Resensi Buku Judul : The Blackwell Companion to Jesus Pengarang : Delbert Burkett (editor) Penerbit : Wiley-Blackwell, Tahun : 2011 Tebal : xvi + 556 Dalam perjalanan-Nya bersama para murid ke Kaisarea Filipi, Yesus pernah mengajukan dua pertanyaan kepada mereka. Yang satu pertanyaan bersifat umum, “Kata orang, siapakah Aku ini?”; yang lain bersifat lebih personal, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”. Pertanyaan ini menjadi klasik tetapi sekaligus tetap relevan sampai sekarang juga. Para murid dulu menjawab, “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, yang lain mengatakan: Elia, yang lain lagi mengatakan: Seorang dari para nabi.” Buku ini rasanya juga bisa dipandang sebagai jawaban dari berbagai orang modern tentang pribadi Yesus. Begitulah, setelah kurang lebih sepuluh tahun yang lalu muncul The Cambridge Companion to Jesus yang diedit oleh Profesor Markus Bockmuehl dari Cambridge, kini muncul sebuah buku dengan judul yang mirip, dan isi juga kurang lebih mirip, yaitu The Blackwell Companion to Jesus yang diedit oleh Profesor Delbert Burkett dari Louisiana State University. Dalam buku ini, terkumpul 31 artikel tentang Yesus yang ditulis kebanyakan oleh para ahli dari berbagai denominasi yang berasal dari Amerika Serikat, Canada, dan Inggris, serta beberapa dari Skandinavia, Australia dan Selandia Baru. Tak satupun penulis yang berasal dari Asia atau Afrika. Ketigapuluhsatu artikel ini dimasukkan dalam 6 kelompok yang didahului oleh sebuah pengantar dari editor. Pembagian kelompok ini boleh dikatakan mengikuti perjalanan Yesus kurang lebih secara temporal maupun secara spasial, mulai dari zaman Perjanjian Baru sampai dengan zaman modern; mulai dari Palestina sampai ke ujung dunia. Kelompok Satu diberi judul Jesus in the New Testament. Di dalam kelompok ini bisa kita ketemukan sembilan artikel. Dari sembilan artikel itu, sebenarnya hanya tujuh yang berbicara tentang Yesus menurut tulisan-tulisan Perjanjian Barul; empat dari injil dan Kis dan masing-masing satu dari surat-surat Paulus, surat-surat Katolik (“Jesus in the General Epistles”), dan kitab Wahyu. Dua yang lain hanya secara tidak langsung berkaitan dengan Perjanjian Baru, yaitu yang satu tentang Q (“Jesus in Q” tulisan Christopher M. Tuckett). Jelas Q bukan dokumen Perjanjian Baru; bahkan masih bisa dipersoalkan apakah memang pernah ada sebuah dokumen yang sekarang kita sebut Q. Yang jelas Q adalah
104 —
Orientasi Baru, Vol. 23, No. 1, April 2014
sebuah hipotesis yang dibangun oleh para ahli Perjanjian Baru demi sebuah teori tentang terbentuknya injil-injil sinoptik, yang biasa disebut “Teori Prioritas Markus” atau “Teori Dua Sumber”. Artikel kedua lebih berkaitan dengan Perjanjian Lama atau Alkitab Ibrani. Artikel berjudul “Constructing Images of Jesus from the Hebrew Bible” ini ditulis oleh Warren Carter. Tulisan ini jelas mengandaikan bahwa figur Yesus mempunyai kaitan dengan Alkitab Ibrani. Karena Alkitab Ibrani sudah lebih dulu ada daripada Yesus, maka relasi yang bisa dipikirkan antara Yesus dan Alkitab Ibrani adalah bahwa Alkitab Ibrani – entah bagaimana diartikan dan dipahami – sudah berbicara tentang Yesus. Tidak bisa tidak hal seperti ini menimbulkan persoalan hermeneutik yang sungguh pelik. Apakah teks Alkitab Ibrani yang lahir dari sebuah konteks sejarah tertentu memang berbicara atau merujuk, atau secara lebih tajam, menubuatkan tokoh Yesus? Kelompok Dua berjudul Jesus Beyond the New Testament. Sesuai dengan judulnya, artikel yang digolongkan di sini berbicara tentang persoalan-persoalan tentang Yesus yang muncul dalam periode yang tidak terlalu jauh sesudah periode Perjanjian Baru. Ada empat tulisan terkumpul di sini. Berturut-turut muncul tulisan berjudul “Ancient Apocryphal Portraits of Jesus” (J.K. Elliot) kemudian “Gnostic Portraits of Jesus” (Majella Franzmann). Sebagaimana bisa diketahui dari judulnya, kedua tulisan ini mencoba menarik macam-macam gambaran Yesus yang muncul dari teks-teks yang biasa disebut teks-teks apokrip dan dari aliran pemikiran yang disebut dengan istilah umum, aliran Gnostik. Kata “potraits” – plural – yang dipakai oleh kedua tulisan itu, menunjukkan bahwa gambaran tentang Yesus yang muncul tidak seragam. “ ...No single picture of Jesus emerges from such a diffuse collection of apocrypha, written over many centuries in different parts of Christendom” (145). Atau “...when we put together all the concepts about Jesus found in these numerous writings (= tulisan gnostik) from a wide variety of groups and geographical areas, no single unified portrait of Jesus emerges” (163). Dua yang lain agak khusus. Yang pertama berjudul “The Christ of the Creeds” (Khaled Anatolios). Menilik judul yang dipilih, gambaran Yesus yang ditampilkan sudah lebih spesifik. Yang diteliti bukan pertama-tama Yesus historis, tetapi Yesus yang sudah menjadi Kristus yang menjadi pokok iman orang Kristen. Artikel ini mau menggali bagaimana pengakuan iman Gereja perdana (Creed) sebagaimana terungkap dalam rumusan dogmatis yang dihasilkan oleh tujuh konsili ekumenis purba menampilkan Yesus. Artikel berikutnya, “Jesus in Atonement Theories” (Stephen Finlan) merupakan sebuah penafsiran atas wafat Yesus. Di dalam teologi Kristen, atonement biasanya menunjuk pada keselamatan yang dihasilkan oleh wafat (dan kebangkitan) Kristus. Hal ini tampaknya sederhana, tetapi jelas tidak demikian halnya. “Numerous explanations of
Resensi Buku
— 105
how Christ brought about salvation have been offered” (193). Penulis berusaha menelusuri sejarah pemaknaan konsep atonement mulai dari Perjanjian Lama sampai dengan zaman reformasi. Kelompok tiga memaparkan gambaran tentang Yesus dari perspektif agama-agama dunia: Jesus in World Religions. Empat artikel ditampilkan di sini. Dua mempunyai kaitan historis dengan Yesus; sementara dua yang lain sebenarnya agak jauh. Dua yang pertama adalah “Jewish Perspectives on Jesus” (Michael J. Cook) dan “Islamic Perspectives on Jesus” (Reem A. Meshal dan M. Reza Pirbhai). Sementara dua yang lain adalah perspektif dari agama Hindu dan Budha. Pertemuan antara Yesus dengan dua tradisi keagamaan tersebut tampaknya terjadi melalui pertemuan antara para misionaris pengikut Yesus dengan penganut agama Hindu dan/atau Budha di mana pun berada. Sejauh diketahui, tidak ada petunjuk bahwa Yesus sendiri pernah bertemu dengan penganut Hindu atau Budha. Kelompok empat berjudul Philosophical and Historical Perspectives on Jesus. Empat artikel yang tersaji dalam kelompok ini mempunyai ciri yang sama. Karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk filsafat dan sejarah, berbagai pernyataan-pernyataan teologis tentang Yesus mulai dipersoalkan. “Jesus’ birth from a virgin, his divinity, his miracles, his resurrection from the dead, the whole concept of Trinity, have all come under scrutiny” (6). Di antara macam-macam tema di atas dua keyakinan tradisional yang paling diserang adalah historisitas Yesus sendiri dan kebangkitan Yesus (285). Pada kelompok ini, ada empat artikel yang tersaji: satu tentang kebangkitan Yesus yang ditulis dari sudut pandang seorang skeptik (“Sceptical Perspectives on Jesus’ Resurrection” ditulis oleh Michael Martin) dan tiga tulisan mempersoalkan historisitas Yesus. Dua dari tiga tulisan ini memaparkan (dan sekaligus mengambilnya sebagai judul) The Quest of Historical Jesus, yang hampir menjadi sebuah istilah teknis untuk menggambarkan usaha para ahli untuk merekonstruksi Yesus sejarah dengan menggunakan metode-metode historis yang tersedia. Sementara satu tulisan lain berbicara tentang Jesus Seminar, sebuah gerakan yang diprakarsai oleh Robert Funk pada tahun 1985. “The task undertaken by the Seminar was ambitious: to assess the historicity of anything attributed to Jesus in any Christian source from the first three centuries” (319). Kelompok lima yang diberi judul Modern Manifestations of Jesus mencakup aneka macam perspektif untuk memandang Yesus. Empat dari tujuh tulisan di bagian ini mengisahkan Yesus dari sudut pandang kultural-geografis (Western Christology; Kristologi Afrika, Asia, Latin Amerika; American Culture dan Black Christ); dua lebih bersifat ideologis (“Feminist Christologies” dan “The ‘Gay’ Jesus”). Dan yang satu lagi sulit digolongkan ke jenis apa. Kata ‘mystification’ yang terdapat dalam judul “Modern Mystifications of Jesus” kemudian diartikan
106 —
Orientasi Baru, Vol. 23, No. 1, April 2014
sebagai “unverified speculations about Jesus... fanciful legends based on ungrounded assumptions far from reality” (461). Yang terurai dalam tulisan ini adalah gambaran Yesus yang (tidak biasa) yang didasarkan pada macam-macam penemuan yang bisa dipersoalkan otentisitasnya, seperti misalnya, gagasan bahwa Yesus pergi ke Kashmir, atau keturunan Yesus dengan Maria Magdalena, dsb. Jesus in Art, Fiction and Film merupakan judul dari kelompok terakhir, kelompok enam. Tiga tulisan bisa ditemukan di sana. Ketiganya bisa dipandang sebagai usaha untuk mengkomunikasikan (dan mau tidak mau juga menggambarkan) Yesus lewat cara-cara yang khas, yaitu seni (lukis), novel, film. Sumber tentang Yesus yang ‘resmi’ sebenarnya hanyalah Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil. Perlu disadari bahwa mentransfer gambaran Yesus dari media tertulis ke media visual (lukisan dan film) tentu tidak sederhana. Konteks sejarah sang perupa mau tidak mau akan mempengaruhi hasil karyanya. Oleh karena itu, kalau kita berawal dengan sebuah pertanyaan Yesus kepada para murid dalam perjalanan ke Kaisarea Filipi, “siapakah Aku ini?” kita bisa mengakhiri dengan pertanyaan Yesus yang bangkit kepada Maria Magdalena, “Siapa yang engkau cari?” Buku setebal lima ratus halaman lebih ini rasanya baik sebagai pengantar untuk mempelajari Kristologi pada tingkat akademis karena tulisan-tulisan di dalamnya justru memunculkan banyak pertanyaan dan persoalan yang perlu dielaborasi lebih lanjut. Daftar pustaka pada akhir setiap tulisan membantu pembaca untuk melakukan studi lanjut seandainya diinginkan. (Indra Tanureja)
Judul : Saya, Ayah dan Tragedi 1965 Pengarang : Nani Nurrachman Sutoyo Penerbit : Kompas, Jakarta Tahun : 2013 Tebal : --Peristiwa di Jakarta pada 30 september 1965 masih menyisakan beberapa pertanyaan: siapakah pelaku utama peristiwa tersebut? siapakah yang bertanggungjawab? siapakah yang menjadi korban dari peristiwa ini? siapa yang bertanggungjawab dalam proses pemulihan? Pertanyaan masih dapat dilanjutkan dari berbagai perspektif ilmu dan kebutuhan kehidupan. Hingga saat ini sudah banyak buku ditulis untuk mengungkap peristiwa tersebut. Beberapa buku kajian ilmiah telah ditulis. Beberapa buku kesaksian telah ditulis dari mereka yang terlibat dan juga keluarga mereka. Sebuah film dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI yang berkisah tentang peristiwa tersebut
Resensi Buku
— 107
telah dibuat dan ditonton oleh hampir semua orang Indonesia pada tahun 80-an. Buku karangan Nani Nurrachman merupakan salah satu kesaksian dan refleksi atas peristiwa 30 September. Karangan ini menampilkan pergumulan pribadi yang khas berkaitan dengan pengalaman traumatis dan pengalaman rekonsiliasi. Pergumulan ini diwarnai oleh proses pemaknaan hidup secara eksistensial dan sekaligus keterbukaan kepada Yang Ilahi. Bagian pertama dari buku ini terdiri dari 5 bab. Bab 1 dan 2 berkisah tentang pengalaman pribadi Nani Sutojo melewati masa kecilnya dalam sebuah keluarga militer dengan kebudayaan Jawa yang kental. Pengaruh sang ayah mengantar pengarang untuk memasuki dunia literatur klasik baik dari sastra Indonesia dan kebijaksanaan Jawa serta sastra penting dari Eropa. Pengaruh ini tertancap begitu mendalam dalam kehidupan Nani. Ia menulis: Saya melihat itu adalah bentuk keberhasilan ayah mendidik saya. Sebuah keberhasilan pola didik orang tua kepada anaknya. Saya ingat ayah pernah mengatakan, orang yang sukses di dalam hidupnya adalah orang yang bukan saja bisa mencapai suatu prestasi atau kedudukan tertentum tetapi bila apa yang dilakukan kemudian diteruskan oleh anak, murid atau bawahannya [...]. Kadang saya renungkan, dalam masa hidupnya yang singkat, ayah seperti ingin mempersiapkan saya. Seperti tidak bosan memberikan berbagai prinsip hidup utama menjadi orang jujur dengan integritas yang tinggi. Sebelum ia pergi untuk selamanya, ia seperti hendak mengatakan. “Dari papap hanya sampai disini. Semua ditentukan yang Kuasa, dan kamu harus menjalaninya sendiri.” (h. 55)
Bagaimana pengalaman hari-hari mencekam disekitar 30 September 1965 dan hari-hari penuh pergolakan seorang Nani dengan suka dukanya, itulah yang menjadi isi dari kisah pada bab 3. Pengalaman kedukaan dan keterasingan disekitar peristiwa 30 september telah mewarnai pergulatan panjang pengarang. Pergulatan itu sudah mulai dialami sejak peristiwa terjadi, ketika ia menjalani pendidikan tinggi di bidang psikologi dan terus berlanjut. Berbagai perjumpaan dengan para korban langsung dan keluarga para korban yang dicurigai mendukung gerakan tersebut ikut berkontribusi baginya untuk mengolah pengalaman hidup yang penuh misteri. Perjumpaan tersebut telah memberikan dia kekuatan baru untuk menjalani pengalaman keterbatasan manusiawi yang disebabkan oleh penyakit yang menggerogotinya (74-83). Namun demikian masih tertinggal satu pertanyaan penting: Kapan persisnya saya selesai dengan trauma 1965? (85). Pertanyaan ini sangat mendasar dan menyentuh seluruh eksistensi pengarang. Setelah menonton film Pengkhianatan G30S/PKI, Nano, putra bungsunya, dengan lugunya bertanya: “Mom, what is a communist? Was it them killed Eyang Tojo? (141)
108 —
Orientasi Baru, Vol. 23, No. 1, April 2014
Sebuah pertanyaan yang lugu dari seorang anak, namun menjadi pertanyaan fundamental yang membawa kepada sumber persoalan rekonsiliasi. Pertanyaan itu begitu dasyat dan menjadi dasar bagi pergulatan baru menuju rekonsiliasi. Pertanyaan Nano ketika itu serupa tamparan. Betul. Saya terkejut, bagaimana pertanyaan itu bisa keluar dari mulut mungilnya. Apalagi reaksi pertama bungsu saya itu, badanya langsung gemetar. Saat itu juga aku terdiam. Saya ditantang untuk mampu menyelesaikan trauma diri dulu, baru kemudian menjelaskan yang paling jujur yang bisa saya kemukakan tentang peristiwa itu (91).
Proses rekonsiliasi mendapat pijakan baru ketika pengarang diundang untuk menjadi pembicara di Forum Leuven dan dilanjutkan dengan Forum Silaturahmi Anak Bangsa, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Bab 4). Forum Leuven dengan tema Mawas Diri Peristiwa 30 September digagas oleh beberapa mahasiswa yang sedang belajar di Belgia. Forum ini merupakan belajar bersama untuk berusaha memahami kompleksitas peristiwa 30 September dan penafsirannya. Bagi pengarang, makalah yang dibawakan dalam forum tersebut merupakan bentuk awal dari self disclosure and coming to terms dengan masa lalunya (103). Diakuinya bahwa perjumpaan di Leuven berperan sebagai pembawa pesan moral: rekonsiliasi dimulai dari diri sendiri. Terdapat tiga faktor penting dalam proses rekonsiliasi yakni dimensi waktu, basic trust dan berdama dengan diri sendiri tanpa kehilangan kehormatan (103-107). Berlandaskan keyakinan rekonsiliasi tersebut, perjumpaan dengan wajah-wajah yang mengalami secara langsung dan yang merasakan dampak peristiwa tersebut menjadi sebuah proses yang pelan tapi pasti menciptakan sebuah komunitas yang menyembuhkan. Saya paham, mereka butuh dibebaskan [dari] semua belenggu atas perasaanperasaannya. Ini mungkin sangat sulit, karena mereka melihat saya sebagai pihak yang dimenangkan oleh sejarah. Satu juga yang saya pahami, seringkali proses ini terganggu karena ada keinginan untuk mengumpulkan bukti baru, terkait proses penuntutan hukum. Padahal penuntutan hukum bukanlah “gong” atau kata akhir sebuah upaya rekonsiliasi. Rekonsiliasi berhasil dan selesai bila kita mampu melihat hikmah peristiwa itu untuk membangun masa depan. (112)
Rekonsiliasi inilah yang mendorong Nani untuk terlibat dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (yang belum pernah teralisir). Hal tersebut memungkinkan lahirnya sebuah manusia baru, masyarakat baru yang dilandasi oleh kemanusiaan yang damai-sejahtera. Ada yang menanyakan, apa sebetulnya tujuan saya ikut bekerjasama mereka menarwarkan sebuah rekonsiliasi dari seisi psikologi? Tak lain karena saya ingin generasi muda bisa memandang persoalan ini tidak terkotak-kotak sebagai “yang menang” dan “yang kalah”. Saya ingin kita melihat, dalam sebuah tragedi kemanusiaan berskala luas, kita semua adalah korbannya. Kita
Resensi Buku
— 109
semua pula yang bertanggungjawab atas perkembangan kemanusiaan setelah tragedi berlalu. (115)
Pengalaman rekonsiliasi ini tidak hanya berdimensi psikologis tapi berdimensi ilahi (bab 5). Setiap peristiwa kehidupan manusia bukanlah hanya soal kebetulan. Hidup manusia merupakan salah satu jalan bagi Allah untuk melaksanakan karya keselamatan. Ketika saya merefleksikan ke belakang perjalanan hidup selama ini, ternyata apa yang disebut sebagai “kebetulan” memang sudah merupakan rencana dan kehendak Tuhan untuk terjadi. Kesadaran taraf religius yang demikian ini seakan membuat saya tidak lagi mengejar kesaksian “kebenaran” tentang Tragedi 1965 ini. Bukannya saya tidak ingin mendapatkan kebenaran serta keadilan. Tetapi, kenyataan apa yang telah dapat saya capai memiliki nilai yang lebih hakiki dari kebenaran duniawi yang dikejar dan dikonstruksi manusia. Tidak ada kebenaran yang satu dan baku. Kebenaran memang tidak berpihak. Bagi saya kebenaran adalah “truth by experience” bukan sematamata “truth for verification”. Kebenaran tentang apa dan pengalaman “mengalam-i” trauma beserta dampaknya.
Bagian kedua buku ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan Nani yang pernah dipresentasikan dalam berbagai forum diskusi (135-205). Karangkarangnya dipresentasikan secara ilmiah, namun mengandung muatan pengalaman personal dan eksistensial, serta refleksi yang mendalam. Bahasanya mudah dicerna dan tidak meninggalkan style kisah (narasi). Untuk memahami tulisan-tulisan tersebut pengarang sendiri memberikan kunci penafsiran yang bermuara pada rekonsiliasi dengan pendekatan psiko-sosial-historis. Masa lalu bisa saja dilupakan. Tetapi ia tidak bisa mati, karena bagaimanapun ia akan tetap terus hidup dalam ingatan kolektif maupun personal masyarakatnya. Dalam konteks peristiwa 1965, pertanyaannya adalah bagaimana kita hendak mewariskan masa lalu kepada generasi anak cucu kita. Bagi generasi yang dibesarkan dan memiliki ingatan yang sedikit sekalipun tentang Peristiwa 1965, masa-masa kini merupakan masa yang krusial untuk mau tidaknya kita mewariskan masa lalu tersebut. Keseluruhan buku ini pada hakikatnya diarahkan pada upaya pemahaman dan penyelesaian sejarah masa lalu bangsa kita dengan pendekatan psikososial-historis, sebagai suatu pendekatan lain yang diajukan. Tidak sematamata hanya politis-legal (133).
Buku ini ditulis dengan gaya yang khas. Banyak ungkapan-ungkapan di buku ini yang merupakan pergulatan pribadi seorang yang mengalami peristiwa 30 September dengan segala kecemasan, kekuatiran, pemberontakan dan sekaligus tanda tanya. Namun ungkapan tersebut dibarengi dengan hasil refleksi yang mendalam berkaitan dengan seorang pribadi yang menemukan dirinya
110 —
Orientasi Baru, Vol. 23, No. 1, April 2014
dalam refleksi yang mendalam berkaitan dengan rekonsiliasi. Inilah perjumpaan antar wajah-wajah manusia yang tersengat oleh peristiwa september. Rekonsiliasi ini mungkin karena didasarkan pada alas antropologi yang berdimensi historis dan sosial dan transenden. Manusia selalu bersifat historis. Perubaham sosial politik yang terjadi pada saat ini dan sesudahnya, hingga saat ini akan memengaruhi penilaian moral terhadap sejarah ini. di sinilah letak tragisnya kehidupan kami-kami ini yang dapat dipakai sebagai cerminan sejarah bangsa kita. Ini karena kehidupan kami merupakan mata rantai dari rangkaian perjalanan sejarah bangsa. Pencarian nilai moral dari suatu tragedi, merupakan kecenderunan universal. Renungan terhadap trauma tragedi itulah harkat kemanusiaan yang sesungguhnya, yang lebih mungkin diangkat dan dirumuskan. Semuliannya masyarakat adalah yang menmpatkan moral diatas segalanya (137).
Berangkat dari sudut pijak antropologis ini, karangan ini memberikan banyak bahan bagi kajian antropologis teologis bagi refleksi tentang rekonsiliasi. Narasi dari pengalaman pribadi pengarang dapat dijadikan titik tolak kontekstual teologi rekonsiliasi dengan mempertimbangkan aspek psikologi dan kemasyarakatan. Tentu saja, disana sini, buku ini menampilkan pengalaman pribadi yang unik dan personal. Bagi refleksi teologi, karangan-karang seperti ini kiranya dapat membantu teologi kontekstual untuk berkontribusi dalam gerak rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Sumbangan refleksi teologi katolik dapat memperkaya jejak-jejak proses rekonsiliasi bangsa Indonesia menuju masyarakat yang damai-sejahtera. (F. Purwanto)
Resensi Buku
— 111