TEKNIK PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU (Saccharum officinarum) MENGGUNAKAN AKAR KAWAO (Millettia sericea) DAN KULIT BATANG MANGGIS (Garcinia mangostana L.)
FITRY FILIANTY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRAK FITRY FILIANTY. Teknik Penghambatan Degradasi Sukrosa dalam Nira Tebu (Saccharum Officinarum) Menggunakan Akar Kawao (Millettia Sericea) dan Kulit Batang Manggis (Garcinia Mangostana L.). Dibimbing oleh SAPTA RAHARJA dan PRAYOGA SURYADARMA. Akar kawao (Millettia sericea) dan kulit batang manggis (Garcinia mangostana) termasuk bahan pengawet yang sering dipakai petani aren tradisional agar nira aren tidak cepat rusak. Aplikasi penggunaan kedua bahan pengawet alami tersebut dalam nira tebu memerlukan kondisi proses tertentu agar dihasilkan kinerja pengawetan yang optimal. Pengaturan pH, suhu dan waktu reaksi mempengaruhi laju reaksi enzimatis dan mikrobiologis. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian untuk menguji kemampuan akar kawao dan kulit batang manggis menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu perlu dilakukan. Aplikasi kedua bahan pengawet alami tersebut juga perlu diuji dengan kondisi proses tertentu agar menghasilkan aktivitas optimal untuk menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan penambahan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dan (2) mengetahui perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan. Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan percobaan. Tahap pertama melakukan karakterisasi nira tebu dan bahan pengawet yang digunakan (akar kawao dan kulit batang manggis). Tahap kedua melakukan pengujian faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu. Tahap ketiga melakukan pengukuran perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan. Parameter yang diukur meliputi kadar sukrosa, gula pereduksi, total asam dan nilai pH. Hasil penelitian ini menunjukan kadar sukrosa dalam nira tebu yang digunakan dalam percobaan bernilai cukup tinggi yaitu 10,29%, dengan kandungan gula pereduksi 2,43% untuk glukosa dan 0,94% untuk fruktosa, total asam 62,5 mleq dan nilai pH 5,1. Akar kawao dan kulit batang manggis mengandung komponen fitokimia yang hampir sama, dimana komponen utamanya terdiri dari alkaloid, flavonoid dan glikosida. Komponen lain seperti saponin, fenolik, triterpenoid dan steroid terdapat dalam jumlah yang kecil. Hasil analisis pengaruh faktor menunjukan bahwa faktor suhu dan nisbah pengawet memberikan pengaruh positif, baik terhadap kadar sukrosa maupun gula pereduksi. Sedangkan faktor nilai pH dan lama inkubasi memberikan pengaruh negatif, baik terhadap kadar sukrosa maupun gula pereduksi. Suhu dan pengawet memberikan pengaruh positif terhadap kadar sukrosa masingmasing sebesar 0.452% dan 2.019% dengan signifikansi 94.6% dan 94%. Kedua faktor tersebut juga memberikan pengaruh positif terhadap kadar gula reduksi masing-masing sebesar 0.554% dan 2.072% dengan signifikansi 97.9% dan 97.3%. Nilai pH dan lama inkubasi memberikan pengaruh negatif terhadap kadar sukrosa masing-masing sebesar 4.423% dan 0.125% dengan signifikansi 94.5% dan 93.5%. Kedua faktor tersebut juga memberikan pengaruh positif terhadap kadar gula reduksi masing-masing sebesar 3.820% dan 0.126% dengan signifikansi yang sama yaitu 97%. Perubahan kualitas nira tebu berdasarkan perubahan kadar sukrosa menunjukan bahwa penambahan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dapat menghambat degradasi sukrosa yang tampak jelas setelah menit ke 80. Hal tersebut juga didukung oleh perubahan kadar gula pereduksi, total asam dan nilai pH yang menunjukan pengaruh bahan pengawet dapat menurunkan laju kerusakan sukrosa dalam nira tebu.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya dengan judul
Teknik
Penghambatan
Degradasi
Sukrosa
dalam
Nira
Tebu
(Saccharum officinarum) Menggunakan Akar Kawao (Millettia Sericea) dan Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Bogor, 30 Juli 2007
Fitry Filianty NRP F351030161
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya
TEKNIK PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU (Saccharum officinarum) MENGGUNAKAN AKAR KAWAO (Millettia sericea) DAN KULIT BATANG MANGGIS (Garcinia mangostana L.)
FITRY FILIANTY
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
: Teknik Penghambatan Degradasi Sukrosa dalam Nira Tebu (Saccharum officinarum) Menggunakan Akar Kawao (Millettia Sericea) dan Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.)
Nama
: Fitry Filianty
NRP
: F351030161
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA Ketua
Prayoga Suryadarma, STP, MT Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Tanggal Ujian : 5 Februari 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2005 ini adalah pengawetan nira tebu, dengan judul Teknik Penghambatan Degradasi Sukrosa dalam Nira Tebu (Saccharum officinarum) menggunakan Akar Kawao (Millettia sp.)dan Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.) Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA dan Bapak Prayoga Suryadarma, STP, MT selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir Sukardi, MM yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi untuk memberikan masukan-masukan yang berharga untuk menyempurnakan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Provinsi Riau atas bantuan pendidikan untuk mahasiswa pascasarjana asal Riau dan Program B yang telah membantu memfasilitasi penelitian ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan tim penelitian gula (Rheni, Nisa, Rian dan Ikhsan), Tiners‘38 dan Tiners’39 yang bersama-sama berjuang di laboratorium TIN. Demikian juga kepada laboran - laboran TIN, Pak Edi, Pak Sugi, Bu Rini dan Bu Ega atas bantuannya kepada penulis selama penelitian. Tesis ini penulis persembahkan untuk almarhum ayahanda tercinta yang selalu memotivasi untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi selama hidupnya. Akhirnya ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta lainnya, mama, suami, abang dan adik-adik atas doa, kasih sayang, pengorbanan serta dukungan moril dan materil yang tak terhingga dalam menyelesaikan studi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2007
Fitry Filianty
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 1978 dari ayah Drs Chaerul Suflan, BBA (Alm) dan Ibu Zuretty. Penulis merupakan putri kedua dari enam bersaudara dan istri dari Tonny F. Kurniawan. Tahun 1997 penulis lulus dari SMU Negeri 8 Pekanbaru dan pada tahun yang sama diterima di Program Studi Teknologi Pangan Universitas Padjadjaran melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis menamatkan program sarjana pada tahun 2003 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB. Beasiswa pendidikan penulis dapatkan dari bantuan Pemerintah Provinsi Riau, sedangkan dana penelitian diperoleh dari proyek Program B jurusan Teknologi Industri Pertanian.
ABSTRACT FITRY FILIANTY. Inhibition Process Method on Sucrose Degradation in Sugar Cane (Saccharum officinarum) Juice Using Kawao Root (Millettia sericea) and Mangosteen Bark (Garcinia mangostana L.). Supervised by SAPTA RAHARJA dan PRAYOGA SURYADARMA. The inhibition process method on sucrose degradation in sugar cane juice was studied by using kawao root and mangosteen bark. The degradation caused by invertation reaction and microorganism activity. Kawao root and mangosteen bark often use as preservative on sugar juice by traditional farmer to inhibit the degradation process. Temperature, pH value and time of incubation also influence the enzymatic reaction and microorganism activity. Refer to the condition, the research need to conduct to measure the inhibition ability of kawao root and mangosteen bark at certain condition. This research aim to (1) knowing factors influencing the sucrose degradation sugar cane juice by adding preservative (kawao root and mangosteen bark) (2) knowing quality change of sugarcane juice during incubation. This research was conducted in three steps. First step conduct characterization of sugarcane juice and preservative material (kawao root and mangosteen bark). Second phase conduct factor examination influencing sucrose degradation in sugarcane juice. Third phase conduct quality change measurement of sugarcane juice during incubation. The measurements consist of sucrose content, reduction sugar content, acid total and pH value. The result of this research showed the amount of sucrose in higher level, (10,29%), reduction sugar is 2,43% of glucose and 0,94% of fructose, acid value is 62,5 mleq and pH value is 5,1. Kawao root and mangosteen bark consist of alkaloid, flavonoid, triterpenoid and glycoside in large number and saponin, fenolik, triterpenoid and steroid in small number. The result of factor influence analysis that temperature and preservative ratio factor give positive influence in sucrose content and reduction sugar. While factor of pH value and time of incubation give negative influence in sucrose content and reduction sugar. Temperature and preservative ratio factor give positive influence to sucrose content each equal to 0.452% and 2.019% by significance 94.6% and 94%. Both of the factors also give positive influence to reduction sugar content each equal to 0.554% and 2.072% by significance 97.9% and 97.3%. The pH value and time of incubation give negative influence to sucrose content each equal to 4.423% and 0.125% by significance 94.5% and 93.5%. Both of the factors also give negative influence to reduction sugar content each equal to 3.820% and 0.126% by significance 97%. Changes of quality of sugarcane juice refer to the change of sucrose content showed that preservative addition (kawao root and mangosteen bark) can inhibit sucrose degradation, specifically after 80 minute. The mentioned was also supported by change of reduction sugar content, acid value and pH value that showed influence of preservative ability to inhibit sucrose degradation in sugarcane juice. Sugarcane juice with preservative (kawao root and mangosteen bark) showing quality which had better than sugarcane juice without preservative.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ x PENDAHULUAN .............................................................................................. Latar Belakang ......................................................................................... Tujuan Penelitian ..................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................
1 1 5 5 6
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... Tanaman Tebu ......................................................................................... Nira Tebu ................................................................................................. Kerusakan pada Nira Tebu ...................................................................... Sukrosa dan Degradasinya ................................................................. Invertase ............................................................................................. Invertase dalam Nira Tebu .................................................................. Mikroorganisme dalam Nira Tebu ....................................................... Penghambatan Kerusakan Nira Tebu....................................................... Pengaruh Suhu dan pH ...................................................................... Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet .......................................... Fitokimia sebagai Bahan Pengawet .................................................... Kawao (Millettia sp) .................................................................................. Manggis (Garcinia mangostana L.)...........................................................
7 7 8 10 10 11 12 14 16 16 18 19 19 22
METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... Waktu dan Tempat.................................................................................... Bahan dan Alat ......................................................................................... Tahapan Penelitian ................................................................................... Prosedur Penelitian .................................................................................. Rancangan Percobaan ............................................................................
26 26 26 26 27 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... Karakterisasi Nira Tebu ............................................................................ Karakteristik Kawao (Millettia sericea) ...................................................... Karakteristik Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.).................. Pengaruh Faktor Suhu, pH, Bahan Pengawet dan Waktu....................... Sukrosa ............................................................................................... Gula Pereduksi ................................................................................... Perubahan Kualitas Nira Tebu.................................................................. Kadar Sukrosa .................................................................................... Kadar Gula Pereduksi ......................................................................... Total Asam .......................................................................................... Nilai pH ...............................................................................................
31 31 33 36 38 39 48 56 56 59 62 64
vii
Hubungan perubahan kadar gula pereduksi, total asam dan nilai pH..... Analisis kebutuhan bahan pengawet untuk industri gula ........................
66 67
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 70 Simpulan ................................................................................................... 70 Saran ........................................................................................................ 70 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 71 LAMPIRAN ....................................................................................................... 78
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi kimia nira tebu ............................................................................ 2. Kemampuan penghambatan aktifitas invertase oleh berbagai produk metabolit dan ion logam .................................................... 3. Beberapa jenis tanaman millettia dengan komponen fitokimianya............... 4. Nilai rendah dan tinggi perlakuan ................................................................ 5. Matrik satuan percobaan uji pengaruh faktor penghambatan laju degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan rancangan komposit fraksional berfaktor 2IV4-1 .............................................................. 6. Karakterisasi nira tebu.................................................................................. 7. Hasil uji fitokimia kawao (Milletia sericea) .................................................... 8. Hasil uji fitokimia kulit batang manggis......................................................... 9. Koefisien, signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan analisis kadar sukrosa .................................................................................. 10. Koefisien, signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan analisis kadar gula pereduksi .......................................................................
9 14 21 29
30 31 34 37 40 49
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tanaman tebu (Saccharum officinarum) ................................................... Struktur molekul sukrosa ........................................................................... Reaksi invertase atau hidrolisis sukrosa .................................................. Pengaruh pH terhadap aktivitas invertase pada tebu ................................ Pengaruh suhu terhadap aktivitas invertase pada tebu ............................. Tahapan reaksi fermentasi pada nira tebu ................................................ Grafik hubungan perubahan pH dan suhu terhadap aktivitas enzim.......... Tanaman kawao (Millettia) ........................................................................ Struktur kimia rotenoid dan flavonoid lain yang diisolasi dari spesies millettia .................................................................................. 10. Tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) ........................................... 11. Struktur Mangostin .................................................................................... 12. Diagram Alir Tahapan Penelitian ............................................................... 13. Pola interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar sukrosa........................ 14. Pola interaksi faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar sukrosa ............................................................................................ 15. Pola interaksi faktor suhu dan lama inkubasi terhadap kadar sukrosa ............................................................................................ 16. Pola interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar gula pereduksi ............. 17. Pola interaksi faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar gula pereduksi ........................................................................................... 18. Pola interaksi faktor suhu dan lama inkubasi terhadap kadar gula pereduksi ........................................................................................... 19. Grafik perubahan kadar sukrosa pada nira murni dan nira tebu yang ditambahkan pengawet .................................................................... 20. Grafik perubahan kadar gula pereduksi selama inkubasi 48 jam .............. 21. Grafik perubahan total asam selama inkubasi 48 jam................................ 22. Grafik perubahan nilai pH selama inkubasi 48 jam ....................................
8 10 11 13 13 15 17 20 22 23 25 27 46 47 48 53 55 56 58 60 63 65
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prosedur analisis nira tebu ....................................................................... Hasil pengujian fitokimia akar kawao dan kulit batang manggis .............. Pengaruh faktor terhadap kadar sukrosa (dalam brix) ............................. Pengaruh faktor terhadap kadar gula pereduksi (dalam mM) .................. Perubahan nira tebu selama penyimpanan 240 menit ............................ Perubahan nira tebu selama penyimpanan 48 jam .................................
78 79 80 82 84 85
PENDAHULUAN Latar belakang Kebutuhan konsumsi gula di Indonesia sejak tahun 1970-an selalu melebihi kapasitas produksi dalam negeri sehingga menyebabkan Indonesia menjadi negara pengimpor gula. Indonesia telah mengimpor gula sejak tahun 1980-an dengan kapasitas impor yang terus meningkat hingga sekarang. Pemerintah Indonesia mengatur tataniaga gula tersebut secara langsung karena komoditas tersebut menguasai hajat hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Pemerintah sebelumnya pernah mencanangkan swasembada gula pada tahun 1991 namun tidak tercapai karena masih rendahnya kapasitas produksi gula secara nasional. Rendahnya produksi gula dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari pemilihan bibit, teknologi tanam, budidaya, pemanenan, dan pengolahan gula di pabrik. Di Indonesia, produksi gula diperoleh dari pengolahan tebu (Saccharum officinarum). Pengalaman produksi dalam dasawarsa 1980-an lebih menekankan pada perluasan areal tanaman tebu tanpa diikuti peningkatan produktivitas dalam semua tahap produksi. Contohnya, peningkatan produksi melalui perluasan areal tanaman tanpa memperhatikan kualitas bibit tebu (rendemen rendah) hanya akan memberatkan instalasi pabrik sehingga produksi menjadi tidak ekonomis dan boros. Kondisi mesin pengolahan di pabrik yang sering rusak saat proses produksi berlangsung (downtime) juga mempengaruhi penurunan rendemen gula yang diperoleh. Industri gula sebagai industri yang sudah lama berkembang, saat ini sedang mencapai tahap pematangan. “Trend” teknologi yang sedang diupayakan oleh industri-industri gula khususnya di negara maju mengarah pada peningkatan kecepatan pengolahan sambil memperbaiki proses recovery gula. Teknologi yang dikembangkan pada industri gula tersebut meliputi komputasi aliran dinamik, pencarian bahan baku baru, peralatan elektronik digital, pemilihan peralatan pengolahan yang efisien, otomatisasi mesin dan pengembangan teknologi informasi (Alvarez dan Johnson, 2003). Berbagai metode pengukuran cepat pada tebu, nira tebu dan gula hasil pengolahan telah banyak dikembangkan industri gula di negara-neraga maju seperti metode pengukuran dextran pada nira secara cepat (Day dan Rauh, 2003) dan metode pengukuran karakteristik gula mentah menggunakan spektrometer inframerah (Madsen II,
2
White dan Rein. 2003). Semua peralatan pengukuran terinstalasi pada pabrik sehingga memudahkan proses pengontrolan. Perkembangan lain dari industri gula adalah penggunaan membran sebagai metoda pemurnian nira tebu, diantaranya
dengan
menggunakan
membran
ultrafiltrasi
yang
dapat
menghasilkan nira dengan warna lebih cerah, mengurangi dextran hingga 100% dan mengurangi polisakarida hingga 76% (Kaseno, Wulyoadi dan Koesnandar, 2003). Kinerja produksi industri gula juga diperbaiki melalui pengembangan berbagai metode manajemen, misalnya aplikasi sistem manajemen perawatan terkomputerisasi (Computerized Maintenance Management System / CMMS) (Elliott,
2003)
yang
dapat
mengatasi
dampak
downtime
pabrik
dan
mengoptimalkan produksi. Semua upaya-upaya yang dijelaskan diatas ditujukan untuk
meningkatkan
kapasitas
produksi
gula
yang
bermutu
sekaligus
meningkatkan keuntungan perusahaan. Perkembangan industri gula di negara-negara maju didukung dengan teknologi
yang
aplikasinya
membutuhkan
investasi
yang
cukup
besar.
Kenyataannya industri gula di Indonesia, khususnya industri gula milik pemerintah, kurang didukung dengan investasi yang memadai, terutama investasi untuk peralatan pengolahan. Pemilihan penerapan teknologi industri gula di Indonesia diupayakan tidak membutuhkan investasi yang terlalu besar untuk keuntungan maksimal (rendemen gula tinggi). Salah satu permasalahan yang menyebabkan rendemen gula rendah di pabrik-pabrik gula di Indonesia adalah masalah downtime pabrik yang disebabkan kerusakan mesin yang sudah tua usia teknisnya. Masalah downtime pabrik adalah terhentinya proses produksi, sehingga nira yang sedang diolah menjadi terbuang atau tetap digunakan tetapi kadar sukrosa dalam nira sudah sangat rendah akibat kerusakan enzimatis dan mikrobiologis. Upaya mengganti mesin yang sering rusak dengan membeli mesin baru membutuhkan investasi besar terutama bila dilakukan secara bersamaan untuk seluruh pabrik. Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan penambahan bahan pengawet ke dalam nira tebu agar kadar sukrosa didalamnya dapat dipertahankan secara maksimal. Sukrosa adalah gula yang akan dikristalkan dalam pengolahan nira tebu dan secara langsung jumlahnya menunjukan rendemen tebu. Selain downtime yang disebabkan kerusakan mesin pengolahan, terdapat downtime lain berupa waktu pencucian evaporator dari endapan-endapan gula yang juga dapat mempercepat reaksi invertase. Inversi
3
sukrosa menjadi meningkat setelah terbentuknya endapan, 3-4 hari setelah pembersihan evaporator (Eggleston, Monge dan Ogier, 2003). Penurunan kadar sukrosa juga dapat terjadi selama proses pengolahan, terutama sejak tahap ekstraksi hingga evaporasi. Kondisi proses pengolahan dapat mempengaruhi aktivitas enzimatis dan mikrobiologis dalam nira tebu. Kondisi proses pengolahan tersebut meliputi pH, suhu, waktu, migrasi komponen logam peralatan pengolahan dan pengadukan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan pemilihan kondisi proses pengolahan yang tepat dan dapat juga ditambahkan pengawet yang bersifat inhibitor enzim atau antimikrobial ke dalam nira tebu. Tanaman tebu (Saccharum sp.) adalah salah satu sumber bahan baku industri gula. Sumber gula lainnya adalah tanaman sugar beet yang banyak dikembangkan di Eropa Utara dan Amerika Utara. Pemanenan tanaman tebu ditandai dengan pencapaian kadar sukrosa dalam batang tebu yang maksimal. Berbagai penelitian tentang akumulasi sukrosa dalam batang tebu telah banyak dilakukan, diantaranya adalah pemodelan akumulasi sukrosa dalam tebu (Rohwer, dan Frederik, 2001), efek suhu terhadap metabolisme sukrosa dalam tebu selama pertumbuhan (Lingle, 2004), pemodelan estimasi kematangan tebu (Scarpari, dan de Beauclair, 2004) dan hubungan akumulasi sukrosa dengan aktivitas invertase (Zhu, Komor dan Moore, 1997). Penurunan kadar sukrosa dalam proses pengolahan nira tebu menjadi gula dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu reaksi enzimatis (terutama invertase), reaksi
mikrobiologis
dan
kondisi
proses
yang
secara
tidak
langsung
mempercepat reaksi enzimatis dan mikrobiologis (pH, suhu, waktu, agitasi, dan lain-lain). Reaksi enzimatis yang memicu kerusakan nira tebu karena penurunan kadar sukrosa adalah reaksi invertasi. Reaksi invertasi dikatalis oleh enzim invertase yang terdapat dalam nira tebu, menginvertasi sukrosa sehingga menghasilkan glukosa dan fruktosa. Aktivitas invertase ini menyebabkan kadar sukrosa semakin berkurang dalam nira tebu. Invertase pada tanaman tebu telah diteliti aktivitasnya, optimum pada pH 7.2 dan suhu 600 C (Rahman, Palash dan Fida, 2004, Vorster dan Frederik, 1998). Aktivitas invertase dalam nira tebu hasil ekstraksi adalah aktivitas yang harus dicegah agar kadar sukrosa dapat dipertahankan (rendemen gula tidak menurun). Reaksi invertasi pada sukrosa dengan katalis invertase dapat
4
dihambat oleh substrat (sukrosa) dan produk (glukosa dan fruktosa) reaksi itu sendiri dengan model inhibisi non-kompetitif (Filho, Hori dan Ribero, 1999). Substrat sukrosa dapat menghambat reaksi invertasi pada konsentrasi 80% (b/v). Produk
reaksi invertasi adalah, glukosa dan fruktosa, dapat menghambat
aktivitas invertase masing-masing sebesar 27% dan 37% (Vorster dan Frederik, 1998). Aplikasi glukosa dan fruktosa sebagai inhibitor invertase pada proses pengolahan nira tebu menjadi gula menimbulkan permasalahan lain yaitu rendahnya rendemen proses kristalisasi gula karena terhambat oleh glukosa dan fruktosa yang terakumulasi dalam sirup. Jenis inhibitor lain yang dapat menghambat aktivitas invertase adalah beberapa jenis garam, terutama HgCl2, FeCl2, CuCl2 dan CdCl2, yang dapat menurunkan aktifitas hingga 45-99% (Mahbubur Rahman, et.al., 2004, Vorster dan Frederik, 1998). Aplikasi garamgaram tersebut dalam pengolahan nira tebu juga tidak dapat dilakukan karena garam-garam tersebut bukan golongan food grade. Penyebab lain kerusakan nira tebu adalah reaksi mikrobiologis. Salah satu mikroba yang dapat mengkontaminasi tebu dan niranya adalah Leuconostoc mesenteroides, dengan kemampuannya mengkonversi sukrosa menjadi fruktosa dan dextran. Kerusakan lebih lanjut dari degradasi sukrosa adalah terbentuknya asam-asam organik seperti asam laktat dan asetat (Mathlouthi, 2000). Upaya mencegah kerusakan akibat reaksi mikrobiologis ini salah satunya adalah dengan menambahkan antimikrobial, seperti natrium benzoat dan larutan amoniak (Bobadilla dan Preston, 1981, Duarte, Elliott dan Preston, 1981). Secara tradisional petani nira menggunakan bahan-bahan alami tertentu sebagai pengawet seperti akar kawao, kulit dan buah manggis, laru janggut, kulit batang kusambi, remasan daun jambu mete, tangkal dan kulit batang nangka, serta kulit batang ralu (Sedarnawati, Suliantari dan Iwan, 1999) dan mendidihkan nira secepat mungkin selama menunggu waktu proses pengolahan. Tujuan pemanasan selain membunuh mikroorganisme dalam nira dapat juga berfungsi menginaktivasi enzim. Bahan-bahan alami yang selama ini dipakai oleh petani belum banyak diidentifikasi komponen aktifnya, apakah bersifat inhibitor enzim atau antimikrobial. Selama ini penggunaan bahan-bahan tersebut hanya didasarkan pada pengalaman bahwa dengan penambahan bahan-bahan tersebut terbukti mencegah nira menjadi asam yang pada akhirnya gula padat atau kristal yang dihasilkan lebih banyak.
5
Akar kawao (Millettia sericea) dan kulit batang manggis (Garcinia mangostana) termasuk bahan pengawet yang sering dipakai petani aren tradisional. Menurut Teysmann dalam Menninger (1970), orang Jawa memberikan sepotong akar kawao dalam cairan palem yang masih segar agar cairan tersebut (nira) tidak menjadi asam. Bila petani tidak menemukan akar kawao, mereka menggantinya dengan kulit batang atau buah manggis sebagai pengawet. Aplikasi penggunaan pengawet dalam nira tebu memerlukan kondisi proses tertentu agar dihasilkan kinerja pengawetan yang optimal. Pengaturan pH, suhu dan waktu reaksi mempengaruhi laju reaksi enzimatis dan mikrobiologis. Waktu reaksi berhubungan dengan lamanya reaksi bahan pengawet bekerja hingga kehilangan aktivitas pengawetannya disebabkan kehabisan bahan aktif. Optimasi produksi diperlukan dengan mengkombinasikan kondisi-kondisi proses tertentu dengan konsentrasi tertentu bahan pengawet. Berdasarkan
pemaparan
diatas
maka
penelitian
untuk
menguji
kemampuan akar kawao dan kulit batang manggis menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu perlu dilakukan. Aplikasi kedua bahan pengawet alami tersebut juga perlu diuji dengan kondisi proses tertentu agar menghasilkan aktivitas optimal untuk menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan penambahan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dan (2) mengetahui perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan untuk (1) mendapatkan informasi faktorfaktor penghambat degradasi nira tebu dengan aplikasi bahan pengawet akar kawao dan kulit batang manggis, (2) menyediakan data yang dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya, (3) memberikan masukan kepada peneliti dan pengelola pabrik nira tebu untuk mendapatkan produksi gula dari nira tebu yang lebih baik.
6
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Karakterisasi nira tebu 2. Analisis fitokimia akar kawao dan kulit batang manggis. 3. Pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu berupa pengujian suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi terhadap perubahan kadar sukrosa dan gula pereduksi. 4. Pengujian perubahan kualitas nira tebu berupa perubahan kadar sukrosa, gula pereduksi, total asam dan nilai pH selama penyimpanan. 5. Perhitungan kebutuhan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) untuk aplikasi industri gula dari nira tebu.
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman tahunan dari famili Gramineae (keluarga rumput) yang sudah dibudidayakan sejak lama di daerah asalnya di Asia, Papua Nugini. Tanaman tebu memiliki kemiripan bentuk fisik dengan tanaman jagung dan sorgum. Tanaman tebu dikembangkan sebagai salah satu sumber gula komersil sejak tahun 1800an dan menjadi sumber ekonomi utama dari gula bersama gula bit. Tanaman tebu diklasifikasikan dalam divisi
Maqnoliophyta,
kelas
Liliopsida,
ordo
Cyperales,
famili
Poaceae
(Gramineae) (Barnes, 1973). Tanaman ini dapat tumbuh di daerah beriklim tropik dan subtropik dengan kelembaban tahunan minimum 600 mm. Tanaman tebu termasuk tanaman yang paling efisien dalam berfotosintesis dimana hanya membutuhkan 2% saja dari energi matahari untuk dikonversi menjadi biomassa (Sharpe, 1998). Lebih dari 100 negara melakukan budidaya tanaman tebu, dengan luas keseluruhan lahan sekitar 130.000 km2. Jumlah tebu yang dipanen oleh 20 negara terbesar penghasil tebu mencapai 1200 juta m3 dalam tahun 2002 untuk diolah menjadi gula. Hal tersebut berarti 6 kali lebih besar daripada produksi gula bit (Sharpe, 1998). Selama 100 tahun terakhir produksi gula dari tanaman tebu di dunia mengalami peningkatan yang pesat hasil dari perbaikan proses budidaya, penggunaan pupuk, pengontrolan hama dan penyakit tanaman, perbaikan proses di pabrik, mekanisasi produksi dan penggunaan varietas yang menghasilkan
rendemen
gula
tertinggi.
Negara
yang
terbesar
dalam
memproduksi gula dari tebu ini adalah Brazil, India dan Cina. Bagian dari tanaman tebu yang diambil untuk pembuatan gula adalah batangnya. Batang tebu diekstrak untuk memperoleh sukrosa. Batang tebu berdiri tegak dengan diameter 3-4 cm dan tinggi 2-5 meter serta tidak bercabang (Soebroto, 1983). Batang terdiri dari ruas-ruas dan dibatasi dengan buku-buku, dimana setiap buku terdapat mata ruas. Gambar tanaman tebu dapat dilihat pada Gambar 1.
8
Gambar 1 Tanaman tebu (Saccharum officinarum) Tanaman tebu dipanen pada usia 8-12 bulan. Pemanenan merupakan tahapan yang penting dalam penanganan tebu. Makin mendekati umur panen, kadar sukrosa dalam batang tebu semakin meningkat dan setelah melampaui umur panen terjadi penurunan kadar sukrosa yang diikuti peningkatan kadar glukosa dan frukrosa. Penurunan kadar sukrosa tersebut disebabkan oleh aktifitas enzim invertase dalam batang tebu yang meningkat aktifitasnya. Peningkatan aktifitas invertase dalam jaringan tanaman disebabkan karena adanya signal kebutuhan energi bagi tanaman untuk metabolisme selanjutnya (Foyer et. a/. 1997). Energi tersebut dapat diserap tanaman dalam bentuk gula sederhana (glukosa dan frukrosa) sehingga aktifitas invertase pada sukrosa terpacu untuk bekerja.
Nira Tebu Nira tebu adalah suatu ekstrak cairan yang berasal dari batang tebu, mengandung kadar gula relatif tinggi, dijadikan bahan baku pembuatan gula kristal. Selain tebu, sumber nira lain yang banyak digunakan dalam pembuatan gula adalah aren, kelapa, lontar dan sugarbeet. Dalam pabrik gula, proses ekstraksi nira tebu dari batangnya dilakukan dengan cara pencacahan dan penggilingan. Nira tebu hasil ekstraksi selain mengandung sukrosa yang akan menjadi bahan baku pembuatan gula kristal, juga mengandung komponen lain seperti gula pereduksi (glukosa dan fruktosa), serat, zat bukan gula dan air.
9
Komposisi nira tebu tidak akan selalu sama, tergantung pada jenis tebu, kondisi geografis, tingkat kematangan serta cara penanganan selama penebangan dan pengankutan (Reece, 2003). Umumnya nira terdiri atas 73-76% air, 11-16% serat dan 11-16% padatan-padatan terlarut dan tersuspensi (James dan Chen, 1985). Komposisi kimia nira tebu hasil ekstraksi dalam susunan rata-rata disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia nira tebu Komposisi Kimia
Jumlah (%)
Sukrosa Gula pereduksi Zat organik Zat anorganik Serat Zat warna, wax, gum Air
11-14 0.5 - 2.0 0.5-2.5 0.15-0.20 10-15 7.5-15 60-80
Sumber : Moerdokusumo (1993)
Beberapa jenis polisakarida lain juga terdapat dalam nira tebu sebagai hasil
metabolisme
tanaman
seperti
dextran,
levan,
pektin,
selulosa,
hemiselulosa, pati dan gum (Cuddihy et.al., 2000). Semua bahan selain sukrosa dapat memberikan efek negatif terhadap proses pembuatan gula kristal, seperti memberi kesempatan mikroorganisme untuk tumbuh, mempersulit proses pemurnian dan menghambat proses kristalisasi. Keberadaan pati yang relative tinggi nira lebih kental sehingga menyebabkan filtrasi berjalan lambat dan larutan tampak lebih keruh. Menurut Paine (1953) nira tebu mengandung komponen senyawa nitrogen organik berupa protein tinggi (albumin), protein sederhana (albuminosa dan peptosa), asam amino (glisin, asam aspartat) dan asam amida (asparagin, glutamin). Selain itu nira tebu juga mengandung komponen asam organik lain seperti akonitat, oksalat, suksinat, glikolat dan malat. Kandungan garam organik yang teridentifikasi dalam nira tebu diantaranya adalah fosfat, klorida, sulfat, silikat dan nitrat dari Na, K, Ca, Al dan Fe. Menurut Legaz et. al. (2000), nira tebu dapat mengandung glikoprotein bila nira tersebut dihasilkan dari batang yang mengalami kerusakan atau terserang mikroorganisme pathogen. Dalam keadaan segar, nira tebu berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5,0-6,0 (Goutara dan Wijandi, 1975). Menurut Gillet (1985) zat warna yang
10
terdapat dalam nira tebu adalah klorofil yang berasosiasi dengan xantofil, karoten, antosianin, tannin dan sakretin. Sedangkan warna coklat timbul akibat reaksi pencoklatan enzimatis dari polifenol. Proses pengolahan nira tebu menjadi gula terbagi dalam 2 bagian (Pancoast dan W. Ray, 1980). Pertama, proses ekstraksi batang tebu untuk diambil niranya, kemudian dilakukan rafinasi sebagian dan kristalisasi, menghasilkan gula mentah (raw sugar). Bahan selain sukrosa dipisahkan semaksimal mungkin dengan proses-proses defekasi, sulfitasi, karbonatasi, defekasi-sulfitasi serta kombinasi keempat proses tersebut. Kedua, proses purifikasi gula mentah dan kristalisasi lebih lanjut, menghasilkan gula (refine sugar). Proses kerusakan banyak terjadi pada tahap pertama pembuatan gula dimana nira tebu masih memiliki aktivitas enzimatis dan mikrobiologis. Dalam proses pembuatan gula kristal, degradasi sukrosa (inversi atau hidrolisis) harus dicegah sebesar mungkin. Degradasi sukrosa menghasilkan molekul glukosa dan fruktosa, yang dikenal sebagai gula invert. Glukosa dan fruktosa bersifat tidak dapat dikristalkan dan menghambat proses kristalisasi sukrosa dalam pengolahan gula. Hal tersebut menyebabkan rendemen gula menjadi rendah. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan degradasi sukrosa diantaranya adalah peningkatan keasaman, suhu dan lama inkubasi nira tebu pada suhu yang terus meningkat.
Kerusakan pada Nira Tebu Sukrosa dan Degradasinya Sukrosa adalah jenis gula disakarida yang dikenal juga sebagai "gula meja", berwarna putih, berbentuk kristal padat dengan rasa manis dan dapat membentuk caramel serta terdekomposisi pada suhu 186°C. Pada saat sukrosa mengalami dekomposisi akan menghasilkan karbondioksida dan air serta menghasilkan warna coklat pada produknya. Rumus empirik sukrosa adalah C12H22O11, sama seperti laktosa dan maltosa tetapi berbeda struktur molekulnya (lihat Gambar 2).
Gambar 2 Struktur molekul sukrosa
11
Dalam molekul sukrosa, molekul penyusunnya (glukosa dan fruktosa) diikat oleh ikatan glikosidik 1→2-α,β-. Dengan demikian secara sistemik sukrosa dinamakan sebagai α-D-glucopyranosyl-(1→2)-β-D-fructofuranoside. Sukrosa memiliki sifat-sifat lainnya sebagai berikut (Chaplin. 2004) : • Dapat larut dalam air dengan kelarutan 2,1 g dalam 1 g air pada suhu 25°C • Menunjukan indeks refraktif pada larutannya 10% • Suhu melting pada 186°C • Densitas energi: 17 kJ/g • Berat molekul: 342,3 g/mol Degradasi sukrosa, khususnya pada nira tebu, terjadi disebabkan oleh reaksi invertasi terhadap molekul sukrosa. Reaksi invertasi merupakan reaksi hidrolisis irreversible dimana satu molekul sukrosa dan satu molekul air menghasilkan satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Proses ini dipercepat dengan panas. Invertasi molekul sukrosa murni diproses paling cepat sampai mendekati 5000 kali pada 90°C dibanding pada 20°C. Pada prakteknya reaksi ini terjadi pada pH dibawah 7 dan proses dipercepat dengan penurunan pH. Reaksinya adalah indotermik dengan energi aktivasi 25,9 kilokalori per mol pada 20°C. Reaksi ini dapat juga melalui katalisis biokimia dengan beberapa enzim, khususnya invertase (Pennington dan Charles, 1990 dan Wang, 2004). Proses inversi dapat terjadi secara sempurna selama 48 - 72 jam pada suhu 50°C dengan pH 4,5 (Chaplin. 2004). Reaksi invertasi atau hidrolisis sukrosa selengkapnya disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Reaksi invertasi atau hidrolisis sukrosa
Invertase Nama lain dari invertase adalah β-fructofuranosidase yang menunjukan reaksi yang dikatalis enzim ini adalah reaksi hidrolisis pada gugus ujung nonreduksi β-fructofuranoside dalam β-fructofuranosides. Selain itu reaksi tersebut juga dapat menghidrolisis gugus α-D-glucosidase yang merupakan gugus ujung
12
unit glukosa. Selain oleh invertase, sukrosa juga dapat dihidrolisis dalam kondisi lingkungan yang asam walaupun tanpa adanya enzim (Wang, 2004). Invertase dapat dihasilkan oleh beberapa jenis mikroorganisme dengan menggunakan substrat sukrosa. Secara komersil invertase dihasilkan dari jenis khamir
Saccharomyces
cerevisiae
atau
Saccharomyces
carisbergensis.
Walaupun berasal dari kultur yang sama, invertase dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda. Sebagai contoh, invertase intraselular mempunyai berat molekul 135.000 dalton sedangkan invertase ekstraselular mempunyai berat molekul 270.000 dalton (Wang, 1999). Berbeda dengan kebanyakan enzim, invertase memiliki kisaran wilayah pH yang cukup besar yaitu pH 3,5-5,5, dengan pH optimum 4,5. Aktivitas invertase optimum pada suhu sekitar 55°C. Pada beberapa jenis enzim, nilai Michaelis-Mentennya mempunyai kisaran nilai Km antara 2 mM dan 5 mM, namun pada invertase mempunyai nilai Km sekitar 30 mM.
Invertase Dalam Nira Tebu Dalam tanaman tebu mengandung berbagai jenis enzim, diantaranya adalah enzim invertase yang berperan dalam reaksi invertasi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Selain dalam tanaman tebu, invertase juga teridentifikasi dalam buah apel (Qiu Hong PAN, et. a/., 2005), umbi kentang (Ewing et. a/., 1977, Pressey dan Row Shaw, 1966, Ewing et. a/., 1977), buah tomat (Pressey, 1994) dan ubi (Matsushita dan Uritani, 1976). Tanaman tebu mengandung invertase dalam bentuk yang sama (isoform) dengan keberadaan atau posisi yang berbeda-beda sebagai berikut : invertase netral (neutral invertase), invertase asam vakuola (vacuolar acid invertase), invertase asam yang terikat pada dinding sel (cell-wall bound acid invertase) dan invertase asam apoplastik terlarut (apoplastic soluble acid invertase) (Vorster dan Botha, 1998). Pengelompokan invertase juga dapat didasarkan pada pH optimum aktifitasnya, yaitu : invertase asam, invertase netral dan invertase alkali. Pengelompokan invertase lainnya adalah berdasarkan lokalisasi terhadap intraseluler yaitu : invertase terlarut dan invertase terikat (Mahbubur et.al. 2004). Menurut Zhu et.al. (1997), aktifitas invertase asam yang terlarut memiliki korelasi dengan akumulasi sukrosa dalam batang tebu. Sementara itu hal yang sama tidak terjadi pada invertase netral. Menurut Vorster dan Botha (1998), akumulasi sukrosa dan aktifitas spesifik invertase netral dalam batang tebu tidak
13
menunjukan korelasi yang signifikan. Invertase netral memiliki aktifitas spesifik yang lebih tinggi daripada invertase asam terlarut (apoplastik dan vakuola). Invertase asam yang terikat pada dinding sel teridentifikasi keberadaannya dalam batang tebu sejak sebelum batang tebu matang atau siap panen. Invertase pada tebu termasuk jenis glikoprotein dengan kadar gula 7,29% dan berat molekul 218 kDa (Mahbubur et. al., 2004). Aktifitas invertase maksimal pada pH 7,2 dan suhu 60°C. Pengaruh pH dan suhu terhadap aktivitas invertase dalam nira tebu selengkapnya disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Kemampuan penghambatan aktivitas invertase oleh berbagai produk metabolit dan ion logam disajikan pada Tabel 2.
Aktivitas relatif
120 100 80 60 40 20 0 0
2
4
6
8
12
10
pH
Gambar 4 Pengaruh pH terhadap aktivitas invertase pada tebu (Mahbubur et.al., 2004)
Aktivitas relatif
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
o
Suhu ( C)
Gambar 5 Pengaruh suhu terhadap aktivitas invertase pada tebu (Mahbubur et.al., 2004)
14
Tabel 2 Kemampuan penghambatan aktivitas invertase oleh berbagai produk metabolit dan ion logam (Vorster, dan Frederik, 1998) Komponen Tris 1 Fruktosa 1 Glukosa 2 Glukosa + fruktosa 3 PEP 3 Sitrat 3 MgATP 3 MgADP 3 MgAMP
Inhibisi (%) 85 ± 5,3 37 ± 4,1 27 ± 7,4 14 ± 5,3 1 ± 1,3 2 ± 1,5 0 ± 0,68 2,1 ± 3,5 0,84 ± 1,7
1
3
HgCl2 ZnCl2 3 AgNO3 3 CuSO4 3 CoCl2 3 CaCl2 3 MgCl2 3 MnCl2
100 ± 7,3 99 ± 2,4 98 ± 2,1 97 ± 2,6 32 ± 1,8 0 ± 7,0 0 ± 1,7 0 ± 2,5
3
Keterangan : 1 10 mM,
2
5 mM,
3
1 mM
Mikroorganisme dalam Nira Tebu Kerusakan pada nira tebu juga dapat disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme melalui proses fermentasi. Beberapa jenis mikroba dapat juga memproduksi invertase seperti Cladosporium cladosporioides (Almeida et. a/., 2000) dan kamir methylotropik (Hansenula polymorpha dan Pichia pastoris) (Niuris et.al., 2000) sehingga kontaminannya dapat meningkatkan konsentrasi invertase dalam nira tebu. Kontaminasi mikroorganisme ke dalam nira tebu dimulai sejak pemanenan hingga berlangsungnya proses pengolahan, termasuk kontaminasi dari peralatan pengolahan. Salah
satu
jenis
mikroorganisme
yang
sering
teridentifikasi
mengkontaminasi nira tebu adalah Leuconostoc mesenteroides yang mempunyai kemampuan menghasilkan enzim untuk mengkonversi sukrosa menjadi fruktosa dan dextran. Dekstran dihasilkan oleh reaksi enzim dextransucrase pada sukrosa. Dekstran memiliki struktur sukrosa dan menghambat kristalisasi sukrosa. Kerusakan lebih lanjut dari degradasi sukrosa adalah terbentuknya asamasam organik seperti asam laktat dan asetat (Mathlouthi, 2000). Leuconostoc mesenteroides dapat mengkonsumsi sukrosa dengan sangat cepat (8.05 g/l/jam pada suhu 25 °C and 8.46 g/l/jam pada suhu 30 °C) selama 6 jam (Cerutti de
15
Guglielmone et. a/., 2000 di dalam Mathlouthi, 2000 ). Proses fermentasi tersebut berarti terjadi kehilangan sukrosa sebanyak 59% pada suhu 25 °C dan 62% pada suhu 30 °C. pada suhu yang lebih tinggi (37 °C and 40 °C) persentase konsumsi sukrosa dapat menurun menjadi 47% dan 27% (Mathlouthi, 2000). Jenis mikroorganisme lain yang teridentifikasi mengkontaminasi nira tebu adalah Flavobacterium rigenes, Brevibacterium sulferens, Flavobacterium devorans, Candida pulcherrima, Klebsiela azaenae, Chromabacterium lividum, Bactobacillus arabinosus dan Saccharomyces lactis. Mikroba lain yang dapat mengkontaminasi nira tebu adalah Saccharococcus sacchari yang diindikasikan dengan terbentuknya glikoprotein dalam batang tebu (Legaz et. a/., 2000). Kerusakan nira akibat aktivitas mikroorganisme ditandai dengan rasa asam pada nira, berbuih putih dan berlendir dengan reaksi kimia seperti yang disajikan pada Gambar 6 (Goutara dan Wijandi, 1985). Menurut Legaz et. a/., (2000), adanya glikoprotein juga menjadi indikasi kontaminasi mikroba dalam nira tebu dan telah terjadi kerusakan terlebih dahulu pada batang tebu. C12H22O11 + H2O sukrosa
C6H12O6 + C6H12O6 glukosa fruktosa
C6H12O6 glukosa/fruktosa
2 C2H5OH + 2 CO2 etanol
C2H5OH + O2 etanol
CH3COOH + H2O asam asetat
Gambar 6 Tahapan reaksi fermentasi pada nira tebu Pada reaksi pertama terjadi reaksi invertasi pada sukrosa dengan katalis invertase atau reaksi hidrolisis karena adanya asam. Pada reaksi kedua, hasil reaksi invert atau hidrolisis sukrosa dapat dikonsumsi oleh mikroorganisme dan diubah menjadi alkohol dan selanjutnya dioksidasi menjadi asam asetat. Terbentuknya asam menyebabkan reaksi hidrolisis sukrosa terjadi lagi dan nira menjadi asam. Menurut Goutara dan Wijandi (1985), proses degradasi sukrosa diikuti dengan pembentukan warna coklat tua. Semakin tinggi jumlah dekomposisi sukrosa makin nyata warnanya. Selanjutnya komponen glukosa dan fruktosa yang telah terbentuk dari reaksi hidrolisa sukrosa, mengalami proses fermentasi membentuk etil alkohol. Etil alkohol kemudian dioksidasi menjadi asam asetat. Kondisi nira yang asam akan semakin meningkatkan inversi sukrosa di dalam nira tebu.
16
Pertumbuhan mikroorganisme secara umum mengikuti pola tertentu yang terdiri atas 6 fasa yaitu fasa awal, fasa penyesuaian, fasa eksponensial, fasa pelambatan, fasa stasioner dan fasa penurunan. Perubahan antar fasa merupakan
fungsi
dari
waktu
pertumbuhan.
Fasa
awal
adalah
masa
penyesuaian mikroorganisme sejak mengkontaminasi bahan. Pada fasa ini terjadi sintesis enzim oleh sel yang diperlukan untuk metabolisme metabolit. Setelah fasa awal selesai, mulai terjadi reproduksi sel mikroorganisme. Konsentrasi sel mikroorganisme atau biomassa meningkat, mula-mula perlahan kemudian makin lama makin meningkat. Pada saat laju pertumbuhan sel mikroorganisme mencapai titik maksimal, maka terjadi pertumbuhan secara eksponensial. Pada fasa ini keadaan pertumbuhan mikroorganisme mantap. Penurunan laju pertumbuhan atau fasa pelambatan terjadi pada saat substrat yang diperlukan mikroorganisme untuk pertumbuhan mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat pertumbuhan. Fasa pertumbuhan akan terhenti dan terjadi modifikasi struktur biokimiawi sel mikroorganisme pada fasa stasioner. Fasa selanjutnya adalah fasa penurunan , dimana jumlah sel mikroorganisme berkurang akibat terjadi kematian yanbg diikuti autolisis oleh enzim selular.
Penghambatan Kerusakan Nira Tebu Pengaruh Suhu dan pH Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh perubahan pH dan suhu. Setiap enzim memiliki pH dan suhu optimum untuk aktivitasnya. Pada saat reaksi berjalan dibawah titik optimum, kecepatan reaksi berlangsung semakin cepat hingga titik optimum. Setelah melampaui titik optimumnya, kecepatan reaksi berlangsung semakin menurun, bahkan pada menjadi inaktif. Perubahan kecepatan aktivitas enzim akibat pengaruh pH dan suhu disebabkan karena perubahan struktur tersier enzim dan ikatan kovalen yang mempengaruhi bentuk enzim (seperti interaksi ion dan ikatan hydrogen). Sebagai contoh, perubahan pH akan mengubah posisi ionisasi asam amino yang akhirnya akan mempengaruhi aktivitas katalitiknya sebagai enzim. Sementara itu ikatan hydrogen juga sangat dipengaruhi oleh peningkatan suhu, dimana pada suhu tinggi ikatan hydrogen akan putus, sehingga struktur enzim akan berubah dan kemampuannya bereaksi dengan substrat akan hilang (Harrow dan Mazur, 1958). Grafik hubungan perubahan pH dan suhu terhadap aktivitas enzim disajikan pada Gambar 7.
17
Pengaruh suhu dan pH dapat digunakan sebagai faktor untuk mencegah aktifitas enzim yang tidak dikehendaki. Dengan penggunaan suhu yang menyebabkan inaktivasi enzim maka kerusakan enzimatis dapat dicegah. Pada nira tebu, enzim yang sangat berperan dalam kerusakan nira tebu adalah invertase. Enzim ini terdapat secara alami dalam nira tebu dan juga dihasilkan
aktivitas enzim
Aktivitas aktivitasenzim enzim
Aktivitas enzim
oleh mikroorganisme kontaminan, khususnya Saccharomices cereviceae.
4
6
8
10
12
10
pH
pH
20
30
40
50
60
suhu (C)
Suhu (C)
Gambar 7 Grafik hubungan perubahan ph dan suhu terhadap aktivitas enzim Kerusakan pada nira tebu dapat dihambat dengan mengontrol reaksi kerusakan melalui pengaturan pH dan suhu. Kedua parameter tersebut memiliki peran besar mempengaruhi aktivitas enzimatis dan mikrobiologis. Setiap enzim memiliki kondisi pH dan suhu tertentu untuk reaksinya, demikian pula aktifitas mikrobiologi. Enzim invertase dalam tebu memiliki aktivitas maksimal pada pH 7,2 dan suhu 60° C, dan mencapai setengah aktivitas maksimalnya pada pH 6,4 dan 8,2 (Mahbubur et.al., 2004, Vorsterdan Frederik, 1998). Untuk mengurangi kehilangan sukrosa pada tahap pemurnian dan evaporasi, pH harus diatur agar mencapai 6,3-6,4 pada akhir evaporator (Eggleston et.al., 2003). Penggunaan suhu tinggi selain membunuh mikroorganisme dalam nira dapat juga berfungsi menginaktivasi enzim seperti invertase yang aktivitasnya terhenti dengan pemanasan selama 2 menit pada suhu 90° C (Vorster dan Frederik, 1998). Suhu dan pH juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Seperti halnya enzim, mikroorganisme juga memiliki batas optimum agar dapat bertahan hidup. Umumnya mikroorganisme tidak dapat bertahan hidup pada kondisi suhu dan pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.
18
Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Upaya pencegahan kerusakan akibat reaksi enzimatis dan mikrobiologis juga dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengawet, baik yang bersifat inhibitor enzim ataupun antimikrobial. Inhibisi enzim atau penghambatan aktifitas enzim merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian yang menyangkut kesehatan. Misalnya Pb, Hg dan logam berat lainnya bersifat sangat beracun pada manusia karena kerjanya sebagai penghambat kerja enzim. Meskipun mekanisme penghambatan kerja invertase oleh logam-logam berat berbeda dengan mekanismenya pada enzim lain, namun dapat dipastikan bahwa logam-logam berat tersebut sangat menghambat kerja invertase. Sebagai contoh, ion Ag++ menyerang rantai sisi histidin pada molekul invertase dan menyebabkan invertase tidak aktif. Beberapa jenis logam sangat efektif menghambat aktivitas enzim invertase seperti HgCI2, ZnCI2, AgNO3, dan CuSO4 (Vorster dan Frederik, 1998, Mahbubur et.al., 2004). Natrium benzoat dan larutan amoniak dalam jumlah 0.05% dan 0.32% dapat menghentikan fermentasi pada nira tebu selama 2-3 hari, pada konsentrasi 0.10% dan 1.28% dapat menghentikan fermentasi hingga 6 hari (Bobadilla dan Preston, 1981, Duarte et. al., 1981). Inhibisi enzim juga dapat dilakukan oleh selektif enzim, pestisida atau herbisida yang cara kerjanya adalah dengan menghambat pertumbuhan atau pertahanan organisme yang menghasilkan invertase. Berbagai perlakuan untuk penyakit juga dapat bersifat penghambat enzim. Jenis inhibitor lainnya adalah substrat dan produk reaksi enzimatis itu sendiri. Pada invertase, sukrosa dan gula invertnya dapat menghambat kerja invertase pada konsentrasi yang tinggi (Wang, 1999). Aplikasi penambahan pengawet pada pembuatan gula dari nira tebu harus mengikuti aturan pemerintah dan mengikuti standar food grade. Penggunaan beberapa jenis bahan kimia dalam bahan pangan seperti formalin dan borax kini sangat dilarang karena membahayakan kesehatan. Berbagai bahan alami kini dikembangkan sebagai pengawet seperti yang dilakukan oleh petani-petani nira aren sejak lama, yaitu memanfaatkan akar kawao, kulit dan buah manggis, laru janggut, kulit batang kusambi, remasan daun jambu mete, tangkal dan kulit batang nangka (Sedarnawati et. al,, 1999). Pemanfaatan komponen kimia dari ekstrak tanaman atau komponen fitokimia telah diaplikasikan sejak lama, yang diketahui melalui pengalaman empiris. Pada
19
masa kini komponen-komponen fitokimia tersebut banyak diteliti untuk diidentifikasi lebih lanjut.
Fitokimia sebagai Bahan Pengawet Fitokimia adalah segala jenis zat kimia atau nutrien yang diturunkan dari sumber tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan. Fitokimia dapat berperan sebagai antimikroba, antivirus, antiimflamantori, perlakuan pengobatan penyakit dan bahan pengawet. Penelitian berbagai fitokimia telah banyak dilakukan dalam rangka pemanfaatan lebih lanjut senyawa tersebut. Beberapa senyawa fitokimia yang banyak dimanfaatkan adalah (Murray, 1996): •
Glikosida, suatu molekul yang dibangun oleh struktur molekul gula (glikon) dan non-gula (aglikon). Biasanya senyawa non-gula (aglikon) penyusun
glikosida
adalah
senyawa
fitokimia
lain
yang
akan
membebaskan jdiri jika diperlukan. Struktur glikosida dapat pecah disebabkan oleh reaksi hidrolisis dan enzimatis. Pemanfaatan glikosida akan didasarkan oleh kemampuan senyawa aglikonnya. Glikosida juga dapat digunakan sebagai pengikat toksik. •
Flavonoid, termasuk didalamnya adalah isoflavonoid, biasa digunakan sebagai antioksidan. Fitokimia ini juga berperan dalam pigmentasi (merah,
kuning
dan
biru),
bersifat
antimikroba,
antialergik,
antiimflamantori, dan antikanker. •
Alkaloid, merupakan turunan senyawa amina, bersifat racun dan dapat membentuk garam dengan asam (asam mineral dan organik). Senyawa ini bersifat anastetik dan analgesik, sering dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan.
•
Terpenoid, terdiri atas beberapa unit isopren, berperan dalam menghasilkan aroma, rasa dan warna pada tanaman. Senyawa ini juga bersifat antimikroba dan antineoplastik.
•
Tannin, senyawa yang dapat mengendapkan protein, bersifat antidiare, hemostatik dan antihemordial.
Kawao (Millettia sp.) Kawao (millettia) merupakan tanaman perdu yang memanjat, tegak, panjang 10 - 30 m, tumbuh di hutan hutan dan di tepi-tepi sungai mulai dari dataran rendah sampai ± 1000 m di atas permukaan laut (Menninger, 1970).
20
Tanaman kawao atau Millettia termasuk dalam famili Fabaceae (sub-famili papillionoidae). Tanaman ini memiliki 200 spesies dengan bentuk pohon, tanaman merambat dan perdu, yang tersebar di daerah tropis Afrika (Irvine, 1961), Asia, Australia, and America (Thulin, 1983). Pada Gambar 8 disajikan salah satu jenis tanaman kawao atau millettia.
Gambar 8 Tanaman kawao (Millettia). Tanaman kawao (millettia) mengandung komponen fitokimia, diantaranya adalah alkaloid, diterpenoid, coumarin, flavonoid dan isoflavonoid (Amgsa et. a/., 1994; Dewick, 1994; Wanda, 2006). Jenis isoflavon pada millettia yang telah diidentifikasi oleh Yankep et. al., (1997; 1998; 2001) adalah chalcone, a rotenoid, a phenylcoumarine dan beberapa jenis isoflavon lain. Komponen-komponen tersebut diekstraksi dari bagian akar dengan menggunakan heksan. Pada Tabel 3 disajikan beberapa jenis tanaman Millettia dengan komponen fitokimianya. Tanaman millettia banyak dimanfaatkan sebagai trypanocidal, antiplasmodial, insektisida, piscisida, molluscicida (Teesdale, 1954; Singhal et al., 1982; Amgsa et. al., 1994). Akar tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970). Menurut Teysmann dalam Menninger (1970), orang Jawa memberikan sepotong akar dalam cairan palem yang masih segar agar cairan tersebut (nira) tidak menjadi asam. Tanaman ini juga dimanfaatkan dalam bidang pengobatan (Gamgsa et. al., 1993;) Millettia conraui, Millettia laurantii and Millettia sanagana digunakan sebagai obat sakit perut yang disebabkan parasit pada anak (Singhal, 1982). Millettia zechiana digunakan sebagai obat bronchial rhinopharyngial. Ekstrak akar dan batang Millettia griffoniana digunakan sebagai obat tradisional, insektisida, mengurangi peradangan yang disebabkan penyakit paru dan asma, infertilitas, smenorrhea dan masalah menopause (Sandberg and Cronlund, 1977). Ekstrak akar Millettia griffoniana mengandung isoflavon Griffonianone D yang bersifat mengurangi peradangan (antiimflamantory) (Yankep et. al., 2003).
21
Tabel 3. Beberapa jenis tanaman Millettia dengan komponen fitokimianya Jenis millettia Millettia erythrocalyx1
Millettia puguensis 2
Millettia griffoniana Baili 3
Millettia erythrocalyx 4 Millettia laurentif 5,6 Keterangan :
Komponen fitokimia Flavonoid: • 6-methoxy-[2",3":7,8]furanoflavanon • 2,5-dimethoxy-4-hydroxy-[2",3":7,8]furanoflavan • 3,4-methylenedioxy-2',4'dimethoxychalcone • 1 -(4-hydroxy-5-benzofuranyl)-3-phenyl-2propenone • Derricidin • purpurenone • pongaglabol • ponganone I • ovalitenone • pongamol • milletenone • ponganone V • lanceolatin B Isoflavonoid: • 2'-methoxy-4',5'-methylenedioxy-7,8-[2-(1methylethenyl)furo]isoflavone • lupeol • (-)-maackiain • 6,7-dimethoxy-3',4'methylenedioxyisoflavone • 7,2'-dimethoxy-4',5'methylenedioxyisoflavone alkaloid diterpenoid isoflavonoid: • 4'-methoxy-7-O-[(E)-3-methyl7hydroxymethyl-2,6 octadienyl]isoflavone (7O-DHF) • Griffonianone C (Griff C) • 7-O-geranylformononetin (7-O-GF) • 3',4'-dihydroxy-7-O-[(E)-3,7-dimethyl-2,6octadienyl] isoflavone (7-O-GISO) • Griffonianone E (Griff E) • 4'-O-eranylisoliquiritigenin (4-O-GIQ) 24 turunan fenolik Flavonoid : 3',5'-dimethoxy-[2",3"7,8]furanoflavon Alkaloid Guanidin: • millaurine • O-acetylmillaurine
1
4
2
5
Conrad et. al. (1999) Kapingu et. al. (2006) 3 Wanda (2006)
Aktifitas kimia Racun ikan Insektisida
cytotoksik antileishmanial
Oestrogenik
Antiviral -
Likhitwitayawuid et. al. (2005) Amgsa et. al. (1994) 6 Gamgsa et. al (1993)
822
Tanaman kawao (millettia) juga mengandung komponen rotenoid yang dikenal sebagai salah satu insektisida alami, termasuk untuk membasmi larva nyamuk Aedes aegypti (Abe et al., 1985). Menurut Yenesew et. al., 2003) rotenoid bersifat larvisida sebagaimana penelitiannya pada jenis millettia : M. dura, M. lasiantha, M. leucantha, M. oblata, M. tanaensis and M. Usaramensis. Struktur kimia rotenioid dan flavonoid lain yang diisolasi dari spesies Millettia disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur kimia rotenoid dan flavonoid lain yang diisolasi dari salah satu spesies millettia (Yenesew et. a/., 2003)
Manggis (Garcinia mangostana L.) Tanaman manggis (Garcinia mangostana L) termasuk dalam famili Clusiaceae (Guttiferae). Tanaman manggis berbentuk pohon yang selalu hijau dengan tinggi 6-20 m. Batangnya tegak dengan batang pokok yang jelas. Kulit batang berwarna coklat dan memiliki getah kuning. Asal usul tanaman manggis tidak diketahui. Waktu berbunga dimulai pada bulan Mei hingga bulan Januari. Tanaman ini dapat tumbuh di Jawa pada ketinggian 1-1000 m di atas permukaan laut, pada berbagai tipe tanah (pada tanah liat dan lempung yang kaya bahan organik), sering sebagai tanaman buah. Iklim yang diperlukan adalah adanya
923
kelembaban dan panas dengan curah hujan yang merata (IPTEKnet, 2005). Pada Gambar 10 disajikan bentuk pohon, daun dan buah tanaman manggis (Garcinia mangostana L).
Gambar 10 Tanaman manggis (Garcinia mangostana) Kulit
kayu,
kulit
buah
dan
lateks
kering
Garcinia
mangostana
mengandung sejumlah zat warna kuning yang berasal dari dua metabolit yaitu mangostin dan β-mangostin yang berhasil diisolasi. Mangostin merupakan komponen
utama
sedangkan
β-mangostin
merupakan
konstituen
minor
(IPTEKnet, 2005). Dari hasil suatu penelitian dilaporkan bahwa Mangostin (1,3,6trihidroksi-7-metoksi-2,8-bis(3metil-2-butenil)-9H-xanten-9-on) hasil isolasi dari kulit buah mempunyai aktivitas antiinflamasi dan antioksidan. Dari hasil studi farmakologi dan biokimia dapat diketahui bahwa mangostin secara kompetitif menghambat tidak hanya reseptor histamin H, mediator kontraksi otot lunak tetapi juga epiramin yang membangun tempat reseptor H1, pada sel otot lunak secara utuh. Mangostin merupakan tipe baru dari histamine (IPTEKnet, 2005). Dalam penelitian lain ditemukan komponen fitokimia dalam batang manggis adalah tannin (Abbiw, 1990), α-mangostin dan β-mangostin (Sakagami et. al., 2005; linuma et. al., 7996; Dharmaratne et al., 2005; Suksamrarn et. a/., 2002) dan xantonin (Ee et. al., 2006; Nilar e.t al., 2002; Gopalakrishnan et. al., 1997). Menurut Ee et. al., (2006) komponen xantonin pada batang manggis yang telah
diidentifikasi
adalah
(2,6-dihydroxy-8-methoxy-5-(3-methylbut-2-enyl)-
10 24
xanthone) dan 6 jenis xantonin prenilat yaitu : α-mangostin, β-mangostin, garcinone
D,
1,6-dihydroxy-3,7-dimethoxy-2-(3-methylbut-2-enyl)-xanthone,
mangostanol dan 5,9-dihydroxy-8-methoxy-2,2-dimethyl-7-(3-methylbut-2-enyl)2H,6H-pyrano-[3,2-b]-xanthene-6-one. Komponen xantonin juga terdapat pada lateks batang manggis hingga 75% (Dharmaratne et. al., 2005). Ekstraksi komponen xantonin dilakukan menggunakan heksan (Nilar e.t al., 2002). Komponen-komponen fitokimia dalam batang manggis memiliki sifat antibacterial, anti-inflammatory, antifungal, larvisida, antiviral, antioksidan dan sejumlah aktifitas biologi lainnya (Dharmaratne et. al., 2005; Sundaram et. al., 2002; Ee et. al., 2006; Perry, 2007). Senyawa α-mangostin telah diteliti bersifat antimikroba, khususnya pada Enterococci and S. aureus, dengan nilai konsentrasi penghambatan minimum atau minimum inhibitory concentration (MIC) masing-masing 6,25 dan 12,5 microg/ml (Sakagami et. al., 2005; linuma et. al., 1996). Pada Mycobacterium tuberculosis, α- and β-mangostins memiliki nilai konsentrasi penghambatan minimum atau minimum inhibitory concentration (MIC) 6.25 μg/ml (Suksamrarn et. al., 2002). Beberapa xantonin yang diekstrak dari manggis bersifat antifungal (Geetha et. al., 1997; Gopalakrishnan et. al., 1997). Ekstrak komponen batang manggis juga telah diuji bersifat larvisida, khususnya pada larva nyamuk Aedes aegypti (Ee et. al., 2006). Dalam beberapa penelitian, komponen dalam manggis berupa mangostin dan xantonin bersifat inhibitor terhadap beberapa jenis protein, enzim dan reaksi kimia lain (Chairungsrilerd, 2002; Mahabusarakam et. al., 2002; Furukawa et. al., 2002; Jinsart et. al., 2002). Dengan sifat-sifat yang telah dijelaskan, batang manggis digunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya sebagai obat seperti diare, disentri dan penyakit lainnya (Jayaweera, 1981; Quisumbing, 1978; Morton, 1987; Sakagami et. al., 2005).
11 25
Gambar 11. Struktur Mangostin (Nilar e.t al., 2002) α-mangostin R1 = H. R2 = CH3 β-mangostin R1 = H. R2 = H γ-mangostin R1 = H. R2 = H Tanaman manggis juga digunakan oleh sebagian petani aren untuk mencegah kerusakan niranya, dengan memasukan kulit batang atau buah manggis ke dalam larutan nira. Kulit batang manggis juga digunakan sebagai antioksidan karena mengandung xantones (α dan y-mangostens) dengan kemampuan yang lebih baik daripada antioksidan BHA dan α-tocopherol (Yoshikawa et. a/., 1994).
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri TIN Fateta IPB, Laboratorium Teknologi Kimia TIN Fateta IPB dan
Laboratorium Rekayasa
Bioproses PAU IPB. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005 sampai bulan September 2006. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
nira tebu
(Saccharum Officinarum), akar kawao (Millettia sp.) dari kawasan agropolitan leuwiliang, kulit batang manggis (Garcinia mangostana L.), kapur (CaO) dan bahan-bahan kimia untuk analisis. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pemeras tebu, saringan, tangki berpengaduk dengan pengatur suhu, refraktometer, pH-meter, spektrofotometer, HPLC (High Performance Liquid Chromatografi) dan alat-alat gelas. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan percobaan. Tahap pertama melakukan karakterisasi bahan yang akan digunakan dalam penelitian yaitu : nira tebu dan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis). Tahap kedua melakukan pengujian faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa dalam nira tebu, meliputi faktor suhu, pH, nisbah pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dan lama inkubasi dengan parameter pengamatan kadar sukrosa dan gula pereduksi. Tahap ketiga melakukan pengukuran perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan dengan parameter pengamatan kadar sukrosa, gula pereduksi, total asam dan pH. Bagan tahapan penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 12.
27
Mulai
Karakterisasi Bahan Nira Tebu, Akar Kawao, Kulit Batang Manggis
Penentuan Pengaruh Faktor Suhu, pH, Nisbah Pengawet, Lama inkubasi
Penentuan Perubahan Kualitas Nira Tebu Selama Penyimpanan
Selesai Gambar 12 Diagram alir tahapan penelitian
Prosedur Penelitian Karakterisasi nira tebu dilakukan terhadap hasil ekstraksi batang tebu menggunakan alat penggiling atau pemeras tebu sehingga diperoleh niranya. Parameter yang diukur dari nira tebu tersebut meliputi kadar sukrosa, gula pereduksi, total asam dan nilai pH. Kadar sukrosa dan gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) diukur menggunakan HPLC, total asam diukur dengan metoda titrasi dengan NaOH 0,005N dan nilai pH diukur menggunakan alat pH-meter. Karakterisasi akar kawao dan kulit batang manggis dilakukan dengan membawa kedua jenis bahan tersebut ke tempat pengujian fitokimia bahan yaitu di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Cimanggu, Bogor. Pengukuran dilakukan secara kualitatif terhadap parameter komponen fitokimia, yaitu alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid dan glikosida. Standar pengukuran komponen fitokimia mengikuti standar yang disepakati oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Pengujian pengaruh faktor yang mempengaruhi degradasi sukrosa pada tahap kedua dari penelitian ini meliputi faktor suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi. Parameter yang diukur pada tahapan ini meliputi kadar sukrosa dan gula pereduksi. Metoda pengukuran kadar sukrosa dilakukan menggunakan metoda refraktometrik yaitu nira tebu hasil perlakuan diukur nilai brixnya menggunakan
refraktometer
kemudian
hasil
pembacaan
brix
tersebut
28 dikonversikan pada tabel hubungan brix dengan kadar sukrosa (Pancoast dan Junk, 1980). Gula pereduksi diukur menggunakan metoda DNS, dimana nira tebu direaksikan dengan pereduksi 3,5-dinitrosalicylate (3,5-DNS). Prinsip kerja metoda DNS adalah, dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5-dinitrosalicylate
(3,5-DNS)
membentuk
senyawa
yang
dapat
diukur
absorbansi pada panjang gelombang 540 nm menggunakan spektrofotometer (Apriantono, et. al., 1989). Pemilihan suhu yang digunakan pada penelitian ini untuk diuji pengaruhnya terhadap degradasi sukrosa dalam nira tebu didasarkan pada studi literatur tentang suhu optimal penghambatan aktivitas invertase. Invertase memiliki aktivitas optimal pada suhu 600C (Mahbubur, et.al., 2004), sehingga suhu yang dipilih adalah suhu di bawah atau di atas 600C. Pada percobaan ini dipilih suhu 65˚C, 75˚C dan 85˚C mengingat pada suhu tersebut aktivitas enzim dan mikroorganisme menunjukan kecendrungan menurun. Pemilihan pH juga didasarkan pada studi literatur dan kondisi proses yang biasa dilakukan di industri gula. Aktivitas invertase optimal pada pH 7,2 (Mahbubur, et.al., 2004). Kondisi proses di pabrik gula rata-rata menggunakan pH di atas 7 karena adanya pemberian kapur pada nira mentah untuk mengendapkan zat-zat pengotor bukan gula (Moerdokusumo, 1993). Dengan kedua dasar di atas maka pH yang dipilih untuk percobaan ini adalah pH 7,5; 8,5 dan 9,5. Penggunaan pH yang terlalu tinggi juga tidak dikehendaki dalam proses pengolahan nira karena dapat meningkatkan reaksi pencoklatan (browning) akibat degradasi lanjut gula pereduksi. Pada percobaan ini nira ditambahkan kapur (CaO) untuk mengatur pH nira awal dan sebagai pengkondisian agar tidak jauh berbeda dengan kondisi di pabrik gula. Pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan yang biasa digunakan petani gula aren di Jawa Barat yaitu akar kawao dan kulit batang manggis. Pada percobaan ini kedua bahan tersebut digunakan secara bersamaan dengan perbandingan tertentu yaitu 3:7, 5:5 dan 7:3 (g/g) (ekstrak akar kawao : kulit batang manggis) dengan jumlah total bahan dalam nira tebu adalah 2% (v/v). Ekstraksi ini dilakukan berdasarkan pengalaman empiris petani dalam menggunakan akar kawao dan kulit batang manggis sebagai pengawet nira aren. Waktu reaksi ditentukan dengan percobaan menggunakan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dengan perbandingan 1:1
29 sebanyak 2% dari total larutan nira tebu pada suhu kamar dan pH 8,5. berdasarkan percobaan pendahuluan, perubahan kadar sukrosa dan gula pereduksi yang terpilih untuk pengujian pengaruh adalah selama selang waktu 50, 80 dan 110 menit Pengujian perubahan kualitas nira tebu selama penyimpanan pada tahap ketiga penelitian ini meliputi pengukuran parameter berupa kadar sukrosa, gula pereduksi, total asam dan pH. Metode pengukuran masing-masing parameter sama dengan tahap sebelumnya dengan lama inkubasi selama 240 menit dan diuji lanjut hingga 48 jam. Metoda pengukuran kadar sukrosa dilakukan menggunakan metoda refraktometrik yaitu nira tebu hasil perlakuan diukur nilai brixnya menggunakan refraktometer kemudian hasil pembacaan brix tersebut dikonversikan pada tabel hubungan brix dengan kadar sukrosa (Pancoast dan Junk, 1980). Gula pereduksi diukur menggunakan metoda DNS, dimana nira tebu direaksikan dengan pereduksi 3,5-dinitrosalicylate (3,5-DNS) dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm menggunakan spektofotometer.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial dua taraf (two level factorial design) dengan empat variabel proses, yaitu suhu reaksi (X1), pH (X2), nisbah pengawet (X3) dan lama inkubasi (X4). Nilai tertinggi dan terendah dari variabel yang akan diuji pengaruhnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai rendah dan tinggi perlakuan Jenis perlakuan Suhu (ºC) pH Nisbah pengawet (kawao:manggis) Lama inkubasi (menit)
Kode X1 X2 X3 X4
Nilai rendah (-) 65 7,5 3:7 50
Nilai tinggi (+) 85 9,5 7:3 110
Matriks satuan percobaan uji pengaruh faktor penghambatan laju degradasi sukrosa dalam nira tebu menggunakan rancangan Komposit Fraksional Berfaktor 2IV4-1 dapat dilihat pada Tabel 5.
30 Tabel 5 Matriks satuan percobaan uji pengaruh faktor penghambatan laju degradasi sukrosa dalam nira tebu dengan rancangan komposit fraksional berfaktor 2IV4-1 No. Obs. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
x1 -1 -1 -1 -1 +1 +1 +1 +1 0 0
Kode Nilai x2 x3 -1 -1 -1 +1 +1 -1 +1 +1 -1 -1 -1 +1 +1 -1 +1 +1 0 0 0 0
suhu (x1) (0C) 65 65 65 65 85 85 85 85 75 75
x4 -1 +1 +1 -1 +1 -1 -1 +1 0 0
Nilai perlakuan pH (x2) pengawet (x3) waktu (x4) (k:m) (menit) 7.5 (3 : 7) 50 7.5 (7 : 3) 110 9.5 (3 : 7) 110 9.5 (7 : 3) 50 7.5 (3 : 7) 110 7.5 (7 : 3) 50 9.5 (3 : 7) 50 9.5 (7 : 3) 110 8.5 (5 : 5) 80 8.5 (5 : 5) 80
Model rancangan percobaan untuk mengetahui pengaruh variabel proses terhadap respon yang diinginkan adalah sebagai berikut : 4 Y = ao + ∑ aixi + ∑ aijxixj i=1 i<j Keterangan: Y
: respon dari masing-masing perlakuan
ao, ai, aij
: parameter regresi
xi
: pengaruh linier variabel utama
xixj
: pengaruh linier dua variabel
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Nira Tebu Nira tebu adalah suatu ekstrak cairan yang berasal dari batang tebu, mengandung kadar gula relatif tinggi, dijadikan bahan baku pembuatan gula kristal. Selain tebu, sumber nira lain yang banyak digunakan dalam pembuatan gula adalah aren, kelapa, lontar dan bit. Nira tebu diekstrak dari batang tebu dengan usia panen 8-12 bulan. Pada masa yang kurang atau melebihi masa panen, kadar sukrosa dalam tebu memiliki jumlah yang lebih rendah. Bagi industri gula, pemanenan tebu dilakukan pada masa kadar sukrosa mencapai jumlah tertinggi. Selain kandungan sukrosa, nira tebu juga mengandung gula pereduksi yaitu glukosa dan fruktosa yang merupakan hasil invertasi sukrosa dengan adanya enzim invertase. Jenis gula lain yang mungkin terdapat dalam nira tebu adalah dekstran yang merupakan hasil hidrolisis sukrosa dengan bantuan enzim dekstransukrase yang dihasilkan dari bakteri kontaminan. Selain komponen gula, nira tebu juga mengandung komponen lain non gula seperti asam, protein, serat, garam-garam organik dan lain-lain. Pada penelitian ini dilakukan karakteristik nira tebu menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatografi) pada beberapa jenis gula, asam dan nilai pH seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Karakterisasi nira tebu Komposisi Kimia
Jumlah
Sukrosa (%)
10,29
Glukosa (%)
2,43
Fruktosa (%)
0,94
Dekstran (%)
1.41
Total asam (mleq)
62,50
Nilai pH
5,10
Kadar sukrosa dalam nira tebu yang diukur pada percobaan ini masih agak rendah yaitu 10,29%. Menurut Moerdokusumo (1993), kadar sukrosa dalam nira tebu untuk pengolahan menjadi gula mencapai 11 – 14%. Kadar sukrosa tersebut dapat dipengaruhi oleh jenis tebu, umur panen dan penanganan sebelum pengolahan (pemanenan, transportasi dan penyimpanan). Kandungan
32
gula pereduksi pada nira tebu yang diuji adalah 2,43% untuk glukosa dan 0,94% untuk frukrosa. Gula pereduksi merupakan hasil degradasi sukrosa dalam nira tebu melalui reaksi invertasi atau hidrolisis asam. Dalam reaksi invertasi, perbandingan jumlah molekul glukosa dan fruktosa adalah sama, namun dalam pengukurannya jumlah fruktosa tidak sama lagi dengan glukosa karena molekul fruktosa bersifat lebih labil dan mudah terdegradasi lebih lanjut menjadi senyawa yang lebih sederhana (Chaplin. 2004). Menurut Moerdokusumo (1993), kadar gula pereduksi dalam nira tebu berkisar 0,5 – 2,0%. Dalam percobaan ini berarti jumlah gula pereduksi yang diukur termasuk agak tinggi, hal itu dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada nira tebu, baik yang disebabkan oleh enzim maupun mikroorganisme. Dalam pengolahan nira tebu menjadi gula, keberadaan gula pereduksi tidak dikehendaki karena merupakan indikasi degradasi sukrosa dan keberadaannya juga dapat menghalangi proses kristalisasi sukrosa. Adanya mikroorganisme juga dapat diduga dengan adanya senyawa dekstran dalam nira tebu. Pada percobaan ini nira tebu mengandung 1,41% dekstran. Dekstran merupakan senyawa gula hasil hidrolisis sukrosa dengan
adanya
enzim
dekstransukrase
yang
dihasilkan
Leuconostoc
mesenteroides (Guglielmone, et. a/., 2000 di dalam Mathlouthi, 2000 ). Adanya dekstran juga dapat menghalangi kristalisasi sukrosa, sehingga keberadaan senyawa tersebut tidak dikehendaki. Karakterisasi nira tebu lainnya yang diukur pada percobaan ini adalah nilai total asam. Pengukuran total asam untuk mengetahui kadar asam yang sudah ada sejak pemanenan. Tingginya total asam yang dikandung nira tebu sebelumnya juga dapat memicu reaksi degradasi sukrosa, dimana dalam kondisi asam, walaupun tanpa keberadaan enzim invertase, sukrosa dapat terhidrolisis (Chaplin. 2004). Dengan menggunakan metoda titrasi dengan NaOH 0,05N, total asam yang dapat diukur pada nira tebu dalam percobaan ini mencapai 62,5 mleq. Keberadaan asam dalam nira tebu juga berkaitan dengan keberadaan mikroorganisme yang mendegradasi gula pereduksi lebih lanjut. Mikroorganisme yang mendegradasi sukrosa lebih lanjut dapat berupa Flavobacterium rigenes, Brevibacterium sulferens, Flavobacterium devorans, Candida pulcherrima, Klebsiela azaenae, Chromabacterium lividum, Bactobacillus arabinosus dan Saccharomyces lactis (Legaz, et. a/., 2000). Reaksi degradasi sukrosa hingga menghasilkan asam adalah sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 6. Mekanisme terjadinya degradasi sukrosa adalah dimulai dengan terjadinya
33
reaksi invertasi pada sukrosa dengan katalis invertase atau reaksi hidrolisis karena adanya asam. Pada reaksi berikutnya, hasil reaksi invert atau hidrolisis sukrosa dapat dikonsumsi oleh mikroorganisme dan diubah menjadi alkohol dan selanjutnya dioksidasi menjadi asam asetat dan asam-asam organic lainnya. Terbentuknya asam menyebabkan reaksi hidrolisis sukrosa terjadi lagi dan nira menjadi asam. Jumlah total asam berkaitan juga dengan nilai pH tetapi bukan dalam hubungan yang linier. Pada pH tertentu akan memberikan kondisi optimum pada aktivitas invertase. Invertase membutuhkan pH 7,2 untuk aktifitas maksimumnya, dengan suhu 60ºC (Mahbubur et. al., 2004). Namun invertase pada tebu memiliki beberapa jenis. Berdasarkan pH optimumnya, invertase pada tebu terbagi atas invertase asam, invertase netral dan invertase alkali. Pada percobaan ini tidak diteliti jenis invertase dalam nira tebu, namum secara umum, jenis invertase yang dominan dalam nira tebu adalah jenis invertase asam (Zhu, et.al., 1997). Nilai pH nira tebu yang diukur pada percobaan ini adalah 5,1, yang berarti nira tebu agak asam. Hal tersebut juga didukung dengan tingginya nilai total asam. Nilai pH pada nira tebu merupakan faktor yang perlu dipertahankan dalam pengolahan nira tebu menjadi gula agar tidak mengalami penurunan karena penurunan nilai pH menyebabkan peningkatan degradasi nira tebu. Namun nilai pH juga tidak boleh terlalu tinggi karena juga dapat menyebabkan kerusakan berupa degradasi gula pereduksi, khususnya fruktosa menjadi senyawa lebih sederhana (aldehid) sehingga nira tebu mengalami pencoklatan (Moerdokusumo, 1993). Dalam industri gula, nilai pH dinaikan dengan penambahan kapur hingga mencapai nilai 7,3-7,8 untuk memisahkan gula pereduksi, kemudian nira yang telah dipisahkan dari gula pereduksi dipertahankan nilai pHnya antara 7,0-7,4 (Moerdokusumo, 1993).
Karakteristik Kawao (Millettia sp.) Kawao merupakan tumbuhan perdu yang memanjat, tegak, panjang 10-30 m, biasa ditemukan di hutan-hutan dan di tepi-tepi sungai mulai dataran rendah sampai ± 1000 m di atas permukaan laut. Kawao banyak diteliti untuk keperluan pengobatan
karena
kandungan
fitokimianya.
Menurut
Teysmann
dalam
Menninger (1970), orang Jawa memberikan sepotong akar dalam cairan palem yang masih segar agar cairan tersebut (nira) tidak menjadi asam. Nira yang telah menjadi masam tidak dapat diminum segar dan jika dibuat gula akan
34
menghasilkan produk yang kurang baik mutunya yakni lembek, lengket dan cepat menjadi gosong selama pemasakan. Masalah gula yang menjadi lembek dan lengket disebabkan oleh tingginya kandungan gula pereduksi dibandingkan kandungan sukrosa yang dapat mengkristal atau membentuk padatan. Selain itu kondisi asam pada nira disebabkan karena gula pereduksi didegradasi lebih lanjut menjadi asam oleh kontaminasi mikroba-mikroba selama penyadapan berlangsung. Adanya asam pada nira juga meningkatkan degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi. Dengan demikian, adanya pengalaman empiris petani nira dalam menggunakan akar kawao untuk mencegah nira menjadi asam menunjukan bahwa akar kawao mengandung komponen fitokimia yang dapat mengurangi atau menghentikan degradasi sukrosa dalam nira. Aplikasi penambahan akar kawao dalam nira palem dicobakan pada nira tebu dengan dugaan bahwa akar kawao juga dapat mencegah degradasi sukrosa dalam nira tebu. Pada penelitian ini, karakterisasi akar kawao menunjukan adanya kandungan beberapa jenis fitokimia seperti yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji fitokimia kawao (Milletia sp.) Komponen Alkaloid
++++
Saponin
+
Tanin
-
Fenolik
+
Flavonoid Triterpenoid Steroid Glikosida Keterangan : + ++ +++ ++++
Kandungan
++++ ++ + ++++
: Negatif : Positif lemah : Positif : Positif kuat : Positif kuat sekali
Karakterisasi akar kawao pada penelitian ini masih dilakukan secara kualitatif untuk mengidentifikasi adanya senyawa fitokimia tertentu. Diantara senyawa fitokimia yang telah diidentifikasi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menetapkan komponen mana yang benar-benar bersifat pengawet pada nira tebu. Berdasarkan hasil karakterisasi akar kawao, komponen fitokimia yang
35
tampak dominan adalah alkaloid, flavonoid dan glikosida yang ditandai dengan tanda positif (+) yang paling banyak. Selain itu akar kawao juga mengandung triterpenoid, steroid, fenolik dan saponin dalam jumlah yang lebih kecil. Komponen fitokimia yang jumlahnya sedikit bukan berarti menunjukan tidak dapat bersifat sebagai pengawet pada nira tebu karena kadangkala penambahan bahan aktif lebih efektif dalam jumlah kecil dan menjadi racun dalam jumlah besar. Dalam penelitian lain, akar kawao atau dikenal sebagai Millettia diidentifikasi mengandung komponen fitokimia berupa : alkaloid, diterpenoid, coumarin, flavonoid dan isoflavonoid (Amgsa, et. a/., 1994; Dewick, 1994; Wanda, 2006). Menurut Yankep et. al. (1997; 1998; 2001), identifikasi lanjut pada isoflavon dalam millettia dikarakterisasi sebagai kalkone, rotenoid, fenylcoumarine dan beberapa jenis isoflavon lain. Komponen-komponen tersebut diekstraksi dari bagian akar dengan menggunakan heksan. Alkaloid merupakan komponen fitokimia turunan senyawa amina, bersifat racun dan dapat membentuk garam dengan asam (asam mineral dan organik). Senyawa ini bersifat anastetik dan analgesik, sering dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Komponen fitokimia flavonoid dan fenolik memiliki efek pengawetan pada nira tebu sebagai inhibitor enzim karena kedua senyawa tersebut adalah bagian dari senyawa fenol yang bersifat dapat membentuk kompleks dengan protein sehingga senyawa tersebut dapat menghambat kerja enzim (Harbourne, 1987). Efek pengawetan juga ditandai dengan sifat antimikroba. Diantara komponen fitokimia dalam akar kawao, alkaloid, flavonoid dan triterpenoid yang memiliki sifat antimikroba (Cowan, 1999). Glikosida merupakan senyawa yang dibangun oleh molekul gula dan non-gula. Biasanya komponen fitokimia lain tidak berupa molekul bebas tetapi berikatan dengan molekul gula membentuk glikosida, contohnya adalah flavonoid yang jarang ditemukan dalam bentuk bebas (Harbourne, 1987). Dengan demikian komponen glikosida dalam akar kawao tidak memiliki efek pengawetan kecuali bila mengandung komponen non-gula (aglikon) yang bersifat pengawet. Komponen fitokimia akar kawao atau Millettia telah diteliti juga dapat bersifat sebagai
trypanocidal,
anti-plasmodial,
insektisida,
piscisida,
molluscicida
(Teesdale, 1954; Singhal et. al., 1982; Amgsa, et. al., 1994). Akar tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970). Penelitian lain yang dilakukan Sandberg dan Cronlund (1977) serta Yankep, et. al., (2003)
36
menunjukan bahwa ekstrak akar dan batang Millettia griffoniana mengandung isoflavon
yang
dapat
digunakan
sebagai
obat
tradisional,
insektisida,
antiimflamantory, infertilitas, smenorrhea dan masalah menopause. Tanaman kawao (millettia) juga mengandung komponen rotenoid yang dikenal sebagai salah satu insektisida alami, termasuk untuk membasmi larva nyamuk Aedes aegypti (Abe et al., 1985). Dengan sifat-sifat yang demikian maka semakin menjelaskan bahwa akar kawao mengandung komponen yang bersifat sebagai antimikroba dan inhibitor enzim sehingga dapat dijadikan pengawet pada nira tebu. Aplikasi akar kawao sebagai pengawet dalam nira tebu dimaksudkan sebagai antimikroba alami nira tebu seperti Saccharomyces cereficiae, Leuconostoc mesenteroides dan mikroba lain yang dapat menghasilkan enzim untuk mendegradasi sukrosa menjadi glukosa, fruktosa dan dextran. Jenis mikroorganisme
lain
yang
mungkin
mengkontaminasi
nira
tebu
adalah
Flavobacterium rigenes, Brevibacterium sulferens, Flavobacterium devorans, Candida
pulcherrima,
Klebsiela
azaenae,
Chromabacterium
lividum,
Bactobacillus arabinosus dan Saccharomyces lactis (Mathlouthi, 2000).
Karakteristik Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.) Tanaman manggis (Garcinia mangostana L) termasuk dalam famili Clusiaceae (Guttiferae). Tanaman manggis berbentuk pohon yang selalu hijau dengan tinggi 6-20 m. Batangnya tegak dengan batang pokok yang jelas. Kulit batang berwarna coklat dan memiliki getah kuning (IPTEKnet, 2005). Tanaman manggis juga digunakan oleh sebagian petani aren untuk mencegah kerusakan niranya, dengan memasukan kulit batang atau buah manggis ke dalam larutan nira. Seperti halnya pada akar kawao, kulit batang manggis diduga mengandung componen fitokimia yang bersifat dapat menghambat degradasi sukrosa baik yang bersifat sebagai antimikroba maupun inhibitor enzim invertase atau enzim lain yang merusak nira tebu. Kulit batang manggis yang dikarakterisasi pada percobaan ini memiliki komponen fitokmia seperti yang disajikan pada Tabel 8.
37
Tabel 8. Hasil uji fitokimia kulit batang manggis (Garcinia mangostana L.) Komponen
Kandungan
Alkaloid
++++
Saponin
-
Tanin
-
Fenolik
-
Flavonoid Triterfenoid Steroid Glikosida
++++ ++ + ++++
Keterangan : + ++ +++ ++++
: Negatif : Positif lemah : Positif : Positif kuat : Positif kuat sekali
Komponen fitokimia yang banyak terkandung dalam kulit batang manggis yang diuji hampir sama seperti komponen fitokimia akar kawao yaitu alkaloid, flavonoid dan glikosida. Komponen lainnya adalah triterpenoid dan steroid dalam jumlah yang lebih kecil. Diantara komponen fitokimia yang diidentifikasi, komponen yang berperan dalam pengawetan nira tebu adalah komponen alkaloid, flavonoid dan triterpenoid karena bersifat sebagai antimikroba (Cowan, 1999) dan pada flavonoid bersifat dapat membentuk kompleks dengan enzim sehingga aktivitasnya terhenti (Harbourne, 1987). Salah satu turunan senyawa flavonoid adalah mangostin dan xantonin. Kedua jenis senyawa tersebut teridentifikasi dalam kulit batang manggis sebagai komponen yang banyak dimanfaatkan aktivitas biologinya.. Menurut IPTEKnet (2005), kulit batang manggis mengandung dua metabolit yaitu mangostin dan β-mangostin. Dalam penelitian lain ditemukan komponen fitokimia dalam batang manggis adalah tannin (Abbiw, 1990), αmangostin dan β-mangostin (Sakagami, et. al., 2005; linuma et. al., 7996; Dharmaratne, et al., 2005; Suksamrarn, et. a/., 2002) dan xantonin (Ee, et. al., 2006; Nilar et al., 2002; Gopalakrishnan et. al., 1997). Menurut Ee, et. al., (2006) komponen xantonin pada batang manggis yang telah diidentifikasi adalah (2,6dihydroxy-8-methoxy-5-(3-methylbut-2-enyl)-xanthone) dan 6 jenis xantonin prenilat yaitu : α-mangostin, β-mangostin, garcinone D, 1,6-dihydroxy-3,7-
38
dimethoxy-2-(3-methylbut-2-enyl)-xanthone, mangostanol dan 5,9-dihydroxy-8methoxy-2,2-dimethyl-7-(3-methylbut-2-enyl)-2H,6H-pyrano-[3,2-b]-xanthene-6one. Komponen xantonin juga terdapat pada lateks batang manggis hingga 75% (Dharmaratne,
et.
al.,
2005).
Ekstraksi
komponen
xantonin
dilakukan
menggunakan heksan (Nilar et. al., 2002). Berdasarkan
penelitian-penelitian
yang
telah
dilakukan,
komponen-
komponen fitokimia dalam batang manggis memiliki sifat antibacterial, antiinflammatory, antifungal, larvisida, antiviral, antioksidan dan sejumlah aktifitas biologi lainnya (Dharmaratne, et. al., 2005; Sundaram, et. al., 2002; Ee, et. al., 2006; Perry, 2007). α-mangostin telah diteliti bersifat antimikroba, khususnya pada Enterococci and S. aureus, dengan nilai konsentrasi penghambatan minimum atau minimum inhibitory concentration (MIC) masing-masing 6,25 dan 12,5 mikrog/ml (Sakagami, et. al., 2005; linuma et. al., 1996). Pada Mycobacterium tuberculosis, α and β-mangostin memiliki nilai konsentrasi penghambatan minimum atau minimum inhibitory concentration (MIC) 6.25 μg/ml (Suksamrarn, et. al., 2002). Beberapa xantonin yang diekstrak dari manggis bersifat antifungal (Geetha et. al., 1997; Gopalakrishnan et. al., 1997). Dalam beberapa penelitian, komponen dalam manggis berupa mangostin dan xantonin bersifat inhibitor terhadap beberapa jenis protein, enzim dan reaksi kimia lain (Chairungsrilerd, 2002; Mahabusarakam, et. al., 2002; Furukawa, et. al., 2002; Jinsart, et. al., 2002). Xantones (α dan γ-mangostens) juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan dengan kemampuan yang lebih baik daripada antioksidan BHA dan α-tocopherol (Yoshikawa, et. al., 1994). Dengan sifat-sifat yang demikian maka semakin menjelaskan bahwa kulit batang manggis mengandung komponen yang bersifat sebagai antimikroba dan inhibitor enzim sehingga dapat dijadikan pengawet pada nira tebu.
Pengaruh Faktor Suhu, pH, Bahan Pengawet dan Waktu Proses degradasi sukrosa oleh enzim invertase dan mikroorganisme dalam nira tebu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dioptimalkan sehingga laju degradasi sukrosa dalam nira tebu dapat dihambat. Pada percobaan ini dilakukan pengujian pengaruh dari faktor suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi. Suhu yang diujikan adalah suhu 65˚C, 75˚C dan 85˚C yang merupakan kisaran suhu penurunan aktivitas enzim invertase dan mikroorganisme. Nilai pH juga dipilih berdasarkan kisaran penurunan aktivitas
39
enzim invertase dan mikroorganisme yaitu 7,5; 8,5 dan 9,5. Bahan pengawet yang digunakan pada percobaan ini adalah ekstraksi akar kawao dan kulit batang manggis dengan jumlah 2% dari volume total nira tebu yang digunakan. Kedua ekstraksi bahan pengawet ditambahkan dengan nisbah 3/7, 5/5 dan 7/3 (gram akar kawao/ gram kulit batang manggis). Lamanya inkubasi nira tebu yang diuji yaitu 50, 80 dan 110 menit. Parameter yang diukur pada percobaan ini adalah kadar sukrosa (metode refraktometri) dan kadar gula pereduksi (metode DNS). Hasil pengukuran dihitung secara statistik sehingga dapat diketahui pengaruh linier dari faktor-faktor reaksi tersebut. Hubungan
faktor
reaksi
terhadap
respon
dapat
diketahui
melalui
serangkaian percobaan yang sistematis dan diuji melalui analisis statistika. Hubungan antara faktor reaksi dengan respon dapat disajikan dalam suatu model atau persamaan linier. Melalui persamaan linier tersebut diketahui pengaruh linier dari suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi serta interaksi dua faktor terhadap respon kadar sukrosa dan gula pereduksi.
Sukrosa Kadar sukrosa merupakan parameter yang berkaitan langsung pada pengujian kerusakan dalam nira tebu. Perhitungan kadar sukrosa pada percobaan ini didasarkan tabel konversi nilai brix terhadap kadar sukrosa pada pengukuran nira tebu. Hasil pengukuran kadar sukrosa pada percobaan ini bervariasi antara 4,5 hingga 13,2 persen. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor reaksi yang diberikan yaitu suhu (X1), pH (X2), nisbah pengawet (kawao/manggis) (X3) dan lama inkubasi (X4) memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar sukrosa dalam nira tebu. Data dan analisis gula pereduksi yang dihasilkan dari proses degradasi sukrosa disajikan pada Lampiran 3. Koefisien parameter, nilai signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan analisis kadar sukrosa disajikan pada Tabel 9.
40
Tabel 9 Koefisien, signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan analisis kadar sukrosa Parameter Koefisien Signifikansi % Pengaruh Intersep
13
0,990
Suhu (X1)
1,175
0,946
0,452
pH (X2)
-1,15
0,945
4,423
Nisbah Pengawet (X3)
1,05
0,940
2,019
Lama inkubasi (X4)
-0,975
0,935
0,125
Interaksi X1 dan X2
1
0,937
Interaksi X1 dan X3
-1,05
0,940
Interaksi X1 dan X4
1,075
0,941
2
R
99,68% Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa semua faktor yang diuji memberi
pengaruh terhadap kadar sukrosa dalam nira tebu. Faktor yang mempunyai pengaruh paling besar adalah faktor nilai pH yaitu sebesar 4,423 persen dengan selang kepercayaan 94,5 persen. Faktor suhu dan nisbah pengawet memberikan pengaruh yang positif terhadap kadar sukrosa dalam nira sedangkan faktor nilai pH dan lama inkubasi memberikan pengaruh negatif. Pada selang kepercayaan 94,6 persen, faktor suhu (X1) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar sukrosa sebesar 0,452 persen. Suhu reaksi mempunyai pengaruh yang positif terhadap kadar sukrosa yang berarti bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang diberikan menyebabkan degradasi sukrosa menurun sehingga kadar sukrosa menjadi tetap tinggi. Suhu yang digunakan pada percobaan ini adalah 65°C, 75°C dan 85°C. Menurunnya tingkat degradasi sukrosa yang dihasilkan karena pengaruh suhu disebabkan oleh aktivitas enzim invertase menurun atau bahkan enzim telah rusak. Penurunan aktivitas enzim disebabkan terjadinya denaturasi komponen protein pada enzim sehingga enzim tidak dapat bereaksi lagi dengan substrat. Penggunaan suhu tinggi dapat menyebabkan perubahan struktur tersier enzim dan ikatan kovalen yang mempengaruhi bentuk enzim (seperti interaksi ion dan ikatan hydrogen). Ikatan hydrogen sangat dipengaruhi oleh peningkatan suhu, dimana pada suhu tinggi ikatan hydrogen akan putus, sehingga struktur enzim akan berubah dan kemampuannya bereaksi dengan substrat akan hilang (Harrow dan Mazur, 1958).
41
Pengaruh suhu tinggi pada nira tebu dalam percobaan ini dapat menginaktivasi enzim invertase sehingga reaksi invertasi pada sukrosa menjadi gula reduksi dapat dikurangi atau dihambat. Kondisi ini menyebabkan kadar sukrosa tidak banyak mengalami pengurangan selama proses berlangsung. Reaksi invertasi atau hidrolisis terhadap molekul sukrosa, baik secara sempurna atau sebagian, akan menghasilkan monosakarisa D-glukosa dan D-fruktosa yang bersifat lebih stabil dibandingkan sukrosa. Reaksi tersebut terjadi disebabkan adanya aktivitas enzim invertase atau adanya kondisi asam disekitar sukrosa. Proses inversi dapat terjadi secara sempurna selama 48 - 72 jam pada suhu 50°C (Chaplin. 2004). Reaksi invertasi atau hidrolisis sukrosa selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. Invertase pada tebu termasuk jenis glikoprotein dengan kadar gula 7,29% dan berat molekul 218 kDa (Mahbubur, et. al., 2004). Aktifitas invertase maksimal suhu 60°C (lihat Gambar 5). Pada suhu di atas 60°C aktifitas invertase menunjukan kecendrungan terus menurun. Penggunaan suhu pada percobaan ini (65°C, 75°C dan 85°C) menyebabkan enzim invertase dalam nira tebu kehilangan aktifitasnya. Menurut Vorster dan Frederik (1998), pemanasan enzim invertase pada suhu 90ºC selama 2 menit akan mematikan aktifitasnya Penggunaan suhu tinggi juga dapat membunuh mikroorganisme yang mengkontaminasi nira tebu. Dalam percobaan ini, suhu yang digunakan dapat membunuh sebagian atau seluruh mikroorganisme, khususnya mikroorganisme yang menghasilkan enzim pendegradasi sukrosa sehingga kadar sukrosa menjadi tetap tinggi penggunaan suhu tinggi menyebabkan membrane penyusun mikroorganisme menjadi lebih liquid hingga akhirnya sel mikroorganisme dapat mengalami lisis (Paustian, 2007). Jenis mikroorganisme yang sering dijumpai dalam nira tebu sebagai penghasil enzim pendegradasi sukrosa adalah Saccharomices cereviceae dan Leuconostoc mesenteroides yang masingmasing menghasilkan enzim invertase dan dekstransukrase. Leuconostoc mesenteroides dapat mendegradasi sukrosa dengan sangat cepat (8.05 g/l/jam pada suhu 25ºC and 8.46 g/l/jam pada suhu 30ºC) selama 6 jam (Cerutti de Guglielmone, et. a/., 2000 di dalam Mathlouthi, 2000 ). Proses fermentasi tersebut berarti terjadi kehilangan sukrosa sebanyak 59 persen pada suhu 25ºC dan 62 persen pada suhu 30ºC. pada suhu yang lebih tinggi (37ºC and 40ºC) persentase konsumsi sukrosa dapat menurun menjadi 47 persen dan 27 persen (Mathlouthi, 2000).
42
Pada selang kepercayaan 94,5 persen, faktor nilai pH (X2) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar sukrosa sebesar 4,423 persen. Nilai pH reaksi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kadar sukrosa yang berarti bahwa semakin tinggi nilai pH reaksi yang diberikan menyebabkan degradasi sukrosa meningkat sehingga kadar sukrosa menjadi turun. Nilai pH yang digunakan pada percobaan ini adalah 7,5; 8,5 dan 9,5. Salah satu penyebab degradasi sukrosa dalam nira tebu adalah enzim invertase. Jenis enzim invertase yang disintesis dalam batang tebu selama pertumbuhan hingga diekstrak niranya terbagi atas 3 macam berdasarkan pH optimum aktifitasnya yaitu invertase asam, invertase netral dan invertase alkali. (Mahbubur, et.al. 2004). Menurut Vorster dan Frederik (1998) pH optimum aktivitas enzim invertase netral adalah 7,2. Enzim invertase komersil umumnya mempunyai pH optimum pada 4,5, jenis enzim invertase ini yang banyak diteliti dan diaplikasikan dalam industri. Jenis enzim invertase alkali masih belum diketahui banyak karakaterisasinya. Pada percobaan ini, penggunaan pH tinggi ternyata tidak menyebabkan enzim invertase kehilangan aktifitasnya. Hal ini diduga karena jenis enzim invertase dalam nira tebu yang digunakan bukan jenis enzim invertase asam, melainkan jenis enzim invertase netral atau alkali. Dengan demikian invertase tetap dapat bereaksi untuk menginvertasi molekul sukrosa dalam nira tebu. Penyebab lain degradasi sukrosa dalam nira tebu adalah mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim pendegradasi sukrosa dan mikroba asam yang dapat
memproduksi
Saccharomices
asam
cereviceae
hingga dan
terjadi
reaksi
Leuconostoc
invertasi
oleh
mesenteroides
asam. adalah
mikroorganisme utama penyebab degradasi sukrosa dalam nira tebu. Kedua jenis mikroorganisme tersebut biasa mengkontaminasi nira tebu dalam keadaan tidak diberikan perlakuan apapun. Dalam kondisi segar, nira tebu memiliki kisaran pH 5 yang kemudian perlahan-lahan pHnya akan turun akibat peningkatan kadar ion H+
yang dapat dihasilkan dari asam organik hasil
degradasi lanjut sukrosa dalam nira tebu. Saccharomices cereviceae umumnya bekerja pada pH awal nira tebu yaitu pH 5 dan menghasilkan jenis enzim invertase asam. Peningkatan pH hingga basa dapat menyebabkan invertase yang
dihasilkan
oleh
mikroorganisme
ini
kehilangan
aktivitasnya
dan
mikroorganismenya dapat mengalami kematian. Dengan demikian pada pH tinggi, degradasi sukrosa dalam nira tebu bukan berasal dari aktivitas
43
Saccharomices cereviceae. Jenis mikroorganisme yang mungkin menyebabkan peningkatan
degradasi
sukrosa
dalam
nira
tebu
adalah
Leuconostoc
mesenteroides. Mikroorganisme ini dapat berkembang baik pada kisaran pH normal (Wikipedia, 2006) sehingga penggunaan pH yang sedikit lebih tinggi hanya menghambat sedikit pertumbuhannya dalam nira tebu. Leuconostoc mesenteroides akan mensekresikan enzim dekstransukrase yang dapat mendegradasi sukrosa menghasilkan dekstran. Pada selang kepercayaan 94 persen, faktor nisbah pengawet (X3) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar sukrosa sebesar 2,019 persen. Nisbah pengawet mempunyai pengaruh yang positif terhadap kadar sukrosa, berarti bahwa nisbah pengawet yang mengandung jumlah kawao tinggi (7/3) dapat menghambat degradasi sukrosa dalam nira tebu sehingga kadar sukrosa tetap tinggi. Nisbah pengawet yang digunakan pada percobaan ini adalah 3/7, 5/5 dan 7/3. Pengaruh nisbah pengawet tinggi mempunyai arti bahwa akar kawao memiliki efek pengawetan yang lebih baik daripada kulit batang manggis. Secara kualitatif, uji fitokimia kedua bahan pengawet tersebut memiliki kesamaan dalam hal jenis dan jumlah secara kualitatif, hanya dibedakan bahwa akar kawao mengandung komponen saponin dan fenolik sedangkan kulit batang manggis tidak mengandung komponen tersebut. Komponen fitokimia yang dominan pada kedua bahan pengawet tersebut adalah alkaloid, flavonoid dan glikosida. Komponen fitokimia lain dengan jumlah yang lebih kecil adalah triterpenoid dan steroid. Akar kawao mengandung komponen fitokimia fenolik dalam jumlah kecil. Jenis inhibisi enzim yang terjadi antara komponen fitokimia dalan bahan pengawet dengan enzim invertase diduga bersifat non-kompetitif. Proses inhibisi non-kompetitif terjadi apabila inhibitor mengikat pada kompleks enzim substrat sehingga mempengaruhi fungsi enzim tetapi tidak mempengaruhi ikatan dengan substrat. Dalam hal ini diduga komponen fenolik dan flavonoid membentuk kompleks dengan protein penyusun enzim invertase. Menurut Harbourne (1987), komponen fitokimia flavonoid dan fenolik adalah bagian dari senyawa fenol yang bersifat dapat membentuk kompleks dengan protein sehingga senyawa tersebut dapat menghambat kerja enzim (Harbourne, 1987). Kulit batang manggis yang tidak memiliki komponen fenolik diduga menjadi penyebab daya pengawetannya lebih kecil pengaruhnya dibandingkan akar kawao.
44
Efek pengawetan juga ditandai dengan sifat antimikroba. Diantara komponen fitokimia dalam akar kawao dan kulit batang manggis, alkaloid, flavonoid dan triterpenoid yang memiliki sifat antimikroba (Cowan, 1999). Jenis flavonoid yang dikandung oleh akar kawao dan kulit batang manggis memiliki perbedaan sehingga memiliki efek yang berbeda pula dalam aktivitas pengawetan. Pada akar kawao, jenis flavonoid yang telah diidentifikasi antara lain adalah jenis isoflavon seperti kalkon, rotenoid, phenylcoumarine dan beberapa jenis isoflavon lain (Yankep et. al., 1997; 1998; 2001). Identifikasi jenis flavonoid lain dalam akar kawao dapat dilihat pada Tabel 3. Sementara pada kulit batang manggis, mengandung jenis flavonoid yang dikenal sebagai mangostin dengan jenis α-mangostin, β-mangostin dan γ-mangostin (Sakagami, et. al., 2005; linuma et. al., 7996; Dharmaratne, et al., 2005; Suksamrarn, et. a/., 2002). Diduga turunan flavonoid pada akar kawao memiliki efek pengawet yang lebih baik daripada turunan flavonoid pada kulit batang manggis, baik sebagai inhibitor enzim invertase maupun sebagai antimikroba kontaminan dalam nira tebu. Identifikasi dan pengujian komponen fitokimia dalam kedua bahan pengawet nira tebu ini perlu diteliti lebih lanjut untuk memastikan dengan tepat jenis turunan flavonoid yang berperan dalam pengawetan nira tebu. Pada selang kepercayaan 93,5 persen, faktor lama inkubasi (X4) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar sukrosa sebesar 0,125 persen. Nisbah pengawet mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kadar sukrosa, berarti bahwa semakin lama waktu inkubasi nira tebu maka semakin tinggi degradasi sukrosa dalam nira tebu yang telah terjadi sehingga kadar sukrosa menjadi rendah. Lama inkubasi yang digunakan pada percobaan ini adalah 50, 80 dan 110 menit. Lamanya inkubasi nira tebu mempengaruhi lamanya kontak enzim invertase dan enzim lain dalam nira tebu dengan komponen sukrosa sehingga degradasi sukrosa semakin banyak. Sementara itu pertumbuhan mikroorganisme kontaminan dalam nira tebu juga menghasilkan jumlah mikroorganisme yang makin banyak pula seiring dengan lamanya inkubasi nira tebu. Mikroorganisme penghasil asam dapat mengkontaminasi nira tebu dengan menggunakan substrat gula pereduksi untuk pertumbuhannya melalui reaksi fermentasi (lihat Gambar 6). Namun peningkatan mikroorganisme penghasil asam pada akhirnya akan menyebabkan penurunan bahkan kematian pada mikroorganisme tersebut karena peningkatan jumlah asam dalam media pertumbuhannya yang menjadi
45
penghambat pertumbuhannya sendiri. Pada kondisi demikian, reaksi invertase juga dapat meningkat karena pengaruh asam walaupun tanpa keberadaan enzim invertase (Wang, 2004) sehingga kadar sukrosa dalam nira tebu menjadi turun. Faktor-faktor yang diuji pengaruhnya terhadap kadar sukrosa dalam nira tebu memiliki interaksi satu sama lain. Dalam percobaan ini, hasil pengujian interaksi antara 2 faktor yang memiliki pengaruh adalah antara faktor suhu dengan pH, suhu dengan nisbah pengawet dan suhu dengan lama inkubasi. Hasil interaksi faktor suhu dengan pH berpengaruh positif terhadap laju degradasi sukrosa dengan signifikansi 93,7%. Hal yang sama juga terdapat pada interaksi antara faktor suhu dengan lama inkubasi dengan signifikansi 94,1%. Pada interaksi faktor suhu dengan nisbah pengawet berpengaruh negatif terhadap laju degradasi sukrosa dengan signifikansi 94%. Interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar sukrosa menunjukan bahwa pada suhu tinggi (85˚C), kenaikan pH akan menyebabkan penurunan kadar sukrosa yang landai. Kondisi demikian disebabkan karena suhu tinggi dapat menghambat aktifitas mikroorganisme penyebab degradasi sukrosa dan juga menghambat aktifitas enzim invertase dan enzim lain yang mendegradasi sukrosa. Enzim invertase mengalami penurunan aktifitas pada suhu diatas 60˚C (Mahbubur, Palash dan M. Fida, 2004) sehingga kadar sukrosa mengalami penurunan yang landai. Pada suhu rendah (65˚C), kenaikan pH menyebabkan penurunan kadar sukrosa yang curam. Kondisi kedua ini lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan nilai pH, dimana pH tinggi tidak dapat menghambat degradasi sukrosa akibat aktifitas enzim invertase karena jenis invertase yang terkandung dalam nira tebu diduga adalah jenis invertase netral atau invertase basa. Selain itu pada suhu rendah (65˚C) yang digunakan dalam percobaan ini merupakan suhu yang masih mendekati suhu optimum aktivitas invertase dimana aktivitas invertase masih dalam kondisi mendekati maksimal (Mahbubur, et. al., 2004) sehingga degradasi sukrosa masih tinggi dalam nira tebu. Pola interaksi antara faktor suhu dan pH terhadap kadar sukrosa disajikan pada Gambar 13.
46
X1(+1)
13
X1(+1)
X1(-1)
Sukrosa (brix)
12
11
10
9
suhu 65 75 85
X1(-1)
8 7.5 X2(-1)
8.5 pH pH
9.5 X2(+1)
Gambar 13 Pola interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar sukrosa Interaksi faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar sukrosa menunjukan bahwa pada suhu tinggi (85˚C), peningkatan nisbah pengawet menyebabkan peningkatan kadar sukrosa yang landai dan pada suhu rendah (65˚C), peningkatan nisbah pengawet menyebabkan peningkatan kadar sukrosa yang curam. Interaksi tersebut menjelaskan bahwa komponen fitokimia dalam akar kawao (nisbah pengawet tinggi) memiliki efek pengawetan yang lebih besar daripada kulit batang manggis. Namun pada penggunaan suhu tinggi efek pengawetan tersebut menjadi kecil karena diduga sebagian atau seluruh komponen fitokimia dalam bahan pengawet mengalami kerusakan sehingga tidak efektif lagi bekerja sebagai pengawet dalam nira tebu. Komponen fitokimia dalam akar kawao dan kulit batang manggis yang diduga sebagai pengawet adalah komponen alkaloid, flavonoid dan triterpenoid (Cowan, 1999). Pada akar kawao juga mengandung komponen fenolik yang bersifat dapat mengendapkan protein sehingga dapat bekerja sebagai inhibitor enzim invertase (Harbourne, 1987). Kulit batang manggis tidak memiliki komponen fenolik sehingga diduga menjadi penyebab daya pengawetannya lebih kecil pengaruhnya dibandingkan akar kawao. Pola interaksi antara faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar sukrosa disajikan pada Gambar 14.
47
13
X1(+1)
X1(+1) X1(-1)
Sukrosa (brix)
12
11
10
9
suhu 65 75 85
X1(-1)
3 X3(-1)
5
Nisbah pengawet pengawet
7 X3(+1)
Gambar 14 Pola interaksi faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar sukrosa Faktor suhu dan lama inkubasi menunjukan pola interaksi yang sama seperti pada interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar sukrosa. Interaksi tersebut menunjukan bahwa pada suhu tinggi (85˚C), peningkatan lama inkubasi menyebabkan peningkatan kadar sukrosa yang landai. Sedangkan pada suhu rendah (65˚C), peningkatan lama inkubasi menyebabkan penurunan kadar sukrosa yang curam. Hal tersebut karena pengaruh suhu tinggi dapat menghambat aktifitas enzim invertase dan mikroorganisme sehingga sukrosa dalam nira tebu yang diinkubasi dalam waktu yang lebih lama pada suhu tinggi tidak mengalami banyak kerusakan. Pada suhu tinggi, mikroorganisme yang menyebabkan degradasi sukrosa dalam nira tebu dapat kehilangan aktivitas dan pertumbuhannya. Sel mikroorganisme dapat mengalami lisis pada suhu tinggi akibat meningkatnya liquiditas membran sel hingga akhirnya pecah (Paustian, 2007). Sebaliknya, pada suhu rendah, aktifitas enzim dan mikroorganisme tidak terganggu sehingga semakin meningkat dengan semakin lamanya inkubasi pada nira tebu. Semakin lama inkubasi yang diberikan pada nira tebu maka degradasi sukrosa akan semakin tinggi. Pola interaksi antara faktor suhu dan lama inkubasi terhadap kadar sukrosa disajikan pada Gambar 15.
48
13
X1(+1)
X1(+1)
X1(-1)
Sukrosa (brix)
12
11
10
9
suhu 65 75 85
X50 4(-1)
X1(-1)
80 Lama Inkubasi (menit) lama inkubasi (menit)
X110 4(+1)
Gambar 15 Pola interaksi faktor suhu dan lama inkubasi terhadap kadar sukrosa
Gula Pereduksi Kadar gula pereduksi merupakan parameter yang berkaitan langsung pada hasil degradasi sukrosa melalui reaksi invertasi dalam nira tebu. Perhitungan kadar gula pereduksi dalam percobaan ini didasarkan pada metode pengukuran menggunakan DNS (dinitrosalicylic acid). Hasil pengukuran kadar gula pereduksi pada percobaan ini bervariasi antara 54,375 hingga 179,125 mM atau 0,00 hingga 1,041 persen. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor reaksi yang diberikan yaitu suhu (X1), pH (X2), nisbah pengawet (kawao/manggis) (X3) dan lama inkubasi (X4) memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar gula pereduksi dalam nira tebu. Data dan analisis gula pereduksi yang dihasilkan dari proses degradasi sukrosa disajikan pada Lampiran 4. Koefisien parameter, nilai signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan analisis kadar sukrosa disajikan pada Tabel 10.
49
Tabel 10 Koefisien, signifikansi dan persen pengaruh berdasarkan analisis kadar gula pereduksi Parameter Koefisien Signifikansi % Pengaruh Intersep
174,63
0,995
Suhu (X1)
19,34
0,979
0,554
pH (X2)
-13,34
0,970
3,820
Nisbah Pengawet (X3)
14,47
0,973
2,072
Lama inkubasi (X4)
-13,22
0,970
0,126
Interaksi X1 dan X2
14,47
0,973
Interaksi X1 dan X3
-15,34
0,974
Interaksi X1 dan X4
11,22
0,965
2
R
99,98% Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa semua faktor yang diuji memberi
pengaruh terhadap kadar sukrosa dalam nira tebu. Faktor yang mempunyai pengaruh paling besar adalah faktor nilai pH yaitu sebesar 3,820 persen pada selang kepercayaan 97,0 persen. Faktor suhu dan nisbah pengawet memberikan pengaruh yang positif terhadap kadar gula pereduksi dalam nira tebu sedangkan faktor nilai pH dan lama inkubasi memberikan pengaruh negatif. Pada selang kepercayaan 97,9 persen, faktor suhu (X1) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar gula pereduksi sebesar 0,554 persen. Suhu reaksi mempunyai pengaruh yang positif terhadap kadar gula pereduksi yang berarti bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang diberikan menyebabkan kadar gula pereduksi juga semakin tinggi. Gula pereduksi yang terkandung dalam nira tebu sebagai hasil degradasi sukrosa melalui reaksi invertasi adalah glukosa dan fruktosa. Suhu yang digunakan pada percobaan ini adalah 65°C, 75°C dan 85°C. Kadar gula pereduksi yang tinggi dengan penggunaan suhu tinggi pada percobaan ini bukan dihasilkan karena aktivitas degradasi sukrosa dalam nira tebu karena pengaruh faktor suhu pada kadar sukrosa menunjukan pengaruh yang positif juga. Peningkatan kadar gula pereduksi dalam nira tebu ini menjelaskan bahwa gula reduksi tersebut tidak mengalami degradasi lebih lanjut, yang dapat menghasilkan alkohol dan asam-asam organik seperti asam laktat dan asetat (Mathlouthi, 2000). Reaksi invertasi pada tahap ini tidak berlangsung karena reaksi invertasi bersifat irreversibel (Pennington dan Charles, 1990).
50
Degradasi lanjut pada gula pereduksi disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme yang mengkonsumsi gula pereduksi untuk pertumbuhannya. Penggunaan suhu tinggi dapat membunuh mikroorganisme yang mengkontaminasi nira tebu. Dalam percobaan ini, suhu yang digunakan dapat membunuh sebagian atau seluruh mikroorganisme, khususnya mikroorganisme yang mengkonsumsi gula pereduksi sehingga kadar gula pereduksi menjadi tetap tinggi. Suhu tinggi menyebabkan membran penyusun mikroorganisme menjadi lebih liquid hingga akhirnya sel mikroorganisme dapat mengalami lisis (Paustian, 2007). Jenis mikroorganisme yang diduga mengkontaminasi nira tebu diantaranya
adalah
Flavobacterium
Flavobacterium
devorans,
Candida
rigenes,
Brevibacterium
pulcherrima,
Klebsiela
sulferens, azaenae,
Chromabacterium lividum, Bactobacillus arabinosus dan Saccharomyces lactis. Mikroba lain yang dapat mengkontaminasi nira tebu adalah Saccharococcus sacchari yang diindikasikan dengan terbentuknya glikoprotein dalam batang tebu (Legaz, et. a/., 2000). Aktivitas mikroorganisme dalam nira tebu ditandai dengan rasa asam pada nira, berbuih putih dan berlendir dengan reaksi kimia seperti yang disajikan pada Gambar 6 (Goutara dan Wijandi, 1975). Pada selang kepercayaan 97 persen, faktor nilai pH (X2) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar gula pereduksi sebesar 3,820 persen. Nilai pH reaksi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kadar gula pereduksi yang berarti bahwa semakin tinggi nilai pH reaksi yang diberikan menyebabkan kadar gula pereduksi menurun. Nilai pH yang digunakan pada percobaan ini adalah 7,5; 8,5 dan 9,5. Penurunan kadar gula pereduksi dalam percobaan ini dengan peningkatan pH bukan disebabkan oleh penurunan aktivitas degradasi sukrosa dalam nira tebu, karena pengaruh pH terhadap kadar sukrosa juga bernilai negatif. Kadar gula pereduksi yang menurun akibat meningkatnya nilai pH dalam nira tebu disebabkan karena pada pH tinggi gula pereduksi akan mengalami degradasi menjadi molekul yang lebih sederhana (golongan aldehid) diiringi dengan efek pencoklatan non-enzimatis (Moerdokusumo, 1993). Penggunaan pH tinggi biasa dilakukan dalam industri gula untuk memisahkan gula pereduksi dari larutan nira sekaligus menjernihkan larutan karena pada pH tinggi molekul protein dapat mengendap. Aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi gula pereduksi pada kondisi pH tinggi dalam nira tebu jarang terjadi karena umumnya mikroorganisme
51
yang mengkontaminasi nira tebu adalah mikroorganisme penghasil asam, yang optimum pertumbuhannya pada pH rendah. Pada selang kepercayaan 97,3 persen, faktor nisbah pengawet (X3) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar gula pereduksi sebesar 2,072 persen. Nisbah pengawet mempunyai pengaruh yang positif terhadap kadar gula pereduksi, berarti bahwa nisbah pengawet yang mengandung jumlah kawao tinggi (7/3) dapat menghambat degradasi lanjut gula pereduksi dalam nira tebu. Nisbah pengawet yang digunakan pada percobaan ini adalah 3/7, 5/5 dan 7/3. Kandungan fitokimia dalam akar kawao berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukan variasi komponen fitokimia yang lebih banyak daripada kulit batang manggis. Menurut Amgsa, et. a/. (1994); Dewick (1994) dan Wanda (2006) akar kawao (millettia) mengandung komponen fitokimia, diantaranya adalah alkaloid, diterpenoid, coumarin, flavonoid dan isoflavonoid (Amgsa, et. a/., 1994; Dewick, 1994; Wanda, 2006). Jenis isoflavon pada millettia yang telah diidentifikasi oleh Yankep et al (1997; 1998; 2001) adalah chalcone, a rotenoid, a phenylcoumarine dan beberapa jenis isoflavon lain. Komponen lain yang terkandung dalam akar kawao dapat dilihat pada Tabel 3. Diantara berbagai jenis komponen fitokimia dalam akar kawao (Millettia) diduga jenis antimikroba yang dikandungnya lebih banyak daripada kulit batang manggis. Komponen fitokimia yang bersifat antimikroba adalah alkaloid, flavonoid dan triterpenoid (Cowan, 1999). Jenis flavonoid utama yang teridentifikasi dalam kulit batang manggis adalah mangostin. Diduga senyawa dalam kulit batang manggis yang bersifat sebagai antimikroba, kurang efektif untuk mikroorganisme dalam nira tebu dibandingkan akar kawao. Jenis mikroorganisme dalam nira tebu yang menyebabkan degradasi lanjut sukrosa adalah mikroorganisme penghasil asam. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji efektifitas antimikroba dalam nira tebu dengan pengukuran nilai konsentrasi penghambatan minimum atau minimum inhibitory concentration (MIC) menggunakan kedua jenis bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis). Pada selang kepercayaan 97 persen, faktor lama inkubasi (X4) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar gula pereduksi sebesar 0,126 persen. Lama inkubasi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kadar gula pereduksi, berarti bahwa semakin lama waktu inkubasi pada nira tebu maka semakin tinggi degradasi gula pereduksi dalam nira tebu yang telah terjadi
52
sehingga kadar gula pereduksi menjadi rendah. Lama inkubasi yang digunakan pada percobaan ini adalah 50, 80 dan 110 menit. Lamanya
inkubasi
mempengaruhi
pertumbuhan
mikroorganisme
kontaminan dalam nira tebu, dimana pertumbuhan mikroorganisme merupakan fungsi dari perubahan waktu atau lama inkubasi. Mikroorganisme kontaminan yang dominan dalam mendegradasi gula pereduksi adalah mikroorganisme penghasil
asam
yang
menggunakan
substrat
gula
pereduksi
untuk
pertumbuhannya melalui reaksi fermentasi (lihat Gambar 6). Namun peningkatan mikroorganisme penghasil asam pada akhirnya akan menyebabkan penurunan bahkan kematian pada mikroorganisme tersebut karena peningkatan jumlah asam dalam media pertumbuhannya. Pola pertumbuhan mikroorganisme mempunyai pola tertentu berdasarkan perubahan waktu atau lama inkubasi, yang terdiri dari 6 fasa yaitu fasa awal, fasa penyesuaian, fasa eksponensial, fasa pelambatan, fasa stasioner dan fasa penurunan (Mangunwidjaya dan Ani, 1994). Peningkatan jumlah asam sebagai hasil metabolisme mikroorganisme kontaminan dalam nira tebu juga akan meningkatkan degradasi sukrosa walaupun tanpa keberadaan enzim invertase (Wang, 2004). Faktor-faktor yang diuji pengaruhnya terhadap kadar gula pereduksi dalam nira tebu memiliki interaksi satu sama lain. Dalam percobaan ini, hasil pengujian interaksi antara 2 faktor yang memiliki pengaruh adalah antara faktor suhu dengan pH, suhu dengan nisbah pengawet dan suhu dengan lama inkubasi. Hasil interaksi faktor suhu dengan pH berpengaruh positif terhadap kadar gula pereduksi dengan signifikansi 97,3%. Hal yang sama juga terdapat pada interaksi antara faktor suhu dengan lama inkubasi dengan signifikansi 96,5%. Pada interaksi faktor suhu dengan nisbah pengawet berpengaruh negatif terhadap laju degradasi sukrosa dengan signifikansi 97,4%. Pengaruh interaksi faktor-faktor yang diuji dalam percobaan ini terhadap kadar gula pereduksi dan sukrosa menunjukan kecendrungan yang sama. Interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar gula pereduksi menunjukan bahwa pada suhu tinggi (85˚C), peningkatan nilai pH menyebabkan peningkatan kadar gula pereduksi yang landai. Peningkatan kadar gula pereduksi menggambarkan bahwa pada suhu tinggi aktivitas mikroorganisme penyebab degradasi lanjut pada gula pereduksi dapat dihambat, sehingga kadar gula pereduksi tidak berkurang. Proses penghambatan aktivitas mikroorganisme tersebut semakin meningkat dengan disertai peningkatan nilai pH nira tebu
53
karena pada pH tinggi mikroorganisme dapat kehilangan kesetimbangan cairan selnya
yang
memiliki pH
netral.
Pada
pola
interaksi
ini
juga
dapat
menggambarkan terjadinya peningkatan reaksi invertasi pada sukrosa dalam nira tebu menghasilkan gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) dimana hal tersebut didukung dengan pola interaksi faktor suhu dengan pH terhadap kadar sukrosa yang menunjukan bahwa pada suhu tinggi, peningkatan pH menyebabkan penurunan kadar sukrosa (lihat Gambar 13). Sementara pada pola interaksi suhu rendah (65˚C), peningkatan pH menyebabkan penurunan kadar gula pereduksi yang curam. Hal tersebut disebabkan karena pH tinggi dapat mendegradasi gula pereduksi menjadi molekul yang lebih sederhana (seperti aldehid) yang disertai dengan pencoklatan non-enzimatis (Moerdokusumo, 1993) sehingga kadarnya dalam nira tebu menjadi berkurang. Penurunan kadar gula pereduksi pada kondisi ini tidak menunjukan penurunan degradasi sukrosa dalam nira tebu karena pola interaksi faktor suhu dan pH terhadap kadar sukrosa menunjukan bahwa pada suhu rendah (65˚C), peningkatan pH tidak menyebabkan peningkatan kadar sukrosa (Lihat Gambar 13). Pola interaksi antara faktor suhu dan pH terhadap kadar gula pereduksi disajikan pada Gambar 16.
180 X1(+1)
X1(+1)
170
gula pereduksi
160
X1(-1)
150 140 130 120 110
suhu 65 75 85
X1(-1)
100 7.5 X2(-1)
8.5
pHpH
9.5 X2(+1)
Gambar 16 Pola interaksi faktor suhu dan ph terhadap kadar gula pereduksi Faktor suhu dan nisbah pengawet menghasilkan interaksi yang berpengaruh negatif terhadap kadar gula pereduksi. Dalam interaksi tersebut menunjukan
54
bahwa pada suhu tinggi (85˚C), peningkatan nisbah pengawet menyebabkan penurunan kadar gula pereduksi yang landai dan pada suhu rendah (65˚C), peningkatan nisbah pengawet menyebabkan peningkatan gula pereduksi yang curam. Penurunan kadar gula pereduksi yang landai pada faktor suhu tinggi dengan peningkatan nisbah pengawet menunjukan bahwa suhu tingga telah merusak sebagian besar komponen fitokimia dalam bahan pengawet. Efektifitas bahan pengawet pada penggunaan suhu tinggi (85˚C) tampak sedikit lebih baik pada kulit batang manggis daripada akar kawao karena kadar gula pereduksinya lebih tinggi. Namun pada suhu rendah (65˚C) efektifitas pengawetan nira tebu yang mencegah degradasi gula pereduksi tampak lebih baik pada akar kawao dengan perbedaan yang sangat besar dengan kulit batang manggis. Pola peningkatan kadar gula pereduksi pada suhu rendah dengan peningkatan nisbah pengawet (dominan akar kawao) tidak menunjukan adanya peningkatan degradasi sukrosa dalam nira tebu karena pada kondisi yang sama, pada suhu tinggi, peningkatan nisbah pengawet tidak meningkatkan degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi. Dengan demikian maka diduga bahwa dalam akar kawao mengandung komponen fitokimia yang dapat menghambat degradasi sukrosa sekaligus juga menghambat degradasi gula pereduksi. Demikian pula pada kulit batang manggis tetapi jumlah dan efektifitasnya tidak sebesar pada akar kawao. Pada kulit batang manggis diduga komponen fitokimia yang dapat menghambat degradasi sukrosa dapat lebih efektif bekerja pada suhu tinggi daripada suhu rendah. Komponen fitokimia dalam akar kawao dan kulit batang manggis yang diduga memiliki efek pengawetan adalah jenis alkaloid, flavonoid dan triterpenoid (Cowan, 1999). Pola interaksi antara faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar gula pereduksi disajikan pada Gambar 17.
55
180
X1(+1)
X1(+1)
170 X1(-1)
gula pereduksi
160 150 140 130 120 110
suhu 65 75 85
X1(-1)
100 X23(-1)
Gambar 17
Nisbah 5Pengawet pengawet
7 X2(+1)
Pola interaksi faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar gula pereduksi
Interaksi faktor suhu dengan lama inkubasi terhadap kadar gula pereduksi menunjukan bahwa pada suhu tinggi (85˚C), peningkatan lama inkubasi menyebabkan penurunan kadar gula pereduksi yang lebih landai daripada suhu rendah (65˚C). Rendahnya kadar gula pereduksi pada suhu rendah berdasarkan pola ini bukan disebabkan penurunan degradasi sukrosa sehingga kadar gula pereduksi rendah, melainkan karena adanya degradasi lanjut pada gula pereduksi akibat aktifitas mikroorganisme. Peningkatan aktivitas mikroorganisme akan diikuti dengan peningkatan kadar asam dalam nira tebu akibat degradasi lanjut dari gula pereduksi (Goutara dan Wijandi, 1985). Semakin lama inkubasi yang diberikan pada nira tebu maka degradasi gula pereduksi akan semakin tinggi. Pada suhu tinggi, mikroorganisme yang menyebabkan degradasi lanjut pada gula pereduksi dapat kehilangan aktivitas dan pertumbuhannya. Sel mikroorganisme dapat mengalami lisis pada suhu tinggi akibat meningkatnya liquiditas membran sel hingga akhirnya pecah (Paustian, 2007). Pola interaksi antara faktor suhu dan nisbah pengawet terhadap kadar gula pereduksi disajikan pada Gambar 17.
56
180
X1(-1)
X1(-1)
170 X1(+1)
gula pereduksi
160 150 140 130
suhu 65 75 85
120 110
X1(+1)
50 X4(-1)
80 Lama Inkubasi (menit) lama inkubasi (menit)
X110 4(+1)
Gambar 18 Pola interaksi faktor suhu dan lama inkubasi terhadap kadar gula pereduksi Perubahan Kualitas Nira Tebu Kualitas nira tebu mengalami penurunan disebabkan adanya aktifitas enzimatis dan mikroorganisme penyebab degradasi sukrosa dan komponen penyusun nira tebu lainnya. Aktifitas enzimatis dan mikroorganisme dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi. Parameter yang diukur dalam perubahan kualitas nira tebu dalam percobaan ini meliputi kadar sukrosa, kadar gula pereduksi, total asam dan nilai pH. Pengukuran parameter diatas dilakukan pada selang waktu tertentu terhadap nira tebu yang diinkubasi pada suhu 30˚C, pH 8,5 dan penambahan 2% bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dengan perbandingan yang sama (g/g).
Kadar sukrosa Perubahan kualitas yang langsung berkaitan dengan kerusakan nira tebu adalah penurunan kadar sukrosa. Sukrosa merupakan komponen utama dalam nira tebu yang dijadikan bahan baku pembuatan gula kristal. Kadarnya pada setiap nira tebu berbeda-beda tergantung pada jenis tebu, kondisi geografis, tingkat
kematangan
serta
cara
penanganan
selama
penebangan
dan
57
pengangkutan (Reece, 2003). Nira tebu juga terdiri atas 73-76% air, 11-16% serat dan 11-16% padatan-padatan terlarut dan tersuspensi (James dan Chen, 1985). Dalam proses pembuatan gula kristal, degradasi sukrosa (inversi atau hidrolisis) harus dicegah sebesar mungkin. Degradasi sukrosa menghasilkan molekul glukosa dan fruktosa, yang dikenal sebagai gula invert. Glukosa dan fruktosa bersifat tidak dapat dikristalkan dan menghambat proses kristalisasi sukrosa dalam pengolahan gula. Hal tersebut menyebabkan rendemen gula menjadi rendah. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan degradasi sukrosa diantaranya adalah peningkatan keasaman, nilai pH, suhu dan lama inkubasi nira tebu pada suhu yang terus meningkat. Kadar sukrosa yang diukur pada percobaan ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi sukrosa sisa di dalam nira tebu setelah inkubasi selama 240 menit. Pengamatan dilakukan pada suhu ruang (30˚C) sesuai dengan kondisi empiris petani nira yang selama ini dilakukan. Nira tebu yang dicobakan adalah nira dengan penambahan pengawet (ekstrak akar kawao dan kulit batang manggis) dan nira tanpa penambahan bahan pengawet. Pada kedua jenis perlakuan nira tebu sama-sama diberikan pengaturan pH pada 8,5. Pengawet ditambahkan dalam salah satu nira tebu sebanyak 2% campuran pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dengan perbandingan yang sama (g/g). Pada percobaan ini kadar sukrosa diukur berdasarkan nilai brix yang dikonversi sebagai satuan kadar sukrosa. Semakin kecil penurunan kadar sukrosa
yang
dikandung
nira
tebu
setelah
inkubasi
mengindikasikan
kemampuan perlakuan untuk menghambat laju degradasi sukrosa dalam nira tebu tersebut. Hubungan antara perubahan kadar sukrosa dengan lama inkubasi nira tebu selama 240 menit pada percobaan ini disajikan pada Gambar 19.
58
7.8 7.6
sukrosa (%)
7.4 7.2 7 6.8 6.6 6.4 0
15
80
140
240
lama inkubasi (menit)
nira murni nira murni
nira + pengawet nira + pengawet
Gambar 19 Grafik perubahan kadar sukrosa pada nira murni dan nira yang ditambahkan pengawet Berdasarkan Gambar 19 tampak bahwa nira tebu yang diberikan perlakuan, yaitu penambahan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) pada pH 8,5 dapat menghambat degradasi sukrosa. Pada selang waktu hingga 80 menit, kedua jenis nira tebu masih memiliki kadar yang sama atau belum mengalami degradasi. yang tampak jelas setelah menit ke 80. Selanjutnya pada selang waktu 80 hingga 240 menit kadar sukrosa dalam kedua jenis perlakuan nira tebu menunjukan perbedaan. Pada lama inkubasi 240 menit, nira yang ditambahkan pengawet memiliki kadar sukrosa 7,1% sedangkan pada nira tanpa penambahan pengawet memiliki kadar sukrosa 6,9%. Penambahan akar kawao dan kulit batang manggis dapat mencegah degradasi sukrosa dalam nira tebu yang pengaruhnya mulai tampak pada lama inkubasi 80 menit. Kedua jenis bahan pengawet tersebut memiliki efek pengawetan yang sama pada suhu ruang (30º). Pada suhu yang lebih tinggi, bahan pengawet yang lebih berpengaruh adalah akar kawao sedangkan pada suhu yang lebih rendah, kulit batang manggis menunjukan pengaruh yang sedikit lebih baik daripada akar kawao. Hal tersebut dijelaskan pada pengaruh faktor bahan pengawet dan nilai pH terhadap kadar sukrosa (lihat Gambar 14).
59
Jenis komponen fitokimia yang berperan dalam mencegah degradasi sukrosa dalam nira tebu pada kedua bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) adalah komponen dari jenis yang sama (alkaloid, flavonoid dan triterpenoid) tetapi berbeda turunannya, baik sebagai inhibitor enzim maupun antimikroba dalam nira tebu. Akar kawao juga mengandung komponen fenolik yang dapat
menghambat kerja enzim invertase dengan cara membentuk
kompleks dengan protein (komponen penyusun enzim) sehingga senyawa tersebut dapat menghambat kerja enzim (Harbourne, 1987). Enzim invertase pada tebu atau nira tebu termasuk jenis glikoprotein dengan kadar gula 7,29% dan berat molekul 218 kDa (Mahbubur, et. al., 2004). Flavonoid juga dapat menghambat kerja enzim invertase dengan cara yang sama seperti komponen fenolik. Jenis flavonoid pada akar kawao yang telah diidentifikasi dalam penelitian-penelitian sebelumnya terdiri dari berbagai macam yang dapat dilihat pada Tabel 3. Jenis flavonoid pada kulit batang manggis adalah jenis mangostin yaitu α-mangostin dan β-mangostin (Sakagami, et. al., 2005; linuma et. al., 7996; Dharmaratne, et al., 2005; Suksamrarn, et. a/., 2002) dan jenis xantonin yaitu (2,6-dihydroxy-8-methoxy-5-(3-methylbut-2-enyl)-xanthone) dan 6 jenis xantonin prenilat (Ee, et. al., 2006). Komponen fitokimia yang berperan dalam menghambat mikroorganisme, khususnya mikroorganisme yang mensekresikan enzim pendegradasi sukrosa, adalah alkaloid, flavonoid dan triterpenoid (Cowan, 1999).
Kadar gula pereduksi Sukrosa dalam nira tebu dapat terdegradasi menjadi monosakarida penyusunnya yaitu glukosa dan fruktosa melalui reaksi invertasi dengan katalis enzim invertase atau asam. Keberadaan gula reduksi tersebut menandakan adanya degradasi sukrosa yang tidak dikehendaki dalam nira tebu dan ingin dicegah melalui penambahan bahan pengawet. Reaksi invertasi merupakan reaksi hidrolisis irreversible yang dapat dipercepat oleh suhu tinggi. Reaksinya adalah indotermik dengan energi aktivasi 25,9 kilokalori per mol pada 20°C. Reaksi ini dapat juga melalui katalisis biokimia dengan beberapa enzim, khususnya invertase (Pennington dan Charles, 1990 dan Wang, 2004). Reaksi invertasi atau hidrolisis sukrosa menghasilkan gula pereduksi selengkapnya disajikan pada Gambar 3.
60
Nira tebu yang akan diukur perubahan kadar gula pereduksinya dikondisikan pada pH 8,5. Salah satu sumber nira tebu ditambahkan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) sebanyak 2%. Pengamatan perubahan kadar gula pereduksi dalam nira tebu hingga 48 jam menunjukan pola yang berbeda antara kedua perlakuan. Pada Gambar 20 disajikan grafik perubahan kadar gula pereduksi selama 48 jam.
1.2 1.156
gula reduksi (%)
1.0 1.016
0.8 0.6 0.482 0.323 0.196 0.198
0.2
0.562
0.550
0.4
0.196 0.225
0.335
0.883
0.690 0.564
0.359
0.214
0.283
0.308
0.350
0.372
0.427
0.311
0.0 0
2
4
6
8
10
12 lama inkubasi (jam) nira murni nira murni
16
24
36
48
nira + pengawet nira + pengawet
Gambar 20 Grafik perubahan kadar gula pereduksi selama 48 jam Pola perubahan kadar gula pereduksi dalam nira murni yang tidak ditambahkan pengawet pada percobaan ini lebih tinggi daripada nira dengan penambahan pengawet. Kadar gula pereduksi di awal inkubasi dalam nira tebu adalah 0,196 %. Pada jam ke 36 kadar gula pereduksi mencapai jumlah yang maksimal pada masing-masing perlakuan yaitu 1,016 % pada nira tebu murni dan 1,156 % pada nira tebu yang ditambahkan pengawet. Selanjutnya pada jam ke 48, kadar gula pereduksi mengalami penurunan hingga 0,311 % pada nira murni dan 0,883% pada nira yang ditambahkan pengawet. Pada selang waktu antara jam ke 0 hingga jam ke 10, peningkatan kadar gula pereduksi lebih landai daripada peningkatan kadar gula pereduksi antara jam ke 10 hingga jam ke 24 dan antara jam
ke 24 hingga 36 peningkatan kadar gula pereduksi menjadi
61
sangat curam dan diikuti penurunan kadar gula pereduksi yang curam hingga jam ke 48. Peningkatan kadar gula pereduksi yang landai pada jam ke 0 hingga jam ke 10 menggambarkan bahwa degradasi sukrosa masih berjalan lambat dan penambahan pengawet dapat sedikit mengurangi degradasi sukrosa pada nira tebu. Komponen fitokimia dalam akar kawao dan kulit batang manggis yang berperan dalam menghambat degradasi sukrosa dalam nira tebu adalah sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Namun tanpa penambahan bahan pengawet, nira tebu juga dapat dipertahankan kualitasnya karena pada nira tebu telah diberikan perlakuan pengaturan pH hingga 8,5 yang dapat menghambat aktivitas invertase dalam nira tebu. Menurut Chaplin (2004), proses inversi dapat terjadi secara sempurna selama 48 - 72 jam pada pH 4,5. Diduga dalam nira tebu percobaan ini lebih banyak mengandung jenis enzim invertase asam daripada invertase netral atau invertase basa. Menurut Zhu, et.al. (1997), aktifitas invertase asam yang terlarut memiliki korelasi dengan akumulasi sukrosa dalam batang tebu. Sementara itu hal yang sama tidak terjadi pada invertase netral. Menurut Vorster dan Botha (1998), akumulasi sukrosa dan aktifitas spesifik invertase netral dalam batang tebu tidak menunjukan korelasi yang signifikan. Invertase netral memiliki aktifitas spesifik yang lebih tinggi daripada invertase asam terlarut (apoplastik dan vakuola). Invertase asam yang terikat pada dinding sel teridentifikasi keberadaannya dalam batang tebu sejak sebelum batang tebu matang atau siap panen. Menurut Mahbubur, et. al. (2004), aktifitas invertase pada tebu maksimal pada pH 7,2 dan suhu 60°C. Pengaruh pH terhadap aktivitas invertase dalam nira tebu selengkapnya disajikan pada Gambar 4. Penggunaan pH tinggi juga dapat menurunkan kadar gula pereduksi karena terdegradasi
menjadi
molekul
sederhana
seperti
aldehid
yang
diiringi
pembentukan warna coklat pada nira tebu (Moerdokusumo, 1993). Penggunaan pH tinggi biasa digunakan dalam pabrik pengolahan nira untuk memisahkan gula pereduksi dari nira yang akan dijadikan gula kristal. Peningkatan kadar gula pereduksi yang sedikit lebih curam antara jam ke 10 hingga jam ke 24 menunjukan bahwa komponen fitokimia yang aktif dalam bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) mulai berkurang jumlahnya sehingga reaksi invertasi pada sukrosa dalam nira tebu, khususnya yang disebabkan oleh asam kurang dapat dihambat. Hal ini didukung dengan adanya peningkatan asam pada jam yang sama (lihat Gambar 21) terutama pada
62
nira murni tanpa penambahan bahan pengawet. Kondisi demikian semakin meningkat hingga jam ke 36 dengan peningkatan yang sangat curam. Penurunan kadar gula pereduksi yang sangat curam pada jam ke 48 menunjukan bahwa gula pereduksi mengalami proses fermentasi akibat aktifitas mikroorganisme kontaminan dalam nira tebu yang mengkonversi gula pereduksi menjadi alkohol dan asam. Pada nira tebu yang diberikan bahan pengawet memiliki penurunan kadar gula pereduksi yang lebih rendah daripada nira murni tanpa bahan pengawet. Pada kondisi ini diduga keberadaan komponen fitokimia dalam bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) sudah hampir habis sehingga kurang menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim dalam nira tebu. Hal ini juga ditunjukan dengan peningkatan total asam pada nira murni yang lebih besar daripada nira yang ditambahkan pengawet (lihat Gambar 21). Penurunan kadar gula pereduksi yang sangat curam setelah 48 njam tidak diikuti dengan peningkatan total asam yang sangat curam pula sehingga diduga proses fermentasi dalam nira tebu lebih dominan pada reaksi yang menghasilkan alkohol dan belum mengalami fermentasi lanjut menjadi asam.
Total asam Salah indikasi yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas nira tebu adalah
kandungan
total
asam.
Nira
tebu
yang
terkontaminasi
oleh
mikroorganisme dapat mengalami reaksi fermentasi lanjut. Mikroorganisme menggunakan substrat gula pereduksi untuk pertumbuhannya diiringi dengan pembentukan alkohol dan asam-asam organik, seperti asam asetat ( tahapan reaksi fermentasi dapat dilihat pada Gambar 6). Selain asam-asam organik yang dihasilkan melalui reaksi fermentasi, nira tebu juga mengandung komponen asam organik lain yang sudah terbentuk sejak pemanenan tebu seperti akonitat, oksalat, suksinat, glikolat dan malat (Paine, 1953) Hasil pengukuran total asam dalam nira tebu selama 48 jam menunjukan fluktuasi tetapi kecendrungannya terus meningkat selama inkubasi. Peningkatan total asam lebih besar pada nira murni dibandingkan nira yang ditambahkan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis). Grafik perubahan total asam selama inkubasi 48 jam disajikan pada Gambar 21.
63
45
45
40 35
37
30 total asam (mleq)
30
25
23
20 15
30
19
24
27
17 20 15
11 11
10
27
9 7
5 0 0
4
8
12
18
lama inkubasi (jam) nira murni nira murni
24
36
48
nira + pengawet nira + pengawet
Gambar 21 Grafik perubahan total asam selama inkubasi 48 jam Nilai total asam pada awal inkubasi nira tebu adalah 11 mleq dan di akhir inkubasi (48 jam) menjadi 45 mleq untuk nira murni dan 30 mleq untuk nira dengan penambahan pengawet. Kecendrungan peningkatan total asam pada nira tebu murni tampak lebih curam daripada nira tebu yang ditambahkan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis). Perubahan nilai total asam diikuti oleh perubahan nilai pH namun bukan berupa hubungan yang linier. Peningkatan total asam dalam nira tebu murni yang lebih curam menunjukan bahwa aktifitas mikroorganisme yang mengkontaminasi nira tersebut lebih tinggi daripada yang mengkontaminasi nira tebu dengan penambahan pengawet. Hal tersebut disebabkan karena adanya komponen antimikroba dalam bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) yang ditambahkan sehingga aktifitas mikroorganisme kontaminan dapat dihambat. Akar kawao dan kulit batang manggis mengandung alkaloid, flavonoid dan triterpenoid yang bersifat sebagai antimikroba (Cowan, 1999). Namun pada akhir masa inkubasi (48 jam) jumlah komponen fitokimia tersebut semakin berkurang sehingga nira tebu dengan penambahan pengawet mengalami peningkatan fermentasi hingga total asam dalam nira tebu semakin meningkat. Namun peningkatan fermentasi tersebut tidak lebih besar daripada nira tebu yang tidak ditambahkan pengawet. Dengan demikian penambahan bahan pengawet efektif
64
untuk mengurangi kerusakan nira tebu. Menurut Goutara dan Wijandi (1975) kerusakan nira akibat aktivitas mikroorganisme ditandai dengan rasa asam pada nira, berbuih putih dan berlendir dengan reaksi kimia. Pada percobaan ini menunjukan fermentasi lanjut pada nira tebu terhadap komponen gula pereduksi lebih besar dalam reaksi menghasilkan alkohol daripada fermentasi lanjut pada alkohol menjadi asam-asam organik. Reaksi fermentasi pada nira tebu dapat dilihat pada Gambar 6. Peningkatan total asam dapat menyebabkan peningkatan degradasi sukrosa dalam nira tebu. Menurut Wang (2004), degradasi sukrosa dapat terjadi bila kondisi lingkungan nira tebu yang asam melalui reaksi invertasi walaupun tanpa adanya enzim invertase. Pada kondisi ini kadar sukrosa dalam nira tebu selama inkubasi hingga 48 jam akan mengalami penurunan, dimana penurunan kadar sukrosa dalam nira tebu murni tanpa penambahan bahan pengawet akan lebih rendah daripada nira tebu yang ditambahkan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) karena kandungan asam dalam nira tebu yang lebih tinggi.
Nilai pH Perubahan nilai pH mempengaruhi kualitas nira tebu. Dalam keadaan segar, nira tebu berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5,0-6,0 (Goutara dan Wijandi, 1975). Menurut Gillet (1985) zat warna yang terdapat dalam nira tebu adalah klorofil yang berasosiasi dengan xantofil, karoten, antosianin, tannin dan sakretin. Sedangkan warna coklat timbul akibat reaksi pencoklatan enzimatis dari polifenol. Peningkatan produksi asam-asam organik melalui reaksi fermentasi yang menyebabkan terjadinya penurunan nilai pH. Perubahan nilai pH nira tebu pada percobaan ini diukur dalam selang waktu hingga 48 jam. Nilai pH nira tebu murni dan nira yang diberi pengawet semakin turun selama inkubasi tersebut. Perubahan nilai pH selama inkubasi 48 jam disajikan pada Gambar 22.
65
7
6.3 6.1
6
pH
5
4.7
4.7 4.6 4.6
4.6 4.3
4.5
4
3.9
4 3.6
3
3.7
3.6
3.5
3.5 3.3
3.3 3.2 3
2 1 0 0
2
4
6
8
12 18 lama inkubasi (jam) nira murni nira murni
24
36
48
nira + pengawet nira + pengawet
Gambar 22 Grafik perubahan nilai pH selama inkubasi 48 jam Nilai pH pada nira murni tanpa penambahan pengawet menunjukan nilai yang lebih rendah daripada nilai pH pada nira yang ditambahkan pengawet. Perbedaan nilai pH pada kedua macam nira tersebut semakin besar pada selang waktu yang lebih lama. Penambahan pengawet pada nira tebu menunjukan respon lebih mempertahankan nilai pH daripada nira tanpa penambahan bahan pengawet. Nilai pH awal masing-masing nira sebelum inkubasi adalah 4,7; kemudian kedua macam perlakuan nira tebu sama-sama diatur nilai pHnya hingga mencapai 8,5. Pada akhir waktu inkubasi, nilai pH nira tebu murni menjadi 3 dan pH nira tebu yang ditambahkan pengawet menjadi 3,3. Perubahan nilai pH pada nira tebu murni dan nira tebu yang ditambahkan pengawet hingga jam ke 4 adalah sama. Pada jam berikutnya, penurunan nilai pH pada nira tebu murni menjadi lebih cepat daripada nira yang ditambahkan pengawet. Hal tersebut disebabkan kerena penambahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) dapat menghambat laju penurunan nilai pH. Penurunan pH berkaitan dengan peningkatan total asam dalam nira tebu. Penurunan nilai pH berarti menunjukan peningkatan ion H+ yang dihasilkan dari peningkatan kadar asam dalam larutan nira. Peningkatan kadar asam dalam larutan menunjukan aktifitas degradasi lanjut sukrosa baik yang disebabkan oleh
66
aktifitas mikroorganisme maupun enzim. Akar kawao dan kulit batang manggis mengandung komponen fitokimia yang bersifat sebagai antimikroba, yaitu alkaloid, flavonoid dan triterpenoid sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka. Pola penurunan nilai pH pada nira tebu dengan penambahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis) tampak sedikit lebih landai daripada nira tebu murni yang tidak ditambahkan bahan pengawet. Penurunan nilai pH juga dapat menyebabkan kematian pada mikroorganisme kontaminan dalam nira tebu yang membutuhkan lingkungan pH netral untuk pertumbuhannya. Pada saat yang sama pH rendah dapat meningkatkan reaksi invertasi sukrosa dalam nira tebu walaupun tanpa adanya enzim invertase (Wang, 2004).
Hubungan perubahan kadar gula pereduksi, total asam dan nilai pH Pada lama inkubasi 24 jam, terjadi peningkatan kadar gula pereduksi dengan tingkat kemiringan yang hampir sama antara nira tebu murni dengan nira tebu yang ditambahkan pengawet. Namun setelah melewati 24 jam, pada nira tebu murni terjadi penurunan kadar gula pereduksi yang diikuti dengan peningkatan kadar alkohol dan total asam dengan tingkat kemiringan yang lebih curam daripada nira tebu yang ditambahkan pengawet. Sementara pada nira yang ditambahkan pengawet, setelah 24 jam kadar gula pereduksi terus meningkat dan peningkatan total asam tampak lebih landai. Berdasarkan pengamatan tersebut dapat dikatakan bahwa pada lama inkubasi hingga 24 jam laju degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi lebih kecil daripada laju degradasi lanjut gula pereduksi menjadi asam. Degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi dapat disebabkan oleh aktifitas enzim invertase atau aktivitas mikroorganisme penghasil enzim pendegradasi sukrosa seperti Saccharomyces cereviceae dan Leuconostoc mesenteroides. Sementara degradasi gula pereduksi menjadi asam terjadi akibat aktifitas mikroorganisme yang menggunakan gula pereduksi sebagai substrat. Penambahan bahan pengawet dalam nira tebu berupa akar kawao dan kulit batang manggis menunjukan pengaruh terhadap penghambatan laju kerusakan dalam nira tebu. Berdasarkan percobaan ini, penggunaan akar kawao dan kulit batang manggis dengan perbandingan 1:1 (g/g) sebanyak 2% ke dalam nira tebu dapat mempertahankan kualitas nira tebu hingga 24 jam. Perubahan pH pada nira tebu murni dan nira tebu yang ditambahkan pengawet menunjukan pola yang hampir sama, hanya saja grafik nira murni menunjukan nilai yang lebih rendah daripada nira yang ditambahkan pengawet.
67
Perubahan pH sebelum 24 jam menunjukan kemiringan garis yang lebih curam daripada perubahan pH setelah 24 jam. Peningkatan total asam akibat degradasi gula pereduksi menjadi asam tidak diikuti peningkatan pH secara linier. Pada lama inkubasi 48 jam menunjukan penurunan kualitas nira tebu yang tajam, diikuti penurunan nilai pH. Hal itu dapat disebabkan karena komponen fitokimia dalam akar kawao dan kulit batang manggis yang rusak akibat pH rendah dan jumlahnya yang semakin berkurang seiring peningkatan lama inkubasi.
Analisis kebutuhan bahan pengawet untuk industri gula Salah satu permasalahan yang dihadapi pada industri gula di Indonesia saat ini adalah rendahnya rendemen gula kristal atau sukrosa hasil pengolahan nira tebu. hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah masalah downtime pabrik yang disebabkan kerusakan mesin yang sudah tua usia teknisnya dan downtime pabrik yang disebabkan pencucian evaporator. Masalah
downtime
pabrik
adalah
terhentinya
proses
produksi
yang
mengakibatkan sejumlah nira tebu yang sedang diproses menjadi terbuang atau tetap digunakan tetapi kadar sukrosa dalam nira sudah sangat rendah akibat kerusakan enzimatis dan mikrobiologis. Penurunan kadar sukrosa juga dapat terjadi selama proses pengolahan, terutama sejak tahap ekstraksi hingga evaporasi. Kondisi proses pengolahan dapat mempengaruhi aktifitas enzimatis dan mikrobiologis dalam nira tebu. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang telah dijelaskan diatas adalah dengan penambahan bahan pengawet ke dalam nira tebu agar kadar sukrosa didalamnya dapat dipertahankan secara maksimal. Sukrosa adalah gula yang akan dikristalkan dalam pengolahan nira tebu dan secara langsung jumlahnya menunjukan rendemen tebu. Penambahan bahan pengawet bertujuan sebagai inhibitor enzim pendegradasi sukrosa, terutama invertase dan atau sebagai antimikrobial terhadap mikroorganisme kontaminan dalam nira tebu. Bahan pengawet alami menjadi pilihan yang terbaik agar gula kristal yang dihasilkan tetap sehat bagi konsumennya. Berbagai pengetahuan petani gula secara tradisional dapat dijadikan pilihan untuk diikuti. Akar kawao dan kulit batang manggis selama ini telah banyak dipakai oleh petani gula aren tradisional untuk mencegah kerusakan pada nira aren. Berdasarkan penelitian ini juga menunjukan hal yang sama dapat dilakukan pada nira tebu. Akar kawao dan kulit batang manggis dapat
68
mengurangi laju kerusakan dalam nira tebu melalui aktivitas inhibitor enzim dan antimikroba dar komponen fitokimia dalam kedua jenis bahan pengawet tersebut. Jumlah pengawet yang dicobakan pada penelitian ini adalah 2% dari total volume nira tebu, dengan perbandingan bahan akar kawao dan kulit batang manggis sebesar satu banding satu (gram per gram). Kedua jenis bahan pengawet tersebut memungkinkan bila diaplikasikan pada industri gula. Jika diasumsikan pada sebuah industri gula dengan kapasitas produksi 3000 TCD, maka kebutuhan bahan pengawet yang harus dipersiapkan adalah 60 ton campuran akar kawao dan kulit batang manggis. Pada perbandingan yang sama, maka kebutuhan akar kawao dan kulit batang manggis masing-masing adalah 30 ton. Penambahan pengawet tersebut dapat ditambahkan pada saat pabrik gula mengalami masalah downtime, baik yang disebabkan karena perbaikan mesin maupun masalah lain yang menyebabkan operasi pabrik terhenti. Aplikasi akar kawao dan kulit batang manggis sebagai bahan pengawet akan mendorong peningkatan budidaya kedua jenis tanaman tersebut sebagai sumber bahan baku. Selama ini tanaman kawao masih menjadi tanaman liar yang dicari petani gula tradisional di pinggir sungai atau di dalam hutan. Upaya untuk menjamin ketersediaan akar kawao akan mendorong petani untuk membudidayakan tanaman ini. Sementara tanaman manggis sudah menjadi tanaman budidaya yang dipanen buahnya. Untuk aplikasi kulit batangnya, bagian tanaman manggis yang dapat dimanfaatkan adalah bagian ranting atau cabang ranting agar tanaman manggis tetap hidup baik dan pertumbuhan buahnya tidak terganggu.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Akar kawao dan kulit batang manggis mengandung komponen fitokimia alkaloid, flavonoid dan glikosida dalam jumlah besar serta komponen lain berupa triterpenoid, saponin dan steroid dalam jumlah yang lebih kecil. Diantara komponen tersebut, alkaloid,flavonoid dan triterpenoid diduga yang berperan sebagai pengawet dalam nira tebu, yang bersifat sebagai inhibitor enzim dan antimikroba. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap degradasi sukrosa dalam nira tebu adalah suhu, pH, nisbah pengawet dan lama inkubasi. Faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar sukrosa sebesar 0,452% untuk faktor suhu dengan signifikansi 94,6%, 4,423% untuk faktor pH dengan signifikansi 94,5%, 2,019% untuk faktor nisbah pengawet dengan signifikansi 94% dan 0,125% untuk faktor lama inkubasi dengan signifikansi 93,5%. Faktorfaktor yang diuji pada penelitian ini juga berpengaruh terhadap perubahan kadar gula pereduksi sebesar 0,554% untuk faktor suhu dengan signifikansi 97,9%, 3,820% untuk faktor pH dengan signifikansi 97%, 2,072% untuk faktor nisbah pengawet dengan signifikansi 97,3% dan 0,126% untuk faktor lama inkubasi dengan signifikansi 97%. Perubahan kualitas terhadap nira tebu selama 48 jam mempengaruhi pola perubahan sukrosa, gula pereduksi, total asam dan nilai pH. Selama inkubasi 24 jam, kualitas nira tebu yang ditambahkan pengawet hanya menunjukan sedikit kerusakan dibandingkan nira tebu murni yang tidak ditambahkan bahan pengawet (akar kawao dan kulit batang manggis). Pada inkubasi 48 jam, perubahan kualitas nira tebu yang ditambahkan pengawet menunjukan peningkatan kerusakan nira tebu, yang ditandai dengan penurunan kadar gula pereduksi dan peningkatan total asam yang tinggi.
70
Saran Berdasarkan penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang identifikasi komponen aktif dalam akar kawao dan kulit batang manggis yang berperan
dalam
pengawetan
nira
tebu
berikut
dengan
mekanisme
pengawetannya. Untuk aplikasi akar kawao dan kulit batang manggis lebih lanjut, perlu dilakukan penelitian pada skala yang lebih besar dan analisis ekonomi agar pemanfaatan kedua bahan pengawet tersebut menguntungkan dalam skala industri.
DAFTAR PUSTAKA
Abbiw, D.K. 1990. Useful plants of Ghana-West African use of wild and cultivated plants. Intermediate Technology Publications and the Royal Botanic Gardens Kew. ISBN No. 1-85339-043-7 Abe, F., Donnelly, D.M.X., Moretti, C., and Polonsky, J. 1985. Isoflavonoid Constituents from Dalbergia monetaria. J Phytochemistry 24:1071-1076 Acosta, Niuris, Alejandro Beldarrain, Luis Rodriguez dan Yamirka Alonso. 2000. Characterization of Recombinant Invertase Expressed in Methyloptrophic Yeasts. J Biotechnology Appl. Biochem 32:179-187 Amgsa, Dieudonnneg, N.Y.L Fanso F Reez, Tanefeo Mum. 1994. A New Guanidine Alkaloid From Millettia Laurentii’. J natural productl 57:10221024 Alvarez, J. F. dan T. P. Johnson. 2003. The Florida Sugar Industry: Trends and Technologies. J American Society of Sugarcane Technologists 23. AOAC. 1999. Official Method of Analysis of AOAC International, 16th edition. AOAC International. Maryland, USA. Apriantono, Anton, Dedy Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Sedarnawati dan Slamet B. 1989. Petunjuk Laboratorium, Analisis Pangan. IPB Pres. Bogor. Barnes, A. C. 1973. The Sugar Cane Di dalam Columbia Encyclopedia, Sixth Edition. 2006. www.Encyclopedia.com (25 Maret 2007) Bobadilla, Milagros dan T. R. Preston. 1981. The Use of Sodium Benzoate and Amonium Hydroxide (Aqueous-NH3) as Preservative for Sugar Cane. J Trop Anim Prod 6:345-349 Chairungsrilerd N, Furukawa K, Ohta T, Nozoe S, Ohizumi Y. 2002. Pharmacological properties of alpha-mangostin, a novel histamine H1 receptor antagonist. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007) Chairungsrilerd N, Furukawa K, Tadano T, Kisara K, Ohizumi Y. 2002. Effect of gamma-mangostin through the inhibition of 5-hydroxy-tryptamine2A receptors in 5-fluoro-alpha-methyltryptamine-induced head-twitch responses of mice. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007) Chaplin, Martin, 2004. Sucrose di dalam Columbia Encyclopedia, Sixth Edition. 2006. www.Encyclopedia.com (25 Maret 2007) Conrad, Jürgen, Wolfgang Kraus, B. Sritularak, Kittisak Likhitwitayawuid, Jürgen Conrad, Wolfgang Kraus. 1999. New Flavonoids from The Roots of Millettia Erythrocalyx (Abstract). www.scisoc.or.th/stt/28/web/ content/A_01/ (25 Maret 2007)
72
Cowan, Marjorie Murphy. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology Reviews, October 1999:12:564-582 Cuddihy, James A., Miguel E. Porro dan James S. Rauh. 2000. The Presence of Total Polysaccharides in Sugar Production and Methods For Reducing Their Negative Effects. Midland Research Laboratories, Inc. Day, D. F., J. Cuddihy dan J. Rauh. 2003. Versatility of the Antibody Dextran Test Method. J American Society of Sugarcane Technologists 23. De Almeida, A. C. S., L. C. de Araujo, A. M. Costa, C. A. M. de Abreu, M. A. G., deAndrade Lima dan M. L. A. Perez Fernandez Palha. 2000. Sucrose Hydrolysis Catalyzed by Auto-immobilyzed Invertase into Intact Cells of Cladosporium cladosporioides. Electronic J Biotechnology. Dewick, P.M. 1994. Isoflavonoids. In: Harborne, JB, Ed. The Flavonoids: Advances in Research Since 1986. Chapman and Hall, London Dharmaratne, H. R. W., K. G. N. P. Piyasena, S. B. Tennakoon. 2005. A Geranylated biphenyl derivative from Garcinia mangostana. Natural Product Research 19 (Issue 3 April 2005): 239 - 243 Duarte, F., A. Mena, R. Elliott dan T. R. Preston. 1981. A Note on The Utilisation of Aqueous Ammonia as a Preservative for Sugar Cane Juice in Rimunant Diets. J Trop Anim Prod 6 (3): 257-260 Ee, G. C. L., S. Daud, Y. H. Taufiq-Yap, N. H. Ismail, M. Rahmani. 2006. Xanthones from Garcinia mangostana (Guttiferae). Natural Product Research 20 (Issue 12 October 2006): 1067 - 1073 Eggleston, G., A. Monge dan B. Ogier. 2003. Effect of pH and Time Between Wash-outs on the Performance of Evaporators. J American Society of Sugarcane Technologists 23. Elliott, K. A. 2003. Maximize Throughput in a Sugar Milling Operation using a Computerized Maintenance Management System (CMMS). J American Society of Sugarcane Technologists 23. Ewing, Elmer E., Maria Devlin, Deborah A. McNeill, Martha H. McAdoo dan Anne M. 1977. Change in Potato Tuber Invertase and Its Endegenous Inhibitor after Slicing, Including a Study of Assay Methods. J Plant Pysiology 49: 925-929 Filho, U. C., C. E. Hori dan E. J. Ribero. 1999. Influence of The Reaction Product in The Inversion of Sucrose by Invertase. Brazilian J Chemical Engineering 16 (2) Foyer, C., Alison K. Smith dan Chris Pollock. 1997. Sucrose and Invertase, an Uneasy Alliance. Iger Innovations. www.bbsrc.ac.uk (25 Maret 2007) Furukawa K, Shibusawa K, Chairungsrilerd N, Ohta T, Nozoe S, Ohizumi Y. 2002. The mode of inhibitory action of alpha-mangostin, a novel inhibitor,
73
on the sarcoplasmic reticulum Ca(2+)-pumping ATPase from rabbit skeletal muscle. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007) Gamgsa, N D.N, .Y. Fansof Ree,Z .T. Fom. 1993. Millaurine and Acetylmillaurine: Alkaloids from Mlllettla Laurentii’. J Natural Product. 56(12): 2126-2132 Gillet, Thomas R. 1985. Colour and Coloured Non-Sugar di dalam P. Honig (ed.) Principles of Sugar Tecnology vol.1. Elsevier Publishing Co. Amsterdam Gopalakrishnan G, Banumathi B, Suresh G. 1997. Evaluation of the antifungal activity of natural xanthones from Garcinia mangostana and their synthetic derivatives. J Natural Products. 5(60): 519-524. Goutara dan S. Wijandi. 1985. Dasar Pengolahan Gula I. Agro Industri Press. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA. Harrow, B., dan Mazur, A. 1958. Textbook of Biochemistry. Saunders. Philadelphia. Harborne, J. B. 1987. Phytochemical Methods. 2nd ed. Terjemahan: Metode Fitokimia oleh Padmawinata, K dan I. Soediro. ITB, Bandung. Herman, Atih S. 1984. Diversiikasi Produk Gula Merah Didalam Laporan Up Grading Tenaga Pembina Gula Merah. Balai Besar Industri Pertanian. Bogor. Iinuma, M; Tosa, H; Tanaka, T; Asai, F; Kobayashi, Y; Shimano, R. Miyauchi, KI. 1996. Antibacterial activity of xanthones from guttiferaeous plants against methicillin-resistant Staphylococcus aureus. J Pharmacy and Pharmacology(48)8: 861-865. IPTEKnet. 2005. Tanaman Obat Indonesia. BPPT. Jakarta Irvine, F. R. 1961. Woody Plants of Ghana; Oxford University Press. London: 393-396 James, C.P. dan M. Chen. 1985. Cane Sugar Handbook. John Wiley and Sons. New York Jayaweera, D.M.A. 1981. Medicinal Plants used in Ceylon Part 3. National Science Council of Sri Lanka. Colombo. Jinsart W, Ternai B, Buddhasukh D, Polya GM. 2002. Inhibition of wheat embryo calcium-dependent protein kinase and other kinases by mangostin and gamma-mangostin. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007) Kapingu, M.C., Zakaria H. Mbwambo, Mainen J. Moshi, Joseph J. Magadula, Paul Cos, Dirk Vanden Berghe, Louis Maes, Mart Theunis, Sandra Apers, Luc Pieters, Arnold Vlietinck. 2006. A Novel Isoflavonoid from Millettia puguensi. Planta Med 2006; 72: 1341-1343. DOI: 10.1055/s-2006-951689
74
Kaseno, Sasmito Wulyoadi dan Koesnandar. 2003. Penerapan Teknologi Ultrafiltrasi Membran pada Pemurnian Nira Tebu pada Pabrik Gula. Jurnal Saint dan Teknologi 2: 70-74. Legaz, María-Estrella, Roberto de Armas, Eva Barriguete dan Carlos Vicente. 2000. Binding of Soluble Glycoproteins from Sugarcane Juice to Cells of Acetobacter diazotrophicus. J Internatl Microbiol 3: 177–182 Likhitwitayawuid, K., Boonchoo Sritularak, Kanokwan Benchanak, Vimolmas Lipipun, Judy Mathew, Raymond F. Schinazi . 2005. Phenolics with Antiviral Activity from Millettia Erythrocalyx and Artocarpus Lakoocha. Natural Product Research 19 (Issue 2 February 2005): 177 – 182 Lingle, Sarah E. 2004. Effect of Transient Temperature Change on Sucrose Metabolism in Sugar Cane Internodes. J American Society of Sugar Cane Technologist 24: 132-140 Madsen II, L. R., B.E. White dan P.W. Rein. 2003. Evaluation of a Near Infrared Spectrometer for the Direct Analysis of Sugar Cane. J American Society of Sugar Cane Technologist Mahabusarakam W, Proudfoot J, Taylor W, Croft K. 2002. Inhibition of lipoprotein oxidation by prenylated xanthones derived from mangostin. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007) Mahbubur Rahman, S. M. M., Palash Kumar Sen dan M. Fida Hasan. 2004. Purification and Characterization of Invertase Enzyme from Sugarcane. Pakistan. J Biological Sciences 7(3): 340-345 Mangunwidjaya, Djumali dan Ani Suryani. 1994. Teknologi Bioproses. Penebar Swadaya. Jakarta Matsushita K. dan Uritani I. 1976. Isolation and Characterization of Acid Invertase Inhibitor from Sweet Potato. J Biochemical 79(3): 633-639 Mathlouthi, Mohamed. 2000. Highlights of The Twentieth Century Progress in Sugar Technology and The Prospects for The 20st century. www. Google.com (25 Maret 2007) Menninger, Edwin A. 1970. Flowering Vines of The World, An Encyclopedia of Climbing Plants. Hearthside Press Incoporated, New York. Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Penerbit ITB. Bandung. Montgomary, D.C. 2001 Design and Analysis of Experiments, fifth edition. John Wiley & Sons, Inc. New York. Morton, J. 1987. Mangosteen. Di dalam Fruits of warm climates. Julia F. Morton, Miami, FL. Murray, M. T. 1996. Encyclopedia of Nutritional Supplements. Prima Publishing. Roseville.
75
Nilar, Harrison LJ. 2002. Xanthones from the heartwood of Garcinia mangostana. J Phytochemistry (60) 5: 541-548. Pancoast, Harry M. Dan W. Ray Junk. 1980. Handbook of Sugar. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Paustian, Timothy. 2007. Environmental effects on growth. The World of Microbes. www.google.com (25 Maret 2007) Pennington, N.L and Charles W. Baker. 1990. Sugar A User’s Guide to Sucrose. Van Nostrand Reinhold. New York. Perry, Karen. 2007. The Power of Mangosteen. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007) Pressey, Russel dan Row Shaw. 1966. Effect of Temperature on Invertase, Invertase Inhibitor and Sugar in Potato Tubers. J Plant Pysiology 41:1665716661 Pressey, Russel. 1994. Invertase Ibhibitor in Tomato Fruit. J Phytochemistry 36(3): 543-546 Qiu Hong PAN, Ke Qin ZOU, Chang Cao PENG, Xiu Ling Wang dan Da Peng Zhang. 2005. Purification, Biochemical and Immunological Characterization of Acid Invertase from Apple Fruit. J Integrative Plant Biology 47(1): 50-59. Quisumbing, Eduardo. 1978. Medicinal Plants of the Philippines. Katha Publishing Company. JMC PRESS. Quezon City, Philippines. Reece, N.N. 2003. Optimizing Aconitate Removal During Clarification. Thesis. Lousiana State University. USA. http://etd.lsu.sde/docs/available (25 Maret 2007) Rohwer, Johann M. dan Frederik C. Botha. 2001. Analysis of Sucrose Accumulation in The Sugar Cane Culm on The Basis of In Vitro Kinetic Data. J Biochemical 358: 437-445 Sakagami Y, Iinuma M, Piyesena K, Dharmaratne H. 2005. Antibacterial activity of alpha-mangostin against vancomycin resistant Enterocicci (VRE) and synergism with antibiotics. J Phytomed 12: 203-208 Sandberg, F; Cronlund, A; 1977 What can we still learn from traditional folklore medicine Examples from the results of a biological screening of medicinal plants from Equatorial Africa.Proc. Symposium Med plants & spices; Colombo Sri Lanka 3: 178-197 Scarpari, Maximiliano S. dan Edgar Gomes Ferreira de Beauclair. 2004. Sugarcane Maturity Estimation Through Edaphic-Climatic Parameters. J Sci. Agric 61(5): 486-491 Sedarnawati Yasni, Suliantari dan Iwan Ayong Sunarko. 1999. Aktifitas Antimikroba Ekstraksi Kulit Kayu Ralu (Xylocarpus moluccensis M. Roem)
76
pada Fermentasi Nira Aren (Arenga pinnata Merr.). J Teknologi dan Industri Pangan 10(2): 47-58. Sharpe, Peter. 1998. Sugarcane : Past and Present. www.siu.edu/~ebl (25 Maret 2007) Singhal AK, Sharma RP, Baruah JM, Govindan, SV, Herz, W. 1982. Rotenoids from roots of Millettia pachycarpa. J Phytochemistry 21: 949-952 Soebroto, R.S.H. 1983. Tebu Rakyat. Tarate. Bandung Sundaram BM, Gopalakrishnan C, Subramanian S, Shankaranarayanan D, Kameswaran L. 2002. Antimicrobial activities of Garcinia mangostana. www.mangosteenmd.com (25 Maret 2007) Suksamrarn S, Suwannapoch N, Ratananukul P, Aroonlerk N, Suksamrarn A.: Xanthones from the green fruit hulls of Garcinia mangostana. J Natural Products (65)5: 761-763. Vorster, Darren J. dan Frederik C. Botha. 1998. Sugarcane Internodal Invertase : Change during Tissue Maturation and Properties of Neutral Invertase. Journal of Phytochemistry (Abstrak). www.google.com (25 Maret 2007) Vorster, Darren J. dan Frederik C. Botha. 1998. Partial Purification and Characterization of Sugarcane Neutral Invertase. J Phytochemistry 49(3): 651-655 Wanda, Ketcha. 2006. Characterisation of Oestrogenic Properties of Isoflavones Derived from Millettia Griffoniana Baill.: - Molecular Mode of Action and Tissue Selectivity. Dissertation. Kamerun Wang, Nam Sung. 2004. Enzyme Kinetics of Invertase Via Initial Rate Determination. Department of Chemical Engineering. University of Maryland. Collage Park MD 20742-2111. Wikipedia. 2006. Leuconostoc mesenteroides. www.wikipedia.org/wiki (25 Maret 2007) Yankep, E., Fomum, Z.T., Dagne, E. 1997. An O-geranylated iso-avone from Millettia griffoniana. J Phytochemistry 46: 591-593 Yankep, E., Fomum, Z.T., Bisrat, D., Dagne, E., Hellwig, V., Steglich, W. 1998. Ogeranylated isoflavones and a 3-phenylcoumarin from Millettia griffoniana. J Phytochemistry 49: 2521 Yankep E, Mbafor JT and Fomum ZT. 2001. Further isoflavonoid metabolites from Millettia griffoniana (Bail). J Phytochemistry (56)4: 363-368 Yankep E, Njamen D, Fotsing MT, et al.: Griffonianone D, an isoflavone with antiinflammatory activity from the root bark of Millettia griffoniana. J Natural Products (66)9: 1288-1290
77
Yenesew, Abiy, John T. Kiplagat, Eluid K. Mushibe, Solomon Derese, Jacob O. Midiwo, Jacques M. 2003. Rotenoid Derivatives from Kenyan Millettia and Derris Species as Larvicidal Agents. 11th NAPRECA Symposium Book of Proceedings, Antananarivo, Madagascar : 161-168 Yoshikawa M, Harada E, Miki A, Tsukamoto K, Liang S Q, Yamahara J dan Murakami N. 1994. Antioxidant constituents from the fruit hulls of mangosteen (Garcinia mangostana L.). Yakugaku Zasshi 114(2):129-133. Zhu, Y. J., E. Komor dan P. H. Moore. 1997. Sucrose Accumulation in Sugarcane Stem is Regulated by The Different between The Activities of Soluble Acid Invertase and Sucrose Phosphate Synthase. J Plant Physiology 115: 609616
78
Lampiran 1. Prosedur Analisis Nira Tebu
1. Analisis Total Asam (AOAC 940.15, 1995) Sebanyak 600 ml aquades ditempatkan pada beakerglass 800 ml, kemudian ditambahkan 1 ml indikator PP. Larutan tersebut dititrasi dengan larutan 0,1N NaOH hingga larutan berubah menjadi berwarna merah muda. Selanjutnya ditambahkan 5-20 ml contoh dan dititrasi kembali dengan larutan 0,1N NaOH hingga larutan kembali berwarna merah muda. Jumlah asam dihitung sebagai g/100 ml contoh.
2. Analisis pH Larutan Menggunakan pH-meter Pengukuran
pH
menggunakan
pH-meter
adalah
dengan
cara
memasukan elektroda pH-meter ke dalam larutan contoh kemudian display pH-meter akan membaca nilai pH contoh dan suhu pengukurannya.
3. Analisis Kadar Gula Pereduksi Metoda Kolorimetri Dinitrosalisilik (DNS) Sebanyak 2 ml larutan contoh ditambahkan 2 ml pereaksi DNS kemudian dipanaskan dalam waterbath suhu 950C selama 10 menit hingga menghasilkan warna larutan merah kecoklatan. Absorbansi gula pereduksi diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Nilai absorbansi gula pereduksi dikonversikan menjadi kadar gula pereduksi berdasarkan
kurva
standar
glukosa-fruktosa.
Bila
larutan
contoh
menghasilkan warna DNS yang sangat pekat (nilai absorbansi > 0.8) maka dilakukan pengenceran dahulu hingga pembacaan absorbansi antara 0.2 – 0.8.
4.
Analisis Kadar Sukrosa Metoda Kolorimetri Dinitrosalisilik (DNS) Larutan contoh dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama diuji kadar gula pereduksinya dengan analisis kadar gula pereduksi Metoda Kolorimetri Dinitrosalisilik
(DNS).
Bagian
kedua
diberikan
perlakuan
inversi
menggunakan asam kuat (HCl) kemudian diuji kadar gula pereduksinya dengan analisis kadar gula pereduksi Metoda Kolorimetri Dinitrosalisilik (DNS). Kadar sukrosa dinyatakan sebagai selisih kadar gula pereduksi hasil inverse dengan kadar gula pereduksi yang tiak diinversi.
79
Lampiran 2 . Hasil pengujian fitokimia akar kawao dan kulit batang manggis
80
Lampiran 3 . Pengaruh faktor terhadap kadar sukrosa (dalam brix)
suhu 65 65 65 65
pH 7.5 7.5 9.5 9.5
pengawet 3 7 3 7
waktu 50 110 110 50
brix 12.9 13.0 4.5 12.8
85
7.5
3
110
13.4
85 85 85
7.5 9.5 9.5
7 3 7
50 50 110
13.2 12.9 13.1
75 75
8.5 8.5
5 5
80 80
12.8 13.2
————— 6/18/1998 22:18:47 ———————————————————— The following terms cannot be estimated and were removed: pH*pengawet pH*waktu pengawet*waktu suhu*pH*pengawet suhu*pH*waktu suhu*pengawet*waktu pH*pengawet*waktu
Factorial Fit: brix versus suhu, pH, pengawet, waktu Estimated Effects and Coefficients for brix (coded units) Term Constant suhu pH pengawet waktu suhu*pH suhu*pengawet suhu*waktu suhu*pH*pengawet*waktu S = 0.282843
Effect
Coef 13.000 1.175 -1.150 1.050 -0.975 1.000 -1.050 1.075 -1.025
2.350 -2.300 2.100 -1.950 2.000 -2.100 2.150 -2.050
R-Sq = 99.88%
SE Coef 0.2000 0.1000 0.1000 0.1000 0.1000 0.1000 0.1000 0.1000 0.2236
T 65.00 11.75 -11.50 10.50 -9.75 10.00 -10.50 10.75 -4.58
P 0.010 0.054 0.055 0.060 0.065 0.063 0.060 0.059 0.137
R-Sq(adj) = 98.91%
Analysis of Variance for brix (coded units) Source Main Effects 2-Way Interactions 4-Way Interactions Residual Error Pure Error Total
DF 4 3 1 1 1 9
Seq SS 38.0500 26.0650 1.6810 0.0800 0.0800 65.8760
Adj SS 38.0500 26.0650 1.6810 0.0800 0.0800
Adj MS 9.51250 8.68833 1.68100 0.08000 0.08000
F 118.91 108.60 21.01
P 0.069 0.070 0.137
81
Unusual Observations for brix Obs 1 2 3 4 5 6 7 8
StdOrder 1 2 3 4 5 6 7 8
brix 12.9000 13.0000 4.5000 12.8000 13.4000 13.2000 12.9000 13.1000
Fit 12.9000 13.0000 4.5000 12.8000 13.4000 13.2000 12.9000 13.1000
SE Fit 0.2828 0.2828 0.2828 0.2828 0.2828 0.2828 0.2828 0.2828
Residual -0.0000 -0.0000 -0.0000 -0.0000 -0.0000 -0.0000 -0.0000 -0.0000
St Resid * * * * * * * *
X X X X X X X X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Estimated Coefficients for brix using data in uncoded units Term Constant suhu pH pengawet waktu suhu*pH suhu*pengawet suhu*waktu suhu*pH*pengawet*waktu
Coef 4870.11 -77.4181 -490.016 -66.3266 -5.33514 7.31771 2.07010 0.144521 -0.00170833
* NOTE * Some factors have more than 2 levels, no alias table was printed.
Perhitungan persen pengaruh % pengaruh =
F a0 ( Xh - Xl )
x 100 %
keterangan : F : koefisien pengaruh a0 : intersep Xh : Nilai tinggi perlakuan Xl : Nilai rendah perlakuan Suhu (x1) % pengaruh suhu =
pH (X2) % pengaruh pH
=
1,175 x 100 % = 0,452 % 13 ( 85 – 65 )
1,15 x 100 % = 4,423 % 13 ( 9,5 – 7,5 )
Nisbah pengawet (x3) % pengaruh Nisbah pengawet =
Lama inkubasi(X4) % pengaruh lama inkubasi
=
1,05 x 100 % = 2,019 % 13 ( 7 - 3 )
0,975 x 100 % = 0,125 % 13 ( 110 - 50 )
82
Lampiran 4 . Pengaruh faktor terhadap kadar gula pereduksi (dalam mM) waktu
gula red (mM)
gula red (%)
3
50
158.875
0.766
7
110
169.625
0.912
9.5
3
110
54.375
0.000
65
9.5
7
50
162.875
0.820
85
7.5
3
110
172.875
0.956
85
7.5
7
50
175.125
0.987
85
9.5
3
50
179.125
1.041
85
9.5
7
110
173.375
0.963
75
8.5
5
80
175.875
0.997
75
8.5
5
80
173.375
0.963
suhu
pH
pengawet
65
7.5
65
7.5
65
————— 6/18/1998 22:22:08 ———————————————————— The following terms cannot be estimated and were removed: pH*pengawet pH*waktu pengawet*waktu suhu*pH*pengawet suhu*pH*waktu suhu*pengawet*waktu pH*pengawet*waktu
Factorial Fit: gula red versus suhu, pH, pengawet, waktu * NOTE * Data in the worksheet do not appear to match the center point column. * NOTE * This design has some botched runs. It will be analyzed using a regression approach. Estimated Effects and Coefficients for gula red (coded units) Term Constant suhu pH pengawet waktu suhu*pH suhu*pengawet suhu*waktu suhu*pH*pengawet*waktu S = 1.76777
Effect 38.69 -26.69 28.94 -26.44 28.94 -30.69 22.44 -37.69
R-Sq = 99.98%
Coef 174.63 19.34 -13.34 14.47 -13.22 14.47 -15.34 11.22 -18.84
SE Coef 1.2500 0.6250 0.6250 0.6250 0.6250 0.6250 0.6250 0.6250 1.3975
T 139.70 30.95 -21.35 23.15 -21.15 23.15 -24.55 17.95 -13.48
P 0.005 0.021 0.030 0.027 0.030 0.027 0.026 0.035 0.047
R-Sq(adj) = 99.78%
Analysis of Variance for gula red (coded units) Source Main Effects 2-Way Interactions 4-Way Interactions Residual Error Pure Error Total
DF 4 3 1 1 1 9
Seq SS 7490.5 4565.1 568.1 3.1 3.1 12626.9
Adj SS 7490.53 4565.09 568.14 3.13 3.13
Adj MS 1872.63 1521.70 568.14 3.13 3.13
F 599.24 486.94 181.80
P 0.031 0.033 0.047
83
Unusual Observations for gula red Obs 1 2 3 4 5 6 7 8
StdOrder 1 2 3 4 5 6 7 8
gula red 158.875 169.625 54.375 162.875 172.875 175.125 179.125 173.375
Fit 158.875 169.625 54.375 162.875 172.875 175.125 179.125 173.375
SE Fit 1.768 1.768 1.768 1.768 1.768 1.768 1.768 1.768
Residual -0.000 -0.000 -0.000 -0.000 -0.000 -0.000 -0.000 -0.000
St Resid * * * * * * * *
X X X X X X X X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Estimated Coefficients for gula red using data in uncoded units Term Constant suhu pH pengawet waktu suhu*pH suhu*pengawet suhu*waktu suhu*pH*pengawet*waktu
Coef 89072.3 -1418.88 -8971.36 -1236.62 -95.7891 134.138 38.2551 2.62841 -0.0314063
* NOTE * Some factors have more than 2 levels, no alias table was printed.
Perhitungan persen pengaruh % pengaruh =
F a0 ( Xh - Xl )
x 100 %
keterangan : F : koefisien pengaruh a0 : intersep Xh : Nilai tinggi perlakuan Xl : Nilai rendah perlakuan Suhu (x1) % pengaruh suhu =
pH (X2) % pengaruh pH
=
19,34 174,63 ( 85 – 65 )
x 100 % = 0,554 %
13,34 x 100 % = 3,820 % 174,63 ( 9,5 – 7,5 )
Nisbah pengawet (x3) % pengaruh nisbah pengawet =
Lama inkubasi(X4) % pengaruh lama inkubasi
=
14,47 174,63 ( 7 - 3 )
x 100 % = 2,072 %
13,22 x 100 % = 0,126 % 174,63 ( 110 - 50 )
84
Lampiran 5 . Perubahan nira tebu selama penyimpanan 240 menit a. Perubahan kadar sukrosa (dalam brix) menit ke0 15 80 140 240
nira murni 7.6 7.5 7.2 7 6.9
pengawet 7.6 7.5 7.2 7.2 7.1
b. Perubahan kadar gula pereduksi (dalam %) menit ke 0 5 10 20 60 80 100 140 180 240
murni 0.72595 0.772034 0.460163 0.458477 0.403873 0.320585 0.263598 0.299341 0.305074 0.28619
pengawet 0.72595 0.696726 0.458898 0.376706 0.237634 0.245052 0.255168 0.275063 0.257191 0.244715
c. Perubahan total asam (dalam mleq) menit ke 0 20 40 80 130 180 240
murni 62.5 44.5 73.5 48.5 48.5 56.5 63.3
pengawet 62.5 32.0 37.5 28.0 27.5 25.8 47.8
d. Perubahan nilai pH menit ke 0 5 10 15 40 180 240 300
murni 5.1 5.2 5.2 5.0 4.5 4.4 4.3 4.3
pengawet 6.7 6.9 6.7 6.4 6.4 5.9 5.2 5.3
85
Lampiran 6 . Perubahan nira tebu selama penyimpanan 48 jam a. Perubahan kadar sukrosa (dalam %) jam ke0 2 4 6 8 10 16 24 36 48
murni 11.934 11.514 12.779 9.443 11.370 10.418 10.183 10.822 12.328 10.709
pengawet 11.934 10.797 9.420 9.189 9.930 11.437 10.842 10.294 10.979 10.796
b. Perubahan kadar gula pereduksi (dalam %) jam ke0 2 4 6 8 10 12 16 24 36 48
murni 0.196 0.225 0.283 0.308 0.350 0.372 0.427 0.564 0.690 1.016 0.311
pengawet 0.196 0.198 0.214 0.323 0.335 0.359 0.482 0.550 0.562 1.156 0.883
c. Perubahan total asam (dalam mleq) jam ke0 4 8 12 18 24 36 48
murni 11 7 19 20 30 27 37 45
pengawet 11 9 17 15 23 24 27 30
d. Perubahan nilai pH jam ke0 2 4 6 8 12 18 24 36 48
murni 4.7 6.1 4.6 4.5 4 3.6 3.5 3.3 3.2 3
pengawet 4.7 6.3 4.6 4.6 4.3 3.9 3.7 3.6 3.5 3.3