SKRIPSI
KAJIAN PENGARUH DOSIS DAN LAMA INKUBASI DEKSTRANASE TERHADAP DEGRADASI DEKSTRAN DALAM NIRA TEBU TERTUNDA GILING (KASUS SISTEM TEBANG TEBU HIJAU)
Oleh ISTRO SETIAWAN F34101073
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR ISTRO SETIAWAN. F34101073. The Influence of Doze and Incubation Time on The Degradation of Delayed Cane Juice Dextran by Dextranase (Case Study on Green Cane Harvest System). Under Supervision of Titi Candra Sunarti. 2007.
SUMMARY Indonesia had experience in glory time as strong self sufficient and sugar exporter country. So ironic, exactly now Indonesia was recorded as ten major sugar importer countries of the world. Increasing of Indonesia’s sugar import was caused by lower national sugar production that only about 50 % from all national sugar consumption (Arianto, 2003). High taxes of imported sugar is not a good solution to overcome this national sugar crisis. The best solution for sugar industry in Indonesia is by increasing the national sugar productivity that must integrated with classical problem faced by sugar factory. Most of cane harvesting in Indonesia were conducted by Green Cane Harvest System. Problems of delayed cane at sugar production process were caused by old milling equipment and low milling capacity, especially at cane milling season. Decreasing of cane quality as loss of sucrose caused by delayed milling is higher than loss at processing factory, especially by Leuconostoc mesenteroides bacteria infection in field, during transportation and production, that are capable for synthesis sucrose to dextran. According to MRLI (1998), 62 % of sucrose lost around the milling time caused by microbiological inversion. High dextran concentration also can cause increasing of juice viscosity and become various problem to sugar manufacturing processing. This condition significantly influenced to the decreasing sugar yield and quality, moreover to high risk economy costing for sugar factory according to Mochtar (1995) that can reach about Rp. 1.3-2.6 billion (4000 ton/day milling capacity at 150 day milling time). This research consist of preliminary and main research. Preliminary research was to determine the cane changes during delayed milling time, characteristics of delayed cane juice, profile of bacteria growth and dextran production during delayed time, and the characteristic of used dextranase. Main research was to study the effect of dextranase dozes and incubation times concerning to the reducing sugar content, dextran degradation content, viscosity, total suspended solid, and pH from the delayed cane during degradation process. The result showed that the change of cane quality was decreased by delayed milling time. The characteristic of milling delayed cane juice after 48 hours as follows : decreasing the juice volume yield until 51.15 ± 6.50 %, spesific grafity 1.352, TSS 12.5 ± 0.55 obrix, viscosity 1.18 ± 0.02 cP, total sugar content 144.27 ± 16.59 mg/ml, reducing sugar content 15.15 ± 2.65 mg/ml, sucrose content 131.99 ± 14.88 mg/ml, dextran content 230-240 ppm, temperature of juice 25-27 oC and pH 5.5. Profile of L. mesenteroides growth is normal and dextran production increased during delayed milling time. Dextran production pattern was mixed pattern of with the bacterial growth. The used dextranase has activity of 248.66 UD/ml, specific activity of 73.13 UD/mg protein, optimum temperature at 50 oC and optimum pH at 5.5. The result of main research shows the enzyme doze and incubation time increasing the reducing sugar and dextran degradation content, but reversely decreasing viscosity, pH and TSS of cane juice. The best combination treatment for dextran degradation in milling delayed cane juice is by using 80 UD of enzyme/l juice and 60 minutes of incubation time based on the increasing of
reducing sugar content and the amount of dextran degradation, and also monitored by the decreasing of viscosity that higher than another treatments. Analysis of variance and Duncan test shows that the increasing of reducing sugar content and the degradation of dextran are influenced by enzyme dozes, incubation time and both interactions, while viscosity is influenced by incubation time and both interactions, the pH is influenced only by incubation time, and TSS is not influenced by all treatments. Partial correlation analysis shows that the increasing of reducing sugar content, degraded dextran, and decreasing of viscosity have correlations to each other. Decreasing of TSS only correlated to the decreasing of pH, while decreasing of pH also correlated with the decreasing of viscosity.
ISTRO SETIAWAN. F34101073. Kajian Pengaruh Dosis dan Lama Inkubasi Dekstranase terhadap Degradasi Dekstran dalam Nira Tebu Tertunda Giling (Kasus Sistem Tebang Tebu Hijau). Di bawah Bimbingan Titi Candra Sunarti. 2007.
RINGKASAN Indonesia pernah mengalami masa kejayaan sebagai negara swasembada dan eksportir gula yang kuat. Ironisnya, saat ini Indonesia justru tercatat dalam 10 negara pengimpor gula terbesar di dunia. Meningkatnya impor gula Indonesia disebabkan oleh rendahnya produktifitas gula nasional yang hanya mampu memenuhi 50 % dari total kebutuhan konsumsi gula nasional (Arianto, 2003). Kenaikan bea tarif masuk gula impor saja, bukan merupakan solusi terbaik dalam mengatasi krisis pergulaan nasional. Solusi terbaik bagi industri gula di Indonesia adalah dengan mengupayakan peningkatan produktivitas gula nasional yang harus terintegrasi dengan permasalahan yang sering dihadapi pabrik gula. Mayoritas panen tebu di Indonesia dilakukan menggunakan sistem tebang tebu hijau (STTH). Masalah tebu tertunda giling pada proses produksi gula disebabkan oleh tuanya alat giling dan rendahnya kapasitas giling, terutama saat musim giling. Turunnya kualitas tebu berupa kehilangan sukrosa akibat masa tunda giling (MTG) jauh lebih besar dibanding saat pengolahan di pabrik, terutama disebabkan oleh infeksi bakteri Leuconostoc mesenteroides yang mampu mensintesa sukrosa menjadi dekstran selama di lahan, pengiriman, dan produksi. Menurut MRLI (1998), kehilangan sukrosa sekitar masa giling sebesar 62 % disebabkan oleh inversi mikrobiologi. Konsentrasi dekstran yang tinggi dapat pula menyebabkan peningkatan viskositas nira dan menimbulkan berbagai permasalahan pada proses pengolahan gula. Kondisi ini berpengaruh nyata terhadap penurunan rendemen dan kualitas gula, bahkan beresiko terhadap biaya ekonomi tinggi yang menurut Mochtar (1995) dapat mencapai Rp 1,3 - 2,6 milyar (kapasitas giling 4000 ton/hari dan masa giling 150 hari). Penelitian ini terdiri atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mempelajari perubahan tebu selama MTG, karakteristik nira tebu tertunda giling, pola pertumbuhan bakteri dan produksi dekstran selama MTG, serta karakteristik dekstranase yang digunakan. Penelitian utama bertujuan untuk mengkaji pengaruh perlakuan dosis dan lama inkubasi dekstranase terhadap kadar gula pereduksi, kadar dekstran terdegradasi, viskositas, total padatan terlarut (TSS), dan pH nira tebu tertunda giling STTH selama proses degradasi dekstran dengan keluaran berupa kombinasi terbaik dari kedua perlakuan tersebut. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa penurunan kualitas tebu sangat dipengaruhi oleh MTG. Karakteristik nira tebu tertunda giling (48 jam) memiliki rendemen nira hingga 51,15 ± 6,50 %, spesific grafity 1.352, TSS 12,5 ± 0,5 obrix, viskositas 1,18 ± 0,02 cP, kadar total gula ± 127,68-160,86 mg/ml, kadar gula pereduksi 15,15 ± 2,65 mg/ml, kadar sukrosa 131,99 ± 14,88 mg/ml, kadar dekstran 230-240 ppm, suhu 25-27 oC dan pH 5,5. Pola pertumbuhan L. mesenteroides normal dan pola produksi dekstran meningkat selama MTG. Produksi dekstran yang terjadi merupakan pola campuran produksi produk dengan pertumbuhan bakteri. Dekstranase yang digunakan memiliki aktivitas 248,66 UD/ml, aktivitas spesifik 73,13 UD/mg protein, suhu optimum 50 oC dan pH optimum 5,5. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa dosis enzim dan lama inkubasi berpengaruh terhadap peningkatan kadar gula pereduksi dan kadar dekstran terdegradasi yang berakibat pada penurunan viskositas, pH, dan TSS nira
tebu. Kombinasi perlakuan terbaik untuk degradasi dekstran dalam nira tebu tertunda giling adalah dengan menggunakan dosis enzim 80 UD/l nira dan lama inkubasi 60 menit berdasarkan peningkatan kadar gula pereduksi dan peningkatan kadar dekstran terdegradasi tertinggi dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa peningkatan kadar gula pereduksi dan dekstran terdegradasi dipengaruhi oleh dosis enzim, lama inkubasi dan interaksi keduanya. Viskositas dipengaruhi oleh lama inkubasi dan interaksi keduanya, pH dipengaruhi oleh lama inkubasi, sedangkan brix tidak dipengaruhi oleh semua perlakuan. Analisa korelasi parsial menunjukkan peningkatan kadar gula pereduksi, peningkatan kadar dekstran terdegradasi dan penurunan viskositas saling berkorelasi. Penurunan TSS hanya berkorelasi dengan penurunan pH, sementara penurunan pH juga berkorelasi dengan penurunan viskositas.
KAJIAN PENGARUH DOSIS DAN LAMA INKUBASI DEKSTRANASE TERHADAP DEGRADASI DEKSTRAN DALAM NIRA TEBU TERTUNDA GILING (KASUS SISTEM TEBANG TEBU HIJAU)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh ISTRO SETIAWAN F34101073
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN PENGARUH DOSIS DAN LAMA INKUBASI DEKSTRANASE TERHADAP DEGRADASI DEKSTRAN DALAM NIRA TEBU TERTUNDA GILING (KASUS SISTEM TEBANG TEBU HIJAU)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh ISTRO SETIAWAN F34101073 Dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 November 1982 Tanggal Lulus : 2 Mei 2007
Disetujui, Bogor,
Agustus 2007
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi. Dosen Pembimbing PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “ Kajian Pengaruh Dosis dan Lama Inkubasi Dekstranase terhadap Degradasi Dekstran dalam Nira Tebu Tertunda Giling (Kasus Sistem Tebang Tebu Hijau )” merupakan hasil karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Agustus 2007 Yang membuat pernyataan,
ISTRO SETIAWAN F34101073
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 November 1982 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara dari pasangan Kastaman dan Kushartini. Penulis menempuh jenjang pendidikan di TK PURATA 2 Cibinong (1988-1989), SD PURATA 2 Cibinong (1989-1995), SLTP Negeri 1 Cibinong (1995-1998), dan SMUN 3 Bogor (1998-2001). Penulis pernah meraih NEM terbaik di tingkat SD dan termasuk 10 besar NEM terbaik pada kelulusannya di SLTP. Pada akhir pendidikan di SLTA, penulis berkesempatan mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2001 menjadi mahasiswa
di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa kuliah penulis bergabung dalam Himpunan Profesi Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) dan di luar kampus aktif dalam organisasi KARANG TARUNA di Kelurahan Pakansari Cibinong-Bogor dengan menjabat Ketua Bidang Kewirausahaan dengan harapan dapat berkesempatan menambah wawasan, berbagi pengalaman, dan mencari peluang mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya selama masa kuliah di masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Penulis menjalani Praktek Lapangan di PG/PS. Madukismo–PT. Madu Baru Daerah Istimewa Yogyakarta selama 2 bulan pada tahun 2004 dibawah bimbingan Dr. Ir. Agung P. Murdanoto, MAgr selaku Pembimbing Akademiknya dengan laporan yang berjudul “Mempelajari Efisiensi dan Optimasi Proses Produksi Alkohol dan Spiritus di PS. Madukismo – PT. Madu Baru Yogyakarta”. Penulis mengakhiri masa studinya di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Pengaruh Dosis dan Lama Inkubasi Dekstranase terhadap Degradasi Dekstran dalam Nira Tebu Tertunda Giling (Kasus Sistem Tebang Tebu Hijau)“ dibawah bimbingan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi sebagai Pembimbing Akademiknya pada periode tahun 2005-2007.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Pengaruh Dosis dan Lama Inkubasi Dekstranase Terhadap Degradasi Dekstran Dalam Nira Tebu Tertunda Giling (Pada Kasus Sistem Tebang Tebu Hijau)”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Strata satu pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi selaku Pembimbing Akademik yang telah menerima penulis menjadi anak bimbingannya atas dukungan, bimbingan serta arahan selama penelitian dan menyelesaikan penulisan skripsi. 2. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, Msi dan Ir. Prayoga Suryadarma, MT selaku Penguji Ujian Skripsi atas bimbingan dan arahan selama menyelesaikan skripsi. 3. Dr. Ir. Agung P. Murdanoto, MAgr yang pernah menjadi Pembimbing Akademik penulis atas ilmu dan pengalaman dalam menghayati jiwa dan nyawa dasar seorang TIN sejati. 4. Ir. Arief S., selaku Kabid. Produksi PT. Madu Baru Yogyakarta yang menginspirasikan penulis untuk menemukan arti pentingnya seorang TIN bagi industri dan masyarakat di sekitarnya. 5. Bapak, Ibu, dan kedua adikku atas suport moril maupun materil serta do’a tulus yang diberikan selama penulis menuntut ilmu di bangku kuliah. 6. Mas Dwi Cahyo selaku rekan se-penelitian, Firmansyah, dan Rifqi atas kebersamaan dan kerjasamanya selama penelitian dan penyelesaian skripsi. 7. Teman-teman TIN 38, adik-adikku TIN 39, serta para staf laboran TIN atas segala bantuan dan kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Bogor, Agustus 2007 Penulis DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................
v
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG .........................................................................
1
B. TUJUAN ..............................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. SISTEM TEBANG TEBU HIJAU (STTH) .......................................
4
B. TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum) ...................................
5
C. NIRA TEBU .......................................................................................
7
D. MASA TUNDA GILING (MTG) .......................................................
8
E. DEKSTRAN ......................................................................................
9
1. Karakteristik Dekstran ...................................................................
9
2. Dekstran Pada Produksi Gula Tebu ............................................... 10 3. Bakteri Produsen Dekstran (L. mesenteroides) ............................... 11 F. DEKSTRANASE ............................................................................... 14
III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 15 B. METODE PENELITIAN.................................................................... 15 a. Penelitian Pendahuluan ................................................................... 17 a. Pengamatan Fisik dan Rendemen Nira Tebu MTG STTH ....... 17 b. Karakterisasi Nira Tebu MTG 48 Jam STTH ........................... 17 c. Analisa Pertumbuhan Bakteri dan Produksi Dekstran STTH .. 17 d. Karakterisasi Dekstranase (Plus L dari NOVO) ...................... 18 2. Penelitian Utama ............................................................................. 19 C. RANCANGAN PERCOBAAN .......................................................... 19 D. ANALISA DATA .............................................................................. 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN ....................................................... 21 1. Pengamatan Fisik dan Rendemen Nira Tebu MTG 0-48 Jam STTH 21 2. Karakteristik Nira Tebu MTG 48 Jam STTH ................................... 22
3. Pola Pertumbuhan Bakteri dan Produksi Dekstran MTG STTH ...... 24 4. Karakteristik Dekstranase Plus L (Novo) ......................................... 31 B. PENELITIAN UTAMA........................................................................ 32 1. Kadar Gula Pereduksi ...................................................................... 35 2. Kadar Dekstran Terdegradasi............................................................ 37 3. Viskositas .......................................................................................... 42 4. Total Padatan Tersuspensi (TSS) ..................................................... 44 5. pH ..................................................................................................... 46 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .................................................................................... 49 B. SARAN ................................................................................................ 50 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 51 LAMPIRAN .................................................................................................... 58
DAFTAR TABEL Halamanvii Tabel 1. Komposisi nira tebu .......................................................................
7
Tabel 2. Komposisi bahan non-gula nira tebu .............................................
7
Tabel 3. Pengamatan fisik dan rendemen nira dari tebu tertunda giling ...... 21 Tabel 4. Karakteristik nira tebu tertunda giling 48 jam ................................ 22
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Sistem tebang tebu hijau manual dan mekanis (ASCL, 2005) ...
4
Gambar 2. Tanaman tebu (Saccharum officinarum).....................................
5
Gambar 3. Rumus bangun kimia sukrosa ....................................................
8
Gambar 4. Struktur dekstran α-1,6-glikosidik dan cabang α-1,4-glikosidik (Robty, 1995) ..............................................................................
10
Gambar 5. Penampakkan coccus L. mesenteroides dalam kultur cair (Breidt, 2004) ..............................................................................
12
Gambar 6. Skema aliran karbon dan energi melalui jalur utama Metabolic Pathway dari L. mesenteroides saat terjadi metabolisme terhadap sumber gula yang berbeda (Dols et al., 1997) .............
13
Gambar 7. Mekanisme reaksi pembentukan dekstran oleh dekstransukrase (Robty, 1995) ..............................................................................
13
Gambar 8. Diagram alir penelitian ...............................................................
16
Gambar 9. Penampakan fisik nira tebu tertunda giling (48 jam) ..................
22
Gambar 10. Kurva pertumbuhan bakteri (L. mesenteroides) selama MTG ...
25
Gambar 11. Penampakan L. mesenteroides pada media agar dari inokulasi nira tebu MTG 0, 12, 24 dan 48 jam STTH ...............................
26
Gambar 12. Penampakan dua biakan L mesenteroides pada medium glukosa (kiri) dan sukrosa (kanan) (Stanier et al., 1984) ............
26
Gambar 13. Perubahan ukuran sel bakteri L. mesentorides akibat terbentuknya dekstran seperti kapsul pada nira tebu tertunda giling ........................................................................................
28
Gambar 14. Kurva hubungan pertumbuhan bakteri dan produksi dekstran selama MTG STTH.....................................................................
29
Gambar 15. Aktivitas enzim relatif (%) dekstranase pada berbagai perlakuan suhu berbeda ..............................................................
31
Gambar 16. Karakteristik degradasi dekstran T2000 pada berbagai kombinasi dosis dekstranase dan lama Inkubasi ........................
32
ix
Gambar 17. Mekanisme degradasi dekstran tipe endodekstranase dan eksodekstranase (Larsson, 2000) ...............................................
33
Gambar 18. Penampakan warna nira pasca degradasi dekstran selama 90 menit inkubasi menggunakan dekstranase pada berbagai dosis .
34
Gambar 19. Grafik kadar gula pereduksi nira pada berbagai kombinasi perlakuan dosis dekstranase dan lama inkubasi ..........................
36
Gambar 20. Grafik kadar dekstran terdegradasi nira pada berbagai kombinasi perlakuan dosis dekstranase dan lama inkubasi .......
38
Gambar 21. Grafik viskositas nira pada berbagai kombinasi perlakuan dosis dekstranase dan lama inkubasi ....................................................
43
Gambar 22. Grafik Total Suspended Solid (TSS) nira pada berbagai kombinasi perlakuan dosis dekstranase dan lama inkubasi .......
45
Gambar 23. Grafik pH nira pada berbagai kombinasi perlakuan dosis dekstranase dan lama inkubasi ....................................................
47
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur analisa nira tebu ........................................................
58
Lampiran 2. Data pertumbuhan bakteri dan produksi dekstran selama MTG STTH 0-48 jam ...............................................................
61
Lampiran 3. Stokiometri reaksi pada mekanisme pengaturan penggunaan sumber karbon dalam memperoleh energi ATP bagi sel L. mesenteroides ............................................................................
62
Lampiran 4. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan aktivitas dekstranase pada berbagai perlakuan suhu dan pola degradasi dekstran ....................................................................................
63
Lampiran 5. Karakteristik dekstranase plus L - NOVO (Sigma, 2007) ........
64
Lampiran 6. Data kadar dekstran (ppm) dan persentase dekstran selama proses degradasi dekstran (media dekstran T2000 SIGMA) ...
65
Lampiran 7. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan pola degradasi dekstran pada berbagai perlakuan dosis dekstranase yang berbeda ............................................................................
66
Lampiran 8. Data hasil analisa parameter degradasi dekstran dalam nira tebu tertunda giling STTH ........................................................
68
Lampiran 9. Hasil analisa sidik ragam parameter degradasi dekstran dalam nira tebu tertunda giling STTH .................................................
70
Lampiran 10. Hasil uji Lanjut Duncan parameter degradasi dekstran dalam nira tebu tertunda giling STTH .................................................
72
Lampiran 11. Hasil uji korelasi parsial parameter degradasi dekstran dalam nira tebu tertunda giling STTH dengan kontrol perlakuan dosis dan lama inkubasi dekstranase ........................................
74
Lampiran 12. Tabel perhitungan rasio enzim-substrat (dekstran) dalam nira mentah .......................................................................................
75
Lampiran
13. Mekanisme pengikatan enzim (E) dan substrat (S) serta pengaruh inhibitor (I) (Anonim, 2001) .....................................
76
xi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia pernah menjadi negara swasembada dan eksportir gula yang kuat pada tahun 1930-an. Ironisnya, saat ini Indonesia tercatat sebagai negara importir gula terbesar di kawasan Asia dan nomor 2 di dunia (Isma’il, 2001). Kondisi ini disebabkan oleh tidak seimbangnya kebutuhan konsumsi gula nasional dengan produksi gula nasional di dalam negeri. Pada tahun 2007, konsumsi gula nasional diproyeksikan akan meningkat sebesar 3,99 juta ton (Indocommercial, 2003) dan pada tahun 2020 sebesar 5,1 juta ton (Hutabarat, 1998), sebaliknya produksi gula nasional cenderung terus menurun terus menurun sejak tahun 1994 dari 2,44 juta ton menjadi 1,85 juta ton pada tahun 2002 (Isma’il, 2001; BPS, 2002). Peningkatan produksi gula nasional pada tahun 2003 dan 2004 masing- masing sebesar 3,37 dan 2,20 juta ton (BPS, 2004), belum bisa diandalkan guna menutupi kebutuhan konsumsi gula nasional yang cenderung terus meningkat pada masa-masa mendatang. Rendahnya produktifitas gula nasional, terus mendorong Indonesia meningkatkan pasokan gula impor guna menutupi kebutuhan gulanya yang tinggi hingga hampir mencapai 50 % dari total kebutuhan konsumsinya (Arianto, 2003). Nilai tersebut belum termasuk impor gula ilegal yang sangat sering terjadi. Upaya menaikkan pajak bea tarif masuk gula impor hanya bersifat parsial dan jangka pendek. Upaya ini harus pula diiringi dengan peningkatan produktifitas pabrik gula selaku pihak produsen yang akan lebih efisien dan efektif dalam meningkatkan rendemen dan kualitas gula. Dalam implementasinya, upaya tersebut harus terintegrasi dengan permasalahan yang sering dialami dan diketahui mampu merugikan pabrik gula di Indonesia. Pabrik gula di Indonesia lebih banyak menggunakan Sistem Tebang Tebu Hijau (STTH), yaitu sistem tebang yang dilakukan dengan tenaga manusia tanpa didahului pembakaran. Keunggulan STTH diantaranya kesegaran tebu yang lebih terjamin, penyelesaian tebang dalam petak lebih longgar, dan kehilangan gula yang relatif kecil (Mindrayani, 2002), sedangkan
kekurangannya adalah adanya kotoran sisa tebang tebu seperti daun dan pucuk yang cukup besar. Kekurangan STTH ini diketahui dapat dialihkan menjadi sebuah keuntungan bila dikembangkan menjadi sumber pakan ternak, bahan bakar, pulp, kertas dan industri kayu yang memiliki nilai tambah secara ekonomis (Mirghani, 2003). Keuntungan ekstra ini menunjukkan bahwa sebenarnya STTH cukup efisien dan efektif, bila pabrik gula mampu mengontrol Masa Tunda Giling (MTG) yang sering terjadi pada proses produksi gula akibat tuanya umur alat giling dan rendahnya kapasitas giling. Menurut Cuddihy et al. (1999), turunnya rendemen dan kualitas tebu akibat terjadinya MTG jauh lebih besar dibandingkan saat pengolahan di pabrik. Kehilangan sukrosa sekitar masa giling sebesar 62 % dilaporkan oleh MRLI (1998) disebabkan oleh inversi mikrobiologi, terutama oleh infeksi bakteri Leuconostoc mesenteroides selama di lahan, pengiriman dan produksi. Bakteri ini memproduksi dekstransukrase yang mensintesa sukrosa menjadi dekstran. Kadar dekstran yang tinggi dalam nira bisa mengganggu produksi gula tebu. Selain berakibat terhadap kehilangan sukrosa, tingginya konsentrasi dekstran dapat pula meningkatkan viskositas nira yang berpengaruh nyata terhadap penurunan rendemen, kualitas gula, dan beresiko terhadap biaya ekonomi tinggi yang dilaporkan Mochtar (1995) dapat mencapai Rp 1,3–2,6 milyar (kapasitas giling 4000 ton/hari dan masa giling 150 hari). Dekstranase merupakan salah satu enzim ekstraselular yang berperan penting bagi industri gula karena kemampuannya menghidrolisis dekstran dalam nira. Menurut Murdiyatmo et al. (1994), pabrik gula berkapasitas 5000 ton/hari yang mengalami gangguan dekstran selama 2 minggu memerlukan dekstranase dengan biaya Rp. 100 juta. Berarti dalam masa giling 150 hari digunakan biaya kurang lebih sebesar Rp. 1,07 milyar. Biaya ekonomi tinggi akibat adanya dekstran di pabrik gula ternyata jauh lebih besar dibandingkan biaya penerapan dekstranase untuk mengatasi dekstran pada masa giling yang sama. Bahkan, menurut Thaniyavarn dan Yoshida (1967), penggunaan dekstranase dapat meningkatkan produksi pabrik gula sebesar 10 persen. Berdasarkan hal tersebut, maka penerapan dekstranase
2
memiliki harapan dari segi ekonomis untuk diaplikasikan pada pabrik gula untuk mencapai produktifitas gula yang tinggi. Dalam aplikasinya, penerapan dekstranase baru akan dilakukan bila kadar dekstran dalam nira diketahui telah mengganggu proses produksi di pabrik gula. Kondisi tertunda giling tebu pada sistem tebang tebu yang berbeda akan menghasilkan karakteristik nira dengan tingkat gangguan kadar dekstran terhadap proses produksi gula yang bervariasi. Berdasarkan hal ini, perlu dilakukan penelitian aplikasi dekstranase yang memperhatikan pengaruh sistem tebang tebu yang sering diterapkan. STTH lebih banyak diterapkan pada industri gula di Indonesia, sehingga penelitian aplikasi dekstranase yang dikhususkan terhadap nira hasil STTH dapat lebih spesifik meningkatkan produktifitas gula di Indonesia. Untuk memperoleh aplikasi terbaiknya, perlu dikaji pengaruh dosis dan lama inkubasi dekstranase terhadap proses degradasi dekstran terhadap nira tebu tertunda giling STTH. B. TUJUAN 1. Mempelajari pengaruh MTG tebu terhadap pertumbuhan bakteri dan produksi dekstran yang terjadi pada kasus STTH. 2. Menentukan karakteristik dekstranase yang digunakan meliputi suhu optimum, aktivitas, serta pola degradasi dekstran. 3. Mengkaji pengaruh perlakuan dosis dan lama inkubasi dekstranase serta memperoleh keluaran berupa kombinasi perlakuan terbaik proses degradasi dekstran dalam nira tebu tertunda giling pada kasus STTH.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SISTEM TEBANG TEBU HIJAU (STTH) Kegiatan pemanenan tebu lebih dikenal dengan istilah tebang tebu. Tebang tebu di Indonesia dilakukan setelah berumur 10-16 bulan, tergantung dari varietas tebu yang ditanam (Soebroto, 1980). Komponen penebangan adalah tebang, menyisik dan membersihkan, mengikat, memanggul ke Tempat Pemungutan Hasil (TPH), serta memuatnya ke alat angkut (Sitompul, 1984). Sistem tebang tebu dapat dilakukan menggunakan tenaga manusia (manual) atau mesin. Sistem tebang tebu manual menggunakan tenaga manusia
dilakukan
terhadap
bagian
yang
merapat
tanah
dengan
menghilangkan daun bagian atas, mengikat seluruh batang tebu menjadi satu, memindahkan satu ikatan batang tebu lengkap dari lahan menggunakan kereta angkut ringan, dan mengirimnya menggunakan transport besar menuju unit penggilingan. Sistem tebang tebu secara mekanis menggunakan mesin umumnya memerlukan waktu lebih pendek, meskipun perlakuannya sama dengan sistem tebang menggunakan tenaga manusia. Disamping itu, penggunaan mesin hanya cocok pada kondisi lahan yang topografinya relatif datar. Tebangan mesin dengan biaya dan faktor kehilangan proses tebang yang tinggi, menjadikan solusi ini tidak cocok bagi banyak produsen gula (Anonim, 2005). Sistem tebang tebu hijau manual dan mekanis dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sistem Tebang Tebu Hijau Manual dan Mekanis (ASCL, 2005)
Pelaksanaan sistem tebang tebu menggunakan tenaga manusia dibagi menjadi 3 sistem tebang, yaitu tebu ikat (bundled cane), tebu urai (loose cane), dan tebu potongan (chopped cane). Sistem tebang tebu ikat adalah sistem tebang
yang
pelaksanaan
tebang
dan
muatannya
dilakukan
menggunakan tenaga manusia, namun transportasinya dari lahan ke pabrik dilakukan menggunakan truk. Metode pelaksanaan sistem tebang tebu ikat terdiri dari STTH (green cane) dan sistem tebang tebu bakar (burn cane) (Mindrayani, 2002). STTH merupakan sistem tebang yang dilakukan tanpa didahului pembakaran, sedangkan sistem tebang tebu bakar merupakan sistem tebang yang didahului pembakaran untuk memudahkan penebangan dan mengurangi kotoran. Keunggulan
STTH
adalah
lebih
terjaminnya
kesegaran
tebu,
penyelesaian tebang dalam petak lebih longgar dan kehilangan gula (pol in cane) relatif kecil, sedangkan kekurangan STTH adalah kotorannya yang besar (Mindrayani, 2002). Namun, kotoran tersebut bisa dialihkan untuk produksi hasil samping yang bernilai ekonomis tinggi (Mirghani, 2003).
B. TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum) Tebu merupakan jenis tanaman unggulan dari genus Saccharum. Saccharum
spontaneum
adalah
varietas
liar,
sedangkan
Saccharum
officinarum adalah varietas yang dikembangkan untuk produksi gula komersial (Anonim, 2002).
Gambar 2. Tanaman Tebu (Saccharum officinarum) 5
Klasifikasi botani dari tanaman tebu adalah sebagai berikut : Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledone
Familia
: Poeceae
Genus
: Saccharum
Species
: S. officinarum
Tebu dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi yang tidak lebih dari 1400 m diatas permukaan laut (Anonim, 1992). Pada 6-9 bulan setelah masa tanam, tebu memerlukan air yang cukup untuk pertumbuhannya, masa ini disebut fase basah dan tiga bulan berikutnya disebut fase kering. Pada fase basah tebu mengalami fase vegetatif yaitu terjadinya pertumbuhan batang, sedangkan pada fase kering tebu mengalami fase generatif yaitu terjadinya pembentukan gula (Prihanto, 2004). Tanaman tebu membutuhkan curah hujan yang tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif, sementara curah hujan yang tinggi setelah fase vegetatif akan menurunkan rendemen gula (Anonim, 1992). Sukrosa adalah komponen hasil asimilasi daun tebu terpenting untuk pembentukan dan pertumbuhan sel-sel baru selama masa pertumbuhan tebu. Pada tebu yang masih muda, kadar sukrosa tertinggi berada di dalam ruas-ruas bawah yang hampir sama dengan kadar sukrosa di ruas-ruas atas. Rendahnya kadar sukrosa pada ruas-ruas atas berhubungan dengan belum dewasanya ruas-ruas tersebut. Pada musim hujan atau bila tebu roboh, tunas-tunas muda tumbuh dari ruas bawah dekat tanah yang berpengaruh tidak baik terhadap proses pematangan tebu. Proses pematangan tebu adalah suatu gejala pada akhir pertumbuhan tebu yang menyebabkan penimbunan sukrosa di dalam batang (Sutardjo, 2002). Setelah ditebang, sebaiknya tebu diangkut secepat mungkin ke pabrik untuk segera digiling dalam 24 jam. Tebu yang ditahan lebih lama lagi akan menurun kualitasnya sejalan dengan aktifitas respirasi dan penguraian sukrosa yang berlanjut pada penurunan kandungan gula (Moerdokusumo, 1993). 6
C. NIRA TEBU Nira merupakan cairan yang keluar dari batang tebu. Pabrik gula hanya berfungsi sebagai alat ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi gula kristal. Nira tebu dalam keadaan segar terasa manis, berwarna coklat kehijauhijauan (Ananta dan Santoso, 1990) dengan pH dan suhu nira mentah pabrik gula sekitar 5,0–5,5 dan 50 oC (Sumarno, 1994). Selain komponen gula, nira juga mengandung komponen non-gula. Komposisi nira tebu disajikan pada Tabel 1 dan komposisi bahan non gula nira tebu disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi Nira Tebu a Komponen Nira Air Sukrosa Gula Pereduksi Zat Anorganik Zat Organik a
Kadar (%) 77-88 8-21 0,3-3 0,2-0,6 0,5-1
Goutara dan Wijandi (1985)
Tabel 2. Komposisi Bahan Non-Gula Nira Tebub Komponen Karbohidrat (Selain Gula) : o Hemiselulosa o Pektin Senyawa Nitrogen Organik : o Protein Tinggi (Albumin) o Protein Sederhana (Albuminosa dan Pentosa) o Asam Amino (Glisin, Asam Aspartat) o Asam Amida (Asparagin, Glutamin) Asam Organik (Selain Asam Amino) : o Akonitat, Oksalat, Suksinat, Glikolat dan Malat Amida (Asparagin, Glutamin) Pigmen (Zat Warna): o Klorofil, Antosianin, Sakaretin, Tannin Lilin, Lemak, Sabun Garam Anorganik : Fosfat, Klorida, Sulfat, Nitrat dari Na, K, Ca, Mg dan Fe Silika b Sumber : Honig (1953)
Kadar (%) 8,5 1,5 7,0 2,0 9,5 15,5 13 17,0 7,0 7,0 2,0
7
Kandungan utama nira tebu adalah sukrosa yang merupakan disakarida dengan rumus kimia C12H22O11 yang terdiri dari monosakarida glukosa dan fruktosa (Bailey dan Ollis, 1986). Sukrosa ditemukan dalam bentuk bebas di dalam tanaman, umumnya tanaman tebu (Saccharum officinarum) dan bit (Beta vulgaris) (Paryanto et al., 1999). Rumus bangun kimia sukrosa sebagai komponen utama nira tebu disajikan pada Gambar 3.
α -D-Glukosa
Gambar 3.
ß -D-Fruktosa
Rumus Bangun Kimia Sukrosa
Sifat sukrosa mudah larut dalam air. Daya larutnya dipengaruhi oleh suhu, zat lain yang terlarut dalam air, dan sifat zat tersebut. Makin tinggi suhu dan garam dalam air, makin tinggi jumlah sukrosa yang larut. Kelarutan sukrosa dalam nira tebu tidak saja disebabkan oleh suhu, namun bergantung pula dari kemurnian dan sifat bahan bukan sukrosa (Paryanto et al., 1999). Nira merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak akibat kontaminasi mikroba. Kerusakan nira sebenarnya sudah dimulai sejak awal produksi. Infeksi mikroba ke dalam nira terjadi akibat kontak antara batang tebu dengan pisau dan tanah (Mochtar dan Ananta, 1988). Kerusakan nira ditandai dengan rasa asam, berbuih putih, dan berlendir yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme terhadap kandungan sukrosa nira (Dachlan, 1984).
D. MASA TUNDA GILING (MTG) Hablur adalah gula sukrosa yang dikristalkan dan mencerminkan rendemen tebu. Rendemen yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh keadaan tanaman dan proses penggilingan di pabrik. Untuk mendapatkan rendemen yang tinggi, tanaman harus bermutu baik dan ditebang pada saat yang tepat (Purwono, 2003).
8
Keberhasilan sistem tebang selama masa pra-giling (tebang-angkuttunda giling) terlihat dari kemampuan menyuplai jumlah tebu yang sesuai dengan kapasitas giling, kontinuitas pengiriman tebu ke pabrik yang dipertahankan, kehilangan tebu dan gula seminimal mungkin di areal atau perjalanan, serta tetap terjaganya kesegaran tebu (Mindrayani, 2002). Transportasi merupakan kegiatan antara dua bilah pisau, yaitu pisau tebang di kebun dan pisau gilingan di pabrik (Pinem, 1984). Masalah penurunan rendemen atau kualitas yang berhubungan dengan transportasi dan cara panen disebabkan oleh keterlambatan giling serta adanya kotoran (Mochtar, 1982). Di Australia, selang waktu maksimum proses tebang hingga giling dianjurkan berkisar 12-16 jam (Robinson, 1976). Hal ini lebih baik dibanding penyediaan tebu giling pabrik gula di daerah tropis yang dapat beroperasi selama 24 jam/hari, dimana stok giling malam hari dipenuhi pada siang hari yaitu dari jam 06.00–18.00 sore (Pinem, 1984). Kondisi ini sering terjadi di Indonesia saat musim giling. Rendahnya kapasitas giling harus dihadapkan dengan jumlah tebu yang melimpah menyebabkan MTG tak terkendali. Kerusakan nira sebenarnya sudah dimulai sejak awal produksi. Infeksi mikroba ke dalam nira terjadi akibat kontak antara batang tebu dengan pisau dan tanah (Mochtar dan Ananta, 1988). Turunnya kualitas tebu berupa kehilangan sukrosa akibat tertundanya giling lebih besar dibanding kehilangan pada waktu pengolahan di pabrik (Mochtar, 1982). Kehilangan sukrosa sekitar masa giling terdiri dari beberapa sebab, diantaranya 13 % oleh inversi secara kimia, 25 % oleh efek kimia enzimatis, dan 62 % oleh inversi mikrobiologi. Bila tidak segera diatasi, masalah ini dapat berlanjut terhadap kehilangan sukrosa yang tidak terkendali (MRLI, 1998).
E. DEKSTRAN 1. KARAKTERISTIK DEKSTRAN Dekstran merupakan senyawa polimer glukosa yang dibentuk, terutama oleh ikatan α-1,6 glikosidik dan ikatan percabangan α-1,4, α-1,3 atau α-1,2-glikosidik. Senyawa dekstran mempunyai berat molekul berkisar
9
105-107, larut dalam air, tidak larut dalam etanol lebih dari 50 % serta menunjukkan perputaran spesifik (α) diatas + 120o (Miswar, 1998). Struktur dan komposisi dekstran sangat bervarisasi tergantung dari jenis mikroorganismenya dan juga ditentukan oleh kondisi kultivasi seperti konsentrasi sukrosa, pH, suhu dan aerasi. Dekstran biasanya terbentuk dari aksi enzim dekstransukrase pada sukrosa (Cuddihy et al., 1999). Ukuran, sifat dan jumlah percabangan dekstran bervariasi tergantung pada mikroba penghasil dan substratnya (Day, 2003). Struktur dekstran disajikan pada Gambar 4. CH2
CH2 O
O
OH
O
OH
CH2
OH
O
OH
CH2
O OH CH2
O O
OH
Ikatan α -1,6-Glikosidik
OH
CH2
O
OH
CH2
O O
OH
O O
OH
OH
O
OH
OH
O
OH
Ikatan α-1,4-Glikosidik
Gambar 4. Struktur Dekstran α-1,6-Glikosidik dan Glikosidik (Robty, 1995)
Cabang α-1,4-
2. DEKSTRAN PADA PRODUKSI GULA TEBU Dekstran merupakan sebuah polimer glukosa yang telah diketahui sejak abad 19. Terkadang ditemukan berupa lapisan tipis pada massa molekul yang besar selama proses produksi gula tebu dan gula bit (Hamdy et al., 1954). Dekstran pada produksi gula tebu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu dekstran setelah penebangan, dekstran antara proses penebangan dan penggilingan (MTG), serta dekstran saat penggilingan (Cuddihy et al., 1999). 10
Tebu selama di lahan, pengiriman dan produksi merupakan subyek yang mudah mengalami infeksi mikroba, terutama oleh Leuconostoc mesenteroides yang memproduksi dekstran (Cuddihy et al., 1999). Bakteri ini memasuki tebu melalui jaringan yang rusak akibat proses penebangan dengan mesin, pemotongan, pembakaran, pertumbuhan, pendinginan, serta penyakit dan hama (Singleton et al., 2002). Meskipun kondisi penebangan dan proses pengolahan tebu baik, penyusutan signifikan tetap terjadi sangat cepat setelah pemotongan. Semakin lama interval proses pemotongan hingga penggilingan, mampu meningkatkan kandungan dekstran secara nyata (Singleton et al., 2002). Adanya masalah cuaca seperti badai dan musim dingin dapat menyebabkan kerusakan pada tebu, sehingga MTG tidak bisa dihindari. Pada kasus ini, infeksi dan tingkat dekstran semakin tinggi pada tebu sebelum mencapai proses produksi (Cuddihy et al., 1999). Konsentrasi dekstran yang tinggi dalam nira bisa mengganggu produksi gula (Murdiyatmo, 1993). Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan viskositas nira dan menimbulkan berbagai permasalahan yang berpengaruh langsung terhadap pengolahan gula seperti menurunnya proses filtrasi, lambatnya ekstraksi, lamanya pemasakan, terendap dan terbentuknya kristal gula abnormal (memanjang) sehingga kualitas gulanya rendah, tersumbatnya pipa-pipa pabrik, meningkatnya penggunaan energi, rusaknya peralatan, menurunnya kapasitas, serta efisiensi pabrik yang berdampak ekonomis tinggi (Sumarno dan Mochtar, 1993; Widyantoro; 1996; Rauh et al., 1998).
3. BAKTERI PRODUSEN DEKSTRAN (L. mesenteroides) Terdapat lebih dari 200 tipe mikroorganisme penyebab proses penyusutan tebu, terutama didominasi oleh bakteri asam laktat dari spesies Leuconostoc mesenteroides, selain bakteri asam laktat lainnya (Tilbury, 1970). Polisakarida penyebab meningkatnya viskositas yang dapat menyebabkan kehilangan produk dan permasalahan pada produksi gula
11
tebu dan gula bit diproduksi oleh bakteri L. mesenteroides (Tallgren et al., 1999). Penampakan bakteri ini disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Penampakkan Coccus L. mesenteroides dalam Kultur Cair (Breidt, 2004) L. mesenteroides termasuk bakteri asam laktat, gram positif, tak berspora, serta merupakan bakteri anaerob fakultatif yang membutuhkan faktor tumbuh (growth factor) komplek meliputi asam amino, peptida, karbohidrat, vitamin dan ion logam (Lonvaud dan Funel, 2000). Sel bakteri ini lebih tahan terhadap keadaan fisik seperti panas, dingin atau radiasi dan bahan kimiawi yang tidak cocok (Stainer et al., 1984) sehingga termasuk bakteri osmofilik yang toleran terhadap konsentrasi gula tinggi (Frazier dan Westhoff, 1978). Dari beberapa organisme yang dapat berkembang biak dalam tebu, L. mesenteroides paling merusak karena dapat tumbuh pada batang tebu dan pada instalasi pabrik yang mampu mengubah 2-5 x 10-3 mg sukrosa/106 sel/jam (% sukrosa) pada suhu 35 oC (Kurniawan, 1995). Bakteri L. mesenteroides melakukan fermentasi terhadap glukosa menggunakan jalur pentosa-fosfat untuk memproduksi asam laktat, etanol dan CO2. Manitol juga diproduksi bila penerima elektronnya fruktosa, begitupun dekstran yang disintesa dari sukrosa (Lonvaud dan Funel, 2000). Beberapa galur L. mesenteroides dan Streptococcus mutans dapat menghasilkan dekstran yang dikatalisis oleh sukrosa glukosiltransferase atau glukan-sukrase atau dekstransukrase (Robty, 1992). Skema terjadinya aliran karbon dan energi melalui jalur metabolisme utama dari L. mesenteroides saat terjadi metabolisme terhadap gula sukrosa, glukosa dan fruktosa tersaji pada Gambar 6. 12
Gambar 6. Skema Aliran Karbon dan Energi melalui Jalur Utama Metabolic Pathway dari L. mesenteroides Saat Terjadi Metabolisme terhadap Sumber Gula yang Berbeda (Dols et al., 1997) Enzim yang diisolasi dari L. mesenteroides merupakan enzim yang bersifat inducible yaitu enzim yang hanya akan terbentuk apabila pada media tumbuhnya terdapat substrat tertentu (Robty, 1995). Dekstransukrase merupakan enzim ekstraselular atau sering disebut eksoenzim (Stainer et al., 1984). Dekstransukrase dikeluarkan dari sel yang mampu mensintesis dekstran dari sukrosa karena memiliki aktivitas glukotransfer yaitu kegiatan memindahkan gugus –OH dengan membentuk glukosida hingga terbentuk polimer dekstran yang membebaskan fruktosa, sehingga dekstransukrase disebut juga transglukosidase (Hasan, 1999). Mekanisme pembentukan dekstran oleh dekstransukrase setelah tercapai kondisi kesetimbangan (Robty, 1995) dapat dilihat pada Gambar 7. S
E
F
S
E.G
F
S
E.2 G
F
EGn + 1G
E + Gn + 1G
Ket : S= sukrosa, E= Enzim, F=Fruktosa, G=glukosa, n=jumlah glukosa, Gn + 1G d k t
Gambar 7. Mekanisme Reaksi Pembentukan Dekstransukrase (Robty, 1995)
Dekstran
oleh
13
F. DEKSTRANASE Dekstranase (1,6-α-glukan-6-glukohidrolase, EC 3.2.1.11) adalah enzim ekstraselular yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat memutus ikatan α1,6-glikosida dari dekstran (Kubo et al., 1993). Dekstranase bisa sangat ekonomis untuk meringankan berbagai masalah produksi yang berhubungan dengan dekstran (Cuddihy et al., 1999). Dekstranase merupakan enzim bersifat inducible yang untuk sintesisnya diperlukan suatu senyawa inducer pada media tumbuhnya (Miswar, 1998). Senyawa-senyawa analog substrat yang memiliki struktur komponen menyerupai substrat dapat digunakan sebagai induser yang disebut dengan gratuitos inducer (Wang et al., 1978). Kinetika reaksi dekstranase cukup komplek, karena sifat hidrolitiknya yang beraneka ragam terhadap dekstran, dimana pemutusan rantai dekstran dapat terjadi secara ekso maupun endohidrolitik (Okushima et al., 1991). Dekstranase tipe ekso menghidrolisis dekstran dengan melepaskan isomaltosa dan glukosa dari ujung non reduksi dekstran, sedangkan dekstranase tipe endo akan menghidrolisis dekstran dengan melepaskan oligosakarida (Iwai et al., 1994; Wynter et al., 1997). Karakteristik dekstranase dari bakteri berbeda dengan dekstranase dari jenis kapang. Pada substrat dekstran, dekstranase yang diproduksi bakteri dapat melepaskan lebih banyak gula pereduksi daripada dekstranase yang diproduksi kapang (Thaniyavarn et al., 1990). Suhu dan pH merupakan faktor yang sangat menentukan aktivitas enzim. Dekstranase beberapa mikroorganisme paling aktif pada pH 4,5-6,5 (Miswar, 1998). Efek dekstranase optimum diperoleh pada suhu 50-60o C. Efisiensi enzim maksimal dengan kecepatan normal terjadi pada pH 5.0-6.0 dan terus menurun pada pH dibawah 4,5, terutama bila proses lebih panjang dari 30 menit (CIC, 2002). Aplikasi dekstranase pada pabrik gula untuk mengurangi kandungan dekstran dalam nira memiliki kondisi optimum dekstranase yang sesuai dengan kondisi pH dan suhu nira mentah pabrik gula berkisar 5,0-5,5 dan 50 oC (Murdiyatmo et al., 1997; Sumarno, 1994).
14
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman tebu (Saccharum officinarum) dari lahan sekitar Bogor-Jawa Barat dan dekstranase Plus L dari Novo. Bahan kimia dan pereaksi yang digunakan meliputi Plate Count Agar (PCA), dekstran T2000 BM 2.000.000 dari L. mesenteroides (SIGMA), bufer sitrat, TCA, alkohol teknis 95 %, alkohol p.a. 96 %, fenol, H2SO4 pekat, DNS, NaOH, serta bahan kimia lainnya. Peralatan yang digunakan pada tahap persiapan sampel (ekstraksi nira) adalah pisau (golok), penggilingan tebu, saringan 150 mesh, dan ember. Pada tahap selanjutnya, peralatan yang digunakan meliputi peralatan gelas, autoklaf HiclaveTm HVE-50 HIRAYAMA, Quebec colony counter, Waterbath JISICO, inkubator Memmert, pH-meter, mikro pipet, sentrifus Hettich Zentrifugen Mikro 22 R, Comecta SA Cannon-Fenske Routine Viscometer, spektrometer HAACP, refraktometer, serta peralatan lainnya.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dibagi dalam beberapa tahapan meliputi pengamatan fisik dan rendemen nira tebu MTG STTH, karakterisasi nira tebu tertunda giling 48 jam STTH, pengamatan pertumbuhan bakteri (L. mesenteroides) dan produksi dekstran, serta karakterisasi dekstranase (penentuan suhu optimum, aktivitas dekstranase, dan pola degradasi dekstran). Penelitian utama adalah perlakuan dosis dan lama inkubasi dekstranase terhadap degradasi dekstran dalam nira tebu tertunda giling (48 jam) STTH. Pengamatan dilakukan terhadap kadar gula pereduksi, kadar dekstran terdegradasi, viskositas, TSS, dan pH nira selama proses degradasi dekstran berlangsung. Diagram alir penelitian secara lengkap tersaji pada Gambar 8.
Mulai
PENELITIAN PENDAHULUAN
Pengamatan Fisik dan Rendemen Nira Tebu MTG STTH
Perubahan Fisik Batang dan Rendemen Nira
Karakterisasi Nira Tebu Tertunda Giling 48 Jam STTH
Komposisi Nira Tebu MTG 48 Jam
Pola Pertumbuhan Bakteri Analisa Pertumbuhan Bakteri dan Produksi Dekstran Pola Produksi Dekstran Suhu Optimum Karakterisasi Dekstranase
Aktivitas Enzim dan aktivitas spesifik Pola Degradasi Dekstran
PENELITIAN UTAMA
Penentuan Dosis dan Lama Inkubasi Dekstranase Pada Nira Tebu Tertunda Giling STTH Dosis dan Lama Inkubasi Terbaik Selesai Gambar 8. Diagram Alir Penelitian
16
1. PENELITIAN PENDAHULUAN a. Pengamatan Fisik dan Rendemen Nira Tebu MTG STTH Penebangan tebu dilakukan menggunakan STTH. Selanjutnya, tebu dipindahkan dan diberi perlakuan MTG selama 0, 12, 24 dan 48 jam. Tebu MTG 0, 12, 24 dan 48 jam diamati perubahan secara fisik dan dihitung rendemen nira dari total bobot batang tebu. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui perubahan akibat MTG pada STTH.
b. Karakterisasi Nira Tebu MTG 48 Jam STTH Persiapan sampel dilakukan dengan mengekstraksi nira dari batang tebu tertunda giling 48 jam yang telah dibelah melalui 2-3 kali proses giling, kemudian disaring (150 mesh) untuk menghilangkan kotoran tak larutnya. Tahap ini bertujuan mengetahui karakteristik nira tebu yang dipengaruhi MTG 48 jam sebagai kondisi penundaan yang sering terjadi di pabrik gula dengan dugaan kadar dekstran yang lebih tinggi dibanding MTG lainnya. Pengamatan terhadap karakteristik nira tebu tertunda giling 48 jam meliputi analisa rendemen, specific grafity, TSS, viskositas, kadar total gula, kadar gula pereduksi, kadar sukrosa, kadar dekstran, suhu, dan pH dari nira tebu. Prosedur analisa lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
c. Analisa Pertumbuhan Bakteri dan Produksi Dekstran STTH 1. Analisa Pertumbuhan Bakteri (L. mesenteroides) Tahap ini bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan bakteri (L. mesenteroides) yang diamati menggunakan metode Total Plate Count (TPC) (Apriantono et al., 1989) terhadap sampel nira tebu tertunda giling 0, 12, 24 dan 48 jam STTH. Prosedur analisa pertumbuhan bakteri tersaji pada Lampiran 1. 2. Analisa Produksi Dekstran Tahap ini bertujuan mengetahui pola produksi dekstran yang diamati menggunakan metode kabut yang dimodifikasi (Mochtar,
17
1995) terhadap nira dari tebu tertunda giling 0, 12, 24 dan 48 jam STTH. Prosedur analisis dekstran tersaji pada Lampiran 1.
d. Karakterisasi Dekstranase (Plus L dari NOVO) 1. Penentuan Suhu Optimum Dekstranase Penentuan suhu optimum dilakukan pada 30, 40,50 dan 60 oC menggunakan metode DNS (Madhu et al., 1984) yang telah dimodifikasi. Sebanyak 2 ml dekstran T2000 (SIGMA) konsentrasi 0,03 % (300 ppm) dalam bufer sitrat pH 5.4 diinkubasi bersama dengan 1 ml dekstranase yang telah diencerkan 500x selama 15 menit pada suhu optimum yang telah ditentukan, kemudian gula pereduksi yang terbentuk diukur menggunakan metode DNS. Penggunaan suhu degradasi yang menghasilkan gula pereduksi tertinggi dimaksudkan untuk menentukan aktivitas optimum dekstranase tahap selanjutnya. 2. Penentuan Aktivitas Dekstranase Penentuan
aktivitas
dekstranase
dilakukan
menggunakan
metode DNS (Madhu et al., 1984) yang telah dimodifikasi, namun suhu yang digunakan merupakan suhu optimum hasil tahap sebelumnya (penentuan suhu optimum). Satu Unit Dekstranase (UD) didefinisikan sebagai jumlah enzim yang setara dengan 1µmol glukosa (gula pereduksi) dalam 1 menit. Aktivitas spesifik enzim didefinisikan sebagai Unit Dekstranase (UD)/mg protein. Kadar protein ditentukan menggunakan metode Bradford yang disajikan pada Lampiran 1. 3. Karakterisasi Pola Degradasi Dekstran Karakterisasi ini bertujuan mengetahui pola penurunan dekstran akibat proses degradasi dekstranase yang dianalisa menggunakan metode kabut (Mochtar, 1995). Nilai pH yang digunakan adalah pH dekstran pada kisaran 5,0-5,5 yang sesuai dengan pH alami nira, bahkan bagi aktivitas dekstranase. Suhu yang digunakan adalah suhu optimum hasil tahap penentuan suhu optimum. Percobaan dilakukan
18
dengan mendegradasi dekstran 1000 ppm menggunakan kombinasi perlakuan dosis dekstranase 0, 50, 75 dan 100 UD/l dekstran dan lama inkubasi 0, 60, 120, 150 menit. Keluaran berupa kisaran dosis enzim dan lama inkubasi terbaik digunakan untuk penelitian utama.
2. PENELITIAN UTAMA Penelitian utama bertujuan memperoleh kombinasi perlakuan dosis dekstranase dan lama waktu terbaik degradasi dekstran di dalam nira tebu tertunda giling pada kasus STTH. Sampel adalah nira tebu tertunda giling STTH 48 jam dengan perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi berdasarkan hasil penelitian pendahuluan. Proses degradasi dekstran dilakukan dengan mempertahankan pH alami nira tebu pada pH 5,0-5,5, sedangkan suhu yang digunakan adalah suhu optimum hasil penelitian pendahuluan. Pada tahap ini diamati perubahan pada nira yang didegradasi menggunakan berbagai kombinasi perlakuan dosis dan lama inkubasi yang berbeda. Pengamatan ini meliputi analisa kadar gula pereduksi, kadar total gula, viskositas, total padatan tersuspensi (TSS), dan pH nira selama berlangsungnya proses degradasi dekstran dalam nira tebu tertunda giling STTH. Prosedur analisa secara lengkap tersaji pada Lampiran 1.
C. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktorial. Faktor A adalah dosis dekstranase dan faktor B adalah lama waktu degradasi dekstran, yang masing-masing terdiri atas 4 taraf faktor A (0, 80, 100, 120 UD/l nira tebu) dan 4 taraf faktor B (0, 30, 60, 90 menit) dengan 2 kali ulangan, sehingga terdapat 32 unit percobaan secara duplo. Model matematis (Sudjana, 1992) yang digunakan adalah : Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + Σ k(ij)
19
Dengan i = 1,2,3,4 ; j = 1,2,3,4; dan k = 1,2 ; dimana : Yijk
: variabel respon karena pengaruh faktor ke i terhadap faktor ke j
µ
: efek rata-rata sebenarnya
Ai
: efek sebenarnya taraf ke i (faktor dosis dekstranase)
Bj
: efek sebenarnya taraf ke j (faktor lama inkubasi degradasi dekstran)
ABij : efek kombinasi faktor taraf ke ij (faktor kombinasi dosis dekstranase dan lama inkubasi) Σ (k) ij : galat (error) kombinasi faktor taraf ke ij dan faktor taraf ke k.
D. ANALISA DATA Data hasil percobaan diolah menggunakan analisa sidik ragam (uji F). Apabila analisa sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata Duncan pada tingkat kepercayaan 95%. Untuk analisa pengaruh antar parameter yang dianalisis digunakan uji korelasi parsial pada tingkat kepercayaan 95-99 %. Pengolahan data statistik dibantu menggunakan Software SPPS versi 10.0. dan Microsoft Excel 2003.
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Pengamatan Fisik dan Rendemen Nira Tebu MTG 0-48 Jam STTH Sampel adalah tebu berumur rata-rata lebih dari 10 bulan, berasal dari rumpun yang berdekatan dalam satu lahan, dan ditebang menggunakan STTH. Hal ini bertujuan untuk memperoleh sampel dengan populasi dan varietas tebu yang homogen. Hasil pengamatan fisik dan rendemen nira dari tebu tertunda giling 0, 12, 24 dan 48 jam tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Pengamatan Fisik dan Rendemen Nira dari Tebu Tertunda Giling
spesifik
MTG 0 Jam
Batang Tebu MTG MTG 12 Jam 24 Jam
Segar
Segar
Tidak Tampak Siang
Kadang Tampak Malam
Agak Kering Sering Tampak Siang
49.9
52.2
47.5
MTG 48 Jam
Perubahan Fisik : Kesegaran Batang Berkas Lendir Kental Berwarna Kemerahan Waktu Giling Rendemen Nira Mentah (% b/b)
Agak Kering Tampak Siang 49.0
Kesegaran batang tebu alami terlihat pada sampel tebu MTG 0 jam dan masih segar pada sampel tebu MTG 12 jam. Kondisi pada sampel tebu MTG 12 jam disebabkan pengaruh waktu giling pada malam hari, dimana proses penyerapan uap air dari udara terjadi setelah air dalam jaringan batang tebu teruapkan di siang hari. Hal ini berhubungan dengan sifat higroskopis bahan yang dijelaskan Syarif dan Irawati (1988) mampu menyerap air dari udara dan melepaskan air dalam bahan ke udara. Kondisi batang yang kering pada sampel tebu MTG 24 dan 48 jam disebabkan oleh penguapan air di siang hari. Munculnya berkas berwarna kemerahan diiringi cairan lendir kental pada batang bawah sampel tebu MTG 12, 24 dan 48 jam berindikasi terhadap
terbentuknya
dekstran
akibat
kontaminasi
Leuconostoc
mesenteroides pasca penebangan. Menurut Cuddihy et al. (1999),
pemotongan tebu menggunakan pisau dapat memperluas terbukanya bagian dalam tebu terhadap lingkungan dan berpotensi meningkatkan terjadinya infeksi Leuconostoc dari tanah yang mampu memproduksi dekstran. Penurunan kualitas tebu sangat dipengaruhi oleh MTG. Menurut MRLI (1998), semakin lama tebu tertunda giling dapat menghilangkan daya tahannya terhadap serangan mikroorganisme. Dalam hal ini, masalah cuaca seperti badai dan musim dingin dapat menyebabkan kerusakan tebu dan MTG yang tidak bisa dihindari sehingga infeksi dan dekstran pada tebu meningkat sebelum mencapai proses produksi.
2. Karakteristik Nira Tebu MTG 48 Jam STTH Menurut Dahlan (1984), adanya buih putih menunjukkan bahwa nira telah rusak akibat aktivitas mikroorganisme terhadap kandungan sukrosa nira. Penampakan fisik nira tebu MTG 48 jam yang berbuih putih dapat dilihat pada Gambar 9 dengan karakteristik seperti tersaji pada Tabel 4.
Gambar 9. Penampakan Fisik Nira Tebu Tertunda Giling (48 jam) Tabel 4. Karakteristik Nira Tebu Tertunda Giling 48 Jam Karakteristik Nilai Rendemen Nira (% b/b) 51,15 ± 6,50 1.352 Spesific grafity TSS (obrix) (25 oC) 12,5 ± 0,5 Viskositas (cp) 1,18 ± 0,02 Total Gula (mg/ml) 144,27 ± 16.59 Gula Pereduksi (mg/ml) 15,15 ± 2,65 Kadar Sukrosa (mg/ml) 131,99 ± 14,88 Kadar Dekstran (ppm) 230-240 Suhu (oC) 25-27 pH 5,5
22
Rendemen nira dengan rata-rata 51 % dari total batang tebu dipengaruhi oleh perbedaan ukuran batang, penanganan pasca panen tebu selama MTG, kondisi lingkungan seperti cuaca panas atau hujan, waktu giling siang atau malam, dan kondisi teknis saat proses giling. Nilai spesific grafity > 1 yang diperoleh dari refraktometer Abbe merupakan perbandingan nira mentah dengan air murni sebagai kontrol yang menunjukkan terdapatnya bahan selain air di dalam nira yang berhubungan dengan nilai TSS-nya. Padatan terlarut (TSS) dalam nira terdiri atas bahan gula dan non-gula (Purwono, 2003). Nilai TSS 12-13 o
brix sama dengan rata-rata TSS nira mentah pada stasiun gilingan PG.
Jatitujuh yang dilaporkan Purnama (2006), meskipun lebih rendah dari TSS nira berkualitas sebesar 17 obrix. Viskositas nira lebih besar dari viskositas air sebesar 1 cp. Hal ini menunjukkan adanya kandungan dekstran yang mampu meningkatkan viskositas nira akibat infeksi bakteri terhadap tebu selama tertunda giling. Kadar dekstran pada kisaran 230-240 ppm telah mendekati titik kritis kadar dekstran yang bisa mengganggu produksi gula di pabrik gula, yaitu 250 ppm (Kim, 2004). Oleh sebab itu, nira mentah tebu dengan MTG 48 jam perlu didegradasi dekstran didalamnya sebagai Pre-Treatment terhadap kemungkinan peningkatan kadar dekstran yang jauh lebih tinggi. Nilai total gula pereduksi yang lebih kecil dari kadar sukrosanya menunjukkan kondisi nira ini masih cukup baik. Kondisi ini dipertahankan selama MTG karena penyimpanan tebu yang utuh dari STTH. Hal ini berbeda dengan penyimpanan tebu setelah dipotong, dimana pengaruh mikroorganisme selama MTG akan lebih tinggi dengan lebih luasnya jaringan batang yang terbuka. Berhubungan dengan sifat umum hidratasi bahan, derajat pengikatan air terhadap bahan yang tinggi dari molekul air pembentuk hidrat dengan karbohidrat, menyebabkan sukar dihilangkannya bahan gula dari jaringan batang tebu. Suhu nira sebesar 25-27 oC lebih rendah dari suhu nira mentah di pabrik gula sebesar 50 oC (Sumarno, 1994). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan volume dan waktu giling antara penelitian dan pabrik gula.
23
Penelitian ini memiliki volume giling berkapasitas kecil dengan waktu giling yang cepat, sehingga suhu nira cepat menyesuaikan dengan suhu ruang. Pabrik gula memiliki volume giling yang besar dengan
durasi
pergesekan kontinu dua logam pada dua sisi penggilingan hingga siang dan malam yang mampu berefek meningkatkan suhu nira. Selain itu, menurut Purnama (2006) suhu nira dapat pula dipengaruhi oleh penambahan air imbibisi bersuhu 50 oC. Nira mentah tertunda giling 48 jam ini memiliki pH sebesar 5,5 yang cukup baik bila dibandingkan dengan pH nira tebu segar 5,3-5,5 (Prihanto, 2004). Stabilnya pH selama MTG disebabkan oleh perlakuan MTG pada kondisi batang utuh dan sifat nira tebu yang mangandung bufer alami berasal dari sel hidup didalamnya, termasuk dekstransukrase dari sel L. mesenteroides yang bercampur di dalam nira mentah. Menurut Suhartono (1989), enzim yang masih tercampur dengan komponen lain dari sel tempat asalnya, medianya sudah mengandung bufer alami dari cairan di dalam sel. Diduga semakin lama MTG, maka pH nira akan semakin rendah akibat peningkatan aktivitas mikroorganisme yang hidup di dalam nira tebu.
3. Pola Pertumbuhan Bakteri dan Produksi Dekstran MTG STTH Pabrik
gula
di
Indonesia
sering
bermasalah
dengan
tidak
terkontrolnya MTG tebu, terutama saat musim giling yang berakibat pada peningkatan produksi dekstran oleh bakteri L. mesenteroides yang menginfeksi tebu. Dengan mengetahui pola pertumbuhan bakteri dan produksi dekstran selama MTG, maka upaya-upaya untuk mengontrolnya dapat dilakukan sebelum mengalami kerugian yang jauh lebih besar pada tahap pasca giling. Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh data pertumbuhan bakteri L. mesenteroides seperti tersaji pada Lampiran 2. Pertumbuhan menyatakan pertambahan jumlah atau massa melebihi yang ada di dalam inokulum asalnya. Dengan memetakan logaritma jumlah sel terhadap waktu dapat diperoleh pola pertumbuhan bakteri (Pelczar dan Chan, 1986) yang tersaji pada Gambar 10.
24
Gambar 10. Kurva Pertumbuhan Bakteri (L. mesenteroides) Selama MTG Gambar 10 menunjukkan adanya pengaruh MTG terhadap pola pertumbuhan bakteri. Secara umum, pertumbuhan bakteri L. mesenteroides mengikuti pola pertumbuhan bakteri yang normal. Pertumbuhan bakteri ini telah terjadi selama MTG yang terlihat dari terdapatnya bakteri yang tumbuh pada MTG 0 jam. Diduga selama MTG bakteri ini mengalami fase pertumbuhan awal (lag). Bakteri ini tumbuh pesat setelah tebu mengalami MTG 12-24 jam diduga menunjukkan fase pertumbuhan eksponensialnya, sedangkan penurunan jumlah bakteri yang kecil setelah mengalami MTG 48 jam meski selisih MTG 24-48 jam cukup lama, diduga menunjukkan kondisi bakteri yang telah mengalami fase pertumbuhan stationernya. Menurut Pelczar dan Chan (1986), waktu generasi suatu spesies bakteri tertentu tidak sama pada segala kondisi dan tergantung dari cukup tidaknya nutrien dalam medium dan sesuai tidaknya kondisi fisik. Komposisi nira didominasi oleh kandungan sukrosa yang cocok untuk bakteri bersifat osmofilik seperti L. mesenteroides yang menurut Frazier dan Westhoff (1978) lebih toleran terhadap tingginya konsentrasi gula. Perbedaan komposisi nutrisi pada nira selama MTG menyebabkan penampakkan yang berbeda dari L. mesenteroides hasil inokulasi nira tebu tertunda giling 0, 12, 24 dan 48 jam yang tersaji pada Gambar 11.
25
(0 Jam)
(12 Jam)
(24 Jam)
(48 Jam)
Pengenceran
Pengenceran
Pengenceran
Pengenceran
Gambar 11.
Penampakan L. mesenteroides pada Media Agar dari Inokulasi Nira Tebu MTG 0, 12, 24 dan 48 jam STTH
Penampakan bakteri pada semua perlakuan MTG-STTH terlihat berbentuk bulat (coccus) putih sempurna seperti mukoid yang terdiri dari bulatan putih besar dan bulatan putih kecil. Ekspresi fenotip sel ditentukan oleh lingkungannya (Pelczar dan Chan, 1986). Sampel nira yang mengandung sukrosa terekspresi membentuk bulatan putih besar, sedangkan adanya glukosa dalam nira terekspresi membentuk bulatan kecil. Kondisi ini serupa dengan penampakan L. mesenteroides yang dilaporkan Stainer et al. (1984) yang terjadi pada media sukrosa dan glukosa seperti terlihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Penampakan Dua Biakan l. Mesenteroides pada Medium Glukosa (Kiri) dan Sukrosa (Kanan) (Stanier et al., 1984) Pada media sukrosa bentuk mukoid bakterinya lebih besar daripada yang tumbuh pada glukosa. Hal ini disebabkan oleh sintesis dan pengendapan dekstran secara besar-besaran di sekitar sel, sementara pada media glukosa pertumbuhan sel masih terjadi dengan hasil metabolit primer berupa asam laktat dan bukan dekstran. Variasi penampakan bulatan besar dan kecil dipengaruhi oleh komposisi kedua gula tersebut di dalam nira. Pada pembentukan dekstran dan levan, sintesis awal nukleotida gula mungkin dapat terjadi tanpa pemakaian ATP. Hal ini dilakukan untuk
26
mengawetkan
energi
ikatan
glikosidik
dalam
disakarida
sebagai
substratnya, sehingga perpanjangan rantai terjadi dengan transglikolasi. Untuk alasan ini, dekstran dan levan tidak dapat dibentuk dengan menggunakan monosakarida bebas, dimana sukrosa merupakan substrat khusus untuk sintesisnya. Akibatnya, bakteri penghasil dekstran dan levan membentuk bahan kapsul hanya bila ditumbuhkan pada medium berisi sukrosa (Stainer et al., 1984). Produksi tipe-tipe tertentu bahan-bahan kapsul dapat sangat menambah
kekentalan
medium
tempat
organisme
itu
dibiakkan,
menyebabkan gangguan seperti lendir yang menyumbat filter, membentuk lapisan pada pipa atau peralatan lain, serta mempengaruhi kualitas produk akhir (Pelczar dan Chan, 1986). Karakteristik pembentukan dekstran pada nira didominasi oleh induser sukrosa dan memiliki permasalahan yang sama dengan proses pembentukan kapsul diatas. Diduga, dekstran pada nira tebu industri
gula
merupakan
sebagian
kapsul
yang
terbentuk
guna
mengawetkan energi ikatan glikosidik dalam disakarida (sukrosa) yang bertindak sebagai indusernya. Hal ini sesuai dengan fungsi kapsul menurut Pelczar dan Chan (1986) sebagai pelindung dan gudang cadangan makanan bakteri. Kondisi ini juga menjelaskan ketahanan bakteri terhadap keadaan fisik seperti panas, dingin atau radiasi, bahan kimiawi yang tidak cocok (Stainer et al., 1984) dan mampu tumbuh baik pada instalasi pabrik (Kurniawan, 1995). Aktivitas enzim dapat diatur dengan pengendalian katalisis langsung berupa penggandengan mekanisme katalitik dengan proses lain dan pengendalian genetik berupa fenomena induksi dan represi enzim (Pelczar dan Chan, 1986). Pada lingkungan kaya sukrosa seperti nira, L. mesenteroides lebih banyak dipengaruhi oleh pengendalian genetik meliputi fenomena induksi dan represi (katabolit). Enzim yang disolasi dari bakteri ini bersifat inducible (Robty, 1995), sementara sukrosa merupakan substrat sekaligus induser bagi bakteri ini untuk menghasilkan dekstransukrase (Hasan, 1999). Pada Gambar 13 terlihat sel dikelilingi oleh kapsul yang terus menerus membesar dan terkesan seperti terjadi pembesaran sel. Hal
27
ini terjadi akibat terinduksinya sel oleh sukrosa (induser) yang dominan di dalam nira untuk menghasilkan dekstransukrase dan memproduksi dekstran. Sifat induksi menjelaskan fenomena sel muda yang masih bisa membentuk kapsul (dekstran) meski dalam bentuk bulatan kecil pada media nira.
Gambar 13. Perubahan Ukuran Sel Bakteri L. mesenteorides Akibat Terbentuknya Dekstran Seperti Kapsul pada Nira Tebu Tertunda Giling Menurut Bailey dan Ollis (1986), laju biosintesa enzim terinduksi peka terhadap pengaruh lingkungannya. Produksi dekstran oleh L. mesenteroides cenderung meningkat selama MTG tebu yang terakumulasi selama 0-48 jam disebabkan pengaruh lingkungan di sekitar lahan dan penanganan selama MTG. Hasil analisa produksi dekstran selama masa tunda giling tebu disajikan pada Lampiran 2. Setelah mengetahui karakteristik pertumbuhan bakterinya, perlu diketahui pula hubungan dengan produknya selama MTG. Dikenal 3 hubungan kinetika perumbuhan sel dan pembentukan produk yang tergantung peranan produk dalam metabolisme sel, yakni (1) pola pertumbuhan berasosiasi dengan pembentukan produk, (2) pola pertumbuhan tak berasosiasi dengan pembentukan produk, dan (3) pola campuran berasosiasi dan tak berasosiasi. Pola pertama umumnya dijumpai pada proses yang produknya merupakan metabolit primer misal gula 28
menjadi etanol dan laju pembentukan produk berbanding proposional dengan laju pertumbuhan sel. Pola kedua menghasilkan metabolit sekunder pada fermentasi curah yang umumnya terjadi pada fase akhir dan laju pembentukan produk cenderung berbanding proposional dengan konsentrasi selular dibandingkan laju pertumbuhan sel. Pola ketiga, umumnya terjadi pada proses fermentasi asam laktat, pululan dan xantan. Pada pola ini, laju pembentukan produk berbanding lurus baik dengan konsentrasi sel ataupun laju pertumbuhan (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994). Hubungan antara pertumbuhan bakteri L. mesenteroides dan produksi dekstran selama MTG 0-48 jam tersaji pada Gambar 14. 250
5.2 200 5 4.8
150
4.6
100
4.4 50
Kadar Dekstran (ppm)
Jumlah Bakteri (Log Koloni)
5.4
4.2 4
0 0
12
24
48
Masa Tunda Giling Pertumbuhan Bakteri
Gambar 14.
Kadar Dekstran
Kurva Hubungan Pertumbuhan Bakteri dan Produksi Dekstran Selama MTG STTH
Gambar 14 menunjukkan terjadinya hubungan antara produksi dekstran dan pertumbuhan sel bakteri yang terlihat berbanding lurus pada selang MTG 0-24 jam, sehingga diduga merupakan hubungan berasosiasi (pola pertama) yang memproduksi metabolit primer. Sekilas kondisi terinduksinya sel bakteri dengan adanya sukrosa yang dominan dalam nira terlihat seperti hubungan yang berasosiasi, namun mengingat dekstran merupakan metabolit sekunder dari bakteri asam L. mesenteroides yang produk primernya berupa asam laktat maka hubungan yang terjadi mutlak bukan termasuk pola hubungan berasosiasi (pola pertama). Tumbuhnya
29
bakteri sejak MTG 0 jam menunjukkan bahwa produksi metabolit primer (asetat, laktat, CO2 dan etanol) telah terjadi sejak tebu ditebang hingga tebu ditunda giling. Hal ini terjadi sebagai bentuk penggunaan sumber karbon dan energi berupa gula pereduksi untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel bakteri yang terjadi di dalam batang tebu. Dilaporkan oleh Lonvaud dan Funel (2000) bahwa pada media kultur kaya sukrosa, sebagian besar sukrosa dirubah di luar sel bakteri menggunakan dekstransukrase menjadi dekstran dan fruktosa yang tidak mendukung terhadap pertumbuhan bakteri. Pada bagian lain sel terjadi pula fosforisasi berupa induksi sukrosa fosforilase (GIP) dan konversi glukosa-6fosfat (G6P) menjadi produk heterofermentatif seperti laktat, asetat dan etanol. Diduga kedua proses tersebut terjadi sebagian dengan mekanisme yang ditentukan oleh kebutuhan sel dan sumber karbon di dalami nira. Selain itu, proporsi konsentrasi sel pada selang MTG 24-48 jam yang menurun dan kadar dekstran yang meningkat meski lebih kecil dibanding MTG lainnya berindikasi pada pola hubungan tak berasosiasi (pola kedua). Fenomena di atas menunjukkan bahwa pola hubungan produksi dekstran dan pertumbuhan bakteri L. mesenteroides bukan termasuk dalam pola satu atau pola kedua, namun cenderung merupakan pola hubungan campuran. Ciri pola campuran umumnya terjadi pada beberapa fermentasi seperti asam laktat, pululan dan xanthan yang pertumbuhan dan pembentukan produknya mempunyai hubungan sebagian (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994). Pola hubungan sebagian didukung oleh L. mesenteroides yang merupakan spesies bakteri asam laktat dengan hasil metabolit primernya berupa asam laktat dari glukosa, sementara dekstran dan manitol secara berurutan merupakan produk sekunder yang terbentuk karena adanya induser sukrosa dan fruktosa sebagai penerima elektron di dalam media nira. Produk asam laktat, dekstran, dan manitol dihasilkan secara proporsional dan terkadang bersamaan sesuai kebutuhan pertumbuhan dan energi dari sel. Produk tersebut terbentuk melalui kondisi aerob dan anaerob dalam media nira yang menentukan skema pengaturan dari mekanisme
30
penggunaan sumber karbon dalam memperoleh energi ATP bagi sel dengan stokiometri reaksi seperti yang tersaji pada Lampiran 3. 4. Karakteristik Dekstranase Plus L (Novo) Pada penelitian ini, pH optimum untuk degradasi dekstran tidak ditentukan lagi mengingat karakteristik nira tertunda giling 48 jam cenderung stabil pada pH ± 5,5 yang sesuai dengan penggunaan dekstranase Plus L yang aktif pada kisaran pH 5,0-6,0 (Sigma, 2007). Analisis sidik ragam menunjukkan pengaruh suhu yang nyata terhadap aktivitas dekstranase. Pada uji lanjutan Duncan diperoleh suhu 40 dan 50 oC tidak berbeda nyata, namun keduanya berbeda nyata dengan perlakuan suhu lainnya. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan dengan tingkat kepercayaan 99 % ini tersaji pada Lampiran 4. Pengaruh perlakuan suhu
Aktivitas Enzim Relatif (%)
yang berbeda terhadap aktivitas dekstranase dapat dilihat pada Gambar 15. 100 75 50 25 0 30
40
50
60
70
Suhu (oC)
Gambar 15. Aktivitas Enzim Relatif (%) Dekstranase pada Berbagai Perlakuan Suhu Berbeda Dekstranase Plus L memiliki aktivitas optimum pada kisaran suhu 40-50 oC yang termasuk dalam kisaran suhu 50-60 oC pada aplikasinya berdasarkan laporan Sigma (2007) pada Lampiran 5. Hasil uji dekstranase berupa pH 5,5 dan suhu optimum 50 oC digunakan untuk menentukan aktivitas dekstranase, pola degradasi dekstran dan penelitian utama. Hasil analisa dekstranase Plus L menunjukkan nilai aktivitas enzim sebesar 248,66 UD/ml enzim dan aktivitas spesifik sebesar 73,13 UD/mg protein enzim. Pola degradasi dekstran menggunakan dekstranase dapat
31
terlihat bila dilakukan pada suhu dan pH optimumnya. Penentuan ini dilakukan menggunakan konsentrasi dekstran yang tinggi disebabkan sifat dekstranase yang inducible terhadap dekstran. Perubahan dekstran selama degradasi dekstran T2000 dengan dekstranase tersaji pada Lampiran 6 dan terlihat pada Gambar 16.
Gambar 16.
Karakteristik Degradasi Dekstran T2000 pada Berbagai Kombinasi Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi
Berdasarkan Gambar 16, persentase penurunan kadar dekstran tertinggi terjadi pada perlakuan dosis enzim 100 UD/l substrat dan lama inkubasi 60 menit, sedangkan sampel tanpa enzim relatif tidak mengalami penurunan kadar dekstran. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan yang tersaji pada Lampiran 7 menunjukkan kadar dekstran dosis 0 UD/l substrat untuk semua lama inkubasi tidak berbeda nyata, sedangkan lama inkubasi 0 menit berbeda nyata dengan lama inkubasi 60, 120, dan 150 menit. Berdasarkan hasil ini, maka penelitian utama akan menggunakan perlakuan batas bawah dan batas atas dari dosis enzim 100 UD/l substrat, yaitu (sampel kontrol) 0, 80, 100 dan 120 UD/l substrat dan lama inkubasi adalah batas bawah dan batas atas dari lama inkubasi 60 menit, yaitu 0 (awal), 30, 60 dan 90 menit. B. PENELITIAN UTAMA Dekstran merupakan senyawa polimer glukosa yang dibentuk, terutama oleh ikatan α-1,6-glikosidik dan ikatan percabangan α-1,4, α-1,3, atau α-1,2
32
glikosidik (Miswar, 1998). Dekstranase (α-1,6-glukan-6-glukohidrolase, EC 3.2.1.11) adalah enzim ekstraselular yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat memutus ikatan 1,6-α-glikosidik dari dekstran (Kubo et al., 1993). Kinetika reaksi dekstranase cukup komplek, karena sifat hidrolitiknya yang beraneka ragam terhadap dekstran, dimana pemutusan rantai dekstran dapat terjadi secara ekso maupun endohidrolitik (Okushima et al., 1991). Endodekstranase menghirolisa ikatan α-1,6-glikosidik pada molekul dekstran dan melepaskan isomaltosakarida, terutama menjadi 3–5 unit glukosa secara memanjang, sedangkan eksodekstranase melepaskan satu persatu unit glukosa mulai dari ikatan terujung (luar) (Larsson, 2000). Mekanisme degradasi dekstran oleh dekstranase tipe endo dan ekso dapat dilihat pada Gambar 17. CH2
ENDODEKSTRANASE
O
O CH2
OH CH2
O
CH2
O CH2
OH O OH
O O
OH
CH2
OH
OH
CH2
O OH
O
CH2
O
OH
CH2 O
OH
O
O OH
OH
O OH
OH
O OH
O
O O
OH
OH
CH2
O OH
O
O
OH
O
OH
OH O OH
OH
OH
EKSODEKSTRANASE OH
Gambar 17. Mekanisme Degradasi Dekstran Tipe Endodekstranase dan Eksodekstranase (Larsson, 2000) Hasil degradasi kedua tipe tersebut merupakan glukosa yang merupakan gula pereduksi, sehingga analisa kadar gula pereduksi selama degradasi menjadi penting untuk mengetahui kadar dekstran yang telah terdegradasi. Hal
33
ini sesuai dengan pernyataan Johnson (1991) bahwa aktivitas dekstranase dapat diuji dengan menentukan gula pereduksi yang dibebaskan selama inkubasi campuran reaksi. Degradasi dekstran oleh dekstranase dapat pula diketahui melalui pengukuran penurunan viskositas. Hal ini juga penting mengingat dekstran termasuk senyawa polimer. Analisa TSS (Total Suspended Solid) dalam obrix untuk mengukur bahan gula nira yang terlarut kemungkinan juga mengukur padatan terlarut dari bahan non-gula nira. Dalam hal ini degradasi dekstran oleh dekstranase diduga mampu merubah komposisi padatan terlarut dalam nira, terutama senyawa dekstran yang larut air, sehingga analisa ini mi perlu dilakukan. Pengukuran pH perlu juga dilakukan terhadap nira selama didegradasi, mengingat karakteristik nira tertunda giling (48 jam) pada penelitian pendahuluan
yang
cenderung
dipertahankan
secara
alami.
Hal
ini
berhubungan dengan perubahan pH dan pengaruhnya terhadap pencapaian pH optimum dekstranase pada nira tanpa bufer untuk aplikasi yang lebih ekonomis. Perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi mengacu pada hasil penelitian pendahuluan, yakni dosis enzim 0 (kontrol), 80, 100 dan 120 UD/l nira dengan lama inkubasi 0 (awal), 30, 60 dan 90 menit. Suhu yang digunakan adalah suhu hasil penelitian pendahuluan sebesar 50 oC.
0 UD/l Nira
80 UD/l Nira
100 UD/l Nira
120 UD/l Nira
Gambar 18. Penampakan Warna Nira Pasca Degradasi Dekstran Selama 90 Menit Inkubasi Menggunakan Dekstranase pada Berbagai Dosis Penampakan nira yang terlihat berbeda pasca degradasi dekstran tersaji pada Gambar 18. Hasil analisa nira tertunda giling yang didegradasi dengan dekstranase meliputi kadar gula pereduksi, kadar dekstran terdegradasi, viskositas, total padatan terlarut (TSS) dan pH nira tertunda giling yang dijelaskan sebagai berikut : 34
1. Kadar Gula Pereduksi Dekstranase Plus L yang digunakan pada penelitian ini berasal dari kapang Chaetomium erraticum yang bersifat endodekstranase (Sigma, 2007). Dextranase kapang dari Chaetomium sp. memiliki hasil terbaik untuk degradasi dekstran pada nira hasil ekstraksi dan sirup nira dibandingkan dekstranase tahan panas dari beberapa bakteri yang mengalami penurunan aktivitas spesifik yang membuat penerapannya pada industri gula tidak aplikatif (Efrain, 2005). Beberapa endodekstranase yang berasal dari kapang dilaporkan Khalikova et al. (2005), diantaranya Penicillium luteum, P. funiculosum, P. lilacinum, P. notanum, Aspergillus carneus, Chaetomium gracile, Fusarium sp., dan Sporotrix schencki. Pada umumnya, endodekstranase dari kapang mampu menghirolisa ikatan α-1,6-glikosidik secara acak di dalam dekstran. Produk utamanya adalah isomaltosa, isomaltotriose dan sejumlah kecil glukosa bersama dengan oligomer yang tinggi. Dekstranase dari kapang C. erraticum merupakan endodekstranase yang mampu menghidrolisa secara acak ikatan dalam α-1,6-glikosidik dekstran, mampu menurunkan viskositas larutan dekstran, dan semakin lama waktu hidrolisisnya mampu menghasilkan glukosa dengan tingkat isomaltosa dan isomaltotriosa yang rendah (Deerland-Enzymes, 2005). Sumber endodekstranase dapat diperoleh dari kapang Chaetomium gracile yang masih termasuk genus Chaetomium sp. Menurut Khalikova et al. (2005), endodekstranase dari C. gracile mampu secara maksimal mendegradasi dekstran menjadi 55 % glukosa dibandingkan menjadi isomaltosa dan isomaltotriosa. Sifat ini sama dengan sifat dekstranase C. erraticum yang mampu menghasilkan glukosa dengan isomaltosa dan isomaltotriosa yang rendah. Berdasarkan hal ini, dekstranase yang digunakan memiliki sifat yang berbeda dengan sebagian endodekstranase dari kapang lainnya yang menghasilkan lebih banyak isomaltosa dan isomaltrotriosa daripada glukosa. Dilaporkan Khalikova et al. (2005), kekhasan tersebut juga dimiliki oleh endodekstranase dari P. luteum yang menghasilkan glukosa sebesar 55 % dari total produknya.
35
Gambar 19.
Grafik Kadar Gula Pereduksi Nira pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi
Hasil analisa kadar gula disajikan pada Lampiran 8. Rentang kadar gula pereduksi secara keseluruhan sangat bervariasi, yaitu berkisar 13,33418,842 mg/ml dengan rata-rata 15,920 mg/ml. Rata-rata kadar gula pereduksi selama proses degradasi dekstran dalam nira pada berbagai kombinasi perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi disajikan pada Gambar 19. Terlihat bahwa kadar gula pereduksi pada sampel nira yang ditambahkan enzim cenderung lebih tinggi dibanding sampel tanpa enzim. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 9 yang menunjukkan perlakuan dosis dekstranase, lama waktu inkubasi, serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi. Sifat dekstranase pada penelitian ini lebih banyak melepaskan glukosa dibandingkan isomaltosa dan isomaltrotriosa. Hal ini ditunjukkan dari hasil kadar gula pereduksi yang tinggi dari sampel nira menggunakan enzim daripada sampel yang tanpa menggunakan enzim. Fenomena menarik adalah terjadinya peningkatan kadar gula pereduksi pada sampel kontrol, meski tanpa penambahan dekstranase. Peningkatan kadar gula pereduksi pada sampel kontrol disebabkan oleh degradasi mikroorganisme lain di dalam nira yang mampu menginversi sukrosa menjadi gula pereduksi setelah proses giling, terutama karena 36
media nira cocok sebagai nutrisi mikroorganisme. Menurut Suhartono (1989), umumnya sumber energi bagi mikroba industrial adalah gula murni seperti glukosa, fruktosa, sukrosa murni atau gula asal molases, pati, selulosa, gula bit, sirup jagung, tepung serelia dan sebagainya. Berdasarkan uji lanjut Duncan pada pengaruh interaksi kedua perlakuan 95 % (Lampiran 10), diperoleh kombinasi perlakuan kadar gula pereduksi tertinggi adalah kombinasi dosis enzim 80 dan 120 UD/l nira dengan lama inkubasi 60 menit dengan nilai kombinasi terbaik pada dosis enzim 80 UD/l nira dan lama inkubasi 60 menit, sedangkan kadar gula pereduksi terkecil terjadi pada semua dosis pada saat awal inkubasi. Hasil analisa korelasi parsial dengan kontrol perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi (Lampiran 11) menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara peningkatan kadar gula pereduksi dengan peningkatan kadar dekstran terdegradasi (99 %) dan penurunan viskositas (95 %). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar gula pereduksi sebagian besar merupakan hasil proses degradasi dekstran oleh dekstranase dengan kemampuan menghasilkan gula pereduksi yang cukup tinggi, sedangkan penurunan viskositas nira disebabkan oleh terdegradasinya dekstran yang bersifat mampu meningkatkan viskositas larutan nira.
2. Kadar Dekstran Terdegradasi Analisa kadar dekstran pada penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kadar dekstran terdegradasi yang dinyatakan sebagai gula pereduksi produk degradasi dekstran dalam nira tebu (STTH). Menurut Johnson (1991), aktivitas dekstranase dapat diuji dengan menentukan gula pereduksi yang dibebaskan selama inkubasi campuran reaksi. Namun menurut Apriantono et al. (1989), metode Schaffer-Somogy dan metode DNS tidak spesifik karena akan mengukur seluruh senyawa pereduksi. Pada kondisi tersebut, penggunaan sampel kontrol dianggap penting untuk mengatasi bias pembacaan gula pereduksi hasil aktivitas mikroorganisme lain yang hidup dalam nira dan gula pereduksi hasil degradasi dekstran. Selisih kadar gula pereduksi dari keduanya merupakan
37
gula pereduksi dari proses degradasi dekstran oleh dekstranase yang diperoleh melalui pegurangan total gula dengan gula pereduksi, kemudian membandingkannya dengan sampel control untuk menghilangkan bias pembacaan kadar dekstran terdegradasi. Hasil perhitungan kadar gula pereduksi nira tersaji pada Lampiran 8. Kadar dekstran terdegradasi dari keseluruhan proses degradasi dekstran dalam nira bervariasi berkisar 0-2,453 mg/ml dengan rata-rata 0,307 mg/ml. Rata-rata kadar dekstran terdegradasi pada berbagai kombinasi perlakuan selama degradasi dekstran dalam nira disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20.
Grafik Kadar Dekstran Terdegradasi Nira pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi
Terlihat semua sampel yang ditambahkan dekstranase dibandingkan dengan sampel kontrol (dosis 0 UD/l Nira) mengalami peningkatan kadar dekstran terdegradasi dan menurun kadar dekstran terdegradasinya dengan semakin lamanya inkubasi. Kondisi ini sesuai dengan hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 9 yang menunjukkan perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi, serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kadar dekstran terdegradasi. Semakin tinggi dosis enzim cenderung menyebabkan laju degradasi dekstran semakin rendah. Pada tingkat penambahan dosis terkecil (dosis 80 UD/l nira), proses kesetimbangan reaksinya telah optimum dibandingkan 38
penambahan dosis 100 dan 120 UD/l nira. Berdasarkan uji lanjut Duncan pengaruh interaksi keduanya terhadap kadar dekstran terdegradasi pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 10) diperoleh kombinasi perlakuan terbaik dengan rata-rata kadar dekstran terdegradasi tertinggi adalah kombinasi dosis 80 UD/l nira dan lama inkubasi 30 menit yang berbeda nyata dengan kombinasi lainnya. Nilai positif kadar dekstran terdegradasi menunjukkan jumlah dekstran yang terdegradasi oleh dekstranase sehingga menambah kadar gula pereduksi nira setelah dibandingkan dengan sampel kontrol seperti yang terlihat pada perlakuan dosis 80 UD/l nira. Sementara nilai negatif kadar dekstran terdegradasi yang terus meningkat pada inkubasi akhir sampel 100 dan 120 UD/l nira setelah sebelumnya mencapai nilai positif tertingginya menunjukkan terjadinya penurunan kadar gula pereduksi secara umum yang terkonversi menjadi asam karena pengaruh mikroorganisme lain, terutama bakteri asam laktat yang masih bertahan hidup di dalam nira secara alami. Sementara, nilai negatif yang terjadi pada awal waktu inkubasi pada dosis tertinggi (120 UD/l nira) yang berlanjut menjadi nilai positif hingga mencapai nilai tertingginya menunjukkan masih terjadinya proses pembentukan dekstran oleh L. mesenteroides yang diketahui mampu bertahan hidup dalam nira yang konsentrasi gula tinggi. Diketahui L. mesenteroides terkadang mampu bertahan menghasilkan dekstransukrase
pasca
tebu
digiling
atau
saat
proses
degradasi
menggunakan dekstranase berlangsung. Namun, bakteri ini terhambat dengan perlakuan agitasi selama degradasi dekstran berlangsung dan sel cenderung mengalami autolisis sehingga proses degradasi dekstran meningkat. Hal ini terbukti dari perubahan nilai negatif kadar dekstran terdegradasi di awal waktu inkubasi menjadi bernilai positif setelahnya sebagai kondisi adanya dekstran yang terdegradasi. Hamdy et al. (1954) melaporkan bahwa penurunan viskositas sebagai indikasi terdegradasinya dekstran ternyata masih terjadi, meski pada media yang didegradasi tersebut ditambahkan kultur L. mesenteroides-512.
39
Kondisi telah optimumnya perlakuan dosis enzim 80 UD/l nira diduga disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Kesesuaian rasio enzim-substrat (dekstran) di dalam nira berhubungan dengan pembentukan ikatan kompleks enzim-substrat yang mempercepat degradasi dekstran dalam nira. 2. Kemungkinan adanya senyawa aktivator, khususnya ion logam di dalam nira. Menurut Miswar (1998), ion logam dalam bentuk garam yang mampu meningkatkan aktivitas dekstranase meliputi, ZnSO4, COCl2, FeCl3, MgCl2, MgSO4, Na2CO3, CaCl2, CuSO4, NaCl. Hal ini sesuai dengan laporan Honig (1953) bahwa komposisi non-gula nira mengandung garam organik K, Ca, Mg, Fe, Na, fosfat, klorida, nitrat sebesar 7 % dari keseluruhan bahan non gula. 3. Adanya campuran reaksi sukrosa, glukosa dan fruktosa di dalam nira mampu meningkatkan aktivitas degradasi dari dekstranase yang sangat menguntungkan untuk aplikasi dekstranase pada nira di pabrik gula (Murdiyatmo et al., 1997). Berdasarkan karakteristik kadar dekstran dalam nira tebu MTG 48 jam yang diketahui sekitar 240 ppm dan aktivitas enzim (dekstranase) sebesar 248,66 UD/ml enzim dilakukan perhitungan rasio enzim/ppm dekstran dalam nira mentah yang tersaji pada Lampiran 12. Perlakuan dosis 80 UD/l nira yang optimum setara dengan rasio enzim/dekstran dalam sampel nira mentah MTG 48 jam STTH yang optimal sebesar 0,0014 ml enzim/ppm dekstran. Nilai ini menunjukkan bahwa kadar dekstran dalam nira mentah sebesar 1 ppm terdegradasi secara optimal dengan penambahan 0,0014 ml enzim (dekstranase Plus L). Perbandingan rasio ini diharapkan fleksibel dan aplikatif untuk dapat digunakan pada proses degradasi dekstran menggunakan dekstranase dalam kondisi dan karakteristik nira mentah yang berbeda di pabrik gula. Sementara, pada dosis enzim yang jauh lebih tinggi (dosis 100 dan 120 UD/l nira) terjadi ketidaksesuaian rasio enzim-substrat (dekstran), dimana dekstranase yang ditambahkan terlalu banyak dan tidak sesuai dengan kadar dekstran dalam nira. Berlebihnya dekstranase yang
40
ditambahkan ke dalam nira mentah memungkinkan enzim untuk berikatan dengan senyawa inhibitor yang mampu menghambat aktivitasnya. Dilaporkan oleh Deerland-Enzymes (2005) bahwa dekstranase merk dagang dextranfree yang juga berasal dari C. erraticum terhambat oleh inhibitor ion logam Cu2+ dan Fe3+, sedangkan Khalikova et al. (2005) melaporkan dekstranase C. gracile terhambat oleh inhibitor Hg2+, Cu2+, dan Fe3+. Mekanisme pengikatan enzim (E) dan substrat (S) serta pengaruh inhibitor (I) disajikan pada Lampiran 13. Dari perbandingan sampel yang ditambahkan enzim terlihat laju reaksi perlakuan dosis 120 dan 100 UD/l nira membutuhkan waktu lebih lama untuk degradasi dekstran yang maksimum. Masih tercapainya degradasi dekstran yang maksimum pada kedua dosis meski membutuhkan waktu lebih lama berindikasi terhadap terjadinya penghambatan kompetitif. Menurut Suhartono (1989) pada penghambatan kompetitif, enzimnya masih mampu mencapai kecepatan maksimum normalnya, walaupun dalam waktu yang lebih lama bila pada lingkungan tersebut terdapat senyawa inhibitor. Untuk mengatasi penghambatan kompetitif dapat dilakukan dengan penambahan nira yang secara tidak langsung menambah dekstran yang dapat diikat oleh dektranase dalam nira. Menurut Suhartono (1989), penghambatan kompetitif dapat diatasi dengan menambahkan konsentrasi substrat yang memperbesar peluang bagi substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim. Menurut Boyer et al. (1959), jumlah induser yang berperan meningkatkan keaktifan enzim hanya sampai batas tertentu dan akhirnya menurunkan keaktifan enzim. Dalam hal ini, penambahan nira perlu diperhitungkan rasio kadar dekstran di dalam nira dengan dosis enzimnya. Proses degradasi dekstran oleh dekstranase merupakan proses hidrolisis yang membutuhkan air. Menurut Wilbraham dan Matta (1992), hidrolisis berarti pembelahan suatu molekul dalam air. Jika molekul terbelah, H+ dari air melekat pada salah satu produk, sedangkan OHberikatan pada produk lainnya. Menurut Suhartono (1989), air merupakan salah satu pelarut yang mempunyai konstanta dielektrik tinggi (pelarut polar) sehingga dapat mengatasi kecenderungan bersatunya ion-ion yang
41
berbeda muatan karena gaya tarik menarik listrik antara ion-ion tersebut. Pada proses hidrolisis dekstran terjadi pengurangan air dalam nira yang berakibat melemahnya kemampuan konstanta dielektrik dalam memisahkan ion yang berbeda muatan, sehingga ion-ion logam dalam nira menjadi lebih mudah berikatan dengan enzim. Selain itu, semakin lama degradasi dekstran, aktivitas dekstranase akan semakin rendah. Hal ini, disebabkan oleh penurunan kerja sisi aktif enzim yang telah banyak berikatannya dengan substrat (dekstran), inhibitor, dan aktivator di dalam nira. Hasil analisa korelasi parsial dengan kontrol perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi (Lampiran 11) menunjukkan hubungan peningkatan kadar dekstran degradasi terhadap peningkatan kadar gula pereduksi (99 %), bahkan timbul korelasi terhadap penurunan viskositas (95 %). Hal ini membuktikan bahwa degradasi dekstran dalam nira mampu menambah gula pereduksi yang sebelumnya telah ada dalam nira, sedangkan korelasinya dengan penurunan viskositas disebabkan oleh degradasi dekstran. Bertambahnya kadar gula pereduksi dapat memicu mikroorganisme lain untuk memanfaatkannya sebagai sumber karbon dan energi dengan mengubahnya menjadi asam yang terlihat sebagai nilai negatif diakhir waktu inkubasi selama degradasi dekstran. Tidak adanya korelasi kadar dekstran terdegradasi dengan pH disebabkan oleh kadar dekstran dalam nira yang didegradasi menjadi gula pereduksi terlalu kecil, namun hubungan ini diperkuat dengan nilai kadar dekstran terdegradasi dan pH yang sama-sama berkorelasi dengan viskositas sebagai salah satu parameter penting terdegradasinya dekstran yang memungkinkan berlanjut pada proses inversi gula pereduksi menjadi asam oleh mikroorganisme sebagai sumber karbon dan energinya. Selain itu, penurunan kerja sisi aktif enzim di akhir waktu inkubasi akibat berkurangnya air selam proses hidrolisis turut mendukung terbentuknya asam oleh aktivitas mikroorganisme tersebut di dalam nira.
3. Viskositas Cara lain untuk mengetahui degradasi dekstran oleh dekstranase adalah melalui pengukuran penurunan viskositas (Johnson, 1991).
42
Viskositas dari keseluruhan proses degradasi dekstran dalam nira sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 0,803 cp-1,581 cp dengan rata-rata 0,975 cp yang tersaji pada Lampiran 8 dan Gambar 21. 1,45
1,35
Vis kos itas (c p)
1,25
1,15
1,05
0,95
0,85
0,75 0
30
60
90
L ama Inkubas i (Menit) 0 UD/l nira
80 UD/l Nira
100 UD/l nira
120 UD/l nira
Gambar 21. Grafik Viskositas Nira pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi Penambahan enzim tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan viskositas disebabkan oleh masih rendahnya kadar dekstran di dalam substrat nira mentah MTG 48 jam STTH, yakni pada kisaran 230-240 ppm berada dibawah titik kritis dekstran dalam nira yang bisa mengganggu proses produksi gula yang dilaporkan Kim (2002) sebesar 250 ppm. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sidik ragam yang diperoleh hanya perlakuan lama waktu inkubasi yang berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas nira, sedangkan perlakuan dosis enzim dan interaksi keduanya tidak pengaruh nyata terhadap nilai viskositas nira (Lampiran 9). 43
Hasil uji lanjut Duncan pada pengaruh perlakuan lama inkubasi terhadap rata-rata viskositas nira (95%) (Lampiran 10) diperoleh lama inkubasi 0 menit berbeda sangat nyata dengan ketiga lama inkubasi lainnya, sedangkan lama inkubasi 30, 60, 90 menit tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan dosis enzim. Meskipun tidak berbeda nyata, dosis enzim dengan penurunan viskositas tertinggi diperoleh pada dosis enzim 80 UD/l nira diikuti 100, 120 dan 0 UD/l nira (kontrol) pada lama inkubasi 30 menit. Menurut Said (1989), bila sumber karbon yang digunakan adalah suatu polimer, maka viskositas cairan fermentasi bakterial atau kapang menurun dengan meningkatnya fungsi waktu dan besarnya proporsional dengan aktivitas pertumbuhan dan hidrolisis pada kultur cairan fermentasi. Adanya penurunan viskositas dari sampel kontrol disebabkan oleh faktor selain degradasi dekstran oleh dekstranase, karena sampel tanpa ditambahkan enzim. Penurunan viskositas ini berhubungan dengan aktivitas mikroorganisme dalam nira yang mampu mengubah molekul tertentu yang terbaca sebagai viskositas. Selain itu, penurunan viskositas dapat juga dipengaruhi oleh suhu. Dilaporkan Pandji (1986), penerapan suhu (udara) yang biasanya panas selama fermentasi bertujuan untuk menanggulangi hambatan transfer massa yang disebabkan oleh tingginya kekentalan. Hasil uji korelasi parsial (Lampiran 11) dengan kontrol perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi, diperoleh penurunan viskositas memiliki hubungan dengan kadar gula pereduksi, kadar dekstran terdegradasi dan pH (95 %). Penurunan viskositas berkorelasi dengan peningkatan kadar gula pereduksi disebabkan oleh terdegradasinya dekstran menjadi gula pereduksi, sedangkan pengaruh mikroorganisme yang mampu mengubah gula pereduksi tersebut menjadi asam menjelaskan korelasi penurunann viskositas dengan penurunan pH nira, mengingat sumber karbon yang sederhana jauh lebih mudah disintesa oleh mikroorgaisme.
4. Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid) TSS adalah kadar total padatan yang terlarut di dalam bahan utama (AOAC, 1990) dengan satuan yang digunakan adalah obrix. Pabrik gula
44
umumnya menggunakan TSS karena sifat pengukurannya yang mudah dengan menggunakan nilai koreksi obrix. Nilai koreksi obrix merupakan kelemahan analisa ini untuk mengukur kadar gula sebagai padatan terlarut, karena TSS dalam nira bukan hanya kadar gula tetapi juga bahan terlarut non-gula. Pada penelitian ini, total padatan tersuspensi diukur menggunakan refraktometer dengan hasil yang bervariasi, yaitu berkisar 10,297-13,298 % brix dengan rata-rata 11,868 % brix (Lampiran 8). Grafik TSS pada berbagai kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Gambar 22. 13,00
o
TS S ( B rix )
12,50 12,00 11,50 11,00 10,50 10,00 0
30
60
90
L a m a Inkuba si (Me nit) 0 UD/l nira
80 UD/l Nira
100 UD/l nira
120 UD/l nira
Gambar 22. Grafik Total Suspended Solid (TSS) Nira pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis enzim, lama inkubasi dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan TSS (Lampiran 9). Hal ini terlihat sebagai nilai penurunan TSS yang sangat kecil dari setiap kombinasi perlakuan termasuk sampel kontrol disebabkan oleh konsentrasi dekstran yang rendah dalam nira, meski degradasi berlangsung terhadap dekstran. Meskipun tidak berbeda nyata, terlihat perlakuan dosis enzim 80 UD/l nira jauh lebih cepat penurunan TSS-nya dibandingkan dengan dosis enzim lainnya. Selain itu, sampel yang diberi dekstranase cenderung penurunan TSS-nya terukur lebih 45
tinggi dari sampel kontrol. Hal ini disebabkan oleh adanya dekstran sebagai padatan terlarut dalam nira yang terdegradasi (terhidrolisis). Berdasarkan uji korelasi dengan kontrol pengaruh interaksi kedua perlakuan (Lampiran 11), penurunan TSS tidak berkorelasi dengan penurunan viskositas, namun berhubungan dengan penurunan pH (99 %). Penurunan pH nira mampu menurunkan TSS dengan efek yang kecil disebabkan oleh sifat padatan terlarut dalam nira yang terpresipitasi saat kondisi pH nira semakin asam. Kondisi tersebut juga didukung oleh pengaruh suhu tinggi yang mampu menurunkan hambatan transfer massa pada larutan kental (Pandji, 1986). Pengaruh keduanya mendukung terjadinya penurunan TSS sampel kontrol, meski tanpa diberi enzim. Penurunan viskositas tidak berkorelasi terhadap penurunan TSS karena dikarenakan keduanya merupakan parameter ukur yang berbeda. TSS hanya mengukur total padatan terlarut dalam nira, sedangkan viskositas merupakan frekuensi tumbukan yang terjadi antara partikel padatan yang terlarut dalam media nira sebagai hambatan pergerakan padatan secara fisik. Pengukuran TSS lebih mengukur jumlah padatan yang terlarut saja dalam nira, sedangkan viskositas mengukur nilai hambatan fisik adanya padatan terlarut dan tak terlarut di dalam nira yang dipegaruhi sifat Newtonian atau Non-Newtonian.
5. pH Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi (Suhartono, 1989). Kondisi pH nira mentah dalam pabrik gula berkisar pH 5,0–5,5 (Purnomo, 1995) telah sesuai dengan kondisi degradasi media dekstran pada penelitian pendahuluan sekitar pH 5,5 dengan persen degradasi dekstran mencapai 95-99 % (optimum), sehingga degradasi dekstran pada penelitian ini terhadap nira dapat dilakukan tanpa buffer. Kesesuaian pH optimum aktivitas dekstranase dan pH media nira dalam aplikasinya di industri gula tanpa menggunakan bufer dapat meminimalkan biaya produksi gula yang tinggi.
46
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa lama waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap pH nira, sedangkan perlakuan dosis enzim dan interaksi keduanya tidak pengaruh nyata terhadap pH nira (lampiran 9), Pengaruh lama inkubasi terhadap penurunan pH nira selama degradasi dekstran dalam nira disajikan pada Gambar 23. 5,54 5,52
pH
5,50 5,48 5,46 5,44 5,42 5,40 0
30
60
90
L a m a Inkuba si (Me nit) 0 UD/l nira
80 UD/l Nira
100 UD/l nira
120 UD/l nira
Gambar 23. Grafik pH Nira pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi Berdasarkan uji lanjut Duncan pengaruh lama inkubasi terhadap nilai pH nira pada tingkat keparcayaan 95 % (Lampiran 10) diperoleh pH nira pada lama inkubasi 0 menit (awal) tidak berbeda nyata dengan lama inkubasi 30 menit, namun berbeda nyata dengan lama inkubasi 60 dan 90 menit, sedangkan perlakuan lama inkubasi 30, 60 dan 90 menunjukkan hasil yang saling tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan dosis enzim cenderung mengalami penurunan dengan semakin lamanya inkubasi. Penurunan pH secara nyata bukan disebabkan oleh pengaruh dosis enzim, tetapi lebih dipengaruhi lama inkubasi yang lebih lama. Pengaruh lama inkubasi ini berhubungan dengan aktivitas mikroorganisme yang meningkat. Diketahui kerusakan nira ditandai dengan rasa asam, berbuih putih dan berlendir terjadi karena aktivitas mikroorganisme terhadap
47
kandungan sukrosa nira (Dachlan, 1984). Adanya nutrisi bagi pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam nira memungkinkan terjadinya penurunan pH yang mengkonsumsi gula pereduksi dengan produk berupa asam, termasuk bakteri asam laktat Leuconostoc sp. Pengaruh penurunan pH oleh bakteri asam laktat sesuai dengan laporan Tilbury (1974) yang telah mengisolasi lebih dari 200 mikroorganisme pada kasus penyusutan tebu di India Barat dan Inggris, dimana diperoleh 80 bakteri merupakan bakteri asam laktat yang didominasi bakteri Leuconostoc mesenteroides, selain oleh bakteri homofermentatif Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus casei. Berdasarkan uji korelasi parsial diperoleh penurunan pH berkorelasi dengan penurunan viskositas dan TSS (99%) (Lampiran 11). Pada penurunan pH, kondisi nira menjadi jenuh dengan ion H+ yang reaktif terhadap anion dalam nira, sehingga mudah membentuk senyawa garam yang mengendap dan cenderung menurunkan viskositas nira. Penurunan viskositas nira lebih disebabkan oleh degradasi dekstran dibanding senyawa garam dari penurunan pH. Sementara, terjadinya korelasi penurunan pH dengan penurunan TSS diduga disebabkan oleh kation H+ jenuh dan mikroorganisme lain dalam nira. Hal ini mempercepat proses sintesa gula pereduksi menjadi asam, sehingga secara tak langsung menurunkan padatan terlarut (TSS). Jenuhnya ion H+ kemungkinan disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme lain, selain dari proses hidrolisa degradasi dekstran oleh dekstranase. Pengaruh kombinasi proses degradasi dekstran oleh dekstranase dan adanya aktivitas mikrorganisme lain dalam nira. Selama degradasi dekstran, beberapa mikroorganisme tertentu mampu bertahan hidup dalam nira, salah satunya L. mesenteriodes yang mampu memproduksi asam laktat dan menurunkan pH nira. Terjadinya degradasi dekstran dan adanya miukroorganisme lain yang hidup dalam nira mentah dapat menyebabkan penurunan pH nira, sehingga nira cenderung asam bila masa pasca giling tebu terlalu lama. Pengaruh kombinasi kedua pengaruh tersebut terbukti dengan lebih besarnya penurunan pH sampel 80 UD/l nira dibandingkan sampel kontrol yang hanya dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme saja.
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pada Sistem Tebang Tebu Hijau (STTH), masalah Masa Tunda Giling (MTG) tebu yang tidak terkendali berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan bakteri (L. mesenteroides) dan produksi dekstran yang memiliki pola hubungan campuran. Kadar dekstran dalam nira mentah hasil ekstraksi STTH belum berada pada titik kritis kadar dekstran yang merugikan pabrik gula, sehingga penggunaan dekstranase menjadi tidak efisien. Dekstranase Plus L (NOVO) memiliki karakteristik aktivitas 248,657 UD/ml, aktivitas spesifik 73,134 UD/mg protein, serta optimum pada suhu 50 o
C dan pH 5,5. Semakin tinggi dosis enzim menyebabkan laju degradasi
dekstran semakin kecil yang diduga berhubungan dengan rasio enzim-substrat (dekstran), adanya senyawa aktivator logam dalam nira, dan campuran glukosa-sukrosa-fruktosa dalam nira. Pada dosis enzim yang lebih tinggi (100 dan 120 UD/l nira) terdapat enzim bebas yang bisa berikatan dengan inhibitor kompetitif yang dapat dicegah dengan penambahan nira mentah. Dosis enzim dan lama inkubasi berpengaruh terhadap peningkatan kadar gula pereduksi dan kadar dekstran terdegradasi yang berakibat pada penurunan viskositas, pH, dan TSS nira. Dari keseluruhan degradasi dekstran menggunakan dekstranase pada berbagai kombinasi perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi diperoleh kombinasi terbaik adalah perlakuan dosis enzim 80 UD/l nira dan lama inkubasi 60 menit berdasarkan peningkatan kadar gula pereduksi dan kadar dekstran terdegradasi, serta penurunan viskositas yang tertinggi dibanding kombinasi perlakuan lainnya.
B. SARAN 1. Disarankan terlebih dahulu dilakukan upaya pencegahan terhadap kemungkinan terbentuknya dekstran pasca MTG pada STTH, yakni dengan melakukan proses pre-liming, pembersihan kotoran saat tebang tebu dan sanitasi lingkungan pabrik. 2. Untuk aplikasi dekstranase pada pabrik gula disarankan dilakukan terhadap nira kental yang diduga telah melewati batas kritis dekstran yang dapat mengganggu industri gula sehingga akan lebih aplikatif. 3. Perlu dilakukan perbandingan pengaruh MTG pada sistem tebang tebu selain STTH seperti STT bakar, STT urai, dan STT dipotong-potong (chopper) terhadap karakteristik kadar dekstran dan aplikasi dekstranase pada nira mentah ataupun nira kental pasca giling. 4. Informasi rasio enzim-substrat pada kondisi degradasi dekstran yang optimal sebesar 0.0014 ml enzim/ppm dekstran dapat digunakan untuk aplikasi dekstranase pada kasus sistem tebang lainya. 5. Perlu dilakukan penelitian khusus mengenai nilai tambah molases dari nira yang telah didegradasi dekstrannya oleh dekstranase (Puls L Novo). Diduga molases yang dihasilkan pada aplikasi dekstranase dalam nira memiliki karakteristik kadar gula pereduksi tinggi yang berpotensi dalam meningkatkan rendemen dan kualitas produk sampingan dari industri gula tebu berbasis fermentasi seperti alkohol, monosodium glutamat (MSG) dan lain-lain.
50
DAFTAR PUSTAKA Ananta, T. M. dan E. E. Santoso. 1990. Pengaruh Ekstraksi Padat Cair terhadap Kualitas Gula yang Dihasilkan dari Proses Sulfitasi. Penelitian Gula Indonesia. 7406 : 2-5. Anonim. 1992. Gula Tebu. Di dalam http : www.warintek.progressio.or.id. . 2001. Catechol Oxydase : A Study of Inhibition an Enzyme that Destroys Some Toxins and Makes Melanin Sunscreen. Di dalam www.ScienceProject.Com. . 2002. Chapter 2 : Literature Review Sugarcane : Sugarcane is a Hybrid of Several Species of the Genus Saccharum. Di dalam http : //etd02.lnx390.lsu.edu. . 2005. How Cane Sugar is Made : Harvesting. Di dalam www.sucrose.com. ASCL. 2005. The Louisiana Sugar Industry. American Sugar Cane League Organization, Los Angeles. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemistry. AOAC. International, Washington D. C. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Arianto, M. 2003. Peranan Industri Gula dalam Perekonomian Nasional dengan Pendekatan Model Input-Output. Skripsi Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB, Bogor. BPS. 2002. Industri Besar dan Sedang 1998-2002. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___ . 2004. Buletin Statistik Bulanan : Indikator Ekonomi 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bailey, J. E. dan D. F. Ollis. 1986. Biochemical Engineering Fundamentals. Edisi Terjemahan. Dasar-dasar Biokimia. 1987. Diterjemahkan oleh A. A. Darwis, L. Hartoto., I. Sailah., L. Herlina. PAU. Bioteknologi. IPB, Bogor. Bailey, R. W. dan T. J. Clarke. 1959. A Bacterial Dextranase. J. Biochem. 72 : 49-54. Bradford, M. M. 1976. A Rapid and Sensitive Method for the Quantitation of Microgram Quantities of Protein Utilizing the Principle of Protein-Dye Binding. J. Anal. Biochem. 72 : 248-254.
Breidt, F. 2004.. Draft Genome : Leuconostoc mesenteroides. JGL Microbes. North Carolina State University. Di dalam http : www.leume.home.html. Boyer, P. D., H. Lardy, dan K. Myrback. 1959. The Enzymes. Second EditionCompletely Revised. Academic Press Inc., New York. Cuddihy J. A., F. Mendez, J. S. Rauh, dan C. Bernhard. 1999. Dextranase in Sugar Production : Factory Experience. Midland Research Laboratories, Inc. Di dalam www.midlandresearchlabsinc.com. CIC. 2002. Talocide Cs. Cytec Industry Incorporation. Di dalam www.cytec.com. Dachlan, M. A. 1984. Proses Pembuatan Gula Merah. Di dalam Laporan UpGrading Tenaga Pembina Gula Merah. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian, Bogor. Day, F. 2003. Pengaruh Glukosa, Fruktosa, Sukrosa, Sorbitol, dan Aspartam terhadap Pertumbuhan Streptococcus mutans dan Produksi Dekstran. Skripsi. Jurusan Biokimia. Fakultas MIPA. IPB, Bogor. Deerland-Enzymes. 2005. Fungal Dextranase for the Sugar Cane Industry. Di dalam www.deerland-enzymes.com. Dols, M., W. Chraibi, M.R. Simeon, N. D. Lindley, dan P. F. Monsan. 1997. Growth and Energetics of Leuconostoc mesenteroides. NRRL B-1299 during Metabolisme of Various Sugars and their Consequence for Dextransucrase Production. Appl. and Environ. Microbiol. J. 63 : 21592165. Efrain, R. J. 2005. The Dextranase Along Sugar- Making Industry. Biotecnol. Appl. J. 22 : 20-27. Eggleston, G. 2002. Sources and Indicators of Cane Deterioration. Di dalam Proceedings SPRI Conference in Sugar Process Research. Agricultural, Harvesting and Cane Quality. Library Abstract. Sugar Milling Research Institute. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. McGraw Hill Inc, USA. Fukumoto J., H. Tsuji dan D. Tsuru. 1971. Study on Mold Dextranase. Purification and Some Enzymatic Properties of Aspergillus carneus Dextranase : It’s Production and Some Enzymatic. Biochem. J. 69 : 11131121. Goutara dan S. Wijandi. 1985. Dasar Pengolahan Gula. Agroindustri Press, Bogor.
52
Hamdy, M. K., E. Gardner, G. L. Stahly, H. H. Weiser, dan Q. V. Winkle. 1954. Factor Affecting Production and Clarification of Dextran. Departements of Bacteriol. and Chem.. The Ohio State Univ. The Ohio J. Science. 54 : 317328. Hasan, A. E. Z. 1999. Isolasi dan Karakterisasi Dekstransukrase dari Isolat Bakteri Batang Tebu. Tesis. IPB, Bogor. Hutabarat, B. S. M. 1998. Konsep Dasar Pengembangan Industri Gula Nasional. Gula Indonesia. 23 : 27. Honig, P. 1953. Principles of Sugar Technology. Elsevier Publishing Co., Amsterdam, Holland. 1 : 767 Indocommercial. 2003. Laporan Bisnis CIC. PT. Capricorn Indonesia Incorporation. Bekerjasama dengan UPT. Perpustakaan. IPB, Bogor. Isma’il, N.M. 2001. Peningkatan Industri Daya Saing Gula Nasional Sebagai Langkah Menuju Persaingan Bebas. Science and Tecnology Policy ISTECS J. 2 : 3-14. Iwai, A., H. Ito, T. Mizuno, H. Mori, H. Matsui, M. Honma, G. Okada, and S. Chiba. 1994. Molecular Cloning and Expression of an Isomalto-Dextranase Gene from Arthrobacter globiformis T6. Bacteriol. J. 176 : 7730-7734. Johnson, I.H. 1991. Dextranase Activity of Streptococcal Isolat from Human Dental Plaques. Microbiol. J. 65 : 155-167. Khalikova, E., P. Susi dan T. Korpela. 2005. Microbial Dextran Hydrolyzing Enzymes: Fundamentals and Applications. Microbiol. and Mol. Biol. Reviews. 69 : 306-325. Kim. D dan J. F. Robty. 1995. Production, Selection, and Characteristics of Mutans of Leuconostoc mesenteroides B-742 Constitutive for Dextransucrases. Enzyme and Microb. Technol. J. 17 : 689-695. Kim, D. 2004. The Production of a Dextran Binding Antibody by Phage Display Library and Its Application to Sugar Process. A Dissertation. The Department of Biological Sciences. Faculty of the Lousiana State University. Kobayashi, M., S. Tagaki, M. Shiota, Y. Mitsuishi, dan K. Matsuda. 1983. An Isomaltotriose Producing Dextranase from Flavobacterium sp. M-73: Purification and Properties. J. Agric. Biol. Chem. 47 : 2585-2593.
53
Kubo, S., H. Kubota, Y. Ohnishi, T. Morita, T. Matsuya, dan A. Matsushiro. 1993. Expression and Secretion of an Arthrobacter Dextranase in The Oral Bacterium Streptococcus gordonii. Infection and Immunity. J. Am. Soc. for Microbiol. 61: 4375–4381. Kurniawan, Y. 1995. Prinsip-prinsip sanitas untuk mencegah kerusakan nira. Gula Indonesia. 20 : 30-34. Larsson, A. 2000. Protein Engineering of Recombinant Penicillium minioluteum dextranase. Master Degree Project. Molecular Biotechnology Program. Upsalla University School of Engineering. Upsalla, Swedia. Lonvaud, A. dan Funel. 2000. Leuconostoc. Faculty of Ecology. University Victor Segalen. Academic Press., Bordeaux-Perancis. Madhu, G. L. Shukla, dan K. A. Prabhu. 1984. Application of Dextranase in The Removal of Dextran from Cane Juice. Int. Sugar. J. 86:136-138. Mangunwidjaja, D. dan A. Suryani. 1994. Teknologi Bioproses. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Mindrayani, M. H. 2002. Sistem Tebang Angkut Tanaman Tebu (Saccharum officinarum) di PT. Gula Putih Mataram Lampung : Studi Khusus Aplikasi Zat Pemacu Kemasakan. Tesis. IPB, Bogor. Mirghani, O. E. 2003. An Economic Accesment of Green Versus Burn Cane Harvesting on Kenana Sugar Company Estate. Abstract Di dalam ISSCT : Agronomy Workshop Msiri, Rediut, Mauritius. [20 - 21 July 2003]. Miswar. 1998. Karakterisasi Enzim dan Studi Pendahuluan Kloning Gen Dekstranase dari Streptococcus sp. B1. Tesis. IPB, Bogor. Mochtar, M. 1982. Permasalahan Kualitas Gula Tebu Sebagai Bahan Dasar Pabrik Sehubungan dengan Teknologi Pemanenan, Angkutan dan Lainlain. Majalah Gula Indonesia No.8. [Maret – Juni 1982]. Mochtar, M. dan T. Ananta. 1988. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pasca Panen Tebu sebagai Bahan Baku Pabrik Gula. Penelitian Gula Indonesia. 7406 : 7-8. Mochtar, H. 1995. Pembentukan Dekstran Akibat dari Keterlambatan Tebang/ Angkut/ Proses. Gula Indonesia. 20 : 11-17. Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Penerbit ITB Press, Bandung.
54
MRLI. 1998. Recovery of Additional Sucrose with An Integrated Program using Biocide and Dextranase to Reduce Undetermined Losses. Midland Research Laboratories, Inc. Lenexa, Texas. Murdiyatmo, U. 1993. Produksi Enzim Dekstranase dan Penggunaannya untuk Menghilangkan Dekstran dalam Nira Pekat. Prosiding Pertemuan Teknis Tengah Tahunan. P3GI, Pasuruan. Murdiyatmo, U., L. Ambarsari, W. E. Widayati, dan L. Hartayani. 1994. Dekstranase Bakterial : Produksi dan Penggunaannya di Pabrik Gula. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi II. Hal : 411-418. Murdiyatmo, U., Miswar, M. Bintang, dan Hasyim. 1997. Karakterisasi Enzim Dekstranase dari Streptococcus sp. B1. Majalah Penelitian Gula. 23 : 1-7. Okushima, M., D. Sugino, Y. Kouno, S. Nakano, J. Miyahara, H. Toda, S. Kubo, dan A. Matsushiro. 1991. Molecular Cloning and Nucleotide Sequencing of the Arthrobacter Dextranase Gene and Its Expression in Escherichia coli and Streptococcus sanguis. Jpn. Genet. J. 66 : 173-187. Pandji, C. 1989. Industri Mikrobial. Depdikbud. Dirjen Dikti. PAU Bioteknologi. IPB. Bogor. Paryanto, I., A. Fachruddin, dan W. Sumaryono. 1999. Diversifikasi Sukrosa Menjadi Produk Lain. P3GI, Pasuruan. Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1986. Microbiology Fundamentals. Edisi Terjemahan. Dasar-dasar Mikrobiologi. Diterjemahkan oleh S. H. Ratna, I. Teja., S. S. Tjitrosomo, dan L. A. Sri. UI-Press, Jakarta. Pinem, R. 1984. Evaluasi Sistem Transportasi Tebu di Pabrik Gula Sei Mayang PTP. IX Sumatera Utara. Skripsi. FATETA. IPB, Bogor. Prihanto, S. 2004. Mempelajari Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Gula Pasir di PT. Madu Baru, PG/PS Madukismo-Yogyakarta. Laporan Praktek Lapangan. Departemen TIN. Fateta Pertanian. IPB, Bogor. Purnama, A. A. 2006. Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula Tebu melalui Introduksi Pendekatan Produksi Bersih (Cleaner Production) Studi kasus PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka-Jabar. Skripsi. FATETA. IPB, Bogor. Purnomo, E. 1995. Manfaat Preliming di Stasiun Gilingan. Majalah Gula Indonesia 20 : 3-5 Purwono. 2003. Penentuan Rendemen Gula secara Cepat. Di dalam www.rudyet.tripod.com.
55
Rauh. J. S., J. A. Cuddihy, dan N. F. Robert. 1998. Analyzing Dextran in The Sugar Industry. A. Review of Dextran in The Factory and The New Analytical Technique. Midland Research Lab. Inc., Lenexa. Robinson. 1976. Cane Harvesting and Transportation. Di dalam Lokakarya Mekanisasi Tebu di Luar Jawa. Perhimpunan Ahli Gula dan Peminat Mekanisasi Pertanian Indonesia. [27-28 Januari 1976]. Robty, J. F. 1992. New Product from the Action of Sucrose-glucosyltransferases : Proceeding of the Symposium of the Division of Carbohydrate Chemistry of American Chemistry Society. Hal : 56-57. Robty, J. F. 1995. Mechanism the Glucansucrase Synthesis of Polysaccharides and Oligosaccharides from Sucrose. Academic Press Inc., Lowa. Said, E. G. 1989. Pengantar Bioindustri. Agroindustri Press Jurusan TIN. FATETA. IPB, Bogor. Sigma. 2007. Sigma Aldric : Dextranase Plus L. Di dalam www.sigmaaldrich.com. Singleton, V., J. Horn, C. Bucke, dan M. Adlard. 2002. A New Polarimetric Method for The Analysis of Dextran and Sucrose. J. of the Am. Soc. of Sug.Cane Technol. 22 : 112-119. Sitompul, R. F. 1984. Perencanaan Sistem Antrian Transportasi Tebu Pabrik Gula Sei Mayang PT. Perkebunan Nasional IX Medan. Skripsi. FATETA. IPB, Bogor. Soebroto, R. S. 1980. Tebu Rakyat. Penerbit Ternate, Bandung. Stainer, R. Y., A. A. Edward, dan L. I. John. 1984. The World of Microba II. Terjemahan : Dunia Mikroba II. Penterjemah W. G. Agustin, L. A. Sri, K. G. Lioe, Hastowo, dan B. Lay. Penerbit Bharatara Karya Aksara. Jakarta. Sudjana. 1992. Desain dan Analisis Eksperimen : II. Penerbit Tarsito, Bandung. Suhartono, M. T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. PAU Bioteknologi. IPB, Bogor. Sumarno dan H. M. Mochtar, 1993. Pemecahan Dextran dalam Nira Kental Memakai Dekstranase 50 L di PG Bungamayang, Prosiding Pertemuan Teknis Tengah Tahunan I/1993. P3GI, Pasuruan. Sumarno. 1994. Rekayasa Instalasi Pemecah Dekstran secara Enzimatis di Nira Mentah Pabrik Gula Cipinang. Penelitian Gula. 30 : 15-30. Sumarno. 1997. Penelitian Hidrolisis Dekstran di Nira Mentah Memakai Dekstranase Novo DN 30 KL 1006. Berita P3GI. 19 : 44-47.
56
Susila, W.R. 2006. Harga Gula Tinggi Sudah Sewajarnya : Perkembangan dan Prospek Industri Gula Dunia 2004-2005. LRPI, Bogor. Sutardjo, E. R. M. 2002. Budidaya Tanaman Tebu. Penerbit PT. Bumi Aksara, Jakarta. Syarief, R. dan A. Irawati 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Tallgren, A. H., U. Airaksinen, R. V. Weissenberg, H. Ojamo, J. Kuusisto, dan M. Leisola. 1999. Exopolysaccharide-Producing Bacteria from Sugar Beets. Appl. and Environ. Microbiol. J. 65 : 862-864. Thaniyavarn, S. dan T. Yoshida. 1967. Production of Dextranase by Penicillium Strains, Annual Report of I. C. Biotech, Osaka Univ., Japan. 10 : 336-338. Thaniyavarn, S., Y. Sohne, A. Misaki dan T. Yoshida. 1990. Characterization of Dextranase from Penicillium sp. and Micrococcus sp. Ann. Report I.C. Biotech, Osaka Univ., Japan. 10 : 252-255. Tilbury, R. H. 1970. The Ecology of Leuconostoc mesenteroides and Control of Post Harvest Biodeterioration of Sugar Cane in Jamaica. Proceding W.I.S.A. Sugar Technology Meeting, Trinidad. Tilbury, R. H. 1971. Dextranase and Dextran. Proceding ISSCT 14th Congress. Hal : 1444-1458. Wang, D. I. C., C. L. Conney, A. L. Demain, P. Dunnil, A. E. Humpre, dan M. D. Lilly. 1978. Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons, New York. Widyantoro, K. 1996. Produksi Dekstranase dari Isolate Streptococcus sp. B7 dalam Bioreaktor 20 L. Skripsi. FATETA. IPB, Bogor. Wilbraham, A. C. dan M. S. Matta. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Penerbit ITB, Bandung. Wynter, C. V. A., M. Chang, J. D. Jersey, B. Patel, P. A. Inkerman, dan S. Hamilton. 1997. Isolation and Characterization of A Thermostable Dextranase. Enzyme and Microb. Technol. J. 20 : 242-247.
57
Lampiran 2. Data Pertumbuhan Bakteri dan Produksi Dekstran Selama MTG STTH 0-48 Jam Masa Tunda Giling (Jam) 0 12 24 48
Pertumbuhan Bakteri (∑ Koloni/ml Nira) 155 x 10 2 31 x 10 3 128 x 10 3 66 x 10 3
Kadar Dekstran (ppm/ml Nira) 186 219 223 240
61
62
63
Lampiran 5. No
Karakteristik Dekstranase Plus L - NOVO (Sigma, 2007)
Karakteristik Dekstranase
1
Nama Lain
2 3
Produsen Sumber Enzim Stabilisasi Enzim : pH Suhu Aplikasi Rutin Enzim : pH Suhu
4 5 6
Aksi Biokimia dan fisik
7
Suhu Simpan Produk
Keterangan 1,6-α-D-Glukan 6-glukanohidrolase (E.C. 3.2.1.11) Novo Nordisk Kapang Chaetomium erraticum 3-7 Sekitar 70 °C 5-6 50-60 °C Endodekstranase : hidrolisa ikatan α-(1,6)-alphaglukosidik di dalam dekstran 2 - 8 °C
64
Lampiran 6. Data Kadar Dekstran (ppm) dan Persentase Dekstran Selama Proses Degradasi Dekstran (Media Dekstran T2000 SIGMA) Dosis Enzim (UD/l Susbtrat) 0 50 75 100
Parameter Terukur Dekstran (ppm) Persen Dekstran Dekstran (ppm) Persen Dekstran Dekstran (ppm) Persen Dekstran Dekstran (ppm) Persen Dekstran
Lama Inkubasi (Menit) 0 60 120 180 798,6 795,7 780,0 778,6 100,0 99,6 97,6 97,5 798,6 27,1 22,9 18,6 100,0 3,4 2,8 2,3 798,6 18,6 15,7 12,9 100,0 2,33 2,0 1,6 798,6 7,1 6,4 5,7 100,0 0,9 0,8 0,7
Perhitungan Kadar Dekstran (ppm) dilakukan menggunakan Metode Kabut pada tingkat absorbansi 720 nm yang dikonversi berdasarkan kurva standar dekstran T2000 kisaran 0-1000 ppm berikut ini :
65
66
67
Lampiran 8. Data Hasil Analisa Parameter Degradasi Dekstran dalam Nira Tebu Tertunda Giling STTH Dosis Enzim (UD/l nira) 0
Lama Inkubasi (Menit) 0 30 60 90
80
0 30 60 90
Ulangan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan
Kadar Gula Pereduksi (mg glukosa/ml nira) 12.938 13.730 13.334 14.368 15.249 14.808 16.277 17.685 16.981 15.711 16.596 16.154 13.109 13.933 13.521 16.812 18.085 17.448 18.519 19.166 18.842 16.945 17.740 17.342
Kadar dekstran Terdegradasi (mg glukosa/ml nira) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.273 2.632 2.453 2.072 1.277 1.675 1.063 0.940 1.002
Viskositas (cP) 1.14 1.52 1.33 0.82 0.86 0.84 0.83 0.87 0.85 0.83 0.87 0.85 1.25 1.58 1.42 0.82 0.87 0.84 0.80 0.85 0.83 0.80 0.84 0.82
TSS
pH
o
( Brix) 12.00 13.30 12.65 11.40 13.10 12.25 11.20 12.70 11.95 10.90 12.50 11.70 12.00 13.30 12.65 10.90 12.90 11.90 10.50 12.40 11.45 10.30 12.30 11.30
5.44 5.52 5.48 5.43 5.49 5.46 5.43 5.47 5.45 5.40 5.46 5.43 5.45 5.56 5.50 5.42 5.50 5.46 5.41 5.46 5.43 5.40 5.45 5.42 68
Lampiran 8. Lanjutan Dosis Enzim (UD/L NIRA)
Lama Inkubasi
Ulangan
(Menit) 0 30
100 60 90 0 30 120 60 90
1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan
Kadar Gula Pereduksi (mg glukosa/ml nira) 13.592 13.996 13.794 16.048 17.113 16.581 16.712 17.575 17.144 15.010 15.202 15.106 13.600 14.145 13.872 14.814 15.304 15.059 17.611 18.876 18.243 16.303 16.777 16.540
Kadar dekstran Terdegradasi (mg glukosa/ml nira) 0.000 0.000 0.000 1.026 1.598 1.312 -0.219 -0.376 -0.298 -1.355 -1.661 -1.508 0.000 0.000 0.000 -0.215 -0.360 -0.288 0.672 0.775 0.724 -0.070 -0.235 -0.153
Viskositas (cP) 1.25 1.55 1.40 0.82 0.88 0.85 0.80 0.85 0.83 0.80 0.85 0.83 1.29 1.51 1.40 0.82 0.89 0.86 0.81 0.86 0.84 0.81 0.86 0.83
TSS
pH
o
( Brix) 12.65 12.00 12.32 11.95 11.00 11.47 11.55 10.50 11.02 11.35 10.40 10.87 12.00 13.30 12.65 11.40 13.00 12.20 11.10 12.70 11.90 10.80 12.40 11.60
5.46 5.56 5.51 5.45 5.50 5.47 5.42 5.49 5.46 5.40 5.45 5.42 5.50 5.54 5.52 5.45 5.48 5.47 5.44 5.46 5.45 5.42 5.46 5.44
69
Lampiran 9.
Hasil Analisis Sidik Ragam Parameter Degradasi Dekstran dalam Nira Tertunda Giling STTH
Tabel Analisa sidik ragam kadar gula pereduksi Sumber variasi
db
Jumlah Kuadrat
Rata-rata 1 8113.501 Dosis enzim 3 9.481 Lama inkubasi 3 71.385 Interaksi 9 10.316 Galat 16 5.98 Total 31 97.163 Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata
Kuadrat Tengah
F hitung
F tabel 0.05 0.01
8113.501 21707.72 3.16 8.456** 3.24 5.29 23.795 63.664** 3.24 5.29 1.146 3.067* 2.54 3.78 0.374
Tabel Analisa sidik ragam kadar dekstran terdegradasi Sumber variasi
db
Jumlah Kuadrat
Rata-rata 1 11.667 Dosis enzim 3 9.479 Lama inkubasi 3 5.443 Interaksi 9 10.315 Galat 16 1.054 Total 31 26.292 Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata
Kuadrat Tengah 11.667 3.160 1.814 1.146 0.066
F hitung
F tabel 0.05 0.01
177.1082 47.955** 3.24 5.29 27.536** 3.24 5.29 17.394** 2.54 3.78
Tabel Analisa sidik ragam viskositas Sumber variasi
db
Jumlah Kuadrat
Rata-rata 1 30.414 Dosis enzim 3 1.103E-03 Lama inkubasi 3 1.793 Interaksi 9 9.767E-03 Galat 16 0.21 Total 31 2.014 Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata
Kuadrat Tengah
F hitung
F tabel 0.05 0.01
30.414 2320.147 3.677E-04 0.028 3.24 5.29 0.598 45.590** 3.24 5.29 1.085E-03 0.083 2.54 3.78 1.313E-02
70
Lampiran 9. Lanjutan Tabel Analisa sidik ragam TSS Sumber variasi
db
Jumlah Kuadrat
Rata-rata 1 4506.897 Dosis enzim 3 2.551 Lama inkubasi 3 6.636 Interaksi 9 0.322 Galat 16 17.711 Total 31 27.219 Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata
Kuadrat Tengah
F hitung
F tabel 0.05 0.01
4506.897 4071.609 0.850 0.768 3.24 5.29 2.212 1.998 3.24 5.29 0.036 0.032 2.54 3.78 1.107
Tabel Analisa sidik ragam pH Sumber variasi
db
Jumlah Kuadrat
Rata-rata 1 953.698 Dosis enzim 3 1.209E-03 Lama inkubasi 3 2.336E-02 Interaksi 9 1.470E-03 Galat 16 3.241E-02 Total 31 5.864E-02 Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata
Kuadrat Tengah
F hitung
F tabel 0.05 0.01
953.698 470780.5 4.030E-04 0.199 3.24 5.29 7.7867E-03 3.845* 3.24 5.29 1.633E-04 0.081 2.54 3.78 2.026E-03
71
Lampiran 10. Hasil Uji Lanjut Duncan Parameter Degradasi Dekstran dalam Nira Tebu Tertunda Giling STTH Uji lanjut Duncan terhadap kadar gula pereduksi Dosis * Lama inkubasi N Rata- rata 0-0 2 13.334 80 - 0 2 13.521 100 - 0 2 13.794 120 - 0 2 13.8725 0 - 30 2 14.8085 120 - 30 2 15.059 100 - 90 2 15.106 0 - 90 2 16.1535 120 - 90 2 16.54 100 - 30 2 16.5805 0 - 60 2 16.981 100 - 60 2 17.1435 80 - 90 2 17.3425 80 - 30 2 17.4485 120 - 60 2 18.2438 80 - 60 2 18.8425
Peringkat (α=0.05)* A AB ABC ABC BCD CD CD DE E E E E E E
F F F F FG G
Uji lanjut Duncan terhadap kadar dekstran terdegradasi Dosis * Lama inkubasi N Rata-rata Peringkat (α=0.05)* 100 -90 2 -1.0475 A 0-0 2 0 B 0 - 30 2 0 B 0 - 60 2 0 B 0 - 90 2 0 B 100 - 60 2 0.1625 B 80 - 0 2 0.187 B 120 -30 2 0.2505 B 120 - 90 2 0.3855 B 100 - 0 2 0.46 B 120 - 0 2 0.5385 B 80 - 90 2 1.189 C 120 - 60 2 1.2625 CD 100 - 30 2 1.772 DE 80 - 60 2 1.861 E 80 - 30 2 2.64 F * = huruf yang sama menyatakan rata-rata tidak berbeda nyata huruf yang berbeda menyatakan rata-rata berbeda nyata
72
Lampiran 10. Lanjutan Uji lanjut Duncan terhadap nilai viskositas Lama inkubasi N Rata-rata Peringkat (α=0.05)* 90 8 0.83275 A 60 8 0.83387 A 30 8 0.84825 A 0 8 1.38475 B * = huruf yang sama menyatakan rata-rata tidak berbeda nyata huruf yang berbeda menyatakan rata-rata berbeda nyata
Uji lanjut Duncan terhadap nilai pH Lama inkubasi N Rata-rata Peringkat (α=0.05)* 90 8 5.4275 A 60 8 5.4456 A 30 8 5.4631 A B 0 8 5.5006 B * = huruf yang sama menyatakan rata-rata tidak berbeda nyata huruf yang berbeda menyatakan rata-rata berbeda nyata
73
Lampiran 11. Hasil Uji Korelasi Parsial Antar Parameter Degradasi Dekstran dalam Nira Tebu Tertunda Giling STTH dengan Kontrol Perlakuan Dosis dan Lama Inkubasi Dekstranase Uji Korelasi Parsial Antar Parameter Sebelum Degradasi Dekstran Dengan Kontrol Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi Parameter Degradasi Gula Pereduksi Dekstran Terdegradasi Viskositas TSS pH Lama Inkubasi Dosis Dekstranase
Gula Pereduksi
Dekstran Terdegradasi A**
Viskositas ( - ) C**
A ( - ) B** B** C** ( - ) D**
C**
TSS
pH
Lama Inkubasi B**
A**
D** A**
( - ) C** ( - )C** ( - ) A**
B** ( - ) A**
( - ) B**
Uji Korelasi Parsial Antar Parameter Setelah Degradasi Dekstran Dengan Kontrol Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi Parameter Degradasi Gula Pereduksi Dekstran Terdegradasi Viskositas TSS pH
Gula Pereduksi B** ( - ) A*
Dekstran Terdegradasi B**
Viskositas ( - ) A* ( - ) A*
TSS
( - ) B*
pH C** A**
B**
A**
Ada Tanda huruf : ada korelasi Tidak ada huruf : tidak ada korelasi D > C > B > A : Menunjukkan Tingkat korelasinya lebih kuat atau lemah Tanda negatif menunjukkan adanya korelasi yang bersifat sebaliknya (naik/turun) Tanda ** : Tingkat kepercayaan 99 % dan tanda * : Tingkat Kepercayaan 95 %
74
Lampiran 12. Tabel Perhitungan Rasio Enzim-Substrat (Dekstran) dalam Nira Mentah Dosis Enzim (UD/l Nira) 0 80 100 120 Keterangan :
Kadar Dekstran (ppm/l Nira) 240 240 240 240
Enzim (ml) 0.000 0.333 0.402 0.483
Rasio Enzim/dekstran (ml enzim/ppm dekstran) 0.0000 0.0014 0.0017 0.0020
Perhitungan berdasarkan aktivitas enzim (dekstranase Plus L) sebesar 248,66 UD/ml enzim dan kadar dekstran maksimum 240 ppm pada nira mentah MTG 48 Jam STTH
75
Lampiran 13.
Mekanisme Pengikatan Enzim (e) dan Substrat (s) serta Pengaruh Inhibitor (i) (Anonim, 2001)
Kompleks Enzim-Substrat
Substrat
Produk
Sisi Aktif
Enzim
Enzim Siap mengkatalisa Reaksi Lain
Substrat Inhibitor Kompetitif Sisi Aktif
76