Jika dilihat sepintas, tidak ada yang salah dengan kutipan di atas. Bahkan teks tersebut terlihat positif karena berisi pernyataan yang menyetujui jika orangorang eks PKI menjadi caleg, bahkan keturunan eks PKI juga harus diberi hak yang sama. Yang menjadi masalah adalah penggunaan kata “dosa” yang pakai dalam kalimat tersebut. Kata “dosa” biasa dipakai dalam masalah keagamaan, dosa berarti sebuah perbuatan yang melanggar aturan yang bersifat mutlak dan telah ditetapkan oleh tuhan. Kutipan di atas memang menyatakan keturunan orang PKI tidak ikut menanggung dosa, namun hal itu juga berarti orang tua mereka yang ikut PKI telah melakukan dosa. Anak keturunan PKI memang tidak melakukan kesalahan, namun orang tua mereka yang ikut PKI telah melakukan perbuatan dosa karena telah melakukan pemberontakan. Dengan menyatakan PKI telah melakukan perbuatan dosa, secara tidak langsung Republika melihat pemberontakan yang terjadi pada tahun 1965 benar-benar dilakukan oleh PKI dan memang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Kepastian tentang keterlibatan PKI dalam pemberontakan seakan menafikan wacana lain yang mengungkapkan keterlibatan kelompok lain dalam peristiwa G30S. bagi Republika, PKI dan komunisme dilihat sebagai pihak yang bersalah tetap harus diwaspadai.
3. Analisis Sosial Dalam masyarakat biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga menjadi wacana dominan, sedangkan wacana lain menjadi wacana alternatif yang terpendam atau
220
terpinggirkan. Demikian juga halnya yang terjadi dalam wacana tentang PKI dan komunisme. Wacana tersebut sebenarnya bersifat kompleks, namun Orde Baru berkepentingan dengan wacana tersebut untuk kelangsungan rezimnya, maka Soeharto memilih dan melanggengkan wacana tertentu yang sesuai dengan kebutuhan kekuasaannya dan menyingkirkan wacana alternatif yang dinilai akan men-delegitimasi-kan kekuasaannya. Strategi wacana yang biasa dipakai adalah penggambaran diri sendiri secara positif (positive self presentation) dan menggambarkan pihak lain secara negatif (negative other presentation). Orde Baru menggambarkan dirinya sebagai pihak yang paling berjasa mengangkat bangsa Indonesia dari keterpurukan dan masa suram Orde Lama serta sebagai pahlawan penumpas komunisme. Orang-orang komunis digambarkan sebagai pemberontak, anti tuhan, kejam dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Wacana mengenai PKI hasil bentukan Orde Baru dianggap sebagai wacana yang paling sahih dan menyingkirkan wacana lain yang menggambarkan sisi positif maupun aspek humanisme orang-orang PKI serta mengaburkan kekejaman dan diskriminasi yang dilakukan oleh Orde Baru. Tanpa dukungan kekuasaan, wacana alternatif tentang PKI dan sisi negatif Orde Baru hanya menjadi obrolan yang tercecer di sudut kampung dan menjadi wacana yang diragukan kebenarannya. Wacana tentang Partai Komunis Indonesia yang ada dalam Kompas dan Republika atau dalam media massa secara umum adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat. Karena itu, selain melihat wacana dalam media juga perlu dilakukan kajian terhadap literatur dan bahan lain yang ada untuk
221
melihat bagaimana proses produksi dan reproduksi wacana tentang PKI dalam masyarakat serta melihat bagaimana wacana tersebut diangkat kembali oleh media massa. Untuk melihat proses produksi dan reproduksi wacana dalam masyarakat, van Dijk menawarkan apa yang disebutnya sebagai analisis sosial, sebuah model analisis sederhana untuk menguraikan bagaimana kelompok dominan membentuk wacana yang sesuai dengan kebutuhan dan bisa menopang dominasi serta kekuasaannya. Menurut van Dijk, ada tiga hal penting yang dilihat dalam analisis sosial yaitu kekuasaan, dominasi dan akses.185 Kekuasaan didefinisikan oleh van Dijk sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok untuk mengontrol kelompok lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai, semisal uang, status, dan pengetahuan. Selain berupa kontrol yang bersifat langsung dan bersifat fisik, kekuasaan juga bisa berbentuk persuasif yakni tindakan seseorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan. Dominasi bisa diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan sosial. Pada kelompok yang berkuasa, dominasi menghasilkan berbagai macam bentuk ketidakadilan sosial. Dominasi direproduksi lewat pemberian akses khusus terhadap sumber-sumber sosial secara diskriminatif. Dominasi juga direproduksi dengan melegitimasi akses tertentu lewat bentuk-bentuk kontrol pikiran yang
185
Elemen-elemen analisis sosial diambil dari Teun A van Dijk, “Discourse and Cognition in Society” dalam David Crowly & David Mitchell, Communication Theory Today, UK Cambridge: Polity Press, 1994, hal: 108-110 dan Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS, 2001, hal: 271-274
222
manipulatif dan cara lain agar kelompok yang didominasi bisa menerima keadaan tersebut secara suka rela. Teun van Dijk juga melihat akses sebagai faktor penting dalam produksi wacana, bagaimana akses yang dimiliki setiap kelompok dalam masyarakat. Kelompok elit biasanya mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Misalnya kelompok yang berkuasa mempunyai akses lebih besar terhadap media sehingga bisa mempengaruhi kesadaran khalayak dan bisa menentukan topik serta isi wacana apa yang dapat disebarkan kepada khalayak. Khalayak dan kelompok lain yang tidak mempunyai akses hanya akan menjadi konsumen dari wacana yang telah ditentukan, bahkan bisa memperbesar wacana tertentu lewat reproduksi dari apa yang telah mereka terima dari kelompok dominan. Ketiga hal tersebut saling terkait, karena itu uraian analisis ini tidak dipilahpilah berdasarkan elemen analisis sosial tapi berusaha menjelaskan bagaimana kekuasaan, dominasi dan akses direpresentasikan dalam berbagai medium dan mempengaruhi wacana yang ada di dalamnya. Namun dominasi wacana tidak pernah terjadi secara mutlak, selalu ada celah bagi wacana lain untuk bertahan di tengah dominasi, meskipun hanya berskala kecil dan menjadi minoritas. Wacana alternatif mengenai PKI hidup di sela-sela dominasi wacana Orde Baru melalui medium yang tidak terkontrol oleh Orde Baru.
223
3.1. Produksi Wacana Orde Baru Seberapa besar andil Soeharto dan militer dalam hiruk-pikuk G30S masih belum menemukan titik terang, namun satu hal yang pasti, embrio Orde Baru lahir berpangkal dari tragedi tersebut. Lewat Supersemar Soeharto memegang kendali dalam pembubaran PKI, kemudian Orde Baru yang dikomando oleh Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun. Terpuruknya sektor ekonomi dan gonjang-ganjing politik yang terjadi pada masa Bung Karno menjadi titik tolak Orde Baru untuk membangun Indonesia. Berbeda dengan Bung karno yang menjadikan politik sebagai panglima, Soeharto justru menjadikan sektor ekonomi sebagai titik sentral pembangunan. Syarat utama pembangunan adalah adanya jaminan keamanan serta stabilitas nasional, tanpa jaminan keamanan, tidak akan tercipta ketertiban dan pembangunan tidak akan terwujud. Selama masa kekuasaannya, Orde Baru mendefinisikan beberapa hal yang dianggap sebagai musuh pembangunan. Kelompok atau perseorangan yang melancarkan kritik terhadap kebijakan Orde Baru dianggap mengganggu stabilitas nasional dan mengganggu proses pembangunan sehingga harus dibungkam. Namun Orde Baru mempunyai musuh utama sejak orde tersebut lahir, yakni komunisme. Orde Baru dianggap sebagai pahlawan karena berhasil menumpas PKI yang menjadi sumber masalah pada masa lalu, maka wacana tersebut terus diawetkan. Komunisme dilihat sebagai hantu yang sangat menakutkan dan terusmenerus membayangi kehidupan bangsa Indonesia. Bangsa ini tidak akan bisa membangun jika kelompok komunis ada di sekitar kita, mereka adalah orang-
224
orang yang anti tuhan, pemberontak, suka mengadu domba dan menikam dari belakang. Kehadiran orang-orang komunis hanya akan mengacaukan tertertiban, menciptakan instabilitas. Orde Baru berhasil menanamkan “hantu komunisme” dalam benak sebagian besar rakyat Indonesia lewat kontrol secara fisik maupun mental. Lewat berbagai medium yang ada, Orde Baru terus menerus menyebarkan wacana tentang bahaya laten komunis sehingga terbentuk semacam pengetahuan dalam masyarakat bahwa komunisme adalah ideologi yang sangat berbahaya. Wacana komunisme versi Orde Baru menjadi wacana dominan karena Orde Baru mempunyai akses khusus terhadap berbagai medium penting. Orde Baru mempunyai akses lebih besar terhadap berbagai medium wacana dibandingkan kelompok lain. Besarnya akses yang dimiliki Orde Baru menghasilkan dominasi wacana sehingga sebagian besar masyarakat hanya mengetahui masalah G30S dan komunisme versi Orde Baru dan menghalangi wacana lain seputar masalah tersebut. Berikut diuraikan secara singkat beberapa medium yang dikuasai Orde Baru serta wacana tentang Partai Komunis Indonesia dan komunisme yang ada di dalamnya.
1.0.0. Undang-Undang Orde Baru melihat partai Komunis Indonesia benar-benar sebagai hantu yang sangat menakutkan sehingga harus diberantas sampai ke akar-akarnya dan tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada mereka untuk hidup. Setelah dibubarkan oleh Soeharto lewat Supersemar, larangan terhadap penyebaran ajaran komunisme dikukuhkan dalam ketetapan MPRS Nomor XXV/1966. Tidak cukup
225
sampai di situ, lewat berbagai undang-undang yang disusun, orang-orang yang dituduh terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dengan PKI tidak boleh masuk dalam semua institusi pemerintahan maupun lembaga pelayanan publik lainnya dan dihilangkan hak-haknya sebagai warga negara. Larangan terhadap orang-orang eks PKI untuk berperan serta dalam Pemilu dikukuhkan dalam beberapa undang-undang yang disusun pada masa Orde Baru. Bahkan tradisi diskriminasi terhadap orang-orang eks PKI pun masih terjadi pasca reformasi, masih ada beberapa undang-undang yang disusun pasca tahun 1999 yang masih mencantumkan larangan terhadap orang-orang komunis. Dalam UU No 15/1969 tentang pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan Rakyat yang disusun pada awal kekuasaan Orde Baru, pasal 2 menyebutkan bahwa Warga Negara Indonesia bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang lainnya tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih. Kuatnya pengaruh wacana mengenai bahaya komunis yang disebarkan oleh Orde Baru pun masih dirasakan pada era reformasi. Dalam UU No. 3/1999 pasal 43 ayat 11 menyebutkan bahwa seorang calon anggota DPR, DPRD I dan DPRD II adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termsuk organisasi massanya bukan yang terlibat secara langsung atau tidak dalam G30S/PKI.186 Dalam undang-undang lain disebutkan, jika pemerintah membutuhkan pendapat rakyat secara langsung melalui referendum, orang-orang eks komunis 186
“Pasca Putusan MK soal Eks Anggota PKI, Perjalannan Masih Panjang”, Kompas, 1 Maret 2004, hal: 8.
226
juga tidak berhak mengutarakan sikapnya karena tidak mempunyai hak suara. Seperti tercantum dalam UU No.5/1985 tentang referendum, pasal 11 ayat (2a) menyebutkan bahwa untuk dapat dari daftar dalam pemberi pendapat rakyat, harus dipenuhi syarat-syarat: bukan bekas anggota partai terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung/tak langsung dalam G30S/PKI.187 Mengenai masalah peradilan, orang-orang eks komunis pun tidak diberi kepercayaan dan kewenangan untuk menjadi juru pengadil, baik dalam peradilan umum, peradilan tata usaha negara maupun peradilan agama. UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum, pasal 14 ayat (1d) menyebutkan, untuk diangkat menjadi hakim pengadilan negeri, seorang calon bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI. Dalam UU No. 5/1986 pasal 14 ayat (1d) disebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi hakim pada pengadilan TUN seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan yang terlibat langsung/tak langsung dalam G30S/PKI. mengenai peradilan agama, UU No. 7/1989 pasal 13 ayat (1e) menyebutkan, untuk dapat diangkat menjadi hakim pada pengadilan agama seseorang tidak boleh bekas anggota partai terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.188
187 188
Ibid. Ibid.
227
3.1.2. Pidato Kenegaraan Soeharto memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk menyebarkan wacana yang memperkokoh kekuasaanya. Setiap medium yang tersedia baginya selalu dimanfaatkan untuk terus memupuk berbagai wacana yang menonjolkan kepahlawanan Soeharto dan mengingatkan kepada rakyat tentang bahaya yang dihadapai bangsa Indonesia. Salah satu medium yang manfaatkan Soeharto untuk mengingatkan rakyat akan bahaya komunisme adalah Pidato Kenegaraan HUT Kemerdekaan RI. Setiap tangggal 16 Agustus ada suatu tradisi dimana presiden RI menyambut hari kemerdekaan dengan pidato kenegaraan, materi yang disampaikan biasanya mengingatkan jasa para pahlawan serta tanggapan terhadap masalah-masalah aktual yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. ketika berkuasa, peringatan HUT Kemerdekaan RI juga dipakai oleh Soeharto untuk mengingatkan kepada rakyat Indoensia akan bahaya laten komunis. Misalnya dalam Pidato Kenegaraan menyambut HUT Kemerdekaan RI pada tahun 1996, Soeharto menyatakan bahwa pemberontakan PKI tahun 1965 merupakan tragedi nasional, kejadian tersebut meninggalkan luka-luka yang dalam dan lama pada tubuh bangsa kita. Itulah sebabnya, secara konstitusional PKI dan ideologi yang mendukungnya dilarang untuk selamanya di bumi Indonesia agar pemberontakan PKI dan sejenisnya tidak akan terulang kembali di tanah air.189 Soeharto juga menjelaskan bahwa malapetaka nasional yang disebabkan oleh PKI telah membangkitkan kesadaran bangsa dan mengajak kita untuk merenungkan kembali perjalanan sejarah bangsa yang terjadi pada masa lampau. 189
dikutip dari Eriyanto, Kekuasaan Otoriter, Dari gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni, Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto, Yogyakarta: Insist, 2000, hal: 105
228
Iklim revolusioner -Soeharto menyebutnya “jor-joran revolusioner”- yang terjadi pada masa Bung Karno adalah hasil kerja PKI dan telah menciptakan suasana saling curiga, perpecahan, ketegangan, ketidakstabilan, kemerosotan ekonomi dan menjauhkan rakyat dari kesejahteraan. Ringkasnya suasana nasional pada masa itu sama sekali tidak mendukung iklim pembangunan untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Soeharto menyimpulkan bahwa semuanya terjadi karena kita tidak setia dan menyimpang dari Pancasila dan UUD 45.190 Pada kesempatan lain, dalam Amanat Kenegaraan Soeharto mengemukakan beberapa masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia, salah satunya adalah bahaya laten komunisme yang harus tetap diwaspadai karena unsur-unsur laten komuis masih tersisa.191
3.1.3. Buku Penghancuran terhadap kelompok komunis dilakukan secara sistematis oleh Orde Baru, semua aspek yang berbau kiri dimusnahkan, termasuk lembagalembaga politik dan kebudayaan. Buku menjadi salah satu pusat perhatian Orde Baru dalam menangkal tumbuhnya komunisme, buku-buku yang dianggap berbau kiri atau ditulis oleh penulis dari kelompok kiri dimusnahkan. Selain itu, penguasa juga menerbitkan buku pelajaran dan buku putih yang menggambarkan keburukan orang-orang komunis. Sejak periode 1965-1996, Orde Baru diperkirakan telah melarang 2.000 buku. Dua bulan pasca kudeta 1 Oktober, Kolonel K Setiadi Kartohadikusumo
190
Ibid. Virginia Matheson Hooker, “Bahasa danpergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan Terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (ed) Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996., hal: 57
191
229
dari Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan melarang peredaran 70 buku di semua lembaga pendidikan secara nasional. Kebijakan tersebut diikuti dengan serangkaian larangan terhadap semua karya 87 orang pengarang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI. Pada tahun-tahun berikutnya, berbagai lembaga pemerintah melarang dan memusnahkan buku-buku yang ditulis dan diterbitkan oleh orang-orang yang dicurigai berhaluan kiri. Pada tahun 1967, Tim Pelaksana/ Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dan MarxismeMao Tse Tungisme melarang kepemilikan, peredaran atau penjualan 174 judul buku dan majalah di dalam wilayah kota Jakarta.192 Pada tahun-tahun berikutnya di masa kekuasaan Orde Baru, pelarangan buku masih terus berlangsung namun jumlahnya semakin mengecil. Selain melarang dan memusnahkan buku-buku yang dinilai berhaluan dan ditulis orang-orang yang berhaluan kiri, Orde Baru juga menyusun buku yang menggambarkan bagaimana peran PKI dalam peristiwa G30S. Buku pelajaran sejarah Indonesia dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi juga diisi dengan penggambaran tentang PKI dan peristiwa G30S menurut versi Orde Baru. Salah satu buku yang menggambarkan secara detil tentang PKI adalah buku putih berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”. yang diterbitkan Sekretariat Negara RI. Buku tersebut menjelaskan secara rinci pertumbuhan PKI sebelum dan pasca kemerdekaan, aksi subversi yang pernah dilakukan serta menguraikan bagaimana kudeta G30S yang dilakukan oleh PKI telah dipersiapkan jauh hari secara matang. 192
Krishna Sen dan david T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:Institut Studi Arus Informasi, 2001, hal: 44.
230
Dalam buku tersebut digambarkan bahwa sejak awal berdirinya PKI, yakni sebelum masa kemerdekaan sampai dengan dibubarkan, orang-orang komunis lebih banyak merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. PKI juga dinilai sama sekali tidak mempunyai andil dalam persiapan proklamasi kemerdekaan dan perjuangan kemerdekaan. Setelah gagal dalam pergolakan melawan pemerintah Belanda tahun 1926-1927, tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang PKI sampai RI merdeka. Karena itu, tidak ada orang-orang komunis yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) maupun aktivitas lain dalam memperjuangkan kemerdekaan dan tercetusnya Proklamasi Kemerdekaan RI. Dengan demikian, baik dalam persiapan proklamasi maupun penyusunan Pembukaan dan UUD 1945 serta selama perang kemerdekaan tahun 1945-1949, PKI tidak pernah ikut serta.193 Setelah Indonesia merdeka, kehadiran PKI hanya mengacaukan kehidupan bangsa Indonesia. Pada tahun 1948, tokoh-tokoh komunis mengadakan pidatopidato yang bernada membakar emosi massa di Yogyakarta dan Madiun. Aksiaksi yang mendiskreditkan pemerintah RI dilancarkan, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) melakukan aksi pemogokan di Delanggu, pegawaipegawai pemerintah dan tokoh-tokoh partai yang bukan komunis diteror, dan di depan rakyat banyak Muso senantiasa menggembar-gemborkan janji-janji muluk PKI. Pada 18 September 1948 kaum komunis melakukan perebutan kekuasaan di Madiun dan memproklamirkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Sehari 193
Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya., Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal: 15-16
231
kemudian, Muso membentuk Pemerintah Front Nasional, PKI juga merebut obyek-obyek vital seperti kantor pemerintah, kantor pos, bank dan markas polisi serta militer. Dua minggu kemudian, pasukan TNI berhasil menguasai kembali kota Madiun dan menumpas pemberontakan PKI.194 Setelah gagal dalam pemberontakan Madiun, PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Namun setelah direhabilitasi pada tahun 1950, Alimin mengaktifkan kembali PKI dan mulai menyusun kekuatan lagi. Pada tahun yang sama D.N. Aidit mengambil alih pimpinan PKI, terus berusaha merehabilitasi nama PKI dan menyatukan seluruh potensi partai. Pada tahun 1954 PKI melancarkan strategi “Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan” (MKTBP) untuk memperluas pengaruhnya di kaum buruh tani, petani miskin dan buruh kota, menetralisir lawan-lawan politiknya dengan menyusup ke dalam Angkatan Bersenjata, aparat negara, partai politik dan organisasi massa serta menyiapkan dukungan yang luas di kalangan rakyat Indondonesia terhadap program-program PKI. Sebelum melakukan pemebrontakan G30S, PKI melakukan kegiatan untuk meningkatkan situasi ofensif revolusioner, antara lain dengan melakukan sabotase terhadap transportasi umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api sehingga menyebabkan tabrakan kereta api di stasiun Purwokerto, Kaliyasa, Kroya, Cirebon, Semarang dan Cipapar Jawa Barat.195 Selain aksi sabotase, Barisan Tani Indonesia (BTI) juga melakukan Aksi Sepihak, menuntut pemerintah untuk mengimplementasikan Undang-Undang No.2/1960 yang mengatur tentang bagi hasil tanah pertanian dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960. 194 195
Ibid, hal: 21-22. Ibid. hal: 49
232
Akibatnya, Di Klaten ratusan anggota BTI mengeroyok seorang petani karena masalah sewa-menyewa tanah pertanian, dan di desa lainnya sekitar 200 orang anggota BTI membabat padi milik seorang petani dengan paksa. Di Sumatra Barat, BTI menyerobot tanah perkebunan milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) dan menanaminya dengan pohon pisang. Ketika berusaha menertibkan aksi tersebut dan membersihkan pohon pisang yang ditanam, seorang Pelda TNI AD dikeroyok hingga tewas oleh sekitar 200 anggota BTI dan PR.196 Setelah tercipta situasi ofensif seperti yang diinginkan, menjelang dini hari tanggal 1 Oktober 1965 PKI melakukan aksi perebutan kekuasaan. Pasukan yang telah ada di bawah kendali PKI dikerahkan untuk menculik tujuh jenderal dari kediamannya masing-masing. Ketujuh jenderal tersebut di bawa ke basis gerakan di Lubang Buaya. Tiga jenderal dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan telah tewas, sedangkan empat orang lainnya yang masih hidup disiksa oleh anggota Gerwani hingga tewas dan semua jenazah dimasukkan ke dalam sumur, ditimbun dengan sampah dan tanah, kemudian di atasnya ditanami pohon pisang untuk menghilangkan jejak.197 Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.00 WIB, siaran RRI mengumumkan adanya Gerakan 30 Sepetember. Pukul 14.00 WIB pada hari yang sama, Letkol Inf. Untung sebagai Komandan Gerakan Militer mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi Indonesia, nama-nama tokoh PKI dan non PKI mengisi jabatan Dewan revolusi. Dewan Revolusi yang dibentuk oleh Gerakan 30 September
196 197
Ibid, hal:51-52. Ibid. hal: 103.
233
merupakan upaya PKI untuk menipu rakyat dengan memanipulasi nama tokohtokoh, baik politik maupun ABRI yang anti komunis. Setelah mengumpulkan berbagai informasi tentang G30S Mayjen Soeharto menyimpulkan bahwa G30S adalah gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan dan merebut kekuasaan dari pemerintah RI yang sah. Berdasarkan keyakinan itu, Soeharto mengkonsolidasikan kekuatan militer yang tidak mendukung G30S dan mulai bergerak menguasai obyek-obyek vital yang telah dikuasai oleh kelompok pemberontak. Setelah diketahui secara jelas bahwa dalang G30S adalah PKI, berbagai kelompok massa pemuda, pelajar dan mahasiswa secara spontan mengadakan aksi-aksi penyerbuan gedung-gedung milik PKI serta ormasnya, bentrokan fisik tidak dapat dihindarkan. Pada akhir 1965 pemerintah membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang salah satu tugasnya adalah memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI, kegiatan-kegiatan ekstrem dan kegiatan subversi lainnya.198 Puncak pembekuan kegiatan PKI adalah dengan disahkannya Tap MPRS Nomor XXV/1966 yang melarang PKI dan komunisme hidup di Indonesia.
3.1.4. Penataran P4 Orde Baru menilai pemerintahan yang dijalankan oleh Bung Karno tidak menjalankan Pancasila secara benar. Ajaran Nasakom yang diperkenalkan oleh Bung Karno dinilai sebagai bentuk penyelewengan terhadap ideologi negara.
198
Ibid, hal: 137
234
Pancasila disalahtafsirkan sebagai gabungan dari paham Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom). Karena itu, setelah berkuasa Orde Baru memandang perlu diadakan usaha-usaha untuk memurnikan kembali Pancasila agar tidak tercemar dengan unsur komunisme. Tugas pemurnian Pancasila selesai pada tahun 1978 dengan keluarnya ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila” (P4). Wujud implementasi Tap terebut adalah diadakan penataran P4 untuk pegawai negeri, pimpinan organisasi sosial politik, organisasi masyarakat, pelajar dan mahasiswa. Karena pertimbangan bahwa ajaran yang bersumber dari paham komunisme adalah ancaman laten bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan karena kegiatan mempelajari paham komunisme/Marxisme-Leninisme secara ilmiah dalam rangka mengamankan Pancasila harus dilakukan secara terpimpin di bawah kendali pemerintah, maka dikeluarkan Instruksi Presiden No.10 Tahun 1982 kepada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan Nasional bagi pejabat Eselon I pada departemen dan instansi pemerintah lainnya. Pelaksanaan Penataran Kewaspadaan Nasional kemudian diperluas kepada berbagai lapisan masyarakat lainnya, baik secara khusus maupun sebagai bagian dari penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).199
199
Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya., Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal: 4
235
3.1.5. Film Setelah Soeharto menduduki puncak pimpinan Pasca tragedi G30S, dunia perfilman Indonesia juga tidak luput dari pembersihan terhadap unsur-unsur komunis. Para pembuat film beraliran kiri yang terkemuka dipenjarakan, atau minimal dikucilkan dan dijauhkan dari dunia perfilman, semua media organisasi kebudayaan kiri dihancurkan dan film-film mereka pun dilarang. Pasca G30S, lembaga sensor yang masih bernama Badan Sensor Film (BSF) juga dibersihkan dari anggota yang dinilai berhaluan komunis. Pada dekade awal kekuasaan Orba, banyaknya aturan pra-sensor yang ditambahkan oleh BSF membuat produksi film lokal semakin ketat disensor dibandingkan dengan semua film impor. Sensor yang dilakukan BSF (pada tahun 1992 berganti nama menjadi Lembaga Sensor Film) lebih ditekankan pada masalah seks dan kekerasan serta perlindungan terhadap kebudayaan nasional dari budaya asing. Tak ada petunjuk lebih jauh mengenai apa yang disebut kebudayaan asing, namun dalam aturan tersebut mencantumkan ideologi kolonialisme, imperialisme, fasisme dan semua bentuk komunisme dalam daftar kriteria budaya asing yang harus ditolak.200 Semua film harus dilarang jika memiliki kemungkinan menghancurkan kesatuan dan persatuan agama di Indonesia, mengancam pembangunan kesadaran nasional, mengeksploitasi perasaan etnis, agama, gender dan ketegangan sosial, termasuk antar kelas sosial. Film
200
dilarang
mengungkapkan
rasa
ketidaksetujuan
terhadap
kebijakan
Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:Institut Studi Arus Informasi, 2001, hal: 164.
236
pemerintah atau apapun yang dapat menyebabkan kerusakan bagi orang atau lembaga yang berhubungan dengan pemerintah.201 Pada tahun 1981, Perusahaan Film Negara menugaskan Arifin C. Noer untuk membuat film tentang pemberontakan PKI dengan judul “Penghianatan Gerakan 30 September”. Film kolosal yang berisi kekerasan dan pidato politis ini diproduksi dengan biaya besar yang tanggung oleh Orde Baru dan menceritakan tentang peristiwa G30S tahun 1965. Isi cerita film ini sama dengan apa yang sudah digambarkan oleh pejabat Orde Baru dan sejarawan mengenai peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dan setelahnya. Film tersebut menggambarkan Sekelompok anggota TNI yang ada dalam pengaruh Letkol Untung merencanakan kodeta untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno dan memasang Partai Komunis Indonesia ke pucuk pimpinan kekuasaan. Mereka menculik tujuh jenderal AD dan bersama anggota Gerwani mereka menyiksa para jenderal secara brutal dan membunuhnya. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana Mayjen Soeharto mengkonsolidasikan kekuatan TNI yang terpengaruh oleh orang-orang PKI, kemudian merebut kembali obyek-obyek vital yang dikuasai pemberontak, menghancurkan kepemimpinan PKI serta berhasil membunuh Letkol Untung. Karena tidak ingin gagal dalam segi komersial dan untuk mengantisipasi sepinya penonton, Orde Baru mewajibkan film “Penghianatan Gerakan 30 September” diputar di sekolah-sekolah dan departemen pemerintah. Bahkan sejak 1981-1997 film tersebut disiarkan oleh TVRI setiap tahun menjelang peringatan G30S dan hari Kesaktian Pancasila serta direlay oleh stasiun televisi swasta.
201
Ibid.
237
3.1.6. Pers Setelah G30S dipadamkan oleh TNI, Pangdam VII/Jakarta Raya Mayjen Umar Wirahadikusumah menandatangani surat perintah no.01/Drt/10/1965 yang memerintahkan kepada Panglima Daerah Kepolisian VII/Jakarta Raya utuk menguasai semua perusahaan percetakan. Khusus untuk percetakan Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata supaya dilakukan pengamanan fisik.202 Puluhan media yang dituduh terlibat atau mendukung G30S ditutup untuk selama-lamanya. Setelah membreidel 46 surat kabar dan majalah, militer juga mengadakan pebersihan terhadap ratusan wartawan yang punya hubungan dengan PKI.203 Pasca G30S, peta kekuatan pers Indonesia didominasi oleh pers militer. Pers yang tidak dibreidel seperti Kompas, Duta Masyarakat dan Sinar Harapan pun ada dalam pengaruh militer, semua penerbitan harus minta izin penguasa militer agar dapat terus melanjutkan penerbitannya. Dengan alasan negara dalam keadaan bahaya, semua berita tentang politik dan militer harus sesuai dengan versi penguasa militer, sehingga secara langsung maupun tidak, media massa saat itu ikut dalam “kampanye” untuk menumpas PKI dan simpatisan-simpatisannya. Militer (terutama Angkatan Darat) mendapat keuntungan dari pemberitaan pers non/anti komunis, misalnya muncul isu tentang penyiksaan yang dilakukan PKI terhadap para jenderal yang diculik, berita tentang kejahatan politik yang dilakukan oleh orang-orang PKI seperti Subandrio, Omar Dhani dan lainnya sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahmillub. Berita-berita tersebut memudahkan kelompok anti komunis dalam memobilisasi massa untuk 202
Y. Krisnawan, Pers Memihak Golkar?, Suara Merdeka Dalam Pemilu 1992, Jakarta: Institut Studi Arus informasi, 1997, hal: 24-25. 203 Yazuo Hanazaki, Pers Terjebak (terj), Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998, hal: 19
238
menghancurkan PKI berserta simpatisannya. Sebaliknya pers anti komunis juga mendapat keuntungan dari militer, mereka merasa mendapat teman perjuangan dalam melawan musuh utamanya, PKI. Dalam masa-masa kekuasaan Orde Baru selanjutnya, ketatnya aturan dan pengawasan oleh rezim Orde Baru menyebabkan arus utama pers Indonesia tak lebih sebagai -memimjam istilah Veven Sp. Wardana- “Jurnalisme Statemen”. Wartawan mendatangi pejabat untuk dimintai pendapat, merekam semua yang diucapkan sang pejabat, tanpa cek-ricek maupun konfirmasi, keesokan harinya sudah terpampang di media. Demikian juga halnya ketika memberitakan tentang PKI. Masalah komunisme menjadi isu yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka, orang-orang komunis tidak bisa dimintai pendapat karena dilarang oleh penguasa, yang berhak bicara soal PKI dan komunisme hanya penguasa, tentu saja sesuai dengan versi dan kepentingan penguasa. Pers kemudian hanya menjadi corong pejabat, isu komunisme yang diangkat oleh media massa juga versi penguasa tanpa ada konfirmasi kepada pihak-pihak lain yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3.2. Produksi Wacana Alternatif Orde Baru memang berhasil mengontrol mental mayoritas rakyat Indonesia mengenai masalah komunisme dan berhasil mendominasi pengetahuan rakyat tentang PKI seperti yang diinginkannya. Kontrol dan dominasi tersebut berhasil dilakukan sebab penguasa mempunyai akses yang sangat besar terhadap mediummedium penting dan potensial yang bisa memproduksi dan reproduksi wacana,
239
sehingga Orde Baru bisa menanamkan pengetahuan dan pemahaman tentang komunisme kepada masyarakat sebagaimana yang dikehendaki. Namun wacana tentang komunisme bukanlah wacana tunggal atau satu dimensi sebagaimana diproduksi oleh Orde Baru. Peristiwa G30S dan PKI adalah sebuah wacana kompleks di mana faktor politik, sosial, budaya dan kemanusiaan bercampur menjadi satu. Meskipun Orde Baru secara terus-menerus memproduksi dan mereproduksi wacana sebagaimana yang diinginkan dan membungkam wacana lain yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Wacana alternatif memang terpinggirkan, tapi tidak mati. Meskipun dalam skala kecil, dalam masyarakat muncul kegelisahan dan keingintahuan tentang siapa sesungguhnya yang ada di balik peristiwa G30S, bagaimana peran Soeharto dan Angkatan Darat, bagaimana “wujud” PKI yang sesungguhnya. Pertanyan-pertanyaan dan usaha mencari jawaban mengenai masalah tersebut secara diam-diam menelisik ke dalam masyarakat dan mencari ruang di sela-sela wacana dominan yang disebarkan oleh penguasa. Wacana alternatif tentang PKI dan komunisme tetap hidup dengan menggunakan medium-medium wacana yang tidak dapat dikontrol oleh Orde Baru. Berikut ini adalah medium wacana yang mengusung wacana alternatif tentang PKI.yang tidak terjangkau oleh kontrol penguasa atau medium yang hidup ketika orde Baru telah runtuh.
3.2.1. Buku Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, setiap buku bisa dilarang jika dianggap mengganggu ketertiban masyarakat, namun definisi ketertiban yang
240
diterapkan bersifat elastis dan membingungkan. Misalnya tentang PKI, perspektif apapun terhadap partai komunis yang berbeda dengan versi Orde Baru, meskipun hanya sedikit, akan dilarang. Wewenang untuk melarang penerbitan ada di tangan Kejaksaan Agung. Secara hukum, semua penerbit harus menyerahkan kopi naskah yang akan diterbitkan kepada Kejaksaan Agung untuk diperiksa, namun hal ini tidak pernah diterapkan secara sistematis. Penerbit dan penulis tidak diberitahu bahwa suatu naskah harus diperiksa atau sedang dalam penyelidikan Kejaksaan Agung. Jika bukunya dilarang, mereka juga tidak diberi kesempatan untuk berargumentasi untuk mempertahankan dan membela buku yang dilarang tersebut. Jika dinyatakan terlarang, buku tersebut harus ditarik dari pasaran, stoknya ditarik kembali dan dapat disita atau dimusnahkan oleh polisi. Namun dalam prakteknya, buku yang dilarang jarang ditarik kembali atau dimusnahkan, karena rumor-rumor adanya pelarangan justru membuat buku tersebut laku keras. Bahkan jika tidak mendapatkan buku asli, konsumen pun akan mengejar foto kopi bajakan buku tersebut.204 Seorang mahasiswa di Jogjakarta bernama Bonar Tigor Naipospos dipenjara karena mengedarkan foto kopi diktat kuliah pemikiran Karl Marx dari Dr Franz Magnis-Suseno Ketatnya regulasi Orde Baru yang diterapkan dalam penerbitan naskah atau buku bukan berarti wacana tandingan atau wacana alternatif ikut mati. Ketatnya aturan justru memunculkan jalur distribusi alternatif, meski lingkupnya kecil dan hanya menjangkau kelompok atau kelas tertentu. Walaupun kecil, keberadaannya cukup signifikan dalam membayangi wacana dominan. Misalnya Pramoedya
204
Krishna Sen dan David T Hill, Op. Cit, hal: 46
241
Ananta Toer, semua karya Pram dan para pengarang kiri lainnya dilarang sampai akhir kekuasaan Orde Baru. Tapi kebijakan tersebut memunculkan jalur distribusi baru berupa perederan buku di bawah tanah. Meskipun dilarang, foto kopi novelnovel karya Pram masih beredar. Bahkan novel-novel Pramudya tetap beredar di wilayah regional, peminatnya bisa mendapatkan versi cetakan yang tersedia lewat pesanan pos dari penerbit alternatif di Malaysia.205 Di Belanda, orang-orang yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI dan dicabut statusnya sebagai warga negara Indonesia oleh Orde Baru, mendirikan “TAPOL”, Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkampanye dan memperjuangkan perbaikan nasib dan hak para mantan Tahanan Pilitik (Tapol) dan Narapidana Politik (Napol) PKI di Indonesia.206 TAPOL menerbitkan sebuah buku yang ditulis oleh M.R. Siregar, mantan aktivis gerakan serikat buruh dan anggota Komite Daerah PKI di Tapanuli. Pada awal 1965 dia dikirim belajar di Moskow dan tidak bisa kembali ke Indonesia setelah terjadi peristiwa G30S dan pembantaian terhadap PKI. Buku M.R. Siregar berjudul “Tragedi Manusia dan Kemanusian, Kasus Indonesia, Sebuah Holokaus yang Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua” berisi gambaran dari sudut pandang PKI mengenai berbagai fakta sejarah yang melibatkan PKI, dan tentu sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Orde Baru. Dalam kata pengantar buku tersebut, W.F. Wertheim memperbandingkan beberapa fakta yang ada dalam buku M.R. Siregar dengan apa yang disampaikan dalam buku putih “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis 205 206
Ibid. Mereka yang Bertualang di Mancanegara, Forum Keadilan, No. 25, 6 Oktober 2002
242
Indonesia” yang diterbitkan Sekretariat Negara. Tentang peristiwa Madiun, Wertheim menyatakan bahwa apa yang disampaikan dalam buku putih sama sekali tidak cocok dengan kebenaran, dia membantah tuduhan bahwa PKI mendirikan Republik Soviet Indonesia. Amir Sjarifuddin, bekas Perdana Menteri RI yang saat itu berada di Madiun membantah semua kebohongan yang disiarkan. Melalui radio Sjarifuddin menyatakan: “Undang-Undang Dasar kami adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, bendera kami adalah Merah-Putih dan lagu kebangsaan kami tidak lain dari Indonesia Raya”. Pernyataan tersebut disiarkan oleh Aneta, kantor berita Belanda di Indonesia.207 M.R. Siregar juga membantah tuduhan dalam buku putih Orde Baru yang menyatakan bahwa sejak tahun 1954 PKI menjalankan strategi subversi yang dikenal dengan “Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan” (MKTBP), yaitu gerilya di desa bersama buruh tani dan petani miskin, perjuangan revolusioner di kota bersama kaum buruh dan bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama angkatan bersenjata. Siregar menerangkan, saat itu CC PKI sedang menerapkan strategi baru, yakni jalur parlementer dan lewat strategi tersebut PKI berhasil memenangkan suara dalam Pemilu 1955 serta Pemilihan daerah dan lokal pada tahun 1957. Strategi MKTBP PKI yang diungkapkan dalam buku putih Orde Baru sebenarnya strategi yang dipakai PKI dalam Revolusi 1945-1949. Perjuangan gerilya di desa, aksi revolusioner di kota bersama kaum buruh adalah untuk melawan Belanda yang masuk kembali ke Indonesia. Yang dimaksud pekerjaan
207
M.R. Siregar, Tragedi Manusia dan Kemanusian, Kasus Indonesia, Sebuah Holokaus yang Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua, 1995, England: TAPOL, hal: viii.
243
intensif di kalangan tenaga bersenjata adalah untuk melemahkan tenaga bersenjata Belanda.208 Demikian juga dengan peristiwa G30S, dengan mengungkapkan beberapa fakta dan analisis, M.R. Siregar menolak tuduhan Orde Baru yang menyatakan PKI sebagai dalang kudeta dan mempertanyakan apakah saat itu benar-benar terjadi kudeta. Definisi kudeta adalah perebutan kekuasaan atau penggulingan pemerintahan secara paksa dan tiba-tiba. G30S tidak bisa dikatakan sebagai kudeta sebab gerakan tersebut justru untuk mengamankan keudukan Presiden Soekarno dari kelompok yang menamakan diri Dewan Jenderal. Dengan mengutip pendapat penulis paper CIA Helen Louise Hunter, Siregar menyatakan bahwa peristiwa G30S hakikatnya adalah sebuah pembersihan atas pimpinan Angkatan Darat, yang dimaksudkan untuk menciptakan perubahan tertentu dalam kabinet. Penulis juga menganalisis pesan yang disampaikan Bung Karno untuk sang istri, Dewi saat G30S terjadi dan pembicaraan Presiden dengan perwira-perwira muda anggota G30S, Siregar menyimpulkan bahwa hubungan antara Presiden Soekarno dengan para anggota G30S sama sekali bukan hubungan antara yang dikudeta dengan pengkudeta.209 Siregar juga menolak jika PKI dituduh sebagai dalang G30S. Salah satu titik tolak tuduhan PKI sebagai dalang adalah kehadiran D.N. Aidit di Halim. Aidit tidak bisa dikatakan sebagai pimpinan kudeta sebab keberadaannya di Halim adalah atas pengaturan Jenderal Soepardjo dan Syam, dan secara faktual Aidit dipisahkan dari Sentral Komando yang memimpin kudeta. Siregar berpendapat, 208 209
Ibid, hal: 59-61. Ibid. hal: 112-116
244
Aidit tidak mungkin bertindak sebagai pemimpin kudeta sebab dia dipisahkan dan tidak berhubungan dengan parta komando gerakan. Menurutnya, keberadaan Aidit di Halim justru untuk menyeret PKI agar terlibat dalam G30S. Dalam Cornell Paper diasumsikan, Aidit dibawa ke Halim untuk mencegah agar PKI tidak mengeksploitasi isu dan untuk menekan Presiden Soekarno agar mendukung G30S.210 Sedangkan mengenai Gerwani dan Pemuda Rakyat, keberadaan mereka di Halim bukan untuk ambil bagian dalam G30S tapi untuk memenuhi panggilan atau komando Presiden Soekarno dalam rangka kampanye “Ganyang Malaysia.211 Era reformasi membawa implikasi cukup besar dalam perkembangan wacana komunisme di Indonesia. Runtuhnya Orde Baru menghilangkan kontrol struktural yang selama ini membelenggu wacana seputar PKI. Diskusi mengenai isu komunisme bisa dilakukan dalam forum-forum terbuka, buku-buku kiri juga mulai menjamur. Misalnya TEPLOK Press pada tahun 2003 menerbitkan kembali buku “Marxisme Ilmu dan Amalnya” karya Njoto, Wakil Ketua CC PKI yang pada tahun 1962 diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan. Buku tersebut mengupas secara mendalam ajaran Marxisme sebagai ilmu pengetahuan, sama dengan ilmu ilmiah lainnya, membahas filsafat proletariat yang menyangkut metode berpikir dan landasan perjuangan bagi kelas proletariat. Selain itu, Nyoto juga menjelaskan tentang prisip-prinsip ekonomi sosialis dan penerapannya di berbagai negara.212 Pada tahun 2000, disertasi Hemawan Sulistyo yang mengkaji masalah PKI di Jawa timur dipublikasikan dengan judul “Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah 210
Ibid, hal: 118 Ibid, hal: 118 212 Haris Rusly Moti, “Ternyata Masih Ada Jalan Lain, Catatan Pengantar Untuk Seorang Pendahulu”, pengantar dalam Nyoto, Marxisme, Ilmu dan Amalnya, 2003, Jakarta:TePLOK PRESS, hal: xvii 211
245
Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966)”. Pembahasan dalam buku tersebut antara lain tentang beberapa teori atau asumsi mengenai siapa yang ada di balik atau terlibat dalam G30S, kemudian melakukan kajian sosial, budaya dan politik antara kaum abangan dan santri di daerah Kediri dan Jombang menjelang dan pasca Tragedi G30S. Setelah itu Hermawan mengkaji faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya pembunuhan massal pasca G30S dan siapa saja aktor yang ada di balik peristiwa tersebut.
3.2.2. Internet Perubahan teknologi informasi yang sangat cepat menyebabkan beberapa negara, termasuk Indonesia, tidak siap menerima kehadiran internet yang masuk pada awal tahun 1990-an. Potensi ekonomi dari kehadiran teknologi informasi cukup menjanjikan bagi proses pembangunan, Deparpostel memperkirakan pasar teknologi informasi di Indonesia pada tahun 1995/1996 lebih dari Rp 100 milyar. Namun sampai akhir Orde Baru, departemen mana yang paling tepat menangani internet masih simpang siur, apakah internet sebagai medium siaran yang berada di Deppen, atau sebagai perkembangan dari jasa Pos dan Telekomunikasi yang mesti ditempatkan di bawah Deparpostel.213 Meski pada akhirnya internet berada di bawah gabungan dua departemen, yaitu Deppen dan Deparpostel, namun perbedaan kebijakan yang dibuat kedua departemen menunjukkan ketidaksiapan penguasa.
213
Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:Institut Studi Arus Informasi, 2001, hal: 236-237.
246
Problem lain yang dihadapi Orde Baru dalam menerima kehadiran internet adalah pemerintah tidak bisa mengontrol informasi yang disebarkan oleh media tersebut. Misalnya majalah Tempo, ketika majalah mingguan tersebut dibredel pada tahun 1994, dua tahun berikutnya meluncurkan Tempo Interaktif. Deppen yang bertanggung jawab terhadap isi dalam internet tidak pernah memiliki cara yang memadahi baik secara legal/hukum maupun teknologi untuk menegakkan pengawasan langsung terhadap pemakai internet atau batasan resmi pada situssitus tertentu. Jika dalam internet terdapat informasi yang anti pemerintah, siapa yang harus disalahkan, apakah pengarangnya, ISP yang menyalurkan pesan atau pembaca yang men-download pesan tersebut?214 Walau sebenarnya ISP nasional bisa menontrol lalu lintas informasi dalam internet, namun persaingan yang ketat dengan luar negeri membuat ISP tidak mau melakukan sensor karena pelanggan bisa beralih ke provider luar negeri. Ada dugaan, upaya menahan arus informasi dalam internet juga dilakukan lewat letterbomb, yakni pesan-pesan yang sengaja dikirim dalam jumlah sangat banyak sehingga penerima menjadi kelebihan beban (overload) dan merusakkan servernya. Pasca Insiden 27 Juli dan menjelang lengsernya Soeharto, ada dugaan beberapa server tutup karena letterbomb sebagai bentuk intervensi yang dilakukan pihak pemerintah.215 Bagi Deppen dan militer, muatan politis dalam internet adalah ancaman bagi wacana dominan. Jika pada era sebelumnya kedua institusi tersebut bisa mengontrol pers cetak dan elektronik, hal itu tidak bisa lagi dilakukan terhadap intrenet. Berbagai informasi penting atau isu sensitif dalam negeri yang tidak bisa 214 215
Ibid. hal: 243 Ibid, hal: 240
247
didapat dalam media konvensional dapat diperbincangkan dalam forum-forum diskusi dalam internet, antara lain lewat email. Salah satu list diskusi (mailing list) yang terkenal di kalangan pengguna internet Indonesia adalah ‘Indonesia-L’ atau lebih dikenal dengan nama apakabar yang dimoderatori oleh John McDougall di Maryland AS. Pada tahun 1994-1995 apakabar dipandang oleh para aktivis LSM sebagai alat yang berharga untuk menyebarkan bahan dan sumber penting untuk berita dalam negeri dan luar negeri yang tidak disensor. Manneke Budiman berpendapat, list ini telah menjadi sarana yang luar biasa untuk menyatakan pendapat dan pikiran dengan bebas dan terbuka.216 Bebasnya lalu lintas informasi dalam internet menyebabkan tema apapun bisa masuk media tersebut, termasuk masalah PKI atau komunisme. Pada tahun 1996, tiga partai politik cabang Solo menolak pemutaran film James Bond Golden Eye dengan alasan dalam film tersebut mengandung gambar palu dan arit yang diasosiasikan dengan PKI sehingga dapat meresahkan masyarakat. Seorang mahasiswa meresponnya dalam apakabar dengan menyatakan: “Apakah lambang yang hanya sekedar lambang tersebut memiliki kekuatan magis tertentu yang bisa menyihir pemirsa untuk menjadi komunis? Demikian juga film G30S/PKI yang jelas-jelas membentangkan bendera palu arit? Malah film ini diputar tiap tahun.”217 Pada tanggal 16 September 1996, dua minggu menjelang pemutaran film Penghianatan G30S/PKI di televisi seperti biasanya, sebuah pesan panjang tertulis di milis SiaR menyatakan bahwa sejak tujuh tahun lalu sebenarnya muncul banyak 216 217
Ibid, hal: 234 Ibid, hal:172-173
248
penilaian baru yang lolos dari perhatian Departemen Penerangan. Pertama, film ini menggambarkan hanya sedikit orang saja yang tahu akan rencana G30S itu sendiri. Jika hanya sebagian kecil pimpinan PKI dan oknum ABRI yang tahu dan terlibat, bagaimana bisa terjadi sejuta orang lebih terbunuh dan ratusan ribu orang yang tak tahu menahu harus ditahan, dibuang dan kehilangan hak-hak sipilnya?. Kedua, film tersebut lebih menggambarkan keterlibatan militer, dalam hal ini Cakrabirawa, ketimbang ormas-ormas PKI tertentu.218 Pada akhir tulisannya penulis berkomentar, seandainya pimpinan PKI mampu, seharusnya memberikan “PKI Award” kepada Menteri Penerangan yang terus mengulang-ulang penyiaran film tragedi nasional ini. Pada hari-hari berikutnya di media yang sama masih terus muncul berbagai komentar mengenai tema yang sama.219 Kehadiran internet benar-benar dimanfaatkan oleh kaum kiri atau orangorang yang mempunyai minat dalam kajian-kajian sosialisme untuk memperluas jangkauannya. Mereka tidak hanya memanfaatkan internet untuk sekedar diskusi atau posting lewat email, mereka juga membuat situs yang berisi tulisan-tulisan para tokoh Marxist dan komunis. Pada tanggal 14 Januari 2000, kelompok yang menamakan diri “Pemuda Sosialis” membuat sebuah website yang fokus pada kajian-kajian Marxisme, www.indo-marxist.com. Pemuda Sosialis adalah satu grup sosialis yang diilhami ajaran sosialisme ilmiah yang dirumuskan Karl Marx, Frederick Engels, V.I. Lenin dan kaum revolusioner lainnya. Mereka meyakini bahwa hanya sosialisme yang bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi problem-problem masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Meskipun mereka 218 219
Ibid, hal: 174. Ibid.
249
meyakini ajaran-ajaran Marx dan Lenin, Pemuda Sosialis menyatakan tidak mempunyai kaitan historis serta tidak mewakili semangat oportunisme yang berlabel "sosialis" dengan organisasi semacam PSI (Partai Sosialis Indonesia), ataupun dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).220 Salah satu tujuan situs Indo-marxist adalah untuk mengisi kekosongan atas literatur-literatur Marxisme dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut dipandang perlu karena sejak kemenangan kaum kontra-revolusi pada 1965, ide-ide kiri serta gerakan kaum kiri dibasmi secara sistematis dan terus-menerus, baik secara legal maupun tidak. Tujuan lainnya adalah untuk memperjuangkan nasib kaum buruh dan melawan kapitalisme. Meskipun Orde Baru saat ini telah runtuh, rejim kapitalis dengan wajah lain masih terus bercokol di Indonesia. Karena itu mereka juga menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme dan memperjuangkan nasib kaum buruh. Kebebasan yang ada saat ini dinilai hanya bersifat semu dan dalam batas-batas kepentingan kaum kapital. Sesuai dengan nama dan pergerakan yang dianut oleh penggagasnya, situs indo-marxist banyak memuat karya atau pemikiran Karl Marx dan Vladimir Ilyich Lenin. Situs ini juga memuat karya tokoh-tokoh Marxist lain seperti “Akar dan Fungsi Sosial Dunia Sastra” (Leon Trotsky) yang membahas perdebatan mengenai “seni murni” dan seni bertendensi yang sering terjadi di antara kaum liberal dan kaum “populis”, “Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga” (Fidel Castro) dan juga tulisan Mao Zedong yang berjudul “Diktatur Demokrasi Rakjat”. Situs tersebut juga memuat riwayat singkat tokoh-tokoh Marxist Perempuan seperti
220
diambil dari profil situs www.indo-marxist.com
250
Rosa Luxemburg, Nadezhda Krupskaya dan Inessa Armand. Kita juga bisa menemukan riwayat singkat dari tokoh komunis Indonesia seperti Sneevliet, Roque Dalton, Amir Syarifuddin dan H. Misbach.221
3.3. Beberapa Aspek yang Mempengaruhi Produksi Wacana Pada level mikro, hasil analisis teks yang dilakukan terhadap berita tentang PKI pada Kompas dan Republika memperlihatkan sikap yang berbeda. Mengenai usulan pencabutan Ketetapan MPRS/XXV/1966, Kompas cukup seimbang dalam menampung pandangan pihak yang pro-kontra. Tema mengenai PKI sebagai aktor G30S atau justru sebagai korban diskriminasi, komunisme sebagai ideologi yang berbahaya atau telah menjadi ideologi usang, semua diwadahi oleh Kompas. Tapi ketika masalah caleg eks PKI muncul, Kompas menampilkan wacana lain, koran ini tidak lagi terpaku pada wacana tentang bahaya komunisme atau peran PKI dalam G30S, Kompas lebih melihat orang-orang PKI sebagai korban diskriminasi Orde Baru. Jika Kompas mengalami perubahan sikap dalam berita tentang PKI, Republika bersikap lain. Surat kabar yang dianggap sebagai salah satu representasi media Islam ini tetap negatif dalam mengangkat masalah PKI, baik saat membahas usulan pencabutan Tap maupun soal caleg eks PKI. Wacana yang dikembangkan Republika adalah; PKI sebagai pemberontak, kejam, dan ideologi komunis adalah ideologi yang berbahaya. Pada level makro yang mengkaji perkembangan wacana dalam masyarakat, penelusuran yang dilakukan terhadap beberapa literatur yang ada menggambarkan
221
Ibid.
251
bagaimana Orde Baru menyebarluaskan dan mengukuhkan wacana tentang PKI lewat berbagai medium. Orde Baru menggambarkan orang komunis sebagai pemberontak, suka meneror, menyusup, dan anti tuhan. Penggambaran negatif itu disebarkan lewat berbagai cara, nisalnya lewat buku pelajaran, pidato kenegaraan sampai film. Pada sisi lain, orang-orang yang dituduh sebagai komunis dan oposisi Orde Baru mengembangkan wacana alternatif, baik di dalam maupun luar negeri. Mereka menggugat kebenaran versi Orde Baru, mempertanyakan sejauh mana keterlibatan PKI maupun Soeharto dalam G30S serta menggugat diskriminasi yang dilakukan terhadap orang-orang komunis. Wacana tersebut tetap hidup dan dikembangkan dalam medium-medium yang tidak terjangkau oleh represi Orde Baru, misalnya lewat penerbitan bawah tanah dan internet. Wacana yang semula hanya menjadi wacana pinggiran terus berkembang, dan setelah Soeharto turun berkembang menjadi wacana tandingan yang men-delegitimasi wacana versi Orde Baru. Bagian ini berusaha melihat secara lebih dekat keterkaitan antara wacana yang beredar dalam masyarakat dengan produksi wacana dalam media massa.222 Menganalisis aspek apa saja yang mempengaruhi proses produksi berita Kompas dan Republika sehingga menghasilkan wacana tentang PKI yang berbeda di antara keduanya. Analisis ini menggunakan beberapa point yang menjadi fokus perhatian 222
Dalam analisis model van Dijk, metode yang dipakai untuk melihat kaitan antara level mikro (teks) dan level makro (produksi wacana dalam masyarakat) adalah dengan cara wawancara mendalam terhadap wartawan penyusun teks berita untuk mengetauhi kognisi sosial wartawan sehingga menghasilkan teks tertentu. Dengan demikian, analisis terhadap beberapa aspek yang mempengaruhi produksi wacana yang ada dalam penelitian ini bukan sebagai “jembatan” yang menghubungkan level makro dengan mikro karena tidak dilakukan lewat wawancara terhadap wartawan, tetapi sebagai bagian tambahan dari analisis sosial (level makro) melalui kajian pustaka yang melihat beberapa faktor yang diasumsikan mempengaruhi media massa dalam produksi teks berita.
252
dari analisis wacana kritis yang dinilai paling relevan dengan konteks penelitian ini seperti, sejarah, kekuasaan, konteks dan ideologi.223
3.3.1. Ideologi Media Media massa mempunyai sistem nilai khusus yang berbeda antara satu media dengan media lain, dan sistem nilai tersebut mempengaruhi pola kerja sehingga menghasilkan produk yang berbeda pula. Sistem nilai yang dianut suatu kelompok dapat dikategorikan sebagai ideologi, dan salah satu penganut konsep ideologi semacam ini adalah Teun van Dijk. Dalam konsep yang dikembangkan van Dijk, ideologi dilihat sebagai sistem nilai yang dimiliki suatu kelompok dan bertujuan mengkoordinasikan praktek sosial anggota, merealisasikan tujuan, serta melindungi kepentingan mereka. Namun Kompleksitas kehidupan manusia modern saat ini membuat individu tidak hanya aktif dalam satu kelompok, tapi terlibat dalam berbagai organisasi sosial maupun politik. Seorang individu bisa menjadi jurnalis dan pada sisi lain dia juga bisa aktif dalam organisai keagamaan, menjadi anggota kelompok pecinta lingkungan, pejuang HAM maupun organisasi lainnya. Jika sebuah kelompok mempunyai sistem nilai, maka seorang individu bisa mempunyai beberapa sistem nilai atau ideologi dari masing-masing organisasi yang diikutinya. Seseorang bisa menjadi jurnalis profesional, tapi pada sisi lain bisa menjadi pejuang HAM atau aktivis lingkungan, tergantung konteks yang melingkupinya. Karena itu, dalam analisis wacana versi van Dijk, untuk
223
untuk point selengkapnya mengenai fokus kajian dalam analisis wacana, lihat Teun A.van Dijk, “Opinions and Ideologies in The Press,” dalam Allan Bell and Peter Garrett (ed), Approach to Media Discourse, Oxford: Blackwell Publisher, 1998, hlm. 61-62
253
melihat produksi wacana dan ideologi yang dikandungnya minimal harus melihat dua hal, yakni ideologi profesional dan dan ideologi sosial politiknya.224 Konsep ideologi semacam inilah yang akan coba dipakai dalam menjelaskan pola pemberitaan Kompas dan Republika yang dinilai memperlihatkan kecenderungan tertentu. Ketika mengangkat berita tentang usulan pencabutan Tap, Kompas berusaha melihat usulan tersebut bersifat kontroversial dan berusaha memaparkan pandangan dari kedua kubu, yakni pihak yang pro dan kontra. Sistem nilai yang tersirat dari berita-berita yang diturunkan Kompas mencerminkan ideologi profesional. Ciri-ciri ideologi profesional dalam jurnalistik antara lain bersikap obyektif, jujur dan tidak memihak.225 Dalam pemberitaan Kompas mengenai usulan pencabutan Tap, Kompas berusaha menampilkan diri sebagai institusi yang menyampaikan informasi secara cover both side, adil dan menampung pendapat pihak-pihak yang setuju maupun tidak setuju dengan usulan Gus Dur. Dalam berita tentang caleg eks PKI, Kompas tidak lagi menampilkan diri sebagai jurnalis profesional yang berada di tengah dua pihak yang pro-kontra tapi berusaha sebagai aktivis HAM yang menyuarakan nasib orang-orang PKI yang diperlakukan secara diskriminatif. Pengembalian hak politik orang-orang PKI dinilai sebagai terobosan bagi bangsa Indonesia dalam menghilangkan diskriminasi. Perbedaan ideologi dalam kedua masalah yang diangkat oleh Kompas kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik kedua peristiwa.
224
Teun van Dijk, Political Discourse and Ideology, diambil dari situs www.hum.uva.nl/teun. James Curran (et.al), “The Study of The Media: Theoritical Approach”, dalam Oliver BoydBarrett& Peter Graham, Media, Knowledge and Power, Rootledge, London&New York: Open University, 1990, hal: 67. 225
254
Masalah pencabutan Tap hanya bersifat usulan sedangkan masalah caleg berupa keputusan final. Konteks sosial berupa tekanan-tekanan kelompok massa yang sering menimpa media massa dan banyaknya aksi massa yang menolak usulan Gus Dur membuat Kompas mengambil posisi netral. Republika dalam berita-berita mengenai usulan pencabutan Tap maupun caleg eks PKI memperlihatkan kecenderungan yang sama, yakni sebagai media religius-nasionalis. Dalam masalah PKI, Republika hampir senantiasa menolak kehadiran PKI dan komunisme dengan dasar konstitusi negara. Lewat berbagai kutipan pendapat yang dimuat, seringkali Republika menyatakan menolak komunisme karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, tertutama tentang ketuhanan, atau klaim bahwa komunisme adalah anti agama tidak bisa hidup bersandingan dengan orang-orang yang beragama. Jika dilihat lebih jauh, religiusitas yang dikandung oleh Republika adalah Islam sebab rujukan konstitusi yang dipakai oleh Republika, baik itu Pancasila maupun UUD 1945 kebanyakan mengarah pada masalah Ketuhan yang Maha Esa. Jika dilihat lebih jauh lagi, religiusitas yang dikandung oleh Republika adalah Islam, sebagaimana diketahui secara umum, Republika memang menyatakan diri sebagai koran Islam. Hal tersebut juga bisa dilihat dari sumber berita yang dipakai Republika dalam berita mengenai PKI yang mayoritas berasal dari kelompok Islam seperti kelompok Poros Tengah, Muhammadiyah dan NU. Jika dilihat dari konsep ideologi Stuart Hall, Kompas dan Republika bersifat ideologis karena hanya beroperasi dalam kategori yang diterima secara dominan. Media bersifat ideologis bukan karena memihak kelompok dominan
255
secara langsung dan terang-terangan. Agar dalam operasionalisasi sehari-hari tampak seimbang dan independen, media tidak secara langsung memihak penguasa maupun kelompok dominan atau membelokkan berita untuk melapangkan definisi dominan. Tapi media harus sensitif terhadap dan hanya bisa bertahan secara legitimate dengan beroperasi dalam batasan atau kerangka yang disetujui oleh mayoritas.226 Kompas dan Republika bersifat ideologis karena berita tentang PKI yang produksi keduanya masih berada dalam frame yang masih bisa diterima oleh kelompok mayoritas dan menghilangkan wacana penting lain yang kemungkinan besar tidak bisa diterima oleh kelompok mayoritas. Sensitifitas masalah Islam versus PKI berdampak pada absennya beberapa aspek dalam wacana yang dikembangkan oleh Kompas dan Republika, misalnya mengenai pembunuhan pasca G30S. Pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI berlangsung pada saat pembubaran PKI setelah peristiwa G30S meletus dan korban jiwa yang jatuh mencapai ratusan ribu bahkan jutaan jiwa. Memang kelompok Islam bukan satu-satunya pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut, sebab militer dan kelompok lain juga diduga terlibat. Namun pembubaran PKI yang terjadi di Jawa Timur digerakkan oleh kelompok NU, sebagai kelanjutan dari konflik yang telah terjadi pada masa sebelumnya. Pembunuhan massal terhadap pendukung PKI juga terjadi di Aceh, pemimpin Islam di daerah tersebut melihat PKI sebagai ancaman, dan pembasmian terhadap
226
Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies,” dalam Approaches to Media, A Reader, Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed) Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal: 362.
256
kaum komunis dilihat sebagai perang sabil. Sebenarnya Pangdam Aceh Ishak Djuarsa berusaha membatasi pembunuhan hanya kepada kader-kadernya saja, namun karena banyak tentara mempunyai pandangan yang sama seperti pemimpin Islam di sana, pembunuhan melebar pada seluruh keluarga bahkan sampai pembantunya. Masalah tersebut absen dari pemberitaan media karena dampak sosial politiknya cukup besar. Membicarakan peran kelompok Islam dalam pembunuhan terhadap orang-orang PKI tentu bukan hal yang mudah, sebab bisa memancing kemarahan kelompok Islam. Jika dilihat dari spektrum ideologi yang lebih besar, yakni kapitalisme, pemberitaan Kompas dan Republika yang masih sejalan dengan pandangan kelompok dominan dan menghilangkan wacana lain yang tidak sejalan adalah untuk menjamin stabilitas ekonomi media, agar kepentingan eknomi media berupa perolehan keuntungan dari pelanggan berita maupn pemasang iklan tetap masuk ke media yang bersangkutan. Menampilkan isu-isu sensitif yang tidak bisa diterima oleh khalayak secara umum dinilai akan kontra produktif bagi akumulasi kapital media.
3.3.2. Sejarah PKI Dalam analisis wacana kritis, aspek historis atau sejarah menjadi salah satu faktor penting dalam memahami latar belakang suatu masalah yang terjadi pada masa lalu dan bagaimana pengaruhnya terhadap produksi wacana saat ini. Untuk memahami produksi wacana mengenai PKI, perlu dilihat kembali secara singkat konflik sosial politik yang terjadi pada saat PKI hidup di Indonesia, baik konflik
257
dengan kelompok Islam maupun kelompok lain. Gesekan yang terjadi antara kelompok komunis dengan kelompok Islam sudah terjadi sebelum Indonesia merdeka, saat keduanya bernaung dalam Sarekat Islam (SI). Akibat dari konflik tersebut adalah pecahnya SI menjadi SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto, dan SI Merah yang di kemudian hari menjadi partai komunis. Setelah Indonesia merdeka, Konflik besar yang melibatkan PKI mulai berlangsung pada masa Demokrasi Terpimpin, di mana kekuatan politik saat itu terpusat pada Presiden Soekarno, TNI dan PKI. Bung Karno melihat PKI sebagai partai besar yang bisa dimanfaatkan Bung Karno sebagai basis kekuatan politik untuk mengimbangi dominasi TNI, sebab saat itu PNI sebagai basis politik Bung Karno telah hancur. Sementara PKI juga butuh Bung Karno untuk dapat melaju ke puncak kekuasaan dan sekaligus mengimbangi kekuatan TNI. Persaingan antara PKI dan TNI terus berlangsung pada masa itu untuk menuju puncak kekuasaan atau minimal menjadi “anak emas” Bung Karno Saat itu kekuatan kelompok Islam juga cukup besar, pada masa demokrasi liberal NU dan Masyumi mendapat kursi palemen yang hampir sama dengan yang didapatkan PKI dan PNI, namun Bung Karno lebih tertarik pada PKI antara lain karena dinilai lebih memahami ide-ide revolusioner Bung Karno. PKI sendiri melihat kekuatan politik Islam patut diperhitungkan. Salah satu keberhasilan PKI dalam menggulung kekuatan politik Islam adalah menggiring Bung Karno untuk membubarkan Masyumi, sehingga parpol Islam yang besar saat itu tinggal Nahdlatul Ulama. Namun demikian bukan berarti eksisitensi kelompok NU tidak digoyang oleh PKI. Untuk memperbesar dukungan rakyat, PKI melaksanakan
258
kampanye pengadaan tanah bagi rakyat dengan mendesak implementasi UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) yang megatur pembagian tanah serta undangundang bagi hasil. PKI menilai pelaksanaan UUPA oleh pemerintah sangat lambat sehingga mengambil inisiatif untuk melaksanakan undang-undang tersebut sendiri, gerakan ini dikenal dengan Aksi Sepihak. Kelompok yang paling terkena imbas dari gerakan PKI terutama yang berada di Jawa Timur adalah kelompok NU, sebab para kiai pengasuh pondok pesantren biasanya mempunyai lahan pertanian cukup luas yang berasal dari milik pribadi sang kiai maupun hasil wakaf atau pemberian dari pihak lain. Hal itu memicu konflik yang tidak lagi bersifat vertikal antara kaya dan miskin tapi bergeser menjadi konflik atas nama agama. Kekerasan yang memakan korban jiwa terjadi antara kedua kelompok dan terus berlangsung pada masa itu, puncaknya adalah pembunuhan terhadap orang-orang PKI ketika partai tersebut dibubarkan pasca G30S. Peta konflik tahun 60-an tersebut mempengaruhi Kompas dan Republika dalam membincangkan masalah PKI. Hal tersebut bisa difahami jika dikaitkan dengan latar belakang atau sejarah berdirinya kedua media. Kompas didirikan atas inisiatif Partai Katolik dan sejumlah jurnalis katolik. Ketika ada kebijakan yang mewajibkan pers harus berada dalam naungan partai politik, Kompas memilih masuk dalam Partai Katolik. Saat Partai Katolik difusikan ke dalam PDI pada tahun 1973, Kompas mulai berusaha menjadi koran independen dan lebih berorientasi bisnis. Meskipun demikian, latar belakangnya sebagai surat kabar yang dekat dengan kekuatan katolik mempengaruhi posisi Kompas dalam
259
berbagai perdebatan politik, terutama menyangkut atau menyinggung kekuatan politik Islam.227 Hal ini berbeda dengan Republika yang didirikan atas inisiatif kelompok Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Republika mendefinisikan diri sebagai koran yang mencoba menghadirkan pemberitaan dalam perspektif Islami. Republika didirikan oleh Yayasan Abdi Bangsa (YAB) dimana mayoritas anggotanya adalah tokoh-tokoh Islam yang aktif dan berpengaruh dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain program kerjanya diselaraskan dengan MUI, YAB sendiri punya program utama selain Republika, yaitu Islamic Centre dan CIDES. Ketiganya diarahkan untuk kepentingan pemberdayaan umat Islam Indonesia yang masih relatif terbelakang kehidupan ekonomi politiknya. Selain itu karyawan Republika adalah muslim yang punya komitmen cukup tinggi terhadap keberadaan umat Islam di Indonesia. Pendekatan terhadap umat Islam agar ikut merasa memiliki Republika juga dilakukan dengan cara menjual 2,9 juta saham surat kabar tersebut kepada kaum muslim Indonesia. Dengan peta konflik yang demikian, bisa difahami kenapa Kompas dan Republika tidak memunculkan masalah-masalah sensitif dalam beritanya. Pada satu sisi Kompas tidak bisa menampilkan isu sensitif karena “takut” dengan reaksi yang akan muncul dari kelompok Islam dan pada sisi lain republika juga tidak akan memunculkan isu sensitif karena sebagai koran Islam, Republika tidak akan berita yang negatif menyangkut kelompoknya atau kelompok yang menjadi basis pasarnya 227
Bimo Nugroho dkk, Politik Media Mengemas Berita, 1999, Jakarta: Intitus Studi Arus Informasi, hal: 7
260
3.3.3. Kekuasaan Politik Ditinjau dari aspek kekuasaan, peranan kelompok Islam juga menjadi salah satu kunci dalam memahami proses produksi berita tentang PKI pasca reformasi. Seperti telah disampaikan sebelumnya, selain kelompok Islam yang terlibat dalam konflik tahun 60-an adalah TNI, terutama Angkatan Darat (AD). Kelompok AD yang pimpinan Soeharto “memenangkan” konflik tahun 60-an dan membangun kekuasaan yang diberi nama Orde Baru. Soeharto melanggengkan kekuasaannya menggunakan Repressive State Aparatus (misalnya lewat penggunaan kekuatan militer) dan melalui Ideological State Aparatus (lewat buku, media massa dll). Pasca reformasi, pendulum kekuasaan yang semula didominasi kelompok militer bergerak menuju sipil. Posisi kelompok militer dalam kancah politik pasca reformasi melemah akibat tekanan dari dalam maupun luar negeri karena dugaan pelanggaran HAM dalam beberapa peristiwa yang ditangani secara represif oleh militer pada masa lalu. Pada masa reformasi jumlah personil militer dalam tubuh pemerintahan dikurangi dan posisi mereka di parlemen pun dipangkas. Pada sisi lain, kelompok sipil Islam mulai tampil dalam pentas politik Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari perolehan suara partai yang berbasis kelompok Islam seperti PKB, PPP, PAN dan PBB dalam pemilu 1999 yang masuk dalam lima besar. Kelompok Islam juga berhasil menggalang kekuatan parlemen dalam bentuk koalisi yang bernama “Poros Tengah” dan berhasil menggagalkan pencalonan Megawati dari PDI-P untuk menjadi presiden. Tampilnya Poros Tengah dalam panggung politik Indonesia memang tidak seperti Orde Baru yang represif, namun mereka mempunyai posisi penting dalam pergulatan wacana politik nasional.
261
Ketika wacana pencabutan Tap tentang komunisme muncul, kelompok Poros Tengah menjadi salah satu pihak yang paling keras bersuara dan pendapatnya sering dikutip media massa. Bahkan kelompok Poros Tengah melontarkan wacana yang bernada ancaman terhadap Gus Dur, mereka tidak segan untuk membawa Gus Dur ke Sidang Istimewa MPR jika tetap bersikukuh mencabut Tap tentang komunisme. Hal ini memang tidak mempengaruhi Kompas secara langsung, namun pro-kontra yang timbul dalam masalah usulan pencabutan Tap membuat Kompas harus hati-hati dalam pemberitaannya, apalagi yang terlibat dalam perdebatan tersebut adalah kelompok elite politik, antara pejabat eksekutif dan kelompok legislatif.
3.3.4. Konteks Sosial Analisis konteks mengenai kondisi sosial juga diperlukan untuk memahami proses produksi wacana tentang PKI. Dibukanya kran kebebasan pasca reformasi membuat setiap kelompok masyarakat bebas menyatakan sikap dan pendapat sesuai keinginan masing-masing. Namun iklim kebebasan tersebut kadangkala justru kontra produktif bagi kebebasan pers Indonesia. Salah satu anomali dari kebebasan pasca reformasi adalah maraknya aksi massa terhadap media massa. Kelompok yang tidak puas dengan pemberitaan yang dilakukan oleh sebuah media massa seringkali mendatangi media bersangkutan dengan jumlah massa yang besar dan biasanya disertai ancaman. Aksi massa semacam ini dilakukan oleh berbagai kelompok, dari pihak pengusaha, organisasi sosial politik sampai
262
kelompok yang mengatasnamakan Islam, seperti PDI-P, NU/PKB, Front Pembela Islam, Laskar Jihad, Front Umat Islam dll. Kompas juga tidak luput dari aksi massa yang dilakukan oleh kelompok Islam. Misalnya pada tanggal 20 Juli 1999, Kompas didatangi puluhan orang yang menamakan diri Laskar Jihad dan memprotes pemberitaan harian ini yang dinilai menyudutkan umat Islam. Mereka menilai Kompas sering mengadu domba umat Islam dengan pemerintah melalui pemberitaan besar-besaran apabila ada daerah yang mayoritas penduduknya Islam sedang bermasalah dengan pemerintah.228 Kondisi yang demikian membuat media yang berlatar belakang non Islam semacam Kompas harus ekstra hati-hati dalam mengangkat berita yang menyangkut kelompok Islam, termasuk masalah PKI dan komunisme. Keterlibatan kelompok Islam dalam konflik dengan PKI pada masa lalu membuat Kompas dan Republika berhati-hati dalam memberitakan masalah tersebut. Apalagi dalam masyarakat juga ada pandangan yang melihat Islam dan Marxisme-komunisme secara konfrontatif. Abdul Qadir Djaeani, anggota DPR RI periode 1999-2004 dalam sebuah ceramah menyatakan bahwa musuh Islam yang paling berbahaya adalah PKI.229 Kompas sadar betul, jika mengangkat tema-tema sensitif yang menyangkut kelompok Islam, hal itu akan mengundang reaksi yang lebih besar. Pada akhirnya Kompas memang tetap mengembangkan wacana mengenai PKI, tapi sebisa mungkin menghindari pembahasan yang menyinggung keterlibatan atau menyudutkan kelompok Islam secara langsung. Tema-tema yang kemudian muncul dalam berita-berita Kompas adalah mengenai bahaya tidaknya 228 229
“Laskar Jihad Protes Kompas”, Pantau 06/ Oktober-November 1999 “Benahi Dulu Ekonomi, Baru Bicara Tap MPRS XXV/1966”, Kompas, Jum’at, 07-04-2000, hal: 6
263
ideologi komunis, siapa dalang di balik G30S atau bagaimana orang-orang PKI telah diperlakukan secara diskriminatif. Demikian juga halnya dengan Republika, karena menyatakan diri sebagai koran yang didirikan oleh orang Islam dan basis pasarnya adalah umat Islam, tentu Republika tidak mau mengambil resiko mengangkat berita yang menyinggung perasaan para pelanggannya. Akhirnya tema yang dimunculkan Republika hampir selalu dalam perspektif kelompok Islam, misalnya mengenai bahaya komunisme dan kekejaman serta teror yang dilakukan PKI terhadap orang Islam. Dalam salah satu berita, Republika memuat pernyataan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang mengaku pada masa lalu sempat diteror oleh orang-orang PKI.
3.3.5. Konteks Peristiwa Bagi Kompas, konteks peristiwa yang berbeda mempengaruhi kebijakan produksi berita sehingga menghasilkan wacana yang berbeda. Pada tahun 2000, wacana seputar masalah PKI dan komunisme muncul ketika Gus Dur yang masih menjabat sebagai Presiden RI mengusulkan agar Tap yang mengatur larangan terhadap penyebaran komunisme dicabut. Sampai saat sekarang masalah itu hanya sebatas usulan, tidak ditindaklanjuti oleh institusi yang berwenang mencabutnya, yakni MPR. Pada saat itu kekuatan politik Gus Dur juga tidak begitu besar sehingga tidak bisa menekan parlemen untuk menindaklanjuti usulannya seperti lazimnya yang terjadi pada masa Orde Baru. Usulan tersebut justru menjadi senjata kelompok Poros Tengah -kelompok yang semula mendukung Gus Dur
264
menjadi presiden dan pada akhirnya menjadi lawan politik- untuk menggoyang kekuasaan Gus Dur, dengan mengarahkan wacana yang semula mengenai pencabutan Tap ke arah Sidang Istimewa untuk menjatuhkan Gus Dur. Dengan polarisasi yang cukup kuat saat itu, Kompas memilih untuk tidak condong pada salah satu pihak. Sikap yang biasa diambil Kompas ketika menyangkut masalah yang kontroversial adalah bersikap netral, jalan terbaik dan tidak beresiko bagi Kompas adalah dengan mengakomodasi kedua pihak. Berbeda dengan usulan pencabutan Tap, masalah caleg eks PKI mempunyai kekuatan hukum tetap dan bersifat final. Mahkamah Konstitusi menetapkan orang-orang eks PKI boleh menjadi caleg, dan keputusan tersebut tidak dapat diganggu gugat. Apalagi MK juga menghimbau agar putusan tersebut tidak diperdebatkan lagi. Reaksi terhadap keputusan MK memang tidak seheboh saat Gus Dur mengusulkan pencabutan Tap tentang komunisme sebab sangat sulit untuk membatalkan putusan tersebut lewat jalur hukum. Apalagi saat putusan tersebut dibuat perhatian bangsa Indonesia tengah tercurah pada persiapan pemilu. Para tokoh yang dulu menolak pencabutan Tap hanya pasrah menerima putusan MK karena tidak bisa berbuat banyak. Dengan adanya keputusan MK, Kompas beranjak satu langkah dalam mengangkat masalah PKI, yakni dari sebatas penampung kontroversi menjadi corong masalah HAM. Dengan “modal” keputusan MK seharusnya Kompas bisa mengembangkan wacana lain yang sejenis, yakni pembunuhan terhadap orang-orang PKI pasca G30S. Namun tema itu tidak dilakukan oleh Kompas sebab hal itu akan menyangkut beberapa kelompok, antara lain kelompok Islam dan militer.
265
Perbedaan konteks peristiwa tidak berpengaruh bagi proses produksi berita Republika. Hal ini bisa difahami sebab bagi sebagian kelompok Islam, PKI dan komunisme adalah sebuah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebagai koran yang mengklaim sebagai corong kelompok Islam, tidak ada alternatif lain bagi Republika kecuali ikut dalam arus sebagian kelompok Islam yang menjadi basis pasarnya, yakni menolak kehadiran PKI. Pada satu sisi Republika menyatakan menerima keputusan MK dan bisa memaafkan orang-orang PKI, tapi pada sisi lain masih menolak kehadiran kembali PKI dan komunisme dalam panggung politik Indonesia.
266