rasio, dan intuisi dalam kadar yang sangat tinggi, sehingga dapat merebut masa dan mang, serta menguasai dunia. 2. Manusia adalah teman kerja Tuhan di bumi. Iqbal, mengartikan kata "teman Tuhan" sebagai hubungan yang dinamis. Aitinya, dengan potensi kedua belah pihak (insan kamil dan Tuhan), maka akan mewujudkan sebuah penyempurnaan ciptaan Tuhan yang belum selesai secara dialektik untuk kemudian diolah manusia menjadi barang konsumtif. 3. Iradah (kehendak) manusia utama adalah se-iradah Tuhan. 4. Ilmu dan kekuasaan Tuhan menjadi kembar dengan ilmu dan kekuasaan manusia utama. 5. Insan kamil adalah orang yang tidak dikendalikan qadha. 'dan qadar, melainkan mampu mengarahkan ke mana harus terjadi. Karakteristik insan kamil yang dikemukakan di atas merupakan konsepsi yang mendasarkan manusia sebagai pengolah, penyempuma dan pengatur seluruh ciptaan Tuhan yang ada di bumi.
89
Karakteristik insan kamil melalui hasil empirik yang diperoleh dan kedekatannya dengan Tuhan, yang didapat setelah mendapatkan keridhaanNya, yaitu: a. Rahmat material. Apabila seseorang menaati Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya, maka ia akan semakin banyak menerima anugerah. b. Keadilan sosial. Apabila seseorang menaati Allah dan mengikuti hukum-hukum-Nya, maka tidak akan ada kezaliman dari padanya. c. Kedamaian dan percaya diri. Bila seseorang dekat kepada Allah, maka segala hal menjadi tampak ringan dan kecil baginya. Ia merasa berada di bawah perlindungan-Nya sehingga tidak ada yang dapat merugikannya.
4.2
Relevansi Konsep Insân kamîl dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah Problematika masyarakat sekarang ini bukan saja menyangkut masalah materi, tetapi juga menyangkut masalah-masalah psikologis. Hal ini disebabkan karena semakin modern suatu masyarakat maka semakin bertambah intensitas dan eksistensitas dari berbagai disorganisasi dan disintegrasi sosial masyarakat (Ahyadi, 1991: 177). Kondisi ini telah mengakibatkan makin sulitnya manusia untuk menjadi insan kamil. Atas dasar itu manusia merasakan pentingnya siraman dakwah. Itulah sebabnya, Umary (1980: 52) merumuskan bahwa dakwah adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan
90
datang. Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah usaha-usaha
perbaikan
dan
pembangunan
masyarakat,
memperbaiki
kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak wajaran
dalam
masyarakat.
Dengan
demikian,
dakwah
berarti
memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6). Nilai idealis atau cita-cita mulia yang hendak dicapai dalam aktivitas dakwah adalah tujuan dakwah. Tujuan dakwah, harus diketahui oleh setiap juru dakwah atau da'i. Karena seseorang yang melakukan aktivitas dakwah pada dasarnya harus mengetahui tujuan apa yang dilakukannya itu. Tanpa mengetahui tujuan dari aktivitas dakwah tersebut, maka dakwah tidak akan mempunyai makna apa-apa. Proses penyelenggaraan dakwah terdiri dari berbagai aktivitas dalam rangka mencapai nilai tertentu. Nilai tertentu yang diharapkan dapat dicapai dan diperoleh dengan jalan melakukan penyelenggaraan dakwah disebut tuJ'uan dakwah. Setiap penyelenggaraan dakwah harus mempunyai tujuan. Tanpa
adanya
tujuan
tertentu
yang
harus
diwujudkan,
maka
penyelenggaraan dakwah ridak mempunyai arti apa-apa. Bahkan hanya merupakan pekerjaan sia-sia yang akan menghamburkan pikiran tenaga dan biaya saja.
91
Dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau proses, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan untuk memberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Apalagi ditinjau dari segi pendekatan sistem (sistem approach), tujuan dakwah merupakan salah satu unsur dakwah. Di mana antara unsur dakwah yang satu dengan yang lain saling membantu, saling mempengaruhi, dan saling berhubungan. Dengan demikian tujuan dakwah sebagai bagian dari seluruh aktivitas dakwah sama pentingnya dengan unsur-unsur lain, seperti subjek dan obyek dakwah, metode dan sebagainya. Bahkan lebih dari itu tujuan dakwah sangat menentukan dan berpengaruh terhadap penggunaan metode dan media dakwah, sasaran dakwah sekaligus strategi dakwah juga berpengaruh olehnya (tujuan dakwah). Ini disebabkan karena tujuan merupakan arah gerak yang hendak dituju seluruh aktivitas dakwah. Secara umum tujuan dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah. Adapun tujuan dakwah, pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua macam tujuan, yaitu: 1. Tujuan Umum Dakwah (Mayor Objective). 2. Tujuan Khusus Dakwah (Minor Objective) 1. Tujuan Umum Dakwah (Mayor Objective) Tujuan umum dakwah (mayor objective) merupakan sesuatu yang hendak dicapai dalam seluruh aktivitas dakwah. Ini berarti tujuan dakwah
92
yang masih bersifat umum dan utama, di mana seluruh gerak langkahnya proses dakwah harus ditujukan dan diarahkan kepadanya. Tujuan utama dakwah adalah nilai-nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai atau diperoleh oleh keseluruhan aktivitas dakwah. Untuk tercapainya tujuan utama inilah maka semua penyusunan rencana dan tindakan dakwah harus mengarah ke sana. Tujuan dakwah di atas masih bersifat global atau umum, oleh karena itu masih juga memerlukan perumusan-perumusan secara terperinci pada bagian lain. Sebab menurut anggapan sementara ini tujuan dakwah yang utama itu menunjukkan pengertian bahwa dakwah kepada seluruh umat, baik yang sudah memeluk agama maupun yang masih dalam keadaan kafir atau musyrik. Arti uinat di sini menunjukkan pengertian seluruh alam. Sedangkan yang berkewajiban berdakwah ke seluruh umat adalah Rasulullah dan utusan-utusan yang lain. Firman Allah:
7 /89 #: ; 3 < 8 , = > 9? > = @ A B4 # C /D9 @B % #E4 # % #J K L !E F /G ,8 = H #. > : I /G # (PQ :M!N#O) Artinya: Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang tidak diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk bagi orang yang kafir. (QS. Al-Maidah (5); 67). Firman Allah:
93
(WXY :T%UV) MR# :" < JB = /G @B ?= H #. #E4 # ; SB Artinya; Katakanlah (Muhammad); wahai manusia, sesungguhnya aku ini diutus Allah kepada kamu sekalian. (QS. Al-A'raf (7): 158).
Firman Allah:
(W^Q :\#]V) 5 : #/ D ZR : #8= [ #./ 4 # Artinya: Dan tidaklah Kami utus engkau, melainkan jadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiya (121): 107). Allah bersifat rahman mengasihi makhluk-Nya di dunia, mengutus rasul demi makhluk-Nya (manusia), pembawa kabar bahagia dan ancaman, pembawa ajaran menuju ke jalan Allah agar seluruh kaumnya dapat hidup bahagia sejahtera di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kadang banyak manusia yang tidak menerima ajakannya. Dalam hal ini, Rasulullah H menganjurkan kepada umatnya untuk berdoa: Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta jauhkanlah kami dari siksa api neraka. Kebahagiaan di dunia maupun di akhirat merupakan titik kulminasi tujuan hidup manusia, begitu pula dengan tujuan dakwah. Sebab hidup bahagia di dunia dan di akhirat- tidaklah semudah yang diucapkan dan diinginkan, tidak cukup dengan berdoa, tetapi perlu juga disertai dengan berbagai usaha. Ini berarti bahwa usaha dakwah, baik dalam bentuk menyeru atau mengajak umat manusia agar bersedia menerima dan memeluk Islam, maupun dalam bentuk amar ma'ruf dan nahi munkar,
94
tujuannya adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah. Manusia memiliki akal dan nafsu, akal senantiasa mengajak ke arah jalan kebahagiaan dan sebaliknya nafsu selalu mengajak ke arah yang menyesatkan. Di sinilah dakwah berfungsi memberikan peringatan kepadanya, melalui amar ma'ruf nahi munkar kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat tercapai. Kesejajaran kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat itulah tujuan hidup dan cita-cita sesungguhnya dari dakwah Islam. 2. Tujuan Khusus Dakwah (Minor Objective) Tujuan khusus dakwah merupakan perumusan tujuan dan penjabaran dari tujuan umum dakwah. Tujuan ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan seluruh aktivitas dakwah dapat jelas diketahui ke mana arahnya, ataupun jenis kegiatan apa yang hendak dikerjakan, kepada siapa berdakwah, dengan cara apa, bagaimana, dan sebagainya secara terperinci. Sehingga tidak terjadi overlapping antar juru dakwah yang satu dengan lainnya hanya karena masih umumnya tujuan yang hendak dicapai. Proses dakwah untuk mencapai dan mewujudkan tujuan utama, sangatlah luas cakupannya. Segenap aspek atau bidang kehidupan tidak ada satu pun yang terlepas dari aktivitas dakwah. Maka agar usaha atau aktivitas dakwah dalam setiap bidang kehidupan itu dapat efektif, perlu ditetapkan dan dirumuskan nila-nilai atau hasil-hasil apa yang harus dicapai oleh aktivitas dakwah pada masing-masing aspek tersebut.
95
Tujuan khusus dakwah sebagai terjemahan dari tujuan umum dakwah dapat disebutkan antara lain sebagai berikut. a. Mengajak umat manusia yang telah memeluk agama Islam untuk selalu meningkatkan taqwanya kepada Allah. Dengan tujuan ini penerima dakwah diharapkan agar senantiasa mengerjakan segala perintah Allah dan selalu mencegah atau meninggalkan perkara yang dilarang-Nya. Firman Allah;
/G B 3 , ! < _` a/U #3 F b c? a/U #3 () :M!N#O) d # ! !e /G ,8 = Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kewajiban dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya berat siksaannya (bagi orang yang tolong menolong dalam kejahatan). (QS. Al-Ma'idah (5): 2). Tujuan khusus dakwah (minor objective) ini secara operasional dapat dibagi menjadi beberapa tujuan lebih khusus, yakni 1) Menganjurkan dan menunjukkan perintah-perintah Allah. Perintah Allah secara garis besar ada dua, yakni Islam dan Iman. 2) Menunjukkan larangan-larangan Allah. Larangan ini meliputi laranganlarangan yang bersifat perbuatan (amaliyyah) dan perkataan (qauliyyah). 3)
Menunjukkan keuntungan-keuntungan bagi kaum yang mau bertaqwa kepada Allah.
4) Menunjukkan ancaman Allah bagi kaum yang ingkar kepada-Nya. b. Membina mental agama (Islam) bagi kaum yang masih muallaf.
96
Muallaf artinya orang yang baru masuk Islam atau masih lemah keislaman dan keimanannya dikarenakan baru beriman. Penanganan terhadap masyarakat yang masih muallaf jauh berbeda dengan kaum yang sudah beriman kepada Allah (berilmu agama), sehingga rumusan tujuannya tak sama. Artinya disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan. Sebagaimana tujuan khusus yang lain, pada bagian ini dibagi pula beberapa tujuan yang lebih khusus, antara lain: 1) Menunjukkan bukti-bukti ke-Esaan Allah dengan beberapa ciptaan-Nya. 2) Menunjukkan keuntungan bagi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah. 3) Menunjukkan ancaman Allah bagi orang yang ingkar kepada-Nya. 4) Menganjurkan untuk berbuat baik dan mencegah berbuat kejahatan. 5) Mengajarkan syariat Allah berbuat dengan cara bijaksana. 6) Memberikan beberapa tauladan dan contoh yang baik kepada mereka (mualaf). c. Mengajak manusia agar beriman kepada Allah (memeluk Agama Islam). Tujuan ini berdasarkan atas firman Allah:
, B 3 < JB /8 < JB / ]S f8 < JB /0 L f8 < JB 9 !]U H #. #E4 # ()W :M% ]) Artinya: Hai sekalian manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah (2): 21). Juga firman Allah Swt:
(W*) K g ` /G ! . U ?! ,8 =
97
Artinya: Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah ialah Islam. (QS. Ali 'Imran (3): 19). d. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya. Anak-anak adalah penerus generasi masa depan. Mendidik dan mengajar anak-anak adalah suatu amal nyata bagi masa depan umat. Dalam Al-Quran dan Hadis telah disebutkan bahwa manusia sejak lahir membawa fitrahnya yakni beragama Islam (agama tauhid. Firman Allah:
; !]3 # #E/U H #. % h 8 /8 M % h #R . ?!/ > E " < S i (m^ :K%) , :/ # H #. % jk 4 J < ? ?! > /8 l / Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Ar-Rum (30):30). Kemudian tujuan ini bisa dijabarkan lagi menjadi beberapa tujuan khusus atau lebih khusus lagi, yaitu 1) menanamkan rasa keagamaan kepada anak; 2) memperkenalkan ajaran-ajaran Islam; 3) melatih untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam; 4) membiasakan berakhlak mulia; 5) mengajarkan dan mengamalkan Al-Quran; 6) berbakti kepada kedua orang tua; 7) aspek-aspek lain yang intinya mengajarkan ajaran Islam kepada anak. Tujuan utama dakwah adalah nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai atau diperoleh oleh keseluruhan tindakan dakwah. Untuk
98
tercapainya tujuan utama inilah maka semua penyusunan rencana dan tindakan dakwah harus ditujukan dan diarahkan. Tujuan utama dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat yang diridhai Allah Swt. Tujuan utama ini, masih bersifat umum memerlukan penjabaran agar kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat ini bisa tercapai dan terwujud. Tujuan dakwah adalah untuk membentuk insân kamîl atau manusia sempurna. Istilah Insân kamîl muncul pada mulanya di kalangan orangorang tasawuf dan kemudian beredar secara luas pada segenap lapisan masyarakat Islam. la dipahami pada
umumnya sebagai sebutan untuk
manusia tertentu, yakni untuk mereka yang memiliki keutamaan jiwa yang sempurna. Para nabi atau rasul disepakati memiliki keutamaan jiwa paling sempurna, dan karena itu dipandang paling layak disebut Insan Kamil. Oleh kaum Syi'ah Imamiyah, para imam mereka dimasukkan ke dalam kategori Insan Kamil. Demikian juga oleh orang-orang tasawuf, para wali atau sufi dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Hanya para nabi atau rasul saja yang memiliki keutamaan jiwa yang paling sempurna, tanpa melalui latihan atau pembinaan yang keras. Mereka lahir dengan potensi istimewa, sehingga mereka secara alamiah saja dapat tumbuh menjadi Insan
Kamil. Jiwa mereka penuh
dengan sifat-sifat terpuji atau akhlak ketuhanan, dan bersih dari sifat-sifattercela. Manusia yang bukan nabi atau rasul tidak demikian; mereka, menurut orang-orang tasawuf, haruslah berjuang keras mengikuti latihan-
99
latihan dalam rangka mengosongkan jiwa mereka dari sifat-sifat tercela dan berhias dengan sifat atau akhlak terpuji. Mereka yang berjuang keras untuk mencapai derajat atau maqam makrifat (mengenal Tuhan secara langsung melalui mata hati nurani) pada hakikatnya berjuang untuk mencapai derajat Insan Kamil, kendati mereka tetap berada di bawah derajat para nabi atau rasul Tuhan. Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang muncul, apa relevansinya konsep Insân kamîl dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah. Relevansinya adalah dakwah sangat erat kaitannya dengan konsep Insân kamîl karena dakwah pada hakikatnya mengandung ajakan kepada manusia dan objeknya adalah manusia. Ajakan tersebut bertujuan agar rohani manusia menjadi sempurna yaitu berisi iman dan taqwa. Melalui iman dan taqwa ini maka manusia bisa menghampiri predikat insan kamil. Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah suci berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan akhlak yang dimaksudkan ini tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri sebab hanya kepada al-Qur'an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman. Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik individu maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut (Tasmara, 1997: 47).
100
Apabila tujuan dakwah yang digambarkan di atas tercapai maka bukan mustahil bahwa dakwah dapat membangun mad'u yang insan kamil, setidaknya menghampiri predikat tersebut. Insân kamîl lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyâriah-nya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf inilah insân kamîl akan lebih terbina lagi. Namun insân kamîl lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu. Insân kamîl juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia insân kamîl. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT.:
<1 / r 1 / 9 /8 a34 #8= {YY} , .9 # @n # o . # K (Y*tYY :\%s) Artinya: (yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna lagi, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS-Asy'-Syu'ara, 26:88-89) (Depaq, 1978: 580).
Ayat di atas menunjukkan bahwa yang akan membawa keselamatan manusia adalah batin, rohani, hati dan perbuatan yang baik. Orang yang
101
demikian itulah yang dapat disebut sebagai insân kamîl. Pada ayat lain di dalam al-Qur'an banyak dijumpai bahwa yang kelak akan dipanggil masuk surga adalah jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah). Batin, rohani, hati dan perbuatan yang baik merupakan karakteristik insân kamîl. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia insân kamîl. Hal ini sejalan dengan dakwah yang bertujuan agar manusia kembali di jalan yang benar sebagaimana pendapat Umary (1980: 52) bahwa dakwah adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang. Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat, memperbaiki kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, dakwah berarti memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6).
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 5.1.1. Konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" adalah manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi fisiknya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Insân kamîl juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia insân kamîl. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. 5.1.2. Adapun hubungan insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah adalah dakwah sangat erat kaitannya dengan konsep insan kamil karena dakwah pada hakikatnya mengandung ajakan kepada manusia. Ajakan tersebut bertujuan agar rohani manusia menjadi sempurna yaitu berisi iman dan taqwa. Melalui iman dan taqwa ini maka manusia bisa menghampiri predikat insan kamil.
102
103
Dakwah yang berisi ajakan pada manusia bisa berisi masalah akidah, syari'ah dan akhlak. Ketiga komponen sendi-sendi Islam itu manakala diamalkan oleh mad'u niscaya bisa menghampiri predikat insan kamil. Satu contoh jika mad'u mencontoh perilaku Rasulullah SAW maka bisa dikatakan bahwa mad'u itu menjadi insan kamil. 5.2 Saran-saran Meskipun konsep insan kamil merupakan konsep yang klasik, namun hal itu penting diteliti karena insan kamil merupakan harapan dan dambaan setiap orang beragama, khususnya beragama Islam. Berdasarkan hal tersebut maka konsep insan kamil perlu diteliti lebih dalam. Karena itu hendaknya dibuka dan diberi kesempatan pada peneliti lain untuk membuka misteri yang terkandung dari esensi insan kamil. 5.3 Penutup Seiring dengan karunia dan limpahan rahmat yang diberikan kepada segenap makhluk manusia, maka tiada puji dan puja yang patut dipersembahkan melainkan hanya kepada Allah SWT. Dengan hidayahnya pula tulisan sederhana ini dapat diangkat dalam skripsi yang tidak luput dari kekurangan dan kekeliruan. Menyadari akan hal itu, bukan suatu kepurapuraan bila penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah. 1983. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Primaduta. Ahyadi, Abdul Aziz, 1991. Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila, Bandung: Sinar Baru al-Gesindo Al-Hufiy, Ahmad Muhammad, 2000. Keteladanan Akhlaq Nabi Muhammad SAW, terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Bandung: CV.Pustaka Setia. Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi, Pengembangan Konsep Insân kamîl Ibn Arabi oleh al-Jili, Jakarta: Paramadina. Anshari, Hafi, 1993, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: al-Ikhlas. Arifin, M. 2000, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi, 1990. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Asy’ari, Musa, 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam. -------. 2002. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI. Aziz, Ali Moh. 2004. Ilmu Dakwah. Jakarta: Prenada Media. Azra,
Azyumardi (penyunting), 1987. Islam Kemasyarakatan, Jakarta: Pustaka Panjimas.
dan
Masalah-Masalah
Bachtiar, Wardi. 1997. Metodologi Penelitian. Dakwah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Daud Ali, Muhammad, 1997. Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Farida. 2005. Konsep Insan kamil Menurut Murtadha Muthahhari dan Relevansinya dalam Tujuan Pendidikan Islam (Skripsi: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo). Hafidhuddin, Didin, 2000, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani.
Hasymi, A, 1984, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an, Jakarta: Bulan Bintang. Helmy, H. Masdar. 1973. Problematika Dakwah Islam dan Pedoman Mubaligh. Semarang: Thoha Putra. Hidayat, Komaruddin, dan Muhammad Wahyudi Nafis. 2005. Agama Masa depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta; PT.Gramedia Pustaka Utama. Jilli, Abd al-Karim bin Ibrahim. Tth. Al-insân al-Kamîl fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il, Kairo: Dar al-Fikr, juz 2. Kahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV Pustaka Setia. Moleong, Lexi. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya. Muhadjir, Noeng. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Munsyi, Abdul Kadir, 1981, Metode Diskusi Dalam Da’wah, Surabaya: al-Ikhlas Muriah, Siti, 2000. Metodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka. Nasution, Harun dkk, 2002. Ensiklopedi Islam , Jakarta: Penerbit Djambatan. --------, 1983. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Nata, Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT;Raja Grafindo. Natsir, M. tth. Fiqhud Dakwah. Jakarta: Islamiah Indonesia. Nicholson, Reynold .A., 1998. Mistik Dalam Islam, alih bahasa, Tim Penerjemah BA, Jakarta: Bumi Aksara. Noer, Kautsar Azhari, 1995.Ibn al-Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina. Kutaratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barri. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.
Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis, Semarang: Rasail Rahardjo, Dawam (ed), 1987. Insân kamîl Konsepsi Manusia Menurut Islam , Jakarta: Grafiti Press. Rais, Amien, 1999, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan Sobirin, Ahmad. 2007. Konsep Ahmad Tafsir tentang Pendidikan Islam sebagai Usaha Membentuk Insan kamil. (Skripsi: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo). Sanusi, Salahuddin, 1980, Pembahasan Sekitar Prinsip-prinsip Dakwah Islam , Semarang: CV. Ramadhani Solihin, M., 2003. Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema Penting Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia. Sugi Hartono. 2006. Insan kamil Menurut Murtadha Muthahhari dalam Hubungannya dengan Kesehatan Mental (Analisis Bimbingan dan Konseling Islam). (Skripsi: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo). Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu dakwah, Kajian Epistimologis dan Aksiologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ontologis,
Sumaryono. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius Syaibani, Al Toumy. 1979. Umar Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam, alih bahasa: Hasan Langgulung, Surabaya: Bulan Bintang. Syukir, Asmuni, 1983, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: al-Ikhlas Syukur, Amin, 2002. Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tasmara, Toto. 1997. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pertama. Umary, Barmawie. 1980. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Semarang: CV Ramadhani Yaqub, Hamzah. 1973, Publisistik Islam, Seni dan Teknik Dakwah, Bandung: CV Diponegoro Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 1986. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Depaq RI. Yunus, Mahmud, 1990. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya. Zahrah, Abu, 1994, Dakwah Islamiah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya