TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PENGUKURAN A. Teknik Pemberian Skor Pemberian Skor (Skoring) adalah proses pengubahan atau jawaban – jawaban soal tes menjadi angka-angka yang pasti atau dengan kata lain pemberian skor merupakan tindakan kuantifikasi terhadap jawaban-jawaban yang diberikan tester ke dalam suatu tes. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diubah menjadi nilai-nilai melalui proses-proses tertentu. Cara pemberian skor pada hasil tes hasil belajar pada umumnya disesuaikan dengan bentuk soal-soal yang dikeluarkan tester. Macam-macamnya adalah sebagai berikut : 1. Pemberian skor pada tes uraian Pemberian skor pada tes uraian mendasarkan diri kepada bobot (weight) yang diberikan pada setiap soal, atas dasar tingkat kesukarannya, atau atas dasar banyak sedikitnya unsur yang harus terdapat dalam jawaban. Misalnya pada sejumlah soal yang tingkat kesukarannya dibuat sama dan unsur-unsur yang terdapat dalam soal jugadi buat sama maka jawaban paling sempurna diberi skor 10, hampir sempurna 9, dan seterusnya. 2. Pemberian skor pada tes Obyektif Pemberian skor pada tes obyektif ada yang memakai rumus correction for guessing/ sistem denda namun ada juga yang tidak menetapkan denda. Tes obyektif terdiri dari beberapa jenis. Pemberian skor pada setiap jenis tes obyektif berbeda-beda. Berikut penjelasan lebih rincinya. a. Tes obyektif bentuk true-false. Pemberian
skor
pada
tes
bentuk
ini
dapat
menggunakan
memperhitungkan denda dan rumus yang mengabaikan denda. Rumus yang memperhitungkan denda adalah :
S : Skor yang dicari (hasil) R : Jawaban betul (right) W : Jawaban salah (wrong) O : Alternatif jawaban 1 : Bilangan konstan
110
rumus
yang
111
Contoh : R = 15, W = 5, O =2
Sedangkan rumus yang mengabaikan denda adalah S = R, dengan data di atas maka hasilnya adalah S = 15 Artinya skor yang diberikan kepada testee adalah sama dengan jumlah jawaban betulnya. b. Tes obyektif bentuk matching, fill in, dan completion Pada bentuk soal-soal di atas biasanya menggunakan rumus yang tidak memperhitungkan denda. Sehingga rumusnya S=R c. Tes obyektif bentuk multiple choice Pada tes bentuk ini bisa menggunakan rumus yang memperhitungkan denda yaitu
Dan rumus tanpa denda yaitu S = R, dimana S R W O 1
: Skor yang dicari (hasil) : Jawaban betul (right) : Jawaban salah (wrong) : Alternatif jawaban : Bilangan konstan
Contoh : R = 32, W = 8, O = 5 Maka hasilnya adalah :
Jika tidak memperhitungkan denda maka S = R sehingga S = 32
112
Tes bentuk multiple choice terdiri dari berbagai model yang masing-masing memiliki derajat kesukaran yang berbeda. Sehubungan dengan itu maka kedua rumus di atas perlu di modifikasi menjadi sebagai berikut : Rumus dengan denda : S
(
)
Rumus tanpa denda : S = R x Wt Wt = bobot yang diberikan tester pada setiap soal. Contoh : No
Model MCI
Jumlah
urut
bobot
Jwban betul
item
testee
1-10
Melengkapi 5 pilihan
10
1
8
11-20
Asosiasi dengan 5 pilihan
10
1.5
6
21-30
Melengkapi berganda
10
1.5
4
31-40
Anlisis sebab akibat
10
2
7
41-50
Analisis kasus
10
4
3
Total
50
-
Jika dihitung dengan sistem denda maka skornya adalah No
Option(O)
R
W
Wt
1-10
5
8
2
1
11-20
5
6
4
1.5
S
(
)
4.50
21-30
5
4
6
1.5
S
(
)
1.75
31-40
5
7
3
2
S
(
)
5.50
41-50
5
3
7
4
S
(
)
-4.00
Total
( S
(
)
)
hasil 7.50
)
15.25
113
Jika tanpa denda maka hasilnya akan menjadi No
Option(O)
R
W
Wt
Rumus(S=RxWt)
1-10
5
8
2
1
8x1
8
11-20
5
6
4
1.5
6x1.5
9
21-30
5
4
6
1.5
4x1.5
6
31-40
5
7
3
2
7x2
14
41-50
5
3
7
4
3x4
12
Total
hasil
49
B. Konversi Skor 1. Perbedaan antara Skor dan Nilai Skor adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dengan jalan menjumlahkan angka-angka bagi setiap butir item yang oleh testee telah dijaawab betul dengan memperhatikan bobot jawaban betulnya. Sedangkan nilai adalah angka (bisa juga huruf ) yang merupakan hasil ubahan skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainya, serta disesuaikan pengaturannya dengan standar tertentu. Pada dasarnya nilai melambangkan kemampuan yang telah ditunjukan testee terhadap materi atau bahan yang diujikan.
2. Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar. Ada dua hal penting yang harus dipahami terlebih dahulu mengenai pengolahan dan pengubahan skor hasil tes hasil belajar menjadi nilai, yaitu : a. Dalam pengolahan dan pengubahan skor hasil tes hasil belajar ada dua cara yang dapat ditempuh, yaitu :
114
1) Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar dilakukan dengan mengacu atau mendasarkan pada kriterium atau patokan. Cara ini sering dikenal dengan istilah criterion referenced evaluation (penilaian berAcuan patokan). Penilaian ini juga sering disebut dengan penentuan nilai secara mutlak (absolut) , karena pemberian nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara skor mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu testee, dengan skor maksimum ideal yang mungkin dapat diperoleh testee apabila dapat menjawab semua soal tes dengan betul. Dengan demikian tinggi atau rendahnya nilai yang diberikan kepada testee mutlak ditentukan oleh skor yang dapat dicapai oleh setiap testee. Dalam penentuan nilai yang mengacu pada kriterium ini sebelum tes hasil belajar dilaksanakan, penguji harus sudah mempunyai patokan (tanpa menunggu pelaksanaan tes selesai). Rumus yang digunakan dalam penentuan nilai yang mengacu pada kriterium adalah sebagai berikut :
Contoh : No
Model MCI
urut
Jumlah
bobot
skor
item
1-10
melengkapi 5 pilihan
10
1
10
11-20
Asosiasi dengan 5 pilihan
10
1
10
21-30
Melengkapi berganda
10
2
20
31-40
Anlisis hubungan sebab 10
2
20
4
40
akibat 41-50
Analisis kasus Skor maksimal ideal
Setelah di konversi hasilnya adalah : siswa
Skor mentah
Nilai
10
100
115
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
60 40 80 30 75 52 59 71 41 58
60/100X100= 60 40/100X100= 40 80/100X100= 80 30/100X100= 30 75/100X100= 75 52/100X100= 52 59/100X100= 59 71/100X100= 71 41/100X100= 41 58/100X100= 58
Dari tabel di atas tampak sekali bahwa nilai seorang siswa mutlak ditentukan oleh dirinya sendiri secara individual tanpa mempertimbangkan skor-skor yang dicapai oleh siswa lainnya. Jelas sekali bahwa siswa yang mendapatkan nilai bagus hanya beberapa orang. Jika nilai tersebut diterapkan dalam ujian nasional maka akan banyak siswa yang tidak lulus. Penentuan hasil tes seperti ini sangat cocok untuk digunakan atau diterapkan pada testes formatif, di mana tester ingin mengetahui sampai sejauh mana peserta didik “telah terbentuk” setelah mengikuti progam pengajaran dalam jangka waktu tertentu. Maka guru atau dosen dapat melakukan upaya-upaya yang dipandang perlu agar tujuan pengjaran dapat berjalan lebih optimal. Namun penilaian yang berdasarkan acuan kriterium ini sekiranya kurang cocok untuk digunakan dalam penentuan nilai hasil tes sumatif seperti ulangan umum dalam rangka mengisi rapot, atau ujian akhir. Sebab criterion referenced evaluasion ini dalam penerapanya tidak mempertimbangkan kemampuan kelompok (rata-rata kelas). Sehingga dikatakan “tidak manusiawi”. Apabila soal-soal yang diberikan kepada testee terlalu sukar maka sepintar-pintarnya testee nilai yang didapatkanya pasti rendah. Dan sebaliknya apabila soal-soal yang diberikan terlalu mudah. Karena ini gambaran tentang tingkat kemampuan testee terhadap materi tidak dapat diperoleh sesuai dengan kenyataan. Oleh karena ini bila ingin menggunakan penilaian beracuan kriterium, hendaknya tes hasil belajar tersebut sudah bersifat standar, dalam arti sudah tes hasil belajar tersebut sudah mengalami uji coba berulang kali.
116
2) Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar dengan mengacu pada norma atau kelompok. Penilaian beracuan pada kelompok ini mendasarkan pada asumsi berikut : a) Bahwa pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen (berbeda jenis kelamin, berbeda latarbelakang, berbeda I.Q, berbeda lingkungannya,dsb.) akan selalu didapati kelompok “baik” , kelompok “sedang”, dan kelompok “kurang”. b) Bahwa tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relatif dari para peserta tes dalam hal yang sedang dievaluisi itu, yaitu apakah seorang peserta tes posisi relatifnya berada di “atas”, di “tengah” ataukah di ”bawah”. Dalam penentuan hasil tes, skor mentah yang diperoleh testee dibandingkan dengan skor mentah yang dicapai oleh peserta tes yang lain, atau skor siswa dibandingkan dengan rata-rata kelas. Sehingga kualitas yang dimiliki oleh seorang peserta akan sangat tergantung pada kualitas kelompoknya. Dengan ini akan dapat terjadi testee yang pada kelompok 1 tergolong “hebat” kualitasnya, jika dimasukan ke kelompok 2 ternyata kualitasnya hanya termasuk dalam kelompok “sedang”. Jadi kedudukan testee dimaksud di atas adalah bersifat relatif. Penentuan nilai dengan menggunakan standar relatif ini cocok untuk diterapkan pada tes-tes sumatif seperti ulangan harian, ujian akhir semester, EBTANAS atau yang sederajat dengan itu. Karena dipandang lebih adil, wajar dan manusiawi. Bila menggunakan penentuan nilai dengan menggunakan standar relatif maka prestasi kelompok itu di hitung dengan menggunakan metode statistik, dimana prestasi kelompok identik dengan rata-rata hitung, rumusnya adalah : ∑
∑
: atau : atau {
∑
}
Dalam penilaian beracuan kolompok ini juga dipertimbangkan variasi atau variabilitas dari nilai-nilai hasil tes yang dicapai oleh testee secara keseluruhan. Variasi
117
itu perlu diperhitungkan dengan tujuan untuk mengetahui tingkan homogenitas dan tingkat heterogenitas dari nilai-nilai hasil tes tersebut. Untuk mengetahui tingkat homogenitas dan tingkat heterogenitas data itu dapat ditunjukan oleh salah satu ukuran varibilitas data yang dipandang memiliki kadar ketelitian yang tinggi, yaitu deviasi standar. Yang dapat diperoleh dengan rumus ; ∑
√
∑
√
atau
√∑
{
∑
}
atau ∑
atau √
∑
{
}
Setelah diperoleh besarnya rata-rata hitung dan besarnya deviasi standar, dari skorskor hasil tes bersangkutan, selanjutnya skor-skor mentah hasil tes tersebut dikonversi atau diubah menjadi nilai standar.
b.
Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai macam skala,diantaranya :
1) Skala lima (stanfive) Nilai standar berslaka lima atau yang sering dikenal dengan istilah huruf A, B, C, D dan E. Pengubahan skor mentah menjadi nilai berskala 5 atau huruf, menggunakan patokan sebagai berikut :
E
Jika dilukiskan dalam bentuk kurva simetrik adalah sebagai berikut :
118
C
D
B
E A M-1,55D M-0,55D M M+0,55D M+1,55D Langkah-langkah yang ditempuh untuk mengubah skor mentah menjadi nilai berskala lima. a)
menyajikan skor-skor mentah hasil ujian kedalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
b)
mencari nilai rata-rata hitung yang melambangkan prestasi kelompok, dan mencari deviasi standar yang menyajikan variasi dari skor-skor mentah hasil ujian.
c)
mengubah skor mentah menjadi nilai berskala lima, dengan menggaunakan patokan diatas.
d)
mengkonversi skor-skor mentah yang dimiliki masing-masing individu testee menjadi nilai berstandar lima. Contoh : hasil tes ujian tengah semester 80 siswa. skor f X x’ 70-74 1 72 +6 65-69 1 67 +5 60-64 3 62 +4 55-59 5 57 +3 50-54 9 52 +2 45-49 15 47 +1 40-44 18 42(M’) 0 35-39 13 37 -1 30-34 8 32 -2 25-29 4 27 -3 20-24 2 22 -4 15-19 1 17 -5 Total 80=N
fx’ 6 5 12 15 18 15 0 -13 -16 -12 -8 -5 17 (∑
fx’2 36 25 48 45 36 15 0 13 32 36 32 25 343(∑
119
Dari data di atas selanjutnya di hitung dengan langkah-langkah yang telah disebutkan sebelumnya : Mx= M’ + i { ∑
SDx= i √
∑
} = 42 + 5 { }= 42 + 1.0625 = 43. 0625
{
∑
} =5√
{ }
=5√ =5√ = 5 X 2. 0596950625 = 10. 29847531= 10.298 Selanjutnya mengubah skor mentah menjadi standar skala lima (
(
(
(
(
(
(
(
Selanjutnya adalah membuat tabel konversi. Skor Mentah 59 ke atas 49 - 58 38 - 48 28 - 37 27 ke bawah
Nilai Huruf A B C D E
Dari tabel di atas diketahui bahwa siswa yang mendapatkan nilai 59 ke atas berhak mendapatkan nilai A, jadi dengan cara seperti itu siswa yang mendapat nilai jelek sekalipun nilainya bisa terangkat jika rata-rata kelasnya memang tergolong rendah.
2) Skala sembilan (stannine)
120
Nilai standar berskala sembilan dimana rentang nilainya mulai dari 1 sampai dengan 9 (tidak ada nilai 0 dan nilai 10). Pengubahan skor mentah menjadi nilai berstandar sembilan menggunakan patokan sebagai berikut :
Dalam bentuk kurva simetrik adalah :
3) Skala Sebelas (standard eleven / stanel/ eleven points standard) Nilai standar berskala sebelas adalah rentangan nilai standar mulai dari 0 sampai 10. Jadi akan ada 11 butir nilai standar, yaitu nilai 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,dan 10. Nilai standar berskala 11
ini biasanya digunakan pada lembaga pendidikan tingkat dasar dan
menengah. Patokan yang dipakai pada pengubahan skor menjadi stanel adalah
121
Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pengubahan skor menjadi stanel adalah sebagai berikut : a. Mencari (menghitung) nilai rata-rata hitung yang mencerminkan prestasi kelompok dan mencari deviasi standar yang mencerminkan variasi dari skor-skor mentah yang dicapai siswa. b. Mengkonversi skor mentah menjadi nilai standar berskala sebelas. c. Membuat tabel konversi d. Melakukan konversi skor mentah menjadi nilai standar berskala sebelas. Contoh praktisnya sama dengan pengkonversian dengan skala lima. Perbedaannya hanya terletak pada saat mengkonversi skor mentah patokannya menggunakan patokan di atas sehingga nilai akhir yang di dapatkan berupa angka.
4) Nilai standar z (z score) Nilai standar z umumnya dipergunakan untuk mengubah skor-skor mentah yang diperoleh dari berbagai jenis pengukuran yang berbeda-beda. Misalkan pada tes penerimaan mahasiswa baru testee dihadapkan pada lima jenis tes, yaitu tes bahasa Inggris (X1), tes IQ (X2), tes kepribadian (X3), tes sikap (X4),dan tes kesehatan jasmani (X5). Skor mentah yang diperoleh dari 5 jenis tes cara pengukuran dan penilaian yang berbeda itu adalah sangat bervariasi.untuk menentukan 10 orang testee yang dipandang lebih unggul diperlukan adanya skor atau nilai yang bersifat baku di mana dengan nilai standar itu dapat mengetahui kedudukan relatif dari 10 orang testee. Rumusnya adalah
122
dimana z = z score x = deviasi skor x yaitu selisih antara skor X dengan Mx SDx = deviasi standar dariskor-skor X Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengkonversi skor mentah menjadi nilai standar z diantaranya : a. Menjumlahkan skor-skor variabel X1,X2,X3,X4, dan X5 b. Mencari skor rata-rata hitung (mean) dari variabel X1 sampai X5 dengan rumus : ∑
∑
;
; dst.
c. Mencari deviasi X1, X2, X3, X4, X5 dengan rumus : x1 = X1 – Mx1 ; dst. d. Mengudratkan deviasi x1, x2, x3, x4, x5 kemudian dijumlahkan. e. Mencari deviasi standar untuk kelima variabel tersebut dengan rumus:
√
∑
dst. f. Mencari z score, dengan rumus dst. kemudian ∑
∑
dijumlahkan ∑
∑
dari
atas
ke
bawah
sehingga
diperoleh
∑
g. Z score yang dimiliki oleh masing-masing testee dijumlahkan dari kiri ke kanan, dan dari sini akan terlihat testee yang mendapatkan total z score positif dan z score negatif. Contoh : testee Skor Mentah (X) X1 X2 X3 A 72 114 48 B 65 105 51 C 75 115 44 D 64 107 42
X4 172 163 169 179
X5 221 205 224 198
Deviasi (x) x1 x2 2 3 -5 -6 6 4 -6 4
x3 -2 1 -6 -8
x4 1 -8 -2 8
x5 -4 -10 9 -17
123
E F G H I J
71 101 55 181 207 1 73 120 56 175 219 3 75 125 57 183 225 5 68 109 49 168 216 -2 70 103 51 167 224 0 66 111 47 153 211 -4 N=10 700 1110 500 1710 2150 0 Se Mx 70 111 50 171 215 lanjutnya
A
Kuadrat deviasi (x2) x1 2 x12 x12 x12 4 9 4 1
x12 16
B
25
36
1
64
100
C
36
16
36
4
81
D
36
16
64
64
289
E
1
100 25
100 64
F G H
9 25 4
81 36 196 49 4 1
16 16 144 100 9 1
I
0
64
1
16
J
16
0
9
324 36
∑
156
SD
3.95
522 22 6 7.2 4.7 2 5
testee
81
742 784 8.6 1
Z score Z1 Z1 0.51 0.41 1.27 1.52 1.52 0.25 0.76 1.27 0.51 0 1.01 0
0.83 0.55 0.55 1.38 1.25 1.94 0.28 1.11 0 0
-10 9 14 -2 -8 0
5 6 7 -1 1 -3
10 4 12 -3 -4 -18
0
0
Z1 0.42 0.21
Z1 0.12
1.68 1.68 1.05 1.26 1.47 0.21 0.21 0.63 0
0.93 0.23 0.93 1.16 0.46 1.39 0.35 0.46 2.09 0
-8 4 10 1 9 6 0
Z1 0.45 1.13 1.02 1.92 0.90 0.45 1.13 0.11 1.02 0.67 0
0
0.17 3.95 1.60 4.74 0.18 4.18 7.20 1.24 0.34 3.06 0
8.85
Dari tabel di atas yang urutan nilainya dimulai dari yang bernilai positif tertinggi kemudian dibawahnya dst. Jika dalam tes tersebut hanya ingin meluluskan satu orang saja maka yang di ambil adalah yang memiliki nilai positif tertinggi.
5) Nilai standar T (T score)
124
T score adalah angka skala yang menggunakan mean sebesar 50 dan deviasi standar sebesar 10. T score diperoleh dengan rumus :
T score dicari dengan maksud untuk meniadakan tanda minus yang terdapat di depan nilai standar z, sehingga akan lebih mudah dipahami
C. Pengukuran Acuan Terpadu (PAT) Dalam kurikulum, pembelajaran dan evaluasi pembelajaran yang berorientasi pada kompetensi sudah menjadi kewajaran jika sistem penilaian dan evaluasinya menggunakan Pengukuran Acuan Terpadu (PAT). Namun demikian, pada ilmu-ilmu terapan akan kurang mengenai sasaran jika sistem penilaian tersebut hanya mengukur pada ranah kognitif atau psikomotor saja tanpa memperhatikan tanggung jawab, disiplin dan sikap terhadap pekerjaan yang merupakan ranah afektif. Contoh, ketika seseorang yang bekerja sebagai teknisi di suatu proyek teknik sipil yang memerlukan tanggung jawab dan disiplin dalam menempatkan alat-alat serta sistematis dalam bekerja yang cermat, orang tersebut akan mengalami kendala ketika tidak dibelajarkan tentang tanggung jawab tentang alat-alat yang seharusnya disusun kembali setelah bekerja. Begitu pula ketika seeorang yang bekerja sebagai perawat kesehatan, walaupun skill dan kognitifnya baik, tanpa dibarengi dengan pola komunikasi yang jelas, tegas serta santun, maka perawat tersebut akan mengalami kendala komunikasi seperti yang banyak terjadi dewasa ini di Indonesia. Menurut Klotz dan Winther (2012) Untuk memenuhi harapan dalam meningkatkan kompetensi diperlukan setidaknya, dua kondisi utama yang harus dipenuhi. Pertama, kita membutuhkan model (struktur) kompetensi secara empiris dikonfirmasi kebenarannya yang mencakup operasionalisasi konseptual kompetensi tetapi juga mengungkapkan struktur teoritis baik mendalilkan bahwa menangkap struktur empiris mereka . Dalam konteks ini , pendidikan wajib mungkin mengacu pada kurikulum umum dari kompetensi dasar. Kedua , yang lain kondisi yang diperlukan berkaitan
dengan
keandalan
hasil
tes
,
yaitu,
kepastian
yang
kita
dapat
mengklasifikasikan siswa sesuai dengan instrumen tes yang dipilih . Mengabaikan
125
kondisi ini menimbulkan risiko serius , karena orang dapat dengan mudah kesalahan klasifikasi berdasarkan hasil tes mereka , dan kesalahan klasifikasi tersebut dapat memiliki konsekuensi berat bagi kemajuan profesional masa depan mereka. Keterpaduan pengukuran acuan dalam ruang lingkup evaluasi pembelajaran yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor ini sudah semakin mendesak untuk dilakukan. Oleh karena itu, penting kiranya menformulasikan hal tersebut menjadi sebuah sistem yang terpadu melalui pembobotan yang adil dari masing-masing ranah. Dasar empiris lapangan hendaknya menjadi pertimbangan yang semestinya dapat dijadikan patokan serta acuan dalam merumuskan formulasi yang tepat. Keadaan lapangan tidak selalu sama dengan kondisi laboratorium atau tempat praktikum di kelas, oleh karena itu, diperlukan konfirmasi yang jelas antara keterampilan (skill) dengan pengetahuan serta sikap yang semestinya dilakukan dalam keadaan umum. Selain menformulasikan berdasarkan kebutuhan empirik di lapangan, kompetensi dasar juga memiliki peranan dalam penyusunan formulasi ini. Oleh sebab itu, kurikulum selayaknya menjadi patokan atau acuan berikutnya di dalam mempertimbangkan pengukurannya. Tes yang dibuat pengajar selayaknya memperhatikan aspek kognitif afektif dan psikomotor secara berkesinambungan dengan memperhatikan keterpaduan masing – masing aspek. 1. Formulasi a. Teknologi dan Rekayasa (K: 30% A: 30% Ps: 40%) Kompetensi pada bidang teknologi dan rekayasa secara empiris dikonfirmasi kebenarannya yang mencakup operasionalisasi dengan mengungkapkan struktur teoritis kepada struktur empiris lapangan. Dalam konteks ini, pendidikan wajib mengacu pada keterampilan (psikomotorik) lapangan berdasarkan daya kreatifitas (C6) dari kompetensi dasar dibandingkan dengan teoritik yang bersifat kognitif (C1 – C5). Selain itu, kedisplinan dalam waktu, langkah – langkah pengerjaan serta kesantunan penggunaan alat menjadi penting dikarenakan ada hal yang terkait erat dengan pekerjaan selanjutnya. Namun demikian, ranah yang bersifat afektif tersebut sangat bertalian dengan kebiasaan dan keterampilan dari
126
siswa itu sendiri. Berdasarkan hal – tersebut di atas wajar kiranya jika kongitif mempunyai porsi 30%, afektif 30% dan psikomotorik 40% dalam pengukuran keseluruhan dalam bidang kejuruan teknologi dan rekayasa yang meliputi keteknikan (mesin, sipil, elekro dan teknologi komunikasi) serta kejuruan (tata rias, boga serta busana). b. Ilmu – ilmu Kesehatan (K: 30% A: 30% Ps: 40%) Kompetensi pada bidang kesehatan secara empiris dikonfirmasi kebenarannya yang mencakup operasionalisasi dengan mengungkapkan struktur teoritis kepada struktur empiris lapangan. Dalam konteks ini, pendidikan wajib mengacu pada keterampilan (psikomotorik) lapangan berdasarkan daya analisis, evaluasi dan kreatifitas (C4 - C6) dari kompetensi dasar dibandingkan dengan teoritik yang bersifat kognitif (C1 – C3). Selain itu, kedisplinan dalam waktu, langkah – langkah pengerjaan serta kesantunan penggunaan alat menjadi penting dikarenakan ada hal yang terkait erat dengan pekerjaan selanjutnya. Namun demikian, ranah yang bersifat afektif tersebut sangat bertalian dengan kebiasaan dan keterampilan dari siswa itu sendiri. Berdasarkan hal – tersebut di atas wajar kiranya jika kongitif mempunyai porsi 30%, afektif 30% dan psikomotorik 40% dalam pengukuran keseluruhan dalam bidang kejuruan dalam ilmu – ilmu kesehatan ini yang mencakup keperawatan, analis kimia serta kefarmasian. c. Bisnis dan Manajemen (K: 30% A: 40% Ps: 30%) Kompetensi pada bidang bisnis dan manajemen secara empiris dikonfirmasi kebenarannya yang mencakup operasionalisasi dengan mengungkapkan struktur teoritis kepada struktur empiris lapangan yang bersifat perilaku serta pelayanan prima. Dalam konteks ini, pendidikan wajib mengacu pada sikap dan perilaku sebagai penyedia jasa di dalam ruang lingkup kegiatan bisnis dan ekonomi (afektif) di lapangan berdasarkan daya analisis, evaluasi dan kreatifitas (C4 - C6) dalam memahami kebutuhan pelanggan. Berdasarkan kompetensi dasar dibandingkan dengan teoritik yang bersifat kognitif (C1 – C3). Selain itu, keterampilan dari siswa itu sendiri memiliki porsi yang kurang lebih sama pentingnya dengan kognitif yang dibutuhkan, hal tersebut didasarkan kepada
127
kondisi lapangan pekerjaan yang lebih menuntut kepada sikap dan perilaku ketimbang keterampilan dalam melaksanakan tugas. Berdasarkan hal – tersebut di atas wajar kiranya jika kongitif mempunyai porsi 30%, afektif 40% dan psikomotorik 30% dalam pengukuran keseluruhan dalam bidang kejuruan bisnis dan manajemen yang meliputi administrasi perkantoran, bisnis serta pemasaran. d. Kepariwisataan (K: 40% A: 40% Ps: 20%) Kompetensi
pada
bidang
kepariwisataan
secara
empiris
dikonfirmasi
kebenarannya yang mencakup operasionalisasi dengan mengungkapkan struktur teoritis kepada struktur empiris lapangan yang bersifat sikap perilaku dalam memberikan pelayanan prima bagi setiap pengguna jasa pariwisata. Dalam konteks ini, pendidikan wajib mengacu pada pengetahuan (kognitif) yang kuat sehingga dapat memberikan informasi yang akurat di lapangan yang kemudian disampaikan dengan kesantunan dari pola sikap dan tingkah laku dari kompetensi dasar yang dikuasainya. Selain itu, dalam hal keterampilan tidaklah mempunyai porsi yang banyak. Hal tersebut didasarkan pada orientasi pariwisata yang cenderung kepada pelayanan serta kepuasan pengguna jasa bukan pada produk material kongkrit. Berdasarkan hal – tersebut di atas wajar kiranya jika kongitif mempunyai porsi 40%, afektif 40% dan psikomotorik 20% dalam pengukuran keseluruhan dalam bidang kepariwisataan yang meliputi perhotelan, jasa travel dan pemandu wisata 2. Penerapan dalam pembelajaran Dalam implementasi di lapangan, perlu dipahami bahwasanya keseluruhan instrumen hendaknya dibuat sebaik mungkin dan menyeluruh guna mengakomodir kebutuhan kompetensi yang selayaknya dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu masing – masing instrumen yang mengukur kognitif, afektif maupun psikomotor hendaknya dipisah sesuai kebutuhan dan dibuat sefektif mungkin sehingga tidak memerlukan waktu yang panjang dalam penerapannya. Misalnya dalam mengukur ranah kognitif dapat dibuat tes, untuk mengukur afektif dibuat lembar observasi atau skala, untuk mengukur psikomotor dibuat tes yang dapat mengukur kinerja seperti Lembar Kerja atau Job Sheet.
128
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan di atas, formulasi tersebut pada dasarnya tidaklah mutlak demikian. Lebih dari itu, hendaknya pendidikan dalam menentukan formulasi memperhatikan aspek – aspek lapangan yang lebih dinamis. Namun demikian secara garis besar keterpaduan antara ketiga ranah tersebut, pada kenyataanya mutlak diperlukan oleh seorang lulusan yang memiliki keahlian dalam ilmu terapan