NAMA PENGARANG a.k. dhani
JUDUL BUKU Missing life
Penerbit Nama Penerbit 123 Go
Missing life Oleh: a.k. dhani Copyright © 2016 by a.k. dhani
Penerbit 123 Go
Desain Sampul: (Nama Disainer pembuat sampul)
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
Ucapan Terimakasih:
Untuk kehidupan yan pernah dihadirkan Untuk semua orang yang pernah hadir dalam kehidupanku
Jazaakumullahkhoir Forgive me for the unpleasant parts that we have Thank you for your all kindness
3
DAFTAR ISI (Jika menginginkannya, Anda bisa menggunakan halaman ini untuk halaman daftar isi)
4
Hard Night
Malam telah larut. Tak terdengar suara manusia meski sayup-sayup. Bahkan tak terdengar suara serangga, kodok ataupun
kendaraan
lalu lalang di kompleks
perumahan Bumi Moro yang berada di jalur padat saat matahari bersinar terang dan beberapa jam saat matahari 5
telah tenggelam. Kehidupan seolah hilang ditelan malam. Entah mengapa, meski langit gelap bertaburan bintang, bulan bersinar terang, malam tetap terasa pekat dan mampu mendatangkan sunyi. Kenapa matahari yang terik yang memiliki langit biru cerah tak punya sunyi? Bagaimana malam bisa mempunyai pesona magis menakutkan? Mampu membuat keheningan semakin sunyi. Kesunyian yang mampu membuat jiwa semakin sepi seolah jauh entah berantah seorang diri, tersayat-sayat seperti daging bagian pahanya diris tipis dengan pisau tajam untuk menghasilkan potongan yang sangat tipis, filet daging manusia. Jiwa yang gelisah semakin resah. Menciptakan dingin dan beku dalam jiwa. Meski kekasih terlelap dalam buaian asmara yang bergejolak beberapa saat yang lalu, tak mampu mengusir pekat malam yang mencekam. Wanita itu duduk di meja dekat jendela dengan korden terbuka, memandang langit hanya dengan mengenakan sweeter wol dengan bagian atas yang hampir menutupi leher, tanpa bawahan. Keringatnya telah membeku. Entah sudah berapa lama dia di sana. Berkali-kali dia mengehala nafas. Lalu lintas pikirannya terlalu padat. Setiap kalimat yang hadir; entah pengertian, entah tanya entah 6
jawaban. Tak perduli padanya. Apakah pengertian itu baik, apakah itu sebuah keputusan, apakah tanya menghasilkan jawaban yang baik atau tidak, bahkan apakah tanya itu tidak terjawab…Smuanya tidak peduli. Setiap detik menghasilkan induk, setiap induk menghasilkan; setidaknya, sebutir tanya. Semuanya meluncur begitu saja. Tak terhentikan. Saling bertabrakan. Membuatnya lelah. Menyerah untuk mengatur, menertibkan dan berfikir. Seperti virus yang bermutasi dengan cepat yang diperlihatkan dalam film-film menyebar seolah dengan kecepatan cahaya ke seluruh tubuh. Melumpuhkan total sistem tubuh. Menghisap oksigen dalam tubuhnya, menghasilkan tekanan udara dalam tubuh begitu tinggi, hingga kebas punggung dan dadanya, hingga membuat detak jantungnya berjalan semakin pelan, pelan, dan pelan. Membuat bagian paling berharga dalam diri seorang manusia mengeras dengan pasti; jiwanya. Dengan keadaan seperti itu, ia tak menghasilkan air mata. Hal itu membuat keningnya terasa berat. Harus apa agar semuanya pergi. Harus apa agar bisa menikmati hening tanpa beban. Lagi-lagi dia menghela nafas. Diperhatikannya kekasih yang terbaring lelap. Bagaimana dia bisa tidur dengan nyenyak? Apa semuanya 7
memang baik-baik saja? Apakah aku membuatnya jadi berlebihan? Wanita itu melangkah
mendekati wajah
kekasihnya. Dibelainya rambut dan pipi sang kekasih. Lelaki yang
kucintai.
Lelaki
yang
telah
menunjukkan
kesungguhannya. Lelaki yang begitu setia padanya. Dia mencium kening lelaki itu sebelum akhirnya berbaring. Wanita itu ingin memeluknya, tapi entah mengapa pada saat bersamaan dia juga tak ingin memeluknya seperti dulu – dengan penuh cinta. Terbakar oleh pikirannya, akhirnya dia lelap dalam penat dan resah. “ Morning honey. “ Wanita yang disapa itu mendekat. Kemudian mereka berciuman. “ Morning. Thanks.” Wanita itu menerima gelas hangat yang disodorkan lelaki itu.” Aku sudah bikin orakarik telur. Rotinya juga sudah dipanggang.” Orak-arik terbaik adalah orak-arik berteksut lembut. Menghangatkan kembali orak-arik akan membuat tekstur lembutnya berubah menjadi kering. Menikmati orak-arik berteksur lembut lebih baik daripada kering.” Tadi honey bangunnya kelamaan. Jadi agak dingin.”
8
“ That‟s okay.” Wanita itu tersenyum penuh terima kasih.” Are you going today?” Lelaki itu meletakkan piring orak-arik telurnya sebelum dia memeluk wanita yang dicintainya dari belakang.” I‟m gonna miss you. Like always.” Dia mencium mesra pipi wanita itu. Apakah ciuman ini nikmat? Tanya wanita itu dalam hati. Dia mengelus tangan yang melingkar itu sebelum dia melepaskan lengan penuh lelaki itu di dadanya. “ Drop me at campus. I‟ve meeting with my crews.” “ Sure. No problem honey. “ Lelaki itu tersenyum. Memperlihatkan giginya yang rata dan terlihat sangat terurus dengan baik.
Meeting with the crew
9
Sebuah mobil Honda CRV hitam berhenti di depan gedung fakutlas Ilmu Sosial dan politik. Kacanya yang pekat dan rindangnya pohon beringin yang berada di depan gedung membuat tak terlihat adegan ciuman dua orang insan yang berada di dalamnya. “ Bye. Take care, honey. Love you.” Laki-laki itu tersenyum. Lagi-lagi memperlihatkan giginya yang rata dan terlihat sangat terurus dengan baik.” Thanks for beautiful moment last night.” “ Love you too. Think of me.” Wanita itu menutup pintu mobil. Melambai sampai mobil itu berlalu. Kakinya yang panjang dan ramping terbalut ordinary jeans birunya. Sementara tubuh rampingnya yang cenderung kurus terbalut women t-shirt orange yang menggantung di pinggulnya, dilapisi kardigan yang juga berwarna orange . Rambutnya dibiarkan tergerai bebas. Poni panjangnya berayun-ayun mengikuti
langkah
–
langkah
cepatnya.
Penampilan
sederhananya tetap saja tak mampu mengurangi pesona wanitanya. Setelah menaiki beberapa tangga dan memasuki sebuah ruangan, membuka jendela untuk merasakan 10
kesejukan udara lantai 3 adalah pilihan terbaik mengakhiri rangkain aktivitas sebagai orang pertama yang datang ke tempat kerja. Setelah rangakain tersebut selesai, pilihan berikutnya adalah bergegas menuju meja kerja sendiri di sebuah ruang yang hanya disekat dengan alumunium coklat. Baru jam 7. Rapat direncankan jam 8. Masih satu jam lagi. Pikir wanita itu. Dikeluarkannya sebuah map berisi lembaran-lembaran kertas terhitung banyak. Ada label “ Accepted : November “ berwarna coklat tergantung di sampul map menggunakan klip. “ Good morning, mbak Farin.” Seorang pemuda belasan tahun menggunakan celana kain yang pudar tak terawat warnanya, tampak kontras dengan hem lengan pendeknya yang tampak licin terawat. Wajahn pemuda itu sederhana. Bagian paling menarik dari pemuda itu adalah mata yang berbinar seperti bintang” Pagi sekali, mbak?” “ Morning Her. Iya. Tolong dikondisikan tempatnya ya, Her .” Suaranya datar, tapi renyah. Bola mata keduanya bertemu” Heru sudah sarapan?”
11
“ Iya. Mbak.” Pemuda yang dipanggil Heru itu tersenyum malu-malu. “ Sarapan aja dulu. Masih ada waktu.” Heru mendekati wanita yang dipanggil Farin itu. Mengambil selembar 20 ribuan yang disodorkannya.” Makasih ya, mbak.” “ Never mind. Don‟t take too long. ..Okay. I need you. Soon.” Heru segera beranjak sambil tersenyum. Bola mata Farin beralih ke lembaran-lembaran kertas yang tadi dikeluarkannya, bergegas dia berkemas, kemudian keluar ruang kerjanya. Ternyata meja rapat itu sudah rapi. Kursikursi juga sudah siap. Sesuai dengan jumlah orang yang dijadwalkan ikut rapat pagi ini. Entah kapan Heru merapikan semua itu. Mungkin tak banyak pengurus, member atau teman-teman pengurus dan member SpotLang yang datang kemarin atau beberapa hari sebelumnya, tebak Farin. Farin sendiri sudah dua hari tidak mengunjungi kantor SpotLang. Selaian karena tak ada agenda, juga karena kedatangan kekasihnya.
12
Ruangan yang disebut kantor itu hanya terdiri 4 bilik dengan hanya 2 komputer. Komputernya mungkin hanya dua. Keistimewaan kedua komputer itu adalah keduanya bisa berada di sana dengani usaha SpotLang sendiri, bukan pemberian kampus. Begitu juga dengan lemari-lemari kaca berisi buku dan arsip-arsip yang tertata rapi juga dibeli dengan uang SpotLang. Sebuah meja berukuran sedikit lebih besar dari meja yang ada di dalam ruang kerja Farin dan sekat aluminium ruang kerja Farin adalah swadaya pribadi Farin. Hanya meja oval cukup besar di ruang rapat dan kursi-kursi yang ada di ruangan tersebut merupakan pemberian kampus. Minimnya fasilitas-dukungan kampus tak pernah menjadi masalah untuk Farin and friends. Dibiarkan bebas, tanpe intervensi udah cukup, begitu pendapat mereka. Farin meletakkan map dan laptopnya di meja rapat. Kemudian bergegas kembali ke ruang kerjanya untuk mengambil alat tulis dan agenda. Laptop baru saja dinyalakan ketika tiga orang pemuda masuk . Seorang pemuda bertubuh agak tambun berwajah menyenangkan menggunakan sweeter biru laut, berkulit sawo matang dan berambut keriting. Seorang pemuda lainnya bertubuh kurus, 13
namun tidak ceking menggunakan kaos dalam putih yang dibalut dengan hem coklat, berambut agak panjang terawat rapi untuk ukuran pemuda dan berkulit agak gelap, berhidung pesek dengan alis mata hitam. Dan satunya lagi seorang bertubuh atletis menggunakan kaos bermotif stripes, kerupawanannya tertutup oleh beberapa jerawat besar; merah meradang, di pipinya. ” Good morning, mbak Farin.” Mereka menyapa Farin bersama-sama. “ Morning.” Farin bersandar di kursi lipatnya. “ Not late kan?” Tanya pemuda yang bertubuh tambun. “ No. Thank you for not being late.” “ Still 7.45.” Pemuda yang bertubuh atletis tersenyum bangga. “ Hei, where is Heru?” “ Sarapan. Tuh..” Farin menunjuk dengan dagunya.
14
“ Weis...kenyang jek!” Goda pemuda tambun itu. Heru
tersenyum.”
Alhamdulillah.”
Dia
mengatakannya seperti anak kecil yang baru selesai makan. Tanpa banyak menunggu, dia mengeluarkan map berlabel “ DrUgs: whY? “. Selanjutnya membagikan isinya ke 3 orang pemuda itu. ” Mas Samsul.” Heru mendekati pemuda atletis yang paling dekat dengannya.” Mas Yudhi.” Pemuda yang bertubuh tambun.” Mas Joko. Dan aku.” “ Still have 5 minutes before start. Don‟t waste your time. Enjoy your reading.” Instruksi Farin tak terbantahkan. Bukan hanya karena Farin yang paling senior, tapi juga karena Farin adalah pemimpin SpotLang 3 kali berturutturut. Cerdas. Kritis. Dan menghasilkan. Membuat wajah sederhananya terlihat kokoh, memperlihatkan kesungguhan menghasilkan siluet intelektual dan keanggunan pesona wanita. Dulu SpotLang hanya majalah fakultas yang hanya dibaca oleh beberapa orang. Diambil oleh para mahasiswi hanya untuk dimanfaatkan sebagai pembungkus pembalut. Dulu kantor SpotLang juga hanya memiliki satu meja dan kursi, serta sebuah karpet. Dedikasi Farin sejak pertama kali 15
bergabung dengan SpotLang di tahun pertama sarjananya sampai sekarang masuk tahun kedua di program pasca sarjana
membuat SpotLang menjadi majalah kampus.
Memang masih saja ada mahasiswi yang mengambil SpotLang sebagai pembungkus pembalut, namun bedanya, meraka membacanya terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai pembalut. Universitas tempat Farin mengambil program pascasarjananya mengijinkan mahasiswa jenjang pendidikan apapun untuk aktif bergabung dengan organisasi manapun yang ada di kampus tanpa terikat oleh jenjang pendidikan yang diambil. Kebijaksanaan penuh kebebasan dalam konteks
baik
bertanggungjawab
tersebut
dianggap
merupakan variabel kontribusi kampus yang patut dihargai, tanpa
mempermasalahkan
keberlanjutan
minimnya
kontribusi dukungan kampus dalam variable lainnya. “ Well. 8 o‟clock. How are you Heru? Joko? Yudhi? Samsul?” Ditatapnya satu-satu semua orang yang ada dihadapannya. Tepat di bola mata mereka. Sesuatu yang dibiasakan Farin : menatap bola mata orang yang diajaknya bicara.” Good. Thank you for coming and being punctual. Dan 16
juga
untuk
tetap
terpelihara
kebersihan
dan
kerapiannya. And i‟m also thankfull for keeping showing your smartness through your dressess. That‟s something that you should keep all the rest of your life.” Kecerdasan seseorang termanestifasi tidak hanya dalam cara bicara tapi juga dalam berpakaian. Farin setuju dengan konsep sederhana tersebut. Namun, Farin menolak mentah-mentah
keberandalan,
kejorokan
ataupun
ketidakrapian. Just bersih dan rapi. That‟s simple. Gak perlu necis, perlente. Jika orang cerdas memiliki semua hal yang disebutkan, dalam pandangan Farin kecerdasan yang bersangkutan perlu ditanyakan. Orang cerdas adalah orang yang sistematis dalam berfikir. Orang cerdas adalah orang yang sadar bahwa yang berpengaruh bukan hanya otak dan ilmunya, tapi juga penampilannya. Clothe makes the man. Karna itulah Farin membuat MinusNotes : sebuah catatan tentang kekurangan atau ketidakcakapan pengurus ataupun anggota, yang hanya boleh berisi 3 catatan selama 2 bulan berturut-turut. Jika tidak,maka statusnya akan diturunkan dari pengurus menjadi member, dari member menjadi partisipan. Dari partisipan menjadi black list man selama 6 bulan. Setelah enam bulan blacklist baru boleh aktif lagi, itupun dengan catatan. Semua orang suka itu. Mereka 17
menyadari bahwa kedisiplinan itu perlu dikondisikan untuk mencapai kesempurnaan mutu. Tak ada yang sakit hati atau mengeluh tentang kebijakan minus notes Farin. “ DrUgs : whY? Who is in charge?” Yudhi mengangkat jempolnya.” Please. The final‟ “ Aula bawah sudah okay. Peserta diskusi 35 orang. Member kelas one and non member semester three. Seperti yang ditargetkan. 15 member kelas one. Sisanya non member. Paling banyak, kayak biasanya, cewek. Dari 35 peserta itu cuman 1 orang aja yang kita tahu make, pernah make tepatnya. Dari SMP. Cowok. Desain acara : curhat. Dari hati ke hati. Lighting dan lainnya Joko yang in charge.” Lagi-lagi Yudhi menunjuk dengan jempolnya. “ Everything is set. Cool. Don‟t worry. Trust me!” Joko menepuk dada. “ Do you Yudhi?” tanya Farin sambil tersenyum. Yudhi menjawab dengan mengacungkan 2 jempolnya.” Good. Next.” Lagi-lagi Yudhi menggunakan jempolnya untuk menunjuk Heru.
18
“ Akomodasi dijamin. Pakai motor sendiri-sendiri. Karpet dan lighting oke. Makan tidak 2 kali. Tapi dapat kopi krimer dari sponsor. Bebas ambil berapa kali saja. Spesial pake low sugar. Juga dari sponsor. Ditemani roti uenak juga dari sponsor....” “ Oya, security juga sudah oke. Batas malam maksimal 10.30 kata pak No. Moderator Linda, member kelas binaanku, ” Sela Joko. “ Last but not beast.” Samsul bergerak cepat sebelum jempol Yudhi beraksi.” Reportase dari SpotLang 2. Kamera dan helikopter siap. Untuk jepretan, kita pake inventaris kita sendiri. Kamera pinjam ke fakultas. Dan semua sudah di SpotLang 2. SpotLang dibawah bendera Samsul Aulia. Dijamin! Siap. On time. On schedule. Saturday night at 7.” “ Great. Gimana gelas untuk kopinya?” “ Alhamdulillah. Beres mbak. Saya sudah pinjam sama anak boga. 50 cangkir putih plus tatakannya. 50 piring kecil, juga putih.”
19
“ Jangan-jangan kamu lupa gak minjam sendoknya lagi, jek!” Goda Samsul. “ Endak ta, Mas. Ndak lupa aku.” Alis Heru mengkerut.
Semuanya
mengkerut itu. Mata
tersenyum
melihat
alis
yang
berbinar Heru masih dipenuhi
kecemasan. Dipengurusan Spotlang memang Heru paling kecil, tidak heran kalau para seniornya suka menggodanya. Heru baru semester 1. Status Heru bukan pengurus. Heru adalah seorang helper.
Tidak mudah menjadi pengurus
dibawah kepemimpinan Farin, sangat selektif, sangat-sangat selektif, dobel selektif. Farin melihat Heru sebagai sosok yang memenuhi kriteria untuk menjadi the next king di SpotLang. Yang paling menonjol dari Heru adalah karakternya. Kuat, cepat belajar, tidak pernah membuat kesalahan yang sama dua kali berturut-turut dan ingin maju, tapi tidak egois. Tentu saja semua itu juga didukung oleh otak yang cerdas. Dan tentu saja lagi, masih butuh dikarbit; pendapat Farin, sangat butuh. So..menempatkannya sebagai helper
menggantikan
yang
terdahulu,
akan
sangat
memperkaya intelektual dan attitudenya, menyaksikan koreografi kerja kru terbaik yang dimiliki Farin selama 2 tahun ini. 20
“ Wah, kalo lupa sendoknya gawat nih. Back to nature: ngaduk pake jempol. Minus notenya berarti sudah 2. Bad english sama bad sendok.” Semuanya tertawa. Kecuali Heru, manyun.” Tinggal 1 lagi....kita bakalan gak punya little sister dong!” Samsul memang sengaja memilih little sister. Alis Heru semakin mengkerut. Dia berfikir. Farin memperhatikan. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan Heru. Little brother. Sayang Heru masih belum menemukannya. Mau tak mau senyum Farin semakin lebar. Memperlihatkan gigi-giginya yang tanpa cela; tak ada warna kuning ditikungan giginya. “ Bad sendoknya sih kayaknya bisa dibereskan, Sul. Tapi little sisternya mungkin bakalan abadi. Hahahahah.....” Joko terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan airmata. Yang diolok pipinya tampak keunguan. Ketiga pemuda senior itu memiliki tinggi lebih sedikit di atas ratarata pemuda Indonesia. Berbeda dengan ketiga seniornya, Heru malah memiliki tinggi sedikit di bawah rata-rata. Kulitnya tergelap diantara semua yang ada diruangan itu. Suaranya juga termedok diantara semua yang hadir disitu.
21
“ Anything else?” Farin mengalihkan perhatian ketiga pemuda senior itu setelah melihat wajah Heru semakin keunguan dan kepalanya terus menunduk. Benarbenar seperti anak SD. Benar-benar anak desa. “ Kita juga dapat sponsor dari tisu Power.” Samsul menunjukkan wajah serius, sangat serius malah.” Dan kita mesti berbaik hati ngambilkan sebox tisunya buat Heru.....” Samsul tak kuasa menahan gelak tawanya.” Buat nutupi wajah Heru yang kayak telo ungu.....” Hahahahahahah......sayang
sekali
Heru
tak
terselamatkan. “Good. I need reality not imagination. We‟ll see your best work.” Farin mengakhiri meeting.
Go.... Please
Selesai rapat, Farin mengedit lagi artikel-artikel yang akan dimuat di majalah SpotLang bulan depan sambil 22
menunggu sore; waktu kuliahnya. Farin mengambil jadwal kuliah pasca sarjana regular; senin sampai kamis. Hal ini bukannya tanpa alasan, selain lebih murah daripada weekend class, juga karena kegiatan SpotLang ataupun privasinya sering dilakukan di weekend. Seperti kebanyakan orang. Entah kenapa hari itu kuliah terasa begitu cepat untuk Farin. Enggan rasanya pulang. Tidak ada siapa-siapa di rumah. Bukan pertama kalinya Farin merasakan hal ini, namun kali ini berbeda, rasa enggan itu sedikit lebih besar dari sebelumnya, sangat tidak nyaman dari sebelumnya, dan sangat tidak mudah diusir dari sebelumnya. Farin lebih memilih menghadapi kesendiriannya daripada mengajak seorang teman untuk tinggal atau sekedar menghabiskan malam di rumahnya. Personal space Farin begitu besar. Rumah bagi Farin benar-benar sangat privat, maski tidak berarti Farin tidak memiliki teman yang dibutuhkan dan membutuhkannya, banyak. Hanya saja, Farin, sangat jarang membawa mereka ke dalam kehidupa pribadinya . Akhirnya Farin memilih untuk berjalan dari gedung kuliahnya menuju gerbang kampus, menikmati pohonpohon besar yang karena kekokohan dan daun-daunnya yang banyak tanpa bunga tetap mampu menjadikan mereka 23
terlihat indah dan rindang. Kampus belum sepi. Masih banyak yang memanfaatkan halaman kampus. Ada yang sepakbola. Bela diri. Atau sekedar berlari memutari lapangan. Dari semua kegiatan itu tak ada satu kegiatanpun yang disukai Farin. Farin hanya lompat tali, mungkin sedikit basket. lebih tepat jika basket merupakan kesukaan yang tumbuh karena sebuah invasi; kedekatan dengan seorang kekasih hati . Farin memiliki beberapa tali untuk lompat tali dan halaman basket setengah lapangan di halaman sebelah rumahnya. Tiada hari tanpa lompat tali. Setidaknya masih ada olah raga rutin yang dilakukannya meskipun bukan basket. Farin memandang semua yang dilewatinya dengan perasaan hampa. Tidak ada satu pertanyaanpun yang hadir. Tak ada satu teoripun yang hadir. Tidak menghasilkan induk dan butir. Atau tanya, jawab dan argumen. Tak ada apapun di kepalanya saat ini. Tak ada yang membuat jantungnya memelan, hingga mengeras dan mematikan bagian terbaik dalam dirinya: jiwanya. Farin menikmati kehampaan itu. Farin merasa heran: Seandainya aku bisa seperti ini setiap malam. Seandainya aku bisa kembali merasakan penat beraktifitas seharian. Tidur bukan lagi sebuah usaha, tapi 24
sebuah penghargaan atas apa yang telah dilakukannya seharian. Sayang, akhir-akhir ini penghargaan itu tidak diberikan oleh otaknya sendiri. Akhir – akhir ini otaknya memberlakukan standar yang tinggi atas penatnya : Farin harus melakukan dua kali lompatan lebih banyak dari yang biasa dilakukannya. Biasanya Farin melakukan sepuluh menit loncatan sekaligus selama setengah jam dengan jeda lima menit untuk loncatan sepuluh menit berikutnya. Ini berarti beberapa hari belakangan Farin harus melakukan dua puluh menit loncatan sekaligus, tanpa jeda. Justru di situlah permainannya, penghargaan atas jerih payahnya akan dating; lelah, rileks, tidur nyenyak. Gerbang kampus sudah di depan mata. Adzan magrib terdengar. Farin enggan naik angkot. Itu berarti Farin harus berjalan dari pintu gerbang kampus sampai rumahnya. Berjalan dalam langit yang semakin kelam hanya akan membuat birahi berfikir otaknya tak terkendali. Sesuatu yang tak disukainya. Naik taksi juga bukan pilihan yang menyenangkan. Kenyamanan adalah sesuatu yang dikejar Farin. Rumahnya nyaman. Seperti yang diinginkannya. Tapi tidak untuk transportasi. Transportasi murah adalah sesuatu yang disukainya. Seperti busway. Murah dan nyaman. 25
Mungkin
seharusnya
Malang
punya
itu.
Seharusnya
dipertimbangkan punya itu, desahnya panjang. Dengan jalan sempit, kecil di tiap sudut kotanya? Mungkikah? Entahlah. Kenapa tadi pagi aku gak bawa motor aja sih! Gerutunya
kesal.
Kesal
karena
tidak
melakukan
pertimbangan sebelum bertindak. Sesuatu yang sangat tidak disukainya. Namun tentunya mengubah yang negatif menjadi yang menguntungkan jauh lebih baik. Akhirnya Farin memilih berjalan kaki hingga sampai ke rumahnya. Mungkin otaknya akan menghargai itu. Sehingga Farin tak perlu melakukan dua puluh menit loncat tali. Rumah mungil berukuran 5 x 12 meter itu tak bercahaya. Alang-alang yang tertata rapi di depan pagar rumahnya kehilangan pesona karena ketiadaan lampu taman. Farin mendorong pintu gerbang dengan malas. Sepeda motornya ada di sana; garasi terbuka adalah pilihan terbaik untuk rumah mungil yang tak ingin terlihat penuh sesak dengan catatan keamanan terjamin. Farin menaiki undakan kecil menuju teras mungil yang tak memiliki perabotan apapun kecuali lampu dinding terbuat dari anyaman rotan yang sukses menghasilkan siluet cahaya yang mempesona. Farin tak menyukai aktifitas apapun di depan rumah. Semua 26
aktifitas berpusat di halaman sebelah, tidak heran jika teras mungilnya kosong tanpa perabotan.
Farin menyalakan
lampu teras dan tamannya. Baru kemudian Farin menyalakan lampu ruang tamunya. Tampak sebuah sofa two seater berlengan terbuat dari kulit berwarna coklat menghadap ke taman sebelah yang memiliki lapangan basket setengah ukuran seharusnya, dan di sebelahnya dilengkapi dengan sebuah sofa kecil one seater tanpa lengan dan penyangga. Lantainya dihiasi dengan shaggy rug bermotif kontemporer. Farin menyukai keterbukaan, alam dan perasaan lapang. Ruang tamu itu hanya berhiaskan sebuah papan surfing dan pot bunga yang berisi beberapa tangkai bunga krisan segar yang diganti tiap dua hari sekali. Lukisan panen ikan di belakang sofa two seaternya memberikan kesan hangat dan menenangkan. Bunyi gemerincing terdengar ketika Farin melewati pintu kecil penghubung ruang tamu ke ruang selanjutnya yang terbuat dari manik-manik yang indah. Farin memang menyukai keterbukaan dan perasaan lapang, namun Farin lebih menyukai privasi. Karena itu pembatas ruang tamu dan ruang selanjutnya begitu jelas: pintu. S ebenarnya hal tersebut adalah hal yang tidak disetujui, tepatnya tidak 27
disukai oleh kekasihnya. Pintu akan membuat ruang tamu tampak semakin kecil saja, begitu pendapat kekasihnya. Belum lagi halaman depan yang kecil, teras yang mungil dan garasi terbuka yang tidak bisa dikatakan luas, hanya beratap fiberglass biru yang cantik membuat rumah ini terkesan mungil dari depan. Farin melewati lorong kecil penghubung ruang tamu dengan ruang berikutnya yang berhias foto-foto Farin dengan keluarga, SpotLang krew, teman-temannya. Tidak ada foto mesra berdua dengan kekasihya. Tak ada satupun terpampang wajah kekasihnya di sana. Farin meletakkan tasnya di meja kerja yang menempel dengan tembok yang berada tepat di depan kamarnya sambil menyalakan lampu. Baru jam 7. Padahal aku berjalan pelan, sangat pelan dan sengaja mengambil jalan besar; bukan gang-gang kecil kampung yang berfungsi seperti shortcut, agar jarak 5 kilo akan membuat waktu bersikap baik padaku. Kenapa waktu terlalu baik padaku hari ini, desahnya. Haus. Entah kemana lelah, yang tersisa hanya haus. Bergegas Farin melangkah menuju dapur mungilnya yang berada tak jauh dari meja kerja. Meja kerja menjadi satu dengan ruang keluarga yang hanya berisi sebuah sofa 28
panjang berlengan berwarna krem dengan shaggy rug berwana orange sebagai penghangat lantai. Dilengakapi sebuah meja dengan tv flat 27 inchi berwarna hitam menambah kesan nyaman, meskipun dari sofa itu juga akan terlihat jelas meja makan kayu kecil yang hanya terdiri dari 3 kursi anyaman bertekstur dan sebuah dapur kecil mungil; namun memiliki segalanya: kulkas super besar, microvave 3 dimensi, blender, toaster, penyimpan beras, mixer, gelasgelas dan peralatan makan imut nan elegan, yang menempel di dinding. Tidak ada sekat pemabatas ruangan di sana. Dari sofa itu juga akan terlihat taman belakang yang dihiasi dengan air terjun mini yang terbuat dari batu alam menghasilkan nyanyian indah berjudul gemericik air. Farin duduk perlahan di sofa empuknya. Remote adalah penemuan sangat menggembirakan terlebih bagi pemalas. Meskipun bukan tergolong pemalas, Farin juga salah seorang yang menikmati penemuan itu. Otaknya sedang kosong saat ini. Farin tak ingin mengisinya dengan apapun. Sebelum otaknya mengisi dengan segala isian; seperti burger yang bisa diisi apa saja sesuka hati, tanpa ijin darinya, bergegas; agar tak kalah cepat dengan otaknya, Farin mencari jaringan tv kartun. 29
Tenggorokannya tlah dialiri air. Kakinya selonjor, setelah sebelumnya tentu saja Farin melepaskan sepatu sneaker putihnya sebelum menginjak karpet dan meletakkan ke dua sejoli itu di sebelah sofa. Punggungnya bersandar di sofa empuk plus berwarna krem kesukaannya. Televisinya bergambar jernih dengan suara stereo. Sayang, semuanya tak mampu memberinya kerileksan. Tubuhnya masih terasa berat dan kaku. Sambil menghela nafas, Farin menggeser pintu kamarnya yang merupakan perpaduan kayu jati bermutu tinggi, stainlis dan kaca. 3 buah shaggy rug bulat beraneka warna cerah menyambut kedatangannya. Farin tidak membaringkan tubuhnya yang berat dan kaku ke dalam buaian kasur springbed kualitas nomer satu yang tertata rapi dengan bantal-bantal besar dan kecil berwarna hijau senada dengan warna tembok kamarnya. Farin memilih menggeser pintu kamar mandinya yang berdinding kaca, bertembok batu alam, berlantaikan batu-batu kecil nan indah, yang mengucurkan air segar dari gentong. Sama seperti ruangruang sebelumnya, kamar inipun memiliki view taman sebelah.
30
Ada sebuah lubang seperti sumur di sana, di salah satu sudut kamar mandi Farin. Lubang itu bak jakuzi apartemen atau hotel mewah. Jakuzi yang satu ini berbeda. Selain memiliki view taman, lapangan basket separuh ukuran seharusnya, air terjun miniatur, tempat mencuci dan menjemur, jakuzi ini terbuat dari batuan alam, berlantaikan batu-batu kecil. Farin ingin jakuzinya; termasuk kamar mandinya seperti kamar mandi Embah Farin di desa, seperti pemandian air sumber juga di desa Embahnya, tempat yang sering dikunjunginya sewaktu Farin kecil. Jakusi itu juga dilengkapi dengan atap dan jendela knockdown, sehingga Farin
bisa melihat
menginginkannya.
Farin
alam
dengan
menyebut
leluasa jika jakusinya
ia
dengan
pemandian. Farin menyalakan tombol air panas untuk miniatur pemandian air sumbernya malam itu. Halaman sebelah nampak gelap, Farin bergegas menyalakan lampu halaman sebelah. Cukup bagi Farin merasakan kesendirian tanpa harus merasakan kegelapan malam. Air panas itu membuka pori-pori kulitn Farin, membuat hawa panas itu masuk. Perlahan namun pasti, mereka merapikan jalan-jalan darah yang menyempit. Bak 31
kendaraan yang melaju cepat di persimpangan jalan lampu hijau, darah-darah itu mengalir kegirangan. Mengisi tiap-tiap organ tubuh Farin yang kelelahan dengan darah segar penuh cinta. Menghasilkan rileks dan kantuk. Tidak pernah ada usaha yang sia-sia. Sayang, setiap hasil memiliki ujung. Airair itu tlah mendingin. Farin terbangun ketika pori-porinya tak lagi berteman dengan hawa panas, mereka sudah berteman dengan hawa dingin sekarang. Mereka menyeruak masuk, tanpa perlawanan. Bergegas Farin membalutkan handuk ke tubuhnya. Setelah cukup kering, Farin membalut tubuhnya dengan jaket mandi, sementara rambutnya dibalut dengan handuk putih. Batu-batu kecil di sepanjang jalan menuju ke kamarnya membuatnya rileks kembali. Digesernya pintu kamar mandi. Farin terkejut ketika melihat jam yang tergeletak indah di atas meja kecil di samping tempat tidurnya telah menujukkan waktu 00.07. Berarti sudah berjam-jam Farin di dalam pemandian. Mas Hendro. Teringat kekasihnya, Farin berjalan cepat menuju meja kerjanya. Dikeluarkannya hp dari dalam tas. Benar saja. Mas Hendro
menelponnya
berkali-kali.
Tak
mungkin
menghubunginya. Pasti sudah tidur. Pikir Farin. Hendro 32
bukan sms-man. Dia sangat jarang membaca sms yang masuk, lebih sering tidak segera membaca sms yang masuk. Ahhhhhh…..Kenapa aku harus bangun, keluh Farin. Bayangan dihinggapi perasaan kelam; seperti beberapa malam yang berturut-turut sebelumnya, yang masih tak jelas bentuk dan modelnyalah yang membuat Farin mengeluh seperti itu Now what? Aku tadi makan apa ya? Farin berusaha keras mengingat apa saja yang sudah dimakannya. Astaga! Pekik Farin dalam hati. Aku belum makan apapun dari pagi. Cuman minum dan makan sedikit coklat stik kesukaannya. Aku gak lapar. Sesuatu yang mengkhawatirkan Farin. Tubuh bergerak berasal dari tenaga. Pensuplai tenaga adalah makanan. Sesibuk apapun, Farin tak pernah lupa makan. Apalagi malas makan atau tidak makan dengan sengaja. Sesuatu yang jarang dilakukannya. Tidak memberi sumber tenaga pada tubuh adalah kejahatan besar, ya kejahatan pada dirinya sendiri. Begitu Farin mendidik dirinya. Dengan enggan Farin membuka magicomnya. Mbak Estu; orang yang membantu Farin, datang tiap hari jam 7.30, pulang tengah hari bila pekerjaannya telah usai, sudah memasakkan nasi untukknya. Ditariknya laci makannya. 33
Tidak ada apa-apa. Ya, tadi aku gak minta dimasakkan apaapa. Farin beranjak ke kulkas besarnya; Farin tak menyukai kulkas besar itu; terlalu besar menurutnya,namun karena merasa kasihan dengan mas Hendronya yang sudah member Farin kesempatan tentang rumah ini- dan banyak hal lainnya, Farin merasa harus memberi kesempatan kali itu. Mas Hendronya suka makan dan masak, karena itu Hendro lebih memilih kulkas besar agar muat menyimpan makanan dan bahan-bahan makanan sebanyak-banyaknya. Akhirnya, dari semua yang ada di kulkas, Farin mengambil mie spaghetti yang sudah direbus. Gak seharusnya aku tadi makan coklat dulu sebelum makan nasi. Sekarang aku juga males makan nasi, makan spagheti. Pedas lagi. Gak pedaspun kecut. Farin bimbang. Tak ada lagi yang diinginkannya. Tak ada satupun yang berada dalam kulkas besar itu yang mampu membangkitkan birahi perutnya. Akhirnya pemilu itu tetap dimenangkan mie spagheti. Tentu saja tak ada kendala dalam memasak. Semuanya telah disiapkan dengan baik oleh mbak Estu; bawang merah, bawang putih dan bawang bombay sudah dikupas. Tersimpan rapi di dalam toples tupperwearnya, begitu juga dengan daging ayam dan sosis kesukaan Farin, juga 34
tersimpan rapi dalam kotak tupperwear. Farin bersyukur karena
telah
memilih
member
kesempatan
Hendro
melakukan keinginannya. Sekarang Farin sedang merasakan kenikmatan yang diberikan kulkas besar itu. Farin juga tak perlu susah-susah mencincang bawang-bawangnya, tentu saja Farin memiliki alat pencincang bawang. Tak perlu ada air mata, pikir Farin. Ya..mb Estu tak pernah menangis cengeng saat mengupas bawang merah..Aku?? Mb Estu tiap hari menaklukan bawang. Aku?? Belum. Farin menyiapkan wajan, mengambil mentega, memasukkan filet ayam dan potongan sosis ke dalam mentega yang telah meleleh, menumis bawanghood, menambahkan tomat dan pasta. Terakhir dia tinggal memasukkan mie spagheti tanpa direbus ulang karena malas. Tanpa oregano dan basil. Masakan Italia. Lidah Indonesia, rasa Indonesia. Malas ngluarkan keduanya dari kulkas, tadi lupa. Mungkin aku seharunya juga menyetujui ide mas Hendro untuk masang karpet di sekitar meja makan untuk menghangatkan kaki, pikir Farin. Ya, maklum Farin lupa, lebih tepatnya Farin sedang malas pakai sandal rumah sejak dari kamar mandi tadi. Kasian mas Hendro. Akhirnya Farin
35
mengerti kemalasan kekasihnya untuk memakai sandal rumah. Dulu Farin suka berkata,” Apa susahnya sih, mas? Kan tinggal masukkan kaki aja.” “ Ya kan, di sofa dilepas. Di kamar, ganti sandal kamar. Capek, honey.” Jelas Hendro waktu itu. Farin juga yang membuat peraturan untuk makan makanan berat di meja makan, tidak boleh di sofa. Sekarang karena kaki tidak beralas-nya membuat Farin kedinginan, Farin duduk di sofa dengan spaghetti di pangkuannya. Menaikkan kaki ke atas kursi juga bukan pilihan yang disukainya. Jika Farin menaikkan kakinya ke atas kursi, itu akan membuat perutnya terasa tidak enak selesai makan, perutnya akan tertekan oleh kakinya, akibatnya makanan yang masuk ke dalam perutnya terjepit, makanan tidak bisa bergerak bebas menikmati perjalanannya menuju lambung. Farin duduk diatas sofa sambil menyalakan televisi dengan perasaan bersalah. Aku lupa masukkan garam. Enggan kakinya menyapa dingin, Farin tak mempermasalahkan spagheti tanpa garamnya. Tapi Farin sempat menoleh ke
36
tempat garam di dapur, yang membuatnya juga melihat jam duduk jerapahnya. Alangkah terkejutnya Farin ketika menemukan angka 00.23 di dalam sebuah kotak berhias jerapah di sekitarnya yang bersandar santai di tembok meja kerjanya. Astaga, kenapa masih jam segini. Aku ingin waktu berjalan dengan cepat! Sangat cepat! Gak selambat ini! Ayolah, jangan terlalu baik padaku. Dengan perasaan frustasi, Farin menyuapkan spagheti ke mulutnya. Mendesah, mendesah dan mendesah. Desahan-desahannya itu menuai protes keras dari perutnya. Mereka segera mengirim asam lambung lebih banyak sebagai bentuk protes. Farin merasakan perih. Namun, Farin tetap berusaha
menghabiskan
spaghetinya.
Farin
bergegas
mencuci piring dan garpu agar tangannya tak perlu berlamalama bersalaman dengan air yang menyelundupkan dingin di sela-sela jemarinya yang lembut. Berjingkat, Farin mengelap tangannya, kemudian berlari kecil menuju sofa tercintanya. Farin berusaha untuk tetap duduk tegak, tidak bersandar. Jangan bersandar sebelum setidaknya setidaknya 30 menit setalah makan. Itu prinsip kesehatan yang juga diajarkan otaknya pada Farin. Sayang, Farin tidak menyertakan rileks 37
dalam duduk tegapnya. Setelah perut mengirimkan asam lambung sebagai bentuk protes, sekarang otot-otot perutnya yang
tidak
hanya
memprotes,
tetapi
menunjukkan
amarahnya karena tidak memberikan bonus rileks kepada mereka. Mereka menarik diri semakin kencang. Akhirnya Farin bersandar, kakinya selonjor. Hahhhhh! Desahnya panjang. Tak dihiaraukannya lagi aksi-akasi protes dan amarah anggota tubuhnya. Farin asyik memencet-mencet tombol remote yang menikmati pijatan Farin. Tidak ada yang menarik. Jam segini mana ada program bagus. Kalo tv lokal sih, jam berapapun juga lebih banyak sinetron yang bikin kita ngomel atau obrolanobrolan lebih murni berorientasi menghibur, keluh Farin. Setelah mendesah panjang, Farin memutuskan untuk menentukan pilihan pada Discovery Channel. “ Afrika adalah kerajaan hutan terbesar di dunia. Jika di hutan lain Anda hanya akan menemukan beberapa jenis karnivora saja; tidak sampai lebih dari 3, maka di sini anda akan menemukan segalanya. Serigala, singa, harimau, hyena, bahkan buaya, cheetah. Bahkan kelinci dan ularpun bisa Anda temukan di sini sekaligus.....” Host acara itu mengenakan celana jeans biru, t-shirt putih berlapis hem 38
biru.
Simpel,
sederhana,
tapi
tak
menutupi
kesan
pemberaninya, petualang dan tentu saja tidak mungkin tanpa kecerdasan. Farin‟s type. Sosok Hendro juga tak jauh dari itu. Lelaki sederhana dengan perilaku sederhana, namun berfikiran kompleks dan bertindak riil. Ordinary jeans dan t-shirt sederhana atau ordinary jeans dengan hem lengan pendek disertai warna-warna lelaki; no belt, adalah identitas Hendro. No fashion. Not left behind. Ordinary. Common . Farin teringat dengan seorang host bernama something like Irving, Farin berusaha mengingat. Yang dipastikan muncul hanya Irving. Ia meninggal di laut ketika melalakukan hal yang disukainya. Menunaikan tugas. Kasian, pikir Farin. Ada sesuatu yang berdesir dalam darahnya. Apakah aku akan mati ketika sedang melakukan hubungan? Ketika aku sedang ngedit? Menjadi pembicara? Bayangan kegelapan itu baru saja menyebar di seluruh otaknya. Ngapain harus dikasiani? Sebuah umpan untuk mengalihkan perhatian. Dia meninggal untuk sesuatu yang dia cintai. Orang-orangpun menghargai dan menyanjungnya. Gak sedikit orang yang ingin mati ketika melakukan hal yang 39
disukainya. Bayangan kegelapan itu mulai mengalir perlahan diurat syarafnya. “.......... Lihatlah buaya-buaya itu. Atau rusa-rusa itu. Apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan dalam diam di tepi sungai, di dalam air? Apa mereka berfikir? Apakah rusarusa itu makan sambil memikirkan sesuatu? Apa mereka mencari
kesempatan?
Apakah
mereka
tidak
pernah
melewatkan satu kesempatanpun?...” “ Ya. Kau benar. Betapa membosankannya jika kau sedang makan,tapi di otakmu tidak kamu temukan apa-apa. Seperti ketika kita sedang berjemur di pantai yang indah dengan dilumuri sunblock terbaik yang sudah kau beli. Oke, fine. That‟s okay for 15 minutes whithout nothing in your mind, in your brain. That‟s 15 minutes. What happen next?” Farin tidak tahu sejak kapan host ke dua itu muncul “ Sleeping?” “ Forever?” “ Yeah. That means your‟re died.” Keduanya tertawa. 40
“ Ya. Tentu tidak menyenangkan sama sekali hidup seperti itu. “ “ Kita tidak tahu apa yang pikirkan. Kita juga tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mungkin kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya...” “ Ya. Kita tidak akan benar-benar tahu karena kita tidak bisa bahasa mereka. Teknologi kita masih belum menjangkaunya. Tapi setidaknya mereka sudah menjangkau alien.” Keduanya tertawa.” Bayangkan ada berapa banyak binatang. Ada berapa banyak bahasa jadinya?” Lagi-lagi keduanya tertawa. Farin teringat sesuatu. Sesuatu yang pernah didengarnya. Farin melompat ke dalam memori jangka panjangnya.
Mengaduk-mengaduk
wardrobe
memory
storagenya. Banyak sekali indek semut di lembar-lembar memory storagenya. Akhirnya indeks itu membawanya pada halam yang diinginkannya. Ya. Nabi Sulaiman. Dongeng kecil ketika dia mengaji di Bu Hamidah. Guru ngaji Farin ketika masih tinggal di kampung. Sebelum akhirnya mereka pindah rumah ke kota besar dan kota pariwisata. Nabi Sulaiman ketika sedang berjalan dengan rombongannya; 41
beliau, entah beliau mau kemana, beliau melewati semut. Sepertinya semut itu mau menyeberang. Something likes that. Semut itu takut, khawatir diinjak oleh rombongannya nabi Sulaiman. Semut-semut itu kaget ketika ternyata nabi Sulaiman mendengar obrolan mereka. Nabi dan rombongan berhenti, membiarkan semut lewat. Short of it. I don‟t know. Not sure. Farin tidak bisa mengingat lebih banyak lagi. Banyak bagian lembar memori yang sedang dipegangnya saat ini tertetesi huruf-huruf dan kalimat-kalimat dari lembar memori lainnya. Kesimpulannya, binatang memang punya bahasa, fikir Farin. Sudah berapa lama sejak nabi Sulaiman sampe
sekarang
tidak
satu
manusiapun
yang
bisa
menerjemahkan embekan kambing, apa yang semut ucapkan ketika mereka sedang bertemu dengan temannya dalam perjalanannya yang entah kemana. “ Ya. Kau benar. Ketika matahari terbenam. Kau tak akan menemukan hewan-hewan itu di sana. entah mereka kemana. Entah siapa yang memberitahu mereka.” “ Aku tidak yakin kau yang memberi tahu mereka.” Keduanya tertawa. Tertawa again? 42
“ Aku merasakan ada sesuatu yang besar dari mereka. Seolah sudah mengatur gerak-gerik mereka. Alam..............” “ Alam. Ya. Aku setuju. Alam menentukan kehidupannya sendiri. Alam mempunyai kebiasaan yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun. Mereka telah mengenal diri mereka dengan baik....” “ Berjuta-juta tahun.....” Farin tersenyum geli. Farin bukan tipe orang yang suka tidak menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan. Sesimpel apapun pertanyaan itu. Farin selalu menghargai setiap pertanyaan yang datang dari siapapun, juga yang hadir dalam dirinya sendiri. Farin tidak suka dengan jawaban yang tidak memuasakan, tidak masuk akal dan tidak dirasakan kebenaran dari sebuah jawaban. Itulah yang sedang dirasakannya saat ini. Tidak puas, tidak masuk akal dan tidak merasakan kebenaran dalam jawaban host tadi. Bagaimana
mungkin
alam
menentukan
kehidupannya sendiri? Bukankah alam itu seperti manusia? Bukankah dulu manusia itu tidak ada? Bukankah dulu alam 43
juga tidak ada? Sampai terjadi Big Bang barulah bumi ini ada. Bukankah bumi ini alam? Manusia menyusul kemudian. Bagaimana mungkin mereka bisa ada jika terjadinya merekapun karena Big Bang. Sebuah ledakan besar yang entah terjadi karena apa? Kenapa? Bagaimana? Dan kenapa suatu saat bumi ini pun juga akan meledak lagi? Siapa yang menyuruh? Kita manusia juga sudah berjuta tahun hidup, tapi kita masih juga tak mengerti alam. Hewan bisa turun sebelum gunung meletus. Apa manusia tau? Kalo benar mereka bagian dari alam yang jarak hidup mereka dengan alam tak jauh, harusnya manusia juga bisa memiliki indera bencana alam seperti hewan? Bagaimana hewan bisa menentukan hidup mereka sendiri? Ditangkap aja mereka gak bisa lepas. Ya, setidaknya seringkali begitukan? Apa pernah ada hewan yang pergi ke sekolah? Apa mereka punya kehidupan selain makan, jalan-jalan, tidur dan beranak? Apa hewan-hewan itu punya tugas lain? Bukankah itu sudah cukup bukti bagi manusia bahwa hewan itu memang makhluk rendah yang tak berakal?? Kalau berakal tentu saja akan menjadi saingan untuk manusia, dan bagaimana mungkin manusia menyantap, melahap sesama makluk berakal untuk kesehariannya?? Bagaimana sesuatu yang tak berakal bisa mengatur dirinya sendiri? Kalo mereka 44
menggunakan kata alam, berarti gunung itukan juga alam, batu, sungai. Bukankah manusia menyebut benda-benda itu sebagai benda mati? Bagaimana yang mati dengan yang hidup, hewan-hewan, itu bisa saling memahami? Apakah bumi dianggap sebagai partikel hidup? Entah dimana nyawa bumi? Kenapa suatu saat nanti bumi akan memutuskan untuk bunuh diri yang akan membunuh semua manusia? Kenapa harus begitu? Ada sesuatu yang diketahui dan dirasakan Farin bahwa hal yang disampaikan para host itu tidak benar. Lintasan-lintasan pikiran yang dipunyainya pun tidak memuaskannya. Ada sesuatu yang dijengkeli dan disesalkan oleh Farin : kenapa aku tidak tahu apa jawabannya!! Jawaban benarnya.
Sebuah
jawaban
yang
akan
menuntaskan
segalanya. Sebuah jawaban dasar. Seperti nasi sebagai jawaban lapar. Seperti air sebagai jawaban haus. Ada sesuatu yang besar dari mereka. Seolah sudah mengatur gerak-gerik mereka. Jangankan hewan. Bukankah manusia sampe sekarang juga belum tahu dimana diletakkannya ruh dalam kehidupan manusia? Dimana diletakkannya jiwa? Bagiamana tangan ini bergerak? Tentu lebih dari masalah otot. Bagaiman sebenarnya otak ini 45
bekerja? Kenapa jiwa itu masih ada dalam diri seseorang, tapi kenapa bagaimana darah bisa membuat tangan, mulut kaki seorang gak bisa bergerak karena darah yang mengental? Dimana kehidupan itu ketika kita sedang tidur? Tentang diri sendiri aja, manusia juga masih banyak gak taunya. Mungkin hewan-hewan itu juga berfikiran sama seperti host-host tadi tentang manusia? Kenapa manusia memakai baju? Mungkin kata-kata kita juga terdengar seperti embikkan, seperti suarasuara yang tidak dimengerti. Kenapa pada suatu waktu, sesuatu yang menghidupkan tangan, kaki, badan manusia, hewan, juga tumbuhan bisa pergi? Keluar dari badan ini? Kenapa kita bisa tidak sadar? Tidak melihat ketika proses itu terjadi pada orang lain? Kalo host-host itu tersesat di hutan, kemudian mereka menemukan jalan pulang. Mereka punya kesempatan untuk menceritakan apa yang mereka lalui. Seperti kisahkisah para motivator yang banyak beredar. Terperangkap salju, badai, hutan. Ato apalah. Mereka cerita banyak hal. Bahkan bertemu kematian.
Kurasa kalimat ini salah.
Hiperbola. Jika kematian adalah petualangan, kenapa mereka tidak bisa bercerita tentang kematian mereka? Kenapa mereka tidak melihat nyawa? Bukankah mereka akhirnya 46
kembali hidup? Kalo mati itu satu petualangan, kenapa tidak banyak orang mau melakukannya? Kenapa para petualang kematian sejati tidak pernah kembali? Kenapa mereka diam saja ketika tubuh mereka digotong
beramai-ramai?
Dibungkus......
Darah
Farin
menggelegak ketakutan. Farin berdiri. Wajahnya ketakutan. Dimana aku nanti? Apa yang kulihat ketika nyawa ini diambil? Dimana aku ketika tubuh ini digotong. Dimana dan apa yang akan kulihat ketika tubuh ini diam tak bergerak? Dengan siapa aku akan di sana? Farin panik. Detak jantungnya berdetak hebat. Matanya nyalang memandang sekitarnya. Farin ingin berlari. Berlari ke keramaian. Tapi kemana? Farin ingin berteriak. Apa yang akan terjadi? Dari ada menjadi tiada? Bagaimana bisa itu terjadi? Gelap. Pekat. Aku tak ingin berfikir. Aku tak ingin berfikir. Farin mengambil sprinternya dengan cepat, berharap lompatan demi lompatan akan mengusir semuanya. Setelah itu, dia menutup semua tirai yang menjadikannya melihat kegelapan. Farin
merasakan
mencengkramnya.
tangan-tangan Mata
menyalang
kegelapan itu
hendak
mengeluarkan 47
beberapa tetes air. Dilemparnya tali sprinter kesembarang arah. Farin berlari ke kamar. Dibiarkannya semua lampu menyala, diambilnya hp. Siapa yang akan dihubunginya malam-malam begini? 02.00. Apakah seperti ini rasanya mati? Sepi? Tidak ada yang menemani? Gelap? Padahal sudah terang. Lampu menyala terang. Untuk berapa lama? Mungkin sebaiknya keluar. Jalan-jalan pake motor, usul otaknya. Rencana itu urung dilakukannya, Farin sadar perumahanku aja sudah sepi, apalagi jalanan itu… Sudutsudut jalan-jalan kota Malang di malam hari gelap, sepi dan sunyi; Farin tidak berani tidur menghadap sisi manapun. Jika miring ke kiri, Farin merasa ada orang di belakangnya. Hal yang sama juga terjadi ketika Farin miring ke kanan. Akhirnya Farin terlentang. Merasa lebih aman dengan terlentang. Bisa melihat ke kiri, ke kanan, ke atas. Semua lampu: di kamar mandi dan di kamarnya menyala terang. Hal ini membuatnya merasa nyaman dan aman. Ketakutan itu masih belum terkontrol. Darah dibantu dengan oksigen membantu mempercepat ketakutan merasuk ke seluruh urat nadinya, bak seorang perawat dan pasiennya di ruang UGD yang bertindak sigap tangkas. Membuat guratan-guratan otot 48
di seluruh wajahnya mengakar sempurna. Farin memaksa memasukan data-data baru ke dalam otaknya, data yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan kata “ mati “. Diambilnya sebuah buku dari laci meja kecil di sebelah kepala kasur. Dibukanya selembar demi selembar. Tidak membantu. Terlalu berat. Diletakkannya buku yang berjudul “ Psikologi Komunikasi” yang coba digunakan sebagai pengusir ketakutan. Farin membuka laci meja kecil itu untuk kedua kalinya. Sesuatu. Sesuatu yang ringan dan menyenangkan. Yang gak membuatku pusing dan teringat. Yang bisa bikin aku lupa. Enjoy. Akhirnya ditemukan sebuah majalah furniture milik Hendro. Jam digital yang berada tepat di bagian tengah laci merapat ke dinding diam tak tergoyahkan oleh gerak ketakutan Farin. Farin menyandarkan tubuhnya ke kepala kasur yang empuk. Ditariknya selimut berwarna hijau bermotif garis untuk menutupi kakinya yang ketakutan. Dibukanya lembar demi lembar. Matanya dipaksa untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh gambar-gambar yang ada di sana. Hmmm...bagus-bagus. Keranjang sampah coklat dari rotan ini bagus. I should buy it. Farin terus membaca dan 49
membaca. Dikepit dengan kesungguhan dan pemaksaan dari Farin membuat otaknya menyerah kalah; lelah. Berbaring membuat otaknya semakin lelah memperhatikan dan mencerna. Kalo majalah ini aku taroh, nanti aku gak ngantuk lagi. Akhirnya Farin memilih untuk tetap membaca meski tak yakin
dengan
apa
yang
dilihatnya.
Pada
akhirnya
kemenangan itu menjadi milik Farin. Matanya sudah dibawah kendali otak yang memerintahkan untuk menutup gerai penglihatannya. Farin berusaha meletakkan majalah itu kembali ke atas meja kecil. Meninggalkan buku bacaan sendirian di atas tempat tidur bukan hal yang disukainya. Kasihan, kasur bukan tempatnya. Meja adalah karibnya. Bersama karib adalah hal yang menyenangkan. Bukan hanya untuk manusia, tapi berlaku juga untuk buku atau benda yang lainnya, pikir Farin.
Tipu Muslihat Pertama
50
Bara lampu takkan pernah mengalahkan bara matahari. Bara matahari mampu menembus dinding-dinding rumah manusia yang berlapis bata, jendela, kaca tak lupa tirainya. Tentu saja bara membawa serta hangat-panas kemanapun ia pergi. Farin terbangun merasakan panas di kamarnya yang sejuk. Panas yang dihasilkan dari kerjasama matahari, lampu dan selimut. 10.00. Tubuhnya masih terasa lelah. Matanya masih enggan terbuka. Otaknya mengirim sebuah memo: Tidur pagi tidak akan bisa menggantikan tidur malammu, Farin. Ya, kau benar. Tidak seharusnya begitu. Kau tahukan akan juga gak suka. Tidurku mungkin gak lelap, tubuhku mungkin masih lelah. Tapi bukan berarti hari ini akan begini terus kan! Aku tak mau mengawali hari dengan pikiran jelek. Sehari itu penuh warna, tak mungkin semuanya abu-abu. Pasti; setidaknya, ada merah, hijau dan yang lainnya. Otaknya mengiyakan. Mbak Estu pasti sudah datang. Setelah gosok gigi dan cuci muka di westafel, Farin mematikan semua lampu yang masih menyala ketika Farin melewati saklar lampu tersebut. Baru saja pintu kamar Farin bergeser.” Sudah bangun, mbak? Mau dibuatkan apa? “ Mbak Estu 51
menyambutnya penuh kehangatan. Mbak Estu meletakkan vacuum cleanernya. Memberikan perhatian penuh padanya. Sesuatu yang disukai Farin. Farin duduk di meja makan.” Wedang jahe aja, mbak. Perut saya agak gak enak. Kemarin telat makan.” Tentu saja tidak mungkin untuk Farin mengatakan yang sesungguhnya bahwa dia lupa makan. Betapa memalukannya itu,
melupakan
kebutuhan
pokoknya.
Sangat
tidak
bertanggungjawab. “ Lho, kok bisa mbak?” Mbak Estu terlihat khawatir.” Saya buatkan dulu ya, mbak. Jahenya pedes apa nddak?” “ Kalo perut lagi gak enak, sebaiknya gak pedespedes, mbak. Khawatir perutnya bisa tambah gak enak.” Aku gak mau seperti tadi malam. Apa aku perlu minta mbak Estu untuk nginap di sini aja ya? Tapi tidur dimana? Kasian kalo tidur di sofa. Mungkin saja malam ini aku ditemani. Lalu besok? Mas Hendro masih di Surabaya. Kalo toh pulang juga sehari dua hari. Aku gak mungkin
52
selamanya menggantungkan diri pada orang lain. Aku harus bisa menghadapinya. “ Mau saya buatkan bubur gandum, mbak?” Mbak Estu meletakkan sebuah mug yang mengepul. “ Makasih ya mbak.” Bubur gandum? Ide bagus. Pasti hangat di perut.” Pakai kambing?” ” He em..” Mbak
Estu
adalah
permata
berharga
yang
ditemukan Farin dengan tidak sengaja, ketika di suatu pagi hampir tiga tahun lalu, Farin bertemu bapak petugas sampah di perumahannya. Bangun sebelum jam 6 bukan kebiasaan Farin. Sesuatu yang jarang terjadi. Bapak petugas sampah itu sedang mengambil sampah di depan rumahnya. Menyapa dengan sepenuh hati, membuahkan obrolan hangat di pagi hari. Bapak petugas sampah itu sedang mencarikan pekerjaan untuk istrinya yang ingin bekerja kembali setelah setahun menganggur untuk merawat ibunya yang sakit. Sekarang ibunya sudah sembuh. Istri bapak itu ingin membantu meringankan beban suaminya jika diijinkan. Sang suami berusaha mencarikan pekerjaan setangah hari saja. 53
Biar tidak capek dan punya banyak waktu untuk istirahat untuk dirinya sendiri, juga anak-anak. Tergerak oleh belas kasih yang dimiliki Farin dan juga kepercayaan pada reputasi bapak sampah itu; terkenal bersih, tidak seenaknya ketika mengambil sampah dari rumah ke rumah, tidak membiarkan gerobak sampahnya menjatuhkan kembali sampah-sampah yang baru dipungutnya dan juga tidak membiarkan gerobak sampahnya kotor dan bau, Farin menawarkan diri untuk bersedia mencoba memperkerjakan istri bapak tersebut. Belas kasih Farin tulus. Mbak Estu sama baiknya dengan suaminya. Bertanggung jawab dan melindungi. Siapa yang tidak bahagia setiap pulang tak menemukan satupun barang yang tergelatak tidak di tempatnya. Tak sebutir debupun menempel di dinding kaca, lantai atau halaman basket di halaman sebelah rumah. Selimut dan bantal serta semua barang – barang yang kita miliki terletak sesuai koordinatnya. Tidak lebih tidak kurang sederajatpun. Ternyata mbak Estu masih memiliki bonus lebih untuk Farin: tidak pernah mencampuri urusan pribadi Farin, pandai memasak, memijat, dan cepat belajar. Tidak pernah mengulangi sebuah kesalahan sampai dua kali.
54
Betapa beruntungnya aku bertemu dengan orang yang baik seperti mbak Estu. Mbak Estu bekerja dengan sigap, cepat dan hati-hati. Apa aku bisa seperti itu? Semalam aja aku lupa ngasih garam. “ Tadi ada telpon gak, mbak?” Mbak Estu menghentikan pekerjaannya. Selalu begitu. Mbak Estu selalu melihat mata Farin jika diajak bicara, tanpa pernah diminta. Tentu saja sebuah super bonus untuk Farin.” Ada, mbak. Cuma satu. Tapi saya tidak boleh kasih tau.” Yeah, right. Mas Hendro. Farin tersenyum. “ Ya. Gak pa-pa, mbak. Saya telpon dulu ya” Entah kapan pikiran untuk menelfon itu terlintas. Farin memencet sebuah telpon wireless rumahnya sambil mengambil sesuatu dari laci meja televisi. “ Halo. Orange. Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?” Suara ramah petugas rental film itu mengalir ringan kedalam telinga Farin.
55
“ Pagi. Mau delivery order, mbak.” Farin membukabuka katalog yang diambilnya dari laci tv tadi. Farin memilih sambil berfikir. Manusia aja gak tau, gimana dia bisa ingat sesuatu padahal dia sedang bicara dengan orang lain. Tibatiba aku tau, aku harus nyewa film. Bahkan sekarang aku ngobrol sama Orange, tapi otakku terus bekerja. Apa manusia tahu bagaimana ini bisa terjadi?? Tidak. Manusia yang berakal. Makhluk yang mengaku paling cerdas di atas bumi ini, tidak bisa memecahkan misteri dirinya sendiri. Baru saja Farin menyelesaikan transaksinya dengan rental Orange, telfon yang digenggamnya itu berbunyi.” Halo.” Farin tahu siapa yang sedang menelponnya sebelum orang itu bicara. Bagaimana aku bisa tahu? Bagaimana aku bisa punya insting? “ Morning, honey. Are you okay?” Hendro. “ Sorry ya. Semalam aku tertidur di pemandian. Hpnya di tas, di meja. Aku baru tau malamnya. Tapi udah jam 12.” “ That‟s okay. Jam 12 kok dah bangun?” Suaranya penuh keprihatinan.” Tapi memang harus bangun ya. Nanti 56
masuk angin. Sakit dong. Pusing mas kalo honeyku sakit. Sekarang gak apa-apa kan?” “ Ya. Gak apa-apa. Tadi pagi telfon ya?” “ Ya. Habisnya tadi malam gak diangkat. Jadi kepikiran. Cuman tanya aja sama mbak Estu. Mas gak mau beloved honeyku yang cantik sakit.” Meskipun sudah lima tahun menjadi kekasihnya, Hendro
tak
pernah
mengurangi
perhatian
ataupun
kemesraannya pada Farin. Itulah pesona Hendro yang begitu memikatnya. Farin tak ingin percakapan yang mulai mesra itu terdengar oleh mbak Estu, dia bergegas menuju lapangan basket. Farin bukan tipe orang yang suka memamerkan kemesraannya di depan orang lain. Sikapnya biasa saja jika ia dan Hendro sedang bersama orang lain. Hendropun lebih suka jika kemesraan itu hanya menjadi milik berdua. Terasa oleh orang-orang yang melihat. Tapi tidak terlihat oleh orang-orang yang melihat. “ Cuma mas hendro aja tuh yang bilang aku cantik?” Tentu saja bukan pertama kalinya Hendro memuji kecantikannya. Dan tentu saja pujian dari seseorang yang kita 57
cintai adalah hal yang menyenangkan untuk didengar ulang, lagi dan lagi. “ Pyscally, your face is simple. But nothing that i don‟t like from your face. Simple but powerfull. Your beauty is more than about good face. The way you talk. The way you walk. I adore you sooo mucchh. I love you. I like you. I admire you. I‟m your biggest fans! You know honey, you make me miss you. You make me wonder of myself. I never know that i can speak like this before i met you.” Farin tak perlu menjadi astronot agar bisa melambung tinggi hingga ke angkasa. Cukup bagi Farin mendengar kata-kata penuh cinta dari kekasih hati agar bisa melambung tinggi ke angkasa, bahkan tidak perlu tabung udara seperti para astronot. Bahkan lagi, bulan masih saja terlihat cantik dan elok meski di siang hari. Farin tersenyum dikulum. Farin tidak suka laki-laki yang terlalu pandai memuji dan tak bisa dirasakan kesungguhannya. Farin juga tak memerlukan suara mendesah, tersedu-sedu syahdu saat kekasih mengatakan hal-hal indah tentang dirinya. Pohon kepolosan yang sederahana yang berbunga kesungguhan pasti indah. Sudah terbuktikan, pikir Farin 58
Farin duduk bersila di lantai lapangan. “ Masa sih? Kayaknya dari awal mas Hendro itu sudah jago ngomong deh.” Bagaiman bisa aku, bersikap seperti anak kecil dihadapan mas Hendro? Heran Farin. “ Kalo jago ngomong, ya bisa jadi. Harus malah ya. Kan enterpreneur, masak gak bisa ngomong. Gak laku dong barangnya. Ntar gak bisa belikan my honey bread story kesukaannya dong.”Hendro tertawa.” Kemarin, ada teman bawa kardigan rajut. Mas suka. Jadi mas beli. Mudahmudahan honey juga suka.” Farin tertawa.” Suka, suka. Aku suka semua pemberian mas Hendro. Suka gak suka. Aku tetap suka kok.” Tertawa riang dan bebas seperti ini, kenapa gak bisa untuk semua waktu? Heran Farin lagi. Gimana cara tubuh ini bekerja sehingga bisa kasih respon yang berbeda? “ Aku juga suka aroma tubuh my honey, mandi gak mandi, keringetan gak keringetan...” “ Ah, aku mandi 3 kali sehari, masak sih keringetan” Protes Farin seperti anak kecil. Salah satu sisi pribadi yang sangat jarang diperlihatkan pada orang lain. Hampir tidak 59
pernah. Kenapa bisa muncul ketika dengan mas Hendro? Bagaimana cinta bisa membuatnya keluar? Cinta? “ Lho, kalo kita pas lagi main basket, masak gak keluar keringat? Pas sprinteran? Justru bau kecut-kecut segernya itu yang mas suka. Coba kalo mas di situ, sudah habis Farin.” Ya. Seandainya mas Hendro di sini sekarang pasti seru. Aku bisa mandang matanya. Bersandar di dadanya. Aku bisa menciumnya. “ Bikin kangen aja.” Apa itu kangen? Kenapa bisa seperti ini? Kenapa kangen bisa berbeda dengan cinta? Kenapa ada keindahan di situ? “ Ya, sudah. Besok mas ke sana ya.” “ Gak usah. Kerjaannya kan belum selesai. Ntar gak bisa belikan aku breadstory.” “ Ya nih. Designer di Surabaya memang sedikit. Tapi tetep aja kita saingan sama Jakarta.” Hendro lulusan arsitektur sebuah universitas swasta di Yogya. Usaha Hendro bergerak di bidang jasa desain: mulai dari desain exterior dan interior sampai desain pernikahan. Rumah yang ditempati 60
Farin sekarang juga merupakan karya Hendro, baik arsiteksur ataupun desain ruangannya. Tentunya ada beberapa yang dipaksa digubah demi kekasih hatinya. “ Bagusnya, kalo daerah masih milik kita.” “ Terus, hotelnya gimana?” “ Ya. Mereka minta kita re-design their presidental roomsnya. Tapi minta diskon 10 persen. Mereka juga minta karpet tibet.” “ Untung, buntung ato cuman balik modal doang?” “ Gak mau dong cuman balik modal. Apalagi buntung. Kita kasih mereka 10 persen. Kita tercover sama harga di sini. Karpet tibet memang naik, tapi harga di sana stabil sebenarnya. Kita ambil langsung dari sana. Jadi kita kasih 5 persen dari keuntungan. That‟s it. Keuntungannya tinggal 95 persen. Masih banyakkan. Nothing to be worried, honey.” “ Goodlah. Ntar malam bisa gak telfon aku?” Farin mengatakannya dengan ragu-ragu.” Gak harus kok. I‟m fine. Cuma mau ngobrol aja.” 61
“ Ini juga yang mas suka dari
Farin. Penuh
pengertian. Kecuali kalo pas lagi diskusi. Kalo tanya itu sama kayak orang ngotot. Apalagi kalo ngotot, kayak....” “Ah, mas Hendro ini. Kan aku gitu cuman sama mas Hendro aja. Gak kok sama orang lain.” Hendro sering mengingatkan sikap suka ngotot yang sering diperlihatkan Farin padanya agar tidak perlu ditunjukkan pada orang lain. Bagaimana aku bisa bersikap berbeda di depan mas Hendro, Heru, mbak Estu, ato orang lain? Kenapa dan bagaiman bisa begitu cepat aku menggunakan kata, intonasi yang berbeda ketika aku sedang berbicara dengan Samsul dan Heru sekaligus? “ Ya, iya. Percaya.” Cara Hendro mengucapkan seperti seorang ayah yang sedang dirajuk oleh anaknya.” Nah, honey. Breakfast dulu, istirahat. Gak ada kegiatankan di kampus hari ini? Mas usahakan nanti malam telfon, ya. Ni orang hotel sudah datang. I wish i were there, kissing your red rose lips. Bye honey. Take care. Love so much.” “ Love you too.” Bahagianya Farin. Lupa dengan yang terjadi semalam. Bahkan dengan pertanyaanku sendiri. Entah hilang kemana. 62
Piring, sendok dan serbet tertata rapi di meja makan. Farin semakin bahagia. Nikmatnya hidup ini. Farin bergegas duduk. Ternyata di sana juga sudah ada beberapa tumpuk vcd yang dipesan Farin melalui layanan delivery. “ Tadi, pas mbak Farin telpon, petugasnya datang. Saya suruh ngambil uangnya pas nanti ngambil cd-nya.” Mbak Estu muncul dari kamar Farin. “ Cepat sekali. Makasih, ya mbak.” Farin tersenyum lebar. Mbak Estu tahu cara menentukan keputusan. Dan itu yang dicari oleh perusahaan-perusahaan besar dari karyawan dan pelamarnya. Betapa beruntungnya aku, tak perlu bersusah-susah sudah mendapatkannya. “ Semuanya sudah selesai. Apa mbak Farin masih mau dimasakkan lagi atau dipijat ?” Tawaran manis penuh kesungguhan. “ Nggak deh, mbak. Makasih ya. Sudah 11 lebih tu. Nanti anak-anak mbak keburu datang.” Farinpun tak kalah pengertiannya. Tak harus menunggu tengah hari, jika pekerjaannya telah selesai, Farin menginjinkan mbak Estu meninggalkan rumahnya. 63
“ Ya, mbak. Nasinya saya bawa. Wedang jahenya masih ada di termos. Sudah saya kasih gula. Buburnya saya cuma mbikin sepiring. Mbak Farinkan ndak mau makan yang sama sehari.” Farin tersenyum. “ Makasih ya, mbak.” Farin bermaksud mengantarkan mbak Estu ke gerbang. “ Mbak Farin mau kemana? Ndak usah diantar. Nanti masuk anginnya tambah. Tadi sudah lama duduk di luar. Ngglempo maneng!” “Ma‟af ya, mbak Estu.” “ Saya pulang dulu, mbak. Assalammualaikum.” Farin
menjawab
salam
sambil
menyuapkan
sesendok bubur gandum kesukaannya. Terdengar pintu ruang tamu dikunci. Hahhhhh....Belum juga mbak Estu pulang, nyampe rumah, aku dah sepi. Gak tidur malam seperti biasa aja bikin otak terasa tumpul dan berat, jadi gak ringan dan lancar mikirnya. Kenapa ada orang yang suka bergadang ya?
64
Selanjutnya, Farin menghabiskan bubur gandumnya tanpa berfikir. Setelah itu, dicucinya semua peralatan makannya. Farin mengambil sebuah buku dari rak yang menempel di dinding di atas meja kerjanya. Psikologi klinis. Farin bukan orang yang setuju dengan spesialisasi ilmu. Menurut Farin, boleh-boleh saja kita lebih menonjolkan satu sisi keilmuan kita, tapi sesungguhnya ilmu yang kita tonjolkan itu sama seperti tangan yang butuh otak. Otak yang butuh darah. Darah yang butuh jiwa. Farin mempunyai keinginan membaca yang kuat. Koleksi buku-bukunya tidak hanya tentang ilmu sosial dan politik dengan spesifikasinya. Psikologi baik kontemporer ataupun yang sifatnya teori, tak keberatan dibaca oleh Farin. Semua buku tak keberatan dibacanya. Hanya ada 2 jenis buku
yang keberatan jika
dibaca oleh Farin: novel- apapun- dan buku keagamaan. Bagaimana mungkin buku-buku atau novel-novel itu menyukai Farin, sementara Farin sendiri tak pernah menyentuh apalagi membaca mereka sejak Farin awal kuliah, bahkan jauh sebelum itu. Sangat masuk akal sehingga keduanya tidak memiliki chemistry. Farin duduk di sofa empuknya. Berusaha menikmati buku yang belum juga diselesaikannya meski sudah sebulan 65
dibelinya. Sepertinya yang ini aku sudah baca deh. Sampai mana ya? Wah, aku lupa kasih pembatas bukunya, nih. Farin memilih mempertemukan kembali buku psikologi klinis itu dengan teman-temannya. Setelah memilih-milih, Farin merasa sedang tidak memiliki mood membaca yang baik. Aku bukan mood-man. Mati aku kalo hanya bisa bergerak, berjalan, berfikir, hanya kalo lagi mood. Farin merasa jengkel pada dirinya sendiri. Memang peristiwa seperti – tidak menikmati membaca- ini jarang terjadi pada Farin. Nonton tv juga gak asyik. Enakan basket aja deh. Setelah melakukan pemanasan beberapa menit. Farin mengambil bola baket yang tergantung di tembok. Menggantung bola basket di tembok itu bukan tanpa alasan. Selain agar accessible oleh siap saja, juga agar Farin tak perlu repot-repot mencarikan tempat di dalam rumahnya yang minimalis. Hari itu Farin terobsesi memasukkan bola dari arah yang paling jauh; depan, kanan atau kiri. Adzan sholat jum‟at berkumandang. Sekarang Farin asyik mencoba slam dunk. Hendro suka sekali melakukan slam dunk. Juga bukan tanpa alasan Hendro menyuaki hal itu. Tiap kali Hendro melakukan slamdunk, Farin akan bergegas bergelayutan di 66
kakinya. Seolah tidak mempedulikan kalau tubuhnya tidak bisa dikatakan kecil lagi. Farin akan bergelayut sambil terkekeh gembira. Hendro sangat menyukai kemanjaan Farin sebagaimana para kekasih lain. Ternyata sulit juga slam dunk ya, pikir Farin, Right, seeing is easier than doing. Apalagi ngomong. Capek dengan bola basket, Farin; seolah tak mengenal lelah, segera beralih ke lompat tali. Sebelum memulai lompatan sepuluh menit pertamanya, Farin memberi kesempatan punggungnya beristirahat sejenak. Waw....Enaknya. padahal Cuma baring gini doang. Kok bisa ya? Dipandangnya langit. Siang itu benar-benar cantik. Indah. Biru. Putih. Bercahaya. Benarbenar mempesona. Apakah mereka sendiri juga yang menjadikan diri mereka mempesona? Wanita aja kalo pengen cantik, ya harus merawat diri, pikir Farin. Wajahku biasa saja, manis. Tapi gak manis-manis sekali. Dibanding Ineke yang putih bersih. Lebih tinggi dari aku, tapi sayang sekali tidak lebih cerdas dari aku. Dengan semua yang dimilikinya, kenapa Inneke tidak memiliki pesona seperti yang kumiliki? Inneke juga suka membaca, Inneke juga kreatif. Tapi kenapa orang tidak menghormati Inneke seperti menghormati aku? Kenapa orang lebih 67
terpesona dengan aku? Aku dan Inneke punya keinginan yang sama. Jadi cewek charming karena otak dan attitude kita. Tapi kenapa hasilnya berbeda? Baca buku yang samapun kita juga bisa punya poin yang berbeda? Farin mengambil air putih di dapur. Diminumnya sambil tetap memandang langit. Aku bisa memandang langit sambil minum, juga bisa punya pemandian dan kamar mandi yang bisa melihat taman dan langit sekaligus. Sampai sekarang Inneke belum memperoleh apa yang diinginkannya, sebuah rumah mungil dengan seorang atau dua orang anak di dalamnya, dengan seorang laki-laki yang dicintainya sebelum usianya 22 tahun. Sekarang Inneke masih harus berjuang mendapatkan yang diinginkannya dengan bekerja di salah satu televisi lokal di Surabaya. Tapi setidaknya dia bisa menyewa sebuah rumah yang layak bersama temantemannya. Itu berarti lebih dari satu atau dua orang anak. Farin tersenyum. Dia masih belum punya suami. Dan usianya sekarang sudah lebih dari 22 tahun. Aku dapat rumah yang pernah kubayangkan. Aku dapat kekasih seperti yang kuharapkan, tapi sebenarnya aku gak pernah pernah benar-benar membayangkannya. Apa yang menjadikan kami memiliki hasil yang begitu berbeda? Inneke berusaha. Aku 68
berusaha. Bagaimana bisa manusia yang jumlahnya berjuta bisa memiliki hasil yang berbeda untuk hal yang sama? Kenapa tidak pernah ada cerita yang sama persis hingga ke detail-detailnya?? Bagaimana mungkin itu terjadi? Tak ingin lelah diperas oleh otaknya, Farin memulai lompatannya. Sayang perutnya yang baru saja diisi air putih masih belum mengijinkannya untuk melompat. Farin berhenti. Setelah menunggu beberapa saat sambil berdiri dengan memperhatikan langit yang indah pada otaknya yang berencana memulai sebuah diskusi baru dengan dirinya; sesuatu yang sedang tidak diinginkan oleh Farin, akhirnya kesempatan untuk melompat itu datang. Dari lompatan pelan dan pendek, kemudian beralih keloncatan cepat dan tinggi. Tinggi, tinggi, dan semakin tinggi. Cepat, cepat dan semakin cepat. Kaki-kaki Farin melompat dengan begitu ringan. Pertanda melompat memang hal yang sering dilakukannya. Tak dihiraukannya keringat yang mengucur dipelipisnya. Farin berhenti sesaat sebelum melanjutkan ke lompatan berikutnya. Farin melompat dengan cepat, lebih cepat dari biasanya, sampai nafasnya tersengal. Tersengal membuat Farin berhenti sebentar hingga nafasnya teratur, tidak teratur 69
benar, hanya mulai teratur sebenarnya,
kemudian
melanjutkan lompatannya. Kali ini tidak tinggi, tapi cepat dan semakin cepat. Entah sudah sepuluh menit atau belum, akhirnya Farin terbaring sambil tersengal-sengal. Otaknya tidak berkata apa-apa. Dia sedang menikmati aliran sejuk yang dikirm Farin sebagai hadiah atas kerjasamanya yang baik selama Farin melakukan lompatan demi lompatan: berhenti berfikir. Segar. Sejuk. Lebih segar, lebih sejuk dari embun di pagi hari, dari pada kabut di kota Batu. Seolah otaknya sedang mandi berendam dengan air segar. Melepaskan partikel-partikel kotor di tubuhnya. Begitu menyegarkan. Farin berdiri lagi ketika seluruh tubuhnya merasakan gelombang kesejukan, kesegaran yang menenangkan yang dikirimkannya.
Farin
merentangkan
tali
lompat-nya.
Memulai lagi lompatan demi lompatan. Hingga kakinya tak lagi kuat menahan tubuhnya, hingga nafasnya memberontak memaksa masuk. Farin terhuyung. Dihempaskan tubuhnya ke atas kasur tanpa mencuci kaki. Dinikmatinya aroma segar yang masih saja terus mengalir memenuhi tiap rongga tubuhnya. Perlahan kenikmatan itu berubah menjadi lelap. 70
Sore telah terlewati. Farin baru saja selesai mandi. Setelah makan malam dengan bubur manado yang dipesannya lewat layanan delivery. Farin menyalakan tv dan dvd playernya. Dipilih-pilihnya 7 film yang disewanya tadi siang. Setelah memilih dan memilih, akhirnya Farin memutar film The Intern sebagai hiburan sesi pertama. Farin merasa tak salah pilih dengan keputusannya. Dari awal saja sudah lucu. Satu, dua, tiga, empat. Lima. Sudah empat film yang ditonton Farin ketika wirelessnya berbunyi nyaring ditengah malam. “ Ma‟af honey, kelamaan, ya.” Suara Hendro penuh kemesraan. “ Gak pa-pa kok. Aku lagi nonton film.” “ Delivery order?” Tentu saja Hendro mengenal tabiat kekasih dengan baik.” Seru filmnya?” “ The Intern sih seru. Lucu. Ceritanya middle age yang mencoba untuk tidak kehilangan gairah hidup. Dari
71
awal menyentuh tapi lucu sekali. Film ke dua hehehehe langganan Anna and the King. Katrok ya! Gak ada matinya!” “ Hey, don‟t say that. Al of us have our own favourite …Kalo pengen yang lucu, kenapa nggak brave atau the penguins, pirates, smurf, peanut??” “ Yang baru-baru, yang bagus-bagus lagi keluar. Yang kedua memang jadul. Yang daddy day care juga film luaama. Ternyata banyak juga ya film lama yang belum ditonton. We should have dady day care! Tentu diadaptasi dulu dong, better malah....” “ Tentang apa itu?” “ Kegiatan camping selama liburan. Materinya bagus. Gak ada aku di sana, gak ada selfie di sana. Mereka bener-bener pengen memberikan yang terbaik untuk anakanak. Aktingnya juga bagus. Bagusnya lagi sih, no kissing.” “ Jadi pengen dicium kalo ada kissing scenenya?” Farin tersenyum.” Kok tau sih.” “ Sekarang nonton apa?” 72
“ Baru selese Open seasons. Gak terlalu lucu. Tapi Snow Dogsnya lumayan.” “ Nanti kalo budgetnya sudah ada, kita bikin sekolah liburan atau mungkin sekalian sekolah alternatif juga, yang lucu, jadi my honey bisa ketawa terus. Kita juga gak susah nyarikan sekolah yang humanis kreatif untuk anakanak kita” Anak-anak?
Anak-anak
kita?
Farin
jadi
geli
dibuatnya.“ Tau gak aku sekarang lagi nonton apa?” “ Film india?” “ Kok tau sih?” Farin sebel karena tebakan Hendro benar.” Mas, Hendro tau gak, ternyata film india itu berani juga ya. Banyak adegan wownya juga. Gak kalah sama hollywood. Malah cewek-cewek mereka sexual appealnya, woow, amazing. Kliatan sekali….Yaaaa, baru satu film sih!” “ Berarti mas perlu nonton. Boleh ya nonton sendiri?” goda Hendro. “ Boleh aja. Kalo tahan tiga jam!” 73
“ Masa tiga jam?” “
Kayaknya
sih.
Aku
foward-foraward
si!...Petugasnya sih juga rekom judul-judul lain. Coba berapa jam jadinya kalo mau terima rekom film indianya lebih dari satu tadi!!! Yang tadi kutonton lumayan juga. Fashionnya ngikuti trend sekarang. Mereka bisa menghidupkan emosi, roman
ala
makanya
disebut
bolyywood
satunya
Hollywood..Hongkongwood ato asianwood ya termasuk jepang korea hahahah…. Kalo materinya sih klasik, cinta, nggak dalem, namanya juga film tentang cinta. Belum lagi, kok bisa ya, mereka bisa hafal begitu banyak gerakan tari? Perpindahan scenenya juga enak, smooth. Mungkin memang bener kali ya, kita nih kalah, gak cuman sama india, sama vietnam aja kita kalah...” “ Hey, don‟t say that. Mungkin secara statistik kita kalah. Tapi sebenarnya kalo kita liat realita orang-orang kita pinter kok. Ada my honey and the crew, ada mas, ada Inneke, perlu disebutkan yang lain? Kita semua ngasih yang terbaik untuk pekerjaan kita. Buktinya klien puas, kembali lagi, ngajak teman yang lain. SpotLang juga besar di kampus. Mungkin karena kebetulan orang-orang yang tampil aja, gak sequalified yang gak tampil. Biasanyakan orang yang 74
qualified, low profile. Semakin berisi padi semakin menunduk...” “ Ok. Ada poin benarnya di mas Hendro. Katakanlah SpotLang,
bertahun-tahun tidak dihargai.
Dengan perubahan sana-sini. Perbaikan sana-sini, akhirnya SpotLang be better. Nah, tolak ukurnya be better inikan semakin diterima oleh masyarakat ditandai sama oplah yang tambah, peminat regenerasi juga mbludak, yang kirim karya ke kita juga jauh berlipat. SpotLang semakin besar. Gak cuman dibaca sama anak fisip aja. Anak fakulatas lain juga jadi ikut baca.” “ Ya. Mungkin kita sedang menuju ke sana. Mungkin memang masih baru ada segelintir Farin, Inneke and the crew. Sisanya, mungkin, masih asyik nonton cd. Gak berhenti sampai 7 cdnya habis. Padahal besok masih ada pekerjaan besar yang menunggu....” Goda Hendro. “ Semua sudah fix, kok. Acaranyakan malam, jadi persiapannya besok pagi, but semua bahan sudah di kita.” Farin paling sebel kalau dianggap kurang bahkan tidak mempunyai persiapan yang bagus. Tapi Farin tahu, Hendro hanya menggodanya, mengakhiri perdebatan yang belum 75
dimulai.” Aku gak bisa tidur dari kemarin. Rasanya capek sekali. Kepala jadi berat. Tadi aja, kalo gak basketan dulu sampe capek, trus sprinteran sampai pegel kakiku gak bisa berdiri, paling, aku gak bisa tidur. Tadi bangun pas mau isya. Sekarang ya gak bisa tidur...” “ Kok tadi pagi gak bilang?” Hendro sangat menyesalkan.” Kan, mas bisa ke sana. Nemani my honey. Gak perlu begini...” “ Ditemani lewat telfon gini sudah asyik kok. Sambil ngliat tingkah polanya film maker yang lucu, nyebelin, njengkelin....” “ Besok preparationnya jam berapa? Ntar kecapean lho.” Suaranya seperti seorang bapak yang mengingatkan anaknya untuk mengerjakan pe-er sebelum tidur. “ Siang kok.” “ Tapi paginya sudah ke kampuskan? Tidur aja, tak temani. Oke, honey. Please.” “ Ini lho sudah jam satuan. Jangan. Entar dimarahi. ...” 76
“ Kenapa gak baca aja!” “ Mas taukan aku bukan mood-girl. aku gak tau, benci aku kalo gak tau gini, gak tau kenapa tumbentumbennya aku gak mood...” “ Pms? “ “ Enggak kok. Belum waktunya. Mas besok masih ngerjakan hotel?” “ Ya. Beberapa hari lagi paling. Baru satu kamar .” “ Lho, jangan-jangan ini baru pulang ya?” Farin mendengar suara angin berdesir dari wirelessnya.” Mas dimana sekarang? Belum nyampe rumah, ya?” “ Gak. Sudah rumah. Tapi belum masuk. Telfon honey dulu.” “ Hmmm, aku mau nonton filmnya dulu, ya.” Farin berusaha mengatakannya selembut mungkin. “ Iya deh. Jangan pagi-pagi ya tidurnya. Good night, honey. Sleep tight. Mmuahh” 77
“ Makasih ya dah telfon.” Farin ingin mengatakan ma‟af, tapi kata itu bersembunyi di ruas-ruas lidahnya. Merasa bersalah atas pengorbanan Hendro untuk bisa menelfonnya malam ini bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Farin berusaha menikmati film indianya yang belum habis. Termakan oleh rasa bersalahnya, Farin mematikan dvd playernya. Kemudian mengganti dengan yang lain. No Reservation. Kayaknya bagus deh. Menurut Farin film itu memang bagus. Terlalu bagus hingga meninggalkan sesuatu yang bergelora diantara kedua titik di dadanya dan di sisi dalam paha atasnya. Tipu muslihat untuk menghindari sejuta tanya dan “ kematian “ mendatangkan gelombang besar lainnya yang tak kalah memfrustasikan. Sial. Maki Farin. Dimatikannya dvd filmnya. Diganti dengan televisi. Entah apa yang sedang dicari Farin ketika terus memencet tombol demi tombol remotenya. Farin hanya berhenti ketika melihat sebuah adegan kissing disetiap channel mancanegara yang ditemukannya.
78
Farin menyentuh bibirnya. Mas Hendro. Shit! Baru kali ini aku begini. Ada apa sebenarnya? Kenapa? Tentu saja aku pernah berhasrat ketika mas Hendro sedang pergi. Seperti sekarang. Tapi seingatku, tidak membuatku segelisah ini. Apa yang harus kulakukan? Apa!!! Ini akan hilang dengan sendirinya. Seperti biasa. Seperti yang sudah-sudah. Aku hanya harus tenang. Tenang. Tenang. Tenang. Semuanya bisa dikontrol. Bisik otak Farin berhembus menembus titiktitik sensual tubuhnya.
DrUgs : whY
Malang di pagi hari lebih dari sejuk. Dingin. Langit cerah berwarna putih dilapisi awan biru manambah semarak keindahan pagi di Malang. Seringkali, keindahan yang terlihat setiap hari akan melepaskan pesona keindahannya dengan 79
cepat mengurangi makna keindahannya, bahkan kehilangan keindahannya; termakan oleh rayap rutinitas. Farn berusaha untuk tidak pernah berhenti membiarkan raya rutinitas membuatnya tidak menikmati indahnya pagi. Farin terkejut ketika mata kucelnya menemukan mbak
Estu
di
pinggiran
pemandian.
Mbak
Estu
mengucapkan salam yang dibalas dengan salam bertabur uap beraroma kurang sedap layaknya orang bangun tidur dari mulut Farin. “ Saya diminta mas Hendro untuk datang pagipagi.” “ Buat apa, mbak?” Farin tidak menemukan satu alasanpun dengan kepala seperempat terisi. “ Nyiapakan air panas sama rempah untuk rendaman. Sama dipijat sedikit kata mas Hendro.” Air pemadian itu mengeluarkan uap beriring aroma wangi nan harum.” Ayo, mbak. Rendam dulu ya, saya mau ke dapur sebentar. Setelah itu baru saya pijat, ya.”
80
Otak Farin tak mampu mencerna dengan baik katakata mbak Estu. Kepalanya terasa berat seperti ada ribuan kontainer di atasnya. “ Dilepas dulu, mbak, bajunya.” Dengan malas Farin membuka linen shirtnya dengan sedikit dibantu mbak Estu. Setelah Farin masuk ke pemandian, mbak Estu mengambil baju tidur Farin dan segera ke dapur menyiapkan healthy breakfast yang diminta oleh Hendro padanya tadi pagi melalui telfon. Ketika mbak Estu kembali ke pemandian, Farin sudah tertidur lelap. Mbak Estu mengganti pakainnya dengan sarung, kemudian mencelupkan perlahan kakinya ke dalam air pemandian yang panas. Memang enak. Bisik mbak Estu dalam hati. Farin tidak bergerak atau membuka mata sama sekali dari awal mbak Estu memijatnya sampai mbak Estu sudah berganti pakaian. Bahkan saat mbak Estu sudah selesai merapikan kamarpun Farin masih saja lelap. Mbak Estu mengecek air pemandian. Sudah mulai semakin hangat. Disentuhnya dengan lembut pipi Farin. Lembut. Hatinya lembut, juga ringan tangan. Orangnya juga cantik. Cerdas. Tidak kaku, Cuma teguh. Sangat beruntung. Mudahmudahan suatu saat diberi jalan yang lurus. Do‟a mbak Estu sambil terus membelai rambut dan menatap wajah Farin 81
penuh kasih sayang. Ya. Allah, orang ini banyak membantu suamiku, aku dan anak-anakku. Semoga Engkau balas dengan sebaik-baik balasan. Aku tidak bisa membalasnya ya, Allah. Ternyata mbak Estu tidak hanya membelai pipi, juga membelai jiwa Farin dengan do‟a. Ketika dilihatnya Farin menggerakkan mata, mbak Estu bergegas mengambilkan handuk. “ Dibuka dulu, mbak bhnya.” Mbak Estu mengingatkan Farin ketika Farin hendak memasang handuk di tubuhnya. Mbak Estu berlalu. Masih dengan ogah Farin mengeluarkan ke dua kaki panjangnya beserta jari-jari kaki yang terawat tanpa kutek dari pemandian. Matanya tidak kucel lagi. Tubuhnya sangat rileks dan segar. Farin merasakan darah di kepalanya mengalir bak sungai yang dipenuhi bebatuan besar di sekitarnya yang terletak di belakang rumah mbahnya, yang mengalir deras namun lembut, yang sering dijadikan tempat berenang sewaktu Farin kecil dulu. Setelah membalut rambutnya dengan handuk, Farin menyiapkan baju yang akan dibawa dan yang akan dipakainya ketika acara. Untuk berangkat, seperti biasa Farin memilih jeans, tank top putih dan tak ketinggalan kardigan 82
sewarna dengan celana jeansnya. Lemari itu memang penuh dengan jeans dan kardigan. Hanya ada beberapa skirt dan blus yang digunakan untuk acara-acara resmi atau penting. Seperti acara nanti malam. Mbak Estu menemani Farin makan, sesuatu yang jarang terjadi. Sepertinya itu juga permintaan mas Hendro. Biasanya mbak Estu gak mau kalo disuruh makan di sini. Alasannya nyentuh sekali: saya makan enak, anak-anak, suami sama ibu saya gak ikut makan. Akhirnya sering kali jika
Farin
memberinya
sesuatu,
mbak
Estu
selalu
membawanya pulang. Sesuatu yang diperkirakannnya cukup untuk semua anggota keluarga mbak Estu. Sebuah hubungan yang indah. Yang pasti ingin dimiliki semua orang. Hanya orang – orang baik berhati lembut yang bisa mempunyai itu. Begitu kata mbak Estu suatu hari ketika ibunya memuji hubungan keduanya. Selesai makan, Farin membantu mbak Estu membereskan meja makan. “ Sudah, mbak. Sepatu sama tasnya saja disiapkan.”
83
Farin menurut. Farin sedang duduk di kursi makan sambil memasang sepatu ketika terdengar bunyi klakson.” Lho, taksi, mbak? Di depan rumah kita?” Tanya Farin “ Iya. Mas Hendro bilang begitu. Tadi saya telfon.” Mbak Estu tersenyum.” Tadi saya pake telfon itu, sama mas Hendro disuruh, saya sering megang, tapi ndak pernah make. Ternyata enak ya, mbak.” Farin jadi geli. Ada-ada saja mbak Estu ini. Dari awal bekerja di rumah ini, mbak Estu menemukan banyak hal baru yang mengejutkannya. Mulai tv layar datarnya, kulkas besarnya, vacum cleaner dan entah apa lagi. Terlalu banyak. Dari hal kecil sampai hal besar. Yang pasti, mbak Estu tak pernah lupa menceritakannya pada Farin. “ Enak mana sama hp yang kemarin, mbak?” Untuk memudahkan komunikasi Farin dengan mbak Estu ataupun mbak Estu dengan kelaurganya, Farin membelikan mbak Estu dan suaminya. “ Enak yang punya mbak Farin. Suaranya bersih. Tapi ndak bisa disaku. Jadi enak punya saya.” Keduanya tertawa. 84
“ Mbak Estu ini ada-ada saja. Brangkat dulu ya, mbak.” “
Hati-hati,
mbak.
Mudah-mudahan
lancar.
Assalammualaikum” Mbak Estu tahu, Farin tak pernah mengucapkan salam terlebih dahulu. Namun jika diucapkan salam padanya, tentu saja Farin akan menjawab dengan baik dan segera. Farin berangkat dengan perasaan gembira. Perasaan gembira membuat Farin melihat keindahan langit putih berbalut awan biru semakin lebih indah, membuat Farin merasakan kehangatan matahari pagi menjadi lebih lebih hangat. Keindahan pagi termaknai. Taksi itu sudah menunggunya. Begitu melihat Farin, supir taksi itu turun dan bergegas membukakan pintu untuk Farin. Awal yang bagus memulai hari. Bertemu dengan orang-orang baik. Hari ini akan jadi hari yang baik. Otaknya berbisik tepat bersamaan ketika Farin merapikan poninya yang jatuh menutupi mata ketika Farin menatap keindahan langit dari balik jendela taksi. Beautiful. Amazing sky. Pagi yang indah menyemai perasaan yang indah tanpa harus berpeluh keringat. 85
Keyakinan bahwa hari ini akan baik-baik saja akan muncul begitu saja. Menghadirkan perasaan di pagi hari sangat penting. Penting sekali. Perasaan akan menghadirkan sugesti. Sugesti positif akan menghasilkan makna akan hari itu. Karena itu sangat penting bagi otak segera mengirim telegram pagi yang indah ke seluruh bagian tubuh melalui syaraf satu-satunya kantor layanan jasa pengiriman yang dimilikinya, dengan darah sebagai kurir terbaiknya. Benar saja. Sudah ada yang datang lebih dulu di kantor SpotLang. Orang itu membuka jendela dan menaburkan wangi bunga lily yang harum. Tidak itu saja, Farin juga menemukan laptop yang ditinggalkannya di kantor sticky note diatasnya. “ Layout Final”. Sebuah memo yang tentu saja sudah sangat familiar dengannya. Tak perlu menunggu lama untuk mengambil keputusan apa yang akan dilakukannya di awal pagi yang indah ini. Beberapa lembar layout final untuk edisi bulan depan kali ini agak berbeda. Bukan perbedaan besar, hanya ada tiga file final layout dimonitornya: Joko SpotLang layouter, Linda asisten Joko alias member kelas dua binaan Joko, dan Heru, member binaan Farin. Farin memang meminta Heru, the next SpotLang king, untuk membuat 86
double layout meskipun Heru baru tiga bulanan menikmati kebersamaan yang intensif dengan SpotLang. Heru adalah the nex SpotLang king yang diharapkan oleh Farin justru akan masuk akal jika kecepatan belajar yang menjadi syarat sangat dibutuhkan Heru segera dioptimalan agar segera mencapai titik awal standar Farin dalam seua aspk termasuk jurnalisti. Ini adalah kali pertamanya. Selain membuat double layout, Farin juga minta Heru untuk membuat perspektif yang berbeda untuk setiap materi yang dimuat.
Double
works. Begitu Farin menyebutnya. Double works bukan untuk publik. Double works adalah sebuah portofolio yang hanya bisa dinikmati oleh pengurus. Double works berlaku untuk setiap member yang telah dipilih oleh Farin dan masing-masing krunya: Joko, Yudhi dan Samsul, sebagai the next SpotLangs. Tidak masalah level kelas mereka, ada tiga kelas: kelas 1 untuk anggota baru berlaku selama setahun, kelas 2 untuk mereka yang tetap eksis dan aktif, dan pengurus,
ekstra
status
untuk
member
bermasalah:
partisipan. Farin tidak pernah membuat batasan pada level kelas pengkaderan; yang dijadikan tolak ukur oleh Farin adalah kapasitas, integrtas, kualitas seseorang. Tidak hanya smart, tapi juga punya attitude.
87
Terdengar suara langkah masuk menuju bilik kerja Farin. Rupanya mereka begitu asyik ngobrol sehingga mereka tidak melihat Farin di ruang kerjanya meskipun pintu dibiarkan terbuka sedari tadi oleh Farin. Farin tidak mendengar jelas pembicaraan mereka, Farin tidak terganggu oleh tawa mereka, bahkan Farin tidak tahu ada berapa suara berbeda yang didengarnya. Farin terlalu asyik dengan monitornya. Suara tawa yang makin keras beraroma tidak sedap akhirnya mampu menarik perhatian Farin. Samsul sama Yudhi. Akhirnya. Tidak berarti Farin berhenti menyimak apa yang dikatakan monitornya. “ ....... Asyik, Jek?” Suara Yudhi penuh dukungan. “ Kapan lagi kamu naik?” “ Dia maunya 3 minggu lagi. Kalo aku si, hari ini juga mau. Sayang, kita lagi ada kerjaan.” “ Malamnyakan bisa! Paling jam 11, kita juga sudah selesai.” Usul Yudhi. “ Ya, Ika sudah beku nungguin. Batu itu dinginnya minta ampun, Jek. Kayak gak pernah ke Batu aja, Jek!”
88
Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Farin hanya mendengar sambil lalu. “ Hebat kamu, Jek! Sudah terbukti kekuatanmu!” Yudhi memenuhi kata-katanya dengan ketakjuban.” Kalo aku ya masih lama, Jek!” “ Sabar, dooong! Aku juga gak ngrencanakan. Just happen.” “ Dulu aku gak mikir. Tapi, anak sebelah itu kurang ajar betul! Bikin aku gak konsentrasi! Sudah hampir sebulan ini, mereka gak sungkan-sungkan nyetel film porno, suaranya dikeraskan. Nyetelnya mesti pas aku lagi di rumah! Dan aku sudah dua kali liat mereka bawa cewek ke kamar....” “ Tapi mereka gak nyetel suara keraskan?” Goda Samsul. “ Pas aku mau keluar, mereka datang. Busyet! Yahud deh!” Kening Farin berkerut. Mendengar pembicaraan antar lelaki yang tidak sengaja seperti ini memang bukan yang pertama kalinya. Hanya saja, tema yang seperti ini yang 89
pertama kali dia dengar. Sesuatu yang baru diketahuinya tentang keduanya. Farin mengira kebersamaan mereka selama 4 tahun; dihitung dari bergabungnya mereka dengan SpotLang sebagai member kelas 1, tidak sertamerta membuat Farin merasa yakin bahwa dia mengenal mereka dengan baik. Ternyata, tetap aja ada bagian yang aku gak tau. Yang kutau dari mereka dengan baik, ya kerjaan mereka. “ Jangan dipaksa, Yud. Ntar kamu bisa-bisa mulai dari nol lagi!” Nasehat Samsul. “ Gak maksa gimana, Jek. Saking jelas dan seringnya suara-suara itu, sampe bikin adik kecilku...” Mimik Yudi begitu memprihatinkan.” Gak cuman, gemeter tok, Jek. Sampe nangis metu umbele berkali-kali!” Keduanya tertawa. Farin hanya menggelengkan kepala. Aku beruntung punya mas Hendro. Dia bukan tipe orang yang suka menceritakan sesuatu yang sangat privacy kalo pas lagi boys night out. Mudah-mudahan begitu. Aku yakin begitu. Kalimat terakhirnya itu penting menurut Farin, dengan kalimat itu berarti dia telah menutup rapat-rapat pintu bagi pencuri kepercayaan pada kekasihnya. Pilihannya tinggal satu : mempercayai. Buat Farin, pilihan ini lebih 90
mudah dilakukan dan sangat menyenangkan. Selama ini Farin tak bisa membayangkan seseorang yang memilih untuk mencintai seseorang, tapi tidak memasukkan paket lengkap di dalamnya: kepercayaan. Tak terbayangkan oleh Farin kesengsaraannya. Justu hal ini terlalu sulit untuk dilakukan oleh Farin yang
kelugasan dan ketegasannya disertai
keberanian, juga attitude. Heru datang beberapa saat kemudian. Dia selalu melakukan ritualnya, menuju ke ruang kerja Farin hanya untuk memberi salam, sebelum akhirnya Heru menuju meja kerjanya. Saat itulah Samsul dan Yudhi baru menyadari keberadaan Farin dan juga kesadaran kemungkinan besar senior mereka mendengarkan semua pembicaraan dari hati ke hati mereka. Keduanya berpandangan bingung. Tentu saja Farin memilih untuk bersikap wajar saat Farin keluar dari ruang kerja dan mengajak ketiga orang tersebut untuk menuju aula tempat acara yang akan mereka helat. Samsul dan Joko saling berpandangan dan tersenyum. “ Mati aku, Jek.” Keluh Samsul dalam bisikan. Lalu keduanya tertawa. Heru menatap mereka tak mengerti.
91
Semua persiapan dilakukan dengan santai. Mereka sudah profesional. Sesuatu yang diidamkan oleh member kelas 2 SpotLang. Hanya member kelas 2 terpilih yang diijinkan
membantu.
Sementara
yang
diperbolehkan
mengikuti acara itu adalah member SpotLang kelas 1 alias freshmen. Tujuan acara ini adalah mengasah kekritisan dan kecakapan berargumentasi member kelas 1 yang baru, masih freshgraduate yang dalam pandangan Farin cenderung belum pernah benar-benar berfikir, diadakan rutin. Sementara itu peserta terbukanya diambil dari mahasiswa semua fakultas semester 3 –dengan catatan tidak mengikuti organisasi apapun - yang secara pertimbangan matematis; diharapkan, memiliki kecakapan yang lebih baik, meski mungkn tidak terlalu jauh kedalaman kecakapannya, sehingga diskusi yang terjadi akan lebih hidup bahkan berani, dengan pengurus sebagai stabilator dan penyejuk ruangan. Farin tidak suka berdebat, namun tentu saja Farin sadar seperti api dalam sekam yang akan mampu menyala merajalela dalam sekejap, seperti itu pulah juga sebuah forum diskusi seapik apapun bisa berubah menjadi lautan kata-kata dengan nada tinggi bahkan mungkin makian. Jika itu yang terjadi, maka sangat mungkin dendam itu menyala, 92
bahkan bisa-bisa terbakar dalam jiwa raganya. Hal ini yang dihindari
Farin.
Kekurangcakapan
membernya
dalam
berargumentasi akan sangat membuka pintu malu bahkan sakit hati. Bayangkan jika salah seorang member merasa malu dan sakit hati pada member atau pengurus yang lain akan ada banyak tingkah laku, peristiwa yang masuk tidak akal, yang tidak perlu terjadi. Padahal tentu saja SpotLang membutuhkan kerjasama yang baik diantara sesama member dan pengurus. Tidak mengherankan jika konsep terpilih bukan diskusi, tapi curhat, dari hati-ke hati dengan mahasiswa senior non-member. Dengan hadirnya senior non-member diharapakan mampu mengurangi sakit hati sesama member. Tepat 18.30 semua orang telah menempati posisi masing-masing. Farin sendiri telah menemukan sudut yang nyaman bagi dirinya. Beralaskan shaggy rug pilihan Farin, yang merupakan inventaris SpotLang, ditemani lampu temaram dan beberapa lilin cantik beraroma terapi menjadikan tempat itu tempat nyaman untuk ngobrol santai. Lima menit sebelum jam 19.00 acara sudah dimulai. Kotak kayu terbuka bersusun; yang juga merupakan inventaris
SpotLang,
menyajikan
pemandangan 93
menyenangkan: sepatu dan sandal para peserta terjajar rapi di sana menjamin harta milik peserta kegiatan terjaga hakhaknya untuk tidak hilang, diinjak-injak dan rusak. “ Hello, everybody! Salam SpotLang.” Senyum segar merekah dari bibir Linda, the host yang dipilih oleh Joko.” It‟s nice to have you here this cool Saturday night. Kita juga bakalan having cool talk. But...Sebelumnya, supaya pas kita lagi mau nangis,” Linda memerkan gigi berkawatnya.” Lagi seru-serunya ngobrol, lagi enak-enaknya mandengin aku, karna akukan hostnya, eh, tiba-tiba semua pada bingung, pada noleh, pada gak ngliatin aku lagi, cuman gara-gara bunyi tululut tululut....” Linda menirukan suara musik khas penjaja es krim walls yang biasa lewat tidak hanya di depan kostnya, tapi bisa ditemukan dimana saja.” So, please. Have a seat if only your mobilephone is off or cukup digetarkan aja.” Semua orang sibuk mengkondisikan hp masingmasing.” Thank you. Roll it!” Rambut Linda yang tidak terlalu panjang itu dikepang menjadi dua. Sebuah gaya yang hampir tidak pernah Farin temukan lagi diantara para mahasiswa.” Well, kita akan ngobrol-ngobrol sebentar sampai jam delapan, after that, kita nikmati dulu kopi creamer yang dijamin top habis. Tapi kalian mesti cepat ya. 94
Coz, jam setengah sembilan, kita lanjutakan lagi obrolan kita sebelum basi.” Linda memasang wajah serius konyolnya.” Simple rules : jangan buang sampah sembarangan, jangan numpahkan kopi sembarangan!” Semuanya tertawa ringan.” Hey, come on. I‟m serious.” Linda tertawa.” Now, i‟m kidding. Semua orang boleh ngomong dong ya, tapi jelas karna kita ini monyet yang cerdas, kitakan berevolusi, kata mbah Darwinkan begitu…. Jadi kita musti nunjukkan kalo kita gak kayak monyet yang kita liat di kebun binatang yang ketinggalan evolosi dong. So, please, wait my signal. Kalian pasti bisa, kayak kalo kita pas di pizza hut.” Lagi-lagi semuanya tersenyum. Berbicara di depan umum bukan suatu hal yang sulit untuk Farin, tapi menjadi hidup di depan banyak orang untuk sesaat adalah hal sulit untuk Farin. Belum satu kalipun Farin mau menerima tugas sebagai host.” Supaya kita tau apa yang bakalan kita obrolin, ya, sebenarnya sih kalian udah tau, karena itukan kalian di sini. Oke. Supaya lebih fokus aja ya. yuk, kita dengarkan sedikit prolog, oral prolog, kita gak pake media apapun di sini. Bukanya tanpa alasan. We have purpose. Good purpose. Nah, kita dengarkan dulu, my cute litlle panda, Wawa”
95
Wawa member kelas 2 bertubuh tambun tidak terlalu tinggi, berkulit coklat terang, tentu saja tidak belangbelang. Sebutan cute panda yang digunakan Linda dan juga beberapa teman yang lain lebih merujuk pada keimutan panda. Wawa memang imut. Meskipun sudah semester 3, tapi kesan imut kekanak-kanakkan menggemaskan, masih belum hilang. Mungkin ada hubungannya dengan kedudukan Wawa sebagai putri bungsu di keluarganya. Farin tidak pernah suka menyamakan seseorang dengan hewan, meskipun tidak bermaksud jelek. Seperti Wawa dan panda. Mungkin yang dimasud teman-temannya adalah keimutan panda, tapi bagi orang lain yang mendengar, bisa jadi mengartikan kemiripan yang lain, kesamaan besarnya tubuh, ketidakmolekkan kulit; panda kan belang, keganasan, kelambatan panda atau yang lain. Atau mungkin bagi Wawa sendiri bahkan juga mungkin bagi teman-teman yang memanggilnya begitu, suatu waktu akan sempat memiliki lintasan perspektif yang berbeda ketika mereka menyebut little panda. Dalam hal ini, Farin memilih untuk mendiamkan.
Kecuali
jika
sebutan
itu
berintonasi yang mengarah berkonotasi negatif.
96
benar-benar
“ Jumlah pengkonsumsi narkoba dengan berbagai jenisnya tidak pernah turun dari tahun ke tahun, yang ada itu naik. Kita tidak akan membahas tentang jumlahnya saat ini. Yang akan kita bahas itu kenapa terus bertambah. Narkoba itu berbahaya. Sangat berbahaya. Ini sudah bukan rahasia lagi. Tapi kenapa masih ada banyak manusia yang terjerumus? Kenapa masih ada pelajar, mahasiswa yang pastinya tahu tentang bahaya narkoba ini, nyata-nyata, jelasjelas tetep aja make. Padahal mereka tahu? Ada apa ini? Kenapa ini bisa terjadi? “ Dari awal Wawa bergabung, Wawa memiliki permainan intonasi memikat. Hanya satu catatan Farin. Kecepatan. Sekarang kecepatan bicara Wawa telah membaik. dikontrol.”
Tentu
setelah
berkali-kali
dievaluasi
dan
Kita tidak mendatangkan dengan sengaja
mereka yang make, kenapa? Tentu aja gak adil buat mereka kalo kita minta dia datang, trus kita minta dia cerita dan akhirnya mungkin tanpa sengaja kita mengadili dia. Itu gak adil buat mereka. Nah, kita gak tau apa ada yang make ato gak disini. Mungkin memang pengurus senior ada yang tau, tapi kita yang junior gak ada yang tau. Jadi sudut pandang kita di sini bebas. Dari pengetahuan kita di buku, atau media lain. Atau mungkin ada seseorang yang pernah kita kenal pernah bahkan masih make. Atau mungkin ternyata memang 97
ada yang make di sini…. Dan gak keberatan berbagi…. Dengan segala resikonya. Kalo kita beruntung, kita bisa dapet somebody yang berbaik hati, dengan ikhlas mau terbuka ma kita “ “ Oke. Itu tadi prolog yang hebat dari teman gue yang cute. Tapi seblum kita lanjut, enaknya kita ubah dulu posisi kita. Circle kayaknya lebih baik deh. Dijamin tempat ini muat buat kita, ber 35 including my beloved seniors.” Semuanya segera mencari tempat. Farin tetap saja duduk bersandar dekat pintu masuk.” Thak you. Aku jadi yakin kalo kalian memang benar-benar mahasiswa. Kalian cepat sekali mbentuk circle yang rapi. Salut, deh. ….Wow.. sudah ada yang angkat tangan. Silahkan, mas.” Linda
menunjuk
keseorang
pemuda
berjaket
tudung. “ Seperti tadi dibilang, semua orang sudah tahu kalo narkoba itu berbahaya, tapi masih make jugakan! Nah, sekarang kita di sini ngapain dong? Kan sama aja. Mereka juga masih make.” “ Good point. 100 deh. Oke. You.” Kali ini Linda menunjuk seorang gadis berjilbab imut berwarna krem. Warna kesukaan Farin. 98
“ Gak bisa dong. Ditempat ngajiku dulu banyak anaknya, muridnya…Tapi yang akhirnya yang bisa ngaji gak semuanya. Tapi dari aku kecil sampe sekarang, masih banyak tuh yang masih belajar ngaji…Banyak yang gak bisa bukan berarti berhenti ngaji dong!” Suaranya berapi-api. Bisa dimaklumi. Rieke mahasiswa baru, member kelas 1. Mahasiswa baru, penuh emosi. “ Okelah, masih banyak yang ngaji. Tapi anak yang bisa ngaji tambah sedikitkan? Anak yang make tambah banyak kan? Jadi aku masih belum dapet apa-apa” Pemuda bertudung itu menjawab tak kalah sengitnya. Mungkin sama mahasiswa barunya. Sekarang Linda menunjuk seorang gadis berlesung pipit. “ Lu tau gak kita dijajah belanda 350 tahun? 3 abad, bro! Bukan waktu yang pendek. Nah, seandainya waktu itu mbah-mbah kita kayak elu! Kita mungkin gak lebih seperti orang-orang etopia!” “ Tunggu, tunggu, tunggu. Kayaknya kita salah memulai deh. Kitakan di sini curhat. Dari hati ke hati. Bukan 99
dari semburan naga ke semburan naga.” Linda berusaha berfikir cepat.” Oke. Bukan semburan nagakan?” Tanya Linda pada seorang pemuda gemuk, putih dan pendek yang tiba-tiba mengacungkan kelima jarinya saat Linda sedang berusaha mencari kata-kata. “ Gak. Gak tau maskudnya.” Tentu saja semua jadi tertawa.” Gini deh, kalian kan sedang mbicarakan mereka yang make. Little cute panda tadi kan bilang, sapa tau kita dapet somebody yang make, yang berbaik hati mau berbagi. Gue, juga ngarapkan little cute panda juga berbaik hati sama gue. Mau berbagi sama gue. Dia betul-betul little cute panda yang bikin gue pengen meluk dia. Dengan penuh cinta pastinya” Hasilnya adalah tawa yang bergemuruh.” Gue serius. Gue naksir lu. Gue ngomong gini keadaan gue normal kok, on. Gak stand by. Gue gak lagi make, gue juga gak lagi mabok” “ Akhir yang ditunggu-tunggu, saudara-saudara!!!! Kita menemukan the man!” Seru Lindah gagah perkasa. Linda memilih memanfaatkan penjelasan pemuda itu. Mencoba menggali kebenaran. Sapa tahu yang dimaksud on, gak stand by, gak lagi make itu emang bener. Let‟s grab this opportunity. Let‟s maki this as an opportunity. 100
“ Tapi gue, punya syarat.” “ Oke. We‟re listening.” “ Nah, itu syarat gue yang pertama. Dulu gue emang jago bahasa inggris. tapi sejak make, gue jadi ga dengar apaapa lagi. Kayak bunyi tukang putu.” Lagi-lagi, pemuda itu membuat segelas gelak tawa untuk semuanya. Konyol juga anak ini, pikir Farin sambil tersenyum simpul. Sementara Linda melebihi senyum simpul Farin. Linda merasa penuh telah mengambil dan memberi kesempatan pada dirinya sendiri atas keadaan yang terjadi dan kewajibannya mencapai tujuan kegiatan yang dipandunya. “ Yang kedua, gue oke-oke aja. Sepertinya.” Kemudian dengan percaya diri pemuda itu berkata.” I‟m not sure sih.” Farin dan yang hadir tersenyum.” Kalian mo ngutuk kek, ngumpat, kata-kata najis juga fine-fine aja gue. Ni adili aku. Kalo aku nangis, ntar gue datengi teman-teman gue. Adil dong. Oke!” “ Ndatengi gimana sih maksudnya?” Tanya Linda dengan mencoba menahan diri untuk tidak terguncang
101
dengan persepsi dirinya sendiri atas hal yang baru didengarnya. “ Yang lu tanya kan gue! Tapi yang make kan bukan cuma aku doang! Katanya mau yang adil, jadi ya kita perlu acara kayak gini lagi. Biar lu semua dengar dari banyak orang. Itu lebih fair.” Ohhh..Linda lega mendengarnya. “ Kenapa kamu mau?” Tanya Linda kritis. “ Gue sering denger acara kayak gini, tapi gue belum pernah datang, temen-temen gue juga belum pernah. Gue pengen tau aja. Asyik kali dibrondong rame-rame.” Pemuda itu menjawab sekenanya. “ Yaaa... Usulannya dipertimbangkan deh. Untuk bahasa inggrisnya, kayaknya lu masih fasih banget tuh! Jadi yang mau pake english boleh-boleh aja. But... but...tapi...tapi ditanslate...Diterjemahkan better. Sapa tau ada yang gak ngerti…. Gak diterjemahkan ato gak ngerti juga gak pa-pa. Oke! Deal?” Pemuda itu mengangkat kedua jempolnya.” First question, pertanyaan pertama, dari gue. Sejak kapan lu make?”
102
“ Gua Aris. Sejak SMP....” Pemuda itu memiliki mata yang penuh kesedihan. Farin hanya diam memperhatikan. Meskipun diskusi internal digelar dua kali seminggu, public discussion sebulan sekali, berarti saat ini adalah public discussion kedua, Farin masih belum melihat kemajuan yang mencolok. Semua member masih emosi. Farin memaklumi. Diskusi internal empat kali pertemuan memang masih belum memadai. Cahaya temaram disertai aroma yang menenangkan tidak mampu melembutkan hati dan lisan, namun sangat menghadirkan kenyamanan. Forum itu berubah bentuk bukan lagi dari hati-kehati seperti sepasang kekasih yang candle light dinner. candle light dinner itu sudah berubah menjadi lubang api yang panas. Farin membuat beberapa catatan untuk berjaga-jaga jika otaknya tak mampu memaksa wadrobe memory storagenya menemukan halaman yang tepat untuk indeks yang dicarinya di saat yang dibutuhkan saat sedang terjadi kebakaran. Dengan membuat cataan lebih besar kemungkinan memperkecil keadaan lupa. Linda
memilih
segera
ngopi
breaks
untuk
memadamkan lubang api panas itu selama lima belas menit. 103
Yang terjadi selanjutnya adalah sangat menakjubkan. Tidak butuh waktu lebih dari satu menit untuk menyalakan lubang api panas itu. “...... Kita sering tong kosong nyaring bunyinya! Semut di Afrika kliatan gajah di depan hidung gak kliatan!” Aris berkata sengit. “ Lo itu salah! Kesalahan lo itu besar! Lo ngrusak diri lu sendiri.” Tukas Imron, member kelas 2, tak kalah sengitnya. “ Gue make. Oke. Tapi apa lu gak pernah bikin kesalahan juga!” “ Lho, poinnya
kan di sini kita emang bahas
tentang narkoba. Kita nggak lagi mbicarakan yang lain. Jadi menurutku pertanyaanmu itu salah.” Sesuatu yang jauh dari harapan Farin tentang kecakapan mengemukakan pendapat dari seorang mahasiswa semester 3. Semestinya ada jawaban lain yang lebih bijaksana keluh Farin. Tapi tentu saja Farin sudah terbiasa menghadapai jawaban-jawaban yang penuh pembelaan diri tidak melihat poin yang sebenarnya.
104
“ Gue gak percaya kalo lu gak punya kecanduan. Lu pasti punya.” Tiba-tiba Aris menunjuk ke arah Linda.” Lu suka nonton film?” “ Suka. Itu candu?” Tanya Linda dengan gaya tak mengerti. “ Iya dong. Itu candu!” Sekarang Aris menunjuk ke Wawa.” Lu pasti suka es krim? Gue juga suka, apalagi es krimnya Milenia. Suka kan?” “ Suka. Trus kenapa?” Wawa bertanya dengan menantang. “ Lu kecanduan es krim!” “ Gue suka nyium tangan emak gue kalo pulang kampung, gue kecanduan juga dong sama tangan emak gua” Mahasiswa senior semester 3 berwajah melankolis, yang ini menurut Farin memang sengaja menggoda. Semuanya tertawa. “ Nah, kalo gue suka ngliat jam. Berarti gue kecanduan jam dong.” Linda menambah segar suasana.” Bercanda-bercanda. Waktu kita terbatas. Kalo kita kelamaan 105
di sini, kasian tu pak No and friends, gak bisa cepet pulang…Nungguin kita. Nah, dari tadi ni ya, kita begini aja. Lu make mulai SMP. Sekarang lu gak make, karna lu capek ngabiskan banyak uang parents lu, banyak dimarain. Point akhirnya lu sadar itu gak baik. Tapi lu bilang lu sekarang mabok. Gue rasa wajar dong kalo kita jadi bingung. Seperti yang diawal, kenapa lu masih juga make, padahal lu tau itu sama aja. Lu sendiri yang bilang. La, menit-menit ini aja, lu juga tiba-tiba bilang, Wawa kecanduan es krim. Aku kecanduan film. Sebenarnya sih aku gak suka pake gue, kayaknya gimana gitu. Nah, gue, eh, aku. Aku ada ide nih. Aku punya mbak yang pinter banget. Dari tadi dia duduk aja ngamatin
kita.
Maklum
dia
dokternya,
kita
pasien
percobaannya.” Linda tertawa.” Jadi dari tadi, aku lirik-lirik, kayaknya, mbakku itu nyatat-nyatat deh. Kayak anak lab nyatat reaksi obat yang udah disuntikan ke kelinci percobaannya..... hehehe... jadi, supaya kita gak pulang dengan 100 pentol bakso yang nyangkut di tenggorakan sampe ke dada, kita minum air dulu yuk biar pentolnya turun. “ Kemudian dengan manja, Linda memanggil Farin.” Please dong, jangan mojok aja. Kalo di sini bisa keliatan sama semua. Setuju?‟
106
Semua yang ada di ruangan itu menoleh ke Farin. Meskipun sudah sering berbicara di depan umum, tetap saja diperhatikan orang adalah hal yang bisa membuat Farin risih. Setidaknya diawal. Tanpa daya, Farin melakukan seperti yang diminta Linda. “ Thank you very much.” Ucap Linda begitu Farin berdiri dan melangkah mengahampiri Linda. “ Punya 100 pentol di dada dan tenggorokan jelas gak enak. Bisa dibayangkan. Nasi aja bikin kita tersedak sampai kemerahan. Apalagi 100 pentol bakso.” Farin berusaha mencari pembuka yang tepat.” Drug. Why? Apa yang kalian bicarakan tadi, secara tema, gak melenceng. Mungkin intonasi-intonasi yang agak tinggi bahkan beberapa kali memang tinggi, itu yang keluar dari konsep. Curhat. Dari hati ke hati.” Farin menatap sekelilingnya.” Narkoba? Kenapa? Menurut saya, kalian semua tadi mengawalinya dengan baik. Aris tahu kenapa dia sampe make. Aris make karena pergaulan. Jawaban ini bisa kalian terima. Kemudian pertanyaan bagus berikutnya adalah waktu kalian tanya, apa waktu itu Aris sudah tahu kalo drugs itu berbahaya. Di sini, jawaban Aris juga ditanggapi dengan kritis, kalo sudah tahu kenapa masih make? Nah, sebenarnya hal ini yang pengen 107
kita gali. Kenapa? Kenapa ketika kita tau sesuatu itu tidak baik untuk kita, tapi masih saja dilakukan. Dalam proses mencari jawaban inilah, menurut saya, kita akhirnya terjebak dengan emosi masing-masing. Saya.....” “ Sorry, mbak. Gue heran, kenapa pake saya? Gak ngefren! Gak asyik!” Aris memprotes dengan cepat. “ Ya. Mungkin. Boleh-boleh saja merasa begitu...” “Nah… Kalo memang boleh-boleh saja berarti boleh-boleh juga dong pake aku atau gue, gak masalahkan!” Pintanya dengan gaya yang sangat menyebalkan. “ Boleh-boleh saja Aris minta. Boleh-boleh juga, saya tidak memenui.” Yang hadir diruangan itu tersenyum. “ Wah, main tenis, nih!” jawab Aris sinis. Farin tertawa.” Baik. Supaya kita gak perlu main tenis sampai kelelahan. Supaya Aris tahu dan saya harapkan setelah itu Aris dan juga yang hadir di sini lainnya menghormati keputusan saya, saya akan menjelaskan. Apa yang di sini semuanya ingat, waktu Linda bilang kalo 108
sebenarnya Linda merasa gimana gitu kalo pake gue. Betul Linda?” “ Ya, mbak Farin. Tul. Aku tadi bilang gitu!” “ Bisa jelasin kenapa?” “ Kenapa ya, mbak ya? Kayaknya kok gimana banget gitu lho. Jatim gitu lo!! Arek Suroboyo. “ “ Lo dari mana, si Lin, asalnya! Gak tau teknolog? Ga ngerti medsos?” Sahut Aris tiba-tiba dan masih dengan nada sinis. “ Oke. Masalahanya bukan karena kita berasal dari kota mana. Manusia itu makhluk berfikir dan adaptif. Tanpa berfikir
juga
manusia
bisa
beradaptasi
dengan
lingkungannya. Coba liat, para tkw yang pulang dari Malaysia. Jelas, mereka fasih berbahasa Malayasia. Sampesampe, meski lagi pas ngomong jawa. Logat mereka masih melayu sekali. Begitu juga, kita di sini. Saya dulu sempat di Jakarta beberapa tahun. Teman-teman saya banyak yang pake lu,gue,gua. Gak sedikit dari mereka bukan asli Jakarta. Gak sedikit juga dari mereka yang cuma butuh waktu 109
beberapa hari aja untuk punya cara bicara yang sama seperti anak gaul Jakarta....” “ Kalo gak mikir, bodoh dong! Banyak banget orang bodoh di Indonesia?!” Aris mengucapkannya dengan kasar. “ Ya. mungkin salah satunya adalah Aris sendiri.” Lagi-lagi semuanya tertawa, tertawa geli.” Secara statistik, bangsa Indonesia ini nilai otaknya tinggi. Rata-rata nilai otak penduduknya 110. Ini hasil penelitian. Bisa dicek diinternet. Tapi kenapa bangsa Indonesia bisa, jangankan Malayasia, sama Vietnam aja kita kalah. Saya tidak bilang kalo para tkw ataupun teman-teman saya itu bodoh. Saya bilang bahwa tanpa berfikir manusia bisa beradaptasi. Maksudnya, prosesnya terjadi dialam sadar....” “ Tetap aja namanya BODOH!” Aris semakin jengkel. “ Pada satu sisi proses bawah sadar ini tergolong wajar, manusiawi, termasuk dalam aspek bahasa atau logat. Pada beberapa hal lain, itu sangat berbahaya. Nah, gak semua orang mengalami proses internalisasi logat itu dengan tidak berfikir.” 110
“ Wah. Berarti mbak Farin ini orang hebat dong! Mikir terus!” “ Terimakasih pujiannya. Bisa jadi begitu. Serius gak serius, saya anggap itu pujian. Kita semua tahu kalo I dalam bahasa inggris ditulis dengan huruf besar, sementara you, they, we ditulis dengan huruf kecil. Tentu kecuali kalo diawal kalimat. Poin saya, bahasa inggris gak punya option lain selain I. Kita beruntung dalam bahasa Indonesia kita punya dua option : saya dan aku, dan hanya harus ditulis huruf besar hanya pas diawal kalimat. I tidak tepat diartikan saya. I lebih tepat diartikan aku. Buku-buku terjemahan itukan sudah diadaptasi, jadi ya menggunakan pola Indonesia. Janggal dong, kalo kita baca dialog antara anak kecil dengan kepala sekolah, anak kecilnya bilang pak kepala sekolah, aku mau ikut lomba. Kita, orang Indonesia, nganggap itu gak sopan.” “ Memangnya lu seberapa tua si?” Farin benarbenar heran jika menemukan seorang laki-laki yang bisa bersikap begitu sinis dan ketus, apalagi laki-laki itu bertubuh gemuk dan berkulit putih. Sebenarnya sikap sinis dan ketus bukan hanya milik perempuan, tapi milik manusia, baik lakilaki ataupun perempuan. Hanya saja Farin merasa 111
masyarakat sering tidak adil dalam pemberian stereotype. Dalam banyak hal. Termasuk sinis dan ketus dinisbahkan hanya untuk perempuan. “ Saya memang belum tua. Saya merasa lebih menghormati diri saya sendiri dan orang lain, dengan menggunakan saya. Aku saja membuat saya merasa begitu aku. Ego yang besar. Apalagi gua, gue, elo.
Gue sama
kerennya kayak elo. Keren, anak gaul dan ego yang lebih besar daripada aku. Ini disebut psikologi bahasa. Jargon alias istilah sebuah komunitas. Elu, gua, gue memang jargonnya anak gaulkan? Menurut saya, Aris punya nilai otak yang tinggi, tapi tidak buat Aris keluar dari kebodohannya.” “ Dari mana taunya kalo gue punya nilai otak yang tinggi? Memangnya di pintu masuk ada alat scanning otak?” “ Linda, benar Linda kecanduan film?” “ Enggak, tuh.” Linda menjawab ringan. Terlihat dia menikmati dialog sengit yang digagas oleh Aris, namun ditanggapi dengan anggun oleh Farin. “ Wawa juga kecanduan coklat?” 112
“ Sama. Enggak.” Wawa menjawab sambil melirik tajam ke Aris. Sepertinya Wawa sebel karena pertanyaan kecanduan ek krim yang diajukan padanya itu berasal dari badannya yang besar, pikir Farin. “ Kalo Wawa suka Film?” “ Suka. Tapi gak tiap hari nonton ato nyewa. Kalo pas longgar aja.” Mata Linda berbinar. Sepertinya Linda sudah tahu maksud Farin. “ Aku juga suka, mbak, sama es krim. Aku juga suka film.” “ That‟s the point. Bahasa mempunyai konotasi. Konotasi itu kesan. Seorang penari yang baik harus bisa menjiwai tariannya. Begitu juga bintang film. Kalo ndangdut ya ndangdut. Ngremo berbeda sama jaipongan. Nangis ya nangis. Kita bisa tahu seseorang naksir kita dari mana? Dari bahasa tubuh bisa. Ini namanya psikologi kontemporer, body languange. Bahasa juga punya unsur psikologi. Psiklogi
113
bahasa. Kalo Aris pake kata candu, jelas. Gak ada seorangpun yang mau dikatakan kecanduan!” Aris menatap Farin lekat. Seolah tak berkedip sama sekali.” Tadi dia seneng dibilang kecanduan sama tangan emaknya.” Bawel sekali anak ini, pikir Linda dan Wawa. Mungkin semua yang ada disitu juga berfikiran sama. “ Tadi kita sebenarnya bisa menggali lebih banyak lagi kenapa orang meskipun tahu, tapi masih melakukan. Candu berbeda dengan suka. Suka konotasinya positf. Candu konotasinya negatif. Orang bilang suka bakso, ya suka aja. Gak mati kalo sehari gak makan bakso. Sehari gak makan es krim. Sehari gak nonton film. Sehari gak belanja di mal. Candu? Lain lagi. Awalnya Aris cuman ngikut. Kompakan. Setelah nyoba, jadi kepingin lagi. Gak terkontrol. Akhirnya, kalo gak pake.... “ Farin menganggakt bahunya.” Saya yakin, semuanya tau.” “ Jadi makan candu?” Pemuda itu masih bertahan menjadi Aris yang diperankannya sejak awal. “ Kalo pertanyaan ini untuk nguji, saya juga gak keberatan njelaskan sekali lagi. Saya maklumi kondisi Aris.” 114
Dengan tenang Farin menatap bola mata Aris. Mata melankolis itu dipenuhi amarah menggebu” Heru, mau makan? Mbak Farin belikan bubur manado, ya?” Heru kaget..Kenapa tiba-tiba??? Farin melihat ke arah Heru dengan membawa sebuah pertanyaan yang menyenangkan.
Dengan
tersenyum
malu-malu
Heru
menjawab.” Mau, mbak.” “ Makan punya konotasi jelas. Positif. Makan adalah kebutuhan pokok. Selanjutnya kita bisa bikin definisi dari konotasi itu. Suka berarti kita seneng kalo ngadepetin yang kita suka. Kita jadi bahagia kalo kita dapetin yang kita suka. Hampir sama seperti candu. Nah bedanya, kalo kita gak dapetin yang kita suka, kita sedih tapi gak bikin kita gak bisa survive tanpa yang kita sukai. Kalo candu....” “ Ya. It sounds great.” Kata seorang mahasiswa semester 3 yang juga berwajah melankonis.” Aku sepakat. Selama di sini aku gak ganti cium tangan ibu kostku. Jadi aku gak kecanduan tangan emakku. Soalnya aku cuman nyium tanggan emak kalo pas pertama dateng aja.” Lagi-lagi pernyataan senior ini mengundang gelak tawa.
115
“ Gue gak kecanduan film dong. Wawa juga gak kecanduan coklat. Kita baik-baik aja meski sebulan gak makan coklat di Milenia Ya gak, Wa” Linda melirik genit ke arah Wawa. “ Itu sempit. Gue emang gak tau apanya yang salah, dimananya yang salah sama drug. Cuman firasat aja kalo ada yang salah sama waktu awal.” Aris mengatakannya dengan nada tidak sabar. “ Itulah candu!” Farin tak mau menyia-nyiakan kesempatan.” Otak lu bagus.” “ Dari mana lu tau?” Nada suara Aris penuh tantangan. “ Lu tau ada sesuatu. Tapi lu gak tau itu apa!” Farin menekankan kata lu dalam tiap kalimatnya.” Itulah candu. Candu gak cuman bikin lu mewek kalo nggak dapet, gak cuman bikin lu gemetar. Dan yang paling parah, candu bikin LU KEHILANGAN KECERDASAN LU” Semua yang ada di situ diam. Mereka mengira Farin kehilangan kesabaran saat mendengar kalimat terakhirnya diucapkan dengan intonasi yang sangat tinggi dan jelas. Itu adalah tidak lebih 116
dari strategi memenangkan keadaan.” Kita tau ini salah, tapi kita tetep nglakuin aja. Ini candu. Candu bikin kita gak bisa mikir. Bikin kita gak bisa ngambil keputusan yang seharusnya. Bukan karena ini hidup kita sendiri. Tapi karena itu benar. Candu bikin orang egois. Endingnya orang yang kecanduan gak cuman ngrugikan dirinya sendiri, juga orangorang yang sayang juga kita sayangi, cintai, peduli juga kita perdulikan. Tau kenapa? Karena sebenarnya setiap orang punya tanggung jawab pada orang lain. Hidup memang hidup kita sendiri, jangan lupa, kita gak hidup sendiri. Mal gak dibangun untuk satu orang aja kan? Kampus, sekolah, koran? Gak bisa semaunya sendiri. Seenggak-enggaknya, kita punya orang tua!” Farin berdiri untuk mempertegas kehadirannya.” Contoh paling simple. Katakanlah saya kecanduan coklat. Berarti gak sehari aja tanpa coklat. Sehari aja gak makan coklat bikin saya frustasi. Namanya frusatasi, jelas, isinya marah-marah. Orang ngomong baik-baik, saya marah. Gak jelas. Bikin orang bete. Itu bisa bikin orang jadi gak suka sama saya. Belum lagi, kalo ternyata saya gak bisa makan coklat karna gak punya uang. Yang kebayang cuman coklat. Nasehat cuman lewat. Nah, kalo ini gak kita kontrol, bisa117
bisa kita nekat nglakuin apa aja untuk ndapetin coklat. Fenomena ini banyak kita dengar. Bahkan kita sendiri tau. Aris juga tau, tapi gak sebenarnya tau. Kecanduannya ke drugs bikin dia merasa semuanya adalah insting. Semuanya adalah firasat. Tidak bisa melihat proses dan pola. Gak ada ilmu di dalamnya!” Aris memandangnya dengan penuh frustasi.” Yang begini ini!! Bikin gue pengen mabok!” “ Lu benar-benar kecanduan!”
Senior berwajah
melankolis itu mengucapkannya dengan sengit. “ Iya! Kenapa!” Aris berdiri menantang. “ Akhirnya kita temukan alasan yang sebenarnya drugs, why.” Tanpa rasa takut, Farin berjalan mendekati Aris. “ Bukan karena teman. Bukan karena stress. Bukan karena putus cinta. Bukan karena bosan hidup.” Farin semakin mendekat.
Intonasi suaranyapun semakin pelan
namun jelas.” Alasan sebenarnya adalah karena kita tidak bisa menghadapi diri kita sendiri. Tidak tahan dengan frustasi, marah, cemburu, gagal, kehampaan. Pada tingkat yang paling dasar....” Farin berdiri tepat kurang lebih dua 118
langkah lagi dari Aris yang masih berdiri dengan tatapan penuh amarah meski amarahnya sudah tidak berkobar membara lagi. Farin menatap tepat di bola matanya” Candu bukan tanggung jawab teman, sahabat, geng, orang tua. Candu atau tidak adalah tanggung jawab diri sendiri. Candu ato tidak adalah bukti internalisasi eksitensi pengetahuan seseorang. Kebodohan seseorang bisa dilihat dari sini. Cerdas berarti mampu mendasarkan aktivitasnya berdasar apa yang sudah dipilih dan dipilahnya. Dengan sadar. Tidak buat orang lain bertanggung jawab atas hal yang sudah dipilihnya sendiri. Diputuskannya sendiri.” Farin melihat berkeliling.”
Mudahan-mudahan
semua
setuju
untuk
mengakhiri babak drama episode kali ini.” Seretak tanpa dikomando.” Salam SpotLang!” “ Well…. Drama episode kali ini memang benerbener beda. Belum terjadi sebelumnya. Very impressif. Seru habis. Mendebarkan. Smua itu gak bakalan terjadi kalo kalian semua gak datang ke sini. Aku baru bener-bener ngerti maksud mbak Farin waktu dipelatihan pengkaderan, mbak Farin bilang gak pernah ada “PEMERAN UTAMA”. Meski dipandu amuzing host seperti aku....” Kalimat Linda yang terakhir itu menghadirkan senyum semua yang ada di 119
ruangan, tentu saja kecuali Aris.” Yang bisa ngidupkan suasana temaram ini jadi hangat…. Gak bakal terjadi kalo gak ada Wawa yang bikin Aris “ tergoda “, akhirnya mau berbagi. Keterbukaan Aris gak bakalan jadi seru kalo rekanrekan, mbak-mbak, mas-mas tadi gak kasih komen balasan yang seru juga. Ending cantik yang diberikan oleh mbak Farin tadi gak bakal terjadi kalo kita tadi pada sibuk bisikbisik.” Lagi-lagi semuanya tertawa.” Well, telan pelan-pelan 100 pentol kalian. Jangan buru-buru, jangan tersinggung, jangan marah. Kalo kalian sudah berusaha, tapi pentolnya masih nyangkut, aku yakin kita semua, including mbak Farin, welcome untuk having open discussion. Thank you for your coming. Hadapi frustasi, marah, cemburu, gagal, kehampaan. Buktikan eksitensi pengetahuan kita! Ciao. Salam SpotLang!” Farin menghela nafas. Acara memang berkahir, tapi tidak dengan pikiran Farin. Semua yang kubicarakan kebanyakan tentu saja bukan hal yang tidak pernah didiskusikan dengan diriku sendiri, mas Hendro, temanteman. Tapi ada juga bagian yang belum. Bagaimana semua bisa mucul begitu saja? Bahkan aku berfikir waktu aku sedang berfikir. Apakah ini kekuatan alam? Aku alam. Kenapa aku bisa gak tau? Berarti aku bukan alam. Here we 120
g, keluh Farin. Pikirannya lebih deras dari air terjun Grand Canyon
di
Amerika.
Namun
menyenangkan
untuk
dinikmati. Hanya saja 2 malam tanpa istirahat yang mencukupi ditambah dengan berat bobot pikiran itu sendiri, sangat membuat Farin semakin merasa letih. Setelah rampung membereskan semuanya, Farin, Heru dan lainnya berjalan bersama-sama meninggalkan gedung. “ Taksinya belum datang ya, mbak?” Tanya Heru memastikan ketika dilihatnya tak ada taksi yang menunggu di sana.” Saya antar saja mbak, pake sepedanya mas Samsul.” “ Gak perlu, Her. Tu, sudah ditunggu.” Samsul menunjuk ke arah kursi taman di halaman gedung. Farin tersenyum. “ Makasih ya, Sul. Linda sama Wawa bareng sama mbak aja. Mbak antar. Biar gak ngrepotkan Samsul sama Yudhi. Nanti mereka masih harus njemput Heru sama Joko.” “ Gak pa-pa, kok, mbak. Mbak Farin kliatannya capek banget. Kasian kalo masih muter-muter sama kita.”
121
“ Iya, mbak. Saya sama Heru jalan sambil nunggu mereka kok, mbak. Mau ngopi sama ngetan dulu di depan, sambil nunggu dua anak ini. Kenapa semyum-senyum?” Tanya Joko heran. “ Weis, saya rek sekarang...” Goda Linda. “ Iya dong. Buktikan eksistensi pengetahuan LU.” Joko menuding ke arah hidung Linda. “ Selese?” Tanya Hendro dengan akrab. “ Iya, mas. Seru! Kita tadi khawatir mbak Farin ditinju aja sama anak itu” Dasar Wawa, anak kecil, pikir Samsul. Harusnya gak perlu cerita! “ Syukurlah kalo gak jadi ditinju. Meski jadi ditinju, saya no problem.” Hendro mengatakannya dengan santai. Wawa dan Linda melongo keheranan. “ SpotLang itu orang-orang hebat yang bisa nyelesaikan masalah. Cowoknya bisa diandalkan.” Hendro menepuk
pundak
dengannya.” 122
Joko
Buktinya….
yang
berada
Cewek-cewek
paling ini”
dekat Hendro
menunjuk ke arah Linda dan Wawa.” Diantarkan pulang selamat sampai tujuan.” “ Wah, jadi ge-er nanti mereka, mas!” “ Lho, justru karna ge-er itu, makanya nanti kita jadi lama baiknya” Seloroh Samsul. Semuanya tertawa. “ Yakin gak mau bareng?” Keduanya mengangguk. “ Thanks deh, mbak.” “ Kita pulang duluan ya. Joko sama Heru bereng kita aja ke depannya.” Farin masih ngotot menawarkan kebaikannya. “ Gak wes, mbak. Makasih. Saya mau nunjukin wewe gombel sama Heru....” Joko tertawa geli melihat Heru yang manyun salah tingkah. “ Jangan khawatir, Her, wewe gombelnya secantik Julia Estelle.” Hendro ikut menggoda sambil membukakan pintu untuk Farin. Hendro mengangkat tangannya sebagai 123
tanda perpisahan. CRV hitam itu melaju perlahan sebelum akhirnya hilang ditelan ketemaraman cahaya.
Kemesraan Penuh Tanya
“ Laper?” Tanya Hendro.” Makan dulu?” “ Mas Hendro?” “ Sudah makan tadi.” Hendro melirik mesra kekasihnya.” Tapi belum dapat ciuman selamat datang dari my honey.” Farin mengecup bibir Hendro. “ Langsung pulang aja ya. Aku laper, tapi pengen dimasakkin
mas
Hendro
aja.”
Buru-buru
Farin
menambahkan.” Kalo mas Hendro gak capek, gak males.” Mereka melewati pertigaan. Setelah dilihat sebuah motor yang datang dari sisi kiri dan kanan masih jauh meski 124
melaju dengan cepat, Hendro memilih untuk mengambil kesempatan menyeberang. Sayang, hal itu tidak menjadikan kedua pengendara motor dari dua arah tersebut mengurangi laju kendaraannya. Hendro memilih berhenti karena motor dari arah kiri terus saja melaju kencang, lebih dari perkiraan Hendro, dengan harapan si pengenadara dari arah kanan mengambil jalan belakang mobilnya, jalan di belakang mobil lebih luang daripada jalan depan mobil. Motor dari arah kiri memang terus melaju dengan kecepatan tinggi, begitu juga motor dari arah kanan, motor itu baru mengurangi kecepatannya ketika mereka sudah berada agak dekat dengan mobil Hendro, dan mereka tidak mengambil jalan belakang seperti yang diharapkan Hendro. Tak pelak, si pengendara mengeluarkan makian. “ Dia bilang apa, mas?” Hendro kembali melaju ketika motor dari arah kiri telah lewat.” Gak dengar. Biarkan aja.” “ Orang itu memang sukanya gitu ya, ngrasa benar sendiri.
Dia kan juga salah. Harusnya tau mau lewat
pertigaan, kurangi kecepatan. Kitanya juga gitu, ngambil kesempatan.” 125
“ Yang penting kita aja ndak gitu.” Hendro mengucapkannya dengan santai. Dia melirik Farin dengan mimik serius.” Karna itu, mas lebih tenang, santai, kalo honey pake mobil, bukan pake motor.” “ Aku blum brani. Takut.” “ Gak kena angin. Biar pulang malem mas gak kepikiran. Gak diliatin orang soalnya.” Farin tertawa.” Percuma dong beli CRV.” “ Kalo aku pengen yang baru lagi gimana” “ Ya. Jual CRV nya, beli yang baru yang honey mau.” Sesampainya di depan rumah, Hendro turun untuk membuka gerbang. Hendro memang tidak mengijinkan Farin untuk turun membukakan gerbang, tapi bukan berarti Farin tidak menawarkan diri penuh kesungguhan untuk membukakan pintu gerbang setiap kali mereka sampai di depan rumah. Namun malam ini, Farin memang tidak menawarkan diri. Farin sedang menahan gelombang deras arus pikirannya. 126
Lampu-lampu sudah dalam kondisi menyala ketika Farin datang. Mungkin mbak Estu yang nyalakan sebelum pulang. Pikir Farin. Hendro tidak merasa perlu untuk mengganti baju sebelum mulai memasak. Hendro hanya mencuci tangan. Setelah itu dia bergegas membuka kulkas besarnya. “ Nasi goreng? Ato apa?” “ Iya deh.” Farinpun juga tidak bergegas mengganti baju. Dia hanya membuka sepatu, membiarkannya berada di sebelah sofa dan meletakkan tasnya begitu saja di sofa. Kemudian dia duduk di kursi makan dengan kepala tergeletak di atas meja makan. “ Tadi kalo ditonjok beneran gimana?” Tanya Hendro disela-sela kesibukannya memasak. “ Ya… Gak nyangka mau ada drama melankolisnya. Pas aku maju, ndeketi dia… Aku liat matanya masih marah, tapi gak nakutkan. So, aku berani aja.” Farin menyandarkan tubuhnya ke kursi.” Pas diskusi tadi aku sempat mikir, mestinya aku jadi ahli syaraf otak. Akhir-akhir ini aku pengen tau banget, kok bisa sih kita mikir pas lagi mikir. Kok bisa si 127
aku ngembara ke hutan perawan pikiran trus nemukan banyak hal baru padahal aku pas lagi mikir. Tadikan spontan, kok bisa aku ngomong smua itu? Aku gak tau dari mana....” “ Gak perlu jadi ahli syaraf. Besok kita beli bukunya aja.” Hendro menyempatkan diri menoleh ke arah Farin sebelum menggerus lombok merah besar.” Lintasan pikiran. Kemarin di Surabaya mas liat.” Kemudian dia mulai menggerus. “ Ada begituuu banyak memori dalam kepala kita. Ada memory jangka panjang, ada memori jangka pendek. Mulai dari memori ketika kecil, smp, sma, atau kemarin. Mulai dari hal yang kecil, simple, malah sepele sampe yang detil, lengkap, besar.... Kok bisa begitu cepat kita bisa menemukan kata yang tepat, pendapat yang tepat dari memory storage kita yang isinya bermilyar-milyar data! Dan gak direncanakan. Apa ada pembicaraan yang direncanakan? Gak ada, semuanya ngalir begitu aja. Gak ada yang namanya sesuai dengan tertulis...” “ Bintang film? Kan harus sesuai script” Goda Hendro.
128
“ Aku gak tau. Belum pernah liat orang syuting. Hmmmm....kupersempit aja deh. Untuk yang riil aja deh. Termasuk pidato.” “ Kok, tau?” “ Ya. Simple aja. Mana ada orang, termasuk presiden mana aja, tahan cuman bacakan yang ditulis, gak nambahkan sedikit di luar yang ditulis!” Farin mencoba mengusir keraguan dalam kalimatnya, ada banyak orang di dunia, bagaimanapun Farin tahu, tidak semua pidato didengarnya. Hendro hanya menggerak-gerakkan pundaknya beberapa kali. Farin menyandarkan tubuhnya ke kulakas besar.” Candu itu apa?” “ Candu asmara. Lagunya Siapa ya namanya? Cici Paramida“ Hendro teresenyum Setelah diliriknya Farin masih memandang serius, Hendro akhirnya melanjutkan.” Candu itu jelek. Gak ada seorangpun di dunia ini yang mau kecanduan. Tapi nyatanya mereka kecanduan. Coba liat lagulagu itu. Dari jaman ke jaman, isinya cinta. Kecanduan
129
nonton infotainment, kecanduan belanja. Candu itu penyakit yang bisa sembuh.” “ Caranya?” “ Pake otak. Apa tadi teman honey bilang?” Hendro berusaha mengingat.” Eksistensi pengetahuan.” Sekarang Hendro meletakkan bawang merah dan bawang putih di atas cobek yang telah berisi lombok merah halus. “ Dari tadi aku mikir, aku kecandua ya?” Suara Farin penuh keraguan. Hendro
segera
mencuci
tangannnya.
Setelah
mengeringkan tangannya, dia berdiri di depan Farin.” Kecanduan apa?” “ Malam waktu aku nonton No Reservation. Aku jadi ngrasakan pengen banget. Capek banget rasanya. Kalo diinget baik-baik sih, aku yakin, aku ini gampang banget kepingin. Aku sering ngrasa begitu kalo pas mas Hendro belum datang. Cuman gak nyadar. Mungki karna itu kita suka lama-lama....”
130
Hendro tersenyum geli.” Honey, kita masih muda. Sangat muda. Itu bukan kecanduan...” “ Selama empat tahun lebih. Every weekend! Apa yang kita lakukan tiap hari pas weekend? Jum‟at sampe minggu?” Farin menatap Hendro dengan penuh tanya.” Gak cuman skali dua kali.” Hendro tertawa geli. “ Tapi my honey gak sampe masturbasikan?” “ Gaklah. Ngapain. Ih, jorok. Nafsu baget!” “ Berarti bukan candu.” Hendro menarik Farin dalam pelukannya. Kali ini Farin tidak bergelayut manja seperti biasanya, seperti tiap kali Hendro memeluknya. Farin terlalu serius dengan analisanya. Hendro mulai meluncurkan rudal kecupan mesra. Kecupan-kecupan kecil yang lembut itu akhirnya berbalas. Farin menatap Hendro. Orang yang kucintai. Kenapa akhirnya aku membalas dan menikmati kecupannya? Belaiannya? Penjelajahannya ke tubuhku? Seperti inikah rasanya? Inikah kenikamatan yang selama ini kucari ? 131
Kenapa gerakan simultan ini membawa kenikmatan? Seperti apa rasanya? Seperti inikah? Inikah? Inikah? Hendro membaringkan tubuhnya di sebelah Farin. Hendro mengecup mesra. Ditariknya Farin ke dalam pelukannya. Apa yang kurasakan kemarin-kemarin di stiap akhir kemesraan? Farin seolah-olah lupa dengan hari-harinya yang lalu. Dipandanginya mata yang telah terpejam menuju lelap itu. Dengan tatapan heran, dibelainya wajah kekasih hatinya dengan lembut. Aku memang gak masturbasi stiap menginginkan ini saat kau tak ada. Tapi aku tau dengan pasti kita tidak boleh. Bukan hanya karna aku bukan istrimu, mas. Kau, suami orang lain. Rasa frustasi itu semakin membuncah dalam dada Farin. Apa ini tidak cukup bukti kalo candu? Desahnya pelan. Farin mengecup bibir Hendro lembut. Kenapa aku malah menciumnya?? Padahal aku mrasa salah?? Gimana aku bisa menyukai kecupan ini? Farin mengecup semakin lembut. Bagaimana semua bisa trasa nikmat dan malah smakin lembut tak terhentikan? Kali ini kecupan itu disertai belaian. Kenapa aku terus melakukan meski aku tahu dia sudah beristri? Berjuta keheranan hinggap dikepalaku??! Semakin lama frustasi itu melilit erat di dada Farin, semakin mesra kecupannya. Kenapa bisa begini? Farin terus 132
menjelajah. Kenapa aku bisa terus mencium sementara aku resah? Kenapa aku bisa semakin mesra padahal aku galau? Kecupan-kecupan mesra itu membangunkan sang pujangga. Hendro tersenyum. Dibelainya pipi Farin. Direguknya kenikmatan itu tanpa menawar. Kenapa aku mendekatkan bibirku ketika menatapnya, padahal otakku berjuta tanya. Kenapa aku bisa bermata mesra? Padahal aku punya berjuta galau? Apa yang akan kurasakan besok pagi ketika bangun? Tanya itu adalah pertanyaan akhir, hanya sesaat ketika menuju lelap. Malas sebesar beruang grizzly menerkam Farin begitu dia membuka mata. Tak ditemukannya Hendro di sebelahnya.
Kata-kata
bodoh
yang
dilontarkan
Aris
terngiang-ngiang di telinganya. Aku bodoh. Bodoh adalah kegagalan proses internalisasi ilmu. Berarti tak terlihat eksistensinya. Aku bodoh? Orang bodoh nglakukan sesuatu yang dia tau gak baik. Farin baru selesai mandi ketika Hendro mengganti seprei dan selimut, kemudian sebelum membawanya keluar, Hendro mencium Farin mesra. “ Morning, honey. You look beatuiful and fresh.” 133
Apa yang kurasakan ketika dia menciumku? Farin mencoba mencari. Yang ditemukannya hanya punggung Hendro yang semakin menjauh. Farin menemukan meja makan yang telah penuh dengan hidangan. Farin duduk. Dan segera saja Hendro membawakan piring dan sendok. “ Sarapan dulu, honey.” Hendro mencium rambut Farin.” Mau pake apa?” “ Mmmm...” Farin
mencoba memaksa dirinya
bersemangat. Tak ingin mengecewakan kekasihnya.” Apa ya... Nasi gorengnya menggoda, tapi dah tadi malam kepinginnya “ Hendro menyalakan tv. ”
Jamie
Cullum.
I
like
it.”
Farin
tersenyum.Menggoyangkan pundaknya sebentar. Hendro mencium rambut Farin untuk yang kali kedua. “ Hmmm....wangi.” Hendro tidak hanya berhenti di situ saja, setelah rambut, kini Hendro mencium pipi Farin.” Tadi mas pesan pizza buat nanti siang.”
134
“ Kan masih ada sup jagung manis? Pagi ini aku makan nasi goreng aja sama orak-arik telur.” “ Kalo ramekan tambah seru.” Hendro tahu Farin suka banyak pilihan ketika makan, tidak hanya satu menu sehari. Selain itu prosi yang akan dinikamti Farin dari setiap sajian juga hanya sedikit. Karena itu, semua pilihan menu dihidangkan dalam satu porsi kecil.” Kalo honey nasi goreng, mas supnya. Ntar kalo pengen mas masakan lagi.” “ Lho, emangnya mas sampe jam berapa di sini?” Farin heran. Biasanya minggu siang Hendro sudah kembali ke Surabaya. “ Mas, pulang besok pagi aja.” “ Kenapa?” Farin tambah heran. “ Pengen lebih lama lagi sama my honey.” Hendro menatap lekat penuh sayang.” Masak Cuma semalam?” Goda Hendro. Farin membalas menatap.” Mas Hendro….Ada yang dikhawatirkan sama aku?” 135
“ Jujur ya. Makan dulu ya.” Hendro menyuapkan sup jagung manis buatannya ke mulut Farin.” Enak?” “ Delicious as ussual.” Farin tersenyum. Tak sengaja Farin melirik ke kursi kosong di sebelah kanannya. Spontan Farin tersenyum. “ Apa?” “ Tuh” Farin menunjuk dengan sendoknya. Hendro hanya tersenyum kecil.” Kalo makannya habis baru mas kasih tau.” Farin menatap jengkel.” Ah, mas ini ada-ada aja deh. Aku gak pernah, gak pernah males makan ato lupa makan kalo gak ada mas Hendro.” Kecuali sekali, bisik Farin pada dirinya sendiri. “ Ya. Mas percaya. Farin itu cerdas dan dewasa.” Senyum kecil itu berubah menjadi seringai menggoda.” Dan mas sangat bangga, karena my honey, saking sayangnya sama mas sampe jadi males makan kalo pas ketemu.”
136
“ Ge-er” Farin tersenyum. Kemana seribu tanyaku? Pikir Farin heran. Begitu selesai makan. Hendro segera membereskan semuanya.” Gak boleh dibuka dulu lho.” Caranya mengingatkan
seperti
seorang
ayah
yang
sedang
mengingatkan anak perempuan kecilnya agar tidak pergi jauh darinya. “ Iya. Iya.” Farin membalas tak kalah manjanya. Manusia. Betapa mengherankan ia? Sejenak bertanya. Sejenak keheranan. Tak menunggu berhari-hari, pikir Farin. Memikirkan banyak hal adalah hobi yang paling sering dilakukan Farin. Hanya saja apa yang dipikirkannya akhirakhir ini adalah hal-hal yang sebenarnya bukan benar-benar hal baru. Hanya terlalu lama tidak dibicarakan dengan dirinya sendiri. Tidak diperhatikan. Tidak tereksplor dengan baik. Begitu selesai mencuci peralatan dan membersihkan meja makan, Hendro berkata denga riang.” Monggo dibuka.” Seperti anak kecil yang kegirangan mendapatkan yang diinginkannya, Farin bergegas membuka tas plastik 137
yang tadi digelatakkan di kursi makan. Farin tersenyum lebar ketika melihat satu-persatu isi tas platik itu dikeluarkan. Hendro mendekat, memeluknya dari belakang.” Baguskan?” Mata Farin berbinar.” Bagus banget, mas.” Farin memegang kardigan blue navy.” Ada dalemannya juga lagi. Beli dimana? Buku ini juga bagus. Langka. Seni Komunikasi Peradaban Jawa Kuno. Literatur seperti ini kan jaarang skali. Langka .” Farin mengecup bibir Hendro. Tidak pernah ada hal yang paling diinginkan Hendro kecuali melihat Farin seperti ini. Tidak meski kepada istrinya. Yang paling mengherankan buat Hendro bahwa kemesraan yang selama lima tahun didapatnya bersama Farin bukan karena usaha, tapi karena kenikmatan yang mengalir begitu saja. “ This makes me go high” Bisik Hendro mesra. Bak hujan yang tak mungkin dihindarkan ketika mega mendung bergelayut begitu manja pada awan biru, kemesraan demi kemesraan terangkai penuh gairah. Mereka sedang berada di atas Semeru, hampir menyentuh langit, 138
ketika terdengar suara seseorang mengucapkan salam. Mbak Estu. Keduanya tertawa penuh kepuasan. Hendro bergegas turun dan mengunci pintu perlahan. Farin menatap tubuh telanjang itu. Hanya sebuah tulang yang dibalut dengan daging. Dari mana datangnya kepuasan tadi? Farin tersentak ketika semua tanya hadir. Dan bahkan akupun berhenti berfikir. Kenapa? Kenapa? Akhirnya Hendro pulang bersama mbak Estu siang itu setelah dipaksa Farin pulang. Alasan Farin simpel. Pulang sesuai jadwal untuk melukis kewajaran. Akhirnya Hendro menurut. Setelah menunggu mbak Estu yang setiap sabtu datang jam 9.30- karena anaknya yang masih TK harus ditungguinya, mengingat jarak masuk kelas dan keluarnya hanya satu jam setiap Sabtu – selesasi dengan pekerjaannya. Hendro mengeluarkan CRV hitam dari halaman rumah Farin. Farin melambaikan tangan seperti biasa. Tersenyum selebar mungkin yang dia bisa. Sebuah senyum yang dipaksakan hadir dalam perpisahan itu. Farin menunggu hingga mobil CRV itu menghilang dari pandangannya. Farin membayangkan akan ada berjutajuta pesawat terbang masuk ke dalam lubang-lubang otak 139
Farin. Tiap pesawat menjatuhkan satu bahkan beberapa rudal-rudal pertanyaan sekaligus. Semakin lama pesawatpesawat itu semakin banyak dan cepat mengeluarkan, menjatuhkan, tidak lagi satu pertanyaan, tapi sekaligus beberapa
rudal
pertanyaan
di
waktu
bersamaan.
Membayangkannya saja sudah lelah. Farin berusaha mencari ide untuk mensabotase pangkalan pesawat terbang tanya yang bermarkas tepat di otaknya. Basket? Males. Sprinter juga males. Masak? Sudah ada pizza. Apa yang dikatakan mas Hendro itu benar, bagaimana mungkin aku bisa berubah jadi otak udang ketika aku bersama mas Hendro? Biasanya makan apa saja mau. Biasanya selalu makan tanpa masalah. Mood gak mood. Selalu makan. Bagaimana bisa? Apa aku berpura-pura? Tidak! Semua terjadi begitu saja? Sebelum
semua
pesawat
terbang
lainnya
menghujamkan tembakan rudal-rudal tanya yang tak diinginkannya, Farin segera menyalakan tv. Mencari Chibi Maruko Chan kesukaannya untuk membuat dirinya tertawa. Apa yang mampu dilakukan sebuah film dalam sebuah peperangan? Tentu saja tidak lain tidak bukan adalah terus 140
berjalan, terus berputar ditengah-tengah peperangan yang tengah terjadi. Tergolong
candu
kalo
reaksinya
berlebihan,
mengerikan. Aku tidak berlebihan. Aku tidak mengerikan. Aku bersikap wajar. Aku menunggu mas Hendro. Selalu menunggu. Aku gak ngapa-ngapain. Orang kecanduan, orang yang gak bisa menginternasilisasikan pengetahuannya. Sama dengan tidak ada eksistensi pengetahuan dalam orang itu. Berarti apa yang diperolehnya selama ini adalah sisa-sia. Adalah bodoh. Kebodohan. Aku berilmu. Smua ilmuku terinternalisasi. Clotche makes the man. Smart. Reading. Attitude. Charming. SpotLang. The Most Impressive Thesis of The Year. Rumah ini. Pola makan. Basket. Sprinter. Kebaikanku pada mbak Estu, ketulusan, friends. Mas Hendro..... Farin menolak mentah-mentah sebuah gagasan baru yang terlontar dari otaknya sendiri. Alih-alih, Farin melewati waktu untuk melihat kembali pertemuannya dengan Hendro. Lima tahun yang lalu, ketika dirinya masih mahasiswa baru di tahun pertamanya di kampus, Farin untuk pertama kalinya menggunakan fasilitas atm yang ada di kampusnya. Saat itulah pertama kali Farin bertemu Hendro. 141
Hendro sedang ngobrol dengan seorang wanita cantik yang Farin perkirakan seusia dengan Hendro.
Penilaian,
ketertarikan, kekaguman telah hadir sejak awal. Tapi tentu saja, Farin memutuskan hanya sampai disitu menyiksa dirinya sendiri. Farin bukan pecinta. Belum pernah dia menginjinkan seseorang menyemai bunga cinta di hatinya. Ditambah lagi, mereka adalah dua orang asing. Beberapa minggu setelah Farin menyelesaikan masa ospeknya, Farin bertemu lagi dengan Hendro. Kali ini mereka bertemu di lapangn basket kampus. Lelaki dengan celana sport selutut dan kaos dobel, berpostur langsing tegap, berkulit coklat cerah dengan tinggi rata-rata lelaki Indonesia, basah oleh keringat. Farin menyapa Sapto; ketua SpotLang saat itu, kedua mata Farin dan Hendro bertemu untuk pertama kali. Biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Bahkan Farin berfikir bahwa lelaki itu tidak pernah ingat kalau mereka pernah bertemu. Ternyata dugaan Farin keliru, setelah pertemuan yang kelima; yang sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya : tak disengaja, tanpa kata, dan hanya sekali melihat, mereka bertemu kembali di atm. Hendro menyapanya berbincang dengan sederhana, sesederhana 142
pakainnya. Ternyata Hendro ingat kalau mereka ketemu pertama kali di atm itu. Waktu itu Hendro bilang kalau dia mau membelikan istrinya keripik sebagai oleh-oleh. Karena itulah Hendro ada di atm siang itu. Farin sempat kecewa dan lega saat mendengar kata istri. Pertemuan dan obrolanobrolan berikutnya tak membuatnya heran waktu itu, bagaimana mereka menjadi semakin akrab, hangat dan mesra. Seolah saling mengerti mereka menikamti kedekatan itu. Genap sebulan; menurut Hendro waktu itu, bukan waktu yang mustahil dan ajaib untuk tumbuh keyakinan pada sesuatu, semuanya bisa terjadi, Hendro menyatakan perasaannya bukan gurauan, bukan cinta monyet, bukan cinta sesaat, tidak dipenuhi janji-janji cinta. Farin memilih untuk menikmati meski waktu itu dan selama mereka menjali hubungan Farin tak pernah menyatakan cinta. Setelah malam penuh cinta tanpa penyesalan, Hendro membelikan; lebih tepatnya membangunkan rumah yang ditempati Farin sekarang sebagai persembahan cinta. Mereka bertemu di akhir pekan; kamis malam Hendro sudah berada duduk di sofa empuk depan kamar Farin. Menikmati kemesraan demi kemesran yang hanya mereka nikmati berdua. Pekerjaan dan kedatangan istri Hendro yang sedang 143
off duty seminggu atau lebih dari tugasnya sebagai pramugari cantik kelas atas sebuah perusahaan penerbangan asing milik Britania Raya adalah satu-satunya alasan ketidakhadiran kemesraan di dalam rumah Farin. Semua baik-baik saja. Keluarganya tak pernah tahu hubungan
mereka.
Keluarga
Farin
tak
pernah
mempermasalahkan ketidakberadaan seorang lelaki dalam kehidupan putri mereka, bagi mereka prestasi akademik dan prestasi kehidupan lainnya adalah yang terpenting. Farin juga mampu meyakinkan kedua orang tuanya tentang rumah yang dimilikinya. Farin hanya meminta orang tuanya percaya bahwa rumah itu diperolehnya dengan cara yang baik. Tak ada hujan yang tak berhenti. Tak ada rasa ingin tahu yang tak padam. Dengan berjalannya waktu, keingintahuan orangtua Farinpun hilang. Memilih percaya merupakan keputusan yang dipilih daripada mengobarkan api dalam sekam, begitu pikir ayah Farin yang seorang pengusaha kelas menengah yang memiliki pabrik kain di Bali. Sementara
keluarga
Hendro
tak
pernah
menanyakan, mempermasalahkan kepergian Hendro ke Malang tiap kamis malam atau jum‟at. Keluarganya memaklumi 144
kesepian
yang
dirasakan
Hendro
karna
ketiadaan istri disamping Hendro. Selain itu menurut Farin mungkin itu juga merupakan bentuk rasa bersalah keluarganya yang mendorong Hendro untuk menikahi kekasih yang sekarang menjadi istrinya itu. Hendro mencintai wanita itu, dia ingin jika mereka menikah nanti, istrinya berhenti dari pekerjaannya sekarang dan memulai pekerjaan berbasis rumah agar bisa menikmati kehidupan suami-istri yang wajar. Dan kelak jika mereka memiliki anak, Hendro ingin istrinya selalu ada untuk anak-anak mereka. Sayang, permintaan Hendro tak dihiraukan. Akhirnya Hendro memilih mengakiri kisah mereka. Sayang pula, orangtua Hendro terlanjur menyukai gadis itu.
Mereka terus mendorong Hendro untuk
memperbaiki tali kasih yang telah putus. Akhirnya Hendro memilih mengalah pada orangtuanya. Tak ada alasan lain dari sikap mengalahnya itu kecuali ingin membahagiakan orang tuanya. Sayang di tengah jalan, Hendro kehilangan tujuan dan semangat. Semuanya – pernikahan Hendro dan hubungan Farin Hendro berjalan indah. Tak ada sekalipun pertengkaran antara Hendro dan istrinya. Keindahan lainnya adalah tak ada seorangpun yang Farin dan Hendro kenal menanyakan
kedekatan
hubungan
mereka,
tak
ada 145
kehamilan, tak ada kemesraan yang berubah dari Hendro. Apakah semua akan brubah hanya karena diskusi kecil tentang candu? Heran Farin. Aku ingin hidupku baik-baik saja. Aku ingin yang terbaik dalam hidupku. Sama seperti orang lain. Aku dapatkan semua yang kuinginkan. Apa yang salah menjadi candu? Aku ingin selalu menjadi orang yang berfikiran clear. Tegas. Lugas. Aku selalu ingin menunjukan eksistensi pengetahuanku. Apa semuanya terinternalisasi? Ada yang gak. Aku tau penyeimbang hidup adalah teman. Aku punya banyak teman, tapi aku jarang hanging out bareng mereka. Sesekali. Jika perlu. Kalo pake standar umum, aku memang masih kurang. Aku berkumpul cuma di acara, jarang di rumah-rumah, di kamar-kamar, apalagi di mal, di cafe ato tempat wisata. Tapi kurasa itu no prbolem. Aku makan di meja makan. Aku gosok gigi sebelum tidur. Aku lebih sering tidak makan sambil berdiri. Apa hanya karna satu kesalahan kecil....? Apa kesalahan kecil?? Tidak, tidak, bukan. Apa hanya karna satu hal saja, satu hal yang tidak kuinternalisasi aku brubah jadi monster yang membenci kehidupannya sendiri? Yang merasa masih belum sempurna? Aku tidak kecanduan alkohol ato 146
apa! Wajar manusia punya kekurangan. Apa yang salah dengan kecanduan cinta? Apa yang salah dengan kecanduan seks!!! Shit. Farin mengurut keningnya yang sakit. Matanya teras berat. Tidak ada yang salah, tapi ada yang salah. Sekarang Farin memijit-mijat bagian tengah keningnya. Aku gak kecanduan seks! Aku kecanduan mikir! Tepat saat Farin mendoktrin otaknya, telfon wirelessnya berdering.
Second Mind Trick
Terdengar salam dari seberang sana.” Wa‟alaikum salam, mbak Estu. Ada apa?” “ Anu, mbak. tadi saya sebelum ke rumah mbak Farin, saya ke rumah mbak Jumaatin, ngambil Al Qur‟an. Anak saya yang SMP harus punya, yang kecil, yang ada terjemahannya. Alhamdulillah, dikasih sama mbak Jumaatin. 147
Saya cari di rumah ndak ada, mbak. Apa mungkin ketinggalan di sana.” Nada suaranya berusaha setenang mungkin. “ Warnanya apa, mbak?” “ Coklat gelap. Tulisannya warnanya ungu. Ada merahnya sedikit. Saya taroh kresek.” “ Dipake kapan, mbak?” Mbak Estu tertawa.” Besok, mbak. Ma‟af ya mbak, merepotkan. Saya ndak maksud gitu. Maunya saya ke sana. Saya cari sendiri. Tapi saya masih repot sama anak-anak. Jadi… Ma‟af, merepotkan.” “ Gak pa-pa, Mbak” “
Nanti malam saya telfon lagi ya, mbak. Habis
isya. Kalo ketemu biar, mas yang ambil.” “ Kok habis isya? Gak keburu, mbak?” “ Biar ndak merepotkan, mbak. Ya, kalo ndak kebawa di mobilnya mas Hendro.” 148
“ Oiya ya,” Tidak terfikir oleh Farin.” Ya, deh. Nanti saya telfon kalo sudah ketemu ya, mbak” Farin mengucapkannya dengan lembut. Kelembutan harus dibalas kelembutan. Mata dibalas mata. Itu prinsip Farin. Setelah menjawab salam, Farin tidak langsung meletakkan wirelessnya. Dipakainya wireless itu untuk memijat keningnya yang masih mengkerut. Aku sibuk dengan pikiranku. Mbak Estu sibuk sama Qur‟annya. Pikiranku masalah besar buatku. Buat mbak Estu Qur‟an yang cuma seharga, paling berapa sih, gak sampe 100, bisa bikin mbak Estu khawatir. Sungguh menakjubkan dunia ini. Kasian mbak Estu. Aku cari sekarang. Farin mengawali pencariannya di dapur. Satu-satunya tempat yang pertama kali didatangi mbak Estu. Mbak Estu selalu meletakkan barang bawaannya di kursi makan atau di lantai sebelah dapur. Selanjutnya, Farin memutuskan untuk mencoba menanyakan hal tersebut ke Hendro. Apalagi, setelah Farin memperkirakan kemungkinan Hendro masih di jalan, Farin merasa tenang. Belum sampai rumah. Hendro tak pernah melarang Farin untuk menelfonnya ketika dirinya sedang di Surabaya, hanya saja setelah suatu hari Farin tak menemukan 149
nomer telfonnya dalam daftar kontak hp Hendro, Farin memutuskan untuk tidak menghubungi kecuali penting. Terlebih lagi, jika istrinya sedang dinas, keponakan Hendro, Risma; satu-satunya anak dari adik ayah Hendro yang selamat dari kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu kini tinggal bersama dengan keluarga besar Hendro, suka tidur di kamar Hendro, bersama Hendro. Hendro memilih tinggal serumah dengan orang tuanya. Daripada sepi tanpa istri. Meskipun telah hampir delapan tahun menikah; Hendro menikah muda, Hendro masih belum dikaruniai anak. Sesuatu yang disesali sekaligus disyukuri Hendro dan Farin. “ Ada apa, honey” Kata honey, membuat Farin yakin kalau Hendro memang masih di jalan. Sendirian. “ Sudah berhenti belum?” Ini juga bukti bahwa aku menginternalisasi ilmuku, pikir Farin.” Mbak Estu, barusan telfon. Ada kresek ketinggalan gak?” “ Sudah.” Hendro sudah menepi sejak dilihatnya nomor honeynya terpampang jelas di layar mobilenya.” Barang penting ya”
150
“ Ya. Kasian, mbak Estu. Gak bisa beli, dapat dikasih orang, eh hilang. Itu buat anaknya. Buat besok lagi.” “ Ya. uda belikan aja, honey. Kan masih sore. Coba kalo ada delivery order ya” “ Ya… Sudah belikan aja ya.” “ Dari toko, langsung diantar ke rumahnya ya. Atiati di jalan. Mmmuahh. Love you.” Hendro
tak
pernah
kehilangan
jiwa
ketika
mengatakan love you. Gimana mas Hendro bisa bertahan selama itu? Gimana mas Hendro bisa kasih yang terbaik untukku selama ini? Heran Farin. Tak mau berlama-lama dengan pikirannya, Farin bergegas mengganti baju dengan jeans dan kardigan baru yang dihadiahkan Hendro tadi pagi. Farin menatap takjub kardigan yang dipakainya. Bagaimana bisa yang seperti ini disebut kardigan, yang lainnya disebut sweeter? Lagi-lagi Farin heran. Setelah memakirkan vario ungunya; yang didapat Farin dengan menjual motor lama pemberian ayahnya 151
ditambah dengan bantuan dari Hendro, dimasukinya toko buku yang berpusat di tengah kota Malang itu. Farin malas mencari rak untuk Al Qur‟an. Akhirnya dia bertanya pada pelayan perempuan tinggi yang berwajah tirus. Tentu saja, sudut ini hampir tidak pernah dilewati Farin ketika datang ke toko itu. Entah dari mana datangnya, Farin merasa kikuk dan grogi saat mulai berada di bagian yang dicarinya. Shit, kenapa aku gak tanya penerbitnya saja! Maki Farin pada dirinya sendiri. Marah memang masih dilakukan oleh Farin. Tapi menggunkan kata-kata umpatan kasar adalah hal yang sangat tidak disukainya. Farin berusaha dengan cepat mencari Al Qur‟an berwarna coklat gelap. Itu dia. Ukurannya lebih kecil sedikit dari Al Qur‟an di sebelahnya. Ada dua Al Qur‟an berwarna sama, modelnya berbeda. Mencarikan Al Qur‟an persis seperti yang diberikan mbak Jumaatin pada mbak Estu adalah keinginan Farin agar mbak Estu mengira itu adalah Al Qur‟an yang sama yang diberikan mbak Jumaatin. Supaya kebaikannya tidak mencolok. Ini berarti Farin harus membuka bagian dalamnya. Mecari warna ungu dan sedikit merah dibagian yang lain.
152
Dengan berat hati Farin membuka sekedarnya. Matanya tertuju pada angka 3 dan tulisan di sebelahnya. Begitu cepat proses scanning yang dilakukan Farin. Lebih cepat dari yang disadari dan tak diharapkannya. Farin menyimpan dalam-dalam data yang baru saja diperohnya. Tidak
satupun
keluar
dari
gudang
memori
jangka
panjangnya, ya di sana, Farin ingin menyimpannya, di bagian paling bawah, terbawah. Satu-satunya yang ingin diingat oleh Farin bahwa bagian dalam Al Qur‟an itu berwarna ungu, sepertinya juga ada bagian berwarna merah. Apa yang baru dibacanya tanpa keinginan dan perencanaan tidak ingin diingatnya. Farin berjalan menuju kasir. Gudang penyimpanan memori Farin seperti sebuah peti kayu besar kuno; bergembok besar, kuat dan berlapislapis, di dalam lantai bawah tanah yang gelap di sebuah kastil. Kotak kayu itu bergerak-gerak. Ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu itu terus bergerak. Beberapa pengawal yang bertugas menjaga peti itupun sampai khawatir, sehingga mereka bergegas menduduki peti itu agar sesuatu yang ada di dalamnya berhenti bergerak dan tidak sampai keluar. Seperti itulah yang dialami Farin sepanjang perjalanan ke rumah mbak Estu, sepanjang perjalanan rumahnya. 153
Tak ingin menghadapi peti kayu yang terus bergerak mencoba memecahkan dirinya sendiri agar sesuatu itu bisa keluar, akhirnya Farin melakukan hal yang sangat jarang dilakukannya. Jalan-jalan di mal. Farin juga menambahkan menu asing di acaranya yang asing itu : nonton film di bioskop. Farin tidak benar-benar bermaksud menikmati film tersebut. Farin hanya ingin tidak sendiri. Sebuah tipu muslihat yang banyak dipakai orang. Farin menyadari itu. Farin beruntung, gerombolan cewek yang duduk di sebelah Farin
tak
pernah
berhenti
berkomentar.
Tentu
menyenangkan untuk didengarkan, disimak, dinilai, jika kau tak sedang bersungguh-sungguh, pikir Farin. Farin berjalan ke tempat parkir dengan lesu. Tak ada yang menarik dari film tadi. Judulnya apa, juga gak kuperhatikan. Tentu saja tak ada sesuatupun yang menarik, karena Farin sibuk memberikan perhatia padan “ film” yang terjadi tepat di sebelahku. Farin menyerahkan STNK dan kartu parkirrnya. Selese, dibuang. Padahal ada berapa ratus motor dalam sehari? Bayangkan kartu karcisnya sepanjang ini. Benar154
benar pemborosan. Kurasa sebaiknya mereka menggunakan kartu permanen seperti yang dibuat para tukang parkir jalanan. Lebih hemat. Lebih ramah lingkungan. Prestis tak akan pernah dikejar bagi orang yang eksistensi ilmunya jelas dan nyata dalam kehidupannya, gerutu otak Farin. Orang berilmu mengejar kehormatan, harga diri dalam konteks yang benar. Peti kayu besar dalam gudang bawah tanah istana memory storage Farin bergetar perlahan. Jangan! Semua butuh bukti. Karcis adalah bukti kebenaran kepemilikan yang didukung dengan STNK. Kecanduanku juga harus dibuktikan. Ya. aku harus memberi perlakuan, untukku. Dengan puas Farin melaju tenang menuju rumahnya. Peti kayu besar itupun menurut pada majikannya, diam tanpa perlawanan. Farin menyiapkan makan malamnya dengan santai. Kali ini Farin tidak lupa memasukkan garam ke dalam spagetinya. Farin menikmati spageti di meja makan sambil menonton opera alam yang tersaji indah di halaman sebelah; siluet-siluet taman yang dihasilkan dari tata cahaya yang sempurna. Bukti kepiawaian sang maestro, Hendro. Selesai dengan spahetinya, Farin mematikan lampu dapur. Tidak 155
seperti malam sebelumnya. Dinyalakannya tv, dinikmatinya acara di channel berita lokal yang biasa ditontonnya. Diambilnya buku yang tadi pagi diberikan Hendro. Sesekali dibacanya buku itu untuk menunggu jeda iklan. Farin terkejut ketika menemukan angka 23. 17 di meja kerjanya. Waw. Running fast. Time is my friend today. Dikeluarkannya hp dari tas manik-manik kecil; pemberian temannya yang berasal dari Kalimantan. Moga-moga segera bunyi harap Farin. Farin tersenyum ketika hp itu berbunyi tak berapa lama kemudian. Sebenarnya Hendro tidak berjanji untuk menelponnya. Menurut Farin kedekatan yang terjalin begitu lama, menumbukan ikatan pengertian yang begitu dalam, tak terbatas oleh ruang dan waktu menumbuhkan kemampuan saling merasakan. Begitu kata Farin suatu hari pada Hendro. “ Lagi baca buku yang tadi pagi?” Tebak Hendro yang tentu saja sudah mengenal dengan baik kebiasaan kekasihnya. Hendro juga yakin kalau kardigan yang tadi pagipun juga sudah dipakai tanpa dicuci terlebih dahulu. Yang terakhir ini menurut Hendro tidak baik. Tapi Farin tidak mendengarkan. 156
“ Pintar!” Saking bahagianya Farin tertawa riang. “ So happy. Hope something nice happen.” “ Ya. something nice happen, tapi nice buatku, setidaknya untuk sekarang, untuk awalnya. Tapi gak nice buat mas Hendro.” Intonasi Farin penuh dengan kemanjaan. “ O o, what‟s that? Mudah-mudahan gak too bad, honey” Hendro mencoba menunjukkan kecemasan dalam suaranya. “ Bisa kok. Dijamin.” Farin penuh keyakinan.” Apa yang paling penting dari satu jawaban?” “Mmmm...kevalidan?” “ 100. Trus apa yang paling penting dari kevalidan?” Hendro tertawa kecil mengikuti permainan Farin dengan baik seperti biasa.” Data?” Hendro mengulur waktu. “ 200.” Farinpun tak kalah bersemangat dalam permainan kali ini.” Oke... Skarang. Apa yang HARUS diperhatikan dari data?” 157
“ Kevalidan” jawab Hendro polos. “ Ah, mas Hendro nih!” Farin terdengar sebal. Sebuah kemenangan bagi Hendro. Dia tertawa. “ Lho kan betul” Tak mau kalah Farin segera melanjutkan.” Oke, data yang valid itu harus....apa?” “ Data yang valid itu harus....realible...” Farin memotong kalimat Hendro.” Nah, biar realible berartikan harus diberikan perlakuan. Perlakuan awal bisa berbeda dengan perlakuan kedua. Seenggak-enggknya kan kita harus ada perbandingan, meski satu aja.” “ Then....Apa yang akan kita realiblekan, honey?” “ Kecanduanku.” Hendro terkekeh.” Lho, mungkin buat mas aku gak, tapi aku sendiri gak yakin. Jadi ini penting, mas.” “ Oke. Kalimat pembukanya memang bener 1000 persen. Berat di mas. Tell me how?” Sebenarnya Hendro 158
sudah bisa menebak apa yang akan diusulkan Farin. Entahlah, sejak honey cerita tentang candu, definisi, prasangkanya. I just feel it. Keluh Hendro. Make me afraid. I don‟t wanna loose her. “ Break.” Farin mengatakannya dengan mantap. “ Ok. What‟s that?” “ Dua minggu aja. Gak usah ketemu.” “ No call juga?” Farin berfikir.” Perlu gak ya?” “ Yang dibuktikan itu candu apanya?” “ Seks?!” “ Jadi?” “ Iya. Masih bingung nih. Hmmmm .... Ntar bisa gak valid?!” “ Oke. Kita coba 3 days no call?” 159
“ Enggak deh.” Kening Farin masih berkerut tipis. Anehnya meskipun Farin sangat suka sekali berfikir, tak menjadikan ada satupun lukisan guratan dikening Farin.” Kalo aku dah yakin, ntar aku telfon.” Terdengar nada tidak yakin dalam suara Farin.” Berarti aku dah aman. Mas boleh nelfon. Janji lho! Gak ke sini! Gak boleh ke sini MESKIPUN AKU minta! Dua minggu.” “ Deal. “ Sebenarnya berat bagi Hendro. Hendro berharap mungkin Farin berubah pikiran di tengah jalan, sesuatu yang jarang dilakukan Farin. Jika Farin baru berubah pikiran minggu keduanya, Hendro tak bisa membayangkan kegemasan yang akan dialaminya setiap kali tak bisa bertemu Farin seperti biasanya. Pada minggu kedua itu, istrinya off duty. Kali ini untuk dua minggu. Namun, memberikan Farin apa yang diinginkannya adalah hal yang sangat penting dan seharusnya. Hendro tak ingin keegoisannya merusak. “ Trus kalo ada apa-apa gimana?” “ Tetep dua minggu. Kan aku tadi dah bilang.”
160
“ Oh iya. Jadi beneran nih ya. Kalo gitu mas offkan dulu aja ya nomer yang ini. Dua minggu. Jadi Honey gak bisa nelpon. Mas juga gak bisa nelpon.” “ Ah!!!! mas kan hafal nomerku.” Protes Farin. “ Apa ganti nomer untuk sementara?” “ Gak usah deh. Mas gak usah ganti nomer. Kalo ganti nomer kok kayaknya nipu diri sendiri ya. Gak trasa riil. Gak tau, aku ngrasanya gitu tuh.” “ Ya, udah. Gak perlu ganti nomer. Janji ditepati. Mas gak bakal angkat telfon my honey, kecuali setelah kode diberikan.”
Hendro
mengucapkannya
dengan
penuh
keyakinan. Farin sangat terkejut mendengar suara yang mantap itu. Terbersit prasangka dan kekhawatiran dalam hatinya.” Kok tumben, yakin banget si mas?” Prasangka dan kekhawatiran itu bukannya tanpa alasan. Seperti yang terjadi ketika mbak Estu tiba-tiba sudah ada di rumah Farin pagi-pagi sekali, atau ketika Hendro menjemputnya selesai acara sabtu malam kemarin tanpa 161
konfirmasi bukan hal yang sekali dua kali terjadi. Terlalu sering. Meskipun istrinya sedang off duty, Hendro tetap saja menyempatkan diri untuk datang meski hanya semalam. Farin tidak menyukai hal ini. Setidaknya itu yang dikatakannya pada Hendro. “ Lo, trus mesti gimana?” Goda Hendro “ Ya, gimana ya?” Farin juga bingung. Bukankah memang seharusnya begitu. Bukannya selama ini Farin ingin Hendro menepati peraturan yang mereka buat.” Iya. Ya. deal deh....” “ Kok lemes ?” Hendro tahu cara membangkitkan semangat untuk Farin.” Oh, iya. Honey tahu ndak, tadi mas daftar kursus masak lo...” “ Masak apa?” Meski antusiasme itu masih belum membara, Hendro sudah mendapatkan bibit antusiasme. “ Paru goreng kriuk-kriuk alias masakan padang.” Farin paling suka paru goreng untuk camilan. Farin tertawa heran penuh ketidakpercayaan.” Masak sih ada kursus masakan padang.....” 162
Sekarang bibit Hendro sudah berkembang menjadi tunas. Tak lama lagi akan tumbuh menjulang. Dilupakannya mendung bergelayut yang akan dihadapinya; 3 minggu penuh tanpa harapan bertemu, bahkan mungkin tidak sekalipun. Pagi itu Farin bangun dengan bunga-bunga bermekaran di sekitarnya. Bunga-bunga itu mengikutinya kemanapun dia pergi. Hangatnya sinar matahari menambah ceria bunga-bunga itu. Tentu saja bibir tipis merona merah muda sedikit keunguaan itu merekah. Tipis. Membentuk senyum yang bahkan tak disadari oleh Farin. Kakinya yang bergerak lincah, seolah ingin melompat ke san-kemari, bukan seperti ketika sedang melakukan sprinter, tapi seperti para penari balet yang dilihat Farin di tv, meloncat penuh keindahan. Hari pertama break time; begitu Farin menyebutnya, dipenuhi bunga-bunga semangat. Disapanya semua orang yang ditemui Farin di kampus dengan sopan dan riang. Proses mencetak majalahnya pun dianggap berjalan baik dan lancar oleh Farin. SpotLang mencetak sendiri majalahnya sejak Farin memimpin. Detil, kongkret dan continue adalah pengalaman yang tak terlupakan. Karena 163
itulah semua harus dihandle sendiri oleh SpotLang‟s Crew. Agar kelak saat mereka tlah menjadi alumni, maka aktivitas mereka di SpotLang benar-benar membawa manfaat yang riil untuk sekarang dan kedepan. Hari kedua break time, bunga-bunga semangat itu masih segar.
Distribusi Spotlang berjalan lancar seperti
biasa. Tidak ada yang spesial. Semuanya normal. Seperti ini ternyata kehidupanku yang kemarin. Aku baru ingat rasanya. Tenang sekali hidupaku. Kok bisa yang aku lupa dengan hari-hariku yag tlah lalu? Aku bukan pelupa, tapi aku bisa lupa. Apa memang begini alam bekerja? Gimana aku bisa asing dengan diriku sendiri? Apa aku sebenarnya makhluk asing? Sesuatu yang asing merasuk ke dalam tubuh, entahlah seseorang, benda asing di bumi? Selamat datang dalam ketidakmasuk akalan Farin! For the first time you‟re NUT. Masak sih? Mungki aja aku pernah NUT sebelumnya; peti besar itu bergoyang perlahan, sangat pelan, sayang sekali aku sudah lupa tu. Farin mengakhiri diskusi otak dan dirinya dengan menyapa Ika, pacar Samsul. “ Apa kabar, Ka?” Farin tersenyum ramah penuh keanggunan sambil menarik Ika ke sisi kanannya, sebelum akhirnya dia mencium pipi kanan Ika. 164
“ Baik, mbak.” Gadis itu berusaha tersenyum sebaik mungkin sebagai bentuk penghormatan, bukan untuk menutupi sesuatu yang sedang terjadi padanya. Ika setuju dengan pacaranya, Samsul, Farin mempunyai mata batin yang tajam. Percuma menutupi sesuatu padanya, begitu kata Samsul suatu hari. “ Bagus deh. Masih punya nomernya mbakkan?” “ Ya. Mbak. kenapa?” Nada lemas dalam suaranya perlahan keluar. “ Nggak. Kalo Ika butuh sesuatu, Ika bisa telfon ke hp ato ke nomer rumah mbak.” Farin mengucapkannya dengan santai.” Any time, mbak longgar kok.” “ Makasih, mbak.” Gelombang emosi itu tak tertahankan
lagi.
Sebelum
sedu
sedan
keluar
dari
persembunyian yang hampir ambruk itu, Ika memilih segera berlalu. Aku belum siap. Aku terlalu bingung.” Aku ke kelas dulu, ya mbak.” Mereka berciuman pipi. Farin memperhatikan tubuh langsing dengan rambut bergelombang yang dibiarkan 165
terurai itu berlalu. Ada rasa kasian menyeruak dalam hatinya. Ahh...cepat-cepat Farin memasukkan pikiran dibalik rasa kasian itu kedalam peti besar bergembok besar yang berada dalam lantai bawah tanah kastil memory storagenya. Nanti ketika kalau semua kembali seperti biasa, barulah kita benarbenar sadar akan keindahan kehidupan yang kita miliki. Kalo gak gitu kita gak akan menghargai apa yang kita punya. Farin melangkah mantap menuju ruang kuliahnya. Bayangan akan apa yang terjadi di jum‟at malam mulai terlintas dalam pikiran Farin sejak hari rabu. Ditepisnya jauh-jauh semua perkiraannya. Yang terjadi akan terjadi. Kenapa sih, aku harus membayangkannya lebih dulu? Smuakan nddak harus seperti yang kupikirkan. Jengkel Farin pada dirinya sendiri.
Aku jadi capek sama kebiasaan
analisaku. Sayang, satu mati tumbuh seribu. Hal itu terus berlanjut hingga hari kamis. I‟ve to do something. “ Ayo, mbak. ikut ke Sempu, ya.” Heru mengatakannya dengan penuh antusias “ Di sana gak ada air ya, Her?” Membayangkan kehidupan serba kekurangan, terutama kekurangan air, membuat Farin sama sekali tidak berminat ikut, meskipun 166
dia sedang mencari sesuatu untuk mengisi jum‟at pertama break timenya. Apalagi air. Makan sih gak keberatan, pikir Farin. “ Kita bawa kok, mbak.” “ Paling satu dirijen.” Sahut Samsul. Farin teringat pertemuan terakhirnya dengan Ika, kekasih Samsul. Ah, kayaknya momennya gak tepat deh kalo bicarakan somtheing not right dari ika, pikir Farin. “ Kalo mbak Farin ikut, satu dirijen khusus buat mbak Farin. Dirijen besar, mbak! Cukup buat dua hari.” “ Cukup buat dua hari, mandinya di laut” Olok Joko. Pengurus
SpotLang
kamis
pagi
itu
sedang
berkumpul menikmati evaluasi acara sabtu kemarin dan diskusi mingguan tentang buku yang sudah dibaca salah seorang pengurus yang sedang mendapat giliran untuk membaca dan mempresentasikan di depan pengurus lain. Sebuah rutinitas yang tak pernah tak dimake up jika jadwal 167
mereka sedang tidak klop. Kamis pagi adalah hari dimana semua pengurus sedang off class. “ Kenapa harus nginap, Her? Kenapa harus dua hari?‟ Heru terdiam, kaget. Seolah-olah yang selama ini dicarinya tlah ditemukan.” Kenapa nddak harus nginep, mbak Farin? Kalo sehari?” Pengurus yang lain tertawa. “ Banyak buaya, Her! Gimana sih, kamu!” Olok Samsul. “ Buaya?” Kening Heru berkerut. “ Waduh!! payah arek sitok iki!.” Yudhi terpingkalpingkal. “ Her, kalo nonton bioskop rame-rame sekelas, dua hari, tiga hari, seminggu. Semau kalian deh, nddak masalah Her.” Joko bersikap seperti seorang guru menasehati muridnya
168
“ Lha, iki ke pulau di tengah laut yanbg namanya Sempu dua hari, pake cewek!” Sahut Yudhi. Ketiganya tertawa. Farin hanya tersenyum. “ Mereka senior, Her. Seperti anjing herder pak polisi. Mereka terlatih mencium buaya ato nggak.” Heru masih juga gak ngerti penjelasan Farin ataupun yang lain.” Ke Sempu rame-rame, gak pa-pa. Tapi kalo nginep sampe dua hari lagi. Apa gak bakal repot? Di kelasnya Herukan cowoknya cuman berapa orang? Semester ato umur emang bukan tolak ukur mutlak untuk
ngliat pengalaman dan
tanggung jawab kalian. Tapi itu bisa dipertimbangkan, Her.” Farin menatap lembut namun tegas. “ Kamu perhatikan gak, gaya dandan teman-teman cewekmu?” tanya Joko “ Centil habis, man!” Sela Yudhi. “ Then...?” Heru belum menyelesaikan kalimatnya ketika ketiga lelaki senior itu tertawa terbaha-bahak. “ Then! Huebat!” Teriak Yudhi. Jarang-jarang Heru menggunakan bahasa inggris. 169
“ Then, mikir dong man! “ Samsul masih terkekeh.” Mbak Farin aja, mikir tentang air. Lah cewek-cewekmu itu apa bisa tahan sama satu dirijen?” “ La wong bikin tenda aja dijamin gak gablek kok. Apalagi eek di semak-semak belukar.” Yudhi mendramatisir kata di semak-semak belukarnya. Dengan polos Heru berkata.” Iya. Pas rapat, saya merasa ada yang salah. Tapi ndak tau apa. Ya, ternyata ini.” “ Wah, kayaknya mas Samsul ini ada yang nddak bener. Apa ya? Eh, celananya mlorot” Joko terpingkalpingkal oleh leluconnya sendiri hingga membungkuk memegangi perutnya. “ Gak terlambat kok kalo Heru mau nyoba. Coba aja dulu. Tanggung jawabnya besar lho” “ Tetep ke sana, tapi gak usah nginep.” Usul Yudhi “ Kalo jadi nginep, bawa ceweknya dikit aja!” Kata Samsul
170
“ Kapan-kapan ke sana lagi. Sama yang kemarin belum.” Joko melanjutkan. “ Kalo gak ya kalian bakal jadi baby sister. Kalo ceweknya kayak Linda, bawa semua gak masalah. Malah kita yang untung. “ Baru saja Samsul menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba Linda sudah berada tepat di belakang Samsul yang duduk membelakangi pintu masuk. ” Kalo gitu, ikutan kita aja ke bromo.” Linda tersenyum puas karena Samsul kaget bukan kepalang. Yang lain tertawa. “ Enggg! Bikin kaget aja!” Seandainya hari jum‟atnya aku ikut Heru ke sempu, bawa motor sendiri, sorenya pulang sendiri, mungkin akan membantu melewatkan malam panjang tanpa mas Hendro. Sabtu sorenya ikut Linda ke bromo, baru turun minggu sore. Bagus juga. Farin sedang mempertimbangkan. Senin sudah kembali dengan kesibukan kuliah dan lainnya. Akhirnya usul Heru diterima oleh teman-temannya. Hanya 10 teman perempuan Heru yang diijinkan ikut. 171
Sisanya akan dijadwalkan kemudian. Komposisi kelas Heru memang sangat tidak seimbang. Hanya ada lima laki-laki di sana. Begitu juga Farin, setelah dibujuk oleh Heru, akhirnya Farin memutuskan untuk menginap semalam ditenda mereka. Vario Farin dititipkan di rumah bapak penjaga pantai Sendang Biru. Esok paginya, meski dengan punggung dan pundak yang masih pegal, Farin bergegas mengambil Varionya di pos masuk. Kegiatan di luar ruangan bukan hal yang sering dilakukan Farin. Apalagi tidur di tenda beralas karpet plastik; yang membuat punggungnya masih bisa merasakan rumputrumput dan kerikil-kerikil yang menjadi tuan rumah di pulau Sempu yang berada ditengah pantai Sendang Biru yang terkenal di Malang, tanpa persiapan apapun, kecuali baju yang dipakainya dan tas kecil yang hanya berisi dompet dan hp. Entahlah, aku sepertinya tak punya alasan untuk menolak. Travelling juga bukan hobinya. Belum pernah Farin mengendarai sepeda motor varionya sejauh ini, apalagi dengan kondisi yang pegal, lelah dan belum sarapan, kurang lebih enam puluh dua kilo dari kota Malang plus medan bersisi teping dan jurang yang Farin tidak familiar selama
172
beberapa kilometer sebelum akhirnya mencapai jalan besar yang sudah tidak terlalu berkelok dan pendek kelokannya. Setelah berendam tak terlalu lama dengan air panas plus pijatan spesial mbak Estu, Farin menyiapkan semua yang diperlukan. Menyantap habis bubur gandum masakan mbak Estu, favorit Farin. Tak lama kemudian Linda sudah menjemputnya. Tak perlu menunggu lama semua orang yang berpartisipasi diacara pimpinan Linda datang tepat waktu. Sesuatu yang sangat membanggakan Farin. Didikan SpotLang terkenal difakultasnya sebagai anak yang disiplin dan mampu mengkondisikan kedisiplinan ke kegiatan yang sedang dihandle. Kali ini Farin beruntung tak perlu mengendarai varioinya sejauh setidakya 50an kilo. Farin tak bisa membayangkan jika itu harus terjadi. Minibus perjalanan Malang Bromo menyediakan tempat yang luas bagi 10 orang perempuan muda yang ada di dalamnya. Farin bersandar rileks di kursi paling belakang. Entah apa yang kulakukan. Sesuatu yang sangat di luar dugaan. Sesuatu yang sangat tidak biasa. Sesuatu yang memiliki sedikit manfaat. Siapa mereka, aku juga gak kenal. 173
Bukan berarti aku tidak bisa bergaul dengan baik. Tentu saja, orang asing atau yang tak terlalu dekat tak akan bisa memberikan rasa aman dan kedekatan. Tetep aja terasa asing. Sesuatu yang bukan pada tempatnya, tidak baik, yang tidak benar, tidak sesuai kebenaran, seperti sabun ditaruh di mata, seperti minyak tanah di bensin, pasti cuma ndatangkan kerugian. Kehampaan. Kesemuan. Kebodohan demi kebodohan kulakukan. Aku tahu ini pasti cuma sia-sia. Aku tahu pasti kalo peperangan itu seharusnya dihadapi. Aku malah lari. Lari dalam kesadaran. Kebodohan besar. Kesia-siaan. Ini tidak bisa mengusir mas Hendro dari pikiran, jiwa dan tubuhku. Malah ini mendatangkan pusing. Sesal. Prasaan bodoh. Bodoh! Gerutu otak Farin. Tidak ada yang sia-sia. Hanya sudut pandang yang berbeda. Aku salah dari awal karena aku pengennya menghindar. That‟it. Tujuan. Niat. Harusnya aku ikut karena aku pengen liat Bromo. Menikamati keindahan Bromo. Merasakan menjadi muda seperti Linda dan temantemannya. Gimana travelling. Gimana nginep di tenda. Gimana centilnya teman-teman Heru. Gimana cara Heru ngatasi teman-temannya. Coba liat. Pemandangan yang bagus. Aku ngalami petualangan bareng Linda dan temen174
temennya. Kesempatan besar jadi lebih dekat. Kesempatan besar mlihat bermacam watak. Kecerdasan bahasa tubuh adik-adik tingkatku. Mrasakan duduk di blakang sendirian. Senyum terkembang di bibir Farin. Kerut di keningnya juga sudah pergi tanpa pamit hingga matanya yang yang tadinya sempit karena keningnya mengkerut, sekarang semakin melebar seperti bunga yang mekar Senin. Farin berangkat kuliah dengan tubuh yang masih lelah. Diantara lelahnya Farin memuji waktu yang sedang memanjakannya. Berlalu dengan cepat dan dahsyat. Baru saja Farin memasuki gerbang kampus, Farin melihat Ika, pacar Samsul sedang berjalan. Farin menghentikan sepedanya
tepat di sebelah Ika. Gadis itu terkejut, tapi
kemudian tersenyum. “ Eh, mbak Farin.” Gadis itu tidak sama seperti yang dulu dikenalnya. Susunan wajahnya berubah. Leher dan pipinya agak sedikit lebih besar dari biasanya. “ Yuk.” Tanpa banyak bicara gadis itu segera menerima tawaran Farin. Duduk manis di belakang Farin. Tak ada percakapan. 175
“ Sudah, mbak, berhenti di sini aja. Makasih ya, mbak.” Mereka saling mencium pipi. “ Dijaga baik-baik ya.” Awalnya gadis itu terkejut, dia menatap Farin. Air matanya ingin berlari berhamburan. Ika menahannya “ Makasih, mbak.” Jawabnya parau. Farin mengunci mulut otaknya. Tak dibiarkannya sepatah katapun keluar dari mulut otaknya. Malam harinya, Farin memutuskan untuk berjalan kaki menuju warung Ijo yang agak jauh dari rumahnya. Lumayan membunuh waktu, pikir Farin. Warung Iijo terpilih bukan hanya karena jaraknya saja, namun juga karena rasanya. Bakminya enak. Sangat enak. Warung Ijo tidak terlalu ramai sampai berjubel. Meskipun dekat dengan daerah kost-kostan, warung Ijo bukan disetting untuk mahasiswa, tapi untuk umum, karena itu harganya pun bukan harga kantong mahasiswa. Posisi warung Ijo memang strategis, di pinggir jalan yang padat, dan tepat berada di depan toko L.A - Farin pernah dengar cerita dari sesorang L.A itu singkatan dari laris manis- yang yang terkenal dengan 176
harganya yang murah, yang tentu saja menjadikan mahasiswa ataupun masyarakat berdatangan ke sana. Malam itupun warung Ijo seperti malam-malam biasanya, hanya beberapa orang yang sedang asyik menikmati hidangan. Sayang meski begitu tak berarti Farin tak perlu menggu lama. Dua orang yang sedang duduk membaca koran yang disediakan itu ternyata masing-masing memesan jumlah lebih dari satu bungkus. Diliriknya jam dinding di atas sebuah jendela yang berfungsi sebagai kasir dan tempat memesan, 21.15. Sesuatu yang enak, baik, sehat memang lama, pikir Farin. Farin pernah berbincang dengan ibu muda pemilik warung itu, ibu muda itu mengatakan bahwa kelezatan di warungnya itu bukan karena penyedap, murni karena bumbu racikan mbahnya. Farin tersenyum dalam pikirnanya. Embah…Farin percaya
penjelasan
sang
pemilik
warung
karena
tenggorokannya tak pernah sakit setiap kali selesai menyantap habis bakmi warung Ijo. Jalanan sudah sepi. Terkadang hal seperti ini terjadi. Padahal masih jam 21.30. Biasanya masih banyak kendaraan lalu-lalang, pasangan-pasangan yang menikmati indahnya 177
malam, mahasiswa-mahasiswa yang menikmati keindaan mal, mahasiswa-mahasiswa yang pulang dari berburu makan malam. Mereka tidak ada di jalanan sekarang. Entahlah. Mungkin ini senin yang berat untuk mereka. Ato mungkin senin yang malas untuk mereka, pikir Farin. Tanpa awal, tanpa pemantik, tiba-tiba Farn teringat Ika yang tadi pagi ditemuinya. Farin sendiri heran dan takjub dengan kehebatan otaknya mengingat dan memilihkan bahan pembicaraan yang tidak menyenangkan sementara dirinya sedanng berjalan sendirian dalam sepi. Sial. Betapa beruntungnya aku. Lima tahunan, tanpa kehamilan. Tanpa ketahuan atau curiga dengan perubahan struktur wajah dan tubuhku. Harusnya mereka bicarakan konsekuensinya. Bukan mengejar kesenangan masingmasing. Kesenangan sesaat. Penyesalan adalah lintah perasaan yang akan menghisapmu dari awal sampai penghabisan. Menyedot seluruh tenaga. Mental, fisik. Sangsi sosialnya akan sangat berat. Bukan pada orang lain, tapi pada dirinya sendiri dan keluarga, orangtuanya, adik-kakaknya. Kemudian Farin teringat pikirannya sendiri ketika sedang berada di minibus yang sedang melaju menuju Bromo. Sesuatu yang bukan pada tempatnya, tidak baik, yang tidak 178
benar, tidak sesuai kebenaran, seperti sabun ditaruh di mata, seperti minyak tanah di bensin, pasti hanya mendatangkan kerugian. Kehampaan. Kesemuan. Bagaimana aku...Tiba-tiba peti besar di lantai bawah kastil memory storagenya bergetar hebat. Aku tak mau berfikir itu, aku gak mau. Farin
kehabisan
cara
untuk
menghentikan
penjelajahan otaknya yang luar biasa menjengkelkana malam itu. Farin berlari. Entah siapa yang menggagas itu. Farin juga tak tahu. Farin berlari begitu cepat. Kresek bakminya bergoyang mengikuti irama larinya. Bapak satpam penjaga perumahan kecil itu sedang jongkok memperbaiki kabel televisi di bawah meja ketika Farin berlari memasuki gerbang perumahan. Salah satu sisi pintu gerbangnya telah tertutup. Farin bersyukur untuk hal itu. Tak terbayangkan apa yang akan kukatakan sebagai alasan pada bapak satpam, kalau bapak satpam itu melihat aku berlari kesetanan seperti ini. Nafasnya yang terkejut dengan keputusan Farin untuk
berlari
kencang
Diperintahkannya dengan
berusaha
menyesuaikan
cepat agar
diri.
oksigen-oksigen
menempati posnya. Sayang dinginnya malam telah menjadi kabut. Oksigen-oksigen itu berlari bertabrakan. Mereka 179
berjatuhan kemudian bergegas berdiri dan berlari kembali untuk menempati pos mereka. Farin tersengal-sengal, terbatuk. Wajahnya merah. Tak didapatnya oksigen yang dibutuhkannya sesaat. Kakinya terasa panas luar biasa. Tangannya terkulai lemas di satu sisi sofa yang ditidurinya. Aku harus tidur. Aku harus tidur. Perintahnya pada otak yang tengah menikmati kesejukan yang dihasilkan oleh lompatan-lompatan cepatnya begitu Farin sampai di rumah. Farin memejamkan mata. Menikmati sensasi kesejukan yang dirasakannya di bagian dalam kepalanya. Farin tertidur. Farin bermimpi. Bermimpi bertemu kekasihnya. Mereka bercumbu mesra. Penuh hasrat. Mimpi penuh hasrat, kemesraan-kemesraan pasanganpasangan yang ditemui Farin di Bromo, adegan-adegan mesra penuh sensualitas yang ditemukannya di layar kaca membuat bunga-bunga hasrat bercumbu bemekaran di seluruh tubuhnya sepanjang sisa minggu. Bayang-bayang jawaban pertanyaan pun menemani dengan sabar. Keheranan Farin pada Hendro yang benar-benar tak menghubunginya meski hanya sekali, meski hanya sebentar, semakin membesar. Sudah hampir dua minggu besok, pikir Farin. Mas Hendro gak ada nelpon. Sial. Diliriknya jam. 180
21.07. Aku gak boleh menelpon. Gak. Aku gak boleh. Ayolah. Kenapa? Apa masalahnya? Untuk apa aku menelponnya? Sudah jam segini? Toh, masih butuh waktu, toh gak akan bisa segera! Tapi itu lebih baik daripada tersiksa begini. Kalo ternyata hilang? Kalo ternyata gak seperti sekarang lagi? Setidaknya kamu bertemu dengan orang yang kamu cintai! Orang yang kamu rindukan. It‟s not all about seks! Call him! Call him. Diraihnya wirelessnya dengan gelisah. Tidak...Bagaimana...Sebelum Farin selesai berfikir, tangannya bergerak memencet nomer hp Hendro. Sial, apa yang kulakukan? Terdengar nada sambung. Gimana kalo istrinya? Gimana kalo? Farin mematikan wirelessnya. Farin tenggelam dalam frustasinya. Astaga!! sial! Karena ini orang masturbarsi ato onani. Aku selalu heran kenapa mereka harus melakukan itu. Aku selalu merasa bisa mengendalikan
smuanya. Bahkan
tubuhku. Hasratku.
Ternyata sampai juga aka pada keadaan aku seperti kuda liar. Seperti orang kelaparan yang nekat mencuri bahkan membunuh. Shit! Farin hanya duduk di sana. Berjalan ke sana kemari tak ada gunanya pikirnya. That‟s it. Pikiran jernih. Tak ada gunanya. Bagus itu. Ayo Farin! Think! Think! Think! 181
Farin menatap kosong layar tvnya yang indah. Hingga tengah malam, Farin tetap tak bergeming di sana. Tak hanya matanya yang kosong. Jiwanya juga melompong. Lirih, Farin seolah mendengar pintu gerbang dibuka. Ah, bukan. Hebatnya aku berfantasi. Jengkel Farin pada diri sendiri. Kalo toh mas Hendro datang aku tidak akan bertingkah seperti kuda liar. Seperti orang kelaparan. Tidak! Kali ini Farin mendengar bunyi gemerincing dari hiasan di lorong penghubung ruang tamu dan ruang dalam. Dadanya berdegup. Nggak, nggak boleh kayak kuda liar! Farin menoleh. Hendro berdiri di sana. Dia tersenyum. Dibukanya jaket hitam kulit yang gagah perkasa itu.. “ Kok gak bilang-bilang si?” Bunga-bunga birahinya bermekaran semakin cepat dalam darahnya menghasilkan suara binal yang tak dikenalinya. Nggak! Nggak boleh kayak kuda liar! Farin berdiri tersenyum menyambut kekasihnya. “ Surprise!” Hendro meletakkan jaket kulitnya di pinggiran sofa. Kemudian dia mencium rambut Farin. Matanya berbinar. Ditahannya agar binar itu tak berubah menjadi cahaya matahari yang menyilaukan.
182
Farin tersenyum. Diciumnya tepian bibir Hendro. “ Sorry ya.” Suara itu juga masih tak dikenalinya. “ That‟s okay.” Gak boleh! Farin berdiri.” Mau minum apa?” Farin melangkah tersipu menuju dapur. Hendro tersenyum melihat tingkah kekasih hatinya yang baru pertama kali dilihatnya. Hendro berdiri mengikuti kemana kaki Farin melangkah. Hendro merasa lega. Aku tidak akan kehilangan. “ Apa aja boleh.” Hendro mengamati Farin dengan penuh kerinduan. Kerinduan yang sangat. Hampir dua minggu Hendro tak bertemu. Bukan dua minggu yang cepat dan mudah. Penuh frustasi yang tak terluapkan. Mengingat tanggungjawabnya pada pekerjaan, keluarga dan istrinya yang datang sejak kamis sore kemarin. Tak dilewatkan kesempatan kecil yang didapat Hendro saat Farin menghubunginya dari nomer rumah. Cuman tebakan it‟s her. Memang tidak seperti yang disepakati, belum tepat dua minggu, masih mau dan belum 183
benar-benar menjadikan
mendengar Hendro
suaranya..But…but….Tak
mengurungkan
kenekatannya
meninggalkan istrinya yang terlelap sejak jam 8 tadi karena kelelahan bermain badminton bersama Hendro di sepanjang sore tadi. Aku masih punya beberap jam sebelum As bangun. Farin membuka kulkas dengan gugup. Entah apa yang harus diberikannya pada kekasihnya. Dengan asal Farin mengambilkan sekotak juice. “ Ni.” Hendro menatapnya mesra. Kerinduan yang tak bisa disembunyikan. Dia menerima kotak es juice dengan lembut. Entahlah, kenapa tak ada kata yang keluar. Farin menggigit bibirnya. Sial. Farin tersenyum malu.” Gak kangen?” Hendro hanya menatapnya sambil tersenyum. Kekasihku. Betapa cantiknya dirimu. Mempesonanya. Semuanya. Bukan hanya wajahmua. Bukan hanya tubuhmu. Sihir apa ini? Hendro bersajak dalam hati.
184
“ Ih, sebel deh! Gak dihiraukan!” Farin mencubit perut Hendro mesra. Sisi jiwanya terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan dan dikatannya. Dari mana kebinalan ini. Tanyanya dalam hati. “ Kangen.” Hanya itu yang keluar dari mulut Hendro. Dia mencium rambut. Kening.” Kangen berat” Kemudian Hendro mencium mesra bibir kekasihnya. Akhirnya…. Yang kurindukan. Desah Farin dalam hati. Jangan berhenti. Kumohon. Angin melilit malam dalam keheningan. Menidurkan mata dan telinga manusia agar tidak menyaksikan gerak kerinduan birahi sepasang kekasih. Mereka terus menari, mencoba tiap sudut keindahan alam. Terkadang seseorang mengira akan atau telah mendapatkan yang inginkannya selama ini, namun ternyata dia masih harus berusaha mendapatkannya. Sebuah lereng yang mereka daki tak menghasilkan pesona alam yang selama ini dibayangkan, diharapakn oleh Farin. Dengan sabar dan lembut, Hendro mengajaknya mendaki lereng-lereng yang lain. Apa ini gerakan yang sama seperti yang dulu kulakukan? Kemana
185
kenikmatan gerakan simultan ini? Ayolah! Rengek Farin dalam hati. Heru membelai lembut rambut Farin.” Hey, take it easy, honey.” Dibelainya, dikecup, dicumbunya selembut mungkin, kekasih hati yang sedang mendamba birahi. Perlahan
mereka
menaiki
lereng
tertinggi.
Perlahan
keindahan itu terlihat dari sana. Inikah rasa itu? inikah yang selama ini kurasakan? Inikah yang kuinginkan berhari-hari? Keindahan itu datang bergerombol dengan lembut. Sebelum
Farin
benar-benar
menyadarinya,
keindahan
bergerombol lembut itu memudar. Perlahan. Ketika Hendro berbaring di sebelahnya yang tersisa hanyalah nafas yang berhembus lembut dari keduanya. Seperti inikah? Bagaiman mungkin bisa secepat itu? Kenapa dia pergi terlalu cepat? Kenapa begitu cepat menghilang? Kemana dia pergi? Kenapa tak menetap lebih lama seperti biasa? Kenapa?
186
Hendro
merengkuh
Farin
dalam
dadanya.
Dikecupnya kening kekasihnya. Dia tersenyum. Tersenyum penuh pengertian. Penuh kerinduan. Tanpa celaan. “ Sudah hampir jam 5.” Bisik Hendro. “ Hmm.” Farin tak ingin menatap bola mata Hendro seperti yang sering dia lakukan. Hendro tak ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa dia harus bergegas pergi. Hendro masih ingin menikmati pelukan ini. Aku masih ingin bersamanya, desahnya dalam hati. Perlahan dilepaskan pelukannya. Hendro membelai lembut pipi Farin. Farin memandangnya sambil tersenyum. Disembunyikannya semua tanya. “ I‟ve to go, honey.” Farin seolah tak mendengar apa yang baru saja dikatakan Hendro, Farin malah kembali memeluk Hendro. Aku tak ingin sendiri menjawab pertanyanpertanyaan itu, keluh Farin dalam hati. Hendro semakin resah ketika tak menemukan pengertian seperti biasanya dari Farin. Galau hatinya jika 187
harus menyebut nama As setelah baru saja mereka berpetualang penuh hasrat. Hendro merasa berkhianat jika harus menjelaskan alas an kenapa dirinya harus pergi. Hendro kembali berbaring. Hendro tidak saja membiarkan Farin memeluknya, dia membiarkan jarijemarinya membelai lembut rambut Farin. Apa yang harus kulakukan, desah Hendro dalam hati. Aku tak ingin mengecewakannya. Biarlah. Ya. sudah. Biarkan saja. Aku harus segera memilih. Kenapa begitu sulit? Apa yang membuat begitu sulit? Erang Hendro kesakitan. Seolah menyadari kegelisahan yang disembunyikan dengan baik oleh Hendro, Farin berkata.” Mbak Asih di rumah, mas?” “ Hmm..” “ Mulai kapan?” “ Kamis.” Terjawab sudah semua keheranannya. Mungkin itulah alasan mas Hendro begitu betah tak menghubungiku selama hampir dua minggu penuh. Mungkin minggu 188
pertama bukan minggu yang mudah, tapi minggu kedua adalah minggu yang mudah buat mas Hendro. Tapi kurasa tidak mudah. Buktinya, mas Hendro datang malam ini. Bagaikan tersengat lebah Farin berdiri. “ Lho, mas???” Farin memandang Hendro penuh khawatir Hendro tersenyum. Akhirnya. Ahh, sebenarnya aku ndak boleh merasa begitu. Mana sebenarnya yang kupilih? Yang kuutamakan? Hendro merasa bersalah. Aku harus segera memilih! “ Ma‟af…” “ Ya udah. Cepetan mandi. Dah jam 5 lho. Jangan lama-lama mandinya.” Farin
memilih
menceburkan
dirinya
dalam
pemandian yang airnya baru saja diisi. Dibasahi wajahnya dengan air dingin. Biar segar. Bisik otak Farin. Otak? Tempatnya logikakan? Tempatnya akalkan? Tapi kenapa gak bisa bikin aku mikir yang bener? Mlakukan yang bener? Kenapa aku gak bisa mewujudkan eksistensi ilmuku? 189
Pengetahuanku? Apa proses internalisasiku gak beres? Gak penuh? Internalisasi eksistensi pengetahuan apanya! Aku ini tong kosong nyaring bunyinya. Repot amat! Air dalam pemandian itu sudah hampir penuh. Farin memasukkan kepalanya dalam air. Apa yang kulihat? Apa? Apakah apa yang kulihat ini berguna? Aku melihat batu, aku melihat pahaku, aku melihat air. Aku tau air bisa membunuhku, tapi apa aku menarik kepalaku meski sudah lama kepalaku masuk air? Tidak! Ilmuku gak berguna! Ilmuku brengsek! Ilmuku bodoh! BODOH! “ Honey.” Terdengar suara Hendro samar-samar. Dia mendekat.” Are you okay?” Tak perlu melihat wajah Hendro untuk menemukan kekhawatiran, cukup suaranya saja. Farin tersenyum. Kegalauan itu bukan milik siapasiapa. Hanya milikku sendiri. Dia tidak akan bisa membantu. Disembunyikannya kegalauan itu rapat-rapat, seperti dia menyembuyikan peti besar itu di lantai dasar kastil memory storagenya.
190
“ Tolong ambilkan handuk dong” Farin berusaha semanja mungkin. Hendro
mengambilkan
handuk
biru
yang
tergantung di dinding. Bergegas Farin membalut tubuh indahnya dengan handuk. Setelah itu dia mengambil baju mandi dan memakainya karena malas berganti baju. Karna sudah terlintas dalam pikirannya apa yang akan dilakukannya setelah Hendro pergi. Hendro menggandeng tangannya. “ Mas nanti bilang apa?‟ “ Golf.” Farin mengerutkan keningnya.” Apa?” Dia tertawa geli.” Mas bawa?” “ Kebetulan… Kemarin papa ngajak main. Tapi Asih minta badminton. Akhirnya, papa nyuruh menemani Asih.” Hendro berusaha menghilangkan nada menyesalkan perbuatan Asih yang menurutnya mau menangnya sendiri, mengajaknya badminton padahal sudah tahu dirinya dan sang papa sudah akan berangkat.
191
“ Sudah jam 6. Buruan deh.” Farin mendorong tubuh Hendro. Hendro tak ingin menatap lama-lama kekasih yang masih dirindukannya itu meskipun ingin. Sangat ingin. Dengan berat hati Hendro berkata.” Love you.” Aku bener-bener kangen sama kamu. Aku masih ingin di sini. Aku takut kehilangan kamu. Sayang, kata-kata itu hanya terdengar oleh denyut nadi Hendro. Farin melepas kepergiannya dengan lambaian tangan yang terlalu bersemangat.
Terbongkarnya Tipu Daya
Farin menutup pintu dengan malas. Melangkah dengan malas. Ahhh. Dilempar handuk dan baju mandinya sembarangan dengan malas. Berendam air panas seharusnya 192
pilihan utama Farin di pagi hari. Kali ini tidak. Dibiarkannya air dingin itu tidak hanya menyentuh kulit dan menerobos pori-porinya. Farin juga membiarkan air dingin itu membekukan otaknya. Farin memasukkan kepala bagian belakangnya ke dalam air dengan malas hingga yang terisa hanya wajahnya. Farin menatap atap rumahnya yang terbuat dari kayu jati pilihanyang diplitur oleh orang yang sangat ahli hingga menghasilkan kelembutan yang luar biasa. Apa itu berguna sekarang? Pak To, sang maestro plitur, membutuhkan waktu yang relatif singkat untuk menghasilkan karyanya indah ini. Apa sebenarnya yang kuharapkan waktu itu? Enak dilihat? Bagus? Apa ada manfaat sekarang? Tapi bawa kebaikan buat pak To. Pemasukan. Aku juga sempat menikamti keindahannya. Heh! Farin mendengus sinis. Betapa cepatnya aku lupa. Betapa egoisnya aku! Yang kuingat hanya sekarang yang kurasakan! Aku lupa dengan yang kemarin. Yang kuingat cuman perasaanku sendiri! Gimana perasaan mas Hendro? Gimana perasaan mbak Asih? Yang aku ingin ya, aku ingin! Aku lakukan! Nikmati aja semuanya! Seperti air yang mengalir! Oya! Seperti air yang mengalir! Hey, kalian gak 193
bisa, gak boleh, jadi orang tanpa schedule! Without good planning! Dalam smua aspek hidup kita! Be good planning man! Sekarang liat! Who is talking? Farin! Look at what she has done with her life? Merasa
malu
pada
dirinya
sendiri,
Farin
menenggelamkan wajahnya. Coba liat siapa yang hidupnya mengalir seperti air! Coba lihat siapa yang memilih menikmati hubungan sama mas Hendro! Hubungan tanpa rencana! Hubungan tanpa kejelasan! Hubungan tanpa masa depan! DIMANA EKSISTENSI ILMU LU, FARIN! Wajah Farin segera keluar dari air. Farin bersandar lemah. Ternyata gue goblok! Goblok banget! Air matanya datang begitu tibatiba. Sesuatu yang gak pada tempatnya, pasti cuma ndatangkan gak baik! Orang pinter itu gak akan nglakukan kesalahan dua kali! Gue? Brapa tahun? Orang pinter itu sadar apa yang dilakukannya! Orang pinter itu gak perlu ngalamin dulu baru ngerti! GUE GOBLOK! DIMANA EKSISTENSI ILMU GUE! Farin mengeringkan
keluar tubuhnya
dari
pemandiannya.
dengan
handuk
yang
Farin tadi
dilemparnya sembarangan. Dipilihnya celana jeans dari dalam lemarinya. Mau kemana gue? Mau kemana? Selesaikan 194
dulu urusan lu! Marah oleh teriakan dirinya sendiri Farin melempar celana jeansnya dengan marah. Ditekannya rahang yang lembut itu dengan menggunakan gigi-giginya yang terawat. Kita tahu, Rin. Lu salah, salah banget. Farin terkulai lemas. Kenapa? Knapa gak dari dulu? Membuat kesalahan bukan hal yang mudah untuk ditolerir oleh Farin, terlebih jika dirinya sendiri yang melakukan kesalahan. Bukan seksnya yang salah! Dengan sapa lu nglakuinnya! Itu yang salah! Perasaan tercabik-cabik harga dirinya membuat air mata itu semakin deras mengalir di pipi Farin yang lembut. Dengan hak apa lu nglakuinnya? Suami orang. Bukan suami lu! Farin, the charming women! Farin the genius! Oh ya?
Betulkah?
Mana
buktinya?
Prestasi
seabrek!
Penghargaan, oh, jangan tanya! Cuman satu hal aja yang gak aku lakuin! Oh ya, Rin. Satu hal doang? Masak? Satu hal bejat yang menghancurkan smua kebaikan Lu! Bukan di mata orang lain, Rin. Dimata lu sendiri! Gak ada orang lain yang tau kebejatanmu, Rin. Coba liat, Ika! Yudhi! Aku tau! Entah sapa lagi yang ktahuan! Apa masih kurang bruntung, Rin! Ika hamil, Rin. Lu gak hamil! Apa masih kurang bruntung, Rin! 195
Dipakainya celana jeans yang tadi dilemparnya. Ditatapnya wajah sendu yang kacau itu! Ini yang namanya Farin? Inikah orang yang jelas kliatan trasa eksistensi ilmunya! Bukan cuman oleh dirinya sendiri. Tapi juga oleh orang lain. Terdengar pintu diketuk.“ Mbak, mbak Farin.” Mbak Estu? Kok sudah datang? Jam brapa ini? Bergegas Farin membukakan pintu. “Mbak Estu. Pagi skali, mbak?” Farin menyembunyikan harga dirinya yang tercabik. Farin kaget ketika melihat ada anak kecil di meja makannya. “ Anang mau main basket, mbak. Waktu mbak Farin ke rumah, mbak Farin bilang boleh main di rumah kalo minggu. Jadi, maaf, mbak. Tadi anaknya minta ikut.” Mbak Estu tampak segan. “ Oh, astaga. Saya lupa, mbak. maaf, ya.” Farin tersenyum.” Ya udah. Gak pa-pa kok, mbak. Saya gak keberatan. Kan emang udah janji.” Farin mendekati Anang yang duduk resah di kursi makan. Farin tersenyum. Anang membalasnya dengan kikuk. 196
Farin jadi geli dibuatnya. Padahal aku lagi, kacau, aku masih bisa mrasakan hal lain. “ Main aja. Main sendiri? Ato mau ditemani?” “ Sendiri aja.” Jawabnya malu-malu. “ Tu di sana lapangannya. Bolanya di tembok. Bisa ambil sendirikan? Gak tinggi kok!” Tanpa diberitahu dua kali, Anang segera menuju tempat yang diinginkannya. “ Maaf ya, mbak Farin. Masnya gak pernah mau ngajak adiknya itu kalo main basket di sekolah. Katanya males bonceng. Jalannya rame. Adiknya kalo dibonceng memang suka gak bisa diam!” Mbak Estu berusaha menenangkan dirinya sendiri. “ Iya, mbak. Saya ngerti. Gak pa-pa mbak. Anang sudah sarapan, mbak?” “ Sudah, mbak.” “ Oh, kalo belum saya ajak sarapan bareng.” 197
“ Mbak Farin mau sarapan apa?” “ Apa ya, mbak? Terserah deh. “ “Saya masakkan tumis bebi kon ya, mbak. Pake telur puyuh.” Farin tersenyum. Baby corn.” Iya deh, mbak.” Mbak Estu meletakkan tasnya di tempat biasa: disandarkan ke dinding sebelah dapur. “ Taruh sini aja, mbak.” “ Gak apa-apa, mbak. Di sini aja. Wong, isinya cuman buku kontrol kok mbak.” Farin mendekati mbak Estu, agar mbak Estu tak perlu berkali-kali menoleh padanya tiap kali bicara. “ Kontrol apa, mbak?” “ Buku kontrol sholat dhuha sama sholat 5 waktu.”
198
Kalimat mbak Estu menjadi panah pembongkar gembok-gembok besar yang dipasang Farin di peti kayu besar yang disimpannya dalam memory storagenya. “ Oh.” Hanya itu yang mampu diucapkannya. Farin
tidak
sadar
kalau
mbak
Estu
memperhatikannya. Mbak Estu tersenyum prihatin. Ya, Allah. Mudah-mudahan Engkau buka pintu hatinya. “ Saya males di kamar, mbak. Tolong, nanti sepreinya diganti ya! Nanti kalo udah mateng, taroh meja aja. Saya gak usah dipanggil.” Farin tersenyum lemah. “ Saya mau duduk-duduk di depan dulu.” “ Ya. mbak.” Farin butuh tempat yang asing baginya. Yang asing juga bagi dia dan Hendro. Tempat yang jarang mereka gunakan untuk merajut cerita. Ruang tamu dan teras. Hanya itu yang tersisia. Teras lebih luas karena terbuka. Farin lebih suka yang itu. Duduk diundakan teras dengan memandang langit biru. Melapangkan dada. Mencerahkan pikiran yang sedang 199
mati lampu, pikir Farin. Farin hanya duduk tanpa berfikir tentang apapun untuk beberapa saat. Dagu Farin terkulai lemas dipangkuan tangannya. Butuh apa lagi? Butuh waktu brapa lama lagi untuk jadi orang bodoh? Mau sampai kapan meneruskan smua ini? Dadanya
terasa
berat.
Kepalanya
terasa
berputar.
Kesalahanku bukan cuman satu. Ternyata banyak. Dari satu kesalahan lahir kesalahan berikutnya. Begitu dan begitu. Aku gak sadar, gak, aku sadar, tapi aku milih untuk gak sadar. Aku sendiri yang milih jadi orang bodoh. Kenapa? Kenapa? Kenapa aku bisa sebodoh ini? Air matanya tidak mengalir deras seperti tadi. Tak ada setetespun. Peti besar yang terbuka itu membawa Farin pada apa yang dilihatnya, apa yang dibacanya, apa yang ditemukannya ketika membuka Al Qur‟an yang dibelinya untuk anak mbak Estu. Pezina laki-laki hanya mengawini perempuan pezina. Bukan hal baru, tapi kenapa aku bisa ketakutan? Tak mau membaca tuntas. Tak mau mendengar lebih. Tak mau mengingat? Aku ketakutan. Kenapa aku takut? Astaga, ya Tuhan... Air matanya mengalir kali ini. Itu jelas, jelas karena 200
aku sudah tahu! Entah norma budaya, norma masyarakat, aku tahu. Itu tidak boleh. Aku tak mau membaca apapun yang berhubungan dengan...dengan...dengan....Bahkan lidah hatinya kelu menyebut sesuatu itu. Proses internalisasi ilmuku berjalan dengan baik. Apa yang ditanamkan guru agamaku dari SD sampe SMA, apa yang kubaca waktu kecil. Semuanya. Bahkan orang yang cerdaspun tak butuh orang lain untuk mengatakan bahwa itu tidak boleh! Ilmu itu eksis dalam diriku! Aku sendiri yang mematikannya! Air mata itu mengalir semakin deras. Ya Tuhan... menyebut namaMu saja aku gak brani! Aku terlalu kotor! Aku terlalu hina! Farin membiarkan mbak Estu melihat kesedihan yang mendalam di matanya. Mbak Estu tidak bertanya apaapa. Membiarkan Farin menikmati sarapannya dalam diam. Pikiran Farin melayang entah kemana. Sepertinya sedang berbicara, tapi entah dengan siapa. Suaranya terdengar jauh. Mata itu memandang kosong. Sisa harinya, dihabiskan untuk melihat Anang bermain basket. Anak kecil itu terlihat grogi ketika menyadari Farin memperhatikannya. Farin diam. Memandang mata anak kecil itu masih dengan kepedihan. Juga memberinya senyum ala kadarnya. Ada bagian diriku yang mati. Tapi apa sebenarnya kemarin aku hidup? Sebelum 201
menyadari semua ini? Jika sekarang aku mati, lalu apa yang terjadi kemarin? Koma? Menyedihkannya aku, hidup tapi tidak hidup. Mati tapi tidak mati. Mati setelah mati. Lebih baik mana? Aku tidak tahu. Sepertinya baik yang hidup, tapi tidak hidup. Tapi lebih baik mati setelah mati. Mungkin nanti, nanti stelah smua berlalu. Baru aku tahu. Mana yang baik. Air matanya mengalir berlahan. Tak dibiarkannya air mata itu mengalir dengan lembut di pipinya. Saat adzan dhuhur terdengar, ada yang bergetar lembut dalam diri Farin. Sesuatu yang lembut. Lembut tapi menakutkan, tapi juga menenangkan. Kenapa kemarin aku gak mrasakan ini? Farin tetap hanya terdiam. Mbak Estu menyuruh Anang sholat. Mbak Estu selalu bawa mukena, tapi aku sendiri gak tau mbak Estu sholat dimana biasanya. Aku cuma tanya, apa itu mbak? Just it. Farin kaget waktu melihat Anang wudhu di kran air terjun. Jadi di sana slama ini mbak Estu wudhu. Astaga. Aku tak pernah nawari mbak Estu untuk wudhu di kamar mandi. Bersalah dan heran bercampur menjadi satu. Diikutinya Anang dengan bola matanya. Anang berjalan menyapa Farin. Kemana anak itu. Dilihatnya mbak Estu menunjuk ke arah lorong. Kemudian samar didengarnya mbak Estu mengatakan ruang tamu. 202
Ruang tamu? Anang mengambil sarung dan sajadah yang diulurkan ibunya sebelum menuju ruang tamu seperti yang diperintahkan ibunya. Astaga. Mbak Estu berjalan mendekat. “ Saya mau sholat dulu ya, mbak.” Farin hanya tersenyum. Dibiarkannya mbak Estu mengambil air wudhu di tempat yang sama dengan Anang. Jilbabnya disampirkan di pundak kiri mbak Estu. Kenapa tak kau tawarkan kebaikanmu, Farin? Entahlah. Aku mrasa itu tidak perlu. Mbak Estu hanya tersenyum ketika melewati Farin hendak menuju ruang tamu menunaikan sholat. Mbak Estu tak pernah mengajak aku untuk sholat. Mengingatkan juga enggak. Farin heran. Mencoba menebak, tapi tak ditemukan satu jawabanpun. Selesai sholat, Anang membuka tas plastik yang biasa dipakai ibunya ke rumah Farin. Dia mengeluarkan sebuah kotak plastik. Anang mendatangi Farin. Dengan kikuk dia berkata,” Makan, mbak?”
203
Farin terhenyak. Bukankah seharusnya aku yang mempersilahkan
Anang
makan
di
rumahku?
Farin
tersenyum,” Makasih. Makan pake apa?” “ Telor.” Kemudian dia memulai makan di sebelah Farin. Bukankah dia malu? Kenapa malah makan di sebelahku. Meski Farin tidak yakin apa tumis baby corn dan puyuhnya
masih
tersisa
atau
tidak
Farin
tetap
menawarkannya ke Anang.” Coba diliat.” Anang menurut. Dia begitu gembira ketika masih menemukan banyak telur puyuh diantara baby corn. Mbak Estu tidak melarang. Dibiarkannya Anang duduk kembali di dekat Farin. Aku dulu kecil seperti kamu. Aku dulu nurut seperti kamu. Aku ngaji. Aku sholat. Iseng Farin bertanya.” Kenapa sholat dhuha tadi?” “
Kalo
sering
sholat.
makannya.”Dekat sama Allah.”
204
“
Sibuk
menelan
“ Siapa itu Allah?” Sepertinya keterlaluan kalo tanya pada anak kecil hal seperti itu. Tapi sudahlah. “ Allah itu yang ngukum kita kalo kita salah. Kalo betul, dikasih pahala.” Kemudian dia tersenyum lebar. Memeperlihatkan gigi-giginya yang kuning, tapi bersih. Badannya yang tegap itu tiba-tiba menghadap ke arah Farin.” Ini telur puyuhnya masih banyak. Disuruh makan.” Luapan gembira dalam nada suaranya terasa begitu jelas. Farin tertawa. Lha, aku banyak dosa, tapi kok punya banyak uang, rumah bagus, otak encer? “ Alhamdulillah.” Anang tersenyum Farin terkejut. Alhamdulillah? Hei ...... Farin kehilangan kata. Anak laki-laki kelas dua SD itu makan dengan lahap. Badannya besar dan tegap, padahal mbak Estu hanya memberinya tempe sebagi lauk rutinnya, setiap harinya. Telur adalah makanan spesial. Sayur adalah porsi terbanyak mereka.
205
“ Gimana caranya Allah menghukum? Anang pernah dihukum Allah? “Tanpa sadar tiba-tiba keluar sebuah pertanyaan dari mulut Farin. Padahal jiwanya masih terhenyak. “ Pernah. Sering.” Anang terdiam. Sepertinya dia mencoba mengingat. Kenapa Anang butuh waktu yang lama mengingat? Kenapa aku gak? “ Mbah sakit. Uangnya bapak gak cukup. Ulangan dapat 60. Dimarai ibu. Ndak diajak main sama mas. Bertengkar sama adik.” Dia menjawab dengan cepat seolah takut lupa. What?? Masak sih dia ngerti.“ Sapa yang kasih tau, Anang?” Kata Farin dengan jengkel. “ Ibu. Bapak. Embah. Bu guru. Ustadzah.” Jawabnya polos. “ Kan kalo sholat, matanya masih lirik-lirik.” Farin menebak berdasarkan pengalamannya. 206
“ Kan minta ma‟af sama Allah kalo selese sholat?” Anang menatap bola mata Farin. Tak pelak jawaban Anang melahirkan tawa yang membuat bahu Farin terguncang keras. Astaga. Ya. Allah...... Ada desiran halus lembut menyejukkan dan menggetarkan ketika Farin menyebut Allah dalam hatinya. Astaga, apa itu? Farin menoleh ke dapur. Farin ingin tahu apakah mbak Estu mendengarkan percakapan mereka atau tidak. Sayang, mbak Estu tidak ada di sana. Lho kemana? Bukannya harusnya mbak Estu sudah mau pulang sekarang. Farin berdiri untuk mencari mbak Estu. Baru saja Farin hendak masuk ke kamarnya, mbak Estu keluar dengan semua shaggy rug dalam bak yang ada di kamar Farin. “ Lho kenapa, mbak?” tanya Farin penuh keheranan. “ Tadi, air pemadiannya tumpah, mbak. Makanya di kamar jadi banyak airnya juga.” Mbak Estu segera berlalu agar air shaggy rug itu tidak menetes ke lantai.
207
Apa? Masak sih? Seingatku tadi sudah kumatikan kok. Farin masuk ke dalam kamr. Kamar itu sudah bersih dan rapi. Tidak ada tetesan air. Kasurnya juga sudah diganti seprei dan selimutnya. Farin berjalan menuju ke ruang ganti yang imut, namun tertata rapi. Bersih seperti biasanya. Tapi memang habis di pel deh. Farin semakin bingung. Masak, sih? Aku tadi sudah pake handuk kok? Mbak Estu menjemur semua shaggy rug itu di lantai lapangan basket. “ Tadi basah semua, mbak?” “ Iya, mbak. Ndak apa-apa. Sekarang sudah kering. Nanti sore, saya ke sini lagi. Ngambil karpetnya.” Untuk sesaat Farin bingung.”Hmm, buat apa, mbak? Gak usah. Biar besok aja. Kalo nanti kering, ya biar saya sendiri aja yang ngambil.” “ Ya, biar besok saya aja, mbak. Karpetnyakan tebel. Nddak kering nanti sore. Paling besok.” Kenapa aku gak tanya, tanya aja ke mbak Estu. Cari kata yang tepat. 208
“ Mbak, mukenanya sudah saya cuci. Sudah harum. Saya taruh di lemari atas.” Mbak Estu memandangnya dengan pandangan keibuan. Farin terhenyak. Kedua kalinya. Mukena?“Engg, makasih ya, mbak” Farin tidak tersenyum. Sulit baginya untuk tersenyum karena dia tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Setelah mengantarkan mbak Estu dan Anang pulang, Farin mengambil mukenanya. Astaga, apakah memang secepatnya ini aku harus berubah? Apa gak kecepeten? Kenapa aku harus sholat? Apa supaya gak dihukum? Kenapa harus takut dihukum? Apa supaya dapat pahala? Untuk apa hukuman? Untuk apa pahala? Bukannya wajar melakukan kesalahan? Bukannya sudah seharusnya seseorang
berbuat
baik?
Farin
meletakkan
kembali
mukenannya. Astaga, apa yang terjadi? Pertanyaan itu terus menggelayuti
jiwa
Farin
hampir
sepanjang
minggu.
Kebingungan Farin membuatnya melihat hal-hal yang biasa dilihatnya menjadi berbeda. Tidak seperti biasa. Seperti ada awan mendung di sekitarku. Stiap yang kulihat, brubah gak 209
seperti dulu. Sperti suram. Tiba-tiba aku bisa melihat sisi yang berbeda. Smuanya. Hal. Orang. Aku mrasa asing. Knapa bisa begitu? Bapak satpam depan kampus tidak lagi terlihat ramah seperti biasanya. Sepertinya baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Wajahnya cemberut. Cara bicaranya dingin. Bukan padaku. Trutama pada orang lain. Orangorang yang kutemui, seperti memakai pakaian yang kurang pantas untuk diri mereka. Padahal dulu pakaian itu baik-baik aja. Tiba-tiba, aku mrasa, aura hitam dari mereka yang memakai wax untuk rambutnya. Suara Heru, Samsul dan yang lain seolah berasal dari beratus-ratus kilo jauhnya. Tibatiba, ciuman, cumbuan yang kulakukan bersama mas Hendro slama ini kehilangan keindahannya. Tak ada romantisnya. Tiba-tiba aku mrasa ciuman dan cumbuan itu hanya tentang lidah dan ludah. Tiba-tiba aku merasa itu hanya masalah alat kelamin laki-laki dan perempuan. Tiba-tiba aku mrasa aku sedang duduk dengan orang-orang asing di sekitarku, dan seseorang yang sedang berbicara di depan. Perasaan apa ini? Dari mana datangnya ini? Kenapa aku bisa jadi begitu berbeda? Kenapa rumah ini trasa begitu asing? Kenapa tembok ini bisa berwarna begini? Kenapa harus ada pemandian di situ? Knapa aku mrasa tak ada 210
bedanya mas Hendro menelpon ato tidak? Datang ato tidak? Knapa aku bisa berfikir bahwa toh, slama empat lima hari aku gak ketemu sam mas Hendro fine-fine aja. Aku tetap mlakukan aktivitasku sepeti biasa. Seminggu pertama break time kusangka penuh kerinduan itu, ternyata juga gak bikin aku mati!! APA YANG SEBENARNYA TERJADI??????
Pengakuan Tipu Muslihat
Farin terbangun dari tidurnya. Tubuh dan matanya mengisyaratkan ketakutan. Mimpi apa aku barusan? Bayangbayang sepi menyelimutinya. Sekarang aku disini. Besok aku entah dimana. Tiba-tiba suatu saat nanti aku tidak ada. Tidak ada di sini. Di suatu tempat yang tidak bisa kembali. Yang asing dan menghisap segala yang dipunyai manusia. Entah gelap entah terang. Ketakutan perlahan memperkosanya. 211
Ditutupnya wajah dengan kedua tangannya. Kegelapan itu membungkus seluruh tubuh Farin. Tidak menyisakan sedikitpun ruang tersisa. Astagfirullah!! Apa yang terjadi ketika aku mati? Bagaimana kalo aku mati? Ada dimana aku? Apa aku bisa melihat orang? Apa aku masih bisa merasa? Apa aku melihat?
Apa
aku
menyesal?
Bagaimana?
Kenapa
membayangkan kematian bisa begitu menakutkan. Knapa kematian bisa lebih menakutkan dari kesendirianku ini. Farin merasa kamarnya berubah menjadi sempit. Udara hanya tertinggal sedikit. Farin turun dari kasur. Duduk di tepi kasur dengan prasaan frustasi. Knapa aku harus takut mati? Baik, aku datang padamu kematian. Farin merasa ada sesuatu yang akan mencengkramnya. Sesuatu yang mengerikan. Tak terdefinisikan. Tak dimengerti kecuali mereka yang pernah mengalaminya. Farin menoleh. Tidak ada siapa-siapa di sana. Farin merasa ada sesuatu yang diambil darinya, ada sesuatu yang trasa dingin di dalam tubuhnya. Tiba-tiba terngiang kata-kata mbak Estu ditelinganya... Mukenanya saya taruh....
212
Farin terjatuh. Air matanya tak terbendung lagi. Basah menetesi hidung dan baju tidurnya. Farin menanggis keras. Menggugu.“ Ya Allah ...... Ampuni aku! Ampuni aku! Tolong. Tolong aku! Tolong aku.” Farin terus menangis hingga habis air matanya. Hingga habis suaranya.
Air
matanya memang habis. Suaranya juga. Namun ada sesuatu yang lembut menenangkan menggantikan semua yang pergi. Farin terus menangis tanpa air mata. Aku harus sholat. Aku harus sholat. Farin tidak merasa berfikir tentang sholat. Pikiran itu sudah ada di sana. Tiba-tiba ada di sana. Farin juga tidak berniat untuk berdiri, tapi Farin berdiri. Dia melangkah perlahan menuju kamar mandi. Apa ini? Tanya Farin pada dirinya sendiri ketika menemukan kran air yang tlah dibukanya sendiri. Farin tak ingin membasuh wajahnya, tapi tangannya terus bergerak membasuh wajahnya, tangannya, dan bagian tubuh yang lain. Dingin. Sejuk. Menenangkan. Meskipun kegiatan itu sudah begitu lama tak dilakukannya, tapi Farin tahu apa yang selanjutnya harus dilakukan. Diambilnya mukena, sesuatu yang dikira Farin tidak dipunyainya selama ini. Bagaimana bisa ada kebetulan seperti ini? Kebetulan adalah sesuatu yang tak dipercayai Farin. Untuk pertama kalinya setelah 213
bertahun-tahun tidak melakukan sholat. Malam itu Farin sholat. Farin merasakan ada kekuatan yang tersembunyi telah menggerakan dirinya melakukan semua itu. Tidak ada penolakan dan keraguan. Ada sesuatu yang agung diluar batas pemahaman Farin. Begitu
lama, tapi aku masih ingat. Takbir
pertamanya diiringi isak tangis. Ternyata masih aku hafal juga surat ini. Air matanya bertambah deras ketika Farin sujud hingga bahunya terguncang. Ya Allah...ampuni aku. Ampuni aku. Hanya itu yang diucapkannya dalam hati dan lisannya ketika bersujud. Farin merasa tubuhnya lunglai. Entah kemana perginya semua kekuatan fisik dan pikiran yang dimilikinya selama ini. Farin membiarkan dirinya duduk terpuruk. Belum pernah aku menangis seperti ini. Belum pernah. Bahunya semakin berguncang. Apa aku masih boleh memohon padaMu? Apa aku masih layak meminta padaMu? Kau memberiku begitu banyak. Harta. Prestasi. Rumah. Otak. Pemandian. Orang-orang yang baik. Tidak ada kehamilan. Tidak ada yang tahu. Tidak ada penyakit. Tidak ada masalah. Makanan 214
yang
enak.
Tapi
aku
mengkhianatiMu.
Kesombonganku menutupi smuanya! Kebodohanku yang membuat smua ini! Tangisnya masih belum reda. Bertahun-tahun.
Bukan
hanya
sehari.
Aku
mengkianatiMu. Aku jahat padaMu. Apa aku masih layak?? Bahkan
sekarang
aku
menyesali
semuanya!
Bahkan
menyesali semuanya! Bahkan aku berharap smua ini gak terjadi! Kenapa aku jadi orang yang gak bersyukur??!!! Terngiang suara Anang yang mengucap alhamdulillah. Kenapa? Bukankah harta itu membuatku senang dan tenang kemarin? Bukankah prestasiku membuatku bahagia kemarin? Hidung Farin tidak hanya basah oleh air mata, juga basah oleh ingus hidungnya. Begitu dahsyatnya tangisnya malam itu. Apakah Kau mau mengampuniku? Apakah aku masih boleh meminta? Kepada siapa lagi aku meminta kalo bukan padaMu, ya Allah....ampunilah aku... Ampunilah aku. Farin menghabiskan malamnya dengan air mata. Esok paginya ketika ia terbangun, air mata itu masih di sana. Dipandanginya dirinya dicermin. Farin tersenyum. Aku senang kau masih ada di sana. Memang begitu seharusnya. Kau tak boleh pergi. Tidak lagi. Kau harus slalu di sini. Menemaniku. Mengingatkanku. 215
Selesai menunaikan sholat subuh, Farin memilih tetap duduk di atas sajadahnya. Perasaan hina, rendah, pengkhianat dan bodoh masih menyelimutinya. Perlahan sisa-sisa air mata itu meleleh. Farin bersujud. Ampuni aku. Ampuni aku. Ampuni aku. Farin terus menangis hingga dia terlelap. Ketukan pintu mbak Estu membangunkannya. “ Belum berangkat, mbak?” Tanya mbak Estu seolah semua biasa saja tanpa mata sembab Farin setelah semalaman menangis. Farin mencoba memberikan senyum seperti biasa walau terasa sulit.” Iya. Sebentar lagi, mbak.” Suaranya serak. “ Saya buatkan teh dulu ya, mbak.” Farin hanya tersenyum. Betapa baiknya wanita itu. Betapa baiknya Engkau. Mbak Estu tidak menggangguku. Tidak menanyakan apaapa. Betapa banyaknya kebaikanMu. Air mata itu mengalir kembali membasahi pipinya. 216
Farin menatap dirinya di cermin. Lihatlah, lihatlah wanita muda itu, Farin. Cantik. Cantik sekali. Hidunganya sempurna dengan wajahnya. Kulitnya bersih tanpa masalah. Rambutnya lebih hitam dari jelaga. Siapa yang memberimu, Farin? Siapa? Apa yang kau lakukan dengan kecantikanmu? Apa? Begitu cepat semuanya berubah. Begitu hebat kekuatanNya. Bukan kekuatan alam. Karena alam tak bisa menjawab. Karena manusia tak bisa memberi jawaban yang sebenarnya. Tentu saja, karena dia manusia, karena dia bukan miliknya sendiri. Karena dia ciptaan. Dia, manusia dibuat, diciptakan. Bagaimana yang dibuat bisa mengerti dirinya. Tentu saja, yang membuatlah yang tahu segalanya. Kesedihan itu masih terlihat jelas di mata Farin ketika memasuki kelasnya, ketika bertemu dan berbicara dengan teman-temannya. Tak ada yang bertanya. Seolah semua mengerti apa yang dihadapinya. Seolah semua mengerti bahwa aku tak membutuhkan tanya. Sepanjang minggu, Heru berbicara lebih lembut dari biasanya, Samsul bicara dengan pelan penuh keraguan, setelah itu segera berlalu. Yudhi dan Joko memilih tidak bicara kecuali seperlunya. Seolah-olah mereka tak ingin mengganggu Farin. 217
Apa mereka kurang baik? Apa aku kurang bersyukur? Air mata itu meleleh. Bahkan kebetulan macam apa ini? Mas Hendro nggak ngubungi aku. Segera dihapusnya air mata. Ini kampus. Bukan di rumah. Sore itu, ketika Farin melaju pelan di gerbang kampus, Farin melihat Ika sedang berjalan sendirian. Dulu, Ika lebih sering berjalan bergerombol, coba lihat sekarang. Apa memang harus berubah jika kita sedang ada masalah? Farin memperhatikan tubuh bagian belakang Ika. Sungguh beban berat itu lebih dibawa perempuan, bukan laki-laki. Hamil. Struktur tubuh berubah. Kalo laki-laki bisa tambah gagah perkasa sperti gatot kaca, perempuan? Tubuhnya melar, melebar kemana-mana. Kehilangan kesintalannya. Mungkin karena itu, aku lebih suka jeans dan kardigan. Menutupi ketidaksintalanku. Kelembekan kulitku. Farin mendesah. Kejelekan tak akan pernah membawa kebaikan. Hey, tidak ada yang sia-sia. Oke. Pada tataran, hikmah mungkin iya. Tetap aja itu gak adil. Baik, aku ubah kalimatnya. Kejelekan hanya membawa kebaikan yang sangat sedikit. 95 percent malapetaka, 5 percent.... Farin
membunyikan
klakson
pelan.”
Assalammualaikum.” Betapa terkejutnya Farin menemukan 218
dirinya sendiri mengucapkan salam untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Ika menjawab disertai senyum. “ Mau jalan-jalan”. What is this? It‟s not in agenda. Ika tersenyum lebar. “ Boleh. Kemana, mbak?” Farin berfikir cepat.” Toko buku?” Akhirnya mereka melakukan perjalanan bisu. Begitu juga ketika mereka sudah berada di dalam toko buku. Tak ada percakapan. Yang lebih aneh lagi, keduanya berjalan ke arah yang sama. Keduanya tersenyum ketika menyadari itu. Ika menyentuh, membuka, membaca buku-buku itu. Farin hanya melihat. Hanya melihat. Farin terlalu takut untuk menyentuhnya. Farin hanya membaca judul-judul buku tersebut. Ketika terdengar adzan magrib, keduanya sepakat untuk sholat di masjid kota. Mereka memilih di bagian paling belakang, agak tersembunyi karena tertutupi oleh tepian tangga. Beberapa orang mendekati mereka untuk meminjam 219
mukena yang Ika dan Farin pinjam dari lantai bawah tempat penyewaan mukena. “ Aku pengen berjilbab, mbak.” Spontan kalimat pembuka itu membuat Farin kaget. Kenapa harus menyampaiannya padaku? Tanya Farin kebingungan. “ Apa?” Farin berusaha mengontrol suaranya. “ Aku mau pake jilbab, mbak.” Farin berusaha memberi
tatapan
penuh
pengertian.”
Bukan
untuk
nyembunyiin, mbak, aku mau tobat...” Tobat. Kata yang sering didengar oleh Farin, tapi terasa asing di jiwanya. “ Sudah kasih tau, Samsul?” Farin bingung apa yang seharusnya harus dikatakan. “ Buat apa, mbak?” “ Buat apa?” Farin tambah bingung. “ Kami nglakuin itu untuk seneng-seneng, mbak.” Ika mendesah. 220
Oke. Aku juga ngalkuin MUNGKIN untuk senangsenang. Kalo bukan seneng-senenga apa, Rin? Cinta? Oh, ya. Dimana cintanya? Farin teringat dengan kata pezina yang dibacanya ketika membelikan Al Qur‟an untuk putra mbak Estu. Tobat, Rin. Itu bukan cinta. Itu dosa. Itu zina. Nilai mana yang mau kamu pegang, Rin. Logikakah yang slama ini mematikan kebenaran dalam hatimu? Bukan. Dia tau, tapi kenapa masih bisa terjadi? Kalo kematian itu gak pernah terjadi, Rin, boleh-boleh aja kamu gak takut. Sayang, kematian itu ada. Bukannya kamu kemarin sudah melihat bayangannya? Bayangannya aja kamu takut setengah mati. Apalagi mati. Farin terdiam oleh otaknya sendiri. Farin teringat dengan isi peti yang dulu pernah disimpamnnya rapat-rapat, kuat-kuat. Pezina lelaki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik. Begitu juga sebaliknya. Dan yang demikian itu diharamkan bagi orang mukmin. Cuma itu saja isi peti yang berusaha diingkarinya, disembunyikannya, tak mau ditelaah apalagi diingat. Hanya kalimat itu saja. Hanya itu. Aku bisa takut. Setengah mati. “ Sudah dipikir baik-baik?” “ Menurut mbak Farin?” 221
Farin kebingungan. Tentu saja masalah selalu bisa diselesaikannya. Tapi yang begini, yang nyangkut yang islam. Aku gak ngerti. “ Kasih tau
mbak dulu kenapa?” Sebuah siasat
terbaik; mengetahui, sebelum membuat keputusan. “ Yang ngajak itu mas Samsul. Aku salah, kenapa mau. Tapi maksudku, dia yang punya usul, dia yang nggoda pertama kali. Kalo nikah sama mas Samsul, dia masih beginibegini aja, mungkin aku tetep bisa pake jilbab. Tapi untuk apa mbak? dia gak bisa njagain aku. Dia malah yang ngajak, yang bawa aku sampe di titik ini. Aku takut mati mbak.” Farin tertegun. Apa semua orang takut mati? Buaknkah semua orang itu manusia? Jadi..Kematian adalah milik bersama setiap manusia.” Aku gak mau mati sebelum tobat. “ “
Apa
gak
drastis?”
Farin
mencoba
mengucapkannya dengan sebiasa mungkin. “ Perubahan itukan memang begitu, mbak Farin. Kan mbak Farin waktu dipelatihan bilang revolusi itu memang ada. Revolusi itu berarti sungguh-sungguh. 222
Sekarang. Komitmen. Tapi tetep ada evolusi dalam revolusi. Evolusi yang baik diawali dengan revolusi.” Wow, someone is remember what you said. “ Kalo aku gak segera pake jilbab, mbak. Mungkin aku bisa nglakukan lagi, mbak. Mungkin sama cowok lain. Karna aku butuh, juga karna aku merasa kotor. Mungkin kalo pake jilbab aku jadi lebih bisa nahan diri. Aku. Mungkin banyak cewek lain berjilbab tapi gitu juga..Ini aku. Buat aku begitu.” “ Apa? Apa harus?” Farin belum bisa menemukan logika pernyataan Ika. “ Mbak pernah baca Pezina lelaki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik. Begitu juga sebaliknya. Dan yang demikian itu diharamkan bagi orang mukmin. Kurang lebih begitu. Mbak gak terlalu merhatikan. ....” “ Mbak, kalo bapak ibunya aja jahat, anaknya pasti kejam, mbak!” “ Ya. gak bisa gitu, Ka. Gak bijaksana itu.”
223
“ Iya, mbak. Aku ngerti. Gak semua. Tapi mbak, seringnya kan gitu. Kalo bapak ibunya kejam, liat anaknya nakal sama anak lain, ya dibiarin kan, mbak. Malah mungkin dibela sama ibunya. Padahal anaknya salah. Makanya, jadinya malah tambah lebih kejam dari bapak ibunya. Aku gak mau jadi ibu yang kayak gitu. Aku harus jadi orang baik supaya anakku yang lahir dengan cara gak baik jadi baik, mbak. Aku gak mau anakku seperti aku, lebih buruk dari aku.” Ya. Aku lupa. Mau, tidak mau. Memang ada kecenderungan dalam sebuah teori. Makanya satu hal bisa punya
banyak
terori.
Tergantung
perspektifnya
aja.
Maksudnya, pada umumnya. Yang sering terjadi. Kamu tidak bisa ngingkari itu, Farin. Farin mendesah. Ya, kau benar. “ Apa Samsul juga gak berhak tau?” “ Gak tau, mbak. Aku gak tau. Aku ingin nyewa rumah. Yang murah. Aku pengen mbesarkan anakku sendiri. Aku juga gak mau keluargaku tau.” “ Apa? Gimana caranya?” Farin bertambah bingung.
224
“ Bapakku bisa kena stroke, malah bisa mati kalo tau anaknya hamil di luar nikah. Bapak malu sama tetangga. Sama anak buahnya. Nggak bisa ndidik anaknya!” “ Ibu?” “ Ibu ...” Ika menangis.” Makanya aku mau tobat, mbak. Ibuku sudah mati. Kasian ibuku. Gak tenang di kubur! Besok mereka akan ditanya, kok gak bisa jaga anak?” Air mata berhamburan keluar semakin deras dari kedua bola mata Ika. Farin mengelus punggung tangan Ika.” Bapakku sudah tua. “ “ Ya.. Tapikan, kita gak bisa....” “ Yang paling aku malu lagi, mbak. Aku gak tau besok mesti ngomong apa, ngomong gimana sama anakku. Dimana bapak? Gimana aku bisa lahir? Mungkin waktu kecil aku bisa nutupi, kalo sudah besar? Kayak tikus yang dibuang di jalan. Mati diklindes! Brapa mobil yang lewat! Masih aja kliatan tikusnya! Peyet! Kering! Berhari-hari di sana!”
225
Farin bagaikan tersambar petir. Dengan lesu Farin menjawab.” Iya. Kamu benar. Kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri kita. Bukan cuman kita aja. Tapi anak-anak kita besok. Kalo kita orang baik, kita pasti mikirkan anak-anak kita. Bukan cuman diri kita sendiri tok.” “
Bapak
sudah
ngingatkan,
mbak.
Sampe
bertengkar. Aku disuruh pindah kost. Waktu bapak ke sana, bapak liat anak-anak sama pacar-pacarnya. Bapak gak suka. Aku ngotot. Aku bilang aku bisa mikir, bisa bedakan yang bener sama yang gak bener! Bapak terlalu sempit mikirnya! Nyamakan aku sama orang lain.” Farin tertawa.” Kita nganggap yang tua, banyak bacot. Tapi ternyata, kita sendiri gak becus ngurus diri sendiri.” Air mata Farin ikut mengalir menemani air mata Ika yang jatuh berderai. Farin jadi teringat, ketika orang tuanya terus-menerus
menanyakan
dari
mana
semua
yang
diperolehnya. Rumah, motor dan barang lainnya. Percaya deh, yah. Kok gak percaya banget si sama anaknya. Air mata itu semakin deras mengalir. Ya, Allah... pada siapa lagi aku minta tolong... Tidak ada yang bisa selain Engkau ya 226
Allah...Ampunkan aku. Ampunkan aku. Buatlah ayahku memaafkan aku. Aku sombong. Semaunya sendiri. Aku menyakitinya. Aku menyakitinya. Air mata Farin tak berhenti sepanjang perjalanan pulang. Dibiarkannya Ika memeluk erat dan bersandar padanya. Farin mengantar Ika sampai di depan rumah kostnya yang besar dan megah. Garasinya saja bisa menampung 10 mobil. “ Aku selalu pengen deket sama mbak Farin. Tapi mbak Farin udah cukup sama mas Hendro.” Ika mengucapkannya dengan polos. Farin terkejut bukan kepalang.” Iya, ya? Masak si?” “ Kalo waktu ke Bromo, aku gak pas lagi bingung. Aku pasti ikut karna mbak Farin ikut. Mbak Farin perhatiannya cuman sama Heru.” Lagi-lagi pernyataan Ika membuat Farin tambah melongo. Kemudian keduanya tertawa. “ Ma‟af ya. Mbak Farin merasa selalu terbuka. Ternyata, enggak, ya.” 227
“ Iya, mbak Farin tu baik. Tapi gak pernah nanyain yang pribadi. Tanyanya yang umum, serius.” Farin memasang mimik tak percaya. Ah, kok bisa ya? Padahal aku mau-mau aja lho kalo diajak ngobrol. Banyak kok yang datang minta konsultasi. “ Makasih, ya. mbak.” Keduanya saling mencium pipi. “ Assalammualaikum.” Salam memang diperlukan. Memang seharusnya assalammualaikum. Bukan salam SpotLang….. Ah, iya. Banyak yang datang konsultasi, tapi seputar reportase, artikel, pemilu,....Hehhhee...... Intinya sosial poltitik, tanpa nyentuh kehidupan sosial itu sendiri. Farin mendengus.
Kesungguhan Hati
228
Sesampainya di rumah, Farin memilih berendam air panas di pemandiannya. Kenapa? Kenapa berendam?? Lagian sudah jam 9. Tadi ngobrol lama. Kesela Isya juga. Biasanya aku selalu punya tujuan. Selalu punya jawaban. Setidaknya biar bersih, segar, rileks. Ato apalah. Sekarang? Pengen aja. Kalo dipikir-pikir banyak juga kegiatanku yang gak da tujuan. Main basket? Aku gak suka basket. Ya main aja. Diajak mas Hendro. Apalagi ya? Endak deh. Kayaknya memang sedikit kegiatanku yang gak ada tujuan gak jelasnya. Sampe-sampe Ika bilang, aku puas cukup sama mas Hendro. Ternyata kehidupan sosialku payah ya. Padahal menurutku baik-baik aja. Mungkin kalo akhir-akhir ini iya banyak kegiatan yang spontan. Bagus. Tapi harus dimenej, gak boleh seenaknya. Apa semuanya harus berubah? Sedrastis itu? Orang pinter kayak kamu bisa juga ya jadi orang bodoh. Astagfirullah..... ah...Aku mengucapkannya lagi.... Ilmu itu akan dianggap eksis, kalo kita bisa nglakukan ilmu kita. Berarti harus berubah dong. Jelas. Jelas kan. Drastis itu buat orang lain yang cuma mlihat. Gak tau proses internal yang kita alami.
229
Selesai berendam, Farin segera tidur. Farin baru bangun jam 6.30. Farin segera mandi dan bersiap untuk berangkat kuliah. Di meja makan, segelas minuman sereal telah siap. Farin melihat mbak Estu membawa masuk vacuum cleaner. “ Pagi sekali, mbak” “ Eh, mbak Farin. Assalammualaikum, mbak.” Oiya. Aku belum salam ya. Farin segera menjawab salam mbak Estu. Buru-buru diminumnya serealnya untuk menutupi rasa malu yang hanya diketahui oleh Farin. “ Sudah jam 7 lebih, mbak. Saya mau nitip Al Qur‟an buat Azka. Masnya Anang. Tapi kalo mbak Farin ndak buru-buru.” Tiba-tiba, mbak Estu seperti teringat kompor yang belum dimatikan.” Mbak Farin sudah sholat subuh?” Astaga.... astagfirullah Farin!! Astagfirullah.... Muka Farin merah meradang karena malu. Bergegas Farin masuk kamar mengambil air wudhu kemudian sholat. Ampuni aku ya Allah...Ampuni aku... Kok bisa sih, aku lupa? Kok bisa? 230
Apa aku ini gak sungguh-sungguh? Lupa itu karena tidak sungguh-sungguh!! Tiba-tiba Farin teringat Anang. Tanpa memperdulikan waktu yang sedang berjalan Farin berdiri dan memulai sholat subuh disusul dengan sholat dhuha. Farin baru saja mengakhiri salamnya saat hpnya berdering dan semakin mendekat. Rupanya mbak Estu membawakan hpnya. Setelah menyerahkan hp, mbak Estu berlalu. “ Assalammualaikum.” Nah begitu! Seru Farin pada dirinya sendiri.” Oh, Ika. Ada apa, Ka?” “ Mbak, bisa anterin aku?” “ Kemana?” “ Gak tau.” Farin bingung dibuatnya.” Perutku sakit, mbak. Sakit banget.” “ Apa?!” Farin bingung.” Iya, sebentar ya. bentar lagi mbak ke sana.” “ Assalamualaikum.”
231
Setelah menjawab salam, Farin bergegas mencari mbak Estu yang sedang membersihkan sofa di ruang tamu. “ Mbak, kalo orang hamil, perutnya sakit kenapa? “ Farin menangkap keterkejutan di wajah mbak Estu meski hanya sesaat. “ Bisa jadi…Perutnya kepedesen.” Farin melongo dengan jawaban mbak Estu. Mbak Estunya malah tertawa.” Ke dokter kandungan saja, mbak. Tergantung sudah bulan berapa sekarang. Jadi ke dokter saja. Biar enak. Di sebelah gajayana ada dokter Nuke. Orangnya baik. Saya gratisan terus kalo perikasa. Tapi orangnya memang baik kok, mbak. Telaten.” Ini hanya perasaanku atau memang mbak Estu sejak, entahlah, beberapa hari ini cara bicaranya padaku, beda. Apa ya? Rileks! Itu dia lebih santai. Lebih banyak. Bahkan tadi ngingatkan aku sholat. Pertama kalinya. “ Mbak Estu ini. Teman saya yang barusan telfon minta saya...” Belum selesai Farin menjelaskan pada mbak Estu agar tidak mengira dirinyalah yang sedang hamil, tibatiba hpnya bernyanyi lagi. 232
Tanpa melihat nomer yang tertera Farin menjawab.” Assalammualaikuam.” Terdengar nada kaget dalam jawaban salam dari pemilik suara di seberang. Kemudian dia tertawa.” Wah. Kemajuan ini. Baru berapa hari mas ndak nelpon…. Honey sudah berubah.” “ Eh, mas Hendro. Apa kabar, mas?” Lagi-lagi Hendro tertawa.” Tumben tanya kabar?” Ada nada kecewa dan resah di sana.” Everything oke, kan?” “ Iya. Everyhing oke.” Sebenarnya Farin ingin menambahkan alhamdulillah, tapi Farin belum siap. “ Mas, dimana?” “ Di Malang. Keluarga mas mau ke Jatim Park.” Suara Hendro semakin datar. Ada sesuatu yang terjadi. Aku gak tau apa. Ya. Tuhan. Aku gak mau kehilangan dia. “ O..”
233
Cuman o, pikir Hendro. Dengan ragu Hendro berkata,” Honey repot gak? Kalo gak repot mas mampir ke sana ya?” “ Emmm, kan aku kuliah. Mas ke sininya jam brapa sih?” Aku belum siap ketemu, mas. Aku masih ingin menikmati sendiriku dulu. “ Lho, ini masih di rumah?” “Iya. Tadi kesiangan. Kalo mas mau ke sini, ya gak pa-pa. Siang-siang ntar aku pulang deh.” “ Iya. Mas sebentar kok. Cuman...” Ragu-ragu Hendro mengucapkannya.”.... Kangen” Farin meras kikuk. Setelah hampir lima tahun lebih bersama…. Akhirnya untuk pertama kalinya. Farin melihat mbak Estu memilih sibuk dengan bunga-bunganya. “ Ya. Sudah. See you, honey.” Astaga, apa yang terjadi. Aku sih, begitu bodoh. Gak menghubunginya seminggu lebih. Aku terlalu lemah. Menunggu waktu yang tepat. Sial. Aku harus lebih cepat. Hendro membulatkan tekad. 234
Setelah selesai menjawab telfon Hendro, Farin pamit berangkat ke tempat Ika pada mbak Estu. Kali ini Farin yang mengucapkan salam terlebih dahulu. Tak terhindarkan hal itu membuat mbak Estu menjawabnya sambil tersenyum lebar. Tak berapa lama kemudian, Farin kembali. “ Lho, ada yang ketingalan, mbak?” tanya mbak Estu tetap sambil tersenyum Farin heran melihat mbak Estu yang terlihat bahagia.” Mbak Estu kenapa? Kok bahagia banget?” “ MasyaAllah, mbak. Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan.” Kalimat ini, yang diucakan oleh guru pengajian mbak Estu yang dulu membuat mbak Estu mau menutup auratnya. Kalimat yang sangat disukainya. Sering diucapkannya. Yang tak lama kemudian diketahui mbak Estu bahwa kalimat itu adalah penggalan arti sebuah ayat Al Qur‟an. Farin tambah bingung dengan jawaban mbak Estu.” Nggg...A nu, mbak. Al Qur‟annya jadi titip nddak?”
235
Mbak Estu segera berlari kecil. Sekembalinya, mbak Estu sudah membawa Al Qur‟an di tangannya. Dengan mata berbinar, mbak Estu menggenggamkan tangan Farin ke atas Al Qur‟an. Ya, Allah. Istiqomahkan dia, ya Allah. Mbak Estu tersenyum. Farin bingung. “ Titip satpamnya aja, mbak. Azka. Kelas 1.” Farin hanya mengangguk, berlalu tanpa kata. Hanya mengucapkan salam. Kenapa ya mbak Estu? Sesampai di kost Ika, Farin melihat Ika sudah menunggunya di luar sambil berdiri. “ Kok berdiri?” “ Kalo pake duduk, sakit, mbak.” Ika meringis. Ika naik sambil mengucapkan bismillah. Farin menirunya sebelum melajukan vario ungunya.
236
Sesampainya di klinik yang direkomendasikan mbak Estu, Farin baru ingat. Asta....Astagfirullah.... Aku belum ngantar Al Qur‟annya. “ Tunggu sebentar ya, mbak. Dokter Nuke masih ada pasien.” Kata resepsionisnya. Mereka segera mencari tempat kosong. Ruang tunggunya penuh dengan ibu hamil atau ibu dengan bayinya. Farin bingung mencarikan tempat duduk. Farin juga tak menemukan tempat duduk di luar. Di luar penuh dengan bapak-bapak dengan pakaian bebas, sedang menunggu istrinya. Ini adalah kunjungan pertama mereka ke tempat semacam ini. Farin mengajak Ika masuk lagi. Akhirnya, Farin meminta tolong pada seorang ibu yang duduk di kursi panjang untuk bergeser sedikit. Ibu itu memenuhi permintaan Farin. “ Monggo, mbak. Saya sudah dijemput.” Kata ibu muda yang ditemani seorang wanita paruh baya, mungkin ibunya.
237
Seorang laki-laki bertubuh pendek mengenakan baju seragam pegawai negeri mendatangi mereka dengan santai.” Lama ya. Baru dapat ijin.” Farin teringat Hendro. Enaknya jadi istri mas Hendro. Gak perlu nunggu lama. Kan mas Hendro wiraswata. Farin kaget. Asta... Ast... As apa ya? Aku mbayangin yang enggak-enggak. Astagfirullah deh. Sudah lama gak mikir mas Hendro. Farin menoleh ke Ika. Ika juga sedang asyik memperhatikan orang-orang yang ada di situ. Iseng Farin bertanya pada wanita muda yang mengenakan jubah hitam besar dan tentu saja jilbab hitam besar dan pastinya dengan perut besar yang duduk di sebelahnya. “ Priksa, mbak?” “ Eng, nganu. Iya.” Farin mengangguk-angguk.” Saya sudah 9 bulan lebih 2 minggu. Tapi belum ada bukaan. Kata dokter Nuke kalo sampe dua hari lagi saya gak bukaan harus
operasi.”
menjelaskan.
238
Tanpa
banyak
ditanya,
wanita
itu
“Operasi?” Tanya Farin. Kemudian menoleh ke Ika yang ternyata juga memperhatikan. “ Iya. Nanti bayinya bisa mati. Kekurangan cairan. Ato pecah.” “ Apanya yang pecah, mbak?” Tanya keduanya bersamaan. “ Air ketubannya, mbak.” Wanita itu memandang keduanya dengan heran.” Lho, sampeyan ini, mau njenguk ato priksa.” Wanita itu memperhatikan tubuh keduanya dengan menyelidik. “ Priksa, mbak.” Jawab Farin lirih. “ Anak pertama, mbak?” Keduanya
kebingungan
menjawab.
Untunglah
seorang wanita memanggilnya. Mobilnya sudah datang, katanya. Mungkin temannya. Mungkin sodaranya. Sama besarnya sih, pikir Farin. Iseng Farin berdiri menghampiri resepsionis. Membaca kertas yang ada di situ. Biaya Operasi. 239
Astagfirullah...
Kayaknya
ada
yang
lain
deh
selain
astagfirullah, apa ya? Gak apa-apa wes. Astagfirullah dulu. Mahal juga ya. Farin menoleh ke Ika yang menyusulnya. “ Mahal ya ternyata. Kita taunya nyewa gedung, harga kertas...” Keduanya tertawa. Lama juga mereka harus menunggu. Lama juga mereka memperhatikan tingkah pola ibu-ibu hamil sampai Ika tidak lagi merasakan sakit lagi di perutnya. Setelah hampir 40 menit menunggu, akhirnya mereka bisa bertemu dengan dokter Nuke. Setelah diperiksa, mereka dipersilahkan duduk di ruang dokter Nuke yang hanya sebuah meja, dan 3 kursi, serta sebuah lemari. Yang membuat Farin lebih heran adalah baru pertama kalinya, Farin menemukan meja dokter yang terletak di depan taman dan tanpa ada sekat apapun. Orang-orang lalu lalang, di sekitar mereka. Kan malu didengar orang. “ InsyaAllah tidak apa-apa. Semua normal.” Dokter Nuke tersenyum. Farin dan Ika awalnya membayangkan seorang wanita berwajah tua, kaku dan tidak menyenangkan. 240
Ternyata mereka keliru. Dokter Nuke masih terlihat muda; putih, tinggi semampai, wajah khas Jawa Barat, sampaisampai Farin mengira mungkin usia dokter Nuke masih 30an. “ Kehamilan itu bukan suatu hal yang mudah. Merupakan komitmen jangka panjang. Hamil secara normal, maksudnya
dilakukan
disampingnya sangat
dengan
baik,
dengan
suami
memungkinkan untuk tidak terjadi
stress.” Farin heran, dokter ini tau dari mana ya? Apa karna kami masih mahasiswa? Farin meperhatikan ke sekelilingnya untuk sesaat. Gak ada yang memperhatikan. Orang-orang yang lewat hanya menoleh, hanya menoleh ala kadarnya. Tapi tetep aja gak nyaman. Gak privat. “ Lambung bisa menghasilkan asam yang sangat banyak dalam kondisi stress. Apalagi dalam kondisi hamil. Lambungnya tertekan oleh perkembangan janin. Karena itu perut jadi ndak enak. Nah, makanya, ibu hamil jadi pengen makan yang enak-enak sebagai pelampiasan ketidak nyamanan lambungnya. Bisa dimaklumi. 9 bulan bukan waktu yang lama, jika kita hitung normal.” 241
“ Jadi ngidam itu gak ada, dok?” Tanya Farin iseng. “ Kalo berdasarkan penjelasan saya tadi, ngidam adalah ekspresi untuk menghibur diri. Tidak hanya dari lambungnya aja yang sakit memang, tapi juga yang lain.” Keduanya hanya menganggukkan kepala sambil mengucapkan ooh. Komunikasi yang enak seperti ini jadi sangat mengcover keaadaan yang terbuka. Kok bisa ya? pikir Farin. “ Nah, jika kehamilan, tidak normal.” Dokter Nuke mengucapkannya dengan santai.” Maka, yang lebih sering terjadi adalah tingkat stress yang lebih tinggi dari wanita hamil yang normal. Bisa dimaklumi, karena sangsi sosialnya sangat tinggi. Dan itu disadari oleh tiap manusia. Belum lagi, usaha bersikap normal yang dilakukan. Menggunakan jeans, sepanjang kehamilan trisemester awal, yang sebenarnya sangat berisiko untuk tumbuh kembang janin, ruangnya jadi sempit..” Keduanya memperhatikan celana jeans yang dipakai Ika. Dokter Nuke menjelaskan tanpa ada nada menghakimi. Sangat bijaksana. Mampu menyampaikan empatinya, tanpa 242
membuat orang merasa terpojok. Sebuah profesionalitas yang sudah tertanam bertahun-tahun. Analisa Farin. “ Maksudanya gimana, dok?” Kali ini Ika yang bertanya. Dan tidak iseng. “ Perkembangan janin membutukan ruang gerak yang bebas. Nah, ketika perutnya membesar, berarti janin sedang berkembang. Bayangkan jika si ibu mengunakan jeans. Saat duduk, menekan perut. Saat jongkok menekan perut. Berdiri juga bisa menekan perut. “ “ Akibatnya?” “
Perkembangan
Pembentukan
organnya
bisa
janin ndak
bisa
bermasalah.
sempurna.
Yang
mengagumkan, tidak semua orang mengalami hal yang sama. Ada yang yang akhirnya, saluran pernafasannya tidak sempurna. Paru-parunya seperti penyet, gepeng, seperti habis kegencet. “ “ Bisa hidup, dok?” Ika dipenuhi kekahwatiran. “Ya, kadang setelah diinkubator bisa selamat. Tapi tidak sedikit yang tidak selamat.” Dokter Nuke tersenyum.” 243
Nah, ini putri saya.” Seorang gadis kecil berkulit sawo matang bermata agak sipit mengenakan baju seragam menghampirinya, kemudian mencium tangan ibunya. “ Anak pertama, dok?” Tanya Farin penuh pertanyaan. “ Ini anak saya yang ketiga. Yang pertama sudah SMP. Pulang sekolah ke sini. Setelah itu, saya antarkan pulang. Kalo pas break ndak ada pasien.” Dokter Nuke tersenyum. Astagfirullah. Muda sekali dokter ini. Nikah muda kali. “ Saya sudah 45 lho.” Jelasa dokter Nuke seolah memahami tanya yang hinggap di benak Farin.” Obat tidak bisa membantu banyak. Pikiran banyak, asamnya juga banyak. Jadi sebaiknya masalahnya segera diatasi. Nah, ini resepnya. Bisa diambil diapotik manapun.” Ika menerima lembar resepnya dengan mencoba tersenyum tanpa galau.
244
“ Sesuatu yang baik akan menghasilkan keindahan. Hamil bisa membuat wanita bertambah cantik. Cantik yang luar biasa. Yang tidak enak bisa disabarkan. Yang tidak baik, sebaliknya. Hati-hati dijalan. “ Nasehat dokter Nuke ramah. Setelah berpamitan keduanya segera berlalu. Ika memeluk Farin sepanjang perjalanan. Farin mengajak Ika mengantarkan Al Qur‟an ke sekolah Azka dengan harapan dirinya tidak terlambat. Sesampainya Farin di depan pak satpam penjaga sekolah, Farin meminta pak satpam memanggilkan Azka untuk minta ma‟af langsung. Biar gak marah sama ibunya, kalo ternyata aku telat, begitu pikir Farin. “ Sebentar lagi, mbak. Masih ngerjakan soal di depan.” Kata pak satpam dari arah dalam sekolah. “ Buat apa si, pak, Al Qur‟annya?‟ Tanya Farin iseng. “ Hafalan, mbak. Paling sedikit dari An Nas sampe Al Asr.” “ Coba liat, mbak.” Kata Ika 245
“ O.” Farin segera membukan Al Qur‟an yang ditangannya dengan berat hati. Takut. Segera diserahkannya Al Qur‟an itu ke Ika, begitu Farin menemukan surat yang dimaksud. Aku gak mau punya peti lagi. “ Pendek, mbak. Cuman 3 ayat aja, lho. Mbak Pasti hafal.” Kemudian Ika membacanya. Pak satpam itu tersenyum.” Bacaannya sudah hafal, mbak. Artinya yang belum!” Farin heran.” Ngafal artinya, pak?” tanyanya. “ Mbaknya aja paling ndak tau artinya Al Asr.” Goda bapak satpam itu sopan. Ika tersenyum.” Tau. Pak. Demi masa kan.” “ Ya. Mesti ae, sampeyan tau. La wong, wes mbaca.” Ketiganya tersenyum. Setelah bertemu Azka dan menyampaikan sendiri permintaan ma‟afnya, Farin mengucapkan terimakasih dan berpamitan pada Azka dan bapak satpam. Dalam perjalanan
246
menuju rumah kost Ika, Farin melihat Samsul yang sedang membeli bensin di sebuah pom bensin yang mereka lewati. Dia kekasihnya. Mas Hendro juga kekasihku. Mas Hendro tau smuanya tentang aku. Tau banyak hal. Tahu apa yang terjadi. Apa yang sedang terjadi. Masak sih? Buktinya mas Hendro gak tau kalo sekarang aku lagi di jalan sama Ika. Samsul juga. Dia bahkan gak tau kalo Ika hamil. Mas Hendro, Samsul cuma tau apa yang kita kasih tau. Aku tau mas Hendro bermasalah sama As. Istrinya mau menang sendiri. Tapi apa aku pernah tau sendiri. Aku tau mas Hendro gak cinta sam As. Tapi apa aku benar-benar tau. Aku tau apa yang kulihat, apa yang kurasakan, tapi tidak berarti aku tau segalanya tentang mas Hendro. Mas Hendro gak tau semuanya. Gak benar-benar tau. Proses-proses dipikiranku hanya bisa aku dengar sendiri. Tidak ada yang benar-benar tau kecuali diri kita sendiri. Aku nemani Ika, tapi aku gak bener-bener tau apa yang dirasakannya. Itu tidak berarti aku tau semuanya tentang Ika. Astaga, betapa kelirunya aku selalu menganggap mas Hendro tau sgalanya tentang aku, begitu juga sebaliknya. Farin menurunkan Ika di depan pintu gerbang kostnya. 247
“ Mbak, nanti aku boleh.... hhhmmm terserah dimana aja deh. Curhat ya? “ Farin mengangguk. Tapi kan mas Hendro datang, Rin.” Oke. Ntar mbak hubungi ya.” Sesampainya di rumah, Farin tidak menemukan CRV hitam. Mungkin gak kesini. Ternyata Farin salah. Hendro sudah menunggunya di sofa. Farin terkejut. “ Kaget ya?” Hendro tersenyum lebar penuh luapan kegembiraan. “ Habis….Di depan aku gak liat mobilnya, mas.” Farin ragu-ragu. Ndeket gak ya… Jangan Farin…Pikiran dan sikap Farin berjalan sendiri-sendri… Farin memberikan ciuman selamat datang. Hendro merengkuhnya dalam pelukannya. Kok bisa ya? Aku mikir endak, malah iya mendekat, pake ciuman sgala. “ Di luar ndak lihat ada Terano hitam?” “ Ooo. Gak di parkir di dalam.” Farin menarik tubuhnya menjauh dari Hendro. 248
“ Ya. Biar kaget.” Hendro membiarkan Farin menarik diri walau hatinya teriris. “ Berhasilkan….Aku kaget.” “ Dari mana?” Mata Hendro tak sedetikpun beralih dari wajah rupawan dihadapannya. “ Kluar sama Ika.” “ Bagus itu. Harus lebih sering lagi.” “ Memangnya mas Hendro tau kita pergi kemana?” Hendro tertawa geli.” Iya. Mas gak tau. Cuma, honey kan ndak ada cerita kalo SpotLang mau ada acara. Jadi, mas kira-kira, kalian keluar, ya bukan urusan kantor.” Farin tersenyum. Dibiarkannya Hendro meremas jemarinya. Apa yang sedang dipikirkan mas Hendro. Hendro mencium tangan Farin kemudian tersenyum. “ Kok, senyum-senyum, sih?” “ Heran.” 249
“ Heran kenapa?” “ Ternyata mabok cinta itu memang ada. Buktinya. Mas. Ketemu gini. Seneng luar biasa. Nyium tangan honey tadi. Luar biasa di hati.” Hendro memeluk Farin dari sebelah. Tak sengaja, Hendro menyentuh payudara Farin. Farin kaget. Astaga. Aku ngrasa. Jangan, Farin. Farin menoleh. Ditemukannya bibir Hendro begitu dekat dengan bibirnya. Ditatapnya berganti-ganti antara bibir dan mata Hendro. Apa mas Hendro juga mikir kayak aku ya. Farin mencium bibir itu lembut. Astaga. Kenapa aku menciumnya. Ciuman itupun berbalas. Kenapa aku membalas. Kenapa aku tidak berhenti. Kemana tangisku yang kemarin? Apa aku menikmati? Apa mas Hendro mrasa aku mikir. Seperti inikah rasanya? Astaga, beginikah seks? Telanjang. Inikah kulit mas Hendro? Kenapa mas Hendro bisa menatapku begitu? Inikah puncaknya? Seperti itukah wajah birahi mas Hendro? Bagaimana denganku? Wajah birahiku, wajah puasku? Seperti inikah sensasinya? Enak. Enak sekali. Inikah yang slama ini kucari? Kulakukan. Mas Hendro masih di sana, kenapa rasanya sudah hilang? Bagaimana bisa aku menikmati, tapi sekaligus bingung? Menyesal? Sebenarnya 250
untuk apa kemarin menangis? Kenapa aku gak ingin, gak mau, tapi aku terus saja merespon? Kegilaan macam ini? Kenapa? “ Minggu besok mas datang lagi ya. Kita jalan-jalan. Honey mau kemana? Honey” Farin terkejut. Bahkan aku sedang membelainya. Kenapa aku bisa melakukan hal yang tak kusadari? Bukan gak sadar, gak terkontrol. Berlawanan sama yang ada di hatiku? Hal yang tak kuinginkan. Farin hanya tersenyum. “ Ya, dipikir dulu saja.” Jawab Hendro penuh pengertian. Apa yang dikatakan mas Hendro tadi?” Aku mandi dulu ya, mas.” Air? Apa ini air? Apa yang sedang kulakukan? Apa aku mandi? Tapi kenapa aku gak merasa mandi? Mas Hendro? Dia tersenyum. Kenapa aku merasa dia tidak tersenyum? Dia di sini. Kenapa aku merasa dia jauh?? Padahal tempat ini begitu kecil. Kami begitu dekat. Kenapa aku gak merasa mas Hendro di sini? Jangankan mas Hendro, 251
aku juga gak ngerasa ada dalam tempurungku. Aku mrasa jauh. Seperti kluar dari tubuh. Mengamati diriku sendiri dari luar. Dimana aku? Dimana letaknya jiwa? “ Mas pergi dulu ya.” Hendro mencium kening Farin. Apa yang barusan dilakukan mas Hendro. Kenapa dia tersenyum begitu bahagia? Apa yang tadi dikatakannya?? Bagaiman aku tiba-tiba bisa berada di depan cermin? Kapan? Astaga, lihat Farin! Siapa gadis itu? Dulu tulang pipinya tidak begitu. Liat payudaranya. Lembek. Dulu tidak begitu. Liat matanya. Apa itu mataku? Kenapa wajahku tidak semungil dulu? Seperti ini wajah orang yang tidak perawan? Farin terngiang-ngiang apa yang dikatakan dokter Nuke tadi pagi. Yang baik bisa menghasilkan wanita yang indah. Kenapa aku gak merasa indah?
Kenapa aku merasa wajahku hitam
penuh jelaga? Air mata itu mengalir berlahan. Hei... Kenapa menangis, Farin? Ada apa? Apa yang kau tangisi? Betapa hinanya aku? Kenapa baru sekarang aku merasa hina? Kenapa tadi gak berhenti? Kenapa kemarin tidak? Betapa malunya aku? Melakukan kesalahan dua kali? Apa maksudku 252
kemarin menangis? Kenapa kemarin aku menangis? Apa kemarin aku menangis sungguh-sungguh? Ato aku cuman berpura-pura? Supaya takut itu pergi? Demi masa .... Dari mana datangnya merinding ini? Hanya mengingat demi masa? Berapa lama aku akan merasa seperti ini? Apa ini hanya pura-pura? Apa 5 menit lagi prasaan ini masih di sini? Kenapa, gimana bisa berbeda saat menjadi istri dan jadi pacar? Apa memang berbeda? Apa kalo aku menikah dengan mas Hendro, smuanya juga akan berubah? Apa mas Hendro juga akan ninggalkan aku sendirian di klinik? Karna kerja ato apa. Manusia punya otak, kenapa masih ada kesalahan? Bukannya otak begitu pandai membuat analisa? Manusia punya attitude? Bukannya attitude datangnya dari otak? Apa ada sesuatu selain otak? Selain attitude? Rangkain pekikan jiwa Farin berikutnya adalah menghadirkan kata Zina muncul dibenaknya. Laki-laki pezina untuk wanita pezina.... Zina...Zina? Desah Farin. Aku pezina? Melakukan tanpa nikah? Aku melakukan dengan suami orang? Zzina? Apa itu zina? Bukankah itu cinta? Apa itu cinta? Kenapa cinta bisa membuatku melakukan ini? Kenapa cinta membuat Ika stress? Kenapa cinta bisa membuat pertengkaran? Apa ada sesuatu selain cinta? Apa 253
itu cinta? Apa cinta itu bukan nafsu yang terselubung? Apa cinta sedang pergi? Sehingga aku dan Ika gak bisa merasa cinta lagi? Bukan! Bukan tidak cinta lagi! Tapi merasa salah? Kenapa ada rasa salah? Kenapa aku takut mati kemarin? Bunyi dering telfon tidak menghentikan air mata dan diam mematungnya Farin di depan kaca. Farin berdiri begitu
lama
hingga
terdengar
adzan
ashar.
Farin
mengabaikan dering telfon itu. Apa aku harus sholat? Apa aku harus sholat? Setelah apa yang kulakukan? Setelah menangis, ketakutan, sholat?? Sekarang aku di lubang terpuruk lagi. Apa aku masih harus sholat? Apa sebenarnya aku tau segalanya? Aku gak tau air ketuban. Aku baru tau. Wajah ibu-ibu itu tidak bahagia berlebihan seperti aku saat perut mereka buncir. Dunia terasa asing buatku? Di kampus, aku merasakan dunia penuh cinta. Dimana-mana pasangan berdua. Di sana. Di ruang tunggu itu, mereka duduk sendirian. Suami-suami mereka duduk di depan. Di kampus, pacar-pacar mereka juga menungu di luar. Kenapa yang ini terasa indah? Kenapa aku gak trasa indah melihat suami-suami itu? Kenapa aku gak mrasa cinta yang besar dari suami-suami itu. Mereka biasa aja. Kenapa di kampus aku merasakan itu? Apa kami di 254
republik mimpi? Republik cinta? Republik kebohongan? Kenapa mencintai kekasih dengan suami bisa berbeda? Kenapa bisa memberikan kesan yang berbeda? Kenapa kami bisa di republik mimpi? Kenapa bisa ada dua dunia? Bukankah kami tinggal bersama? Satu dunia? Bumi yang sama? Kenapa kami masih merasa indah dengan cinta kami? Kenapa kami bisa di atas mimpi? Kenapa cinta bisa trasa begitu syahdu? Apa yang kulakuan? Inikah namanya wudhu? Untuk apa aku bertakbir? Kenapa aku menangis. Apa yang kutangisi? Kenapa bahuku semakin berguncang keras? “ Ampunkan aku ya, Allah. Ampunkan aku.” Bukankah kemarin aku juga menangis seperti ini? Kenapa rasa bersalah ini tidak menetap lama? Kenapa bisa begitu cepat hilang? Apakah Engkau mau mengampuni kesalahan yang sama berulang-ulang? Aku sudah dua kali minta ampun. Apa aku akan masih akan melakukan lagi? Apa aku sungguhsungguh? Demi masa ..... Astagfirullah... Astagfirullah ... Kalo aku mati sekarang, besok. Barulah aku menyesal. Apa aku harus menunggu mati? Untuk apa kecerdasanku selama 255
ini jika aku masih melakukan kesalahan yang sama? Menunggu semuanya terlambat? Kenapa aku lebih memilih jadi orang yang bodoh? Ya Allah. Ampunkan aku ya Allah. Tubuh ini milikmu. Badan ini bukan milikku. Jiwa ini bukan milikku. Kehidupan ini bukan milikku. Karena ini bukan milik kami, manusia, karna itulah, kami gak bisa tau banyak tentang kami. Seperti pinokio, gak tau apa-apa tentang dirinya. Seperti komputer yang gak tau, apa-apa tentang bagianbagiannya. Seperti binatang-binatang, gak tau apa-apa tentang diri mereka. Mereka hanya melakukan apa disuruh pada mereka! Begitu juga manusia! Aku manusia! Aku tidak diciptakan untuk bercinta! Aku gak disuruh untuk bercinta! Aku disuruh untuk menyembahNya! Aku disuruh menuruti perintahNya! Lalu aku gak nurut! Aku membelot! Aku yang mengaku dan mrasa bangga dianggap orang yang hebat. Ternyata orang yang lupa dengan asal-usulnya. Aku yang punya otak yang cerdas, gak bisa ngambil yang baik untuk diriku sendiri! Kalo mereka kecanduan drugs, aku kecanduan cinta! Kecanduan seks! Kecanduan kecerdasan! Kecanduan ilmu! Kami kecanduan dosa! Ada yang lain selain otak dan attitude. 256
Ada….Nafsu...
Otak
berfikir,
menganalisa,
mengklasifikasi,
menemukan,
menentukan
kebenaran.
Otakku gak bisa berbuat banyak kalo nafsuku kubiarkan berkuasa. Aku gak bisa ber-attitude yang baik kalo nafsuku menutup mataku! Pada akhirnya setelah manusia dibagi-bagi menurut isinya, manusia sebagai satu kesatuan yang disebut dengan jiwa menggabungkan semua kekuatannya untuk memilih. Jiwa yang baik akan memilih jalan kebenaran. Jiwa yang baik, tapi lemah tentu akan selalu ada di persimpangan. Lalu aku jiwa yang apa! Aku tidak dipersimpangan. Aku di dalam salah satu jalan persimpangan, persimpangan yang tidak baik. Aku jiwa yang tersesat. Tersesat oleh nafsu. Tersesat oleh kilauan dunia. Yang kuberi nama cerdas, kecerdasan, kehormatan, harga diri, kemilau dan cinta. Farin menangis hingga habis air matanya, hingga lunglai tubuhnya. Farin terus bersimpuh tak berdaya dari waktu ke waktu. Tak membiarkan dirinya bergerak kecuali adzan terdengar. Malam menjelang. Rumah Farin tampak gelap. Hanya lampu kamarnya yang menyala. Di dalam kamar Farin masih menangis. Sesak dadaku. Habis air mataku. Habis tenagaku. Aku hanya sendiri. Dalam gelap. Kenapa aku tidak merasa takut seperti waktu itu? Kenapa aku tidak merasa 257
sepi seperti waktu itu? Aku merasa hina, tapi aku merasa tenang. Aku merasa lemas, tapi aku merasa masih ingin menangis. Aku merasa lepas. Aku merasa bebas. Aku merasa ringan. Siapa yang bisa memberikan rasa seperti itu? Bukan mas Hendro. Bukan Jamie Cullum. Tapi Dia. Dia yang menciptakan rasa yang menakjubkan ini. Dia.. Allah pencipta alam. Pencipta makhluk. Penciptaku. Kelak kepadanya aku kembali. PadaNya, aku kembali..... Farin terus menangis sepanjang sisa malam itu. Air mata dan hatinya begitu kelelahan, hingga membuatnya tertidur. Aku harus bangun. Aku harus bangun. Aku ingin tahajud. Aku ingin subuh. Hanya itu yang dibawanya dalam lelap. Sesuatu yang lembut menyelimuti Farin, dia terbangun. Bergegas diambilnya air wudhu. Apa sudah subuh? Masih ada waktu. Dimulainya takbir tahajud pertamanya setelah bertahun-tahun mengenal tahajud. Diri ini hina. Sangat hina. Apakah aku masih layak memohon padaMu? Masih bolehkah aku meminta? Aku malu. Sangat malu. Tapi aku tahu, tidak ada yang bisa kumintai selain Engkau. Tolong, tinggalkanlah perasaan itu di sini. Selamanya. Biarkan aku merasa hina dihadapanMu. Agar aku 258
tak melakukan dosa yang sama. Dosa-dosa yang lain. Jangan biarkan aku tertawa, tersenyum, menangis tanpa mengingat dosaku ini. Tanpa mengingat kehinaanku ini. Agar aku bisa selalu mengingatMu. Agar aku bisa selalu di jalanMu. Agar aku tidak melakukan kebodohan demi kebodohan. Lagi, lagi dan lagi. Tolong....Tolonglah. Aku tak mau selamanya berada dalam roller coaster dosa, kebingungan, ketidakkonsitenan, kekacauan. Selesai sholat subuh dan berdoa panjang, Farin menghubungi Ika. Ika terkejut ketika menemukan suara parau dan lemah, bukan seperti Farin yang selama ini dikenalnya. “Mbak
gak
apa-apa?”
Tanya
Ika
penuh
keprihatinan. “ Iya. Mbak cuma mau minta ma‟af. Kemarin mbak gak nelfon.” Farin membiarkan semuanya terlihat apa adanya. “ Ya. gak pa-pa, mbak.” “ Ya. Sudah.” Farin hendak mengakhiri. 259
“ Mbak, Farin .... Mbak Farin pagi ini mau kemana?” “ Ikut?” “ Ya.” Pagi itu Farin tersenyum lembut pada mbak Estu. Mbak Estu membalas dengan senyum penuh pengertian. Air mata mbak Estu jatuh. Farin terkejut. Kemudian, mbak Estu melakukan sujud syukur. Ya. Allah. Betapa banyaknya kebaikan yang Engkau berikan. Selama ini dia diam. Sesungguhnya dia tidak diam. Dia mendo‟akanku. Air mata itu menitik. Baru sekarang aku mengerti arti diamnya. Pengertian dan kasih sayang yang diberikannya slama ini. Semua itu membuat Farin tak mampu berkata apa-apa dan berbuat apa-apa. Selesai
sarapan
dalam
keheningan
yang
menenangkan, Farin melajukan vario ungunya ke rumah kost Ika. Ika terkejut melihat mata bengkak Farin. Tanpa bicara sepatah katapun, Ika segera duduk di belakang Farin. Ada sebuah pertanyaan yang sangat mengganggunya. Kenapa aku 260
tidak bisa seperti itu? Keluh Ika dalam hati. Bukankah dosaku lebih besar dari mbak Farin, tanya Ika penuh keheranan. Kemudian Ika memeluk Farin dengan sayang. Apakah masih kurang kebaikanMu? Keluh Farin dalam hati ketika dia merasakan pelukan penuh kasih dari Ika. Kasihanilah dia ya, Allah. Kasihanilah kami. Air matanya bergulir tak tertahan. Hari itu sama dengan kemarin. Farin tidak melaju ke kampus untuk mengikuti perkuliahan. Farin melajukan vario ungunya ke toko buku yang biasa didatanginya. Farin membeli Al Qur‟an. Ada getar lembut yang indah ketika Farin menyentuh Al Qur‟an untuk yang ketiga kalinya sejak dia mengantarkan Al Qur‟an untuk Azka. Air mata Farin menetes. Bertahun-tahun ya, Allah. Aku tidak pernah menyentuh. Apalagi membaca. Dihapusnya air mata itu dan tersenyum syahdu ketika Ika menatapnya haru. Ika memeluk Farin.
Diperhatikannya
sekeliling.
Tidak
ada
yang
mempertikan. Tentu saja toko masih sepi. Baru saja buka. Setelah membeli Al Qur‟an dan beberapa buku, Farin dan Ika pergi ke sebuah distro muslimah. Pertama kali distro itu dibuka, Farin sempat merasa geli. Distro muslimah 261
sangat lucu baginya saat itu. Setidaknya jangan menggunakan kata distro. Untung saja, aku hanya sampai di situ. Tidak menghinanya lebih. Malunya aku kalo waktu itu aku menghina distro ini habis-habisan. Sekarang aku di sini. Farin memilih beberapa rok, atasan dan jilbab. Dengan ragu-ragu, Farin menatap kaos kaki coklat yang tergantung. Ika hanya memandangnya sebentar sebelum akhirnya dia mengambil 8 pasang kaos kaki. “ Satu hari satu. Sisanya untuk persediaan.” Katanya menjelaskan sebelum akhirnya mengambil 2 kaos kaki lagi. Kalo kesalahan, terlanjur basah, mandi sekali. Kenapa ada totalitas kerja, study...Revolosi politik, sosial, karir, pendidikan...... Tapi....... Kenapa kebaikan gak gitu? Entah kemana perginya kebimbangan itu. Tanpa ragu Farin mengambil sebuah kaos kaki. Farin menoleh. Ika hanya mamandangnya dengan pandangan menggemaskan. Farin tersenyum. Diambilnya sepuluh kaos kaki sekaligus“ Wah banyakan mbak Farin dong.” Keduanya tersenyum. Ika lupa kalo sudah ambil dua lagi barusan. Farin tersenyum.
262
Baru saja mereka mengambil vario di halaman parkir, adzan dhuhur terdengar. “ Sholat di rumahku aja ya.” kata Farin. Mbak Estu sudah tidak ada di rumah. Farin menemukan selembar kertas di meja makan. Mbak Farin, ma’af . Saya ambil kertas. Tidak ijin. Bajunya saya jemur di rumah saya. Saya mau ada tasakuran. Tasyakuran? Tasyakuran apa? Kok tadi gak bilang? “ Kenapa, mbak?” Ika sudah selesai wudhu dan sudah memakai mukena. Farin tersenyum.” Gak pa-pa. Mbak Estu ijin pulang. SubhanAllah. Cantik.” Farin terkejut ketika dirinya bisa mengucapkan subhanAllah. Sesuatu yang sudah dilupakannya. Bahkan beberapa hari lalu, dia masih lupa, meski berusaha mengingat. Selesai sholat, keduanya menangis dengan tangan menengadah.
263
“ Dhuhur ada sunnahnya ya, mbak?” Tanya Ika. Farin ragu untuk menjawab.” Bentar.” Farin bergegas membuka tas plastik yang berisi buku-buku yang tadi dibelinya. Fikih Wanita.” Ada.” Keduanya tersenyum. Sesaat kemudian, mereka khusyu dalam sholat mereka. “ Nginap sini ya?” Sebuah penawaran baru yang tidak pernah dilakukan Farin. Ika mengangguk penuh semangat. Farin membuka Al Qur‟an berwarna coklat, sama seperti yang dibelikannya untuk Azka. Dadanya berdesir. Dipandangnay Ika. Astagfirullah. Ternyata ada yang namanya takut, desah Farin. Ujian skripsi tidak membuat Farin takut sedikitpun. Begitu juga dengan kemarahan Aris. Sesuatu yang nampak seperti sebuah buku itu mampu membuatnya takut. Diperhatikannya tulisan-tulisan arab yang ada di sana. Dibacanya dalam hati perlahan. Keberaniannya seketika bangun. Farin membaca dengan
264
suara lirih. Penuh keragu-raguan dan kekikukan. Tapi Farin tidak berhenti. Dia terus membaca, membaca dan membaca. Tak ada yang dirasakan dan seolah dilihat oleh Farin ketika sedang membaca Al Qur‟an itu selain merasa bersalah, menyesal, dan hina. Selain kelebatan-kelabatan bayangan dosa-dosanya, perbuatan-perbuatannya selama ini, orang tuanya. Seperti sebuah profile yang dulu sering dikerjakannya ketika masih kuliah sarjana. Air matanya mengalir bak sungai yang mengalir ke laut. Ika mendekatkan diri kepadanya. Ika bersandar pada Farin untuk sesaat. Kemudian, dia berpindah kepangkuan Farin. Farin membiarkannya. Farin terus membaca. Malam sudah menjelang. Keduanya kini sedang mematut diri di depan kaca. Mencoba barang-barang yang mereka beli tadi. Ada ketegangan yang mengalir diantara keduanya. “ Besok, mbak pake yang ini aja.” “ Jangan lupa, kaos kakinya ya.” Ika tersenyum.
265
Puas dengan mematut diri, keduanya berbaring berhadapan. “ MasyaAllah ya, mbak. Kok bisa ya, kita begini. Langsung brungkut.” Kata Ika dengan mata berbinar. Farin tersenyum lembut. MasyaAllah, aku merasa kalo aku lagi tersenyum, sedang memandang Ika dengan kasih sayang. Betapa hebatnya Engkau, ya Allah.” Pinokio tau kalo dia dari kayu, tapi dia tidak tau apa itu kayu. Kita gak tau kalo komputer ato hp kita dipasangi alat penyadap, yang tau yang buat. Manusia juga sama. Kebenaran itu sudah ditanamakan sama Allah dalam diri kita. Sudah satu paket. Karena itu kita takut kalo ingat mati. Siapapun.” Ika tertawa mendengarnya.” Padahal trakhir aku dengar tentang hal-hal yang keagamaan ya SMA. Slama kuliah aku gak pernah ikut. Aku cuman sholat kalo pas di rumah. Biar gak dimarahi bapak. Soalnya smua sholatnya kudu dimasjid tempat bapak kadang-kadang jadi imam cadangan, gantikan imam yang gak bisa.” “ Ya. Slain sudah implant, built-in. Kita juga beruntung masih punya pengalaman agama waktu kecil. 266
Bayangkan kalo waktu kecil kita gak pernah ngaji ato dengar. Tapi Allah Maha Besar. Buktinya ada aja orang lain agama masuk islam tanpa punya pengalaman beragama waktu kecil.” “ Iya ya, mbak. Allah itu Maha Baik. Cepet sekali kita jadi gini. Untungnya kita punya uang.” Air mata Farin meleleh.” Iya. Kita gak kekurangan uang.
Kurang
mengkhianatiNya.”
apa
lagi,
Terngiang
Ka?
Tapi
kalimat
kita
masih
mbak
Estu
ditelinganya : Nikmat Tuhammu yang manakah yang kau dustakan? Ikapun menangis.” Kita dikasih cantik, dikasih pintar. Ternyata kita pengkhianat ya.” “ Mbak merasa tau segalanya. Ternyata banyak yang mbak belum tau. Mbak gak tau rasanya punya teman kayak gini. Punya mbak Estu yang baik. Air ketuban....” Keduanya tertawa.
267
“ Ya. Allah. Jangan hilangkan kehinaan dalam diri kami meski kami tertawa.” Farin berdo‟a dengan suara serak.” Kehidupan kami baru dimulai. Baru saja dimulai.” Ika langsung memeluk Farin. Tangisnya meledak. Pelukannya semakin kuat. Dengan terisak dan masih memeluk erat, dia berkata.”
Aku, alhamdulillah, dikasih
mbak Farin. Mas Samsul belum punya keinginan seperti kita. Aku gak sendiri. Bayangkan kalo aku mati. Trus baru nyesal waktu itu. Aku sendiri... Sama siapa aku? Aku takut, aku takut, mbak Farin..... “ Farin membelai lembut kepala yang bersandar erat di dadanya. Lembut. Sejuk. Indah. MasyaAllah. Aku juga takut. Kenapa memikirkan dari ada menjadi tidak ada seperti ini
bisa begitu
menakutkan?
Kebenaran
itu sudah
ditanamakan sama Allah dalam diri kita. Sudah satu paket. Karena itu kita takut kalo ingat mati. Siapapun. “ Ibu bisa tenang di kuburan.....” Keduanya tertidur dengan air mata. Farin terbangun di sepertiga malam. Dibangunkannya Ika sebelum ia
268
mengambil air wudhu. Bergantian, Farin dan Ika menikmati syahdunya do‟a-do‟a penuh air mata penyesalan. Jangan Kau cabut. Jangan Kau ambil lagi ya, Allah, nikmat ini. Tidak sebenarnya, akulah yang mencabutnya sendiri, menghilangkannya sendiri. Jangan, jangan biarkan aku menghilangkannya. Jangan, jangan biarkan aku terjebak dosa yang sama. Jangan... Ijinkan aku selamanya bersamaMu. Selamanya bersamaMu.... Tidak terjebak dan berubah karena apapun. Bawalah kami pada islam yang benar sebenarnya ya, Allah. Lindungi langkah-langkah pencarian kami. Jadikan kami melangkah dengan teguh. Ku mohon.... Ku mohon... Ku mohon.... Smuanya tidak akan mudah, tapi pasti lebih baik. Smuanya tidak akan mudah, tapi Kau menemani. Jangan biarkan stiap yang kami lihat, setiap yang kami lewati, yang kami dengar, mengikis kami. Menghilangkan kebenaran ini dari kami. Perlahan atau nyata. Jangan. Jangan, ya Allah... Dosa kami yang besar ini tidak bisa terhapus selama hidup kami. Selalu bersama kami... Bagaimana mungkin kami menghadapMu jika kami berubah bak musim kemarau dan musim
hujan.
Kami
ingin
memilikinya
selamanya...
Selamanya.....
269
Tatapan Mata
Mbak Estu tidak terkejut jika pagi itu mbak Estu menemukan Farin dengan pakaian yang berbeda dari yang biasanya. Farin tersenyum lembut, sebuah senyum yang diherankannya sendiri. Senyum itu berbeda dari senyumsenyum Farin sebelumnya. “ Mbak Estu kemarin tasyakuran apa?” Tanya Farin sambil menikmati sarapan paginya yang kali ini dimulai dengan bismillah, sampai-sampai Farin heran, kenapa sekarang dia bisa ingat bisamillah, kemarin tidak? Ika masih belum selesai berganti pakaian. Mbak Estu enggan menjawab.” Tasyakuran biasa kok, mbak.” Akhirnya mbak Estu mengakhiri pertanyaan Farin.” Baju-bajunya mbak Farin mau diapakan?” 270
Farin terdiam sebentar.” Iya ya, mbak. Kalo disumbangkan ke orang, apa gak sama aja nanti, mbak. Bikin orang pake baju yang gak sesuai?” Mbak Estu tersenyum bahagia.” Kalo celana jeansnya, nanti dibuat kain pel ato keset aja, mbak.” Kening Farin berkerut.” Kalo bajunya, bisa saya bagikan ke anakanak kecil tetangga saya, mbak. Bajunya mbak Farinkan ndak besar sekali.” “ Iya deh. Mbak ambil aja ya.” “ Hari ini, mbak?” Mbak Estu terkejut, tapi tetap memberi salam pada Ika; yang tidak dikenalnya, yang baru saja keluar dari kamar. Satu-satunya orang yang tidak tinggal dalam rumah Farin yang mbak Estu pernah lihat keluar dari kamar Farin adalah Hendro. “ Ini Ika, mbak. Adik tingkat saya.” “ Mau sarapan juga, mbak” Tanya mbak Estu sopan. “ Iya. Deh.” Mbak Estu tersenyum riang. 271
Betapa tidak, temannya mbak Farin ndak tanya, sarapan pake apa. Itu pertanda baik. Orang baik. Nggak rewel, pikir mbak Estu. “ Kalo gak hari ini ya, gak apa-apa. Sesempatnya mbak Estu aja.” “ Lho, saya sempat kok, mbak.” „ Lho... Ooo... Terus?” Tanya Farin bingung.” Apa masih repot beres-beres setelah tasyakuran kemarin?” “ Ya... Saya kemarin tasakuran, supaya orang-orang mendoakan, biar istiqomah.” Farin terkejut. Tidak bisa mencerna kalimat mbak Estu dengan baik.” Tapi kalo bajunya mau disumbangkan sekarang, jadi tadi saya, sempat kuatir….
Mbak
Farin
berubah
lagi.
Astagfirullah.
Naudzubilla min dzalik.” “ Mbak Estu mendoakan siapa? Siapa yang istiqomah?‟ Hatinya berdegup karena perlahan Farin mempunyai perkiraan.
272
Mbak Estu diam. Kikuk. “ Anu. Ehh... Nanti kalo saya kasih tau, bisa ndak mustajab, mbak. Paling baikkan, yang didoakan itu ndak tau.” Farin tak kuasa menahan haru, dipeluknya mbak Estu. Keduanya menangis. “ Saya minta maaf, mbak.” Kata mbak Estu dengan suara serak.” Saya ndak brani ngingatkan. Saya takut mbak Farin marah. Tersinggung. Orang pinter kok diingatkan. Saya ini imannya lemah. Bisanya cuman berdoa. Bicaranya juga lemah, nanti salah-salah.” Farin menatap mbak Estu dengan jiwa yang terus mengucap syukur. Farin tersenyum tulus. Ketulusan memberikan rasa yang berbeda pada Farin. Sebuah rasa yang seolah baru dikenalnya.” Pinter apanya, mbak. Gak bisa ngambil yang baik, yang benar, yang seharusnya.... “ “ Kalo gak cerdas, gak mungkin akhirnya ngambil yang terbaik dan terbenar buat dirinya.” Ika menimpali. Dia tersenyum haru disertai air mata meskipun Ika tidak benarbenar mengerti apa yang sebenarnya mereka bicarakan.
273
Setelah momen haru itu berakhir, Farin dan Ika kini melaju menuju orang-orang yang mereka kenal atau mengenal mereka. Vario itu melaju perlahan. Ada ketegangan dalam diri mereka, namun ketegangan itu dibalut oleh perasaan tenang dan pasrah. Farin menyapa bapak satpam penjaga pintu gerbang. Bapak itu menjawab salam dengan senyum ingin tahu. Dulu bapak itu baik, kemarin aku merasa bapak itu gak baik. Galak. Sekarang, aku tenang. Aku ikhlas. Yang manapun bapak itu, aku menerimanya dengan ikhlas. Dan berdo‟a mudah-mudahan bapak itu baik. SubhanAllah...... Ah kata ini.... Kali ini Ika turun di tempat parkir gedung fakultasnya. Keduanya berpandangan saling mendoa‟akn sebelum akhirnya berpisah menuju tempat kuliah masingmasing, tak lupa berpelukan, berciuman dan mengucap salam. Semua orang memandang Farin dengan tatapan penuh ingin tahu. Tapi mereka lebih memilih bersikap sopan. Mereka menjawab sapa Farin yang berbeda, dengan cara ramah seperti biasanya. Mereka boleh bertanya, pada 274
sesama teman ato ke aku langsung. Mereka boleh heran, bahkan curiga, mudah-mudahan tidak, ya Allah, tetap keputusan ada di tanganku. Keterkejutan terlihat jelas dari wajah Samsul, Heru, Joko dan Yudi ketika mereka bertemu di kantor untuk mendiskusikan artikel bulan depan yang dipilih oleh tiap pengurus, kecuali Heru tentu saja. Namun, mereka memilih bersikap sopan dan wajar. Farin besyukur untuk semua itu. Seleksi artikel yang akan dimuat di SpotLang bulan depan berjalan seperti biasa. Setelah selesai menyeleksi. “ Selama ini kita selalu all about politic. Our social lifes pun juga relate to politics. Kita harus mencerdaskan generasi muda. That‟s our motto. But we should give more real contribution. Apa yang terjadi pada saya, karena kurangnya bimbingan. Kita bisa menjadikan mahasiswa melek politik. Suka politik. So, kita pasti juga bisa bikin mereka melek kehidupan. Mengenali kehidupan. Mengenali kewajiban mereka. Mengenali diri mereka sendiri. So, mereka bisa jadi lebih cerdas. Dalam artian yang sesungguhnya, mengetahui, memilih dan melakukan. Bukti eksistensi kecerdasan mereka. Jadi mereka gak perlu nglakukan kesalahan-kesalahan besar yang akan mereka sesali seumur 275
hidup. Kita tumbuh menjadi pribadi yang tidak dewasa, tidak disertai kebijaksanan dan keadilan. Tidak mengherankan akhirnya kesalahan-kesalahan bertumpuk menumpuk itu akhirnya membuat perpolitikan kita carut-marut karena orang-orang yang belum benar-benar dewasa, bijak apalagi adil masuk, andil di dalamnya.” Samsul, Heru, Joko dan Yudhi saling berpandangan. “ Kita akan menambah satu rubrik yang saya asuh, selain rubrik Your Work. Kita akan punya rubruk Missing Life. Rubrik tentang mencoba menjalani hidup dengan benar, mencari, menemukan jalan yang benar, tentang kewajiban kita sebagai manusia pada kehidupan. Ada artikel dan tanya. Untuk sementara artikelnya dari saya sendiri. Tanya bisa dari kalian. Konsepnya sederhana, down to earth, simple, rileks, humanis. Comment?” Farin memandang berkeliling. “ Jadi mbak Farin mau berubah dari pakar jurnalis dan politik ke psikolog agama?‟ Tanya Heru. “ Bukan pindah, menambah. Sambil belajar. Kalo mau diartikan gitu, boleh.” Jawab Farin ringan. 276
“ Saya boleh menulis artikel pertamanya?” “ So, Heru, in?” “ Ya. kalo saya diijinkan mewancarai mbak Farin, kok bisa sampai berubah. Saya bikin jadi artikel pertama MissingLife.” Samsul, Yudhi dan Joko tak habis pikir kenapa Heru bisa mengatakan hal seperti itu. “ Sebelumnya, saya mau tanya dulu, yang lain, in or out? Comment? Additional? “ “ No, problem, mbak. Aku, eh, saya sepakat.” Jawab Joko. “ In.” Jawab Yudhi dan Samsul. “ Alhamdulillah. Good.” Lagi-lagi Farin membuat semuanya terkejut, tapi lagi-lagi mereka hanya menahan diri. Mereka hanya menganggukan kepala.” Boleh. Tapi tetap kita lihat mutu tulisannya.” Kata Farin sambil menunjuk Heru.
277
“ Selama ini kita adalah tim yang hebat. Tapi tim yang hebat dalam bekerja. Bukan sebagai sebuah keluarga. Setidaknya itu antara saya dan kalian. Mudah-mudahan diantara kalian sendiri gak begitu. Saya merasa sudah bersikap open. Please come in, any time. Please talk, anytime. Tapi, rupanya, itu hanya perasaan saya saja. Saya belum sungguh-sungguh. Karena itu dari sekarang, saya ingin kita seperti keluarga. Saling percaya. Bukan hanya tentang our works. Tapi, jika kalian ada masalah, silahkan. Saya mungkin punya jawabannya, mungkin juga tidak. Tapi saya punya kewajiban untuk mencarikan jawabanya.” Heru mengangkat tangan.” Mbak Farin sering bantu masalah saya.” Heru tersenyum. Ketiga seniornya tersenyum. “ Kitakan juga, Jek. Ngopi.” Goda Joko. “ Saya baru saja memetik buah. Saya ingin berbagi.” Farin menatap mereka satu persatu.” Saya yakin, semua yang ada di sini masih punya faith. Jadi..Saya bisa dengan straight bilang kalo kita ini buatan. Kita diciptakan. Kita bukan milik kita sendiri. Ada berjuta tanya dalam diri kita. Sama seperti 278
kita mengelola SpotLang, pada akhirnya kita memilih berita yang kita yakini. Banyak ato sedikit fakta yang kita punya. Kita punya naluri. Insting. Karena itu Spotlang selalu terjaga kebersihannya. Sama seperti itu, seharusnya kita juga bisa menggunakan naluri kehidupan kita. Why? Anak SpotLang terkenal disiplin, well-organized, having excellence words ... Saya, kalian yang membuatnya. Kita tanamkan hal itu ke smua member. Seleksi jadi pengurus bukan hal mudah. Penuh kualifikasi. Yang membuatlah yang menempelkan ide dasarnya. Manusia juga begitu. Kita sudah punya sesuatu yang tertempel erat, kuat dalam diri kita. Smua manusia. Sama seperti smua manusia tau kalo dirinya pasti akan mati suatu saat. Sama seperti itu juga, kita ini mlakukan hal yang salah ato yang benar. Sudah implant dalam diri kita, sudah built-in dalam diri kita, kita diciptakan untuk berbuat salah kemudian berbuat baik! Pada akhirnya setiap keburukan yang kita tuju dan lakukan akan membawa kita kembali pada kebenaran. Mau gak mau, that‟s how life works. “ Semuanya terdiam menunduk. Samsul menekan gerahamnya. “ Naluri berjurnalistik yang baik bisa kita pelihara. Berarti kita juga bisa memelihara insting hidup yang baik! 279
Seperti yang diinginkan oleh Pencipta kita.” Farin berusaha menahan air matanya.” Demi masa....” Suaranya bergetar.” Kita tidak perlu menunggu kematian itu datang, sampai kita membenarkan kebenaran yang sebenarnya selalu datang pada kita, tapi kita tolak dengan halus, dengan kasar, mentah-mentah.” Akhirnya air mata itu tak terbendung. Farin menahan semua kalimatnya, berusaha menenangkan diri. “ Saya baru sholat. Lima tahun lebih saya tidak sholat, juga tidak puasa. Sabun mandi kalo kita pake untuk wajah hasilnya gak bisa bagus speperti yang kita mau. Tapi gak jarang juga yang malah jadi masalah. Kita orang Indonesia masih makan nasi, mana kenyang cuma makan roti. Semua yang gak pada tempatnya, pasti bawa lebih banyak ketidakberuntungan. Saya baru hidup beberapa hari lalu. Saya bisa mrasakan waktu sedang berjalan. Saya baru benar-benar mrasa saya berpacu dengan waktu. Sebelumnya saya lebih buruk daripada orang mati. Saya makan, saya bicara, saya bersenang-senang, tapi saya tidak mrasakan apaapa. Saya hanya hidup dengan sebagian diri saya sendiri.” Farin mendesah dalam.” Kita punya analisa hebat. Kita punya attitude. Tapi kita masih sering salah ngambil 280
keputusan ato salah ngomong, salah berattitude. Kita tau drugs seperti apa, kita tau seks pra nikah seperti apa. Kita masih nglakukan. Pengen nglakukan.” Yudhi dan Samsul menunduk semakin dalam. Heru kaget. Apa teman-teman yang di sini ada yang seks pra nikah? Pengen dan hampir? Siapa? “ Ada yang lain slain otak. Masih ada Nafsu. Hasil peperangan keduanya yang bikin kita bisa berattitude baik ato gak. Otak cuma informan. Smua kesalahan bisa terjadi karena kewajiban yang tidak kita penuhi. Sholat. Saya tidak pernah merhatikan apa kalian sholat. Kalian tidak pergi ke masjid stiap hari jum‟at. Saya hanya bisa mengingat sedikit.” Hati Farin bergetar.” Perbaiki sholat. Kuliah yang baik menghasilkan
sarjana
yang
baik.
Sholat
yang
baik
menghasilkan hidup yang baik. Saya tidak mengatakan tanpa kesalahan. Saya katakan hidup yang baik.” Farin menatap Yudhi dan Samsul.” Sama seperti kalo kalian mlakukan hal yang tidak saya suka ato tidak seperti yang saya delegasikan, kalian pasti meminta maaf untuk itu. Sama seperti itu. Minta ma‟aflah. Mohon ampun.. “ Perlahan dan bergetar Farin berkata.” Pada Allah. Itu adalah wujud nyata dari eksistensi ilmu kita.” 281
Semuanya terdiam. Hening menyerbu mereka untuk waktu yang lama. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Karena
tak
ada
yang
berdiri
atau
meninggalkan tempat, akhirnya Farin memilih untuk mengawali. Farin berjalan ke arah pintu. Dilepasnya tulisan “ Meeting” yang tergantung di sana. “ Saya pergi dulu ya, mbak.” Kata Samsul dengan resah. “Hmm.” Mudah-mudahan Allah menguatkan Ika. Ketika Farin berjalan hendak ke ruangannya, Heru mendekat. “ Her, coba research ya. Teman sekamar Heru kan asisten lab psikologi, Heru bisa minta tolong dia ya.” Heru tida mengerti, tapi dia tetap mengikuti Farin menuju ruangannya.” Ini dicatat. Self-esteem dan seks pra nikah pada mahasiswi. Coba anak semester 3 dan 5. Ato penyimpangan prilaku dan seks pra-nikah. Dia pinter. Mbak pernah ketemu. Kalo ada yang ditanyakan, tanya dia aja. Itu artikel Heru. Kalo bagus, mbak muat”
282
Heru hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan Farin dengan berjuta pertanyaan yang sebenarnya tadi sudah bergelantungan di lidahnya.
Keputusan
Sejak hari itu, Ika lebih sering menghabiskan waktu bersama Farin. Farin tidak sedang bersama Ika ketika Samsul datang ke kelas Ika, mengajaknya bicara. Farin mengetahui semuanya dari Ika dan Samsul. Samsul meminta ma‟af untuk kesalahannya. Ketakutannya yang membuat Samsul memilih untuk bersikap tidak peduli, perasaan bersalah pada orang tuanya membuat Samsul tidak berani mengambil tanggung jawab. Samsul tidak tahu apa yang dirasakannya saat Ika memintanya menjauh. Ketika Ika mengatakan dia bukan lagi siapa-siapa. Ketika Ika mengatakan bayi itu miliknya sendiri. Samsul tidak punya tanggung jawab apapun pada anak itu kelak. Farin sempat merasa geli ketika mendengar hal 283
terakhir tadi. Bukankah Ika sendiri yang bilang, seandainya Samsul berubah menjadi mukmin, maka Ika bersedia menerimanya lagi. Minggu pagi mereka menghadiri sebuah pengajian. Tentu setelah mereka menyelidiki dan mengkaji dengan dalam dan cepat tentang ustad-ustad penceramah di masjid tersebut, disertai doa‟ yang tak kenal putus agar tidak terjerumus ke dalam mulut buaya. Bagaimana menemukan Islam yang benar adalah sebuah perjalanan, sebuah proses. Proses belajar dan mempelajari. Bagaimana pada akhirnya menemukan
Islam
yang
benar
adalah
bagian
dari
kebaikanNya, begitu Farin berfikir. Terjatuh, terjerumus dalam proses pencarian merupakan hal tidak terelakkan, namun bisa diminimalisir. Al Azhar Mesir juga menjadi tempat yang dirujuk Farin untuk mencari Islam yang benar setelah kuliah pascasarjananya selesai. Farin sungguh lupa kalau Hendro berjanji akan datang pada hari itu. ketika sampai di rumah Farin pukul 05.00, Hendro terkejut karena tidak menemukan Farin di sana. Farin dan Ika -yang menginap di sana hari Sabtunyamemutuskan untuk sholat subuh berjam‟ah di sebuah masjid. Kemudian berjalan-jalan sebentar di pasar pagi untuk 284
menikmati
sarapan pagi
sebelum
mereka
mengikuti
pengajian pada pukul 08.00. Mbak Estu yang datang tepat jam 07.30, memilih melakukan aktifitas bersih-bersihnya dengan lebih pelan agar tidak mengganggu Hendro. Mbak Estu memilih tidak membersihkan sofa dan sekitarnya tempat Hendro tidur lelap. Hendro masih lelap saat Mbak Estu selesai membersihkan kamar Farin. Mbak Estu memandang sebentar wajah itu. Kok bisa orang sebaik begini ya? Ya Allah, kalo dia baik, kenapa bisa tega sama mbak Farin. Mbak Estu hanya tahu kalau mereka bukan suami istri, namun mereka sering melakukan hubungan suami istri. Tentu saja mbak Estu tahu, meskipun Hendro lebih memilih untuk melaundrykan seprei dan selimut mereka setiap kali selesai berhubungan. Dari keberadaan Hendro yang tidak setiap hari. Ketiadaan foto-foto pernikahan layaknya orang-orang baik kaya ataupun miskin yang suka memajang foto pernikahan mereka. Sudah cukup memicu mbak Estu berfikir hal yang tidak mbak Estu inginkan. Mbak Estu tidak pernah bertanya tentang hubungan mereka. Tidak pernah bertanya jika menemukan Hendro sudah ada di sana pagi-pagi atau malah 285
menemukan Hendro sedang duduk atau berbaring di atas ranjang. Atau ketika dilihatnya Farin bergelayut mesra di kaki Hendro saat bermain basket. Tidak pernah dan tidak ingin, kata mbak Estu pada dirinya sendiri. Sebenarnya mas Hendro baik. Pikiran itu bergelayut ketika mbak Estu membersihkan halaman sebelah. Orang baik ketemu orang baik, tapi orang salah ketemu orang salah. Kok bisa orang baik berbuat salah? Pinter, cerdas, kuliah. Kaya. Heran mbak Estu. Mas Hendro seperti pak e, pak e suamiku. Sudah tiga tahunan aku ikut mbak Farin, tapi mas Hendro tetep baik. Perhatian. Loman. Ngalah. Bisa ngemong. Tapi kalo gitu buat apa? Kalo dia memang baik Ya, Allah, Engkau pasti membukakan pintu taufik juga buat mas Hendro. Seperti mbak Farin yang baik. Baru saja mbak Estu membuka pintu ruang tamu, dilihatnya Farin dan Ika di depan pagar. Bergegas dengan setengah
berlari,
mbak
Estu
menghampiri
mereka.
Dibukakannya pintu pagar untuk mereka. “ Mbak Ika.” Dengan kikuk dan berbisik mbak Estu berkata pada Ika.” Ke rumah saya dulu ya.” Ajak mbak Estu.
286
Ika bingung, tapi jiwanya mengatakan bahwa mengiyakan mbak Estu adalah yang terbaik. Farin menoleh.” Ada apa?” Ika sudah sampai di seberang pagar. “ Ngg... Mbak Farin sebentar ya. Aku mau minta tolong sesuatu sama mbak Estu.” Tentu saja Farin mengerti. Cukup bagi Farin memahami kemungkinan apa yang sedang dilakukan mbak Estu dan Ika saat melihat CRV hitam yang dilihatnya terparkir di garasi ketika mbak Estu membukakan pagar untuk mencipatkan ruang dan waktu. Farin bimbang apakah sebaiknya mereka tetap ada di sana atau tidak. Aku takut. Takut dengan kebodohanku sendiri. Tidak. TAPI YANG KULAKUKAN IA. Namun akhirnya Farin mengangguk. “
Pergi
dulu
ya,
mbak.”
Pamit
Ika.”
Assalammualaikum.” “Wa‟alaikum salam.” Jawabnya resah. Tolong aku ya Allah, tolong aku.
287
Dengan kaki gemetar karena ketakutan pada nafsunya, Farin melangkah lambat-lambat sambil terus berdo‟a.
Ketakutannya
membuatnya
menangis.
Farin
terduduk di undakan teras. Membayangkan apa yang akan terjadi. Apa yang akan dikatakannya. Aku masih bingung. Aku masih belum memutuskan apa-apa. Aku bingung, ya, Allah. Farin menghapus air matanya. Aku tidak tau apa yang akan terjadi, tapi aku harus.... Kau tidak bisa tidak tau apa yang akan terjadi Farin! Kau harus tau. Bagaimana bisa kau tidak tau ada di posisi mana? Itu akan membayakan dirimu sendiri. Ya Allah. Farin terus melangkah. Berusaha tidak menciptakan gemirincing. Dilihatnya Hendro terbaring di sofa. Farin menggoyangkan hidungnya yang tidak gatal. Apa aku harus membangunkannya? Apa aku tetap berpakain seperti ini? Ya Allah, belum pernah aku seperti ini. Tidak tau apa yang harus kulakukan. Farin akhirnya memilih duduk di kursi makan. Jam berapa mas Hendro datang? Tumben tidur jam segini. Dilihatnya tubuh itu masih diam. Farin baru saja akan melangkah ke halaman sebelah saat Hendro bangun. 288
Hendro terkejut melihat seseorang dengan rok panjang dan baju kurung selutut dengan kaos kaki coklat dan jilbab panjang. Farin? Dadanya berdesir. Nafasnya memelan. Astaga....
Bayangan-bayangan
melintas
dengan
cepat
dipikirannya. Sekarang jantungnya berdegup. Diikutinya langkah gadis itu. Hendro diam mematung di depan pintu dapur. Dia bingung harus memulai dengan cara apa dan memanggil apa. Honey? Farin? Ketakutan hampir menguasai Hendro sepenuhnya. Ditepisnya jauh-jauh semua kelebatan prasangka dan ketakutan. Hendro berjalan mendekat. Farin pun merasakan ada yang mendekat. Dia tidak berani menoleh. Tolong aku ya, Allah. Tolong aku. Aku takut dengan nafsuku. Aku takut dengan kebodohanku. “ Hei...” Hanya itu yang berhasil keluar dari mulut Hendro. Farin menoleh. Belum pernah dia sebingung, setakut dan sekikuk ini. Farin tidak yakin bahwa yang sedang dilakukan oleh bibirnya adalah membuat sebuah senyum.
289
Senyum manis atau tidak. Farin tidak tahu. Farin tidak ingin membalas tatapan Hendro. Hendro menelan ludah. Cantik. Cantik luar biasa. Kenapa dia bisa secantik itu? Selalu cantik? Apa kecantikannya yang membuatku terpikat? Apa? Apa sebenarnya membuatku terpikat? Terpesona? Tentu bodoh sekali jika aku tidak tau apa yang membuatku begitu mencintainya. Aku adalah laki-laki dewasa dan mandiri. Aku harus tahu. Hendro mengusapkan kedua telapak tangannya beberapa saat.” Wow. Amazing.” Think. Think, Think! Come on Hendro. Fight.” Yang kemarin, yang sekarang…. Honey selalu bisa membuat mas terpesona.” Cukup untuk memulai. We‟ll see. Farin bingung menanggapinya. Kakinya berjingkat. Sesuatu yang sangat tidak disukai Farin. Bentuk grogi yang berlebihan. Begitu pendapatnya. Ternyata memang bisa seperti ini jika kita sedang benar-benar grogi. Sesal Farin. Farin berusaha memilih kata dengan cepat. Sayang tak ada satu katapun yang terpilih.
290
Hendro tak ingin kekasih hatinya merasa kikuk lebih lama lagi. “ Well, i don‟t mind. It means we should get married soon.” Hendro berusaha mengatakannya dengan santai seperti biasa. Sesuatu yang sudah diputuskannya setelah menyelesaikan semua urusannya dengan istri dan keluarganya sendiri. Sesuatu yang dirancangnya akan menjadi hadiah jalan-jalan yang indah. Farin masih diam. Menikah? Apa itu yang diinginkannya selama ini? Entahlah. Selama ini aku nggak pernah membayangkan itu. Aku menikmati kebersamaan kami. That‟s it. Pikirannya itu membuat Farin merasa hina. Aku belum menginternalisasi nilai-nilai Allah. Aku baru saja mulai. Belum ada eksistensi Tuhan dalam diriku... Mencari kebenaran bersamanya? Bagiamana...? Apakah?..... Bukan. Sepertinya bukan. Entahlah. Kediaman Farin cukup buat Hendro untuk mengerti semuanya. Apa yang diinginkan oleh kekasih yang sangat dicintainya.
Dadanya
berdegup
semakin
kencang
membuatnya sakit meski Hendro berusaha sepelan mungkin
291
menelan ludahnya perlahan. Ada sesuatu di matanya yang tak diinginkannya jatuh. Hendro mengehela nafas. Aku memang memulainya dengan gak baik. Aku mempertahankannya dengan baik. Apa kalo sekarang dia memilih jalannya sendiri, aku masih tetap mempertahankannya? Memaksanya? Tubuh Hendro bergetar. Aku yang memilihkannya jalan mencintaiku. Sekarang....
Biarkanlah
dia
memilihkan
jalan
untuk
mengakhiri semua ini. Aku tidak mau. Tidak. Aku tidak mau. Aku gak mau berakhir. Ditatapnya mata kekasih yang sangat dicintainya itu. Mata itu segera tertunduk. Bagi Hendro tatapan Farin yang sekelebat adalah cukup. Semua tidak akan pernah sama lagi. Aku tak ingin memaksanya. Setelah smua apa yang dia beri. Kebelian-nya. Kecantikannya. Itukah yang membuatku terpesona?
TIDAK.
Kelucuannya,
amarahnya,
kengototannya. Aku mencintai semua yang ada padanya. Hendro teringat lagu big big world yang sering di dengarnya dari kamar adiknya, Hernik. Lagu cengeng menurut Hendro. Saat ini lagu itu terngiang di telinganya. Lagu itu tidak lagi terdengar cengeng. Lagu itu terdengar 292
begitu menyedihkan dalam ekspressi kata yang cerdas. Mengungkapkan perasaan yang begitu dalam. I‟m a big big girl in the big big world it‟s not abig big thing if you leave me. But i do do feel but i do do will miss you much miss you much. Bukan hal besar jika kamu meninggalkan aku. Tapi aku benar benar merasa, tapi aku yakin aku pasti akan merindukanmu. Bukan hal besar jika kamu meninggalkanku. Karena kau tahu semua pasti akan berakhir. Hanya saja aku sangat berharap semuanya berakhir dengan indah. Hanya saja, aku terlambat. Aku terlalu bingung memilih happy endingnya. Aku membuat endingnya di saat terakhir. Too late. Tapi aku merasa, tapi aku yakin, aku akan sangat merindukanmu. Setelah lima tahun kebersamaan yang indah. Hendro menatap nanar kekasih hatinya. Begitu ingin Hendro merengkuh tubuh indah itu. Setidaknya untuk terakhir kali. Begitu ingin Hendro mengecup rambut kekasih hatinya itu. Tapi dia tahu itu tak mungkin. Tapi dia tahu itu sia-sia. Tidak akan berarti apa-apa. Hanya menambah perih. 293
Air matanya menetes. Dipandangnya bola mata Farin yang juga basah. Hendro hanya berdiri tertegun. Mematung. Aku tak akan pernah kembali ke sini. Tidak sekalipun. Tidak selamanya??? Enggan kakinya beranjak. Menikmati waktu demi waktu yang terus berlalu. Diantara pengetahuan Hendro bahwa semua harus dan pasti berkahir, Hendro tetap memilih berdiri di sana. Membingkai setiap sudut wajah kekasih yang sangat dicintainya. Entah untuk apa. Hendro hanya merasa ingin melihat semuanya. Untuk yang terakhir kali???? ENTAHLAHHH. Ini benar-benar akhir. Akhir segalanya. Akhir akhir pekan penuh cinta. Akhir hari-hari penuh harap. Akhir dari semua akhir. Galau Hendro. Hendro bingung harus menggunakan mas atau aku. Dengan berat hati akhirnya Hendro memilih aku. Suaranya serak dan dalam.” Aku tidak memaksa...” Hendro tahu tak bisa lagi menyebut honey. Sejak sekarang. Perih dirasakannya ketika menyadari hal itu.” Aku bisa mengerti...” Perih itu semakin menghujam......” Tidak ada yang perlu dikatakan.” Hendro membasuh air matanya yang telah membasahi hidunganya. Ditelannya ludah beberapa kali agar pita suaranya tidak menghasilkan pilu.” Aku tak ingin ada yang 294
dikembalikan. Aku juga tidak minta Farin menyimpan semuanya.” Suaranya pelan. “ Aku tidak mengharapkan Farin kembali suatu saat.” Ini adalah kebohongan, desah Hendro. Keharusan. Keharusan dari ketulusan? Haruskah begitu.” Tapi jika suatu saat, ada hal yang berhubungan denganku,....” Sesaat Hendro ingin menggunakan kata “insyaAllah”, namun niat itu diurungkannya. Terlalu mengambil muka. Tapi sebenarnya tidak, saat itu Hendro merasa
kata
itulah
yang
tepat.
Bukan
mudah-
mudahan.”....Mudah-mudahan, aku selalu siap.” Aku tak ingin mempersulit keadaan, pikir Hendro. Ditahannya isak tangis. Dikumpulkannya kekuatannya sekali lagi.” Aku ndak tau apa aku pantas dan harus berterimakasih untuk sesuatu yang sekarang tidak lagi Farin anggap indah.” Suaranya bergetar.” Tapi aku sungguh berterima kasih.” Hendro menatap bola mata yang masih basah itu. Aku minta ma‟af, bisik Hendro dalam hati. Aku minta ma‟af. Kata itu tidak terucap. Tidak mampu terucap. Lidah Hendro terlalu kelu. Terlalu besar kesalahanku. Terlalu besar. Hendro mencoba untuk tersenyum. Kemudian ditegapkannya badannya. Setelah itu dia berlalu dengan langkah gontai. Terdengar pintu pagar terbuka kemudian 295
ditutup lagi. Pendek. Singkat. Tak terdengar suara mobil. Farin heran. Tapi keheranannya tak menggerakkannya untuk melangkah, melihat apa yang terjadi. Farin terdiam. Air matanya terus meleleh. Pikirannya kacau. Kacau karena menyakiti orang yang sangat dicintainya. Orang yang bertahun-tahun membuktikan dedikasi cintanya. Orang yang menjadikannya merasa begitu berharga. Begitu special. Meski hanya untuk satu orang. Meski hanya untuk dirinyalah Farin berharga. Lelaki itu mencoba. Tapi dia tidak memaksa. Begitu besarnya cintanya padaku. Begitu berartinya aku baginya, tapi dia lebih memilih memberiku kesempatan. Memberi apa yang ku mau. Seperti yang slama ini dia lakukan untukku. Betapa hebatnya dia. Ya..Allah...Aku mencintainya, aku mencintainya.... Farin terisak. Perih. Pedih. Menghimpit ulu hatinya. Farin terus terisak. Ya, Allah... Dia laki-laki yang sangat baik. Dia bersamaku bertahun-tahun, dan kebaikannya seolah tak pernah luntur. Aku tak ingin kami menyatu dalam kehinaan. DihadapanMu.
Aku
tak
ingin
berlari
mengejarnya,
memintanya kembali untuk memenuhi rongga nafsuku lagi. Farin 296
terisak.
Lirih
seolah
didengarnya
seseorang
mengatakan: Aku pezina, dia pezina ... Apa yang akan terjadi jika dua penjahat bersatu? Farin berjalan dengan gontai disertai air mata yang tak mau berhenti walau hanya sekejap. Farin membiarkan air matanya berjatuhan begitu saja membasahi jilbabnya. Apa yang kukejar? Bukannya Allah tlah memberi kemudahan? Pertolongan yang aku dengungkan dari tadi! Apalagi? Dia mengerti tanpa aku harus menjelaskan. Dia begitu berlapang dada. Dia begitu mencintaiku... Dia begitu mengerti aku. Dia begitu merawat. Tanpa pamrih. Tanpa pamrih?? Bertahun-tahun. Penuh pengorbanan. Oh, ya? Cinta siapakah yang paling besar Farin!!!
Kecantikanmu! Kemolekanmu!
Kecerdasanmu!
Kemapananmu! Bahkan kehadirannya apa karna kuasamu?! Farin menangis semakin keras. Ya, Allah ..... Jiwa ini.... Tolong aku! Nafsuku terus merasuki ronga-rongga jiwaku! Tolong aku, aku tak mau terpedaya. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak punya jawaban. Tolong..... Ya, Allah, dia laki-laki yang baik. Kembalikan dia padaku! Suatu saat kembalikan dia padaku! Siapa yang lebih mengetahui Farin? Kamu atau Allah Tuhanmu? 297
Sangat
sulit
bagi
Farin
untuk
mempercayai
keajaiban, untuk mempercayai sebuah kebetulan yang tepat, di saat yang tepat, di meja, di depan sofa yang ikut menjadi basah oleh tangannya yang tiada henti menghapus air matanya, ada sesuatu berwarna coklat tergeletak di sana. Dengan perasaan tidak percaya, Farin mengambil buku itu. Kemudian
membukanya.
Siapa
yang
menyuruhku
membuka? Heran Farin. Aku tidak bermasud mengambil dan membuka. Apa yang kucari? Mata nanarnya tidak bisa membaca apa yang dilihatnya. Basah oleh air mata. Tertutup oleh kabut kesedihan. Diantara semua yang tidak bisa dilihatnya Farin melihat sesuatu yang samar, namun bisa dibacanya dengan baik. Dimengerti pula oleh jiwanya. Farin menangis. Jiwanya tertegun. Tertegun oleh Keaguangn yang Maha Esa. Bagaimana mungkin aku bisa membaca bagian yang itu, padahal yang lain tidak?? Ma‟afkan aku... Ma‟afkan aku ya....Allah...Ma‟afkan aku.... Ampunkan aku! Hanya penghibaan yang terus dikatakan oleh hati, jiwa, otak, darah dan semua yang ada dalam raga, juga lisannya....... Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang ingkar kepada Allah. 298
Matahari terus bersinar sebagaimana yang diperintahkan padanya hingga waktu yang telah ditentukan. Aku menghiba agar kita tidak tergolong orang yang tidak menunjukkan ketiadaan eksistensi Tuhan dalam diri kita. Aku juga menghiba agar kita tergolong manusia yang mau member kesempatan pada diri sendiri untuk memilih kembali dan hidup di jalan kebenaran sebelum akhirnya pasti akan digiring pada bukti kebenaran yang tidak ditolak oleh semua jiwa yang hidup: kematian. Permohonan yang kupanjatkan bukan hanya untuk diriku sendiri saja…Untuk siapapun yang pernah hidup di dunia ini.
299